BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Sistem Produksi Toyota 2.1.1 Pengertian Sistem Produksi Toyota Menurut Monden (2000), Sistem Produksi Toyota dikembangkan dan dipromosikan oleh Toyota Motor Corporation. Tujuan utama dari sistem ini adalah menyingkirkan pemborosan lewat aktivitas perbaikan dan berbagai jenis pemborosan yang tersembunyi dalam perusahaan. Tujuan utama Sistem Produksi Toyota adalah: 1) Laba lewat pengurangan biaya Sistem Produksi Toyota adalah suatu metode ampuh untuk membuat produk karena sistem ini merupakan alat efektif untuk menghasilkan tujuan akhir laba. Untuk mencapai maksud ini, tujuan utama Sistem Produksi Toyota adalah pengurangan biaya atau perbaikan produktivitas dicapai dengan menghasilkan berbagai pemborosan seperti misalnya persediaan yang terlalu banyak dan tenaga kerja yang terlalu banyak. 2) Penghilangan produksi berlebihan pertimbangan utama bagi Sistem Produksi Toyota
adalah pengurangan biaya
dengan sama
sekali
menghapuskan
pemborosan. Ada empat jenis pemborosan dalam operasi produksi yaitu: Sumberdaya produksi terlalu banyak Produksi berlebihan Persediaan terlalu banyak Investasi modal yang tidak perlu 2.1.2 Just In Time (JIT) Sistem produksi tepat waktu (Just In Time) adalah sistem produksi atau sistem manajemen fabrikasi modern yang dikembangkan oleh perusahaanperusahaan Jepang yang pada prinsipnya hanya memproduksi jenis-jenis barang yang diminta sejumlah yang diperlukan dan pada saat dibutuhkan oleh konsumen (Monden, 2000).
5
Monden (2000) menyatakan bahwa ide dasar sistem produksi tepat waktu (Just In Time) yaitu menghasilkan sejumlah barang yang diperlukan pada saat diminta dengan menghilangkan segala macam bentuk pemborosan waktu yang tidak diperlukan sehingga diperoleh biaya produksi yang rendah dan melakukan proses yang berkesinambungan. JIT mulai digunakan pada Sistem Produksi Toyota sebagai dampak dari krisis minyak di tahun 1973, kemudian banyak dipakai oleh perusahaan Jepang untuk mengantisipasi semakin variatifnya permintaan konsumen dan semakin kritisnya konsumen dalam menentukan produk yang diinginkan. Terdapat
empat
konsep
pokok
yang
harus
dipenuhi
dalam
melaksanakan Just In Time (JIT): Produksi Just In Time (JIT), adalah memproduksi apa yang dibutuhkan hanya pada saat dibutuhkan dan dalam jumlah yang diperlukan. Autonomasi merupakan suatu unit pengendalian cacat secara otomatis yang tidak memungkinkan unit cacat mengalir ke proses berikutnya. Tenaga kerja fleksibel, maksudnya adalah mengubah-ubah jumlah pekerja sesuai dengan fluktuasi permintaan. Berpikir kreatif dan menampung saran-saran karyawan. 2.2 Definisi Lean Thinking Gaspersz (2007) menyatakan lean merupakan suatu upaya terus menerus untuk menghilangkan pemborosan atau waste dan meningkatkan nilai tambah (value added) produk barang maupun jasa agar memberikan nilai kepada pelanggan atau costumer value. Tujuan untuk lean ialah untuk menigkatkan costumer value melalui peningkatan terus menerus rasio antara nilai tambah terhadap waste (the waste value to waste ratio). APICS Dictionary dalam Lean Six Sigma for Manufacture and Service Industries, mendefinisikan lean sebagai suatu filosofi bisnis yang berlandaskan pada minimisasi penggunaan sumber-sumber daya dalam berbagai aktivitas perusahan. Sumber daya yang dimaksud tersebut adalah termasuk juga didalamnya yaitu waktu.
6
Menurut Gaspersz (2007), fokus lean ialah pada identifikasi dan eliminasi seluruh aktivitas yang tidak memberi nilai tambah dalam proses desain, produksi untuk bidang manufaktur atau operasi untuk bidang jasa, dan supply chain management yang berkaitan secara langsung dengan pelanggan. Aktivitas yang tidak memberi nilai tambah tersebut dalam istilah lain disebut non value adding activities. Lean merupakan suatu pendekatan sistemik dan sistematik untuk menghilangkan suatu pemborosan atau waste hingga aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah melalui peningkatan terus menerus secara radikal dengan cara mengalirkan produk (material, work in process, output) dan informasi menggunakan pull system dari pelanggan internal dan eksternal untuk mengejar keunggulan dan kesempurnaan. Dalam seluruh perusahaan atau lean enterprise memiliki tiga tujuan di antaranya: 1. Pada level customer, bertujuan untuk mencapai highest satisfication of needs. 2.
Pada level process, bertuan untuk mencapai total elimination of muda or waste.
3.
Pada level employee, bertujuan untuk mencapai respect for human dignity
2.3 Prinsip Lean Menurut Gaspersz (2007), dalam Lean Six Sigma terdapat lima prinsip dasar lean, sebagai berikut: 1. Mengidentifikasikan nilai produk (barang dan atau jasa) berdasarkan perspektif pelanggan, dimana pelanggan selalu menginginkan produk yang berkualitas superior, dengan harga yang kompetitif, dan dengan penyerahan yang tepat waktu. 2. Mengidentifikasi value stream process mapping atau pemetaan proses pada value stream untuk setiap produk ataupun jasa. 3. Menghilangkan pemborosan yang tidak bernilai tambah dari seluruh aktivitas sepanjang proses value stream tersebut. 4. Mengorganisasikan agar material, informasi, dan produk mengalir secara lancar dan efisien sepanjang proses value stream menggunakan sistem tarik (pull system) .
7
5. Terus
menerus
mencari
berbagai
teknik
dan
alat
peningkatan
(improvement tools and techniques) untuk mencapai keunggulan dan peningkatan terus menerus. Gaspersz (2007) menyatakan pada dasarnya konsep lean adalah konsep perampingan atau efisiensi. Konsep ini dapat diterapkan pada
perusahaan
manufaktur maupun jasa, karena pada dasarnya konsep efisiensi akan selalu menjadi suatu target yang ingin dicapai oleh perusahaan. Lean sepenuhnya berbicara tentang eliminasi “muda” atau waste, oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui benar konsepnya. Waste dapat didefinisikan sebagai segala aktivitas kerja yang tidak bernilai tambah dalam proses transformasi input menjadi output sepanjang value stream. 2.4 Waste (Pemborosan) Menurut Gaspersz (2007), terdapat dua jenis utama dalam waste (pemborosan), yaitu Type One Waste dan Type Two Waste. Type One Waste adalah segala aktivitas yang tidak bernilai tambah dalam proses transformasi input menjadi output sepanjang value stream, tetapi aktivitas itu pada saat sekarang tidak dapat dihindarkan karena berbagai alasan. Contoh aktivitas inspeksi dan penyortiran dalam sudut pandang lean merupakan aktivitas yang tidak bernilai tambah sehingga merupakan waste, namun aktivitas tersebut tidak dapat terhindari. Demikian pula pengawasan terhadap orang, misalnya yang merupakan aktivitas yang tidak bernilai tambah, namun pada saat sekarang kita masih harus melakukannya, karena orang tersebut baru saja direkrut oleh perusahaan sehingga belum berpengalman. Menurut Gaspersz (2007), dalam konteks ini aktivitas inspeksi, penyortiran, dan pengawasan dikategorikan sebagai Type One Waste. Dalam jangka panjang Type One Waste harus dapat dihilangkan atau dikurangi. Type One Waste ini sering disebut sebagai Incidental Activity atau Incidental Work yang termasuk dalam aktivitas yang tidak bernilai tambah (non value adding work or activity). Type Two Waste merupakan aktivitas yang tidak menciptakan nilai tambah dan dapat dihilangkan segera. Misalnya, menghasilkan produk cacat (defect) atau melakukan kesalahan (error) yang harus dapat dihilangkan dengan
8
segera. Type Two Waste ini sering disebut sebagai waste saja, karena merupakan benar-benar pemborosan yang harus dapat diidentifikasi dan dihilangkan dengan segera.
Over Production Motion
Transport Lean
Defects
Waiting
Over Quality
Inventory
Gambar 2.1 Types of Waste Sumber: Gaspersz (2007) Keterangan : Defects adalah jenis pemborosan yang terjadi karena kecacatan atau kegagalan produk (barang dan atau jasa). Over production adalah jenis pemborosan yang terjadi karena produksi berlebih dari kuantitas yang dipesan oleh pelanggan. Waiting adalah jenis pemborosan yang terjadi karena menungu. Transportation adalah jenis pemborosan yang terjadi karena tranportasi yang berlebihan sepanjang proses value stream (proses dari awal produksi sampai kepada tangan konsumen). Inventories adalah jenis pemborosan yang terjadi karena persediaan yang berlebihan. Motion adalah jenis pemborosan yang terjadi karena banyaknya pergerakan dari yang seharusnya sepanjang value stream. Excess Processing adalah jenis pemborosan yang terjadi karena langkahlangkah proses yang panjang dari yang seharusnya sepanjang proses value stream.
9
2.5 Aktifitas Bernilai Tambah (Value-Added) Gaspersz (2007) menyatakan dalam prinsip Lean Six Sigma, value adalah segala faktor yang membuat pelanggan bersedia membayar. Value adalah kualitas dan nilai tambah yang akan menguntungkan pelanggan. Dengan demikian, value adalah faktor yang menentukan kepuasan pelanggan, begitu juga kesuksesan bisnis anda. Menurut Gaspersz (2007), aktifitas yang bernilai tambah atau valueadded adalah aktifitas yang bernilai dan menghasilkan produk atau output yang sempurna (sesuai target dan tanpa cacat). Pelanggan hanya bersedia membayar jika mereka mendapatkan nilai tambah atau value. Jika mereka merasa telah membuang uang untuk sesuatu yang tidak bernilai tambah /non-valuabe, mereka akan beralih kepada orang lain yang menawarkan lebih banyak value. Untuk melakukan pekerjaan yang bernilai tambah, ada tiga faktor yang perlu diperhatikan, yaitu: Kapasitas pada karyawan seperti peralatan dan mesin harus digunakan sesuai dengan kapasitas maksimalnya yang digunakan untuk bekerja dan menambahkan value pada pekerjaan tersebut. Informasi dan instruksi karyawan harus menerima instruksi dan informasi yang layak dan lengkap mengenai pekerjaannya untuk menyelesaikan pekerjaan dengan sesedikit mungkin aktifitas non-value-add, juga dengan sesedikit mungkin waste. Memaksimalkan material yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. 2.6 Aktifitas Tidak Bernilai Tambah (Non-Value-Added) Gaspersz (2007) menyatakan aktifitas tanpa nilai tambah atau dapat juga disebut waste, merupakan aktifitas yang tidak diperlukan dan tidak memberikan keuntungan yang terjadi pada proses, baik proses produksi, proses pelayanan, dan sebagainya. Contohnya, Anda membayar seorang kurir untuk mengantar 100 barang pesanan perhari. Namun kenyataannya kurir tersebut hanya mampu
10
mengantar 50 barang karena dalam pekerjaannya ia banyak melakukan waste, misalnya delay karena merokok beberapa kali, terlalu lama mencari alamat, dan sebagainya. Tentunya ini akan sangat merugikan anda dan akan membuat pelanggan kecewa. Ada tujuh macam waste atau aktifitas tanpa nilai tambah yang sering terjadi. Diantaranya adalah transportasi, waktu tunggu (idle/waiting time), produksi berlebih, inventori berlebih, proses berlebihan, gerakan yang tak perlu, serta defect (cacat). Segala aktifitas waste ini harus dihilangkan jika anda ingin memberikan value yang akan membuat pelanggan anda setia (Gaspersz, 2007).
2.7 Peranan dan Fungsi Gudang Arwani (2009) menyatakan peranan gudang dapat dikategorikan dalam tiga fungsi: 1. Fungsi penyimpanan (storage and movement) Fungsi paling mendasar dari gudang adalah tempat penyimpanan barang, baik barang mentah, setengah jadi, maupun barang jadi. 2. Fungsi melayani permintaan pelanggan (order full filment) Aktivitas penerimaan barang dari manufaktur atau suplier dan memenuhi permintaan dari cabang atau pelanggan menjadikan gudang sebagai aktivitas logistik. Gudang berperan untuk menyediakan pelayanan dengan menjamin ketersediaan produk dan siklus order yang resonable. Sistem ini akan menurunkan biaya, karena pengiriman dari manufaktur bisa dibuat secara berkala, cukup dengan kuantitas truk atau mobil box. Dengan penyiapan stock dengan jumlah tertentu, akan membantu manufaktur dari permintaan yang tidak tetap. 3. Fungsi distribusi dan konsolidasi (distribution and consolidation) Fungsi distribusi ini menjadikan gudang sebagai kepanjangan tangan dari penjualan dan pemasaran untuk memastikan penyampaian produk dan informasi terhadap pelanggan sebagai titik penjualan (point of sale). Fungsi ini tercipta sebagai akibat dari karakteristik biaya transportasi. Pengiriman dalam jumlah yang besar, secara otomatis lebih murah biayanya dibandingkan dengan pengiriman dalam jumlah yang lebih kecil.
11
Dalam sistem tertentu, fungsi distribusi dan konsolidasi menjadi fungsi utama dari gudang distribusi. 2.8 Teknik Perancangan Sistem Kerja Sutalaksana (2006) menyatakan Perancangan Sistem Kerja adalah suatu ilmu yang terdiri dari teknik-teknik dan prinsip-prinsip untuk mendapatkan suatu rancangan sistem kerja yang lebih baik. Prinsip-prinsip ini memiliki tujuan untuk mencapai tingkat efektivitas dan efisiensi yang lebih tinggi bagi perusahaan serta, aman, sehat, dan nyaman bagi pekerja itu sendiri. Tujuan-tujuan tersebut dikemas menjadi EASNE. Sistem kerja terdiri dari manusia, bahan, perlengkapan, dan peralatan (mesin, perkakas, pembantu, lingkungan kerja, dan keadaan pekerjaan-pekerjaan lainnya), empat komponen ini memiliki peran besar dalam mencapai efisiensi dan produktivitas kerja. Ketika kita berbicara tentang efisiensi, maka yang muncul di pikiran orang awam adalah perbandingan hasil kerja yang dicapai dengan ongkos yang dikeluarkan. Ilmu Perancangan Sistem Kerja, “ongkos” disini meliputi waktu yang dihabiskan, tenaga yang dikeluarkan atau akibat psikologis dan sosiologis dari pekerjaan yang bersangkutan. Semakin sedikit ongkos, maka semakin efisien pula sistem kerjanya (Sutalaksana, 2006). Sutalaksana (2006) menyatakan pengukuran waktu kerja merupakan usaha untuk menentukan lama kerja yang dibutuhkan oleh seorang operator dalam menyelesaikan suatu pekerjaan yang spesifik pada tingkat kecepatan kerja yang normal dalam lingkungan kerja yang terbaik pada saat itu. Waktu merupakan elemen yang sangat menentukan da1am merancang atau memperbaiki suatu sistem kerja. Peningkatan efisiensi suatu sistem kerja mutlak tiga berhubungan dengan waktu kerja yang digunakan da1am berproduksi. Secara umum teknik pengukuran waktu kerja dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1. Secara langsung Jam henti (stop watch jam) Sampling kerja (work sampling) 2. Secara tidak langsung Data waktu baku (standart data)
12
Data waktu gerakan (Predetermined time system) Menurut Sutalaksana (2006) kelebihan dan kekurangan dari suatu pengukuran kerja langsung dan tidak langsung yaitu: 1. Pengukuran langsung Kelebihan: Praktis, mencatat waktu saja tanpa harus menguraikan pekerjaan ke dalam elemen-elemen pekerjaannya. Kekurangannya: Dibutuhkan waktu lebih lama untuk memperoleh data waktu yang banyak Tujuannya: Hasil pengukuran teliti dan akurat. Biaya lebih mahal karena harus pergi ketempat dimana pekerjaan pengukuran kerja berlangsung. 2. Pengukuran tidak langsung Kelebihan: Waktu relatif singkat, hanya mencatat elemen-elemen gerakan pekerjaan satu kali saja. Biaya lebih murah. Kekurangan: Belum ada data waktu gerakan berupa tabel-tabel waktu gerakan yang menyeluruh dan rinci. Tabel yang digunakan adalah untuk orang Eropa tidak cocok untuk orang Indonesia. Dibuthkan ketelitian tinggi untuk seorang pengamat pekerjaan karena akan berpengaruh terhadap hasil perhitungan. Data waktu gerakan harus disesuaikan dengan kondisi pekerjaan, misal: elemen pekerjaan kantor tidak sama dengan elemen pekerjaan pabrik. 2.9 Diagram Fishbone Menurut Gaspersz (2007), diagram tulang ikan atau diagram fishbone adalah salah satu metode atau tool di dalam meningkatkan kualitas. Sering juga
13
diagram ini disebut dengan diagram Sebab akibat atau cause effect diagram. Penemunya adalah seorang ilmuwan jepang pada tahun 60-an. Bernama Dr. Kaoru Ishikawa, ilmuwan kelahiran 1915 di Tokyo Jepang yang juga alumni teknik kimia Universitas Tokyo. Metode tersebut awalnya lebih banyak digunakan untuk manajemen kualitas. Data verbal (non numerical) atau data kualitatif. Dr. Ishikawa juga ditengarai sebagai orang pertama yang memperkenalkan tujuh alat atau metode pengendalian kualitas (7 tools), yaitu fishbone diagram, control chart, run chart, histogram, scatter diagram, pareto chart, dan flowchart. Dikatakan diagram fishbone (tulang ikan) karena memang berbentuk mirip dengan tulang ikan yang moncong kepalanya menghadap ke kanan. Diagram ini akan menunjukkan sebuah dampak atau akibat dari sebuah permasalahan, dengan berbagai penyebabnya. Efek atau akibat dituliskan sebagai moncong kepala, sedangkan tulang ikan diisi oleh sebab-sebab sesuai dengan pendekatan permasalahannya. Dikatakan diagram cause and effect (Sebab dan Akibat) karena diagram tersebut menunjukkan hubungan antara sebab dan akibat. Berkaitan dengan pengendalian proses statistikal, diagram sebab-akibat dipergunakan untuk untuk menunjukkan faktor-faktor penyebab (sebab) dan karakteristik kualitas (akibat) yang disebabkan oleh faktor-faktor penyebab itu (Gaspersz, 2007). Diagram fishbone (Tulang Ikan) atau cause and effect (sebab dan akibat) atau ishikawa telah menciptakan ide cemerlang yang dapat membantu dan memampukan setiap orang atau organisasi atau perusahaan dalam menyelesaikan masalah dengan tuntas sampai ke akarnya. Kebiasaan untuk mengumpulkan beberapa orang yang mempunyai pengalaman dan keahlian memadai menyangkut problem yang dihadapi oleh perusahaan, semua anggota tim memberikan pandangan dan pendapat dalam mengidentifikasi semua pertimbangan mengapa masalah tersebut terjadi (Gaspersz, 2007). 2.9.1 Manfaat Diagram Fishbone Fungsi dasar diagram fishbone (tulang ikan) atau cause and effect (sebab dan akibat) atau ishikawa adalah untuk mengidentifikasi dan mengorganisasi penyebab-penyebab yang mungkin timbul dari suatu efek spesifik dan kemudian memisahkan akar penyebabnya. Sering dijumpai orang mengatakan “penyebab 14
yang mungkin” dan dalam kebanyakan kasus harus menguji apakah penyebab untuk hipotesa adalah nyata, dan apakah memperbesar atau menguranginya akan memberikan hasil yang diinginkan (Gaspersz, 2007). Gaspersz (2007) menyatakan dengan adanya diagram fishbone (tulang ikan) atau cause and effect (sebab dan akibat) atau ishikawa ini sebenarnya memberi banyak sekali keuntungan bagi dunia bisnis. Selain memecahkan masalah kualitas yang menjadi perhatian penting perusahaan. Masalah-masalah klasik yang ada di industri manufaktur khusunya antara lain adalah: a) Keterlambatan proses produksi. b) Tingkat defect (cacat) produk yang tinggi. c) Mesin produksi yang sering mengalami trouble. d) Output lini produksi yang tidak stabil yang berakibat kacaunya plan produksi. e) Produktivitas yang tidak mencapai target. f) Complain pelanggan yang terus berulang. Pada dasarnya diagram fishbone (tulang ikan) atau cause and effect (sebab dan akibat) atau Ishikawa dapat dipergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan berikut: a) Membantu mengidentifikasi akar penyebab dari suatu masalah. b) Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah. c) Membantu dalam penyelidikan atau pencarian fakta lebih lanjut. d) Mengidentifikasi tindakan untuk menciptakan hasil yang diinginkan. e) Membahas issue secara lengkap dan rapi. f) Menghasilkan pemikiran baru. Gaspersz (2007) menyatakan diagram fishbone (tulang ikan) atau cause and effect (sebab dan akibat) atau ishikawa ini memberikan kemudahan dan
15
menjadi bagian penting bagi penyelesaian masalah yang mucul bagi perusahaan. Penerapan diagram fishbone (tulang ikan) atau cause and effect (sebab dan akibat) atau ishikawa ini dapat menolong kita untuk dapat menemukan akar penyebab terjadinya masalah khususnya di industri manufaktur dimana prosesnya terkenal dengan banyaknya ragam variabel yang berpotensi menyebabkan munculnya permasalahan. Apabila masalah dan penyebab sudah diketahui secara pasti, maka tindakan dan langkah perbaikan akan lebih mudah dilakukan. Dengan diagram ini, semuanya menjadi lebih jelas dan memungkinkan kita untuk dapat melihat semua kemungkinan penyebab dan mencari akar permasalahan sebenarnya. Apabila ingin menggunakan diagram fishbone (tulang ikan) atau cause and effect (sebab dan akibat) atau ishikawa, kita terlebih dahulu harus melihat, di departemen, divisi dan jenis usaha apa diagram ini digunakan. Perbedaan departemen, divisi dan jenis usaha juga akan mempengaruhi sebab-sebab yang berpengaruh signifikan terhadap masalah yang mempengaruhi kualitas yang nantinya akan digunakan (Gaspersz, 2007). 2.9.2 Cara Membuat Diagram Fishbone Menurut Gaspersz (2007), dalam hal melakukan analisis fishbone, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan adalah: 1. Menyiapkan sesi analisa tulang ikan . 2. Mengidentifikasi akibat atau masalah. 3. Mengidentifikasi berbagai kategori sebab utama. 4. Menemukan sebab-sebab potensial dengan cara sumbang saran. 5. Mengkaji kembali setiap kategori sebab utama 6. Mencapai kesepakatan atas sebab-sebab yang paling mungkin Cara yang lain dalam menyusun diagram fishbone (Tulang Ikan) atau cause and effect (sebab dan akibat) atau Ishikawa dalam rangka mengidentifikasi penyebab suatu keadaan yang tidak diharap, mulai dengan pernyataan masalahmasalah utama penting dan mendesak untuk diselesaikan. Tuliskan pernyataan
16
masalah itu pada kepala ikan, yang merupakan akibat (effect). Tulislah pada sisi sebelah kanan dari kertas (kepala ikan), kemudian gambarkan tulang belakang dari kiri ke kanan dan tempatkan pernyataan masalah itu dalam kotak. Tuliskan faktor-faktor penyebab utama (sebab-sebab) yang mempengaruhi masalah kualitas sebagai tulang besar, juga ditempatkan dalam kotak. Faktor-faktor penyebab atau kategori-kategori utama dapat dikembangkan melalui stratifikasi ke dalam pengelompokan dari faktor-faktor: manusia, mesin, peralatan, material, metode kerja, lingkungan kerja, pengukuran, dll (Gaspersz, 2007). Menurut Gaspersz (2007), faktor-faktor penyebab dapat dikembangkan melalui brainstorming. Berikut diberikan contoh yang bias dijadikan panduan untuk merumuskan faktor-faktor utama dalam mengawali pembuatan diagram cause and effect: 1) Machine (Equipment) 2) Method (Process/Inspection) 3) Material (Raw,Consumables etc.) 4) Man power. 2.9.3 Kelebihan dan Kekurangan Fishbone Diagram Menurut Gaspersz (2007), kelebihan diagram fishbone adalah dapat menjabarkan setiap masalah yang terjadi dan setiap orang yang terlibat didalamnya dapat menyumbangkan saran yang mungkin menjadi penyebab masalah tersebut. Kekurangan diagram fishbone adalah opinion based on tool dan di design membatasi kemampuan tim atau pengguna secara visual dalam menjabarkan masalah yang mengunakan metode “level why” yang dalam, kecuali bila kertas yang digunakan benar-benar besar untuk menyesuaikan dengan kebutuhan tersebut. Serta biasanya voting digunakan untuk memilih penyebab yang paling mungkin yang terdaftar pada diagram tersebut (Gaspersz, 2007).
17
2.10 Tabel Standar Kerja Kombinasi (TSKK) Menurut Widharto (2004), Tabel Standar Kerja Kombinasi (TSKK) merupakan alat standar kerja yang menggambarkan dan mencatat kombinasi gerakan manusia dan mesin dalam kurun waktu tertentu (satu cycle). Tujuannya adalah untuk menyelaraskan elemen kerja manusia dengan elemen kerja mesin, serta menjadi panduan kerja bagi pelaksana. TSKK dapat mempermudah pengamatan terhadap gerakan manusia dan mesin, sehingga hal-hal seperti urutan kerja yang kurang efektif atau waktu kerja yang kurang atau berlebih ditemukan. Kemudian yang digunakan sebagai panduan untuk melakukan kaizen. Contoh TSKK dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 2.2 Tabel Standar Kerja Kombinasi (TSKK) Sumber: Toyota Production System Menurut Widharto (2004), TSKK dibuat berdasarkan data cycle time operator dan waktu tiap-tiap elemen kerja dan elemen gerak yang dilakukan. Untuk itu dalam pembuatan TSKK, perlu terlebih dahulu dilakukan pengamatan terhadap pekerjaan yang dilakukan. Pengamatan ini kemudian dicatat dalam sebuah tabel yang disebut Lembar Pengamatan Waktu (LPW) atau Lembar Observasi (LO). LPW atau LO merupakan tabel yang menunjukan seluruh elemen kerja yang diperlukan oleh seorang tenaga kerja untuk menyelesaikan suatu proses atau pekerjaan. Suatu elemen kerja terdiri dari beberapa elemen gerak, sehingga
18
dalam LPW/LO, masing-masing elemen kerja yang telah diamati tadi akan dibrakedown menjadi beberapa elemen gerak, untuk kemudian diambil data waktunya Penentuan cycle time dalam LPW/LO mempunyai beberapa aturan. Dari beberapa pengamatan yang telah dilakukan, akan didapatkan beberapa nilai cycle time. Cycle time yang akan digunakan dalam TSKK adalah cycle time yang nilainya dalam modus terkecil. Tiap elemen kerja yang dilakukan dicari modus terkecil dan terbesarnya, kemudian dijumlahkan sehingga terdapat masing-masing satu nilai yang mewakili modus terkecil dan modus terbesar. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan data cycle time yang telah diamati, kemudian dipilh dua angka yang paling mendekati modus-modus tersebut. Angka yang paling mendekati modus terkecil digunakan sebagai cycle time pada TSKK, sedangkan angka yang paling mendekati modus terbesar digunakan sebagai acuan dalam menghitung baratsuki. Baratsuki diperoleh dengan cara menghitung selisih antara cycle time dengan nilai yang paling mendekati modus terbesar (Widharto, 2004). Penentuan modus adalah dengan meninjau satu digit pertama dari seluruh data. Angka yang paling sering muncul adalah data dimana modus berasal. Kemudian dilakukan peninjauan terhadap satu digit kedua dari data dimana modus berasal. Nilai yang paling sering muncul dan lebih kecil adalah data dimana modus minimum berada, sedangkan nilai yang paling sering muncul dan lebih besar adalah data dimana modus maksimum berada. Apabila syarat ini terpenuhi, maka dilanjutkan dengan peninjauan terhadap satu digit ketiga. Namun apabila tidak ada nilai yang sama, maka untuk menentukan modus minimum dilakukan dengan cara mencari rata-rata dari seluruh data, kemudian nilai-nilai yang lebih kecil dari rata-rata diambil (Widharto, 2004).
19