BAB II LANDASAN TEORI A. Konflik Organisasi 1. Definisi Konflik Menurut Schermerhorn, Wood, Walace, dkk (2002) yang dimaksud dengan konflik dalam ruang lingkup organisasi adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.
Menurut Stoner dan Freeman (1991) Konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian. Menurut Robbin (1996) konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
Robbins (1996) menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat atau sudut pandang yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
Berdasarkan hal tersebut maka yang dimaksud dengan konflik organisasi dalam penelitian ini adalah suatu situasi dimana terjadi pertentangan atau
Universitas Sumatera Utara
ketidaksesuaian paling sedikit antara dua orang, atau dua pihak sehingga terganggunya hubungan.
2. Pandangan Terhadap Konflik Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok atau organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi. Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik dikelola sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi kelompok dan organisasi. Pertentangan pendapat ini oleh Robbins (1996) disebut sebagai the Conflict Paradox, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, namun di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisir konflik. Berikut ini disajikan beberapa pandangan tentang konflik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins (1996) 2.1. Pandangan Tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan. 2.2. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View). Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak
Universitas Sumatera Utara
dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Pandangan ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an. 2.3.Pandangan Interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat
minimun secara
berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (selfcritical), dan kreatif. Stoner dan Freeman (1991) membagi pandangan tentang konflik menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan modern (current view).
3. Proses Lahirnya Konflik Menurut Robbins (2007) konflik bukan merupakan sesuatu yang statis, tetapi dinamis dan mempunyai proses. Konflik tidak terjadi secara tiba-tiba, namun ada kondisi yang mendukungnya. Bila terjadi tidak secara langsung besar, tetapi mulai dari kecil pada awalnya memuncak besarnya pada klimaks dan mereda pada akhirnya. Proses terdiri dari hal-hal berikut: 1. Kondisi yang mendahului (antecedent condition) Kondisi ini terdiri dari faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya konflik, terjadinya tidak seketika, tetapi potensi untuk munculnya konflik dalam organisasi tetap ada yaitu bersifat latent oleh karena operasi organisasi itu sendiri. 2. Kemungkinan konflik yang dilihat (perceived potential conflict)
Universitas Sumatera Utara
konflik terjadi saat individu mempersepsikan bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Pada tahap ini satu atau kedua belah pihak melihat kemungkinan konflik di antara mereka. Mereka mempunyai persepsi bahwa tujuannya mulai dihalangi oleh tindakan dari orang lain. 3. Konflik yang dirasa (felt conflict) Pada tahap ini, konflik kepentingan dan kebutuhan terjadi. Satu pihak atau kedua belah pihak yang terlibat melihat keadaan yang tidak memuaskan, menghambat, menakutkan dan mengancam. Pada tahap ini individu terlibat secara emosional, dan merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan 4. Perilaku yang tampak (manifest behavior) Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Persepsi dan perasaan menyebabkan orang untuk bereaksi terhadap situasi tersebut. Begitu banyak bentuk reaksi yang mungkin muncul pada tahap ini; argumentasi, tindakan agresif, atau bahkan munculnya niat baik yang menghasilkan penyelesaian masalah yang konstruktif.
5. Konflik yang ditekan atau dikelola (suppressed or managed conflict) Pada tahap ini konflik yang sudah terjadi dapat ditekan atau juga diselesaikan. Konflik yang ditekan tampak seperti sudah selesai, meskipun masalah intinya tidak ditangani atau pada tahap ini bisa juga konflik dikelola dan diselesaikan.
Berdasarkan uraian di atas maka proses terjadinya konflik diawali dengan munculnya antecendent condition, kemudian saat individu mempersepsikan bahwa di dalam kelompok terjadi konflik maka muncullah keadaan yang disebut dengan
Universitas Sumatera Utara
konflik yang dipersepsikan (perceived potensial conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku yang disebut dengan manifest behavior dan pada akhirnya konflik itu akan ditekan atau diselesaikan yang disebut dengan suppressed or managed conflict Pada penelitian ini fokus kajian adalah pada kondisi yang mendahului atau melatar belakangi konflik (antecedent condition).
4. Kondisi yang melatarbelakangi terjadinya konflik Robins (2004) menyatakan, konflik muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya atau mendahului (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
1. Faktor Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik. 2. Faktor Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota
Universitas Sumatera Utara
kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik. 3. Faktor Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial.
B. Yayasan Pendidikan X B.1. Sejarah Pendirian Yayasan Pendidikan X didirikan pada Tahun 1997 dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 20 Desember 1997.
Pada Tahun 1997 tingkat
pendidikan yang diselenggarakan adalah tingkat Play Group dan Taman kanak-kanak, kemudian pada tahun 1999 mulai diselenggarakan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), Pada tahun 2003 diselenggarakan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan membuka level Pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) pada Tahun 2004. Kemudian pada tahun ajaran 2006-2007 kelas international mulai dibuka di Yayasan Pendidikan X untuk Ordinary level (tingkat SMP) dan Advanced level (tingkat SMU)
Universitas Sumatera Utara
B.2. Tujuan Yayasan Pendidikan X secara umum bertujuan untuk menyelenggarkan pendidikan yang berwawasan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama. Secara khusus Yayasan Pendidikan X bertujuan membentuk siswa siswi yang disiplin, mandiri, berjiwa pemimpin yang berakhlaq karimah yang siap mengarungi dan memaknai hidup dan kehidupan dimasanya. B.3. Visi dan Misi Yayasan Pendidikan X memiliki visi mempersiapkan calon pemimpin masa depan yang bertakwa, berwawasan intelektual dan berakhlak karimah serta fisik yang sehat yang disebut dengan “Golden Generation”. Sedangkan misinya adalah mempersiapkan generasi yang berwawasan ilmu keillahian dan ilmu keilmiahan agar anak memiliki keperibadian yang karimah, yang pandai bersyukur pada khalik-Nya dan siap hidup dizamannya yang semakin kompetitif.
Universitas Sumatera Utara
B.4. Struktur Inti Organisas PEMBINA YAYASAN PEMBINA MUDA KETUA UMUM Sekretaris Umum
Bendahara Umum UNIT USAHA KETUA HARIAN
Sekretaris Harian
Divisi SDM dan HUMAS
Divisi Sarana & Prasarana
Divisi Informasi & Teknologi Divisi Kurikulum
UNIT PG DAN TK 24
Bendahara Harian
Departeme n Pendidika
Divisi Keuangan 7
UNIT SEKOLAH
Divisi Kesiswaan
UNIT SD 61karyawa
UNIT SMP 37
Divisi Keamanan dan Kebersihaan 16
UNIT SMU 31
Gambar 1 : Strukutur Inti Organisasi Yayasan Pendidikan X
Universitas Sumatera Utara
Yayasan Pendidikan X adalah organisasi yang berbasis keluarga dengan struktur organisasi yang terdiri dari 2 bagian besar yaitu Pembina, Ketua Umum, Sekretaris dan Bendahara Umum yang merupakan pendiri dan pemilik Yayasan. Kemudian pelaksanaan operasional Yayasan dipimpin oleh ketua Harian dan dibantu oleh sekretaris dan bendahara dengan pembagian 6 divisi berdasarkan fungsi serta 4 unit sekolah. C. Konflik Organisasi di Yayasan Pendidikan X Yayasan pendidikan sebagai lembaga yang mengusung visi luhur dan misi sosial, bukan berarti terbebas dari konflik. Konflik menjadi sebuah keniscayaan ketika organisasi terus berkembang dan berubah seiring tuntutan waktu (Ardhian, 2011). Ketidaksepahaman dan pertentangan yang menjadi konflik pada organisasi berbentuk yayasan seringkali diakibatkan oleh perbedaan pandangan antara pembina dan pelaksana, antara senior dan junior, dan dalam konteks Yayasan, antara yang merasa memiliki sekaligus pemberi mandat dengan yang melaksanakan mandat (Ardhian, 2011). Yayasan Pendidikan X adalah suatu yayasan pendidikan yang kepemilikannya berbasis keluarga, berusia 14 (empat belas) tahun, memiliki 2000 orang siswa mulai dari tingkat Play Group sampai dengan SMU, dengan jumlah karyawan 237 orang yang mana 153 orang diantaranya adalah karyawan tenaga pengajar. Yayasan Pendidikan X sebagai yayasan yang operasionalnya juga masih dilakukan oleh pendiri yang sekaligus pemilik Yayasan ini memiliki keinginan agar seluruh sumber daya manusia yang dimiliki dapat berfungsi dan memberikan kontribusi maksimal untuk kemajuan Yayasan dan guna mewujudkan rencana strategis menjadi Sekolah International secara penuh. Pada perjalanannya mewujudkan rencana tersebut terjadi perbedaan pandangan dan pertentangan antara Pembina dan Ketua umum Yayasan dengan para tenaga pengajar yang merupakan jumlah karyawan yang paling besar dan sekaligus menjadi penggerak utama dari Yayasan Pendidikan ini.
Universitas Sumatera Utara
Para tenaga pengajar dalam melaksanakan tugas mendidik dan mengajar sehari-hari dari hasil wawancara yang dilakukan mengatakan bahwa pekerjaan yang diberikan kepada mereka banyak dan sering diluar kemampuan, pihak Yayasan menurut mereka terlalu menekan sehingga guru susah berkreativitas, sistem dalam tata kelola Yayasan juga dikeluhkan oleh para tenaga pengajar yang mengatakan sistem tata kelola dibangun secara subjektif prosedurnya tidak stabil dan dapat berubah-ubah sewaktu-waktu dari pihak Pembina dan Ketua umum secara sepihak. Pada sisi lain Pembina dan Ketua Umum mengeluhkan karyawan tenaga pengajar yang mereka miliki dinilai bekerja kurang maksimal dan masih jauh dari harapan, pemanfaatan terhadap fasilitas yang tersedia juga tidak dilakukan secara maksimal. Kondisi tersebut menujukkan indikasi adanya konflik organisasi di Yayasan Pendidikan X. Menurut Stacey (2008) konflik organisasi yang terjadi pada “Yayasan Pendidikan X” merupakan konsekuensi dari interaksi sosial, yang muncul ketika terdapat ketidaksesuaian atau pertentangan, sebagai suatu proses yang timbul karena pihak pertama merasa bahwa pihak lain memberi pengaruh negatif atau akan segera mempengaruhi secara negatif terhadap yang diharapkan oleh pihak pertama. Menurut Robins (2004) konflik tidak terjadi secara tiba-tiba, namun ada kondisi yang mendukungnya yang disebut sebagai antecedent condition yaitu faktor-faktor yang pada umumnya membawa organisasi pada kondisi konflik, tidak terjadi seketika, namun membawa potensi laten bagi hadirnya konflik dalam organisasi yang berupa faktor komunikasi, faktor struktur dan faktor pribadi. Berdasarkan hal tersebur peneliti merasa tertarik untuk melakukan kajian guna memberikan gambaran terhadap konflik organisasi yang terjadi di ”Yayasan Pendidkan X” berdasarkan kondisi yang melatarbelakangi terjadinya konflik (antecedent conflict).
Universitas Sumatera Utara