BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pajak 1. Pengertian dan Dasar Hukum Pajak Para ahli perpajakan membuat berbagai macam definisi yang tidak jauh berbeda mengenai pajak. Pengertian pajak yang dikemukakan oleh Djajadiningrat yang dikutip oleh Siti (2009: 1) mengatakan bahwa: Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan ke Kas Negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan tetapi tidak ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum. Pengertian pajak menurut Soemitro yang dikutip oleh Erly (2011: 2) berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ”surplus”-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama dalam membiayai public investment.
Waluyo (2011: 2) menuliskan pengertian pajak yang dikemukakan oleh Adriani bahwa: Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.
6
Waluyo (2011: 2) juga menuliskan pendapat Smeets mengenai pengertian pajak yaitu sebagai berikut: Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Menurut Soemitro seperti dikutip oleh Mardiasmo (2011: 1) bahwa pengertian pajak adalah sebagai berikut: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontrapestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang Perpajakan Tahun 2010, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan berbagai pengertian pajak yang tertera diatas, ciri-ciri pajak di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut (Erly, 2011: 10) : a. Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah. b. Pajak
dipungut
berdasarkan/dengan
kekuatan
undang-undang
serta
aturan
pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan. c. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah. d. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
7
e. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. f. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah. g. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung. Karena pemungutan pajak dapat dipaksakan dan tidak memberikan imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, maka pemungutan pajak harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari rakyat (melalui DPR). Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 23 ayat (2) UUD 1945, yaitu Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang. 2. Fungsi Pajak Peranan penerimaan pajak menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya pemerintahan dan pembangunan nasional karena pajak yang dipungut negara tersebut digunakan kembali untuk kesejahteraan rakyat dan membiayai kepentingan umum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa fungsi pajak sangatlah penting. Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak yaitu sebagai berikut: a. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh: dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. b. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap
8
minuman keras, dapat ditekan. Contoh lainnya pengenaan bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk produk-produk impor tertentu dalam rangka melindungi produk-produk dalam negeri. 3. Pengelompokkan Pajak Pengelompokkan pajak dibagi kedalam tiga kelompok yaitu berdasarkan golongannya, berdasarkan sifatnya dan berdasarkan wewenang pemungutnya. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Pajak Langsung Berdasarkan Golongan Pajak Tidak Langsung
Pajak Pajak
Berdasarkan
Subjektif
Sifat Pajak Objektif
Pajak Berdasarkan
Pusat/Negara
Wewenang Pemungut Pajak Daerah
Gambar 2.1 Pengelompokkan Pajak 9
Menurut Waluyo (2011: 12) pajak dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok yaitu sebagai berikut: a. Berdasarkan golongan atau pembebanan, dibagi menjadi dua adalah sebagai berikut: 1) Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan. 2) Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. b. Berdasarkan sifat Pembagian pajak menurut sifatnya dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip adalah sebagai berikut: 1) Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan. 2) Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. c. Berdasarkan wewenang pemungut dan pengelolanya, adalah sebagai berikut: 1) Pajak pusat/negara, adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Pajak pusat diatur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Contoh: Pajak Penghasilan
10
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. 2) Pajak daerah, adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah diatur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pajak daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak Daerah Provinsi contohnya yaitu Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. Sedangkan Pajak Daerah Kabupaten/Kota contohnya yaitu pajak reklame, pajak hiburan. 4. Wajib Pajak Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Wajib Pajak merupakan orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE – 18/PJ/2011 menjelaskan pihak-pihak yang dimaksud sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi, yaitu meliputi:
11
a. WP
Orang
Pribadi
Karyawan
yaitu
WP
Orang
Pribadi
yang
hanya
menerima/memperoleh penghasilan dari satu atau lebih pemberi kerja atau penghasilan lainnya selain dari usaha/pekerjaan bebas; b. WP
Orang
Pribadi
Non
Karyawan
yaitu
WP
Orang
Pribadi
yang
menerima/memperoleh penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas atau penghasilan lainnya. Termasuk dalam pengertian WP Orang Pribadi Non Karyawan ini adalah WP Orang
Pribadi
Karyawan
yang
menerima/memperoleh
penghasilan
dari
usaha/pekerjaan bebas. Yang dimaksud dengan wajib pajak badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Wajib pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak terdiri dari Wajib Pajak aktif dan Wajib Pajak non aktif. Wajib Pajak aktif adalah WP yang mempunyai kegiatan usaha dan terdaftar di kantor pajak yang masih aktif dalam memenuhi kewajiban perpajakannya berupa memenuhi kewajiban menyampaikan SPT Masa dan atau Tahunan sebagaimana mestinya.
12
B. Nomor Pokok Wajib Pajak 1. Pengertian NPWP Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Wajib pajak yang wajib mendaftarkan diri dan mendapatkan NPWP adalah sebagai berikut: a. Badan b. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP c. Pengurus, Komisaris, dan Pemegang Saham Perusahaan 2. Fungsi NPWP Kepada setiap wajib pajak hanya diberikan satu NPWP dan NPWP tersebut berfungsi: a. Sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak. b. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Semua wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak, sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang KUP.
13
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan subjek pajak dalam undang-undang Pajak Penghasilan tahun 2008. Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan penghasilan dan perubahannya. 3. Pola NPWP Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) terdiri atas 15 digit, 9 digit pertama merupakan kode wajib pajak dan 6 digit berikutnya merupakan kode administrasi perpajakan. Misalnya: 0
7
.8
9
Kode Jenis WP
0
. 1
.2
3
3
Nomor Urut WP
5
4 Kode KPP
Cek Digit
Kode Wajib Pajak
2
0
0
0
Kode Cabang
Kode Administrasi Perpajakan
Gambar 2.2 Pola NPWP
Kode jenis wajib pajak mengindikasikan apakah wajib pajak orang pribadi, wajib pajak badan, atau bendaharawan (pemungut). Kode cabang 000 berarti kantor pusat, sedangkan kode 001 berarti cabang kesatu. 4. Cara Memperoleh NPWP Setiap wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak badan, wajib mendaftarkan diri pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak untuk dicatat sebagai wajib pajak dan sekaligus kepadanya diberikan NPWP. Oleh karena itu, wajib 14
pajak atau orang yang diberi kuasa khusus untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP wajib mengisi, menandatangani dan menyampaikan formulir pendaftaran ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Selanjutnya KPP menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar dengan jangka waktu paling lama pada hari kerja berikutnya setelah permohonan pendaftaran serta persyaratannya diterima secara lengkap.
C. Surat Pemberitahuan 1. Pengertian SPT Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, Objek Pajak dan/atau bukan Objek Pajak dan/atau harta dan kewajiban, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 2. Fungsi SPT Wajib Pajak dalam melaporkan perhitungan pajaknya dan/atau pembayaran pajaknya menggunakan SPT. Pasal 3 Undang-Undang KUP juga menegaskan kewajiban bagi setiap Wajib Pajak untuk mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikan ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk
melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan
penghitungan
jumlah
Pajak
15
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran serta pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya 3. Jenis dan Bentuk SPT Jenis SPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 181/PMK.03/2007 meliputi: a. SPT tahunan Pajak Penghasilan, yaitu SPT untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. b. SPT Masa, yaitu SPT untuk suatu Masa Pajak yang terdiri atas: 1) SPT Masa Pajak Penghasilan; 2) SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai; dan 3) SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Bentuk Surat Pemberitahuan baik SPT Masa maupun SPT Tahunan dapat berupa formulir kertas atau e-SPT yaitu data SPT Wajib Pajak dalam bentuk elektronik yangdibuat oleh Wajib Pajak dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
16
4. Isi SPT a. SPT Tahunan Suatu SPT terdiri dari SPT induk dan lampirannya sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Untuk data dasar (formal) SPT paling sedikit memuat: 1) Nama wajib pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan alamat wajib pajak. 2) Masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak yang bersangkutan 3) Tanda tangan wajib pajak atau kuasa wajib pajak Disamping data dasar (data formal) juga terdapat/memuat data materiil mengenai: 1) Jumlah peredaran usaha 2) Jumlah penghasilan, termasuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak 3) Jumlah Penghasilan Kena Pajak 4) Jumlah pajak yang terutang dan jumlah kredit pajak 5) Jumlah kekurangan atau kelebihan pajak 6) Jumlah harta dan kewajiban 7) Tanggal pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 8) Data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha wajib pajak b. SPT Masa Dalam SPT Masa disamping data dasar berisi pula data materiil untuk SPT Masa Pajak Penghasilan yaitu memuat: 1) Jumlah objek pajak, jumlah pajak yang terutang, dan/atau jumlah pajak yang dibayar 2) Tanggal pembayaran atau penyetoran 3) Data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha wajib pajak
17
5. Penyampaian SPT Terhadap SPT yang telah diisi selanjutnya wajib pajak menyampaikan SPT tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, dapat dilakukan: a. Secara langsung b. Melalui pos dengan bukti pengiriman surat Cara lain melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat dan bisa dengan e-Filling melalui ASP (application service provider) yaitu perusahaan penyedia jasa aplikasi yang telah ditunjuk dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagai perusahaan yang dapat menyalurkan penyampaian SPT atau pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik ke Direktorat Jenderal Pajak 6. Batas Waktu Penyampaian SPT Sesuai dengan pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, batas waktu penyampaian SPT diatur: a. Untuk SPT Masa paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak. b. Untuk SPT Tahunan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Wajib Pajak yang melakukan pembukuan, SPT Tahunan PPh harus dilengkapi dengan Laporan Keuangan berupa Neraca dan Perhitungan Laba Rugi serta keterangan lain yang digunakan sebagai dasar menghitung Penghasilan Kena Pajak.
18
D. Surat Ketetapan Pajak (SKP) Besarnya pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak sebagai ketetapan pajak tertuang dalam surat ketetapan pajak. Pengertian surat ketetapan pajak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah surat ketetapan yang meliputi: 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar. Menyimak Pasal 13 Undang-Undang KUP dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomo 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan berdasarkan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. Fungsi SKPKB yaitu koreksi atas jumlah yang terutang menurut SPT-nya, sarana untuk mengenakan sanksi dan alat untuk menagih pajak. Sedangkan Dasar yang digunakan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yaitu: a. Hasil penelitian terhadap keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP. b. Hasil pemeriksaan terhadap:
19
1) Surat Pemberitahuan. 2) Kewajiban perpajakan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan setelah ditegur dan tetap tidak disampaikan. 3) Hasil pemeriksaan bukti permulaan terhadap: a) Wajib Pajak yang melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP. b) Wajib Pajak Badan yang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (3) dan ayat (3a) Undang-Undang KUP, tetapi tidak ditentukan bukti permulaan bahwa Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) SKPKBT ini adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Dasar yang digunakan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) yaitu: a. Hasil pemeriksaan atau pemeriksaan ulang terhadap data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang termasuk data yang semula belum lengkap atau penerbitan SKPKBT ini dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. b. Hasil penelitian atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
20
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) SKPN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. SKPN ini diterbitkan berdasarkan pada hasil pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan, bila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. 4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. Fungsi SKPLB adalah sebagai alat atau sarana untuk mengembalikan kelebihan pembayaran pajak. SKPLB ini diterbitkan berdasarkan: a. Hasil penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; b. Hasil pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang; atau c. Hasil pemeriksaan terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
21
E. Kepatuhan Wajib Pajak 1. Pengertian Kepatuhan Pajak Kepatuhan adalah perilaku untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan aktivitas tertentu sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku. Dalam peraturan perpajakan tidak terdapat definisi kepatuhan pajak secara rinci hanya menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 192/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, pada pasal 1 dijelaskan Wajib Pajak patuh adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan. b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak. c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut. d. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. Kepatuhan Wajib Pajak merupakan bentuk kesadaran Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kesadaran Wajib Pajak merupakan indikator penentu yang mempengaruhi penerimaan Negara terutama dalam sistem self assessment. Pelaksanaan pemungutan pajak memerlukan suatu sistem yang telah disetujui masyarakat melalui perwakilannya di
22
dewan perwakilan, dengan menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan perpajakan bagi fiskus maupun bagi Wajib Pajak. Sistem perpajakan Indonesia menganut self assessment system yang artinya ada kepercayaan dari Fiskus kepada Wajib Pajak untuk melakukan kewajiban perpajakannya, yaitu menghitung, menyetor, dan melaporkan hutang pajaknya. Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif Wajib Pajak dalam menyelenggarakan perpajakkannya membutuhkan kepatuhan Wajib Pajak tinggi, yaitu kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya dengan tujuan mendapatkan penerimaan pajak yang optimal. Menurut Nurmantu yang dikutip oleh Rahayu (2010:138) menyatakan bahwa “Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.” Berkaitan dengan hal tersebut, kewajiban wajib pajak dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu pemenuhan kewajiban hukum pajak materiil dan hukum pajak formal. Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak dengan wajib pajak. Waluyo (2011: 11) mendefinisikan hal tersebut sebagai berikut: Hukum pajak materiil adalah memuat norma-norma yang menerangkan keadaankeadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak-pajak ini, berapa besar pajaknya, dengan perkataan lain segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya dan hapusnya utang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Sebagai contoh: undang-undang pajak penghasilan. Sedangkan hukum pajak formal memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan, hukum pajak formal ini memuat antara lain: tata cara penetapan utang pajak, hak-hak fiskus untuk mengawasi wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak, kewajiban wajib pajak sebagai contoh penyelenggaraan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak wajib pajak mengajukan keberatan dan banding.
23
Kepatuhan Formal Wajib Pajak antara lain pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak, pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak serta melaporkan SPT tepat waktu. Sedangkan
Kepatuhan Materiil Wajib Pajak misalnya mengisi SPT dengan jujur,
lengkap dan benar, serta melaporkannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir. Di Indonesia hukum pajak formal ini telah diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Predikat wajib pajak patuh dalam arti disiplin dan taat, tidak sama dengan wajib pajak yang berpredikat pembayar pajak dalam jumlah besar, tidak ada hubungan antara kepatuhan dengan jumlah nominal setoran pajak yang dibayarkan ke kas negara, karena pembayar pajak terbesar sekalipun belum tentu memenuhi kriteria sebagai wajib pajak patuh, meskipun memberikan kontribusi besar pada negara. Jika masih memiliki tunggakan atau keterlambatan penyetoran pajak, maka tidak dapat diberi predikat WP patuh. Dalam
melaksanakan
kepatuhan
terhadap
perpajakannya,
maka
yang
mempengaruhi Wajib Pajak untuk patuh adalah karena adanya peraturan/ketentuan yang berlaku dan mampu mengakomodir keinginan, pemahaman yang baik, penghargaan, sanksi dan hukuman, pelayanan yang baik dari petugas pajak, serta manfaat dari kepatuhan itu sendiri. 2. Syarat-syarat Wajib Pajak Patuh Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235/KMK.03/2003 tanggal 3 Juni 2003, Wajib Pajak dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Patuh apabila memenuhi semua syarat sebagai berikut: 24
a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 2 (dua) tahun terakhir; b. Dalam tahun terakhir, penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; c. SPT Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud diatas telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya; d. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak: 1) Kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak: 2) Tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir; 3) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu (10) sepuluh tahun terakhir. 3. Permasalahan dalam Kepatuhan Wajib Pajak Umumnya masyarakat di setiap negara memiliki kecenderungan untuk meloloskan diri dari pembayaran pajak. Permasalahan tersebut timbul dari pemikiran bahwa membayar pajak adalah pengorbanan yang dilakukan warga negara dengan menyerahkan sebagian hartanya kepada negara dengan sukarela. Usaha yang dilakukan Wajib Pajak untuk meloloskan diri dari pajak merupakan usaha yang disebut perlawanan terhadap pajak. Usaha tidak membayar pajak atau memanipulasi jumlah pajak maupun meminimalisasikan jumlah pajak yang seharusnya dibayar tentunya menjadi hambatan dalam kepatuhan pemungutan pajak. Berbagai bentuk perlawanan sebagai reaksi
25
ketidakcocokan ataupun ketidakpuasan terhadap diberlakukannya pajak seringkali diwujudkan dalam bentuk perlawanan. Pengertian perlawanan terhadap pajak yang dikemukakan oleh Erly (2011: 20) bahwa “Perlawanan terhadap pajak adalah hambatan-hambatan yang ada atau terjadi dalam upaya pemungutan pajak”. Perlawanan pajak dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut: a. Perlawanan aktif Perlawanan aktif secara nyata terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dan bertujuan untuk menghindari pajak. Dalam perlawanan aktif ini terdapat usaha nyata dari wajib pajak untuk tidak membayar pajak atau mengurangi jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Perlawanan secara aktif adalah sebagai berikut: 1) Penghindaran pajak (tax avoidance) Penghindaran pajak (tax avoidance) adalah suatu usaha pengurangan pajak secara legal yang dilakukan dengan cara memanfaatkan ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan secara optimal atau cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan terutama melalui perencanaan pajak. Penghindaran pajak dapat dilakukan dengan cara menahan diri yaitu tindakan wajib pajak untuk tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak. Contoh: memindahkan lokasi usaha atau domisili yang tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya lebih rendah, tidak merokok agar tidak dikenai cukai tembakau dan lain sebagainya.
26
2) Pengelakan atau penggelapan pajak (tax evasion) Tindakan untuk meminimalkan beban pajak dengan cara melanggar peraturan perpajakan (ilegal) yang dapat dihukum dengan sanksi pidana. Termasuk usaha aktif wajib pajak dalam hal mengurangi, menghapus, manipulasi ilegal terhadap utang pajak atau meloloskan diri untuk tidak membayar pajak sebagaimana yang telah terutang menurut aturan perundang-undangan. Contoh: memperkecil laporan jumlah, atau bahkan melaporkan kerugian sehingga penghasilan kena pajak berkurang dan otomatis jumlah pajak terutang lebih kecil sedangkan pada kenyataannya jumlah pendapatan yang diterima lebih besar dan tidak mengalami kerugian. Pengelakan pajak ini terutama terdapat pada pajak-pajak yang untuk penentuan besarnya, para wajib pajak harus bekerja sendiri dengan menggunakan pemberitahuan dan dokumen-dokumen lain. Para wajib pajak dapat mengabaikan sama sekali formalitas-formalitas yang harus dilakukannya, atau memalsukan dokumen atau mengisinya kurang lengkap. Pembukuan juga memberi kemungkinan untuk mengelakkan pajak. 3) Melalaikan pajak Melalaikan pemenuhan perpajakan disebabkan oleh : a) Ketidaktahuan yaitu wajib pajak tidak sadar atau tidak tahu akan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut. b) Kesalahan yaitu wajib pajak paham dan mengerti mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tetapi salah hitung. c) Kesalahpahaman yaitu wajib pajak alpa untuk menyimpan buku beserta buktibuktinya secara lengkap. 27
Perlawanan pajak secara aktif khususnya yang berupa penyelundupan dan melalaikan pajak adalah merupakan pelanggaran undang-undang (ilegal), oleh karena itu perlu adanya tindakan yang tegas atau adanya sanksi yang berat terhadap para pelakunya karena hal tersebut akan dapat mempengaruhi atau berakibat pada bidang keuangan, ekonomi dan bahkan pada bidang sosial dan budaya. b. Perlawanan pasif Adalah perlawanan yang inisiatifnya bukan berasal dari wajib pajak itu sendiri tetapi terjadi karena keadaan yang ada di sekitar wajib pajak itu. Hambatan-hambatan tersebut mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi, perkembangan intelektual dan moral penduduk serta sistem pemungutan pajak itu sendiri. Bentuk perlawanan pasif ini tidak ada usaha secara nyata dari masyarakat untuk menghambat pemungutan pajak, namun karena kondisi masyarakat yang kurang atau bahkan tidak tahu seluk beluk pajak maka mereka tidak membayar pajak.
Misalnya: kebiasaan masyarakat desa yang menyimpan uang
dirumah atau dibelikan emas bukanlah karena mereka menghindari Pajak Penghasilan dari bunga tetapi karena belum terbiasa dengan perbankan. Biasanya kecenderungan melakukan kecurangan muncul sebagai usaha wajib pajak untuk meminimalkan beban pajak dengan cara-cara yang ilegal karena dalam prakteknya di lapangan, tidak semua peraturan perpajakan secara tegas dan jelas mengatur suatu transaksi bisnis. Seringkali terdapat hal-hal yang bersifat grey area, yang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk meminimalkan beban pajak.
28
Tentunya dengan penekanan penerimaan pajak sebagai kontribusi terbesar penerimaan negara diharapkan semua wajib pajak di Indonesia berpredikat patuh, yang berimplikasi pada optimalisasi penerimaan pajak.
F. Pemeriksaan Pajak 1. Pengertian Pemeriksaan Pajak Mengacu pada Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif
dan proporsional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan merupakan tindakan pelaksanaan penegakkan hukum agar peraturan yang dikeluarkan dilaksanakan dengan baik. Pemeriksaan pajak merupakan tindakan pemerintah untuk menilai kepatuhan formal maupun materiil. Tanpa adanya penegakan hukum akan menimbulkan ketidakadilan terhadap Wajib Pajak yang telah melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik. Pemeriksaan merupakan sarana pengawasan atas pelaksanaan undang-undang perpajakan selain untuk tujuan lain, seperti pembuatan norma, pengecekan data dan sebagainya, dengan demikian tidak semua Wajib Pajak ditetapkan pajaknya oleh pemeriksa. Surat Ketetapan Pajak (SKP) baru dikeluarkan apabila terhadap Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan baik pemeriksaan sederhana oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP), maupun pemeriksaan lengkap yang dilakukan oleh Unit Pemeriksa Pajak lainnya yaitu
29
Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa), Kantor Wilayah (Kanwil) atau Kantor Pusat dalam hal ini tujuan pemeriksaan pajak adalah untuk menguji tingkat kepatuhan Wajib Pajak terhadap kewajiban perpajakannya. Kegiatan pemeriksaan dilakukan oleh pihak internal perusahaan itu sendiri dan pihak eksternal yang umumnya dilakukan oleh akuntan publik. Pemeriksaan oleh akuntan publik sifatnya independen dan hasil pemeriksaan tersebut dapat digunakan baik oleh manajemen perusahaan maupun pihak-pihak lain yang memiliki kompetensi terhadap laporan keuangan tersebut seperti pihak pemerintah (otoritas pajak) di Indonesia yaitu Direktorat Jenderal Pajak-Departemen Keuangan. Wajib Pajak yang diperiksa wajib: a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. b. Memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik; c. memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; d. Menyampaikan
tanggapan
secara
tertulis
atas
Surat
Pemberitahuan
Hasil
Pemeriksaan; dan e. memberikan keterangan secara lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.
30
2. Dasar Hukum dan Tujuan Pemeriksaan Pajak Dalam pasal 29 ayat (1) dikatakan “Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berwenang melakukan pemeriksaan untuk: a. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan atau b. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tujuan pemeriksaan pajak adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, bukan sekedar untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP), apalagi demi kepentingan kas negara. Jadi Surat Ketetapan Pajak (SKP) dapat timbul sebagai akibat dari pemeriksaan pajak, bukan tujuan pemeriksaan. 3. Jenis Pemeriksaan Pajak Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak membedakan jenis pemeriksaan, yang meliputi: a. Pemeriksaan Kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak. b. Pemeriksaan Lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tempat tinggal Wajib Pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Ruang lingkup pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
31
Laporan pemeriksaan pajak adalah laporan tentang hasil pemeriksaan yang disusun oleh Pemeriksa Pajak secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan pemeriksaan laporan pemeriksaan pajak digunakan sebagai dasar penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan atau untuk tujuan lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jenis SKP yang dapat terbit dari setiap pemeriksaan sesuai dengan jenis Pajak yang diperiksa oleh fiskus. Penghitungan besarnya pajak terutang menurut Laporan Pemeriksaan Pajak diberitahukan kepada wajib pajak, kecuali jika pemeriksaan pajak akan dilanjutkan dengan tindakan penyidikan. Wajib Pajak wajib menyampaikan tanggapan secara tertulis atas pemberitahuan hasil pemeriksaan. Berdasarkan tanggapan tersebut, Pemeriksa Pajak mengundang Wajib Pajak untuk menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (Closing Conference). Apabila wajib pajak tidak memberikan tanggapan dan atau tidak menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, maka Surat Ketetapan Pajak (SKP) diterbitkan secara jabatan berdasarkan hasil pemeriksaan yang disampaikan kepada Wajib Pajak. Jumlah pemeriksaan pajak dapat diukur dari jumlah Surat Ketetetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak. Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang digunakan dalam penelitian ini adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
32
4. Kendala dalam Pemeriksaan Pajak Kendala yang dihadapi dalam pemeriksaan pajak (Devano dan Rahayu, 2006) yaitu sebagai berikut: a. Psikologi Persepsi yang terbentuk pada wajib pajak maupun pemeriksa pajak sangat tergantung pada penguasaan informasi. Ketimpangan informasi timbul maka akibatnya akan muncul masalah psikologis antara kedua belah pihak. Wajib pajak timbul penolakan, pemeriksa timbul kecurigaan. b. Komunikasi Terdiri dari komitmen wajib pajak untuk membantu kelancaran pemeriksaan pajak dan frekuensi pembahasan sementara temuan hasil pemeriksaan. Komitmen wajib pajak timbul jika wajib pajak memahami tujuan pemeriksaan dan apa yang menjadi hak dan kewajibannya, serta hak dan kewajiban pemeriksa. Temuan sementara pemeriksaan pajak hendaknya disampaikan lebih dini untuk memberikan kesempatan bagi wajib pajak menjelaskan dan memberikan buku, catatan atau dokumen tambahan yang mendukung penjelasan-penjelasannya, apabila komunikasi tidak kondusif, maka hal ini dapat menghambat jalannya pemeriksaan pajak.
G. Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) 1. Pengertian Penghasilan Penghasilan
adalah
sebagai
sarana
untuk
melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
33
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak; b. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak dan/atau bukan Objek Pajak; c. Harta dan kewajiban; dan/atau Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Pengertian penghasilan sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 yang menegaskan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Sedangkan dalam SAK (Standar Akuntansi Keuangan) pengertian penghasilan adalah kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk penambahan aktiva/penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Yang dimaksud dalam penghasilan terdiri dari: pendapatan yang merupakan aliran kas masuk atau kenaikan dalam aktiva pelunasan hutang selama suatu periode yang berasal dari penyerahan atau pembuatan barang/jasa dan kegiatan utama perusahaan lainnya; keuntungan yakni peningkatan dalam aktiva yang berasal dari transaksi sampingan atau transaksi yang terjadi selama suatu periode.
34
2. Pengertian Pajak Penghasilan Pajak penghasilan (PPh) sebelum perubahan perundang-undangan perpajakan tahun 1983 diatur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan/ordonansi selanjutnya sejak tahun 1984 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pengghasilan. Dalam sejarah perkembangannya, undangundang PPh ini telah beberapa kali mengalami perubahan yaitu pada tahun 1990, tahun 1994, tahun 2000, dan yang terakhir dilakukan perubahan tahun 2008. Perubahan yang terjadi atas undang-undang PPh ini memiliki arah dan tujuan penyempurnaan undang-undang Pajak Penghasilan yaitu untuk: a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak; b. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak; c. Lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan; d. Lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; serta e. Lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas. Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap wajib pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pajak penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya.
35
Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. 3. Subjek Pajak Penghasilan Subjek pajak adalah siapa yang dikenakan pajak meliputi: a. Orang pribadi, kedudukan orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia maupun di luar Indonesia, tanpa melihat batasan umur dan jenjang sosial ekonomi. b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. c. Badan, sebagai subjek pajak yang bergerak dalam bidang usaha (komersil), bidang sosial, kemasyarakatan dan sebagainya, sepanjang pendiriannya dikukuhkan dengan akta pendirian oleh yang berwenang. d. Bentuk usaha tetap, adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau juga badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. 4. Objek Pajak Penghasilan Objek pajak adalah apa yang dikenakan pajak. Objek pajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
36
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. 5. Tarif Pajak Penghasilan Pungutan pajak tidak terlepas dari keadilan dan dalam penetapan tarif harus mendasarkan pada keadilan pula. Dalam penghitungan pajak yang terutang digunakan tarif pajak. Tarif pajak adalah tarif untuk menghitung besarnya pajak terutang (pajak yang harus dibayar). Besarnya tarif pajak dapat dinyatakan dalam persentase. Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, besarnya tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan bentuk usaha tetap di Indonesia ditetapkan dengan tarif 28% (dua puluh delapan persen). Tarif tersebut menjadi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku sejak tahun pajak 2010 Dalam Pajak Penghasilan persentase tarifnya dapat dibedakan menjadi beberapa tarif sebagai berikut: a. Tarif Marginal, persentase tarif ini berlaku untuk suatu kenaikan dasar pengenaan pajak. b. Tarif Efektif, persentase tarif pajak yang efektif berlaku atau harus diterapkan atas dasar pengenaan pajak tertentu.
37
Struktur tarif yang berhubungan dengan pola persentase tarif pajak dikenal 4 (empat) macam tarif, yaitu sebagai berikut: a. Tarif Pajak Proporsional/Sebanding Tarif pajak proporsional adalah tarif pajak berupa persentase tetap terhadap jumlah berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak. Contoh: dikenakan Pajak Pertambahan Nilai 10% atas penyerahan Barang Kena Pajak. b. Tarif Pajak Progresif Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang persentasenya menjadi lebih besar apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaannya semakin besar. c. Tarif Pajak Degresif Tarif pajak degresif adalah persentase tarif pajak yang semakin menurun apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak menjadi semakin besar. d. Tarif Pajak Tetap Tarif pajak tetap adalah tarif berupa jumlah yang tetap (sama besarnya) terhadap berapa pun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak. Oleh karena itu, besarnya pajak yang terutang adalah tetap. Sebagai contoh: tarif bea materai. 6. Cara Menghitung Pajak Penghasilan Cara menghitung Pajak Penghasilan adalah mengalikan Tarif Pajak dengan Penghasilan Kena Pajak. Dalam menghitung Pajak Penghasilan yang terutang, dibedakan antara wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri. Bagi wajib pajak luar negeri, Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan adalah sebesar penghasilan bruto, sehingga Pajak Penghasilan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan Penghasilan Bruto.
38
Sedangkan bagi wajib pajak badan yang ada di dalam negeri penghitungan Penghasilan Kena Pajak dengan cara mengurangkan penghasilan yang merupakan objek pajak dengan biaya-biaya yang diperkenankan menurut pajak. Contoh penghitungan: Peredaran bruto tahun 2011 (objek pajak WP Badan)
Rp 100.000.000.000,-
Biaya dalam mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (Rp 65.000.000.000,-) Penghasilan Kena Pajak
Rp 35.000.000.000,-
PPh Badan Terutang yaitu 25% x Rp 35.000.000.000,- = Rp 8.750.000.000,Khusus Wajib Pajak Badan diberikan fasilitas pajak berupa pengurangan tarif pajak sebagaimana diamanatkan pada Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pengaturan dimaksud ditujukan kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,- (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Sebagai contoh pertama PT A tahun pajak 2011 memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto sebesar Rp 4.700.000.000,- dan Penghasilan Kena Pajaknya Rp 600.000.000,-. Karena peredaran bruto masih dibawah atau kurang dari Rp 4.800.000.000,- maka Pajak Penghasilan Terutangnya adalah 50% x 25% (Rp 600.000.000,-) = Rp 75.000.000,- . Contoh kedua peredaran usaha PT B tahun pajak 2011 sebesar Rp 40.000.000.000,- dan diperoleh Penghasilan Kena Pajak Rp 4.500.000.000,-. Tata cara penghitungan PPh Terutang sebagai berikut:
39
a. Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas: Rp 4.800.000.000
x Rp 4.500.000.000,- = Rp 540.000.000,-
Rp 40.000.000.000,b. Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas: (Rp 40.000.000.000,- - Rp 540.000.000,-) = Rp 39.460.000.000,PPh Terutang: 50% x 25% (Rp 540.000.000-)
= Rp
25% x (Rp 39.460.000.000,-)
= Rp 9.865.000.000,-
Total PPh Terutang
67.500.000,-
Rp 9.932.500.000,-
H. Kajian Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Debby Oktivani (2007) tentang “Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak dan Jumlah Pemeriksaan Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Madiun” menunjukkan kepatuhan wajib pajak dan jumlah pemeriksaan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Madiun. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Aziz (2009) tentang “Analisis Peranan PPh Pasal 25/29 Badan dan Orang Pribadi Terhadap Penerimaan (Studi Kasus Pada KPP Pratama Jakarta Gambir Dua)”. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa pembetulan SPT wajib pajak (sunset policy) dan SKPKB dapat meningkatkan peranan PPh Pasal 25/29 Badan dan Orang Pribadi. Meningkatkan pemeriksaan pajak melalui peningkatan kuantitas pemeriksaan (Surat Perintah Pemeriksaan) dan meningkatkan kualitas pemeriksaan yang menghasilkan penerimaan.
40
Penelitian yang dilakukan oleh Anita Fauziah (2006) tentang “pengaruh kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan pada kantor pelayanan pajak jakarta cilandak”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana kepatuhan wajib pajak dapat mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan dengan menggunakan simple random sampling. Dari hasil penelitian diketahui bahwa uji linear sederhana antara variabel independen (kepatuhan wajib pajak) dan variabel dependen (penerimaan pajak penghasilan) menunjukkan R Square sebesar 0,647 (64,7%). Hal ini dapat diartikan bahwa kepatuhan wajib pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan sebesar 64,7% dan sisanya sebesar 35,3% dipengaruhi oleh faktor lain
I. Model Konseptual Berdasarkan landasan teoritis dan kajian penelitian terdahulu maka model konseptual dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Kepatuhan Wajib Pajak Penerimaan Pajak Penghasilan (X1) Wajib Pajak Badan di KPP Pratama Bogor
Jumlah Pemeriksaan Pajak
(Y)
(X2)
Gambar 2.3 Skema Model Konseptual
41