BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Ergonomi 2.1.1 Pengertian Ergonomi Ergonomi merupakan pengetahuan tentang interaksi antara manusia dengan pekerjaannya. Karena dalam pekerjaannya manusia berhadapan langsung dengan mesin, peralatan, bahan, tempat dan manusia yang lainnya. Ergonomi berasal dari bahasa Yunani, ergo yang berarti kerja dan nomos yang berarti aturan, prinsip atau kaidah. Ergonomi adalah
suatu cabang ilmu yang sistematis dalam memanfaatkan
informasi-informasi yang tersedia mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia dalam perancangan suatu sistem kerja sehingga orang dapat bekerja dengan baik untuk mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu dengan efektif, aman, sehat dan efisien (Sutalaksana, 1979). The International Ergonomics Assosiation (2000) mendefinisikan ergonomi adalah sebagai disiplin ilmu yang menitikberatkan pada pemahaman antara manusia dengan elemen-elemen lain dari sistem dan profesi dengan penerapan teori, prinsip-prinsip data-data dan metode yang digunakan untuk desain pengoptimalisasian kesejahteraan manusia dan kinerja sistem secara keseluruhan. Ergonomi adalah studi mengenai interaksi antara manusia dan mesin-mesin serta faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi keduanya. Dengan tujuan untuk memperbaiki performansi sistem yang dilakukan dengan memperbaiki interaksi manusia dengan mesin (Bridger, 2003).
McCormick dan Sanders (1982) mendefinisikan ergonomic melalui pendekatan yang komprehensif melalui tiga pokok pendekatan, yaitu: 1. Fokus utama Faktor manusia dalam perancangan produk, prosedur dan lingkungan kerja. 2. Tujuan Meningkatkan efektifitas hasil hubungan sistem manusia dan mesin dengan mempertahankan unsur kenyamanan, keselamatan dan kesehatan kerja sebaik mungkin. 3. Pendekatan utama Maksudnya adalah aplikasi sistematis dari karakteristik manusia (kemampuann dan keterbatasan) terhadap perancangan suatu sistem atau prosedur kerja. 2.1.2 Bidang Kajian Ergonomi Sesuai dengan pengertian ergonomi diatas, dapat disimpulkan bahwa kajian utama dari ergonomi adalah perilaku manusia sebagai objek utama. Perbedaanperbedaan bidang kajian ergonomi pada berbagai sumber literatur pada dasarnya tidak jauh berbeda, hanya berbeda dalam hal pengelompokan bidang kajian saja. Pengelompokan bidang kajian ergonomi secara lengkap yang mencakup seluruh perilaku manusia dalam bekerja adalah kajian ergonomi antara lain adalah sebagai berikut : 2.1.2.1 Antropometri Antropometri adalah cabang ergonomi yang mengkaji masalah dimensi tubuh manusia yang dapat digunakan untuk merancang sistem kerja yang ergonomis. Perbedaan data antropometri pada manusia disebabkan oleh jenis kelamin, usia, ras, sosio-ekonomi dan pola hidup.
2.1.2.2 Faal Kerja Perilaku manusia yang dibahas dalam faal kerja adalah reaksi tubuh selama bekerja, khususnya mengenai energy yang dikeluarkan. Energi diperoleh dari makanan. Melalui berbagai tahap metabolisme pada sistem pencernaan, zat-zat yang mengandung energi disimpan dalam bentuk lemak dan glikogen. Untuk keperluan bekerja, glikogen berperan dalam memberikan energi, sedangkan darah membawa oksigen untuk dikirim ke otot-otot tubuh yang memerlukannya. Hal yang paling banyak dibahas dalam faal kerja manusia adalah kelelahan (fatigue) kerja otot. 2.1.2.3 Biomekanika kerja Biomekanika kerja mengkaji perilaku manusia dari aspek-aspek mekanika gerakan. Objek penelitian yang berkaitan dengan ini adalah kekuatan kerja otot, kecepatan dan ketelitian gerak anggota badan serta daya tahan jaringan-jaringan tubuh terhadap beban. 2.1.2.4 Penginderaan 5 indera utama manusia adalah indera penglihatan (mata), pendengaran (telinga), peraba (kulit), penciuman (hidung) dan perasa (lidah). Indera penglihatan paling banyak digunakan dalam pekerjaan diikuti oleh indera pendengaran. Dalam ergonomi, penginderaan dikaji terutama untuk mengetahui apa yang menjadi kelemahan dan kelebihan dari masing-masing indera dalam merespon. 2.1.2.5 Psikologi Kerja Psikologi kerja membahas masalah-masalah kejiwaan yang ditemukan pada tempat kerja, yakni menyangkut faktor-faktor diri seseorang, termasuk didalamnya adalah : kebiasaan, jenis kelamin, usia, sifat dan kepribadian, sistem nilai, karakteristik fisik, minat, motivasi, pendidikan, pengalaman dan lain-lain. Ketidakcocokan seseorang terhadap pekerjaannya dapat menimbulkan tekanan (stress), dan rendahnya motivasi untuk bekerja sehingga mengakibatkan rendahnya produktivitas kerja.
2.1.3 Faktor- Faktor Psikologis Kinerja dari suatu sistem sering dibatasi dengan berbagai karakteristik manusia, karena masing-masing manusia memiliki keterbatasan kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Satu-satunya faktor yang dapat digunakan untuk menambah derajat kebebasannya adalah dengan merancang proses dari sistem kerja dengan sebaik-baiknya dengan memperhatikan kemampuan manusianya (sebagai individu yang berhadapan dengan pekerjaannya). Hal-hal yang harus diperhatikan yaitu meliputi respon dari suatu stimulus, waktu pemrosesan suatu informasi, daya ingat jangka pendek dan metodologi untuk menjaga kewaspadaan (vigilance). Kecakapan manusia dapat ditunjukkan dengan tingkat kewaspadaannya dalam penanggapan stimulus. Hal ini dapat dilihat dari periode yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan dan dan waktu reaksi (respon). Waktu yang dibutuhkan bergantung pada kompleksitas keputusannya, hal ini menyebabkan masalahmasalah seperti :
Kesulitan untuk menjaga tingkat kewaspadaan (vigilance) dalam jangka waktu yang cukup lama.
Keputusan yang disertai dengan tanggung jawab yang berat.
Kurangnya komunikasi antar manusia.
Pengaruh kelelahan (fatigue), obat-obatan dan alkohol.
2.1.3.1 Waktu Respon Manusia Waktu respon manusia yang paling sederhana dan cepat biasanya berkisar ± 2 detik. Beberapa eksperimen yang dilakukan oleh Damon et.al (Grandjean, 1986) memberikan hasil berupa hubungan pengaruh jumlah bit suatu display dengan waktu respon sebagai berikut:
Jumlah Alternatif
1
2
3
4
5
6
Jumlah bit (log2N)
0
1
1,6 2
Waktu respon (s)
0,2 0,35 0,4 0,45 0,5 0,55 0,6 0,6 0,65 0,65
2,3 2,6
7
8
2,8 3
9
10
3,2
3,3
Konsep yang mengatakan bahwa cerebral cortex adalah merupakan single channel transmitter, sehingga jika ada satu data yang masuk ke saluran tersebut, maka ada satu periode waktu
(psychological refractory period) yang menghambat
masuknya data yang lainnya. Periode refractory tersebut adalah 500 milidetik atau 0.5 detik. Dari sini dapat disimpulkan bahwa hanya ada 2 data per detik yang dapat diolah oleh otak, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Singleton (1971) yang mengatakan bahwa nilai batas atas dari jumlah bit informasi yang dapat diterima manusia adalah antara 2 dan 4 data. dapat disimpulkan bahwa manusia hanya dapat menerima tidak lebih dari 2-3 data per detik. Hal inilah yang melatarbelakangi prinsip perancangan sistem antara manusia dengan fasilitas kerja. 2.1.3.2 Daya Ingat Jangka Pendek Karakteristik manusia yang mempunyai daya ingat jangka pendek haruslah dijadikan bahan pertimbangan dalam perancangan sistem kerja karena hal tersebut berhubungan dengan kemampuan maksimal manusia dalam penyerapan suatu data informasi. Hal ini dapatdilatih dengan menyebutkan informasi yang akan diserap dengan berulang-ulang. Namun disamping itu, daya ingat ini akan dapat menurun dengan bertambahnya usia manusia. 2.1.3.3 Kewaspadaan (Vigilance) Vigilance merupakan proses kesigapan yang dilengkapi dengan berbagai macam informasi dan adanya respon cepat untuk mengatasi masalah yang terjadi (Nurmianto, 1996:246). Menurut Mattews, et al. (2000) menurunnya performasi kerja karena vigilance task disebabkan karena menurunnya sumber pemrosesan informasi dan bukan karena melemahkan kekuatan atau tenaga. Dan berdasarkan penelitian Grier et.al (2003) sedikitnya ada 4 hal yang mempengaruhi vigilance,
yaitu: menurunnya kemampuan information processing, pengulangan tugas dengan jangka waktu lama, kontrol indivudu dan beban kerja yang berlebihan (Pratiwi, 2006 ). 2.1.3.4 Kelelahan Kerja Menurut Kroemer (1997), Kelelahan kerja merupakan gejala yang ditandai adanya perasaan lelah dan kita akan merasa segan dan aktifitas akan melemah serta ketidakseimbangan pada kondisi tubuh. Kelelahan mempengaruhi kapasitas fisik, mental, dan tingkat emosional seseorang, dimana dapat mengakibatkan kurangnya kewaspadaan, yang ditandai dengan kemunduran reaksi pada sesuatu dan berkurangnya kemampuan motorik. Karakteristik kelelahan kerja akan meningkat dengan semakin lamanya suatu pekerjaan, sedangkan menurunnya rasa lelah (recovery) adalah didapatkan dengan memberikan istirahat yang cukup. Dengan demikian, ergonomi merupakan ilmu multidisiplin yang memberikan manfaat untuk
Memperbaiki kesehatan dan keselamatan pekerja
Meninggikan semangat secara menyeluruh di tempat kerja
Memperbaiki kualitas
Memperbaiki persaingan
Menurunkan tingkat absen dan penggantian pegawai
Meminimalisasikan masalah kesehatan dan kecelakaan kerja.
2.2 WORKPLACE ACCIDENTS Banyak sekali kecelakaan yang terjadi dari tahun ke tahun. Hal ini tentu saja menjadi pusat perhatian peneliti untuk menciptakan metode atau cara-cara untuk mengantisipasi dan menekan tingkat kecelakaan yang terjadi terlebih di dunia industry dan perusahaan. Hal ini dilatarbelakangi oleh besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Disisi lain, kecelakaan ditempat kerja menyebabkan lebih dari
10.000 kematian yang terjadi tiap tahun di amerika serikat. Bahkan National Safety Council menyatakan dalam 10 menit terdapat 2 orang yang meninggal dan sekitar lebih dari 170 orang yang berpotensi mengalami cidera. Hal ini diperkirakan akan menghabiskan biaya dari kecelakaan tersebut sekitar $ 2.800.000. Rata-rata angka kecelakaan setiap tahunnya adalah 11 kecelakaan yang mengakibatkan kematian dan sekitar 10300 cidera tiap jamnya (Herlambang, 2009). Dilihat dari sisi ekonomi, di AS mengeluarkan biaya sekitar $150.000.000.000. Biaya ini termasuk biaya-biaya seperti biaya kehilangan pegawai, biaya kesehatan, asuransi, kerugian terkait kebakaran, kerusakan property kendaraan dan biaya-biaya tidak langsung. Tabel 2. 1 Biaya kecelakaan berdasarkan tipe kecelakaan (dalam miliar per tahun) Motor vehicle accidents Workplace accidents Home accidents Public accidents
$ 72 $ 48 $ 18 $ 12
Tabel 2. 2 Biaya kecelakaan berdasarkan kategori (dalam miliar per tahun) Wages lost Medical expenses Insurance administration Property damage Fire losses Indirect losses for work accidents
$ 37 $ 24 $ 29 $ 27 $ 10 $23
Masalah keselamatan menjadi topik yang menarik untuk dibahas dan sebagai kajian dari penelitian-penelitian. Hal ini dapat dilihat dari besarnya sumbangan angka kecelakaan yang terjadi bila dibandingkan dengan penyakit-penyakit mematikan seperti kanker, struk, jantung, dll.
Tabel 2. 3 Kecelakaan versus penyebab kematian lainnya (usia 25-44) Accidents Cancer Motor Vehicle Heart disease Poison (Solid, liquid) Drowning Falls Fire related
27.500 20.300 16.500 16.000 2.700 1.500 1.100 900
Berdasarkan data statistik NSC, 31 % dari semua kecelakaan kerja disebabkan oleh pekerjaan yang terlalu berat. Hal ini didukung oleh keterbatasan kemampuan pekerja dari segi fisik maupun mental. Peringkat kematian terbesar dalam industri dengan angka kematian 100.000 pekerja tiap tahunnya dari angka tertinggi hingga terendah terjadi pada :
1. Pertambangan/pengeboran 2. Pertanian 3. Konstruksi 4. Transportasi 5. Pemerintahan 6. Manufaktur 7. Servis/ Pelayanan 8. Perdagangan Teori human factor sebagai penyebab sebuah kecelakaan merupakan rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh kesalahan manusia. Terdapat tiga faktor terbesar yang mendominasi human error, yaitu :
Overload (Beban Berlebih) Merupakan ketidakseimbangan antara kapasitas manusia dan beban yang dijalankan pada suatu keadaan dan waktu tertentu. Kemampuan manusia merupakan sebuah output dari beberapa faktor seperti kemampuan alami, hasil training, fikiran, kelelahan, stress dan kondisi fisik. Sedangkan beban merupakan suatu tugas yang menjadi tanggung jawab seseorang dan ditambah dengan faktor lingkungan, faktor internal (masalah pribadi, emosi stress, dan kekhawatiran) dan faktor situasi (tingkat resiko, tidak jelasnya instruksi, dll).
Inappropriate Response Seseorang telah mendeteksi sinyal bahaya, namun ia tidak dapat melakukan sesuatu secara benar, sehingga tindakan yang ia lakukan merupakan respon yang tidak tepat, hal ini dapat membahayakan pelaku. Selain itu, bila seorang melepaskan pengaman mesin (dalam industri) dan melepas
perlengkapannya
guna
meningkatkan
output
tanpa
memperhatikan keamanan dan menyalahi aturan prosedur, hal ini juga termasuk sebagai inappropriate response yang dapat menimbulkan kecelakaan.
Inappropriate Activities Human error juga dapat ditimbulkan dari aktifitas yang tidak tepat, seperti halnya seseorang yang diberikan tugas tertentu dan tidak tahu bagaimana melakukannya, hal ini akan menimbulkan kebingungan. Apabila individu mendefinisikan dengan persepsi yang salah dalam hal resiko, maka ia akan mengerjakan tugasnya dengan persepsi yang salah. Hal ini sangat berbahaya bagi pekerja.
Kecelakaan yang berasal dari human error dapat terjadi karena beberapa faktor, menurut teori kecelakaan oleh Petersen, kecelakaan dapat terjadi seperti pada gambar 2.1:
Petersen’s Accident Theory
Overload
Ergonomic Traps
Pressure Fatigue Motivation Drugs Alcohol Worry
Decission to err
Incompatible Workstation (size force, reach, feel) Incompatible Expectation
Misjudgment of the risk Unconscious desire to err Logical decision based on the situation
Human Error
System Failure
Accident
Policy Responsibility Training Inspection Correction Standards
Injury/damage
Gambar 2. 1 Accident Theory
2.3 WORKPLACE STRESS Emosi manusia di tempat kerja dipengaruhi oleh keadaan social, pekerjaan, lingkungan, dan faktor psikologi yang dipersepsikan sebagai sebuah ancaman. Persepsi seseorang terhadap ancaman inilah yang disebut dengan external stimuli. Sedangkan stress adalah tanggapan dari tubuh manusia dalam menanggapi stimuli tersebut. Ini yang menyebabkan stress pada manusia berbeda-beda, tergantung pada persepsi mereka terhadap stimuli tersebut.
Namun demikian, stress merupakan permasalah yang serius dalam dunia kerja di masa modern ini. Tagihan medis yang berkaitan dengan stress dan biaya kerugian absennya seorang pegawai melebihi $150 miliar tiap tahunnya. Dan sekitar 15% mengklaim stress sebagai penyakit/ gangguan dalam pekerjaan. Stress di tempat kerja merupakan kondisi emosional yang dihasilkan dari persepsi manusia terhadap beban kerja yang diberikan dan kemampuan manusia itu sendiri. Stress dianggap sebagai penilaian yang subjektif, disisi lain faktor lingkungan juga memberikan sumbangan terhadap peningkatan stress di tempat kerja, hal inilah yang mengakibatkan perasaan marah, lelah, bingung dan gelisah. Stress akibat tempat kerja didominasi oleh masalah penyesuaian manusia dengan beban kerja. Status penyesuaian manusia dengan beban kerja mempengaruhi pencapaian kerja dan tingkat pencapaian performa pekerjaan itu sendiri. Persepsi mengenai beban kerja mungkin diakibatkan oleh kebutuhan pekerja dan tingkat kepuasannya. Hubungan antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan pekerja dalam menyeimbangkan keduanya menyebabkan stress di tempat kerja. Karena stress di tempat kerja mungkin dapat dirasakan berbeda oleh orang dalam kondisi yang sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada beberapa penyebab dari stress ini. 2.3.1 Sumber Stres Kerja
Task Complexity : suatu pekerjaan yang diberikan kepada pekerja dengan tingkat kompleksitas yang tinggi memungkinkan mempengaruhi perasaan tidak puas yang kemudian menghasilkan emosional stress. Pekerjaan yang berulang atau monoton dimana kompleksitas pekerjaan rendah dan kemudian menjadikan pekerja menjadi bosan dan tidak puas dengan pekerjaannya dan sebagian dari pengalaman mengenai stress berkaitan dengan kejenuhan dalam bekerja.
Control of employees: Pekerja yang dapat mengontrol kerjaannya dan tanggungjawabnya dengan maksimal akan terlihat jauh lebih baik. Suatu pekerjaan yang disusun dengan baik, dan diselesaikan dengan benar akan mengurangi tingkat stress pekerja. Namun sebaliknya, jika pekerja
mempunyai tanggung jawab yang tidak dapat dikontrol dan tidak dapat diselesaikan dengan baik maka ini akan menimbulkan stress.
A feeling of responsibility
Job security
An organizational culture
Work schedules
Home and family problem
Work relationships
Human resources management
Workload demands
Psychological support
The lack of environmental safety
2.4 KELELAHAN Kelelahan merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya human error yang mengakibatkan kecelakaan. Beban kerja yang berlebih akan menimbulkan kelelahan baik secara fisik ataupun mental. 2.4.1 Definisi Kelelahan Kelelahan adalah perpaduan dari wujud penurunan fungsi mental dan fisik yang menyebabkan berkurangnya semangat kerja sehingga mengakibatkan efektifitas dan efisiensi kerja menurun (Saito, 1999). Menurut Kroemer (1997), kelelahan kerja merupakan gejala yang ditandai adanya perasaan lelah dan individu akan merasa segan dan aktifitas akan melemah serta ketidakseimbangan pada kondisi tubuh. Kelelahan mempengaruhi kapasitas fisik, mental dan tingkat emosional seseorang, dimana dapat mengakibatkan kurangnya kemampuan motorik (Australian safety and Compensation Council, 2006). Kelelahan merupakan hasil akumulasi dari metabolism tubuh dan ditambah dengan mekanisme kontraksi otot (MasIsaac, Institute of Biomedical Engineering
University of New Brunswick). Kelelahan adalah keadaan yang semakin lelah yang mempengaruhi performa pekerja, kesehatan dan keselamatan serta membutuhkan istirahat atau tidur untuk pemulihannya, efek yang ditimbulkan dari kekelahan antara lain kehilangan kewaspadaan, penurunan pertimbangan atau pemikiran, mengantuk saat mengemudi, tertidur saat berkendara, penurunan daya ingat dan perubahan suasana/ mood (National Transport Commission, 2006). 2.4.2 Sistem Penggerak Kelelahan Kelelahan diatur secara terpusat diotak. Terdapat struktur susunan syaraf pusat yang berperan penting dalam mengontrol fungsi secara luas dan konsisten yang disebut dengan reticular formation atau sistem penggerak pada medulla yang berfungsi meningkatkan dan mengurangi sensitivitas dari cortex cerebri. Cortex celebri berfungsi sebagai pusat kesadaran yang meliputi persepsi, perasaan subjektif, refleks dan kemauan (Rodahl, 1992).
Gambar 2. 2 Sistem penggerak dan penghambat kelelahan Keadaan dan perasaan lelah merupakan reaksi fungsional dari pusat kesadaran yaitu cortex cerebri yang dipengaruhi oleh sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi) yang saling bergantian. Sistem penghambat terdapat dalam thalamus yang bekerja menurunkan kemampuan manusia bereaksi dan mengakibatkan kecenderungan untuk tidur, sedangkan sistem penggerak terdapat
formation retikularis yang dapat merangsang pusat-pusat vegetative untuk konversi ergotropis dari peralatan dalam tubuh untuk bekerja, berkelahi, melarikan diri dan lainnya. Sistem penghambat dan penggerak kelelahan membuat keadaan seseorang pada suatu saat sangat tergantung kepada hasil kerja diantara dua sistem antagonis tersebut (Suma’mur, 1996). Apabila sistem penghambat lebih kuat seseorang dalam keadaan lelah. Sebaliknya manakala sistem aktivitas lebih kuat seseorang dalam keadaaan segar untuk bekerja. Konsep ini dapat dipakai dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa sebelumnya yang tidak jelas. Misalnya peristiwa seseorang dalam keadaan lelah, tiba-tiba kelelahan hilang oleh karena terjadi peristiwa yang tidak diduga sebelumnya atau terjadi tegangan emosi. Dalam keadaan ini, sistem penggerak tiba-tiba terangsang dan dapat mengatasi sistem penghambat. Demikian juga kerja yang monoton bisa menimbulkan kelelahan walaupun beban kerjanya tidak seberapa. Hal ini disebabkan karena sistem penghambat lebih kuat dari pada sistem penggerak (Satalaksana, 1979). Inilah salah satu alasan yang kuat mengapa suatu pekerjaan yang monoton dapat menghasilkan kelelahan pada pekerja meskipun beban kerja tidak besar. 2.4.3 Stadium Kelelahan Rodahl, 1992 mengelompokkan performa manusia dalam melakukan aktifitasnya yang kontinyu dalam 3 stadium : Stadium 1 Terdapat permulaan aktifitas, performa dengan cepat meningkat (kekuatan kerja meningkat). Pada kondisi ini, seseorang sulit untuk berkonsentrasi, tetapi pekerjaa yang dilakukan masih terasa ringan. Kondisi ini disebut “warmed up”.
Stadium 2 Performanya mencapai ketinggian yang optimal dan stabil dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada kondisi ini, seseorang akan merasa bahwa ia dapat melakukan aktifitasnya dalam waktu yang lama tetapi suatu saat ia akan sadar bahwa tenaganya terbatas dan merasakan pekerjaan yang dijalaninya sangat berat (titik C). Hal ini merupakan tanda bahwa ia mulai mengalami kelelahan namun performanya belum menurun dan baru mulai menurun pada beberapa saat kemudian (titik D). Keadaan antara C dan D dinamakan “Full Compensation”, dimana seseorang sudah mulai mengalami kelelahan namun performa kerjanya belum menurun. Hal ini dimungkinkan karena adanya rasa tanggung jawab, training yang baik atau kesehatan yang baik. Stadium 3 Pada aktivitas selanjutnya, kelelahan akan terus bertambah seiring dengan penurunan performa kerja. Tetapi efek hebat positif dapat menaikkan performanya secara tiba-tiba, bahkan bisa lebih tinggi dari keadaan optimalnya (titik E). Namun sebaliknya, jika suatu efek hebat negative hadir, maka performansinya akan menurun drastic (titik F) Dari 3 stadium ini, titik C dimana fatigue mulai timbul yang menjadi perhatian. Aktifitas hanya diperbolehkan sampai titik ini saja, apabila keaadaan memaksa maksimum hanya boleh dilakukan sampai dengan titik D, dan untuk kegiatan selanjutnya akan sangat berbahaya sehingga dianjurkan untuk beristirahat.
Performa
Optimal Performa Garis Fatigue
Waktu (t) A
B
C
D
E
F
Gambar 2. 3 Ilustrasi Stadium Kelelahan
2.4.4 Penyebab Kelelahan Saito (1999), mengatakan bahwa kelelahan disebabkan oleh beban kerja yang berlebih dan ketidak teraturan dari hubungan siang dan malam dalam hidup. Kelelahan dianalogikan seperti air dalam sebuah wadah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sebagai air tambahan dalam wadah. Sementara itu, pemulihan adalah aliran air yang mengalir keluar dari wadah yang dapat mengurangi tingkat kelelahan (Kroemer, 1997).
Intensitas dan Durasi kerja fisik dan mental
Masalah Fisik
Lingkungan : Pencahayaan, cuaca
Penyakit
Ritme Circadian
Nutrisi
Tingkat Kelelahan
Pemulihan
Gambar 2. 4 Analogi penyebab kelelahan Namun, menurut National Transport Commission (2006) penyebab kelelahan terbagi menjadi 4 faktor : 1. Faktor Siklus Circadian Tubuh memiliki siklus alami yang akan terus berulang selama 24 jam, inilah yang disebut siklus circadian. Siklus ini mengatur pola tidur, suhu tubuh, tingkat level, pencernaan dan berbagai fungsi tubuh lainnya dan membantu melindungi organ-organ tubuh. Siklus ini memberikan signal yang disebut dengan jet lag. Siklus circadian mengatur seseorang untuk tidur di malam hari dan terbangun sadar pada siang hari. Suhu tubuh akan menurun pada malam hari agar tertidur dan naik pada siang hari untuk membantu proses pembakaran dan perasaan sadar. Pada malam hari, sistem pencernaan tubuh akan menurun
karena tidak adanya konsumsi makanan dan produksi hormon meningkat untuk memulihkan tubuh dari kondisi selama menjalani siang hari. Selain itu, siklus circadian juga mengontrol sebagian kegiatan bersadarkan cahaya terang dan gelap. Pada cahaya pagi, seseorang akan lebih sadar, setelah makan siang tingkat kesadaran menurun, pada petang kesadaran kembali naik dan malam hari kesadaran semakin berkurang karena mempersiapkan waktu tidur. Dan pada setengah tengah malam, suhu tubuh dan kesadaran akan menurun sampai pada tingkat terendah. 2. Faktor Tidur Kebutuhan jumlah waktu tidur yang cukup memang berbeda untuk setiap orang. Rata-rata waktu tidur sehari yaitu antara 6-8 jam pada orang dewasa pada umumnya. Jika waktu tidur kurang dari 6-8 jam sehari, maka akan mengalami kekurangan tidur yang berkelanjutan jika tidak memiliki waktu tidur yang cukup. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap sikap dan performansi kerja seseorang. Misalnya saja pengemudi dengan jadwal yang tidak menentu akan cenderung untuk mengantuk dan tertidur karena kebutuhan tidurnya yang kurang. Hal ini sangat membahayakan dirinya dan kesehatannya. 3. Faktor Kesehatan Faktor kesehatan berpengaruh terhadap kelelahan dan stress seseorang. Seperti halnya pengkonsumsian alkohol, obat-obatan, merokok, kafein, penyakit obesitas yang mengakibatkan gangguan tidur dan gangguan pernafasan, mendengkur, diabetes yang tidak terkontrol. Untuk itu perlu dijaga pola hidup sehat dengan makanan bergizi dan olahraga rutin agar kondisi tubuh fit saat bekerja. 4. Faktor Pekerjaan Jam kerja yang panjang, perjalanan yang mengharuskan ontime, waktu pengaturan yang tidak fleksibel, jenis pekerjaan yang berat seperti pemindahan
muatan, distribusi, sampai pekerjaan yang monoton dan repetitif dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan kelelahan. Menurut lowentgal (2006), penyebab kelelahan terdiri dari 4 komponen yang saling mempengaruhi: 1. Tuntutan pekerjaan yang terdiri dari beban kerja, durasi shift dan jenis pekerjaan. 2. Organisasi kerja: jadwal kerja, perkiraan waktu kerja dan sistem penggajian 3. Biologis tubuh yang dipengaruhi oleh faktor tidur, siklus circadian, kesehatan dan usia. 4. Lingkungan keluarga dan sosial antara lain keluarga dan teman, perubahan dan pandangan hidup. Sumber : Ariani (2009) 2.4.5 Klasifikasi Kelelahan Berdasarkan penyebabnya, kelelahan dibagi menjadi dua yaitu kelelahan fisik dan kelelahan mental. 2.4.5.1 Kelelahan Fisik Kelelahan fisik sering didefinisikan sebagai lelah otot. Hal ini dikarenakan akibat beban kerja yang memerlukan aktifitas-aktifitas fisik. Oleh karena itu, suplai darah dan aliran darah yang lancar sangat penting, karena menentukan kemampuan proses metabolism dan memungkinkan kontraksi otot tetap berjalan Kontraksi otot yang kuat menghasilkan tekanan di dalam otot yang dapat menghentikan aliran darah, sehingga kontraksi maksimal hanya akan berlangsung beberapa detik. Gangguan pada aliran darah mengakibatkan kelelahan otot yang berakibat otot tidak dapat terkontraksi, meskipun rangsangan syaraf motorik masih berjalan (Rodahl, 1992).
Kelelahan ini terjadi akibat adanya penumpukkan produk sisa dari kontraksi otot yang berupa asam laktat. Akumulasi asam laktat menghambat gerakan otot dan membatasi kelangsungan aktifitas otot. Inilah yang menyebabkan manusia menjadi lebih lambat bahkan harus berhenti. 2.4.5.2 Kelelahan Mental Kelelahan mental (mental fatigue) dapat disebabkan oleh usaha mental dan attention yang berulang pada suatu tugas tertentu serta tingginya tingkat stress (emosi). Pada dasarnya, setiap proses yang berbasis mental dengan beban berlebih dalam diri seseorang dapat menyebabkan seseorang menderita kelelahan mental. Sebagian besar manusia mulai memperlihatkan tanda-tanda kelelahannya saat beberapa jam bekerja. Hal ini mengakibatkan manusia merasa bahwa tugasnya semakin sulit, konsentrasi menurun dan mereka mulai melakukan kesalahankesalahan. Hal ini juga dapat terjadi saat seseorang menghabiskan malamnya dengan bekerja (lembur) atau belajar. Aktifitas seperti ini dapat menyebabkan seseorang lelah mental, mereka sulit untuk mengingat, sering melakukan kesalahan dan kejanggalan dalam mengambil keputusan. 2.4.6 Pengukuran Kelelahan 2.4.6.1 Pengukuran Kelelahan Fisik Kelelahan fisik berkaitan dengan kerja fisik yang dilakukan oleh seseorang. Hasil dari beberapa penelitian fisiologi kerja menunjukkan bahwa pengeluaran energi ketika melakukan pekerjaan memiliki hubungan linear dengan jumlah konsumsi oksigen dan denyut nadi. Oleh karena itu, pengukuran tingkat konsumsi oksigen dan denyut nadi sering digunakan untuk mengkuantifikasi beban kerja fisik. Metode pengukuran beban kerja fisik secara subjektif yang digunakan bersamaan dengan pengukuran konsumsi oksigen atau denyut nadi agar diperoleh analisis beban kerja yang lebih komprehensif (Wickens, 2004). 1. Konsumsi Oksigen
Metabolisme aerobik adalah sumber energi bagi kerja otot yang berkelanjutan ketika tubuh dalam keadaan stabil. Terdapat hubungan linier antara konsumsi oksigen dan pengeluaran energi. Untuk setiap liter oksigen yang dikonsumsi, ratarata sekitar 4,8 kkal energi dilepaskan. Dengan demikian, nilai dari metabolisme aerobik atau pengeluaran energi kerja dapat ditentukan dengan mengalikan tingkat konsumsi oksigen (liter/menit) dengan 4,8 (kkal/liter) (Wickens et al., 2004). Selain itu, peneliti diatas juga menekankan bahwa pengukuran jumlah oksigen yang dikonsumsi selama bekerja hanya dapat membantu menentukan jumlah metabolisme aerobik yang terlibat. Sedangkan untuk memperkirakan jumlah metabolisme anaerobik yang terlibat dalam pekerjaan, harus dilakukan pengukuran tambahan berupa jumlah oksigen yang dikonsumsi selama periode pemulihan istirahat. 2. Denyut Nadi Jumlah denyut nadi per menit merupakan ukuran fisiologis lain yang dapat digunkaan untuk mengukur beban kerja fisik. Denyut nadi akan meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan beban kerja dan energi, karena semakin meningkatnya pula permintaan untuk sistem kardiovaskular mengangkut lebih banyak oksigen ke otot kerja. Bererapa penelitian telah berhasil membuktikan bahwa untuk pekerjaan moderat, denyut nadi berhubungan linier dengan konsumsi oksigen (Astrand & Rodahl, 1986). Karena pengukuran denyut nadi lebih mudah dilakukan daripada konsumsi oksigen, maka metode ini lebih sering diaplikasikan dalam pengukuran tidak langsung pengeluaran energi. Dalam mengukur pengeluaran energi oleh tubuh, pengukuran dengan denyut nadi tidak dapat diandalkan seperti pengukuran dengan konsumsi oksigen. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, dan hubungan linier antara denyut jantung dan konsumsi oksigen dapat dirusak oleh faktor-faktor ini, termasuk stress emosional, komsumsi kopi atau teh, bekerja dengan postur statis dan kaku, atau bekerja di lingkungan yang panas. Salah satu keadaan ini dapat menyebabkan denyut nadi menjadi sangat tinggi tanpa peningkatan sama yang signifikan dalam konsumsi oksigen. Lebih jauh lagi, hubungan antara denyut nadi dan konsumsi oksigen bervariasi
antara individu. Individu yang berbeda dapat menghasilkan denyut nadi yang berbeda pula ketika mereka memiliki konsumsi oksigen dengan tingkat yang sama (Wickens et.al, 2004). 3. Subjective Rating of Perceived Exertion Skala penilaian subyektif untuk mengukur beban kerja fisik telah dikembangkan sehingga sederhana dan mudah untuk digunakan. Pada tahun 1970, Borg membuat skala kategori untuk menilai pembebanan yang dirasakan oleh pekerja ketika melakukan usaha fisik, yang disebut RPE (rating of perceived exertion). Kemudian pada tahun 1980, Borg mengajukan skala kategori dengan rasio, yaitu CR-10 (Category Ratio). Tabel 2. 4Skala Borg CR-10
2.4.6.2 Pengukuran Kelelahan Mental Pengukuran kelelahan mental juga dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode subjektif dan metode objektif. Pengukuran secara subjektif dapat dilakukan dengan menggunakan NASA-TLX, skala Borg, SWAT (Subjective Workload Assessment Technique), dan workload profile. Hasil pengukuran secara subjektif akan tergantung pada faktor individu. Pengukuran secara objektif dilakukan dengan mengukur fisiologis individu, antara lain dengan pengukuran denyut jantung, sinyal otak, sinyal otot, konsumsi oksigen, kedipan mata,
perubahan sinyal kulit, tingkatan hormone, dan diameter pupil. Gambar 2.4 menjelaskan alat ukur apa saja yang dapat digunakan untuk menilai beban mental atau stress yang dialami seseorang (Herlambang, 2009).
Gambar 2. 5 Metode Pengukuran Beban Mental/Stress Selain itu, metode pengukuran beban mental masih banyak lagi, misalnya Visual Analogue Scale (VAS) yang merupakan alat ukur subjektif yang memperlihatkan perubahan skala pain atau fatigue. Dalam pengambilan data menggunakan VAS, responden diminta untu memberikan nilai tentang persepsi mengenai pain atau fatigue mereka pada garis horizontal dengan panjang 100 mm, skala dimulai dari 0 sampai dengan 100. Dimana, 0 adalah no pain (tidak lelah) (Mylesh et.al, 1999).
VISUAL ANALOGUE SCALE
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Sangat Tidak Lelah
100 Sangat Lelah
Gambar 2. 6 Skala VAS Pengukuran objektif lainnya yang telah digunakan pada penelitian sebelumnya adalah Psychomotor Vigilance Task (PVT) untuk melihat penurunan vigilance yang signifikan terhadap penurunan kinerja manusia. Alat uji ini telah digunakan untuk mengukur kelelahan dan melihat dampak dari beban kerja terhadap vigilance manusia. Selain itu, PVT juga telah digunakan oleh beberapa peneliti seperti Loh et.al (2004), Kraemer et.al (2000), Lamond et.al (2005), Roach et.al (2004), Millosevic (2007), Baulk et.al (2009) untuk melihat pengaruh terhadap circadian rithme, perilaku kognitif manusia, dimana kondisi vigilance akan mengalami penurunan yang disebabkan oleh kantuk, kegiatan yang monoton, lelah, dan gangguan tidur yang mempengaruhi penurunan performa. 2.5 VIGILANCE 2.5.1 Definisi Vigilance Vigilance merupakan proses kesiapsiagaan yang dilengkapi dengan berbagai macam informasi dan adanya respon cepat untuk mengatasi masalah yang terjadi (Nurmianto, 1996:246). Vigilance dapat diartikan juga sebagai kemampuan organ dalam mempertahankan fokus perhatian (attention) dan kewaspadaan selama jangka waktu yang lama (Parasuraman dan Matthews, 2008). Menurut Mattews, et al. (2000) menurunnya performasi kerja karena vigilance task disebabkan karena menurunnya sumber pemrosesan informasi dan bukan karena melemahkan kekuatan atau tenaga. Dan berdasarkan penelitian Grier, Rebecca.et.al (2003), sedikitnya ada 4 hal yang mempengaruhi vigilance, yaitu: menurunnya kemampuan information processing, pengulangan tugas dengan
jangka waktu lama, kontrol individu dan beban kerja yang berlebihan (Pratiwi,2006 ). Vigilance merupakan suatu attention yang memberikan pengaruh terhadap task yang diberikan, dalam hal ini adalah kinerja suatu individu. Istilah attention disini menggambarkan tiga hal : (1) pemrosesan kognitif yang terlibat seperti dalam hal mengorientasikan dan memilih antara beberapa item (benda) yang spesifik atau merespon perubahan sesuatu yang mempunyai kemungkinan yang kecil (jarang). (2) upaya mental yang didedikasikan untuk pemprosesan hal ini. (3) keadaan kewaspadaan (alertness) dan kesiapan (readiness) dalam memproses item tambahan (Matthews Davies, Westerman, & Stammers 2000; Washburn, Taglialatela, Rice, & Smith 2004). Tuntutan tugas dapat mempengaruhi kondisi vigilance individu. Semakin berat dan kompleks tugas tersebut, maka dibutuhkan tingkat kesadaran dan kewaspadaan yang tinggi. Namun menurut
Basner (2008), Eysenck (1989)
perbedaan diri individu (berdasarkan kepribadian dan umur) telah diketahui dapat mempengaruhi kinerja pada tugas-tugas yang menuntut vigilance. Beberapa variable yang telah dipertimbangkan pada penelitian sebelumnya, baik faktor sementara dari individu, seperti proses pembelajaran dan tingkat kelelahan, selain itu ada pula perbedaan individu yang bersifat stabil, seperti introvertion / extrovertion, pola tidur, usia dan jenis kelamin (Hubal 2009). 2.5.2 Sejarah Vigilance Pakar neurologi terkemuka Hendry Head yang pertama kali menjelaskan studi mengenai vigilance pada pasien yang terkena brain-injured pada tahun 1920an. Namun, kemudian pada tahun 1948 seorang neorologi yang fokus pada human factor psychology, Norman Mackworth, seorang psikologis dari inggris pada perang dunia ke-2 membuat studi vigilance secara sistematis. Tulisannya yang berjudul “The breakdown of vigilance during prolonged visual search” pada tahun 1948 dipublikasikan. Dalam penelitiannya ini, mackworth
meneliti kerja operator radar dan hasilnya menyatakan bahwa kemampuan kerja operator mengalami penurunan saat dituntut pada kewaspadaan dalam jangka waktu yang lama. Akuransi pendeteksi signal mengalami penurunan sekitar 10%15% setelah 30 menit dan kemudian menurun secara bertahap selama periode berlangsung (Parasuraman, 2008). Studi mengenai vigilance telah berkembang sejak tahun 1940. Hal ini dilatarbelakangi dengan adanya peningkatan interaksi antara manusia (operator) dengan mesin (Parasuraman & Riley, 1997). Vigilance merupakan komponen penting dari kinerja manusia dalam lingkungan kerja yang dewasa ini sudah menggunakan sistem otomatisasi. Kegiatan-kegiatan seperti pemantauan kokpit, navigasi, menyetir dalam jangka lama, pengawasan lalu lintas udara, pengontrolan dan inspeksi kualitas, inspeksi pertanian dan kegiatan militer (Dorrian et.al, 2007; Hartley et.al, 1989; R.F. Johnson & Merullo, 2000; McBride et.al, 2007; Proctor & Van Zandt,1994; Satchell, 1993, dalam Parasuraman et.al, 2008). Selain itu, vigilance juga merupakan komponen penting dalam hal efisiensi persiapan alatalat medis seperti cytological screening, electrocardiogram monitoring, inspeksi pengukuran anesthesia dalam operasi ( Parasuraman, 2008). Banyaknya kecelakaan yang terjadi baik berupa kelelakaan kecil ataupun besar yang disebabkan karena kondisi vigilance yang buruk sehingga operator mengalami kegagalan dalam menjalankan tugasnya pada sistem semiotomatis inilah yang melatarbelakangi para peneliti mengkaji vigilance lebih lanjut, karena vigilance dinilai memberikan peran penting dalam hal keselamatan dan keamanan kerja. 2.5.3 Pengaruh Beban Kerja Terhadap Vigilance Pekerjaan-pekerjaan yang mengandung aspek repetitive dan monoton akan menekan aktifitas dalam sistem otak guna menjaga alertness individu agar individu tetap dalam keadaan sadar dan tetap awas terhadap pekerjaannya. Vigilance dapat mengalami penurunan jika beban atau task yang diberikan menjadi lebih berat dan kompleks. Namun, vigilance bisa menurun pula saat
pekerjaan itu terlalu mudah, sehingga individu tersebut tidak memperhatikan (Nurmianto, 2004). Dalam penelitiannya, Mackie, Wylei & Smith (1985) meminta operator sonar mengurutkan sumber stress yang paling berperan dalam vigilance yang kemudian dibandingkan dengan literatur yang ada. Didapatkan adanya efek yang berpengaruh pada circadian rithme, tekanan, kebisingan dan pencahayaan sebagai sumber stress menengah. Namun, efek dari kebosanan, kelelahan, tekanan perintah dan pekerjaan yang melebihi batas diurutkan sebagai dampak yang paling tinggi. Dari hasil pengurutan sumber stress ini, faktor yang dominan dalam penurunan vigilance disebabkan oleh kelelahan dan pekerjaan yang monoton. Penurunan vigilance berkaitan dengan kemampuan sumber pemrosesan informasi yang menurun karena mengalami stress berlebih. Sebuah studi mengatakan bahwa ditemukannya penurunan vigilance pada menit ke 20-35. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Warm dan Jerrison (1984) dengan menggunakan task yang lebih komplek ini tidak ditemukannya penurunan performansi. Stuss (1995) dan Robertson et.al (1997) menyatakan bahwa penurunan vigilance merupakan konsekuensi dari hilangnya attention dari sistem pengawasan attention yang mengakibatkan seseorang menjadi tidak bergairah, hal ini disebabkan oleh beban kerja yang diberikan. Peneliti lain seperti Temple (2000) dan Grier (2003) yang melihat pengurangan vigilance merupakan hasil dari penurunan kapasitas attention yang mengakibatkan seseorang tidak bisa mempertahankan usaha (effort) karena beban kerja mental yang diterimanya (Pattyn et.al, 2004). Penurunan vigilance juga disebut-sebut karena adanya penurunan kemampuan pada information processing individu.
Gambar 2. 7 Model Proses Informasi Pada Manusia (Wickens et al., 2004) Menurut Wicken, kecepatan penanggapan stimuli hingga menghasilkan sebuah respon sampai menjalankan keputusan yang dipilih dipengaruhi oleh attention resources seseorang. Penurunan vigilance seseorang dapat dipengaruhi oleh penurunan kemampuan information processing. Dalam sebuah kajian dibahas mengenai kemampuan processing yang pada faktanya sangat berpengaruh terhadap usia. Semakin tua usia seseorang, kemampuan untuk mengolah stimuli yang masuk akan semakin lambat. Pengaturan shift kerja juga memberikan kontribusi terhadap kinerja seseorang. Knauth (1993) mengatakan bahwa seseorang yang mengalami pola tidur yang tidak teratur atau kurangnya waktu istirahat akibat pengaturan shift kerja ini dapat mengganggu circadian rhythm, sehingga dapat mengakibatkan kelelahan kronis yang dapat berdampak buruk seperti mengantuk, lelah, tertidur, konsentrasi menurun, membuat kesalahan-kesalahan dan menurunnya vigilance dalam eksekusi keputusan (Nurmianto, 2004). Dengan demikian, vigilance dapat digunakan untuk mengetahui dan mengukur tingkat kelelahan mental seseorang. Banyak penelitian mengenai pengukuran
beban kerja mental dan kelelahan mental. Seperti halnya Dahlgren et.al (2009) yang mengkaji hubungan antara kantuk, stress dan peningkatan hormon saliva kortisol, Didomenico & Nurrbaum (2007) yang membahas mengenai efek dari beban kerja fisik dan mental berdasarkan penilaian subjektif, Dorrian and Dowson (2011) meneliti tentang kecelakaan kereta api. Hal ini menunjukkan beban mental menjadi perhatian banyak peneliti. Pengukuran baik secara subjektif ataupun objektif banyak dilakukan. Namun di Indonesia, pengukuran beban kerja masih sangat terfokus pada beban kerja fisik. Adapun pengukuran mengenai beban mental dilakukan secara subjektif. Pengukuran subjektif memiliki kekurangan, karena data yang diambil hanya berdasarkan persepsi seseorang, untuk itu perlu dikembangkannya penelitian-penelitian mengenai pengukuran beban kerja mental yang bersifat objektif. 2.6 Psychomotor Vigilance Task Psychomotor Vigilance Task (PVT) adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengukur performansi kerja yang dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (jenis pekerjaan, lingkungan kerja yang tidak nyaman, beban kerja berlebih) dan kondisi tubuh secara alami seperti halnya kantuk, kurang tidur, lelah, dan perilaku dari circadian rithme yang dapat mempengaruhi kondisi vigilance seseorang dan berdampak pada penurunan performa manusia. Penelitian mengenai kelelahan mental telah banyak dilakukan, namun sebagian besar bersifat subjektif, sehingga sebagian peneliti menganggap bahwa data yang diambil dari pengukuran subjektif merupakan hasil dari persepsi manusia dan setiap manusia mempunyai persepsi yang berbeda-beda. Untuk itu, pengukuran objektif dirasa sangat perlu. Pengukuran performansi kerja dengan menggunakan metode objektif memerlukan alat ukur yang dapat diaplikasikan untuk mengukur pekerja dilapangan, yang telah didesign mudah tanpa harus mempelajari 50-60 kali trial.
Gambar 2. 8 Tampilan PVT Hal ini dimaksud untuk lebih memudahkan dalam hal pengukuran dilapangan terhadap pekerja dengan jenis pekerjaan yang berat dan hanya mempunyai beberapa waktu luang saja untuk melakukan pengukuran. PVT menjadi alat yang cocok untuk digunakan untuk mengukur performansi pekerja dilapangan karena kemudahan menggunakannya dan mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain (Dinges & Powell, 1985; Rosekind, Gregory, Co, Miller, & Dinges, 2000). Sehingga PVT menjadi suatu alat yang dapat dimanfaatkan karena dinilai baik dan mudah (Wilkinson & Houghton, 1982). PVT yang sering digunakan dalam pengukuran adalah PVT dengan durasi 10 menit. Dalam durasi 10 menit, PVT akan memunculkan angka dengan selang waktu random (bisa lebih cepat atau lambat), angka tersebut diasumsikan sebagai sebuah stimulus yang diberikan kepada responden. Ketika angka itu muncul, responden diharuskan menekan tombol klik kanan mouse untuk merespon stimulus tersebut. Lamanya responden merespon itulah yang akan menjadi output dari hasil pengukuran kelelahan menggunakan PVT. Karena, apabila responden mengalami kelelahan atau beberapa sikap seperti kantuk atau stress, maka kecepatan respon pun akan menurun. PVT merupakan alat standar yang digunakan di laboratorium untuk mengukur performansi yang berkelanjutan dengan berbagai macam jenis eksperimen yang
dilakukan. Misalnya saja penelitian yang dilakukan oleh Dinges dan Powell (1989) tentang kantuk parsial, kantuk kronis (Belenky et.al, 2003; Dinges et.al, 1997; Van Dongen, Maislin, Mullington dan Dinges, 2003, dalam Loh et.al, 2004). 2.6.1 Prosedur Pengukuran Pengukuran beban mental dengan menggunakan PVT telah dikaji lebih lanjut dan digunakan dalam beberapa penelitian terkait dengan beban pekerjaan ataupun penelitian lain yang berhubungan dengan faktor sleeploss. Pengukuran beban mental yang berhubungan dengan penurunan vigilance mempunyai banyak prosedur pengambilan data, diantaranya adalah pengukuran di laboratorium yang salah satunya telah dilakukan oleh Lamond (2005). Lamond melakukan pengukuran mental fatigue untuk menguji sensitifitas PVT terhadap dampak dari fatigue. 15 respondennya ditempatkan di laboratorium untuk tidur pada hari pertama dan pada hari kedua responden tersebut harus dalam keadaan sadar (terjaga) sepanjang hari selama 28 jam. Selama itu respondennya beraktifitas di dalam laboratorium dan setiap selang waktu 2 jam dilakukan pengukuran dengan menggunakan PVT yang diinstall di sebuah PDA.
Dari hasil pengukuran, didapatkan data waktu reaksi dari masing-masing responden setiap 2 jam, hal ini dimaksud untuk mengetahui hubungan antara waktu reaksi dengan akibat dari kelelahan. Pengukuran beban kerja dilapangan sangatlah berbeda dengan prosedur penelitian di laboratorium. Baulk et.al (2009) melakukan studi pengukuran kelelahan dilapangan terhadap 20 responden yang bekerja dengan pengaturan shift. Pengukuran ini dilakukan secara kontinyu hingga 14 hari mengikuti jadwal yang telah disetujui responden dalam pengambilan data. Pengambilan data dilakukan 3 kali, yaitu saat awal memulai pekerjaan, pertengahan jam kerja dan setelah menyelesaikan seluruh jam shift tersebut.
Gambar 2. 9 Rata-rata Reaction Time saat awal, pertengahan dan akhir shift
Dari grafik diatas dapat dilihat pada akhir shift kecepatan reaksi pekerja melambat. Penurunan vigilance ini mencerminkan peningkatan kelelahan pada pekerja. Namun adapula yang melakukan pengukuran kelelahan dengan menggunakan 2 kali pengambilan data, yaitu sebelum dan sesudah kerja. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Millosevic (1997) dalam pengukuran kelelahan pengemudi. Dengan menggunakan indikator RT, Millosevic (1997) menguji datanya dengan melihat tingkat signifikansi dari sebelum dan sesudah dan hasilnya adalah dibawah 0.01 yang menandakan penurunan vigilance yang signifikan. Hal ini memberikan informasi bahwa pengemudi mengalami penurunan performa. 2.5.1. Pengolahan Data Pengolahan data PVT yang standar menggunakan data dalam bentuk reaction time (RT) dengan satuan millisecond, reciprocal reaction time (1/RT), lapses (data yang nilainya ≥ 500 ms). Bentuk data diatas kemudian diolah dengan parameter mean, seperti yang telah dilakukan oleh Baulk et.al. (2009) dalam pengukuran kelelahan pengemudi bus kota.
Gambar 2. 10 Mean RT, 1/RT dan mean lapses (RT >500) saat awal, pertengahan dan akhir shift. (Baulk et.al, 2009)
Untuk perhitungan reciprocal RT, Baulk et.al (2009), Sylvia Loh (2004) dan peneliti lain menggunakan rumus dimana hasil 1/RT dikali dengan 1000, sehingga angka yang ditampilkan adalah bilangan bulat, bukan desimal. Pengolahan data reciprocal RT seperti diatas adalah metodologi standar yang telah ditetapkan dalam penelitian Dinges dan Kribbs pada tahun 1991 (Loh et.al, 2004). Selain mean RT, 1/RT, ada pula pengolahan data dengan menggunakan 10% data terlambat dari hasil pengolahan 1/RT, 10% tercepat dari data RT dan %lapses yang merupakan persentase jumlah data yang nilainya lebih besar atau sama dengan 500 ms. Pada pengujian parametrik dapat menggunakan ANOVA dalam pengolahan PVT, namun jika datanya adalah data nonparametrik dapat menggunakan uji sign atau wilcoxon sebagai uji hipotesa perbandingan signifikansi sebelum dan sesudah bekerja. Prosedur penarikan kesimpulan dalam uji
hipotesa adalah jika hasil
signifikansinya lebih besar dari taraf nyata (), Ho diterima. Begitu sebaliknya, jila signifikansi lebih kecil dari artinya H1 diterima yang berarti ada perbedaan antara sebelum dan sesudah memnyelesaikan task (Sujianto, 2009). Pengujian
data ini dapat menggunakan SPSS atau Minitab sebagai alat bantu pengolahan data statistik. Untuk melihat hubungan kelelahan dengan waktu pengerjaan dapat menggunakan analisis regresi dan korelasi. Jika data parametrik dapat menggunakan korelasi pearson, jika nonparametrik dapat menggunakan korelasi kendall atau spearman (Sujianto, 2009).