BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian 1. Pajak Ada bermacam-macam definisi tentang pajak. Beberapa pakar ekonomi membuat sendiri definisi pajak karena selama ini definisi tentang pajak belum dicantumkan dalam undang-undang. Definisi tentang pajak yang selama ini sering digunakan adalah definisi yang dikemukakan oleh Adriani. Definisi ini dikutip oleh pakar perpajakan di Indonesia seperti R. Santoso Brotodiharjo dan Rochmat Soemitro(1986). Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Ketiadaan definisi yang jelas tentang pajak akhirnya memunculkan wacana bahwa definisi tentang pajak harus dicantumkan dalam undangundang. Hal ini terlaksana dengan munculnya UU KUP terbaru yaitu Undang-undang Nomor 28 tahun 2007. Dalam pasal 1 angka (1) UU Nomor 28 tahun 2007 disebutkan bahwa : Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Terlihat bahwa 2 definisi di atas tidak jauh berbeda. Keduanya masih memiliki unsur-unsur yang sama yaitu : a) Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). b) Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. c) Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. d) Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Pajak mempunyai 2 fungsi yaitu : a) Fungsi Budgetair, artinya pajak dimanfaatkan sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. b) Fungsi Mengatur (regulerend), artinya pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Fungsi mengatur ini merupakan bagian dari kebijakan fiskal pemerintah. Sementara itu,kebijakan fiskal
pemerintah mempunyai dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Sisi penerimaan berkaitan dengan kebijakan-kebijakan di bidang perpajakan untuk mengarahkan kegiatan perekonomian agar sesuai dengan tujuan tertentu. Kebijakan pembebasan pajak (tax holiday) dan penggunaan tarif khusus merupakan beberapa contohnya. Di sisi pengeluaran, fungsi mengatur berkaitan dengan penggunaan uang pajak. Di samping untuk belanja kebutuhan rutin yang berhubungan dengan pelaksanaan administrasi negara, uang pajak juga dapat digunakan untuk belanja pengeluaran pembangunan. Fungsi mengatur dari pajak dapat dilihat dari arah dan sifat penggunaan uang pajak tersebut. Secara garis besar fungsi mengatur dari pajak dapat dikategorikan menjadi : 1) Fungsi alokasi (allocation function) Salah satu tugas pemerintah adalah menyediakan barang dan jasa yang bersifat umum (public goods). Misalnya, jalan, jembatan, transportasi, keamanan, kejaksaan, dan kehakiman. Swasta tidak tertarik untuk menyediakan barang dan jasa tersebut karena sifatnya yang umum. Barang dan jasa demikian ini, karena sifatnya tidak spesifik untuk memenuhi kebutuhan individu tertentu, tidak dapat diperjualbelikan di pasar. Barang dan jasa yang bersifat umum dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Kebalikan dari barang-barang publik adalah barang-barang privat. Barang privat
dapat dimiliki atau dinikmati secara khusus oleh individu tertentu. Karena
sifatnya
yang
demikian,
individu
akan
bersedia
membelinya di pasar. Di lain pihak, saat ada permintaan di pasar, pihak swasta akan bersedia menyediakannya. Fungsi alokasi dalam kebijakan fiskal pada dasarnya berupa penetapan alokasi penggunaan sumber daya ekonomis nasional untuk tujuan penyediaan barang-barang publik dan barang-barang privat. Pengalokasian penggunaan sumber daya ekonomis untuk penyediaan barang publik dan barang privat juga berarti penentuan pihak yang harus menyediakannya. Barang publik disediakan oleh pemerintah (negara), sementara penyediaan barang privat dapat dilakukan oleh swasta. Melalui pajak yang dipungut dan penggunannya untuk penyediaan barang publik, kebijakan fiskal telah memenuhi fungsi alokasi sumber daya ekonomis dalam masyarakat. 2) Fungsi Distribusi Tugas lain dari pemerintah adalah menciptakan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil. Konsep pemerataan hasil pembangunan merupakan dasar dari tugas ini. Kemampuan untuk menghasilkan pendapatan berbeda antara satu orang dengan yang lain. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan seperti pendidikan, keahlian, kesempatan, dan lain-lain. Di samping itu, titik awal
pemilikan kekayaan juga berbeda antara satu orang dengan orang lain. Ada orang yang pada awalnya telah memilliki kekayaan yang melimpah karena faktor keturunan. Pemilikan kekayaan awal yang berbeda tersebut, pada gilirannya, mempengaruhi kemampuan menghasilkan pendapatan. Kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah akan selalu diusahakan untuk mencapai pemerataan hasil pembangunan secara lebih adil. Melalui pajak yang dioungut serta penggunaaannya, pemerataan hasil pembangunan secara lebih adil. Melalui pajak yang
dipungut
serta
penggunaannya,
pemerataan
hasil
pembangunan akan dapat dilaksanakan. Di samping itu, kebijakan pemungutan pajak yang progresif juga akan lebih meningkatkan usaha pemerataan hasil pembangunan. Pemilihan jenis pajak yang dipungut merupakan cara lain untuk lebih meningkatkan pemerataan. Pajak-pajak yang dipungut terhadap barang-barang mewah yang dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi dibarengi dengan subsidi untuk barang-barang kebutuhan pokok yang
dikonsumsi
oleh
masyarakat
berpendapatan
rendah
merupakan contoh kebijakan fiskal yang berdampak positif terhadap pemerataan. 3) Fungsi Stabilisasi Pertumbuhan
ekonomi
merupakan
salah
satu
tujuan
dari
pembangunan di samping pemerataan. Pemerintah akan selalu
berusaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tertentu dari tahun ke tahun. Di samping itu, penyediaan lapangan kerja yang cukup juga merupakan sisi lain dari pembangunan ekonomi. Faktor-faktor lain yang tak kalah pentingnya ialah stabilitas harga. Pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, stabilitas harga, serta keseimbangan neraca perdagangan dan neraca pembayaran merupakan rangkaian usaha stabilitas yang akan diupayakan oleh pemerintah. Kebijakan fiskal dapat digunakan untuk upaya stabilitas tersebut. Pertumbuhan ekonomi sering diukur dari pertumbuhan pendapatan nasional bruto. Dalam persamaan pendapatan nasional, kebijakan fiskal tercermin dalam pengeluaran pemerintah, baik yang berbentuk konsumsi maupun investasi. Pengeluaran pemerintah pada
dasarnya
menciptakan
permintaan
agregat
dalam
perekonomian. Tapi di lain pihak, pajak yang dipungut oleh masyarakat akan mengurangi permintaan agregat yang bersumber dari masyarakat, karena pajak akan mengurangi kemampuan masyarakat melakukan konsumsi atau investasi. Efek bersih dari kenaikan permintaan agregat di sektor pemerintah dan penurunan permintaan agregat di sektor swasta tergantung pada efek pengganda (multiplier effect) yang dihasilkan oleh masing-masing sektor. Jadi, kebijakan fiskal dapat digunakan untuk menaikkan atau menurunkan (secara bersih) permintaan agregat tergantung
pada kondisi perekonomian yang ada. Jika kondisi perekonomian menghendaki ekspansi permintaan agregat, maka pengeluaran pemerintah harus dinaikkan atau pajak diturunkan, demikian juga sebaliknya. Pemerintah (negara) memiliki hak untuk memungut pajak. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah : a) Teori Bakti Teori ini mengatakan bahwa pajak merupakan hak dari negara. Orangorang tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Mereka harus membentuk persekutuan (organisasi) yang kemudian menjelma menjadi negara. Sebagai persekutuan ia mempunyai hak terhadap warganya. Salah satunya adalah hak memungut pajak. Di lain pihak, pajak merupakan tanda bakti warga kepada negara. Dasar hukum dari pajak menurut teori ini adalah hubungan rakyat dan negara. Persekutuan individuindividu yang menjelma menjadi negara merupakan kehandak dari yang bersangkutan. Dalam persekutuan tersebut ada aturan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Salah satu hak dari negara adalah memungut pajak. Hal ini tentu erat hubungannya dengan kewajiban yang harus dipenuhi negara. Sebab untuk memenuhi kewajiban tersebut, negara memerlukanpembiayaan. Uang untuk membiayai kewajiban negara yang diambil dari rakyat berupa pajak.
b) Teori Asuransi Menurut teori ini, pajak dapat disamakan dengan asuransi. Dalam bidang asuransi, apabila seseorang ingin memperoleh perlindungan dari resiko kerugian yang mungkin timbul, maka ia dapat pergi ke perusahaan asuransi, kemudian mengasuransikan resiko kerugian tersebut. Untuk itu ia harus membayar premi. Pajak, dalam teori ini, disamakan dengan premi asuransi yang harus dibayar oleh rakyat, untuk memperoleh perlindungan dari negara. Teori ini agak lemah oleh karena dalam hal pajak, perlindungan terhadap kerugian yang diderita rakyat tidak bersifat langsung. Di samping itu, dalam hal timbul kerugian, tidak ada penggantian dari negara. c) Teori Kepentingan Teori ini mengatakan bahwa pajak dipungut atas dasar besarnya kepentingan rakyat dalam memperoleh jasa-jasa yang diberikan pemerintah. Teori ini uga mengandung kelemahan karena sangat menyimpang
dari
segi
keadilan.
Orang
miskin
mempunyai
kepentiangan yang lebih besar terhadap negara, misalnya dalam hal perlindungan dan pelayanan masyarakat. Tetapi, kemampuan mereka untuk membayar pajak tentu lebih rendah. Jadi, kalau pembayaran pajak didasarkan atas kepentingan, maka unsur keadilan akan terabaikan. Di samping itu, ukuran untuk kepentingan susah
dirumuskan, sehingga susah pula dalam perhitungan pembebanan pajaknya. d) Teori Gaya Pikul Hampir sama dengan teori kepentingan, teori ini mendasarkan pemungutan pajak pada jasa-jasa yang diberikan negara kepada warganya. Biaya-biaya sehubungan dnegan jasa-jasa ini harus dipikul oleh warga negara yang menikmatinya. Pajak adalah pembebanan biaya-biaya tersebut. Namun teori ini mengemukakan bahwa pembebanan
pajak,
sesuai
dengan
keadilan,
haruslah
mempertimbangkan gaya pikul seseorang. Untuk mengukur gaya pikul dapat digunakan kriteria, selain besarnya penghasilan, juga kekayaan dan pengeluaran negara. e) Teori Gaya Beli Dalam teori ini dikemukakan bahwa pajak dipungut atas dasar kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Menurut teori ini, pajak pada hakikatnya adalah memungut gaya beli dari masyarakat untuk kemudian disalurkan kembali ke masyarakat. Tujuannya adalah mengatur kehidupan masyarakat dan membawanya ke arah tertentu. Teori ini merupakan dasar bagi keadilan dalam pemungutan pajak. Dalam pemungutan pajak dikenal apa yang disebut dengan “Empat Maxim” (Four Maxims) yang merupakan ajaran yang termuat dalam buku Adam Smith : “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations”. Keempat maxim atau asas tersebut adalah :
a) Keadilan (Equity) Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta. b) Kepastian (Certainty) Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran. c) Ketepatan (Conveniency) Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak; sebagai contoh : pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut Pay as you earn. d) Efisiensi (Efficiency) Pemungutan pajak harus dilakukan seefisien mungkin. Artinya, jangan sampai biaya untuk memungut pajak terlampau besar dinbandingkan dengan pajak yang diterima oleh kas Negara.
Asas pemungutan lainnya juga dikemukakan oleh John F. Due dalam buku Government Finance, An Economic Analysis yaitu The Neutrality Principle, yang bermakna bahwa pajak itu harus netral artinya tidak mempengaruhi pilihan masyarakat untuk mengkonsumsi atau memproduksi barang. Terlihat bahwa asas ini bertujuan untuk menjaga agar pemungutan pajak tidak mengganggu kemajuan ekonomi. Namun dimungkinkan
kebijaksanaan
pemerintah
justru
dibuat
untuk
mempengaruhi konsumsi masyarakat. Asas pemungutan pajak dapat pula dibagi dalam beberapa asas, antara lain sebagai berikut : a) Asas menurut falsafah hukum Hukum pajak harus mendasarkan pada keadilan. Asas keadilan ini telah tercakup dalam salah satu maxim dari Adam Smith. b) Asas Yuridis Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum yang tegas baik untuk Negara maupun warga negaranya. Penjabaran dari asas ini adalah bahwa setiap pemungutan pajak harus didasarkan atas undang-undang. Asas yuridis mensyaratkan adanya ketentuan yang tegas dan jelas tentang hak dan kewajiban Wajib Pajak. Demikian juga halnya dengan hak dan kewajiban fiskus (pemungut pajak). Disamping tentang hak dan kewajiban Wajib Pajak serta fiskus, asas yuridis dapat dikaitkan dengan asas kepastian dalam maxim Adam Smith.
c) Asas Ekonomis Asas ini berkaitan dengan fungsi mengatur dalam perpajakan. Dalam kaitan ini, pemungutan pajak harus mendorong pertumbuhan ekonomi (dalam arti tidak menghambat kelancaran produksi dan perdagangan). Di samping itu, pemungutan pajak juga harus mendorong tercapainya kesejahteraan rakyat dan tidak merugikan kepentingan umum. Dengan demikian, asas ekonomi mengacu pada kepentingan ekonomi secara keseluruhan serta kepentingan umum. d) Asas Finansial Dalam pemungutan pajak, asas ini berkaitan dengan fungsi budgeter. Dalam kaitan ini, perhitungan biaya dibandingkan dengan manfaat pemungutan pajak perlu diperhatikan. Asas finansial dapat dikaitkan hamper sama dengan asas ketepatan dan efisiensi pada maxim dari Adam Smith. e) Asas Pemungutan lainnya Terdapat tiga asas yang digunakan untuk memungut pajak dalam Pajak Penghasilan, yaitu : 1) Asas Tempat Tinggal Beranggapan bahwa pajak (penghasilan) akan dikenakan terhadap Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Negara pemungut pajak. Ini berarti termasuk orang asing yang bertempat tinggal di Negara
tersebut. Untuk penetapan pajaknya adalah semua penghasilan, tanpa mempedulikan darimana sumbernya akan dikenakan pajak. 2) Asas Kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan suatu Negara. Asas ini diberlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk membayar pajak. 3) Asas Sumber Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber pada suatu Negara yang memungut pajak. Dengan demikian, Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak di Indonesia tanpa memerhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel, adalah sebagai berikut : a) Stelsel Nyata (riil stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
b) Stelsel Anggapan (fictive stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang, sebagai contoh; penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehinga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa menunggu akhir tahun. c) Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah kekurangannya. Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil, maka kelebihannya dapat diminta kembali. Di Indonesia memakai stelsel campuran. Pada saat awal tahun, Wajib Pajak menghitung terlebih dahulu pajak yang akan dibayarkannya, kemudian membayarkan setiap bulan (PPh Pasal 25). Pada akhir tahun, semua pembayaran pajak dihitung kembali untuk kemudian disesuaikan dengan penghasilan yang sebenarnya diterima oleh Wajib Pajak selama setahun. Itulah sebabnya ada istilah kompensasi dan restitusi dalam perpajakan Indonesia. Sedangkan untuk sistem pemungutan pajak diketahui ada 3 sistem, yaitu : a) Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang member wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya adalah : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. 2) Wajib Pajak bersifat pasif. 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. b) Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. 2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. c) With Holding System Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak
yang
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutan oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya adalah wewenang menentukan besarnya
pajak yang terutan adalah pihak ketiga, yaitu selain fiskus dan Wajib Pajak. Indonesia pernah menerapkan Official Assessment System namun kemudian merubahnya menjadi Self Assessment System yang tetap berlaku sampai dengan saat ini.
2. Fiskal Luar Negeri Pembangunan Nasional membutuhkan dana, baik dana yang berasal dari dalam negeri maupun dana dari luar negeri (devisa). Devisa merupakan dana pembiayaan yang sangat penting bagi pembangunan Negara kita. Atas dasar tersebut, maka penggunaan devisa perlu dihemat dan diarahkan pada berbagai usaha produktif. Salah satu jalan yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan pengaturan pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi orang pribadi yang bertolak ke luar negeri. Oleh karena itu, setiap orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri diwajibkan terlebih dahulu membayar pajak penghasilan. Pajak Penghasilan yang dibayarkan oleh orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri inilah yang disebut sebagai Fiskal Luar Negeri. Pembayaran Fiskal Luar Negeri dilakukan dengan menggunakan Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBFLN) dan pelunasannya dilakukan Unit Pelaksanaan Fiskal Luar Negeri di pelabuhan atau tempat pemberangkatan dan tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Aturan awal tentang surat keterangan fiskal luar negeri bagi setiap orang yang akan bertolak ke luar negeri adalah Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 1982. Kepres Nomor 84/1982 ini kemudian dicabut dengan Kepres Nomor 28 tahun 1990 tentang Kebijaksanaan Pemberian Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri, dan menjadi pasal tersendiri dalam undang-undang sejak Undang-undang No. 10 tahun 1994 tentang Perubahan atas UU No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh) berlaku. Ketentuan ini diatur dalam pasal 25 ayat (8) : “Bagi wajib pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah.” Pasal 25 ayat (8) UU PPh ini dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan bagi Orang Pribadi yang Bertolak ke Luar Negeri dengan beberapa kali mengalami perubahan. Pada intinya, sejak tahun 1994 fiskal luar negeri diperlakukan sebagai angsuran PPh pasal 25 dan dapat dikreditkan dengan pajak terutang di akhir tahun. Hal ini terus berlaku sampai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 yang merupakan pembaruan dari UU nomor 10 tahun 1994.
Setelah diterbitkannya UU PPh yang baru yaitu Undang-undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pasal yang mengatur tentang FLN ini (Pasal 25 ayat (8)) berubah bunyinya menjadi :
“Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Ditambahkan dalam undang-undang ini pasal 25 ayat (8a) yang berbunyi : “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010.” Filosofi yang mendasari fiskal luar negeri adalah adanya anggapan bahwa orang bepergian ke luar negeri memiliki penghasilan atau kekayaan dalam jumlah tertentu. Ini juga terkait dengan prinsip klasik dalam dunia perpajakan pay as you go, yakni pajakilah saat pergi karena ia membawa uang.
a. Definisi Fiskal Luar Negeri Dalam Pasal 1 angka (4) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor 53/PJ/2008 tanggal 31 Desember 2008 tentang Tata Cara Pembayaran, Pengecualian
Pembayaran
dan
Pengelolaan
Administrasi
Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan Bertolak ke Luar Negeri
disebutkan bahwa Fiskal Luar Negeri yang
selanjutnya disingkat FLN adalah Pajak Penghasilan yang wajib dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang bertolak ke luar negeri adalah wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia melalui darat, udara dan laut kecuali
awak pesawat terbang dan awak kapal laut yang bertugas melakukan penerbangan dan pelayaran keluar negeri (Pasal 1 angka (5) Perdirjen no.53/Pj/2008) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah subjek pajak orang pribadi dalam negeri yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 1 angka (2) Perdirjen pajak no.53/PJ/2008). Subjek Pajak orang pribadi dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12(dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia (Pasal 1 angka (1) Perdirjen no.53/PJ/2008). Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP) dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang akan bertolak ke luar negeri wajib membayar FLN. Termasuk Wajib Pajak orang pribadi adalah istri atau suami, anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya Wajib Pajak dan diakui oleh Wajib Pajak tersebut berdasarkan dokumen pendukung dan hukum yang berlaku. Adapun besarnya FLN yang wajib dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah :
1) Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara; 2) Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan kapal laut.
b. Tata Cara Pembayaran Fiskal Luar Negeri Pembayaran Fiskal Luar Negeri oleh Wajib pajak orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri dilakukan dengan menggunakan Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBPFLN) pada : 1) Bank yang ditunjuk oleh Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai penerima pembayaran FLN; 2) Unit Pelaksana Fiskal Luar Negeri (UPFLN) tertentu yang dapat menerima pembayaran jika di Bandar udara atau pelabuhan laut tempat pemberangkatan ke luar negeri tidak terdapat benk penerima pembayaran; atau 3) Tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBPFLN) adalah formulir yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri dalam rangka pembayaran FLN (Pasal 1 angka (11) Perdirjen No.53/PJ/2008).
Bank yang ditunjuk sebagai penerima pembayaran FLN atau UPFLN tertentu wajib melaksanakan kegiatan administrasi sebagai berikut : 1) Mengisi formulir TBPFLN dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan data orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri; 2) Menyerahkan lembar ke 1 dan ke 2 Formulir TBPFLN yang telah dibayar kepada penumpang, selanjutnya lembar ke-2 diserahkan kepada petugas konter pengecekan FLN dan lembar ke 3 merupakan arsip UPFLN atau bank penerima pembayaran TBPFLN; 3) Menyetorkan hasil pelunasan TBPFLN yang diterima oleh bank atau UPFLN secara kolektif dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambatlambatnya pada hari kerja berikutnya; 4) Dalam Pengisian SSP tersebut harus mencantumkan : a) UPFLN atau bank penerima pembayaran TBPFLN; b) NPWP diisi dengan 00.000.000.0-XXX (Kode KPP); c) Jumlah uang; d) MAP/Kode jenis pajak : 411128; e) Kode jenis setoran : 100. 5) Bank penerima pembayaran TBPFLN atau UPFLN tertentu yang menerima pembayaran FLN membuat laporan harian penerimaan pembayaran FLN.
Sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-53/PJ/2008 tanggal 31 Desember 2008, tata cara pembayaran Fiskal Luar Negeri adalah sebagai berikut : 1) Wajib Pajak atau penumpang tujuan luar negeri melakukan pembayaran FLN pada bank penerima pembayaran FLN atau UPFLN tertentu yang dapat menerima pembayaran FLN jika di Bandar udara atau pelabuhan laut dimaksud tidak terdapat bank penerima pembayaran FLN. 2) Penumpang tujuan luar negeri menyerahkan paspor dan boarding pass kepada petugas penerima pembayaran pada bank penerima pembayaran
atau
UPFLN
tertentu
yang
dapat
menerima
pembayaran FLN. 3) Petugas penerima pembayaran FLN menerima paspor dan boarding pass dari penumpang dan meneliti kebenaran dokumen tersebut. 4) Setelah menerima pembayaran FLN, bank atau UPFLN wajib mengisi formulir TBPFLN dengan benar, jelas dan lengkap dalam rangkap 3. Lembar 1 dan 2 diserahkan kepada penumpang beserta paspor dan boarding pass sedangkan lembar ke 3 sebagai arsip bank/UPFLN. 5) Penumpang menyerahkan paspor, boarding pass dan TBPFLN lembar 1 dan 2 kepada petugas konter pengecekan FLN pada saat penumpang akan menuju gerbang imigrasi, untuk diteliti dan distempel tanggal saat digunakan pada lembar ke 1 TBPFLN untuk
selanjutnya diserahkan kepada penumpang dan lembar ke 2 TBPFLN disimpan sebagai arsip UPFLN. FLN yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri merupkan pembayaran angsuran Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun yang bersangkuatn setelah Wajib pajak tersebut memiliki NPWP. Orang pribadi yang telah melunasi pembayaran FLN, karena sesuatu hal membatalkan keberangkatannya ke luar negeri dapat meminta kembali pembayaran tersebut dengan cara sebagai berikut : 1) Penumpang yang membatalkan keberangkatannya ke luar negeri menyerahkan TBPFLN lembar ke 1 dan 2 kepada bank atau UPFLN penerima pembayaran FLN; 2) Petugas bank atau UPFLN penerima pembayaran meneliti apakah TBPFLN tersebut memenuhi persyaratan untuk dibatalkan dan diuangkan kembali. TBPFLN yang dapat dibatalkan dan diuangkan kembali adalah terhadap TBPFLN yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) TBPFLN belum di cap oleh petugas konter pengecekan FLN; b) Bank atau UPFLN belum menyetorkan uang pembayaran tersebut ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro;
c) Untuk yang melakukan pembayaran melalui bank pelunasan pembayaran
FLN,
bank
tersebut
belum
melakukan
pemindahbukuan atau pencatatan sesuai dengan ketentuan bank. 3) Dalam hal TBPFLN tersebut telah memenuhi persyaratan sebagaimana mestinya, maka Formulir TBPFLN yang dibatalkan tersebut diberi tanda 2 (dua) garis sejajar dan ditulis/distempel “Batal”
serta
mengembalikan
secara
tunai
kepada
penumpang/Wajib Pajak sejumlah uang yang telah dibayarkan sebagaimana tercantum dalam TBPFLN. 4) Petugas bank atau UPFLN penerima pembayaran selanjutnya berkewajiban membuat Berita Acara Pembatalan TBPFLN dengan melampirkan TBPFLN yang telah dibatalkan. B. Pengecualian Fiskal Luar Negeri Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri dikecualikan dari pembayaran FLN dengan cara sebagai berikut : 1. Pembebasan Langsung Diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang kepada : a. Orang Pribadi yang berusia kurang dari 21 tahun. b. Orang asing yang berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. c. Pejabat Perwakilan Diplomatik. d. Pejabat Perwakilan Organisasi internasional.
Tabel 2.1
Sumber : www.pajak.go.id e. WNI yang memiliki dokumen resmi penduduk negara lain (termasuk pelajar/mahasiswa yang belajar di luar negeri dengan menunjukkan kartu identitas, misalnya student card) sepanjang tidak tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. f. Jemaah Haji yang penyelenggaraannya dilakukan oleh instansi yang berwenang. g. Pelintas batas jalan darat.
h. Tenaga Kerja Indonesia dengan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). 2. Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dengan ketentuan sebagai berikut : a. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang memiliki NPWP berstatus WNI termasuk anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan sepenuhnya dengan menyerahkan fotokopi NPWP, fotokopi paspor, fotokopi kartu keluarga, Surat Pernyataan Menanggung Sepenuhnya Orang Tua (dalam hal nama orang tua tidak tercantum dalam kartu keluarga) dan boarding pass. b. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang memiliki NPWP berstatus Warga Negara Asing (WNA) termasuk anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan sepenuhnya, dengan menyerahkan fotokopi NPWP, fotokopi paspor, fotokopi kartu keluarga, fotokopi Surat Keterangan Susunan Keluarga Pendatang (SKSKP) atau dokumen lain yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Bagi yang berangkat mulai tanggal 16 Januari 2009 dan seterusnya berlaku persyaratan kepemilikan NPWP sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum tanggal keberangkatan. 3. Bebas dengan Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN): a. Mahasiswa asing dengan surat rekomendasi dari Perguruan Tinggi di Indonesia.
b. Orang asing yang melaksanakan penelitian di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, program kerjasama teknik dan anggota misi keagamaan dan kemanusiaan. c. Tenaga kerja WNA, pendatang, yang bekerja di Pulau Batam, Bintan dan Karimun sepanjang penghasilannya telah dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atau Pasal 26. d. Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke Luar Negeri (LN) atas biaya organisasi sosial termasuk seorang pendamping. e. Anggota misi kesenian, kebudayaan, olah raga atau misi keagamaan yang mewakili pemerintah Republik Indonesia ke Luar Negeri. f. Mahasiswa atau pelajar yang akan belajar di LN dalam rangka program resmi pertukaran mahasiswa atau pelajar. g. Tenaga Kerja Indonesia yang menggunakan Surat Persetujuan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Tata Cara Pengecualian/Pembebasan Pembayaran FLN bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri adalah sebagai berikut : 1. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang memiliki NPWP Pengecualian pembayaran FLN bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP hanya dapat dilakukan UPFLN di bandara atau pelabuhan laut. a. Wajib Pajak atau penumpang tujuan luar negeri menyerahkan fotokopi Kartu NPWP/ SKT/SKTS, fotokopi paspor, dan boarding pass ke petugas UPFLN. Dalam hal Kartu NPWP atas
nama/dimiliki oleh Kepala Keluarga, maka anggota keluarga yang ke Luar Negeri dari: 1) Wajib Pajak yang memberikan tanggungan sepenuhnya yang berstatus sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) atau berstatus sebagai Warga Negara Asing (WNA) dan memiliki Kartu Keluarga harus melampirkan: a) fotokopi Kartu Keluarga; dan/atau b) Surat Pernyataan Menanggung Sepenuhnya Orang Tua yang tidak terdaftar dalam Kartu Keluarga oleh orang pribadi yang 2) Wajib Pajak yang memberikan tanggungan sepenuhnya berstatus sebagai Warga Negara Asing (WNA) yang: a) tidak memiliki Kartu Keluarga harus melampirkan fotokopi Surat Keterangan Susunan Keluarga Pendatang (SKSKP) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SKSKP yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi berwenang. b) namanya tidak tercantum dalam susunan Kartu Keluarga atau memiliki Kartu Keluarga yang terpisah dengan anggota
keluarganya
yang
disebabkan
perbedaan
kewarganegaraan harus melampirkan fotokopi dokumen lain yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi berwenang. b. Petugas UPFLN menerima dan meneliti fotokopi Kartu NPWP/SKT/SKTS, fotokopi paspor, dan boarding pass serta fotokopi Kartu Keluarga atau surat pernyataan atau fotokopi
SKSKP atau dokumen lain, kemudian menginput NPWP pada aplikasi yang tersedia. c. NPWP dinyatakan valid apabila: 1) NPWP telah terdaftar sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum hari keberangkatan. 2) Dalam hal NPWP telah terekam dalam database Wajib Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak. Nama Wajib Pajak pada paspor sesuai dengan nama pada database Wajib Pajak
pada
Direktorat
Jenderal
Pajak,
dengan
mengabaikan perbedaan tulisan/ejaan dengan ketentuan apabila nama Wajib Pajak lebih dari 2 (dua) kata, minimum 2 (dua) kata harus sesuai antara paspor dan database Wajib Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak. 3) Dalam hal NPWP belum terekam dalam database Wajib Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak. a) Aplikasi check digit NPWP menunjukkan bahwa NPWP tersebut adalah benar. b) Nama Wajib Pajak pada paspor sesuai dengan nama pada fotokopi Kartu NPWP/SKT/SKTS, dengan mengabaikan
perbedaan
tulisan/ejaan
dengan
ketentuan apabila nama Wajib Pajak lebih dari 2 (dua) kata, minimum 2 (dua) kata harus sesuai antara paspor dan database Wajib Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak. c) Menginput nama Wajib Pajak sesuai yang tertera pada fotokopi NPWP/SKT/SKTS pada aplikasi. d. Apabila NPWP dinyatakan valid, maka petugas UPFLN menempelkan stiker Bebas Fiskal pada bagian belakang boarding pass yang ditujukan untuk penumpang.
e. Penumpang menyerahkan boarding pass yang telah ditempel stiker Bebas Fiskal kepada petugas konter pengecekan FLN untuk diteliti. f. Penumpang tujuan luar negeri tetap wajib membayar FLN apabila: 1) NPWP terdaftar kurang dari 3 (tiga) hari sebelum hari keberangkatan; 2) Tidak
dapat
menyerahkan
fotokopi
Kartu
NPWP/SKT/SKTS; atau 3) Menyerahkan fotokopi kartu NPWP/SKT/SKTS namun check digit menyatakan tidak valid; atau 4) Menyerahkan fotokopi kartu NPWP/SKT/SKTS yang dimiliki oleh Kepala Keluarga tetapi tidak melampirkan fotokopi Kartu Keluarga/SKSKP/dokumen lain yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, atau melampirkan fotokopi kartu keluarga/SKSKP/dokumen lain yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang tetapi nama penumpang tidak tercantum dalam susunan Kartu Keluarga/SKSKP/dokumen lain tersebut atau tidak melampirkan surat pernyataan bagi orang tua yang tidak terdaftar dalam Kartu Keluarga. 2. Bagi Wajib Pajak lainnya yang dikecualikan. a. Dibebaskan secara langsung Pengecualian dari kewajiban pembayaran FLN oleh orang pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri yang diberikan secara langsung hanya terbatas pada beberapa orang yang telah disebutkan di atas, termasuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang berusia kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun dengan cara sebagai berikut:
1) Penumpang tujuan luar negeri menyerahkan paspor dan boarding pass ke petugas konter pengecekan FLN. 2) Petugas konter pengecekan FLN menerima dan meneliti paspor dan boarding pass, apabila pemohon memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam angka 1 s.d.angka 7 huruf a Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-1/PJ/2009 ini atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berusia kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, maka petugas konter pengecekan FLN membebaskan secara langsung orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri tersebut. 3) Pemohon yang tidak memenuhi syarat untuk dibebaskan dari kewajiban membayar FLN, wajib membayar FLN. b. Dibebaskan melalui penerbitan SKBFLN Pengecualian dari kewajiban pembayaran FLN orang pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri yang diberikan melalui penerbitan SKBFLN hanya terbatas pada: -
para pekerja yang akan berangkat ke luar negeri dalam rangka program pengirimam TKI yang menyerahkan persetujuan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
-
Mahasiswa dari Negara asing yang berada d Indonesia dalam rangka belajar dengan rekomendasi dari perguruan tinggi tempat mereka belajar dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan surat rekomendasi sebagai mahasiswa atau pelajar dari pimpinan perguruan tinggi sekolah yang bersangkutan. Tidak berlaku bagi istri dan anak maupun anggota keluarga lainnya;
-
Orang asing yang berada di Indonesia dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia;
-
Tenaga Kerja WNA, pendatang, yang bekerja di Pulau Batam, Pulau Bintan, Pulau Karimun, sepanjang telah dipotong PPh oleh pemberi kerja;
-
Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya organisasi social termasuk 1(satu) orang pendamping;
-
Anggota misi kesenian, misi kebudayaan, misi olahraga atau misi keagamaan yang mewakili pemerintah RI ke luar negeri;
-
Mahasiswa atau pelajar yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang akan belajar di luar negeri dalam rangka program resmi pertukaran mahasiswa atau pelajar;
dengan cara sebagai berikut: 1) Melalui Unit Pelaksana Fiskal Luar Negeri (UPFLN) a) Penumpang tujuan luar negeri mengisi Formulir Permohonan
SKBFLN
yang
telah
disediakan,
selanjutnya formulir yang telah diisi dan ditandatangani beserta data pendukung disampaikan ke UPFLN. b) Petugas UPFLN menerima dan meneliti permohonan SKBFLN beserta kelengkapan persyaratannya. Dalam hal berkas permohonan belum lengkap, dihimbau kepada penumpang untuk melengkapinya. c) Dalam hal permohonan disetujui, petugas UPFLN mencetak SKBFLN yang terdiri dari 3 bagian dan kemudian diteruskan kepada Ketua Tim UPFLN untuk diteliti, disetujui dan ditandatangani. d) Setelah ditandatangani oleh Ketua Tim UPFLN, SKBFLN bagian untuk konter pengecekan FLN dan penumpang diserahkan kepada penumpang dan satu bagian disimpan untuk arsip UPFLN.
e) Dalam hal permohonan ditolak, petugas UPFLN memberitahukan kepada pemohon/penumpang untuk membayar FLN. f) Pada
setiap
akhir
mencetak/membuat
jam
kerja,
Laporan
petugas
Harian
UPFLN
Penerbitan
SKBFLN. 2) Melalui Kantor Pelayanan Pajak a) Penumpang tujuan luar negeri mengisi Formulir Permohonan
SKBFLN
yang
telah
disediakan,
selanjutnya formulir yang telah diisi dan ditandatangani beserta lampiran data pendukung disampaikan ke Petugas Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) di KPP. b) Petugas TPT menerima dan meneliti permohonan SKBFLN
beserta
kelengkapan
persayaratannya
selanjutnya mencetak Bukti Penerimaan Surat (BPS) dan Lembar Pengawasan Arus Dokumen (LPAD). Dalam
hal
berkas
permohonan
belum
lengkap,
dihimbau kepada penumpang untuk melengkapinya. c) Dalam hal permohonan disetujui, petugas TPT di KPP mencetak SKBFLN yang terdiri dari 3 bagian dan diteruskan kepada Ketua Tim UPFLN di KPP untuk diteliti, disetujui dan ditandatangani. d) Setelah ditandatangani oleh Ketua Tim UPFLN, SKBFLN bagian untuk konter pengecekan FLN dan penumpang diserahkan kepada pemohon/penumpang dan satu bagian disimpan untuk arsip KPP. e) Dalam hal permohonan ditolak, petugas di KPP memberitahukan kepada pemohon/penumpang untuk membayar FLN.
f) Pada setiap akhir jam kerja, petugas di KPP mencetak/membuat
Laporan
Harian
Penerbitan
SKBFLN. g) Jangka waktu penyelesaian 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
Gambar 2.1 Skema Pembayaran Fiskal Luar Negeri
C. Unit Pelaksana Fiskal Luar Negeri Pengelolaan FLN untuk wilayah di luar Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilaksanakan oleh KPP Pratama. Apabila dalam satu kota terdapat lebih dari 1 (satu) KPP Pratama, Kepala Kantor Wilayah DJP menunjuk KPP Pratama yang mengelola FLN. Dalam pasal 10 angka (3) Perdirjen No. 53/PJ/2008 ditentukan bahwa khusus untuk wilayah DKI Jakarta dan Bandar Udara Soekarno-Hatta, pengelolaan FLN dilakukan oleh KPP Madya Jakarta Timur. Kepala KPP menunjuk sejumlah pegawai sebagai
petugas UPFLN dengan mempertimbangkan beban kerja. Di seluruh wilayah Indonesia terdapat UPFLN sebanyak 34 (tiga puluh empat) unit yaitu 16 (enam belas) UPFLN laut dan 18 (delapan belas) UPFLN udara. Masing-masing UPFLN berkewajiban untuk mengelola administrasi pelaksanaan FLN di wilayah kerjanya. Untuk administrasi dan pelaporan FLN dilakukan sebagaimana berikut : 1. Administrasi Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBFLN) Paling lama pada hari kerja berikutnya, bank atau UPFLN tertentu yang menerima pembayaran FLN berkewajiban : a. Menyetorkan hasil pelunasan TBFLN yang diterima oleh UPFLN secara kolektif dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya pada hari kerja berikutnya. Dalam pengisian SSP tersebut harus mencantumkan : -
UPFLN atau Bank Penerima Pembayaran TBFLN;
-
NPWP diisi dengan 00.000.000.0-XXX (kode KPP)
-
Jumlah Uang;
-
MAP/Kode jenis pajak : 411128
-
Kode jenis setoran : 100 Tabel 2.2
Sumber : www.pajak.go.id Menyelenggarakan buku/laporan sebagai berikut : -
Buku Persediaan TBFLN, berisi catatan tentang jumlah penerimaan, penggunaan dan sisa TBFLN;
-
Laporan harian penggunaan TBFLN;
-
Buku Kas Harian, berisi catatan harian penerimaan dan penyetoran uang pelunasan pembayaran TBFLN ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro yang ditutup setiap akhir bulan;
-
Terhadap TBFLN yang batal atau rusak dibuatkan Berita Acara pembatalan;
-
Apabila UPFLN terpisah dengan pelaksana FLN di Bandar udara pelabuhan laut atau tempat pemberangkatan ke luar negeri, buku-buku pengawasan tersebut harus ada di UPFLN.
b. Mengadministrasikan Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN) dengan menggunakan : -
Buku Persediaan SKBFLN, berisi catatan tentang jumlah penerimaan, penggunaan dan sisa SKBFLN;
-
UPFLN harus menyelenggarakan Laporan Harian Penerbitan SKBFLN yang berisi catatan harian tentang penerbitan SKBFLN (pencatatan berdasarkan lembar ke 3 SKBFLN).
c. Administrasi Stiker Bebas Fiskal (Pembebasan karena memiliki NPWP) -
Buku Persediaan stiker Bebas Fiskal, berisi catatan tentang jumlah penerimaan, penggunaan dan sisa stiker Bebas Fiskal;
-
UPFLN harus menyelenggarakan Laporan Harian Pembebasan FLN bagi WP yang memiliki NPWP yang berisi catatan harian tentang pemberian stiker Bebas Fiskal bagi WP yang memiliki NPWP.
2. Pelaporan Fiskal Luar Negeri
Laporan-laporan harian pelaksanaan FLN, dibuat setiap hari oleh petugas UPFLN, dan disampaikan kepada Kepala Seksi Pelayana di KPP sebagai pertanggungjawaban tugas. Berdasarkan laporan-laporan harian tersebut, Kepala Seksi Pelayanan menyusun konsep Laporan Bulanan Pelaksanaan Fiskal Luar Negeri untuk kemudian disampaikan kepada Kepala KPP atasannya untuk mendapat persetujuan. Setelah disetujui, Laporan Bulanan Pengelolaan FLN disampaikan ke Direktorat Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah masing-masing KPP. Dari uraian di atas, dapat diketahui jenis-jenis laporan yang digunakan dalam rangka pengelolan administrasi FLN (ditujukan ke Direktorat Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, tembusan ke kanwil setiap tanggal 15) adalah sebagai berikut : 1. Buku Persediaan TBFLN; 2. Buku Persedian SKBFLN; 3. Buku Persediaan Stiker Bebas Fiskal; 4. Laporan Harian Penggunaan TBFLN; 5. Buku Kas Harian FLN; 6. Berita Acara Pembatalan TBFLN; 7. Laporan Harian Penerbitan SKBFLN; 8. Laporan Harian Pembebasan FLN bagi WP yang memiliki NPWP;
9. Laporan Bulanan Pelaksanaan FLN; 10. Laporan Bulanan Pengelolaan FLN.