BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1.
Tempat Kerja Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, tempat kerja ialah tiap ruangan atau lapangan, terbuka atau tertutup, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air, di udara yang berada di wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Ketentuan-ketentuan tersebut berlaku dalam tempat kerja dimana: a.
Dibuat, dicoba, dipakai, atau dipergunakan mesin, pesawat, alat pekakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan;
b.
Dibuat, dioleh, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang mudah meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi;
c.
Dikerjakan, pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk bangunan pengairan, saluran, atau terowongan di bawah tanah atau sebagainya atau dimana dilakukan pekerjaan persiapan;
6
7
d.
Dilakukan
usaha:
pertanian,
perkebunan,
pembukaan
hutan,
pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan; e.
Dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan: emas, perak atau bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya, baik di permukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar perairan;
f.
Dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan, melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara;
g.
Dikerjakan bongkar muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok, stasiun dan gudang;
h.
Dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lainnya di dalam air;
i.
Dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah atau permukaan air;
j.
Dilakukan pekerjaan dibawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau rendah;
k.
Dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terpelosok, hanyut atau terpelanting;
l.
Dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lubang;
m. Terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran;
8
n.
Dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah;
o.
Dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan radio, radar, televisi atau telepon;
p.
Dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset (penelitian) yang menggunakan alat teknis;
q.
Dibangkitkan, dirubahkan, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas, minyak atau air;
r.
Diputar film, dipertunjukkan sandirawa atau diselenggarakan rekreasi lainnya yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik. Pengertian lain tempat kerja adalah lokasi maupun yang berkaitan
dengan aktivitas kerja di bawah kendali organisasi atau perusahaan (OHSAS 18001 : 2007 Occupational Health and Safety Management System). 2.
Proses Produksi Proses
adalah suatu cara, metode maupun teknik untuk
penyelenggaraan atau pelaksana dari suatu hal tertentu (Ahyari, 2006). Sedangkan produksi adalah kegiatan untuk mengetahui penambahan manfaat atau penciptaan faedah, bentuk, waktu, dan tempat atas faktorfaktor
produksi
yang
bermanfaat
bagi
pemenuhan
konsumen
(Reksohadiprodjo, 2000). Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mengenai proses produksi, yang dimaksud dengan proses produksi adalah suatu cara, metode maupun teknik bagaimana
9
penambahan manfaat atau penciptaan faedah, bentuk, waktu dan tempat atas faktor-faktor produksi sehingga dapat bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan konsumen. 3.
Forklift Pesawat angkat dan angkut ialah suatu pesawat atau alat yang digunakan untuk memindahkan, mengangkat muatan baik bahan atau barang secara vertikal dan atau horizontal dalam jarak yang ditentukan. Forklift adalah suatu alat yang paling efisien dalam menunjang proses produksi untuk memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain. Dalam hal pengoperasian forklift diperlukan prosedur kerja yang benar dan
aman
mulai
dari
menghidupkan
engine
sampai
dengan
menjalankannnya. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, dimana kesalahan dalam mengoperasikan forklift akan mengakibatkan kerusakan pada forklift itu sendiri maupun pada barang yang dipindahkan. Selain itu juga dapat mengakibatkan kecelakaan yang fatal pada operator maupun orang-orang yang berada di sekitar forklift (PT. Ispat Indo Sidoarjo, 2015). Prinsip kerja forklift ini menggunakan prinsip tuas atau prinsip keseimbangan. Bilamana prinsip tuas ini diterapkan pada forklift maka akan terlihat bahwa seluruh komponen yang berada di depan titik tumpu termasuk barang diangkat dan disebut beban (load), sedangkan seluruh komponen yang berada di belakang titik tumpu (cabin, counter weight, engine, operator, dan lain-lain) disebut penyeimbang atau dengan kata
10
lain jika beban yang diangkat mempunyai berat yang sama dengan berat pengimbang maka akan terjadi keseimbangan terhadap forklift. Jadi keseimbangan forklift terjadi karena berat barang sama dengan berat alat. Forklift dibagi di dalam 2 bagian utama, yaitu : Body truck yang tergabung rangkaian tenaga penggerak dan ruangan operator dan Mast yang merupakan perlengkapan kerja. Mast adalah alat mekanis pengangkat barang naik dan turun, miring ke depan untuk mengangkat barang atau miring ke belakang untuk menjaga barang agar tetap duduk pada posisinya. Jika forklift mengangkat barang berarti fork dan mast itulah yang menanggung beban dan langsung tertumpu pada roda depan. Oleh karena itu forklift dirancang, dimana berat unit dan barang itu seimbang dengan bagian roda depan sebagai sumbu (counterbalance). 4.
Potensi Bahaya a.
Definisi Bahaya Bahaya adalah segala sesuatu termasuk situasi atau tindakan yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau cedera pada manusia, kerusakan atau gangguan lainnya. Karena hadirnya bahaya maka diperlukan
upaya
pengendalian
agar
bahaya
tersebut
tidak
menimbulkan akibat yang merugikan (Ramli, 2009). Bahaya di lingkungan kerja adalah segala kondisi yang dapat memberi pengaruh yang merugikan terhadap kesehatan atau kesejahteraan orang yang terpajan di lingkungan kerja. Faktor
11
bahaya di lingkungan kerja meliputi faktor kimia, biologi, fisika, fisiologi dan psikologi. Ancaman bahaya lainnya adalah hal-hal berbahaya lainnya yang dapat melukai atau mengakibatkan sakit. Bahaya ini terkadang tidak tampak jelas karena tidak mengakibatkan masalah kesehatan dalam jangka waktu yang relatif pendek. Contoh: kebisingan, penyakit menular atau gerakan yang berulang-ulang (Suma’mur, 2009). b.
Potensi Bahaya Potensi bahaya (hazard) adalah sesuatu yang berpotensi menyebabkan
terjadinya
kerugian,
kerusakan,
cedera,
sakit,
kecelakaan atau bahkan dapat mengakibatkan kematian yang berhubungan dengan proses dan system kerja. Identifikasi potensi bahaya di tempat kerja yang berisiko menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja antara lain disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah (Tarwaka, 2014) : 1) Kegagalan Komponen, antara lain berasal dari: a) Rancangan komponen pabrik termasuk peralatan/mesin dan tugas-tugas yang tidak sesuai dengan kebutuhan pemakai; b) Kegagalan yang bersifat mekanis; c) Kegagalan sistem pengendalian; d) Kegagalan sistem pengamanan yang disediakan; e) Kegagalan operasional peralatan kerja yang digunakan; dan lain-lain.
12
2) Kondisi yang menyimpang dari suatu pekerjaan, dapat terjadi akibat: a) Kegagalan pengawasan atau monitoring; b) Kegagalan manual suplai dari bahan baku; c) Kegagalan pemakaian dari bahan baku; d) Kegagalan dalam prosedur shut-down dan start-up; e) Terjadinya pembentukan bahan antara, bahan sisa dan sampah yang berbahaya; dan lain-lain. 3) Kesalahan manusia dan organisasi, seperti: a) Kesalahan operator/manusia; b) Kesalahan sistem pengaman; c) Kesalahan dalam mencampur bahan produksi berbahaya; d) Kesalahan komunikasi; e) Kesalahan atau kekurangan dalam upaya perbaikan dan perawatan alat; f)
Melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak sah atau tidak sesuai prosedur kerja aman; dan lain-lain.
4) Pengaruh kecelakaan dari luar, yaitu terjadinya kecelakaan dalam suatu industri akibat kecelakaan lain yang terjadi di luar pabrik, seperti: a) Kecelakaan pada waktu pengangkutan produk; b) Kecelakaan pada stasiun pengisian bahan; c) Kecelakaan pada pabrik disekitarnya; dan lain-lain.
13
5) Kecelakaan akibat adanya sabotase, yang biasa dilakukan oleh orang luar ataupun dari dalam pabrik, biasanya hal ini akan sulit untuk diatasi atau dicegah, namun faktor ini frekuensinya sangat kecil dibanding dengan faktor penyebab lainnya. c.
Macam-macam Sumber Bahaya Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 menjelaskan bahwa di tempat kerja terdapat sumber bahaya yang dapat mengancam keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, yang dimaksud sumber bahaya yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja diantaranya adalah: 1) Bangunan, Peralatan dan Instalasi Konstruksi bangunan yang tidak kokoh, desain tempat kerja yang tidak tepat, instalasi dan peralatan kerja yang tidak memenuhi syarat merupakan salah satu sumber bahaya yang dapat menimbulkan kecelakaan. Segala instalasi dan peralatan kerja sebelum dioperasikan harus melewati tahap percobaan oleh orang yang ahli agar memenuhi standar yang telah ditentukan sehingga tidak berpotensi menimbulkan bahaya dan kecelakaan. Perawatan terhadap mesin alat kerja lainnya harus dilakukan bukan hanya menurut waktu penjadwalan namun juga berdasarkan kondisi bagian-bagiannya. Peralatan yang digunakan harus dilengkapi
14
dengan alat pengaman untuk menghindari potensi terjadinya kecelakaan kerja. 2) Material Setiap material yang digunakan dalam proses kerja memiliki
sifat
dan tingkat
bahaya
yang berbeda-beda,
diantaranya (Sahab, 1997): a) Mudah terbakar; b) Menimbulkan energi; c) Mudah meledak; d) Menimbulkan kerusakan pada kulit dan jaringan; e) Menyebabkan kanker; f)
Menyebabkan kelainan pada janin;
g) Bersifat racun dan radioaktif. 3) Proses Proses produksi yang dilakukan perusahaan, merupakan serangkaian proses majemuk yang cukup rumit. Proses produksi tidaklah menutup kemungkinan akan menimbulkan terjadinya kecelakaan, yang akan mengarah pada timbulnya keadaan darurat. Bahaya yang timbul dari proses tergantung dari kemajemukan atau kompleksitas teknologi yang dipakai (Tarwaka, 2008).
15
4) Manusia dan Cara Kerja Salah satu sumber bahaya yang paling besar berasal dari manusia, yang dimaksud manusia disini adalah tenaga kerja maupun pihak manajemen. Beberapa penyebab kecelakaan yang berasal dari tenaga kerja antara lain (Silalahi dkk, 1995): a) Tenaga kerja yang kurang bergairah dalam bekerja; b) Kurang keterampilan dari tenaga kerja; c) Sedang terganggu emosinya. Cara kerja yang tidak benar dapat membahayakan tenaga kerja, orang lain, dan lingkungan sekitar. Cara kerja yang demikian antara lain mengangkat dan mengangkut, apabila dilakukan dengan cara yang salah dapat mengakibatkan cedera, dan yang paling sering adalah cedera tulang punggung (Sahab, 1997). 5) Lingkungan Kerja Lingkungan kerja adalah lingkungan dimana tenaga kerja melakukan pekerjaannya. Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan para tenaga kerja untuk bekerja secara optimal (Mardiana, 2005). d.
Identifikasi Bahaya Identifikasi
bahaya
merupakan
landasan
dari
program
pencegahan kecelakaan atau pengendalian risiko. Tanpa mengenal bahaya, maka risiko tidak dapat ditentukan sehingga upaya
16
pencegahan dan pengendalian risiko tidak dapat dijalankan. Identifikasi bahaya memberikan berbagai manfaat, antara lain (Suma’mur, 2009) : 1) Mengurangi peluang kecelakaan karena identifikasi bahaya berkaitan
dengan
faktor
penyebab
kecelakaan.
Dengan
melakukan identifikasi bahaya maka berbagai sumber bahaya yang merupakan pemicu kecelakaan dapat diketahui kemudian dihilangkan sehingga kemungkinan kecelakaan dapat ditekan. 2) Untuk memberikan pemahaman bagi semua pihak (pekerjamanajemen dan pihak terkait lainnya) mengenai potensi bahaya dari
aktivitas
perusahaan
sehingga
dapat
meningkatkan
kewaspadaan dalam menjalankan operasi perusahaan. 3) Sebagai landasan sekaligus masukan untuk menentukan strategi pencegahan dan pengamanan yang tepat dan efektif. Dengan mengenal bahaya yang ada, manajemen dapat menentukan skala prioritas penanganannya sesuai dengan tingkat risikonya sehingga diharapkan hasilnya akan lebih efektif. 4) Memberikan informasi yang terdokumentasi mengenai sumber bahaya dalam perusahaan kepada semua pihak khusunya pemangku kepentingan. Dengan demikian mereka dapat memperoleh gambaran mengenai risiko suatu bahaya yang akan dilakukan.
17
Identifikasi bahaya merupakan suatu proses yang dapat dilakukan untuk mengenali seluruh situasi atau kejadian yang berpotensi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin timbul di tempat kerja. Suatu bahaya di tempat kerja mungkin nampak jelas dan terlihat, seperti: sebuah tangki berisi bahan kimia, atau mungkin juga tidak nampak dengan jelas atau tidak kelihatan, seperti: radiasi, gas pencemar di udara. Proses identifikasi bahaya dapat dilakukan dengan urutan (Tarwaka, 2008) : 1) Membuat daftar semua obyek meliputi mesin, peralatan kerja, bahan, proses kerja, sistem kerja dan kondisi kerja yang ada di tempat kerja. 2) Memeriksa semua obyek yang ada di tempat kerja. 3) Melakukan wawancara dengan tenaga kerja yang bekerja di tempat kerja yang berhubungan dengan obyek-obyek tersebut. 4) Mereview kecelakaan, cacatan P3K dan informasi lainnya. 5) Mencatat seluruh bahaya yang telah teridentifikasi. Kesuksesan ini dapat dilihat bila seluruh risiko di tempat kerja dapat teridentifikasi dengan sempurna. Tujuan dilakukan identifikasi bahaya adalah untuk mengenali seluruh macam bahaya yang ada di tempat kerja, sehingga dapat dilakukan pengendalian terhadap bahaya tersebut (Ramli, 2010). Hal yang dapat dilihat dalam identifikasi bahaya adalah:
18
1) Apa yang terjadi Dalam melakukan identifikasi bahaya perlu diungkap dengan detail tentang apa yang dapat terjadi dan dampak apa yang timbul dari kejadian tersebut. 2) Bagaimana dan mengapa hal itu terjadi Dalam kegiatan identifikasi bahaya perlu juga bagaimana kejadian itu dapat terjadi dengan membuat skenario kejadian dan juga perlu dilihat penyebab dari kejadian tersebut. Dalam mengidentifikasi bahaya dapat dilakukan dengan beberapa alat atau instrument yang dapat memudahkan untuk mengenali komponen diatas. e.
Persyaratan Identifikasi Bahaya Identifikasi
harus
dilakukan
secara
terencana
dan
komprehensif. Banyak perusahaan yang telah melakukan identifikasi bahaya namun kecelakaan masih dapat terjadi dan angka kecelakaan dinilai masih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa proses identifikasi bahaya yang dilakukan belum berjalan dengan efektif. Terdapat beberapa hal yang dapat mendukung dalam keberhasilan proses identifikasi bahaya, yaitu (Suma’mur, 2009) : 1) Identifikasi bahaya harus sejalan dan relevan dengan aktivitas perusahaan, sehingga dapat berfungsi dengan baik. Hal ini sangat menentukan dalam memilih teknik identifikasi bahaya yang tepat bagi perusahaan.
19
2) Identifikasi harus selalu dinamis dan mempertimbangkan adanya teknologi dan ilmu terbaru. Banyak bahaya yang sebelumnya belum dikenali tetapi saat ini menjadi suatu potensi besar. Karena itu, dalam melakukan identifikasi bahaya mesti selalu mempertimbangkan kemungkinan adanya teknik baru atau sistem pencegahan yang telah dikembangkan. 3) Keterlibatan semua pihak terkait dalam proses identifikasi bahaya. Proses identifikasi bahaya harus melibatkan atau dilakukan melalui konsultasi dengan pihak terkait misalnya dengan pekerja. Mereka paling mengetahui adanya bahaya dilingkungan
kerjanya
masing-masing.
Mereka
juga
berkepentingan dengan pengendalian bahaya di tempat kerjanya. Identifikasi bahaya juga berdasarkan masukan dari pihak lain misalnya konsumen atau masyarakat sekitar. Konsumen biasanya mengetahui berbagai kelemahan dan kondisi berbahaya yang ada dalam jasa atau produk yang dihasilkan. 4) Ketersediaan metode, peralatan, referensi, data dan dokumen untuk mendukung kegiatan identifikasi bahaya. Salah satu sumber informasi misalnya data kecelakaan yang pernah terjadi baik internal maupun eksternal perusahaan. 5) Akses terhadap regulasi yang berkaitan dengan aktivitas perusahaan termasuk juga pedoman industri dan data seperti Safety Data Sheet (SDS).
20
5.
Hirarki Pengendalian Pengendalian bahaya merupakan langkah penting dan menetukan dalam kesuluruhan manajemen bahaya. Jika pada tahapan sebelumnya lebih banyak bersifat konsep dan perencanaan, maka pada tahap ini sudah memakai realisasi dari upaya pengelolaan bahaya dalam perusahaan (Tarwaka, 2014). Bahaya yang diidentifikasi, diketahui besar potensi bahaya akibatnya harus dikelola dengan tepat, efektif dan sesuai dengan kemampuan dan kondisi perusahaan. Pengendalian bahaya dapat dilakukan dengan berbagai pilihan, misalnya dengan dihindarkan, dialihkan kepada pihak lain atau dikelola dengan baik (Suma’mur, 2009). OHSAS 18001 : 2007 klausul 4.3.1 memberikan pedoman pengendalian bahaya yang lebih spesifik untuk potensi bahaya K3 dengan pendekatan sebagai berikut : a. Eliminasi merupakan proses untuk menghilangkan bahaya secara keseluruhan. Jika sumber bahaya dapat dihilangkan maka risiko yang akan timbul dapat dihindarkan. b. Subtitusi merupakan penggantian material, bahan, proses yang mempunyai nilai risiko yang tinggi dengan yang mempunyai nilai risiko lebih kecil atau mengganti dengan yang lebih aman, sehingga pemaparannya selalu dalam batas yang masih diterima. c. Rekayasa
teknik
merupakan
tindakan
pengendalian
yang
memodifikasi sruktur objek kerja untuk mencegah seseorang terpapar
21
terhadap potensi bahaya sehingga potensi bahaya yang ada dapat berkurang. d. Adminitrasi
merupakan
pengendalian
administrasi
dengan
mengurangi tingkat risiko atas potensi bahaya yang mungkin timbul dengan cara melakukan atau menetapkan aturan, prosedur dan cara kerja yang aman. e. Alat Pelindung Diri (APD) merupakan pilihan terakhir dalam hirarki kontrol. APD tidak menghilangkan bahaya melainkan hanya mengurangi bahaya yang ditimbulkan. Keberhasilan pengendalian ini tergantung dari APD yang yang dikenakan itu sendiri, artinya APD yang digunakan haruslah sesuai dan dipilih dengan benar. APD wajib digunakan sesuai wilayah kerja yang dilakukan. 6.
Inspeksi Inspeksi adalah sistem yang baik untuk menemukan suatu masalah dan menaksir jumlah risiko sebelum terjadi accident dan kerugian lain yang dapat muncul (Bird dan Germain, 1990). Inspeksi merupakan pemeriksaan secara visual terhadap peralatan dan untuk diyakinkan terlihat dalam kondisi baik untuk dioperasikan, serta tidak ada kerusakan fisik atau berkurangnya kelengkapan dan ukuran peralatan yang ada. Peralatan diyakinkan di tempatkan pada posisi yang benar (PT. Ispat Indo Sidoarjo, 2015). Program inspeksi K3 yang efektif merupakan suatu program pencegahan untuk menjamin agar lingkungan kerja selalu aman, sehat
22
dan selamat. Klasifikasi Inspeksi dibagi menurut tujuan inspeksi yang akan dilakukan. Tujuan Inspeksi pada dasarnya melakukan inspeksi keselamatan kerja tidak hanya bertujuan untuk mencari kesalahan, tetapi maksud utamanya adalah untuk menyakinkan apakah semua tata kerja dilaksanakan sesuai dengan norma-norma keselamatan. Unsafe act dan unsafe condition, semua itu adalah symptoms (gejala-gejala) adanya suatu ketimpangan dalam sistem manajemen. Dengan adanya prinsip tersebut maka melalui inspeksi keselamatan kerja tidak hanya unsafe act dan unsafe condition saja yang diamati, tetapi justru bahaya-bahaya yang terselubung di balik kedua kondisi tersebut perlu ditelusuri dan diungkapkan (Alkon, 1998). Menurut Bird dan Germain (1986), program inspeksi harus dilakukan secara terstruktur dan mempunyai beberapa tujuan umum, seperti: a. Menentukan masalah potensial yang dapat muncul sejak dini yang tidak dapat tertangani pada saat proses desain atau analisa tugas; b. Menemukan ketidakberesan peralatan; c. Menemukan perlaku kerja yang tidak aman atau substandar; d. Menemukan dampak perubahan pada suatu proses kerja atau pada material; e. Menemukan tindakan koreksi yang sesuai; f. Memberikan input bagi perusahaan;
23
g. Menunjukkan komitmen manajemen. Jenis inspeksi pada umumnya meliputi : a. Inspeksi Informal Inspeksi informal dilaksanakan sewaktu-waktu dalam aktivitas sehari-hari yang mana waktunya tidak terencana dan juga atas kesadaran orang-orang yang menemukan atau melihat masalah K3 di dalam pekerjaanya sehari-hari. b. Inspeksi Terencana Inspeksi formal atau inspeksi terencana merupakan suatu kegiatan inspeksi yang waktu pelaksanaannya telah ditentukan. Inspeksi formal yang dilakukan meliputi inspeksi umum dan inspeksi khusus. Inspeksi rutin (umum) terhadap sumber-sumber bahaya (hazard) di tempat kerja secara menyeluruh. Inspeksi khusus terhadap objek-objek atau area tertentu mempunyai risiko tinggi terhadap kerugian dan kecelakaan kerja. Inspeksi khusus dilakukan berdasarkan adanya keluhan atau komplain dari tenaga kerja di suatu unit kerja. Inspeksi khusus dilakukan berdasarkan adanya permintaan atau instruksi dari pengurus perusahaan. c. Macam-macam Inspeksi K3 Berdasarkan waktu pelaksanaannya, inspeksi dapat dibagi menjadi: 1) Inspeksi Informal a) Merupakan inspeksi yang tidak terencana;
24
b) Inspeksi yang bersifat sederhana; c) Dilakukan atas kesadaran orang-orang yang menemukan atau melihat masalah K3 di dalam pekerjaanya sehari-hari; d) Jika ditemukan masalah maka langsung dapat dideteksi, dilaporkan dan segera dapat dilakukan tindakan korektif; e) Keterbatasan : Inspeksi tidak dilakukan secara sistematik sehingga tidak bisa mencakup gambaran permasalahan secara keseluruhan; f) Akan sangat efektif bila inspeksi informal ini dijadikan kebijakan manajemen; g) Masalah-masalah
yang
ditemukan
langsung
dapat
didokumentasikan berupa catatan singkat atau foto sesuai prosedur dan di buat laporan secara sederhana. 2) Inspeksi Rutin atau Umum a) Direncanakan dengan cara Walk Through Survey keseluruh area kerja dan bersifat komprehensif; b) Jadwal pelaksanakan rutin. (sudah ditentukan : 1x bulan); c) Dilakukan bersama-sama ahli K3 atau perwakilan tenaga kerja dengan pihak manajemen; d) Bagi perusahaan yang tidak memiliki ahli K3 sendiri, dapat menggunakan ahli K3 dari luar perusahaan yang akan membantu
memberikan
saran-saran
masalah-masalah K3 di tempat kerja;
tentang
penanganan
25
e) Pelaksanaan Inspeksi terhadap sumber-sumber bahaya pada area khusus sebaiknya dilakukan dengan melibatkan seseorang yang mempunyai keahlian khusus; f) Hasil yang ditemukan segera ditindak lanjuti, dan setiap permasalahan yang telah diidentifikasi dari hasil survey harus selalu tercatat dan dibukukan; g) Setiap laporan inspeksi harus inspeksi harus ditandatangani oleh penanggung jawab kegiatan inspeksi; h) Hasil inspeksi yang telah ditulis dalam bentuk laporan harus disampaikan kepada pihak manajemen, sehingga langkah perbaikan segera dilakukan.
26
B. Kerangka Pemikiran Tempat Kerja
Proses Produksi
Automatic Handling
Penggunaan Forklift
Potensi Bahaya
Hirarki Pengendalian
Eliminasi
Subtitusi
Rekayasa Teknik
Administratif
Inspeksi
Dilaksanakan
Tidak Dilaksanakan
Safe Condition
Kerugian
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
APD E V A L U A S I