BAB II LANDASAN TEORI 2.1
Sistem Produksi 2.1.1
Definisi Sistem Produksi Untuk melaksanakan fungsi-fungsi Produksi dengan baik, maka
diperlukan rangkaian kegiatan yang akan membentuk suatu sistem produksi. Menurut Rosnani (2007) Sistem Produksi merupakan kumpulan dari sub sistem yang saling berinteraksi dengan tujuan mentransformasi input Produksi menjadi output Produksi. Input Produksi ini dapat berupa bahan baku, mesin, tenaga kerja, modal, dan informasi. Sedangkan output Produksi merupakan Produksi yang dihasilkan berupa hasil sampingnya, seperti limbah dan sebagainya. Sub-sub sistem dari sistem Produksi tersebut antara lain adalah Perencanaan dan Pengendalian Produksi, Pengendalian Kualitas, Penetuan Standar-Standar Operasi, Penentuan Fasilitas Produksi, Perawatan Fasilitas Produksi, Dan Penentuan Harga Pokok Produksi. Sub-sub sistem tersebut akan membentuk konfigurasi sistem Produksi. Keandalan dari konfigurasi sistem Produksi ini akan tergantung dari produk yang dihasilkan serta bagaimana cara menghasilkannya (proses produksinya). Cara menghasilkan produk tersebut dapat berupa jenis proses Produksi menurut cara menghasilkan produk, operasi dari pembuatan produk, dan variasi produk yang dihasilkan. 2.1.2
Konsep Dasar Sistem Produksi Dalam bukunya Rosnani (2007) menjelaskan bahwa konsep dasar
sistem Produksi terdiri dari : 8
9
1. Elemen Input dalam Sistem Produksi Input dalam sistem Produksi dikelompokkan menjadi dua yaitu input tetap (fixed input) dan input variable (variable input). Input tetap adalah suatu input bagi sistem Produksi yang tingkat penggunaan input itu tidak tergantung pada jumlah output yang akan diproduksi. Input variable didefinisikan sebagai suatu input bagi sistem Produksi yang tingkat penggunaan input itu tergantung pada jumlah output yang akan diproduksi. 2. Proses dalam Sistem Produksi Suatu proses dalam sistem Produksi dapat didefiniskan sebagai integrasi sekuensial dari tenaga kerja, material, informasi, metode kerja, dan mesin atau peralatan, dalam suatu lingkungan guna menghasilkan nilai tambah bagi produk agar dapat dijual dengan harga kompetitif di pasar. 3. Elemen Output dalam Sistem Produksi Output dari proses dalam sistem Produksi dapat berbentuk barang dan/atau jasa, yang dalam buku ini disebut sebagai produk. Adapun sistem Produksi manufaktur terdiri dari : 1. Modul Input-Output Produksi adalah segala proses yang dirancang untuk mengubah (mentransformasikan) suatu susunan elemen masukan (input) menjadi suatu susunan elemen keluaran (output) yang spesifik 2. Parameter Sistem Produksi Adapun parameter-parameter tersebut adalah : 1. Produksi, adalah kegiatan menghasilkan barang atau jasa. 2. Produktivitas, adalah pemanfaatan sumberdaya yang efisien (masukan) untuk menghasilkan barang atau jasa (keluaran) 3. Efisiensi, adalah rasio keluaran yang dihasilkan terhadap keluaran yang diharapkan. 4. Efektivitas, adalah tingkat pencapaian tujuan. 5. Utilitas, adalah kemampuan sebuah barang atau jasa dalam memenuhi kebutuhan manusia.
10
6. Kualitas, adalah suatu cirri, sifat, derajat, jenis, pangkat, standar atau penilaian yang membedakan suatu hal dari hal yang lainnya. 7. Kapasitas, adalah jumlah keseluruhan yang mungkin dicapai oleh pabrik dan perlengkapan yang ada.
2.1.3
Sistem Produksi Menurut Proses Menghasilkan Output Proses Produksi merupakan cara, metode, dan teknik untuk
menciptakan
atau
menambah
kegunaan
suatu
produk
dengan
mengoptimalkan sumber daya Produksi (tenaga kerja, mesin, bahan baku, dana) yang ada. Sistem Produksi menurut proses menghasilkan output secara ekstrim dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : 1. Proses Produksi kontinu (Continous Process) 2. Proses Produksi Terputus (Intermittent Process/Discrete System) Perbedaan pokok keduanya yaitu terletak pada waktu set-up peralatan Produksi. Proses kontinu tidak memerlukan weaktu set-up yang lama karena proses ini memproduksi secara terus menerus untuk jenis Produksi yang sama. Sedangkan proses terputus memerlukan total waktu set-up yang lebih lama karena proses ini memproduksi berbagai jenis spesifikasi barang sesuai pesanan, sehingga adanya pergantian jenis barang yang diproduksi akan membutuhkan kegiatan set-up yang berbeda. Jenis proses Produksi ini akan mempengaruhi tata letak fasilitas dari peralatan Produksi yaitu tata leta berdasarkan produk (product layout) dan tata letak berdasarkan proses (process layout). Product layout digunakan apabila kita memproduksi satu jenis produk yang standar yang dibuat secara masal, sedangkan process layout digunakan untuk proses Produksi terputus dimana aliran kerjanya tidak bersifat standar untuk semua output yang dihasilkan. Dalam konteks manufaktur, proses Produksi terputus ini disebut juga sistem job shop. Selain dua jenis ekstrim tersebut, beberapa ahli sistem Produksi mengidentifikasi adanya proses Produksi menurut cara menghasilkan output yang cukup penting, yaitu proses Produksi repetitive. Heizer (1988) mendefinisikan proses Produksi repetitive sebagai
11
kombinasi antara proses kontinu dan proses terputus. Proses repetitive menggunakan modul-modul. Modul-modul ini merupakan bagian atau komponen yang telah dipersiapkan sebelumnya, biasanya terjadi pada proses kontinu. Lintasan proses kontinu merupakan lintasan perakitan yang klasik. Proses repetitive digunakan secara meluas, termasuk pada perakitan untuk pembuatan mobil dan alat-alat rumah tangga, baik yang menggunakan sistem MRP maupun sistem Kanban.
2.1.4
Sistem Produksi Menurut Tujuan Operasinya Menurut Rosnani (2007) dalam bukunya menyebutkan dilihat dari
tujuan perusahaan melakukan operasinya dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan konsumen, maka sistem Produksi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu : 1) Engineering-to-Order (ETO), yaitu bila pemesan meminta produsen untuk membuat produk yang dimulai dari proses perancangannya (rekayasa). 2) Assembly-to-Order (ATO), yaitu bila produsen membuat disain standar, modul-modul operasional standar yang sebelumnya dan merakit suatu kombinasi tertentu dari modul-modul tersebut sesuai dengan pemesanan konsumen. 3) Make-to-Order (MTO), yaitu bila produsen menyelesaikan item jika dan hanya telah menerima pemesana konsumen untuk item tersebut. Bila item tersebut bersifat unik dan mempunyai desain yang dibuat menurut pesanan, maka konsumen mungkin bersedia menunggu hingga produsen dapat menyelesaikan. 4) Make-to-Stock (MTS), yaitu bila produsen membuat item-item yang diselesaikan dan ditempatkan sebagai persediaan sebelum pesanan konsumen diminta. Item akhir tersebut baru akan dikirim dari sistem persediaannya setelah pesanan konsumen diterima.
12
2.1.5
Sistem Produksi Menurut Aliran Operasi dan Variasi Produk Dalam kegiatan desain produk, titik berat perhatian kita adalah
pada masalah apa yang diproduksi, sedangkan untuk kegiatan disain proses penekannya adalah pada bagaimana kita memproduksi. Kriteria terpenting dalam mengklasifikasikan proses Produksi adalah jenis aliran opersasi dari unit-unit produk yang melalui tahapan konversi. Rosnani (2007) menjelaskan bahwa ada tiga jenis alira operasi, yaitu flow shop, job shop dan project. Ketiga jenis dasar aliran operasi ini berkembang menjadi aliran operasi modifikasi dari ketiganya, yaitu batch dan continous. Adapun karakteristik dari masing-masing aliran proses tersebut adalah sebagai berikut : 1) Flow Shop, yaitu proses konversi dimana unit-unit output secara berturut-turut melalui urutan operasi yang sama-sama pada mesinmesin khusus, biasanya ditempatkan sepanjang suatu lintasan Produksi. Proses ini biasanya digunakan untuk produk yang mempunyai desain dasar tetap untuk waktu lama dan ditujukan untuk pasar yang luas, sehingga diperlukan penyusunan bentuk proses Produksi flow shop yang biasanya bersifat MTS (Make-to-Stock). 2) Continous, proses ini merupakan bentuk ekstrim dari flow shop dimana terjadi aliran material yang konstan, contohnya adalah industri penyulingan minyak dimana kita tidak dapat mengidentifikasikan unitunit output urutan prosesnya secara tepat. Biasanya satu lintasan Produksi pada proses kontinu hanya dialokasikan untuk satu produk saja. 3) Job Shop, yaitu merupakan bentuk proses konversi di mana unit-unit untuk pesanan yang berbeda akan mengikuti urutan yang berbeda pula dengan melalui pusat-pusat kerja yang dikelompokkan berdasarkan fungsinya. Volume Produksi setiap jenis produk sedikit, variasi produk banyak, lama proses Produksi setiap jenis produk agak panjang, dan tidak ada lintasan Produksi khusus. Job shop ini bertujuan memenuhi kebutuhan khusus konsumen, jadi biasanya bersifat MTO (Make-toOrder).
13
4) Batch, yaitu merupakan bentuk satu langkah ke depan dibandingkan job shop dalam hal standarisasi produk, tetapi tidak selalu terstandarisasi seperti produk yang dihasilkan pada aliran lintasan perakitan flow shop. Sistem batch memproduksi banyak variasi produk dan volume, lama proses Produksi untuk setiap produk agak pendek,; dan satu lintasan Produksi dapat dipakai untuk beberapa tipe produk. Sehingga pembuatan produk dengan tipe berbeda akan mengakibatkan pergantian peralatan Produksi, sistem tersebut harus general purpose dan fleksibel untuk produk dengan volume yang rendah tapi variasinya tinggi. 5) Project, yaitu merupakan proses penciptaan suatu jenis produk yang agak rumit dengan suatu pendefinisian urutan tugas-tugas yang teratur akan kebutuhan sumber daya dan dibatasi oleh waktu penyelesaian.
2.2
Kualitas 2.2.1
Definisi Kualitas Kualitas menurut The American Society for Quality Control adalah
keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik–karakteristik dari suatu produk atau jasa dalam hal kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah ditentukan atau bersifat laten (Lupiyoadi, 2001). Adapun pengertian kualitas menurut American Society for Quality dari buku Heizer dan Render (2006): “Kualitas adalah keseluruhan fitur dan karakteristik produk atau jasa yang mampu memuaskan kebutuhan yang terlihat atau yang tersamar.” Goets dan Davis (1994) dalam Tjiptono (2004) merumuskan bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Konsep itu sendiri sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk atau jasa yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian. Kualitas desain merupakan fungsi spesifikasi produk, sedangkan kualitas kesesuaian adalah suatu ukuran seberapa jauh produk
14
mampu memberi persyaratan atau spesifikasi kualitas yang telah ditetapkan (Tjiptono, 2004). Pada dasarnya terdapat 3 orientasi kualitas yang seharusnya konsisten satu sama lain: (1) persepsi konsumen, (2) produk dan (3) proses. Untuk produk-produk yang berwujud barang, ketiga orientasi ini hampir selalu dapat dibedakan dengan jelas, bahkan produk-produknya adalah proses itu sendiri (Lupiyoadi, 2001). Para ahli yang lainnya yang bisa disebut sebagai para pencetus kualitas juga mempunyai pendapat yang berbeda tentang pengertian kualitas, diantaranya adalah:Joseph Juran mempunyai suatu pendapat bahwa ”quality is fitness for use” yang bila diterjemahkan secara bebas berarti kualitas (produk) berkaitan dengan enaknya barang tersebut digunakan (Suyadi Prawirosentono, 2007). M. N. Nasution (2005) menjelaskan pengertian kualitas menurut beberapa ahli yang lain antara lain: Menurut Crosby dalam buku pertamanya “Quality is Free” yang mendapatkan perhatian sangat besar pada waktu itu (1979) menyatakan, bahwa kualitas adalah “conformance to requirement”, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan. Suatu produk memiliki kualitas apabila sesuai dengan standar kualitas yang telah ditentukan. W. Edwards Deming (1982) menyatakan, bahwa kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar. Menurut Suyadi Prawirosentono (2007), pengertian kualitas suatu produk adalah “Keadaan fisik, fungsi, dan sifat suatu produk bersangkutan yang dapat memenuhi selera dan kebutuhan konsumen dengan memuaskan sesuai nilai uang yang telah dikeluarkan”. Kualitas yang baik menurut produsen adalah apabila produk yang dihasilkan oleh perusahaan telah sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan oleh perusahaan. Sedangkan kualitas yang jelek adalah apabila produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan spesifikasi standar yang telah ditentukan serta menghasilkan produk rusak. Namun demikian perusahaan dalam menentukan spesifikasi produk juga harus memperhatikan keinginan dari konsumen, sebab tanpa memperhatikan itu produk yang
15
dihasilkan oleh perusahaan tidak akan dapat bersaing dengan perusahaan lain yang lebih memperhatikan kebutuhan konsumen. Kualitas yang baik menurut sudut pandang konsumen adalah jika produk yang dibeli tersebut sesuai dengan dengan keinginan, memiliki manfaat yang sesuai dengan kebutuhan dan setara dengan pengorbanan yang dikeluarkan oleh konsumen. Apabila kualitas produk tersebut tidak dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen, maka mereka akan menganggapnya sebagai produk yang berkualitas jelek. Kualitas tidak bisa dipandang sebagai suatu ukuran sempit yaitu kualitas produk semata-mata. Hal itu bisa dilihat dari beberapa pengertian tersebut di atas, dimana kualitas tidak hanya kualitas produk saja akan tetapi sangat kompleks karena melibatkan seluruh aspek dalam organisasi serta diluar organisasi. Meskipun tidak ada definisi mengenai kualitas yang diterima secara universal, namun dari beberapa definisi kualitas menurut para ahli di atas terdapat beberapa persamaan, yaitu dalam elemen-elemen sebagai berikut (M. N. Nasution, 2005): a. Kualitas mencakup usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. b. Kualitas mencakup produk, tenaga kerja, proses dan lingkungan.
2.2.2
Kualitas Produk Produk adalah semua yang bisa ditawarkan dipasar untuk
mendapatkan perhatian, permintaan, pemakaian atau konsumsi yang dapat memenuhi keinginan atau kebutuhan konsumen (Sumarni dan J. Supranto, 1997 dalam Tjiptono, 2006). Kualitas produk mencerminkan kemampuan produk untuk menjalankan tugasnya yang mencakup daya tahan, kehandalan, kemajuan, kekuatan, kemudahan dalam pengemasan, dan reparasi produk dan ciri-ciri lainnya (Kotler dan Armstrong, 1997). Salah satu nilai utama yang diharapkan oleh pelanggan dari produsen adalah kualitas produk dan jasa yang tertinggi. Menurut Kotler : Kualitas produk adalah kemampuan suatu barang untuk memberikan hasil atau kinerja yang sesuai atau melebihi dari apa yang diinginkan pelanggan. Sedangkan Garvin yang dikutip oleh Gaspersz, untuk
16
menentukan kualitas produk, dapat dimasukkan ke dalam delapan dimensi, yaitu : 1.
Performance; berkaitan dengan aspek fungsional suatu barang dan merupakan karakterisitik utama yang dipertimbangkan pelanggan dalam membeli barang tersebut.
2. Feature; karakteristik sekunder atau pelengkap yang berguna untuk menambah fungsi dasar yang berkaitan dengan pilihan-pilihan produk dan pengembangannya. 3. Reliability; berkaitan dengan probabilitas atau kemungkinan suatu barang berhasil menjalankan fungsinya setiap kali digunakan dalam periode waktu tertentu dan dalam kondisi tertentu pula. 4. Conformance; berkaitan dengan tingkat kesesuaian dengan spesifikasi yang ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan pelanggan. Kesesuaian merefleksikan derajat ketepatan antara karakteristik desain produk dengan karakteristik kualitas standar yang telah ditetapkan. 5. Durability ; berkaitan dengan berapa lama suatu produk dapat digunakan. 6. Service Ability ; karakteristik yang berkaitan dengan kecepatan , kompetensi kemudahan dan akurasi dalam memberikan layanan untuk perbaikan barang. 7. Aesthetic ; karakteristik yang bersifat subyektif mengenai nilai-nilai estetika yang berkaitan dengan pertimbangan pribadi dan refleksi dari preferensi individual. 8. Fit and Finish ; karakteristik yang bersifat subyektif yang berkaitan dengan perasaan pelanggan mengenai keberadaan produk sebagai produk yang berkualitas.
Dengan kata lain, meskipun menurut produsennya, barang yang dihasilkannya sudah melalui prosedur kerja yang cukup baik, namun jika tetap belum mampu memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh konsumen, maka kualitas barang atau jasa yang dihasilkan oleh produsen tersebut tetap dinilai sebagai suatu yang memiliki kualitas yang
17
rendah. Disamping harus mampu memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh konsumen, baik buruknya kualitas barang yang dihasilkan juga dapat dilihat dari konsistensi keterpenuhan harapan dan kebutuhan masyarakat. Pernyataan ini menegaskan bahwa kualitas tersebut hendaknya dinilai secara periodik dan berkesinambungan sehingga terlihat konsistensi keterpenuhan standar diatas. Menurut Griffin (2002), ada beberapa tahap untuk mengelola kualitas suatu produk : 1. Perencanaan untuk kualitas Meliputi dua hal yaitu kinerja kualitas, berkaitan dengan keistimewaan kinerja suatu produk dan keandalan kualitas, berkaitan dengan konsistensi kualitas produk dari unit ke unit. 2. Mengorganisasi untuk kualitas Dalam memproduksi barang dan jasa yang berkualitas memerlukan suatu usaha dari seluruh bagian dalam organisasi. 3. Pengarahan untuk kualitas Pengarahan kualitas berarti para manajer harus memotivasi karryawan untuk mencapai tujuan kualitas. 4. Pengendalian untuk kualitas Dengan melakukan monitor atas produk dan jasa, suatu perusahaan dapat mendeteksi kesalahan dan membuat koreksinya.
2.2.3
Pengendalian Kualitas Menurut Vincent Gasperz (2005), pengendalian kualitas adalah:
“Quality control is the operational techniques and activities used to fulfill requirements for quality”. Persaingan yang sangat ketat menjadikan pengusaha semakin menyadari pentingnya kualitas produk agar dapat bersaing dan mendapat pangsa pasar yang lebih besar. Perusahaan membutuhkan suatu cara yang dapat mewujudkan terciptanya kualitas yang baik pada produk yang dihasilkannya serta menjaga konsistensinya agar tetap sesuai dengan
18
tuntutan pasar yaitu dengan menerapkan sistem pengendalian kualitas (quality control) atas aktivitas proses yang dijalani. Dalam menjalankan aktivitas, pengendalian kualitas merupakan salah satu teknik yang perlu dilakukan mulai dari sebelum proses produksi berjalan, pada saat proses produksi, hingga proses produksi berakhir dengan menghasilkan produk akhir. Pengendalian kualitas dilakukan agar dapat menghasilkan produk berupa barang atau jasa yang sesuai dengan standar yang diinginkan dan direncanakan, serta memperbaiki kualitas produk yang belum sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan sedapat mungkin mempertahankan kualitas yang telah sesuai. Tujuan dari pengendalian kualitas menurut Sofjan Assauri (1998) adalah: 1. Agar barang hasil produksi dapat mencapai standar kualitas yang telah ditetapkan. 2. Mengusahakan agar biaya inspeksi dapat menjadi sekecil mungkin. 3. Mengusahakan agar biaya desain dari produk dan proses dengan menggunakan kualitas produksi tertentu dapat menjadi sekecil mungkin. 4. Mengusahakan agar biaya produksi dapat menjadi serendah mungkin. Tujuan utama pengendalian kualitas adalah untuk mendapatkan jaminan bahwa kualitas produk atau jasa yang dihasilkan sesuai dengan standar kualitas yang telah ditetapkan dengan mengeluarkan biaya yang ekonomis atau serendah mungkin. Pengendalian kualitas harus dilakukan melaului proses yang terusmenerus dan berkesinambungan. Proses pengendalian kualitas tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan melalui penerapan PDCA (paln – do – check – action) yang diperkenalkan oleh Dr. W. Edwards Deming, seorang pakar kualitas ternama berkebangsaan Amerika Serikat, sehingga siklus ini disebut siklus deming (Deming Cycle/ Deming Wheel). Siklus PDCA umumnya digunakan untuk mengetes dan mengimplementasikan perubahan-perubahan untuk memperbaiki kinerja produk, proses atau suatu sistem di masa yang akan datang.
19
Gambar 2. 1 Plan-Do-Check-Action Sumber : Richard B. Chase, Nicholas J. Aquilano and F. Robert Jacobs, 2001 Penjelasan dari tahap-tahap dalam siklus PDCA adalah sebagai berikut (M. N. Nasution, 2005): 1. Mengembangkan rencana (Plan) Merencanakan spesifikasi, menetapkan spesifikasi atau standar kualitas yang baik, memberi pengertian kepada bawahan akan pentingnya kualitas produk, pengendalian kualitas dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan. 2. Melaksanakan rencana (Do) Rencana yang telah disusun diimplementasikan secara bertahap, mulai dari skala kecil dan pembagian tugas secara merata sesuai dengan kapasitas dan kemampuan dari setiap personil. Selama dalam melaksanakan
rencana
harus
dilakukan
pengendalian,
yaitu
mengupayakan agar seluruh rencana dilaksanakan dengan sebaik mungkin agar sasaran dapat tercapai. 3. Memeriksa atau meneliti hasil yang dicapai (Check) Memeriksa atau meneliti merujuk pada penetapan apakah pelaksanaannya berada dalam jalur, sesuai dengan rencana dan memantau kemajuan perbaikan yang direncanakan. Membandingkan kualitas hasil produksi dengan standar yang telah ditetapkan, berdasarkan penelitian diperoleh data kegagalan dan kemudian ditelaah penyebab kegagalannya. 4. Melakukan tindakan penyesuaian bila diperlukan (Action) Penyesuaian dilakukan bila dianggap perlu, yang didasarkan hasil analisis di atas. Penyesuaian berkaitan dengan standarisasi
20
prosedur baru guna menghindari timbulnya kembali masalah yang sama. Dikarenakan kegiatan pengendalian kualitas sangatlah luas, untuk itu semua pengaruh terhadap kualitas harus dimasukkan dan diperhatikan. Secara umum menurut Suyadi Prawirosentono (2007), pengendalian atau pengawasan akan kualitas di suatu perusahaan manufaktur dilakukan secara bertahap meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Pemeriksaan dan pengawasan kualitas bahan mentah (bahan baku, bahan baku penolong dan sebagainya), kualitas bahan dalam proses dan kualitas produk jadi. Demikian pula standar jumlah dan komposisinya. 2. Pemeriksaan atas produk sebagai hasil proses pembuatan. Hal ini berlaku untuk barang setengah jadi maupun barang jadi. 3. Pemeriksaan yang dilakukan tersebut memberi gambaran apakah proses produksi berjalan seperti yang telah ditetapkan atau tidak. 4. Pemeriksaan cara pengepakan dan pengiriman barang ke konsumen.
Melakukan
analisis
fakta
untuk
mengetahui
penyimpangan yang mungkin terjadi. 5. Mesin, tenaga kerja dan fasilitas lainnya yang dipakai dalam proses produksi harus juga diawasi sesuai dengan standar kebutuhan. Apabila terjadi penyimpangan, harus segera dilakukan koreksi agar produk yang dihasilkan memenuhi standar yang direncanakan. 2.1
Defect atau Cacat Produk tanpa defect (zero defects) adalah kondisi ideal yang selalu didambakan, baik oleh pembuat barang (produk dan atau jasa) maupun pelanggan atau konsumen yang memakainya. Bagi perusahaan pabrikan, dengan zero defects maka waste (pemborosan) dapat ditekan. Sedangkan keuntungan bagi konsumen jelas. Produk (apalagi yang baru dibeli/baru) sangat mengecewakan apabila ditemukan kerusakan yang membuat tampilan ataupun performa menjadi tidak maksimal (Hardi, 2014).
21
Defect kualitas
mempunyai efek biaya (cost) besar yang
berhubungan dengannya. Di samping reputasi prusahaan atau merek (brand) akan turun, waktu, dan uang yang terbuang sia-sia. Di sisi lain progam mengurangi atau bahkan menghilangkan defect membutuhkan effort besar berupa waktu dan biaya yang tidak sedikit. Ungkapan “zero defects” and “right first time” dipromosikan pertama kali oleh seorang tokoh manajemen kualitas Philip Crosby, awal tahun 1970-an. Zero defects Philip Crosby bukanlah berarti melakukan dengan sempurna dan tanpa kesalahan. Merupakan hal yang sungguh sangat sulit atau bahkan mustahil dilakukan khususnya pada industri manufaktur dengan ratusan proses dan dengan ribuan parts atau komponen. Crosby mau menekankan bahwa tidak bisa diijinkan sejumlah kesalahan dibangun pada suatu produk atau proses dan mau mengubah perspektif orang. Philip Crosby menggambarkan “empat hal yang mutak pada manajemen kualitas” yang lebih dikenal dengan The Four Absolutes of Quality Management yang antara lain menekankan:
Kualitas digambarkan sebagai kesesuaian dengan persyaratan, bukan sebagai “kebaikan” atau “kerapihan”.
Sistem untuk membangun kualitas adalah pencegahan bukan penilaian.
Standar performa harus zero defect (nol defect)
Pengukuran dari mutu adalah price (harga) ketidaksesuaian bukan indeks. Philip Crosby dengan sangat jelas dan sistematis memberikan
metode pelaksanaannya yang dikenal dengan “Empat belas tahapan program perbaikan kualitas”. Tokoh manajemen kualitas kelahiran Virginia tahun 1926 ini memperkenalkan tahapan proses perbaikan kualitas sebagai berikut: 1. Komitmen manajemen dengan penekanan pada pencegahan defect. 2. Tim perbaikan kualitas menyusun anggota tim dari setiap departemen atau fungsi beserta semua perangkat yang diperlukan. 3. Lakukan pengukuran kualitas untuk memantau/memonitor status dan aktivitas perbaikan.
22
4. Biaya evaluasi kualitas oleh alat pengontrol untuk figur yang akurat. 5. Kesadaran kualitas dengan mengomunikasikan biaya/ongkos kualitas. 6. Tindakan
korektif
untuk
menanamkan
suatu
kebiasaan
mengidentifikasi segala permasalahan dan memperbaikinya. 7. Adanya satu komite atau panitia khusus untuk mendukung ”zero defects”. 8. Melatih para penyelia/supervisor sedemikian sehingga semua para manajer
dapat
memahami
program
tersebut
dan
mampu
menjelaskannya. 9. Laksanakan dan sosialisasilkan suatu “hari tanpa defect”. 10. Menentukan sasaran/target tim yang spesifik dan terukur. 11. Mendorong komunikasi karyawan dengan manajemen mengenai rintangan dan tantangan dalam membangun kualitas. 12. Memperkenalkan pencapaian prestasi. 13. Dewan kualitas dari para profesional kualitas memimpin informasi status dan gagasan kualitas. 14. Melakukannya lagi, peningkatan kualitas terus menerus tanpa akhir.
Evans dan Lindsay (2007) menjelaskan bahwa defect
pada
suatu
produk diklasifikasikan ke dalam 3 kategori yaitu : 1. Defect kritis Defect kritis adalah suatu bentuk defect dimana penilaian dan pengalaman mengindikasikan bahwa defect produk tersebut akan menghasilkan kondisi yang berbahaya atau tidak aman bagi orang yang menggunakan, menyimpan, atau tergantung pada produk tersebut, serta membuat produk tersebut tidak dapat menunjukkan kinerja yang baik. 2. Defect penting Defect penting adalah suatu bentuk defect yang tidak kritis namun dapat mengakibatkan kegagalan atau secara material akan mengurangi tingkat penggunaan unit produk tersebut. Defect penting dapat mengakibatkan konsekuensi yang serius ataupun tuntutan hukum, maka jenis Defect ini harus diawasi dan dikendalikan dengan hati-hati.
23
3. Defect kecil Defect kecil adalah defect yang tidak terlalu mengurangi penggunaan suatu produk, atau mengakibatkan dampak penting pada efektivitas penggunaan atau pengoperasian produk tersebut. Defect jenis ini dapat mengakibatkan ketidakpuasan pelanggan.
2.2
Kontaminasi Pada Makanan atau Foreign Matter (Keamanan Pangan) Proses terjadinya kontaminasi makanan terutama disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain masih rendahnya pengetahuan dan perilaku penjamah makanan, faktor higiene perorangan penjamah, kebersihan alat makan serta sanitasi lingkungan. Pada umumnya bila terjadi kasus keracunan makanan maka yang dicurigai sebagai penyebab keracunan makanan adalah dari bahan makanan itu sendiri. Keracunan makanan juga dapat disebabkan berbagai faktor seperti terjadinya kontaminasi peralatan makanan, orang, kontaminasi silang, serta karena zat kimia. Makanan yang terkontaminasi dapat menimbulkan gejala penyakit baik infeksi maupun keracunan. Kontaminasi makanan adalah terdapatnya bahan atau organisme berbahaya dalam makanan secara tidak sengaja. Bahan atau organisme disebut kontaminan. Terdapatnya kontaminan dalam makanan dapat terjadi melalui 2 (dua) cara yaitu kontaminasi langsung dan tidak langsung atau kontaminasi silang. Kontaminasi langsung adalah kontaminasi yang terjadi pada makanan mentah, karena ketidaktahuan atau kelalaian baik disengaja atau tidak disengaja. Sedangkan kontaminasi silang adalah kontaminasi yang terjadi secara tidak langsung akibat ketidaktahuan dalam pengelolaan makanan. Contoh makanan mentah bersentuhan dengan makanan masak, makanan bersentuhan dengan peralatan kotor, seperti piring, sendok, pisau dan lainnya. Makanan mulai dari proses pengolahan sampai siap dihidangkan dapat memungkinkan terjadinya pencemaran oleh mikrobia. Pencemaran mikrobia dalam makanan dapat berasal dari lingkungan, bahan-bahan
24
mentah, air, alat-alat yang digunakan dan manusia yang ada hubungannya dengan proses pembuatan sampai siap disantap. Kontaminasi makanan dapat dibedakan dalam tiga macam, antara lain : 1. Kontaminasi biologis : Merupakan organisme yang hidup dan menimbulkan kontaminan dalam makanan. Organisme hidup yang sering menjadi kontaminan atau pencemar bervariasi mulai yang berukuran besar seperti serangga, sampai yang amat kecil seperti mikroorganisme. 2. Kontaminan kimiawi : Kontaminasi kimiawi adalah berbagai macam bahan atau unsur kimia yang menimbulkan pencemaran atau kontaminan pada bahan makanan. 3. Kontaminan fisik : Kontaminan fisik adalah benda-benda asing yang bukan bagian dari bahan makanan, yang terdapat dalam makanan. Benda ini merupakan kontaminan fisik yang selain menurunkan nilai estetis makanan juga dapat menimbulkan luka serius bila tertelan, seperti kerikil, pecahan logam dan lainnya.
2.3
Total Productive Maintenance 2.3.3
Teori Total Productive Maintenance Total Productive Maintenance (TPM) adalah teknik silang
fungsional yang melibatkan beberapa bagian fungsional perusahaan bukan hanya pada Bagian Pemeliharaan saja (Borris, 2006). Kegiatan pemeliharaan ini melibatkan Bagian Pemeliharaan dan Bagian Produksi. Sedangkan menurut Peppard dan Philip (1997), dijelaskan bahwa dalam TPM, mesin-mesin dipelihara dan tim yang ada tidak menunggu hingga terjadi kerusakan untuk melakukan perbaikan mesin, tetapi secara rutin merawatnya untuk menjamin ketersediaan mesin secara terus-menerus. Penerapan TPM dalam sebuah perusahaan haruslah dimulai dari management puncak yang diturunkan hingga ke line produksi, tujuan utama dari TPM adalah tidak adanya kerusakan/breakdown dan tidak adanya Defect/defect. Ketika kerusakan dan Defect dapat dihilangkan makan umur pakai peralatan kerja dapat meningkatkan sehingga biaya
25
dapat
ditekanm
persediaan
dapat
diminimalkan
dan
sebagai
konsekuensinya produktivitas pekerja meningkat. Terdapat lima elemen yang mendasari pengertian dari TPM, antara lain : 1. TPM bertujuan untuk memaksimalkan efektivitas dari peralatan (kerja) 2. TPM dibangun melalui sistem PM (productive maintenance) untuk keseluruhan jangka hidup dari peralatan 3. Penerapan TPM di lingkup engineering, operasional dan maintenance. 4. TPM melibatkan setiap karyawan dari puncak management sampai ke operator lantai produksi 5. TPM didasari dari penerapan PM dan motivasi dari management melalui aktivitas kelompok-kelompok kecil yang berkesinambungan Menurut Imai (1991) TPM ditujukan untuk perbaikan atas peralatan dan lebih berorientasi pada perangkat keras (hardware) melalui tindakan preventive maintenance terhadap masa penggunaan fasilitas produksi serta melibatkan setiap orang di seluruh bagian dan tingkatan. TPM mencakup delapan bagian yang dikenal dengan delapan pilar TPM yang terdiri dari : 1. Keselamatan dan Lingkungan (Safety & Environmental) Hal ini penting sekali sebagai dasar untuk mencapai zero accidents, menjamin keselamatan dan mencegah dampak lingkungan merupakan hal yang penting dalam upaya TPM. Arti pentingnya adalah menekankan pada kebutuhan akan melindungi operator, yang akan diberikan pelatihan, yang pada awalnya hanya dibebankan untuk menyelesaikan tugas yang sederhana. Mengingat bahwa sebagian besar operator akan berpartisipasi dalam autonomous maintenance, maka harus ada penilaian terhadap risiko, gambaran risiko dan beberapa konsep keselamatan secara detail. Untuk meningkatkan kepercayaan diri operator, mereka harus dilatih tentang bagaimana menyelesaikan masalah yang akan diperkiran muncul. Mereka juga harus didukung dengan pengembangan prosedur keselamatan kerja. Membangun sistem pengawasan dan proteksi lingkungan yang terintegrasi mengacu pada :
26
Pencegahan kecelakaan akibat kecerobohan pelaksana (manusia)
Isolasi dan eliminasi bahaya dari mesin/proses
Penerapan SMK3
2. Pendidikan dan Pelatihan (Education and Training) Pendidikan dan pelatihan diperlukan untuk mengetahui pengetahuan apa yang dibutuhkan dalam TPM, bagaimana untuk mengajarkannya, dan bagaimana untuk menegaskan hal tersebut telah diserap atau dimengerti dengan baik, selain itu merupakan proses belajar yang berkesinambungan (continuous learning process). Kegiatan-kegiatan skill up training yaitu :
Penjelesan umum seputar spesifikasi mesin
Cara pengoperasian dan komponen utama dalam bekerja
Program pemeriksaan rutin oleh operator
Program preventive maintenance dasar berikut jadwal
Kondisi operasional mesin dalam keadaan normal
Kemungkinan-kemungkinan failure yang terjadi pada mesin
Memotivasi operator untuk menaruh perhatian pribadi terhadap operasi normal mesin (bunyi, kecepatan, panas, indicator gauge dll)
Dua komponen utama yaitu :
Soft skills training : pelatihan keterampilan, bagaimana bekerja tim yang terampil, berbagai pelatihan dan komunikasi skill.
Technical training : peningkatan pemecahan masalah dan keterampilan yang berhubungan dengan peralatan.
3. Perawatan Rutin (Autonomous Maintenance) Pada pilar ini diharapkan terdapat peningkatan kemampuan operator pada level dimana mereka mampu mengadakan pemeliharaan dasar pada peralatan yang mereka pakai. Dengan menggunakan pola pembersihan dan inspeksi, mereka belajar untuk mengenali operasi abnormal dan mengidentifikasi masalah yang sedang berkembang. Pada tahap ini dapat melatih operator untuk saling terbuka antara
27
mereka dengan staff maintenance, sehingga mereka lebih mudah bekerja dalam satu tim, mengganti peralatan sehingga operator dapat mengidentifikasi
kondisi
abnormal
dan
mengukur
penurunan
(deterioration) sebelum mempengaruhi proses atau menyebabkan kegagalan (failure). Kegiatan-kegiatan meliputi :
Persiapan
pengalihan
pekerjaan
maintenance
dari
bagian
maintenance kepada operator secara terencana
Standart baku prosedur perawatan yang meliputi tempat/bagian, metode, alat dan periode/waktu.
Melengkapi peralatan/mesin dengan petunjukan visual control dan sarana penunjang
Perangkat monitoring/supervise langsung.
4. Pemeliharaan Terencana (Planned Maintenance) Pemeliharaan terencana untuk memperhatikan lebih dalam mengenai
penyebab
timbulnya
masalah
pada
peralatan
dan
mengidentifikasi serta mengimplementasi jalan keluar dari masingmasing penyebab tersebut. Tujuan membangun preventive dan predictive maintenance untuk peralatan dan perkakas.
Perbaikan penggunaan
Perbaikan set up
Pembersihan
Lubrication
Pengencangan kembali (Retightening)
Feedback dan refair defect kecil
Kualitas suku cadang
Pemeliharaan terencana meliputi sebagai berikut :
Pelaksanaan maintenance dilakukan sesuai dengan jadwal yang disepakati
Mempersiapkan semua kebutuhan untuk melaksanakan PM, meliputi metode, tools, oils/lubrication, parts dll
28
Melibatkan operator dalam kegiatan maintenance dan member porsi (kecil dan sederhana) yang realistis.
Laporan PM sebagai gambaran kondisi saat ini.
5. Pemeliharaan Kualitas (Quality Maintenance) Quality mengontrol
Maintenance
kondisi
merupakan
komponen
suatu
peralatan
yang
proses
untuk
mempengaruhi
variabilitas kualitas produk, dengan tujuan untuk mengatur dan menjaga kondisi untuk mencapai zero defects. Pilar ini menggunakan tim dari cross-functional untuk menganalisa area dari kinerja peralatan dimana variasi produk dapat direduksi. Jika terdapat masalah yang telah ditemukan, tim akan menginvestigasi apakah perubahan atau penggantian harus diimplementasikan agar terjadi peningkatan hasil. Tingkat kualitas memiliki korelasi dengan kondisi material, presisi peralatan, metode produksi, dan parameter proses. 10 Step Quality Maintenance yaitu : 1) Verifikasi Kondisi Saat Ini 2) Investigasi Proses Tempat Terjadinya Defect 3) Analisa 3M/4M (Machine, Method/Man, Material) 4) Plan-Action Untuk Memperbaiki atau Menghilangkan Defect 5) Investigasi Lebih Dalam Untuk Kondisi Yang Tidak Sesuai 6) Perbaikan Kondisi 3M/4M 7) Standarisasi 3M/4M 8) Integrasi dan Menguatkan Cara Pengecekan 9) Membuat QM Matrix 10) Periksa dan monitor trend-nya
6. Berfokus pada Peningkatan (Focus Improvement) Tujuan Focused Improvement yaitu untuk memaksimalkan efisiensi dan menghilangkan kemubaziran (waste) dan manufaktur ing losses. Tim yang terdiri dari lintas fungsi melakukan identifikasi terhadap masalah yang muncul kemudian mencari solusi permanen
29
untuk masalah tersebut. Masalah yang dibahas harus dievaluasi untuk menentukan apakah keputusan yang diambil berdampak positif sehingga bermanfaat untuk menghemat biaya. Kategori manufaktur ing losses yaitu equipment losses, manpower losses dan material losses.
Selesai
Mulai
Membuat rencana berikutnya
Membentuk tim dan strukturnya
Melakukan standarisasi Mengidentifikasi atau mengklasifikasikan losses
Ya Tidak
Menentukan tema dan memberikan alasan
Apakah hasil sesuai target
Pemahaman mengenai proses, mekanisme dan peralatan
Mengecek hasil penanggulangan
Memahami kondisi aktual
Melaksanakan penanggulangan
Menentukan target
Membuat rencana
Mengusulkan penanggulangan
Analisa Penyebab
Gambar 2. 2 Flow Pembuatan Focused Improvement Sumber : MED ULI, 2012
30
7. Early Management Tujuannya yaitu membangun sistem untuk lebih singkat, seperti produk baru atau pengembangan peralatan, start up, commissioning dan stabilisasi waktu untuk kualitas dan efisiensi. Early management akan membuat peralatan baru menjadi lebih mudah untuk dioperasikan, mudah untuk dibersihkan, mudah untuk diperbaiki waktu set-up lebih cepat, dan beroperasi pada biaya yang terendah. (MED ULI, 2012)
8. TPM in Office Administrasi dan pendukung dapat dilihat sebagai proses perusahaan yang tugas utama adalah untuk mengumpul, memproses dan mendistribusikan informasi. Proses analisa harus diterapkan untuk persingkat arus informasi.
TPM dirancang untuk mencegah terjadinya berbagai kerugian dengan mengembangkan metoda pengelolaan, penggunaan dan perawatan peralatan yang pada akhirnya dapat memaksimumkan efisiensi pada sistem produksi secara keseluruhan (Apriliani, 2007). Di dalam TPM disebutkan delapan kerugian besar yang harus dihindari, yaitu : 1. Kerugian karena kerusakan mesin dan peralatan. 2. Kerugian karena pemasangan dan penyetelan mesin. 3. Kerugian karena penggantian alat pada mesin. 4. Kerugian pada saat mesin mulai beroperasi. 5. Kerugian karena mesin berhenti sesaat atau karena mesin beroperasi tanpa beban. 6. Kerugiaan karena kecepatan mesin. 7. Kerugian karena produk Defect maupun karena produk yang diproses ulang. 8. Kerugian karena mesin berhenti beroperasi.
31
TPM merupakan konsep pemeliharaan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi sekaligus meningkatkan moral dan tanggung jawab karyawan pada masing-masing pekerjaan yang mereka lakukan. TPM merupakan siklus yang menggabungkan sistem perawatan bersifat pencegahan (preventive maintenance) dan perawatan bersifat perbaikan (corrective maintenance). Kata “Total” dalam TPM mengandung pengertian sebagai berikut : 1. Total efektivitas, mengindikasikan bahwa TPM meningkatkan efektivitas pemakaian alat secara keseluruhan. 2. Total sistem pemeliharaan, termasuk program pemeliharaan pencegahan. 3. Total partisipasi, artinya kegiatan TPM mengikutsertakan seluruh jajaran pada setiap level mulai dari manajemen puncak sampai operator. Setiap karyawan harus memiliki sikap hidup dan budaya berdasarkan prinsip 5 S sebagai modal dasar dalam menerapkan TPM. Prinsip 5 S tersebut yaitu : 1. Seiri (clearing up), yaitu memilah atau menyortir semua barang atas dua kelompok, perlu dan tidak perlu. Barang yang termasuk kelompok tidak perlu disingkirkan. 2. Seiton (organizing), yaitu memastikan bahwa ada tempat untuk semua barang dan setiap barang ada ditempatnya. Dengan demikian setiap barang siap pakai tanpa mencari-cari terlebih dahulu. 3. Seiso (cleaning), yaitu membersihkan tempat kerja (bebas dari debu dan kotoran sampah) sehingga karyawan dan mesin (man and machine) siap kerja pada kapasitas maksimum setiap dimulai. 4. Seiketsu (standardizing), yaitu secara tetap atau kontinu melaksanakan seiri, seiton dan seiso. Dengan melakukan hal tersebut seseorang akan menjadi teladan yang baik bagi orang lain diperusahaan. 5. Sitsuke (training and discipline), yaitu mendorong orang lain mengikuti contoh yang kita lakukan sehingga seiri, seiton, dan seiso dikerjakan dengan patuh.
32
2.4
Statistical Process Control (SPC) Pengendalian Proses Statistikal (Statistical Process Control=SPC) adalah
suatu terminologi yang mulai digunakan sejak tahun 1970-an untuk menjabarkan penggunaan teknik-teknik statistikal dalam memantau dan meningkatkan performansi proses menghasilkan produk berkualitas. Pengendalian kualitas merupakan aktivitas teknik dan manajemen, pengukuran karakteristik kualitas dari output (barang dan/atau jasa), kemudian membandingkan hasil pengukuran itu dengan spesifikasi output yang diinginkan pelanggan, serta mengambil tindakan perbaikan yang tepat apabila ditemukan perbedaan antara performansi aktual dan standar (Vincent, 1998). Menurut Yamit (2004) Statistical Process Control (SPC) bertujuan untuk menyelidiki dengan cepat sebab-akibat terjadinya kesalahan dan melakukan tindakan perbaikan sebelum terlalu banyak produk Defect yang diproduksi. Tujuan utama dala pengendalian proses statistic adalah mendeteksi adanya kasus dalam variasi atau kesalahan proses melalui analisa data dari masa lalu maupun masa mendatang, variasi proses sendiri terdiri dari dua macam penyebab, yaitu penyebab umum (random cause atau chance cause atau common cause) yang sudah melekat pada proses dan penyebab khusus (assignable cause atau special cause) yang merupakan kesalahan yang berlebihan. Menurut Antony et al. (2000), ada beberapa manfaat tersebut, antara lain : 1. Tersedianya informasi bagi karyawan apabila akan memperbaiki proses. 2. Membantu karyawan memisahkan sebab umum dan sebab khusus terjadinya kesalahan. 3. Tersedianya bahasa yang umum dalam kinerja proses untuk berbagai pihak. 4. Menghilangkan penyimpangan karena sebab khusus untuk mencapai konsistensi dan kinerja yang lebih baik. 5. Pengertian yang lebih baik mengenai proses. 6. Pengurangan waktu yang berarti dalam penyelesaian masalah kualitas. 7. Pengurangan biaya pembuangan produk Defect, pengerjaan ulang terhadap produk Defect, inspeksi ulang, dan sebagainya.
33
8. Komunikasi yang lebih baik dengan pelanggan tentang kemampuan produk dalam memenuhi spesifikasi pelanggan. 9. Membuat organisasi lebih berorientasi pada data statistik dari pada hanya berasumsi saja. 10. Perbaikan proses, sehingga kualitas produk menjadi lebih baik, biaya lebih rendah, dan produktivitas meningkat. Langkah-langkah dalam SPC dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Merencanakan penggunaan alat-alat statistical 2. Memulai menggunakan alat-alat statistical tersebut 3. Mempertahankan
atau
menstabilkan
proses
dengan
cara
menghilangkan variasi penyebab khusus yang dianggap merugikan 4. Merencanakan perbaikan proses terus menerus dengan mengurangi variasi penyebab umum 5. Mengevaluasi dan meninjau ulang terhadap penggunaan alat-alat statistical itu. Pengendalian kualitas secara statistik dengan menggunakan SPC (Statistical Process Control) dan SQC (Statistical Quality Control), mempunyai 7 (tujuh) alat statistik utama yang dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mengendalikan kualitas sebagaimana disebutkan juga oleh Heizer dan Render dalam bukunya Manajemen Operasi (2006), antara lain yaitu; check sheet, histogram, control chart, diagram pareto, diagram sebab akibat, scatter diagram dan diagam proses. 7 Alat dasar yang digunakan dalam SPC (Statistical Process Control) adalah : 1. Lembar Periksa (Check Sheet) 2. Diagram Tebar (Scatter Diagram) 3. Diagram Sebab-Akibat (Cause-and-Effect Diagram) 4. Diagram Pareto (Pareto Chart) 5. Diagram Alir (Flow Chart) 6. Diagram Batang (Histogram) 7. Peta Kontrol atau Bagan Kendali (Control Chart)
34
1. Lembar Pemeriksaan (Check Sheet ) Lembar periksa menurut Vincent (1998) yaitu suatu formulir, di mana item-item yang akan diperiksa telah dicetak dalam formulir itu, dengan maksud agar data dapat dikumpulkan secara mudah dan ringkas. Menurut Ishikawa (1989), lembar pemeriksaan mempunyai banyak tujuan, tetapi yang terutama adalah membuat mudah pengumpulan data dan dalam bentuk yang dapat dengan mudah digunakan dan dianalisis secara otomatis. Lembar pemeriksaan mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Pemeriksaan distribusi proses produksi 2. Pemeriksaan item Defect 3. Pemeriksaan lokasi Defect 4. Pemeriksaan penyebab Defect 5. Pemeriksaan konfirmasi pemeriksaan 6. Lain-lain.
Gambar 2. 3 Contoh Check Sheet Langkah-langkah pembuatan lembar pemeriksaan menurut Vincent (1998) yaitu sebagai berikut : 1) Menjelaskan tujuan pengumpulan data 2) Identifikasi apa variable atau atribut karakteristik kualitas yang sedang diukur, berkaitan dengan hal ini kita dapat mengikuti langkah-langkah spesifik. 3) Menentukan waktu dan tempat pengukuran. 4) Mulai mengumpulkan data untuk item yang sedang di ukur.
35
5) Menjumlahkan data yang telah dikumpulkan itu. 6) Memutuskan untuk mengambil tindakan perbaikan atas penyebab masalah yang sedang terjadi itu.
2. Diagram Tebar (Scatter Diagram) Pada dasarnya diagram tebar merupakan suatu alat interpretasi data yang digunakan untuk :
Menguji bagaimana kuatnya hubungan antara dua variabel.
Menentukan jenis hubungan dari dua variabel itu, apakah positif, negatif, atau tidak ada hubungan. (Vincent, 1998)
Dua variabel yang ditunjukkan dalam diagram tebar dapat berupa : - Karakteristik kualitas dan faktor yang mempengaruhinya. - Dua karakteristik kualitas yang saling berhubungan. - Dua
faktor
yang
saling
berhubungan
yang
mempengaruhi
karakteristik kualitas.
Gambar 2. 4 Contoh Diagram Sebar Langkah-langkah pembuatan diagram tebar (Scatter Diagram) 1) Kumpulkan pasangan data (x, y) yang akan dipelajari dipelajari hubungannya serta susunlah data itu dalam tabel. Usahakan agar pasangan data yang dikumpulkan cukup banyak, sebaiknya tidak kurang dari 30 pasangan data (n > 30)
36
2) Tentukan nilai-nilai maksimum dan minimum untuk kedua variable x dan y. 3) Tebarkan (plot) data pada selembar kertas. Apabila dijumpai data bernilai sama dari pengamatan yang berbeda, gambarkan titik-titik itu seperti lingkaran konsentrasi (.) atau plot titik kedua yang bernilai sama itu di sekitar titik pertama. 4) Berikan informasi secukupnya agar orang lain dapat memahami diagram tebar itu.
3. Diagram Sebab-akibat (Cause and Effect Diagram) Diagram sebab-akibat adalah suatu diagram yang menunjukkan hubungan antara sebab dan akibat, diagram sebab-akibat dipergunakan untuk menunjukkan factor-faktor penyebab (sebab) dan karakteristik kualitas (akibat) yang disebabkan oleh faktor-faktor penyebab itu (Vincent, 1998). Pada dasarnya diagram sebab-akibat dapat digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan berikut :
Membantu mengidentifikasi akar penyebab dari suatu masalah
Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah
Membantu dalam penyelidikan atau pencarian fakta lebih lanjut
Gambar 2. 5 Contoh Fish Bone Langkah-langkah pembuatan diagram sebab-akibat yaitu sebagai berikut : 1) Mulai dengan pertanyaan masalah-masalah utama yang penting dan mendesak untuk diselesaikan
37
2) Tuliskan pernyataan masalah itu pada “kepala ikan”, yang merupakan akibat (effect). Tuliskan pada sisi sebelah kanan dari kertas (kepala ikan), kemudian gambarkan “tulang belakang” dari kiri ke kanan dan tempatkan pernyataan masalah itu dalam kotak 3) Tuliskan factor-faktor penyebab utama (sebab-sebab) yang mempengaruhi masalah kualitas sebagai “tulang besar”, juga ditempatkan dalam kotak. Faktor-faktor penyebab atau kategori-kategori utama dapat dikembangkan melalui stratifikasi kedalam pengelompokan dari factor-faktor : manusia, mesin, peralatan, material, metode kerja, lingkungan kerja, pengukuran, dll, atau stratifikasi melalui langkah-langkah actual dalam proses. Factorfaktor penyebab atau kategori-kategori dapat dikembangkan melalui brainstorming. 4) Tuliskan penyebab-penyebab sekunder yang mempengaruhi penyebabpenyebab utama (tulang-tulang besar), serta penyebab-penyebab sekunder itu dinyatakan sebagai “tulang-tulang berukuran sedang”. 5) Tuliskan penyebab-penyebab tersier yang mempengaruhi penyebabpenyebab sekunder (tulang-tulang berukuran sedang), serta penyebabpenyebab tersier itu dinyatakan sebagai “tulang-tulang berukuran kecil” 6) Tentukan item-item yang penting dari setiap factor dan tandailah factorfaktor penting tertentu yang kelihatannya memiliki pengaruh nyata terhadap karakteristik kualitas. 7) Catatlah informasi yang perlu di dalam diagram sebab-akibat itu, seperti : judul, nama produk, proses, kelompok, daftar partisipan, tanggal, dll.
4. Diagram Pareto (Pareto Analysis) Diagram pareto adalah grafik batang yang menunjukkan masalah berdasarkan urutan banyaknya kejadian. Masalah yang banyak terjadi ditunjukkan oleh grafik batang pertama yang tertinggi serta ditempatkan pada sisi paling kiri, dan seterusnya sampai masalah yang paling sedikit terjadi ditunjukkan oleh grafik batang terakhir yang terendah serta ditempatkan pada sisi paling kanan. Diagram pareto dapat digunakan sebagai alat interpretasi untuk :
38
Menentukan frekuensi relative dan urutan pentingnya masalahmasalah atau penyebab-penyebab dari masalah yang ada
Memfokuskan perhatian pada isu-isu kritis dan penting melalui pembuatan ranking terhadap masalah-masalah atau penyebabpenyebab dari masalah itu dalam bentuk yang signifikan.
Gambar 2. 6 Contoh Diagram Pareto Langkah-langkah pembuatan digrama pareto yaitu sebagai berikut : 1) Menentukan masalah yang akan diteliti, mengidentifikasi kategorikategori
atau
diperbandingkan,
penyebab-penyebab setelah
itu
dari
masalah
merencanakan
dan
yang
akan
melaksanakan
pengumpulan data. 2) Membuat suatu ringkasan daftar atau table yang mencatat frekuensi kejadian dari masalah yang telah diteliti dengan menggunakan formulir pengumpulan data atau lembar pemeriksaan. 3) Membuat daftar masalah secara berurutan berdasarka frekuensi kejadian dari yang tertinggi sampai terendah, serta hitunglah frekuensi kumulatif, presentase dari total kejadian, dan presentase dari total kejadian secara kumulatif. 4) Menggambar dua buah garis vertical dan sebuah garis horizontal. 5) Buatkan histogram pada diagram pareto 6) Gambarkan kurva kumulatif serta cantumkan nilai-nilai kumulatif (total kumulatif atau persen kumulatif) di sebelah kanan atas dari interval setiap item masalah.
39
7) Memutuskan untuk mengambil tindakan perbaikan atas penyebab utama dari masalah yang sedang terjadi itu. 5. Diagram Alir/ Diagram Proses (Process Flow Chart ) Diagram Alir secara grafis menyajikan sebuah proses atau sistem dengan menggunakan kotak dan garis yang saling berhubungan. Diagram ini cukup sederhana, tetapi merupakan alat yang sangat baik untuk mencoba memahami sebuah proses atau menjelaskan langkah-langkah sebuah proses. Diagram Alir dipergunakan sebagai alat analisis untuk: 1) Mengumpulkan
data
mengimplementasikan
data
juga
merupakan
ringkasan visual dari data itu sehingga memudahkan dalam pemahaman. 2) Menunjukkan output dari suatu proses. 3) Menunjukkan apa yang sedang terjadi dalam situasi tertentu sepanjang waktu. 4) Menunjukkan kecenderungan dari data sepanjang waktu. 5) Membandingkan dari data periode yang satu dengan periode lain, juga memeriksa perubahan-perubahan yang terjadi.
Gambar 2. 7 Contoh Diagram Alir 6. Histogram Histogram menurut Vincent (1998)
merupakan salah satu alat
yang membantu dalam menemukan variasi. Histogram merupakan suatu potret dari proses yang menunjukkan: (1) distribusi dari pengukuran, dan (2) frekuensi dari setiap pengukuran itu. Dengan demikian histogram dapat
40
dipergunakan sebagai suatu alat untuk: (1) mengkomunikasikan informasi tentang variasi dalam proses, dan (2) membantu manajemen dalam membuat keputusan-keputusan yang berfokus pada usaha perbaikan terus menerus (continuous improvement efforts). Shipment Weight 9 8 7
Frequency
6 5 4 3 2 1 0 875
885
895
905
915
925
935
945
955
Shipment weight, kg
Gambar 2. 8 Contoh Histogram Langkah-langkah pembuatan histogram sebagai berikut : 1) Mengumpulkan data pengukuran 2) Tentukan besarnya range (R) 3) Tentukan banyaknya kelas interval 4) Tentukan interval kelas, batas kelas, dan nilai tengah kelas. 5) Tentukan frekuensi dari setiap kelas interval 6) Buatlah histogram dengan memperhatikan hal-hal berikut.
7. Peta Kendali (Control Chart ) Menurut Vincent (1998) peta kontro pada awalnya dimaksudkan untuk menghilangkan variasi tidak normal melalui pemisahan variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus dari variasi yang disebabkan oleh penyebab umum. Pada dasarnya semua proses menampilkan variasi, namun manajemen harus mampu mengendalikan proses dengan cara menghilangkan variasi penyebab khusu dari prose situ, sehingga variasi yang melekat pada proses hanya disebabkan oleh variasi penyebab umu. Peta control merupakan alat ampuh dalam mengendalikan proses, asalkan penggunaannya dipahami secara benar.
41
Menurut Ishikawa (1989) tujuan menggambarkan peta kendali adalah untuk menetapkan apakah setiap titik pada grafik normal atau tidak normal, dan jadi mengetahui pengubahan dalam proses dari mana data dikumpulkan.
Sehingga
data
setiap
titik
pada
grafik
harus
mengindikasikan dengan tepat dari proses mana data diambil. Pada dasarnya peta control dipergunakan untuk:
Mencapai suatu keadaan terkendali secara statistical.
Memantau proses terus-menerus sepanjang waktu agar proses tetap stabil secara statistical dan hanya mengandung variasi penyebab umum
Menentukan kemampuan proses (proses capability).
Gambar 2. 9 Contoh Peta Kendali
Langkah-langkah pembuatan control chart sebagai berikut : 1) Memilih satu ukuran kunci untuk mengkaji pergerakan dari variable atau atribut yang berkaitan dengan kualitas sepanjang waktu. Ukuran kunci yang dipilih seyogianya berkaitan dengan upaya-upaya perbaikan proses terus menerus yang telah menjadi komitmen dari manajemen industri itu. 2) Menggambarkan control chart, di mana sumbu horizontal menunjukkan periode waktu pengamatan sedangkan sumbu vertical menunjukkan indicator pengukuran yang berkaitan dengan karakteristik kualitas yang ingin dikaji dari waktu ke waktu. 3) Plot data pengamatan ke dalam control chart, tambahkan informasi lain yang bermanfaat. 4) Lakukan analisa lanjutan serta mengambil tindakan untuk perbaikan proses terus menerus sesuai dengan komitmen dari manajemen.
42
2.5
Hubungan
Kegiatan
Pengendalian
Kualitas
dengan
Keamanan Pangan PT Unilever Indonesia Tbk merupakan salah satu perusahaan yang memiliki pengaruh besar dalam dunia industri makanan. Sebagai perusahaan manufactur dengan berbagai merk yang dikenal dan banyak digunakan masyarakat, hal ini menjadi salah satu motivasi untuk menjadi selalu lebih baik dalam menciptakan produk sehingga dapat di konsumsi oleh masyarakat dalam kondisi baik. Kegiatan usaha PT Unilever Indonesia Tbk meliputi produksi berbagai macam produk jadi, dengan supply bahan baku dari supplier yang kemudian diolah menjadi produk jadi. Produk akhir yang dihasilkan merupakan finish good yang telah siap untuk dipasarkan ke pasaran dengan nilai kualitas baik yang telah mendapat approval dari Departemen Quality Control. Fokus Unilever selain kepada safety, hal lainnya yaitu tentang kualitas produk yang harus dijaga dalam melaksanakan kegiatan Produksi. Kualitas di awasi mulai dari hulu (Supplier), saat produksi hingga Hilir (Konsumen). Parameter kualitas terbagi menjadi beberapa bagian yaitu kimia, mikrobiologi dan fisika, fokus dalam penelitian ini berada pada kualitas secara fisika. Parameter fisika ini lebih dikenal dengan Consumer/Costumer Relevant Quality Standar (CRQS) yang artinya standar kualitas produk yang dilihat dari sudut pandang konsumen atau customer. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen memiliki peran penting dalam hal kualitas. Kualitas produk yang didefiniskan oleh konsumen ditentukan melalui beberapa Faktor yang mempengaruhinya. Diantaranya yaitu Quality of Design (Kualitas Design), Quality of Manufacture (Kualitas saat berada di Pabrik), dan Quality of Distribution (Kualitas saat dilakukan pengiriman). Analisa kualitas dilakukan dengan tiga tipe yaitu On-pack (pengecekan dilakukan tanpa membuka kemasan dan bukan pada
isi produk, contoh kardus), In-pack (pengecekan
dilakukan pada produk atau kemasan produk, contoh kemasan produk), In-use (pengecekan dilakukan pada isi produk atau dengan membuka kemasan, contoh formulasi). Penilaian hasil akhir berupa Red (Produk sudah tidak bisa diterima
43
dan konsumen tidak akan membeli), Amber (Konsumen dapat menerima akan tetapi menimbulkan rasa kecewa) dan Green (Produk OK). Foreign matter (benda asing) merupakan kontaminasi bahan atau senyawa yang secara tidak sengaja ditambahkan, tetapi terdapat pada produk pangan. Kontaminan pangan ini bisa masuk dan terdapat dalam produk pangan sebagai akibat dari (i) penanganan dan/atau proses mulai dari tahap produksi (di tingkat kultivasi maupun di pabrik), pengemasan, transportasi, penyimpanan atau pun penyiapannya; dan (ii) pencemaran dari lingkungan (environmental contamination) (Betty, 2010) Fokus pada penelitian ini dilakukan pada kontaminasi fisik yang terjadi yaitu Logam. Logam yang ditemukan yaitu berupa baut dan ring atau potongan ring dan baut dari mesin saat beroperasi. Penemuan defect bervariasi, akan tetapi pemilihan logam dikarenakan dampak yang ditimbulkan akan lebih berbahaya, baik itu pada konsumen maupun pada perusahaan. Kontaminasi logam dapat menyebabkan masalah pada keamanan pangan yang serius, apabila logam ini tertelan oleh konsumen maka akan berakibat pada kesehatan konsumen, sehingga bisa berdampak buruk pada keberlangsungan perusahaan. Sesuai UU no 7 tahun 1996 Bab II tentang Pangan, dijelaskan dalam Pasal 6 yang berbunyi setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan atau proses Produksi, penyimpanan, pengangkutan, atau peredaran pangan wajib: a. memenuhi persyaratan sanitasi keamanan dan keselamatan manusia b. menyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala dan c. menyelenggarakan pengawasan atas pemenuhan persyaratan sanitasi Hal ini menunjukkan bahwa keamanan pangan sangat dijaga akan baik proses maupun kualitas, sehingga tidak membahayakan konsumen yang mengkonsumsi.
2.6
Hubungan
Kegiatan
Pengendalian
Kualitas
dengan
Strategi
Perusahaan Strategi-strategi yang diterapkan perusahaan diharapkan dapat mencapai tujuan perusahaan tersebut dan dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain yang sejenis. Maka dari itu, para manajer dituntut untuk menciptakan strategi
44
yang baik. Namun strategi yang baik saja tidak cukup. Perusahaan harus juga memperhatikan mutu produk dan jasa mereka. Tidak dipungkiri bahwa tujuan perusahaan menjalankan usaha adalah untuk mencari keuntungan (profit). Dikarenakan tujuan tersebut, banyak perusahaan-perusahaan yang melanggar etika bisnis. Ada beberapa perusahaan yang hanya berfokus untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dan ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya, sehingga perusahaan tersebut melupakan kesejahteraan karyawan dan service terhadap customer. Ada hubungan yang erat antara mutu produk (barang dan jasa), kepuasan pelanggan, dan laba perusahaan. Makin tinggi mutu suatu produk, makin tinggi pula kepuasan pelanggan dan pada waktu yang bersamaan akan mendukung harga yang tinggi dan seringkali biaya rendah. Oleh karena itu program perbaikan mutu bertujuan menaikkan laba. Dari penelitian membuktikan ada korelasi yang kuat antara mutu dengan laba yang dapat diraih oleh perusahaan. Porter (1980:264) menyarankan menggunakan strategi bersaing untuk memenuhi kebutuhan konsumen, produk yang berkualitas dan dengan harga yang terjangkau yang tujuannya untuk mendapatkan kepercayaan konsumen. Hal-hal ini yang menjadi dasar dalam penelitian ini, dengan penjaminan kualitas yang baik, maka tujuan dari perusahaan akan tercapai, kepuasan pelanggan akan membawa dampak yang baik bagi pertumbuhan perusahaan, sehingga tampak nyata antara penjaminan kualitas, kepuasan pelanggan yang sehingga akan berakibat pada pertumbuhan perusahaan yang semakin baik. Penjaminan kualitas bukan hal yang mudah, sehingga diharapkan semua lini dalam perusahaan memiliki komitmen yang baik akan kualitas produk yang dihasilkan. Dalam penelitian ini, penjaminan kualitas pada produk dengan berfokus pada foreign matter dengan spesifik logam pada produk bumbu penyedap makanan. Bumbu penyedap makanan merupakan suatu produk yang ditambahkan kedalam suatu makanan olahan, yang apabila terjadi kontaminasi baut atau ring akan berakibat fatal baik itu terhadap konsumen maupun perusahaan, sehingga dalam hal ini, dibuat suatu analisa dan pencegahan terjadinya hal tersebut.