6
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Dasar Perpajakan 1. Pengertian pajak Pajak timbul dari adanya suatu kepentingan untuk membiayai pembangunan
yang
berguna
bagi
kepentingan
keamanan, kebersihan dan fasilitas umum
bersama
seperti
lainnya. Banyak para
ahli
dalam bidang perpajakan yang memberikan pengertian atau definisi yang berbeda-beda tersebut
mengenai pajak, namun demikian berbagai definisi
mempunyai
inti
atau
tujuan
yang
sama.
Menurut
Mardiasmo (2006:3): Suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan ke kas Negara disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu tetapi bukan sebagian hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan Pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbale balik dari Negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan umum. Menurut Prof. Rochmat Sumitro yang dikutip Mohammad Zain (2007:10), pajak didefenisikan sebagai: Iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
7
Menurut Undang-Undang RI nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1 adalah: Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari
pengertian-pengertian
tersebut
dapat disimpulkan
bahwa ciri-ciri
yang melekat pada pengertian pajak menurut Waluyo (2010:3) yaitu: a. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksanakan. b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individual oleh pemerintah. c. Pajak dipungut oleh negara baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. e. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.
2. Fungsi pajak Dari definisi pajak yang telah dijelaskan, ada kesan bahwa dipungut oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran baik yang bersifat rutin, maupun untuk pembangunan, padahal sebenarnya fungsi pajak bukan hanya seperti itu melainkan juga berfungsi untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dalam bidang sosial dan ekonomi. Menurut menjadi 2, yaitu:
Mardiasmo
(2006:6)
fungsi
pajak
digolongkan
8
a. Fungsi penerimaan (budgetair) Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. b. Fungsi mengatur (regulerend) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh: pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras.
3. Sistem pemungutan pajak Menurut
Waluyo
(2010:17)
sistem
pemungutan
pajak
dapat
dibagi menjadi : a. Offical Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri Offical Assesment System yaitu : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus. 2) Wajib Pajak bersifat pasif 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus b. Self Assessment System Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. c. Withholding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Dari
tiga sistem
pemungutan
pajak di
Assessment
atas
yang paling
System. Sistem
sering
digunakan
adalah Self
pemungutan
ini
memberikan
kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya
9
pajak tentang wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
B. Pajak Penghasilan 1. Pengertian Pajak Penghasilan Penghasilan
menurut
Undang-Undang
2000 mempunyai pengertian
yang
sangat
setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang
Perpajakan luas.
no. 17 tahun
Penghasilan
diterima
atau
yaitu
diperoleh
Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dari penjelasan
tersebut pajak penghasilan
adalah
pungutan
resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak untuk kepentingan negara dan masyarakat.
2. Subyek Pajak Subyek Pajak adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan. adalah :
Pengertian
Subyek
Pajak
menurut
Waluyo (2010:89)
10
Subyek Pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh Undang- Undang untuk dikenakan pajak. Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak Yang
termasuk
Subyek
Pajak
menurut
Waluyo
(2010:89)
adalah
sebagai berikut : a. Orang Pribadi; Orang pribadi sebagai subyek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; Warisan yang belum terbagi dimaksud merupakan Subjek Pajak pengganti menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Masalah menunjukkan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tetap dapat dilaksanakan. c. Badan; dan Pengertian badan mengacu pada Undang-Undang KUP, bahwa badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan Bentuk Usaha Tetap. Badan usaha milik Negara dan badan usaha milik Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan pemerintah, sebagai contoh lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. d. Bentuk Usaha Tetap Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
11
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk Usaha Tetap ini ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri terpisah dari badan. Perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek Pajak Badan Dalam Negeri. Pengenaan Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap ini mempunyai eksistensi sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan Bentuk Usaha Tetap menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 adalah sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
k. l.
Tempat kedudukan manajemen; Cabang perusahaan; Kantor perwakilan; Gedung kantor; Pabrik; Bengkel; Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan; Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan atau kehutanan; Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha atau place of business yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
12
Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi: a. Subjek Pajak Dalam Negeri adalah: 1) Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. 2) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. 3) Warisan
yang
belum
terbagi
sebagai
satu
kesatuan
menggantikan yang berhak. b. Subjek Pajak Luar Negeri adalah: 1) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 2) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di
Indonesia,
yang
dapat
menerima
atau
13
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. Perbedaan antara Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri dilihat dari pemenuhan kewajiban pajaknya antara lain: a. Wajib Pajak Dalam Negeri 1) Dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia. 2) Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto dengan tarif umum. 3) Wajib menyampaikan SPT sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. b. Wajib Pajak Luar Negeri 1) Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia. 2) Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan. 3) Tidak wajib menyampaikan SPT karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Jadi Subyek
Pajak adalah
orang
pribadi
ataupun badan
maupun
berupa warisan yang belum terbagi juga berbentuk BUT (Bentuk
14
Usaha
Tetap) yang
berada
di Indonesia yang diatur
sesuai dengan
perundang-undangan perpajakan.
3. Obyek Pajak Obyek Pajak dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk menghitung pajak terutang. Menurut Waluyo (2010:99) penghasilan
didefinisikan:
Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dilihat
dari
mengalirnya
(inflow)
tambahan
kemampuan ekonomis
kepada Wajib Pajak, menurut Undang-Undang Perpajakan no. 36 tahun 2008: a. Penghasilan dari pekerjaan yaitu pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dan praktek dokter, notaris, akuntan, pengacara dan sebagainya. b. Penghasilan dari kegiatan usaha, yaitu kegiatan melalui sarana perusahaan seperti: keuntungan atau laba dari perseroan terbatas, CV, firma dan yayasan. c. Penghasilan dari modal, baik penghasilan dari modal bergerak seperti: bunga, deviden, royalti, maupun penghasilan dari modal harta tak bergerak, seperti: sewa tanah dan keuntungan dari penjualan harta d. Penghasilan lain-lain, seperti: hadiah, undian dan pembebasan utang. e. Keuntungan dari penjualan harta.
Selanjutnya
dilihat dari penggunaannya
(outflow), penghasilan
atau pendapatan adalah segala sesuatu yang diterima oleh Wajib
15
Pajak baik
yang berhubungan langsung atau tidak dengan usaha
(operasi) perusahaan seperti penjualan barang, penjualan jasa maupun berupa gaji,
honorarium,
hadiah dan
lain
sebagainya yang dapat
dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Menurut pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 yang termasuk penghasilan sebagai Objek Pajak antara lain : a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan. c. Laba usaha d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : 1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. 2) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota. 3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambil alihan usaha. 4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan, sepanjang tidak
16
e. f. g.
h. i. j. k.
l. m. n. o.
p. q. r. s.
ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak- pihak yang bersangkutan. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. Deviden, dengan mana dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. Royalti. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva Premi asuransi Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan Surplus Bank Indonesia.
Pajak dikenakan pada setiap tambahan yang diperoleh
Wajib
Pajak
dari
manapun
kemampuan ekonomis asalnya
yang
dapat
dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Karena
pengertian pajak
Undang-Undang yang luas,
maka
Pajak
Penghasilan
menganut
semua jenis penghasilan
yang
diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak.
17
Pasal 4 ayat (3) terdapat penghasilan yang tidak termasuk kategori penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan, yaitu : a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak, harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. b. Warisan c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah. e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa. f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan syarat: 1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan; 2) Bagi perseroan terbatas, BUMN, dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun (perhatikan huruf g) dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
18
i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi. j. Dihapus k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1) Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dan 2) Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia. Perusahaan Modal Ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. l. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan n. Bantuan atau santunan yang dibayarkan ole Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan/atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Tidak semua penghasilan termasuk sebagai Objek Pajak, seperti bantuan merupakan
atau
sumbangan
bagi
Objek Pajak sepanjang
pihak diterima
yang tidak
menerima
bukan
dalam
rangka
hubungan kerja, hubungan usaha, atau hubungan penguasaan antara pihakpihak yang bersangkutan.
19
4. Penghasilan kena pajak Di dalam perpajakan juga dikenal biaya-biaya yang tidak boleh dibebankan sebagai pengurangan penghasilan perusahaan (non-deductible expenses). Menurut Waluyo (2010:106) antara lain adalah: a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham sekutu, atau anggota. c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna Wajib Pajak yang bersangkutan. e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. g. Harta yang dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali
20
h.
i.
j.
k.
zakat atas penghasilan yang nyata- nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak, Badan Dalam Negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan warisan. Pajak penghasilan Yang dimaksudkan dengan pajak penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggung jawabnya. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Secara khusus dalam Peraturan Pemerintah No. 138 Tahun 2000, antara lain dalam
menghitung
dalam negeri
bahwa pengeluaran yang tidak boleh besarnya
penghasilan
kena
dan BUT (Bentuk Usaha Tetap)
pajak
dikurangkan Wajib
Pajak
menurut Waluyo
(2010:107) adalah : a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Obyek Pajak. b. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. c. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan netto sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dan norma penghitungan khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan (Wajib Pajak Tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan pasal 16 ayat (1) atau ayat (3)). d. Pajak penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana
21
dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan tetapi tidak termasuk dividen sepanjang pajak penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak, dan e. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan Obyek Pajak.
Biaya yang diperkenankan (deductible expenses) bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap berdasarkan
pasal
6
Undang
untuk
menghitung
Pajak Penghasilan
menyatakan
bahwa
:
Undang-
besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha
Tetap, menurut Waluyo
(2010:103)
ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi: a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi dan pajak kecuali pajak penghasilan. Biaya dimaksud adalah biaya-biaya yang lazimnya disebut dengan biaya sehari-hari yang dibebankan pada tahun pengeluaran yang diperlukan persyaratan hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Sebagai contoh, bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham atau mengakuisisi saham pendiri tidak dapat dibebankan sebagai biaya dengan syarat dividen yang diterima bukan obyek pajak, kecuali bunga atas pinjaman tersebut untuk melakukan penyertaan perusahaan yang baru berdiri atas bagian right issue perusahaan yang lama berdiri sehingga bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan akan dikapitalisasi. Khusus untuk biaya promosi
22
b.
c. d.
e.
f. g. h.
harus memperhatikan/membedakan akibat yang benar-benar untuk promosi dengan sumbangan. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing. Kerugian selisih kurs mata uang asing ini diakibatkan adanya fluktuasi kurs sehari-hari terutama dalam kondisi krisis moneter. Pembebanan selisih kurs dilakukan berdasarkan sistem pembukuan perusahaan dengan syarat taat asas (konsisten). Kemungkinan wajib pajak pembukuannya mendasarkan pada kurs tetap, maka pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan pada saat realisasi atas perkiraan mata uang tersebut. Sebaliknya apabila menggunakan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, maka pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasar kurs tengah Bank Indonesia atau kurs pada akhir tahun. Kerugian selisih kurs dibukukan dalam perkiraan sementara di neraca dan pembebanan secara bertahap sesuai realisasi mata uang tersebut. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia. Biaya bea siswa, magang dan pelatihan Piutang yang nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat: 1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial. 2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan 3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang Negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang /pembebasan utang antara kreditor dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa hutangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; 4) Syarat pada angka 3) tidak berlaku untuk menghapuskan piutang tak tertagih debitur kecil (prhatikan Pasal 4 ayat (1)
23
i. j.
k. l. m.
huruf “k”) yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah; Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Jadi tidak semua biaya boleh dikurangkan pada penghasilan bruto tetapi ada biaya atau pengeluaran yang diperbolehkan, dan biaya atau pengeluaran
yang
tidak
diperbolehkan
penghasilan kena pajak merupakan dasar menentukan
pajak
penghasilan
yang
oleh
Ketetapan
Pajak,
pengenaan tarif pajak untuk terutang
dalam
suatu
tahun
bagi
Wajib
Pajak
pajak. Penghitungan
besarnya
penghasilan
netto
dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap dapat dilakukan dua cara, yaitu: a. Menggunakan pembukuan Menurut proses
Mardiasmo pencatatan
mengumpulkan harga, kewajiban, jumlah
(2006:113) yang
data
dan
modal,
pembukuan
dilakukan
secara
adalah
suatu
teratur
untuk
informasi keuangan yang meliputi penghasilan,
dan
biaya,
serta
harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang
24
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir. Dikecualikan
dari
kewajiban
menyelenggarakan pembukuan
tetapi wajib melakukan pencatatan adalah pribadi
yang
melakukan
bebas
yang
menurut
kegiatan ketentuan
Wajib Pajak orang
usaha
atau
Peraturan
pekerjaan Perundang-
undangan Perpajakan, yaitu: 1) Diperbolehkan
menghitung
penghasilan
netto
dengan
menggunakan norma penghitung penghasilan netto, dan 2) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Untuk
menghitung
penghasilan
kena
pajak
dapat
dirumuskan sebagai berikut: 1) Penghasilan kena pajak (Wajib Pajak orang pribadi) = Penghasilan netto - PTKP = (Penghasilan
bruto
- biaya yang diperkenankan
PPh) - PTKP 2) Penghasilan kena pajak (Wajib Pajak badan) = Penghasilan netto = Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh b. Menggunakan norma penghitungan penghasilan netto 1) Norma perhitungan untuk Wajib Pajak perorangan
UU
25
PKP = % norma perhitungan x Penerimaan bruto 2) Norma perhitungan untuk Wajib Pajak Badan PKP = % norma perhitungan x Peredaran bruto 5. Tarif Pajak Penghasilan a. Wajib Pajak orang pribadi dan badan dalam negeri Berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat (1) sebagaimana telah mengalami beberapa perubahan dalam Penghasilan no. 36 tahun 2008, penghasilan yang bagi
Wajib
diterapkan
Undang-Undang Pajak
besarnya
atas penghasilan
Pajak Dalam Negeri
tarif
pajak
kena
pajak
dan Wajib Pajak Luar
Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui
suatu
bentuk usaha
tetap
di Indonesia,
sebagai berikut : 1) Untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri No.
Lapisan Penghasilan
Tarif
1.
S.d. Rp 50.000.000,-
5%
2.
Di atas Rp50.000.000,- s.d. Rp 250.000.000
15%
3.
Di atas Rp250.000.000,- s.d.Rp 500.000.000,-
25%
4.
Di atas Rp500.000.000,-
30%
26
2) Pajak badan dalam negeri dan BUT (Bentuk Usaha Tetap) adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) yang berlaku sejak tahun pajak 2010.
b. Wajib Pajak orang pribadi dan badan luar negeri Sementara itu untuk Wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia akan dikenakan Pajak Penghasilan PPh 26. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah penerapan dari azas sumber yang dianut dalam ketentuan Pajak Penghasilan di Indonesia. Berdasarkan azas sumber, penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia, bisa dikenakan pajak di Indonesia. Bentuk pemajakannya adalah dengan sistem witholding tax yang bersifat final yang diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Dalam ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan, terdapat empat jenis PPh Pasal 26 yaitu PPh Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (2a) dan Pasal 26 ayat (4). Masing-masing jenis PPh Pasal 26 ini memiliki ruang lingkupnya sendiri. PPh Pasal 26 ayat (1) adalah PPh Pasal 26 pada umumnya yaitu pemotongan PPh terhadap Wajib Pajak luar negeri yang
27
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Bentuk penghasilan yang dipotong pada umumnya sama dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Bedanya, penerima penghasilan PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.
Tarif PPh Pasal 26 adalah tarif tunggal 20% dengan dasar pengenaan pajak nya adalah jumlah bruto yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri. Misalkan PT ABC di Indonesia membayarkan dividen kepada Tuan X di negara Y sebesar Rp100 Juta, maka PPh Pasal 26 yang harus dipotong adalah 20% x Rp100 Juta = Rp20 Juta.
Pengenaan PPh Pasal 26 juga tergantung kepada perjanjian perpajakan (P3B) dengan negara lain. Biasanya dalam P3B ditentukan tarif yang lebih rendah untuk pemotongan PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti dan/atau penghasilan lainnya. Apabila ada P3B, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan P3B bukan ketentuan domestik berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia.
28
6. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B atau Tax Treaty) Berdasarkan Pasal 32A Undang-Undang PPh diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Untuk memberi kepastian hukum dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B atau Tax Treaty) maka Dirjen Pajak telah mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER - 61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penetapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, tanggal 5 November 2009 yang diralat tanggal 15 Desember 2009 (ralat mengenai bentuk SKD) dan mulai berlaku sejak 1 Januari 2010. Berikut ini akan disampaikan beberapa hal yang diatur dalam PER - 61/PJ/2009. a. Subjek Pajak Wajib Pajak luar negeri selanjutnya disebut WPLN adalah Subjek Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, baik orang pribadi maupun badan, yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
29
b. Pemotong/Pemungut Pajak Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai ketentuan yang berlaku. c. Pemotong/Pemungut Pajak Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai ketentuan yang berlaku. d. Persyaratan pemotongan PPh yang dapat menggunakan P3B (Tax Treaty). Pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam hal:
1) Penerima penghasilan bukan Subjek Pajak dalam negeri Indonesia,
30
2) Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan 3) Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud
dalam
ketentuan
tentang
pencegahan
penyalahgunaan P3B.
Dalam hal ketentuan di atas tidak terpenuhi, Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh. Persyaratan administratif untuk menerapkan P3B adalah Surat Keterangan Domisili (SKD) yang disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong/Pemungut Pajak :
1) menggunakan formulir yang telah ditetapkan dalam Lampiran II atau Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini; 2) telah diisi oleh WPLN dengan lengkap; 3) telah ditandatangani oleh WPLN; 4) telah disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara mitra P3B, dan 5) disampaikan sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.
31
C. Perencanaan Pajak 1. Pengertian Perencanaan Pajak Perencanaan pajak menurut Zain (2007:67): Tindakan persekutuan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefesiensikan jumlah pajak yang akan ditransfer pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (tax evasion) yang merupakan tindak pidana fiskal yang tidak dapat ditoleransi. Sementara menurut Djoko (2009:281) perencanaan pajak adalah “bagian perencanaan bisnis secara umum yaitu bagaimana memaksimalkan laba atau penghasilan setelah pajak dengan cara menekan beban pajak” Pada umumnya, perencanaan pajak merupakan usaha yang dilakukan untuk menghemat pembayaran pajak dengan memanfaatkan hal-hal yang tidak
diatur
(loopholes)
dalam
Undang-Undang
Pajak. Perencanaan
pajak sama dengan penghindaran pajak (tax avoidance) karena hakiki
ekonomis
kedua-keduanya
berusaha
secara
untuk memaksimalkan
penghasilan setelah pajak (after tax return) karena pajak merupakan unsur
pengurang laba
pemegang saham
yang
tersedia
baik
untuk dibagikan
kepada
maupun untuk diinvestasikan kembali.
Dalam melakukan penyusunan perencanaan pajak (tax planning) harus benar-benar memahami peraturan perpajakan agar tidak sampai terjadi
kesalahan
penggelapan pajak.
sehingga
akhirnya
dapat
dituduh sebagai usaha
32
2. Manajemen Pajak Bahwa jumlah pajak dapat ditekan dengan cara yang legal yaitu menggunakan
strategi manajemen pajak. Tujuannya, bukan
mengelak
membayar pajak, tetapi mengatur sehingga pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya. Jika pengelolaan pajak tidak dilakukan dengan
baik,
kemungkinan
gulung
tikar.
Dengan
di
kemudian
manajemen
hari
pajak
perusahaan terpaksa yang
benar
dapat
memperkuat keuangannya sehingga mitra usahanya semakin percaya atas perusahaan tersebut. Wajib
pajak
celah (loopholes)
undang-undang
dalam
harus
cermat
dalam
pajak
memanfaatkan
untuk
menentukan
tingkat efisiensi beban pajak yang ditanggung oleh perusahaan. Apabila tidak hati-hati
dalam
penerapannya
maka
perusahaan
dapat
melakukan
usaha penggelapan pajak (tax evasion). Jika itu sampai terjadi maka perusahaan dapat dijerat Undang-Undang
yang
bisa
mengakibatkan
perusahaan tersebut berurusan dengan Direktorat Jenderal Pajak. Suandy (2011;6) mendefinisikan : "Manajemen pajak sebagai sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh menurut (manajemen
laba
dan
Muhammad pajak)
likuiditas
yang
(2007:19)
sebagai
"Usaha
diharapkan".
didefinisikan tax meminimalkan
Sedangkan management beban
pajak
33
perusahaan yang dilakukan secara legal oleh manajemen perusahaan melalui peran pejabat pajaknya atau tax officer-nya". Tujuan manajemen pajak dapat dibagi menjadi dua menurut Suandy (2011:6) yaitu : "1. menerapkan peraturan perpajakan secara benar dan, 2. usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya". Tujuan
dari
manajemen
pajak
dapat
dicapai
melalui
fungsi-fungsi manajemen pajak yang terdiri dari tiga menurut Suandy (20011:6) : "1. perencanaan pajak (tax planning), 2. pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation) dan, 3. pengendalian pajak (tax control)".
3. Tujuan Perencanaan Pajak Tujuan perencanaan pajak menurut Djoko (2009:290) adalah: Menghemat beban pajak beserta Compliance Cost sehingga penghasilan setelah pajak lebih besar. Pada tataran praktis, tujuan tersebut mengejawantahkan dalam dua sasaran operasional, yaitu meminimalisasi beban pajak (tax burden minimalization) atau justru memaksimalkan beban pajak (tax burden maximalization). Suandy (2011:6) mengungkapkan bahwa asumsi pajak sebagai biaya akan mempengaruhi laba (profit margin), sedangkan pajak sebagai distribusi laba akan mempengaruhi investasi. Oleh berusaha
membayar
pajaknya
dengan
karena
itu perusahaan
akan
seminimal mungkin. Apapun
asumsinya, perusahaan mengindentifikasikan pembayaran pajak
sebagai
34
beban
sehingga
akan
berusaha untuk meminimalkan beban
tersebut
untuk mengoptimalkan laba. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing, maka manajer wajib menekan biaya seoptimal mungkin. Tujuan perencanaan pajak adalah mencapai tingkat efisiensi paling maksimum yang diharapkan perusahaan. Jika
pelaku
bisnis
yang
mengambil
keputusan
bisnis
tanpa
mempertimbangkan dampak perpajakannya, menurut Wahono (2001) akan menimbulkan akibat antara lain : “1. Dampak perpajakan transaksi yang tadinya
diperkirakan
untung
ternyata
malah
rugi,
2.
Apabila
dilakukan pemeriksaan pajak akan timbul utang pajak yang tidak diperkirakan, diperhitungkan”. Oleh karena itu apabila tidak menguasai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku maka beban pajak yang
ditanggung
perusahaan
makin
besar. Tidak
jarang perusahaan
gulung tikar karena seluruh aset yang dimilikinya telah disita untuk membayar pajak
pajak.
penghasilan
Menurut
Lubis
pemberi
(2001)
kerja,
untuk
efisiensi penetapan
maka
manajemen perusahaan
mempunyai beberapa alternatif peluang yaitu
membayar pajak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, mencari peluang untuk efisiensi menghindari pembayaran pajak atau denda yang tidak semestinya perencanaan pajak (tax planning).
legal, dan
35
4. Manfaat Perencanaan Pajak Menurut
Lumbantoruan
(1996:482)
dengan
adanya
upaya
perencanaan pajak yang baik dan cermat, wajib pajak memperoleh manfaat yaitu: "jumlah pembayaran pajak dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan". Manfaat perencanaan pajak yang pertama menghemat kas keluar sebagaimana yang dijelaskan bahwa pajak sebagai unsur pengurang penghasilan (biaya) merupakan beban yang harus ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan (Wajib Pajak).
Dengan
meminimalkan beban
pajak,
dana
yang
tersedia untuk membayar pajak dapat dialokasikan kepada pos-pos lain dalam
perusahaan.
kewajiban pembayaran
Terutama jika perusahaan dapat memenuhi seluruh
perpajakannya, maka upaya atas
ini
dapat
meminimalkan
sanksi-sanksi perpajakan yang berlaku, sehingga dapat
menghemat kas keluar. Manfaat perencanaan pajak yang kedua mengatur aliran kas, Lumbantoruan (1996:359) mengungkapkan bahwa : Perencanaan pajak yang cermat dapat ditentukan dengan langkah yang tepat dalam mengestimasikan kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas yang lebih akurat Sedangkan
menurut
Tjahyono
(1997)
bahwa "Manfaat
perencanaan
pajak adalah untuk penghematan kas keluar atau biaya dan mangatur aliran kas"
36
5. Tahap-Tahap Perencanaan Pajak Dalam mengikuti
melakukan
perkembangan
perundang-undangan apakah
cara-cara
perencanaan dan
perpajakan. yang lama
pajak,
perubahan Ini
wajib
ketentuan
dimaksudkan
masih
pajak dan
untuk
sesuai dengan
harus
peraturan mengetahui
ketentuan
dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tahap-tahap
dalam
melakukan
perencanaan
pajak
menurut
Tjahyono (1997:479) adalah : a. Memaksimalkan penghasilan yang dikecualikan usaha memaksimalkan penghasilan yang bukan obyek pajak dengan mendasarkan pada variabel penghasilan bukan sebagai obyek pajak. Peluang tersebut tercantum dalam pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Perpajakan 2000, mengatur tentang penghasilan yang tidak termasuk obyek pajak. b. Memaksimalkan biaya- biaya fiskal, tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dengan meningkatkan biaya-biaya yang dapat dikurangkan atau menekan biaya yang tidak dapat dikurangkan/dialihkan ke biaya-biaya yang dapat dikurangkan. Peluang ini tercantum dalam pasal 6 Undang-Undang Perpajakan tahun 2000 yang mengatur siapa-siapa yang dapat dikurangkan dan pasal 9 Undang-Undang Perpajakan tahun 2000 yang mengatur biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan. c. Meminimalkan tarif pajak. Tindakan ini dapat dilakukan dengan upaya pengeluaran pajak dengan tarif seminimal mungkin. Hal ini dapat ditempuh antara lain dengan mengalokasikan penghasilan dalam beberapa tahun, atau dalam beberapa perusahaan yang masih dalam satu grup.
Jadi
usaha
untuk
melakukan
perencanaan
pajak
dapat
dilakukan dengan cara memaksimalkan penghasilan yang bukan Objek Pajak, memaksimalkan biaya-biaya fiskal dan meminimalkan tarif pajak.
37
Perencanaan pajak yang baik meliputi anggaran mengenai bisnis
arus
lainnya.
memperhatikan
kas,
laporan
Dalam
laba-rugi,
neraca
yang
digunakan
asumsi
penghasilan
dan
biaya
dan
yang
yang baik
asumsi-asumsi
perusahaan
harus
diperbolehkan
untuk
dikurangkan dari penghasilan bruto (UU No. 36 Tahun 2008 pasal 6). Asumsi
perencanaan
mungkin memanfaatkan
yang
ditempuh
kesempatan
(loophole)
perusahaan yang
sedapat
menguntungkan
bagi perusahaan. Cara ini mungkin dapat dicapai apabila perusahaan jeli dalam melihat setiap peluang Undang-Undang Pajak demi kepentingan usahanya. Secara prinsip
memang terdapat perbedaan
komersial
dengan
akuntansi
menerapkan
manajemen
fiskal.
pajak
harus
Karena
antara
akuntansi
perusahaan
mengetahui
betul
yang pokok
masalahnya. Perbedaan ini tidak dianggap sebagai beban tetapi lebih kompetitif dalam menjaring seluruh ketentuan perpajakan yang ada dengan akuntansi yang digunakan. Pada hakekatnya sistem perpajakan yang dipakai di Indonesia adalah Self Assesment System. Wajib Pajak diberikan kepercayaan penuh oleh fiskus atau Direktorat Jenderal Pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak yang terutang secara benar. Dilakukan pemeriksaan pajak adalah untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah data dalam rangka kewajiban
pengawasan
perpajakan berdasarkan
ketentuan
kepatuhan Peraturan
pemenuhan Undang-
38
undangan
perpajakan (UU No. 9 Tahun 1994 pasal 1 huruf S). Dengan
adanya pemeriksaan pajak tersebut
diharapkan dapat
ikut
membantu
dalam menentukan kebijakan operasional perusahaan selanjutnya. Sedangkan tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak (tax-planning) menurut Suandy (2011;13) adalah : menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang harus ditanggung. Hal tersebut hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan masing-masing elemen dari pajak baik secara sendiri-sendiri maupun secara total pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak (tax planning) yang paling efisien. Karena itu, seorang manajemen perpajakan harus memperhatikan banyak faktor baik dari segi internal maupun eksternal. Perencanaan perencanaan
pajak menurut Suandy (2011:23)
merupakan
bagian
kecil
dari
sebagai
seluruh
“suatu
perencanaan
strategik perusahaan”. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi untuk melihat
sejauh
mana
hasil
terhadap beban pajak. Mencari kembali rencana
pajak,
pelaksanaan kelemahan
suatu
dan
Suandy (2011:24)
perencanaan
kemudian
menyatakan
pajak
memperbaiki “hasil
suatu
perencanaan pajak bisa dikatakan baik atau tidak tentunya harus dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat”. Dengan demikian keputusan yang dengan
terbaik atas suatu
bentuk transaksi
perencanaan pajak harus sesuai
dan tujuan operasi. Perbandingan berbagai
39
rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai bentuk perencanaan pajak yang diinginkan. Kadang suatu rencana harus diubah mengingat adanya perubahan peraturan atau perundang-undangan. Sedangkan tahap terakhir pemutakhiran dari suatu dilakukan
sebagaimana
rencana dilakukan
adalah
konsekuensi yang perlu
oleh masyarakat yang dinamis.
Dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan datang maupun situasi yang terjadi saat ini, seorang manajer akan mampu mengurangi akibat yang merugikan dari adanya perubahan, dan pada saat yang bersamaan mampu mengambil kesempatan untuk memperolah manfaat yang potensial. Suandy (2011:119) menyatakan bahwa Secara umum penghematan pajak menganut prinsip the least and latest, yaitu membayar dalam jumlah seminimal mungkin dan pada waktu terakhir yang masih diizinkan oleh Undang-Undang dan peraturan perpajakan. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Mardiasmo (2006) bahwa pada dasarnya usaha penghematan pajak berdasarkan the least and latest rule, yaitu Wajib Pajak selalu berusaha menekan pajak sekecil mungkin dapat dilakukan
dengan
menekan
memperbesar biaya-biaya
yang
penghasilan-penghasilan boleh dikurangkan
dari
dan
atau
penghasilan
sehingga PKP menurun atau memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Perpajakan.
40
Usaha
penundaan
pembayaran perpajakan
yang
ada,
seperti
ketentuan yang berkaitan dengan penyusutan. Penundaan pajak selambat mungkin juga berkaitan erat dengan konsep time value of money
6. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) dan Penggelapan Pajak (Tax Evasion) Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan
domestik
maupun
perusahaan
multinasional
berusaha
meminimalkan beban pajak dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara. Di banyak negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi: a. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance). b. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).
Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang tidak
41
diperkenankan adalah aggressive tax planning dan istilah untuk penghindaran pajak
yang
diperkenankan
adalah
defensive
tax
planning.
Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara. Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Sedangkan
tax evasion diartikan sebagai
suatu skema
memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif. Berkaitan dengan tax avoidance, merupakan suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran pajak (tidak ada tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan
ketentuan
perpajakan
yang
ada
dapat
dibenarkan.
Dalam konteks perpajakan internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti :
a. transfer pricing b. thin capitalization c. treaty shopping d. controlled foreign corporation (CFC)
42
Adapun menurut Paulus Merks (2007:66), pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat menjalankan dalam bentuk:
a. Substantive tax planning, yang terdiri atas: 1) Memindahkan Subjek Pajak (transfer of tax subject) ke negaranegara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan. 2) Memindahkan Objek Pajak (transfer of tax subject) ke negaranegara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan. 3) Memindahkan Subjek Pajak dan Objek Pajak (transfer of tax subject and of tax object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan. b. Formal tax planning Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.
7. Rekonsiliasi
Laporan
Keuangan
Komersial
Dengan
Laporan
Keuangan Fiskal. Dalam laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiscal terdapat
perbedaan.
pengakuan
Hal
penghasilan
ini dan
disebabkan biaya.
Agar
karena
adanya
perbedaan
tidak
terjadi
perbedaan
43
pengakuan penghasilan dan biaya antara laporan keuangan komersial dan fiskal diperlukan rekonsiliasi laporan keuangan. Laporan disusun
keuangan
berdasarkan
komersial adalah laporan
prinsip
akuntansi
(SAK),
keuangan
sedangkan
yang
laporan
keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan Peraturan Perpajakan
dan
digunakan
untuk
keperluan
perhitungan
pajak. Menurut Gunadi (2008:201) ada beberapa penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal, yaitu: a. Perbedaan antara apa yang dianggap penghasilan menurut ketentuan perpajakan dan praktek akuntansi, misalnya kenikmatan natura (benefit in kinds), pembagian dividen (intercompany dividend), dan pembebasan utang. b. Ketidaksamaan pendekatan perhitungan penghasilan, misalnya metode depresiasi. c. Pemberian keringanan yang lain, misalnya laba rugi pelaporan aktiva, penghasilan hibah, penghasilan tidak kena pajak, perangsang penanaman, dan penyusutan dipercepat. d. Perbedaan perlakuan kerugian misalnya kerugian mancanegara atau harta yang tidak dipakai dalam usaha. Hal-hal yang menyebabkan adanya koreksi fiskal adalah : a. Adanya
perbedaan
antara
SAK
dengan
Undang-Undang
perpajakan, antara lain: 1) Perbedaan konsep pendapatan Dalam
hal
tertentu
apa
yang
dianggap
pendapatan
menurut SAK adalah bukan pendapatan menurut UndangUndang Pajak, misalnya
penerimaan
berupa
dividen
44
dianggap
penghasilan menurut
penghasilan
menurut
SAK
tetapi
Undang-Undang
bukan
Pajak,
sisa
cadangan kerugian piutang untuk bank, leasing, asuransi menurut SAK bukan penghasilan sedangkan dari segi pajak itu dianggap sebagai penghasilan. 2) Perbedaan cara pengukuran pendapatan Menurut SAK Pendapatan diukur sebesar jumlah yang dibebankan
kepada
pembeli, sedangkan
menurut
pajak
akan berbeda apabila ada transaksi yang nilanya tidak wajar karena hubungan istimewa. 3) Perbedaan konsep biaya Biaya
menurut
SAK
ekonomis dalam rangka Sedangkan
adalah
semua
memperoleh
barang
biaya menurut pajak adalah
mendapatkan, menagih dan memelihara pengeluaran-pengeluaran
pengorbanan atau
biaya
penghasilan
jasa. untuk atau
yang ada hubungannya langsung
dengan perolehan penghasilan. 4) Perbedaan pengukuran biaya Cara
pengukuran
biaya
bisa
saja
berbeda
apabila
terjadi transaksi yang tidak wajar karena adanya hubungan istimewa.
45
5) Pengukuran cara pembebanan biaya atau alokasi biaya a) Dalam
pajak
metode
menghitung penyusutan saldo
menurun dengan
yang
diperbolehkan
untuk
adalah metode garis lurus dan tarif
yang
telah
ditetapkan
Undang-Undang Pajak sedangkan metode yang lain tidak diakui. b) Penilaian persediaan yang diakui menurut UndangUndang Pajak FIFO
adalah
dengan
menggunakan
metode
(first in first out) dan metode rata-rata (average)
sedangkan metode yang lain tidak diakui. b. Adanya penghasilan yang telah dipotong atau dikenakan PPh final, sehingga penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari laporan laba rugi komersial (dikoreksi), misalnya bunga deposito. Suandy (2011:87) perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal dikelompokkan dalam: a. Perbedaan waktu (timming difference) Perbedaan waktu adalah perbedaan yang bersifat sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan semua penghasilan dan beban antara peraturan perpajakan dengan standar akuntansi keuangan. b. Perbedaan tetap (permanent difference) Perbedaan tetap adalah perbedaan yang terjadi karena pada peraturan perpajakan menghitung laba fiskal berbeda dengan perhitungan laba menurut standar akuntansi keuangan.
46
Jadi
rekonsiliasi dilakukan
karena
antara
laporan
komersial dan laporan keuangan fiskal berbeda yang
keuangan
disebabkan oleh
perbedaan antara pengakuan penghasilan dan beban serta pengakuan laba menurut perusahaan (SAK) dan menurut fiskus (Undang-Undang Perpajakan).
8. Pengaruh Perencanaan Pajak Terhadap Laba Perusahaan Pajak merupakan pajak pungutan berdasarkan Undang-Undang berdasarkan undang-undang oleh Pemerintahan terhadap laba perusahaan yang sebagian dipakai untuk penyediaan barang dan jasa publik.
Besarnya
dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Beban pajak langsung seperti umumnya ditanggung oleh orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Menurut Suandy (2011:5) Dalam praktek bisnis umumnya pengusaha mengidentifikasikan pembayaran pajak sebagai beban, sehingga akan berusaha untuk diminimalkan beban pajak tersebut untuk mengoptimalkan laba. Dalam rangka meningkatkan efesiensi dan daya saing maka perusahaan wajib menekan biaya seoptimal mungkin. Perencanaan pajak sangat berpengaruh pada laba perusahaan karena dengan perencanaan pajak, maka perusahaan dapat mengurangi beban pajaknya dengan
tidak
melanggar
peraturan perundangan yang berlaku.
Karena beban pajak yang kecil itulah maka laba perusahaan menjadi lebih besar dan perusahaan dinilai mempunyai likuiditas yang baik.
47
Manajemen pajak bukan bertujuan untuk mengurangi kewajiban pajak yang
sebenarnya terhutang
oleh Wajib Pajak, tetapi mengatur
sehingga pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya dan mencapai posisi yang efisien bagi Wajib Pajak tanpa melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku. Dengan adanya perencanaan pajak yang baik pada suatu perusahaan membantu Wajib Pajak dalam mengelola kewajibannya sehingga terhindar dari sanksi- sanksi yang timbul akibat adanya pelanggaran, serta merupakan salah satu alternatif bagi perusahaan untuk mencapai efesiensi pembiayaan perusahaan.