11
BAB II LANDASAN TEORI
A. KEMATANGAN EMOSI 1. Definisi Kematangan Emosi Kematangan emosi dapat dimengerti dengan mengetahui pengertian emosi dan kematangan, kemudian diakhiri dengan penjelasan kematangan emosi sebagai satu kesatuan. Istilah kematangan menunjukkan kesiapan yang terbentuk dari pertumbuhan dan perkembangan (Hurlock, 2004). Emosi merupakan suatu kondisi keterbangkitan yang muncul dengan perasaan kuat dan biasanya respon emosi mengarah pada suatu bentuk perilaku tertentu (Lazzarus, 1991). Selain itu, terdapat juga definisi emosi sebagai suatu keadaan dalam diri individu yang memperlihatkan reaksi fisiologis, kognitif, dan pelampiasan perilaku. Misalnya ketika individu sedang mengalami ketakutan, reaksi fisiologis yang dapat muncul adalah keterbangkitan (jantung berdetak lebih kencang), kemudian individu akan memikirkan bahwa dirinya sedang dalam bahaya, sedangkan tingkah laku yang dapat mucul adalah kecenderungan untuk menghindar dari situasi yang membuat ketakutan (Rathus, 2005). Goleman (2001) menjelaskan jenis-jenis emosi termasuk didalamnya amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu. Hurlock (2004) berpendapat bahwa kematangan emosi merupakan individu yang memiliki kontrol diri yang baik, mampu mengekspresikan emosinya dengan tepat atau sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga
Universitas Sumatera Utara
12
lebih mampu beradaptasi karena dapat menerima beragam orang dan situasi dan memberikan reaksi yang tepat sesuai dengan tuntutan yang dihadapi.Kematangan emosi merupakan kemampuan individu untuk dapat bersikap toleran, merasa nyaman, mempunyai kontrol diri sendiri, perasaan mau menerima dirinya dan orang lain, selain itu dapat menyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif (Yusuf ,2011). Kematangan emosi dapat didefinisikan sebagai kemampuan mengekspresikan perasaan dan keyakinan secara berani dan mempertimbangkan perasaan dan keyakinan orang lain (Covey, 2001). Dariyo (2006) juga mendefinisikan kematangan emosi sebagai keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi sehingga individu tidak lagi menampilkan pola emosional yang tidak pantas. Dalam penelitian ini kematangan emosi adalah kesiapan individu dalam mengendalikan dan mengarahkan emosi dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi. 2. Faktor Yang Mempengaruhi Kematangan Emosi Faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi menurut Hurlock (2004), antara lain: a. Usia Semakin bertambah usia inidvidu, diharapkan emosinya akan lebih matang dan individu akan lebih dapat menguasai dan mengendalikan emosinya. Individu semakin baik dalam kemampuan memandang suatu masalah, menyalurkan dan mengontrol emosinya secara lebih stabil dan matang secara emosi.
Universitas Sumatera Utara
13
b. Perubahan fisik dan kelenjar Perubahan fisik dan kelenjar pada diri individu akan menyebabkan terjadinya perubahan pada kematangan emosi. Sesuai dengan anggapan bahwa remaja adalah periode “badai dan tekanan”, emosi remaja meningkat akibat perubahan fisik dan kelenjar. c. Jenis Kelamin Laki-laki dikenal lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan, mereka memiliki pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga cenderung kurang mampu mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh perempuan. Menurut Young (2007) faktor yang mempengaruhi kematangan emosi antara lain adalah: a.
Faktor lingkungan Faktor lingkungan tempat hidup termasuk didalamnya yaitu lingkungan
keluarga dan lingkungan masyarakat. Keadaan keluarga yang tidak harmonis, terjadi keretakan dalam hubungan keluarga yang tidak ada ketentraman dalam keluarga dapat menimbulkan persepsi yang negatif pada diri individu. Begitu pula lingkungan sosial yang tidak memberikan rasa aman dan lingkungan sosial yang tidak mendukung juga akan menganggu kematangan emosi. b.
Faktor individu Faktor individu meliputi faktor kepribadian yang dipunyai individu.
Adanya persepsi pada setiap individu dalam mengartikan sesuatu hal juga dapat menimbulkan gejolak emosi pada diri individu. Hal ini disebabkan oleh pikiran
Universitas Sumatera Utara
14
negatif, tidak realistik dan tidak sesuai dengan kenyataan. Kalau individu dapat membatalkan pikiran-pikiran yang keliru menjadi pikiran-pikiran yang benar, maka individu dapat menolong dirinya sendiri untuk mengatur emosinya sehingga dapat mempersepsikan sesuatu hal dengan baik. c. Faktor pengalaman Pengalaman yang diperoleh individu selama hidupnya akan mempengaruhi kematangan emosinya. Pengalaman yang menyenangkan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap individu, akan tetapi pengalaman yang tidak menyenangkan bila selalu terulang dapat memberi pengaruh negatif terhadap individu maupun terhadap kematangan emosi individu tersebut. 3. Karakteristik Kematangan Emosi Hurlock (2004) mengemukakan tiga karakteristik dari kematangan emosi, antara lain: a. Kontrol emosi Individu tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain dan mampu menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang dapat diterima. Individu dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial.
Universitas Sumatera Utara
15
b. Pemahaman diri Memiliki reaksi emosional yang lebih stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain. Individu mampu memahami emosi diri sendiri, memahami hal yang sedang dirasakan, dan mengetahui penyebab dari emosi yang dihadapi individu tersebut. c. Pengunaan fungsi kritis mental Individu Mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap situasi tersebut, dan individu juga tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau individu yang tidak matang. 4. Kematangan Emosi Remaja Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi jika individu dapat mengerti situasi tanpa harus diberikan arahan oleh orang lain serta mengerti kewajiban dan tanggungjawabnya (Chaube, 2002). Selain itu, Hurlock (2004) juga menambahkan remaja mencapai kematangan emosi jika pada akhir masa remajanya tidak sembarangan dalam meluapkan emosinya dihadapan orang lain, tetapi menempatkannya secara tepat dan dengan cara-cara yang dapat diterima oleh orang lain. Chaplin (2005) mendefinisikan kematangan emosi sebagai kondisi atau keadaan dalam mencapai tingkat kedewasaan dalam perkembangan emosional seseorang. Kematangan emosi juga dapat ditunjukkan dengan kemampuan remaja untuk menilai suatu situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara
Universitas Sumatera Utara
16
emosional dan memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu suasana hati ke suasana hati yang lain. Yusuf (2011) menjelaskan tentang bagaimana perubahan kematangan emosional sebelum masa remaja sampai memasuki masa remaja, hal ini dapat terlihat dari tabel berikut ini: Tabel 1 .Perubahan Kematangan Emosi DARI ARAH KE ARAH toleran dan bersikap Bersikap toleran
No 1. Tidak superior 2. Kaku dalam bergaul 3. Peniruan buta terhadap teman sebaya 4. Kontrol orang tua 5. Perasaan yang tidak jelas tentang dirinya/orang lain 6. Kurang dapat mengendalikan diri dari rasa marah
Luwes dalambergaul Interdependensi dan memiliki harga diri Kontrol diri sendiri Perasaan mau menerima dirinya dan orang lain. Mampu menyatakan emosinya secara konstruktif.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan kematangan emosi remaja merupakan kondisi remaja mampu mengendalikan dan mengarahkan penyaluran emosi sesuai situasi dan waktu yang tepat dengan cara yang dapat diterima, mampu menggunakan pemikiran terlebih dahulu terhadap suatu situasi sebelum menggunakan respon emosional, serta mengambil keputusan yang didasarkan pada pertimbangan sehingga tidak mudah berubah-ubah.
B. PENYESUAIAN PERNIKAHAN 1. Pengertian Penyesuaian Pernikahan Hurlock (2000) mendefinisikan penyesuaian perkawinan sebagai proses adaptasi antara suami dan istri, dimana suami dan istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses
Universitas Sumatera Utara
17
penyesuaian diri. Penyesuaian pernikahan juga merupakan suatu proses memodifikasi, mengadaptasi dan mengubah individu dan pola perilaku pasangan serta adanya interaksi untuk mencapai kepuasan yang maksimum dalam pernikahan (DeGenova, 2008). Menurut Lasswel & Lasswel (1987), penyesuaian perkawinan berarti kedua individu telah belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing, ini berarti mencapai suatu derajat kebahagiaan dalam hubungan. Penyesuaian perkawinan bukan suatu keadaan absolut melainkan suatu proses yang terus menerus terjadi.Sedangkan Duval dan Miller (1985) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu adalah proses membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda sebagai hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai suami istri. Penyesuaian perkawinan ini juga dianggap sebagai persoalan utama dalam hubungan suami istri. Dalam penelitian ini penyesuaian pernikahan adalahproses membiasakan diri (beradaptasi) dengan situasi baru sebagai suami istri untuk memenuhi harapan atau tujuan perkawinan dan memecahkan konflik yang muncul dalam perkawinan. 2. Bentuk-bentuk Penyesuaian Pernikahan Penyesuaian diri dalam pernikahan memiliki beberapa area yang akan dilalui, seperti agama, kehidupan sosial, teman yang menguntungkan, hukum, keuangan, dan seksual. Ada 4 bentuk penyesuaian pernikahan, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
18
1. Penyesuaian dengan pasangan Penyesuaian yang paling penting yang pertama kali harus dihadapi saat seseorang memasuki dunia pernikahan adalah penyesuaian dengan pasangan (istri maupun suaminya). Semakin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal antara pria dan wanita yang diperoleh dimasa lalu, makin besar pengertian dan wawasan sosial mereka sehingga memudahkan dalam penyesuaian dengan pasangan. Hal ini juga terjadi pada remaja putri yang menikah dini. Hurlock (2000) juga mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian terhadap pasangan. Faktorfaktor tersebut adalah: a. Konsep pasangan ideal. Pada saat memilih pasangan, baik pria maupun wanita sampai pada waktu tertentu dibimbing oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk selama masa dewasa. b. Pemenuhan kebutuhan Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi kebutuhan yang berasal dari pengalaman awal. Pasangan harus membantu pasangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. c. Kesamaan latar belakang Semakin sama latar belakang suami dan istri maka semakin mudah untuk saling menyesuaikan diri. Semakin berbeda pandangan hidup mereka, maka semakin sulit penyesuaian diri dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
19
d. Minat dan kepentingan bersama Kepentingan yang sama mengenai suatu hal yang dapat dilakukan pasangan cenderung membawa penyesuaian yang baik . e. Konsep peran Setiap lawan pasangan
mempunya
konsep mengenai
bagaimana
seharusnya peranan seorang suami dan istri, atau setiap individu mengharapkan pasangannya memainkan perannya. Jika harapan terhadap peran tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan konflik dan penyesuaian yang buruk. f. Perubahan dalam pola hidup Penyesuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisasikan pola kehidupan, merubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan sosial, serta merubah persyaratan pekerjaan, terutama bagi seorang istri. Penyesuaianpenyesuaian ini seringkali diikuti oleh konflik emosional. 2. Penyesuaian seksual Penyesuaian utama yang kedua dalam pernikahan adalah penyesuaian seksual, ini adalah penyesuaian yang paling sulit dalam pernikahan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan. Permasalahan biasanya dikarenakan pasangan belum mempunyai pengalaman yang cukup dan tidak mampu mengendalikan emosi mereka. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian seksual yaitu :
Universitas Sumatera Utara
20
a. Perilaku terhadap seks Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara pria dan wanita menerima informasi seks selama masa anak-anak dan remaja. b. Pengalaman seks masa lalu Cara orang dewasa bereaksi terhadap masturbasi, petting, dan hubungan suami istri sebelum menikah, ketika mereka masih muda dan cara pria dan wanita merasakan itu sangat mempengaruhi perilakunya terhadap seks. c. Dorongan seksual Dorongan seksual berkembang lebih awal pada pria daripada wanita dan cenderung tetap demikian, sedangkan wanita muncul secara periodik. Dengan turun naik selama siklus menstruasi. Variasi ini mempengaruhi minat dan kenikmatan akan seks, yang kemudian mempengaruhi penyesuaian seksual. d. Pengalaman seks marital awal, sikap terhadap penggunaan alat kontrasepsi, dan pengaruh vasektomi. 3. Penyesuaian keuangan Penyesuaian keuangan juga merupakan penyesuaian yang sulit dan memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri dalam pernikahan. Istri yang berusia muda atau masih remaja cenderung memiliki sedikit pengalaman dalam hal mengelola keuangan untuk kelangsungan hidup keluarga. Suami juga terkadang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan keuangan, khususnya jika
Universitas Sumatera Utara
21
istrinya bekerja di luar rumah dan berhenti setelah memiliki anak pertama sehingga mengurangi pendapatan keluarga. 4. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan Setiap individu yang menikah secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga baru. Mereka itu adalah anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari bayi hingga kakek atau nenek dan terkadang dengan latar belakang yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, budaya dan latar belakang sosial yang berbeda. Penyesuaian diri dengan pihak keluarga pasangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : a) Stereotip tradisional mengenai ibu mertua Stereotip yang secara luas diterima masyarakat ”Ibu mertua yang representatif”
dapat
menimbulkan
perangkat
mental
yang
tidak
menyenangkan bahkan sebelum perkawinan. Stereotip yang tidak menyenangkan mengenai orang usia lanjut seperti cenderung ikut campur tangan dapat masalah bagi keluarga pasangan. b) Keinginan untuk mandiri Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai saran dan petunjukdari orang tua mereka. c) Keluargaisme Penyesuaian dan perkawinan akan lebih pelik apabila salah satu pasangan tersebut menggunakan lebih banyak waktunya terhadap keluarganya daripada mereka sendiri. Apabila pasangan terpengaruh oleh
Universitas Sumatera Utara
22
keluarga, apabila seseorang anggota keluarga berkunjung dalam waktu yang lama dan hidup dengan mereka untuk seterusnya. d) Mobilitas sosial Individu dewasa muda yang status sosialnya meningkat diatas anggota keluarga atau diatas status keluarga pasangannya mungkin saja tetap membawa mereka dalam latar belakangnya. Banyak orangtua dan anggota keluarga sering bermusuhan dengan pasangan muda. e) Anggota keluarga berusia lanjut Merawat anggota keluarga berusia lanjut merupakan faktor yang sangat sulit dalam penyesuaian pekawinan karena sikap yang tidak menyenangkan terhadap orangtua dan urusan keluarga khususnya bila dia juga mempunyai anak-anak. f)
Bantuan keuangan untuk keluarga pasangan Apabila pasangan muda harus membantu atau memikul tanggung jawab, bantuan keuangan bagi pihak keluarga pasangan, hal itu sering membawa hubungan keluarga yang tidak baik. Hal ini dikarenakan anggota keluarga pasangan dibantu keuangannya, menjadi marah dan tersinggung dengan tujuan agar diperoleh bantuan tersebut.
3. Kondisi Yang Menyumbang Kesulitan Dalam Penyesuaian Pernikahan Hurlock (2000) mengemukakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyesuaian pernikahan. Faktor-faktor tersebut adalah :
Universitas Sumatera Utara
23
1. Persiapan yang terbatas untuk pernikahan Penyesuaian seksual saat ini terlihat lebih mudah dilakukan dibandingkan masa lalu, dikarenakan banyaknya informasi namun kebanyakan pasangan suami istri hanya menerima sedikit persiapan dibidang keterampilan domestik, mengasuh anak, dan manajemen uang. 2. Perubahan peran dan status sosial menjadi suami atau istri. Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria dan wanita serta konsep yang berbeda tentang peran membuat penyesuaian dalam pernikahan semakin sulit saat ini dibandingkan pada masa lalu. 3. Pernikahan dini Pernikahan dini akan lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri masing masing pasangan karena pada umumnya di usia ini individu belum terlalu matang dalam hal emosional, ekonomi, dan seksual. 4. Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan. Orang dewasa yang belajar perguruan tinggi dan pengalaman yang sedikit cenderung memiliki konsep yang tidak realistis mengenai makna pernikahan. 5. Pernikahan campuran Penikahan yang dilakukan antara dua adat istiadat yang berbeda. 6. Pacaran yang dipersingkat. Periode masa pacaran yang singkat pada masa sekarang dibandingkan masalalu, sehingga pasangan hanya punya sedikit waktu untuk memecahkan masalah tentang penyesuaian sebelum melangsungkan pernikahan.
Universitas Sumatera Utara
24
7. Romantika perkawinan Harapan yang berlebihan mengenai tujuan dan hasil pernikahan sering membawa kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab pernikahan. 4. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Pernikahan Kriteria keberhasilan penyesuaian pernikahan dari Hurlock (2000), yaitu: 1.
Kebahagiaan suami istri Suami dan istri yang bahagia memperoleh kebahagiaan bersama akan
membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka mainkan bersama. 2.
Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat Perbedaaan pendapat di antara anggota keluarga yang tidak dapat dielakkan,
biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu adanya ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi perdamaian atau masingmasing keluarga mencoba untuk saling mengerti pandangan dan pendapat orang lain. Dalam jangka panjang kemungkinan ketiga yang dapat menimbulkan kepuasan dalam penyesuaian pernikahan, walaupun kemungkinan pertama dan kedua dapat mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh perselisihan yang meningkat. 3.
Kebersamaan Jika penyesuaian pernikahan dapat berhasil, maka keluarga dapat menikmati
waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama. Apabila hubungan keluarga telah dibentuk dengan baik pada awal-awal tahun pernikahan, maka keduanya
Universitas Sumatera Utara
25
dapat mengikatkan tali persahabatan lebih erat lagi setelah mereka dewasa, menikah dan membangun rumah atas usahanya sendiri. 4.
Penyesuaiaan yang baik dalam masalah keuangan Dalam keluarga pada umumnya salah satu sumber perselisihan dan
kejengkelan adalah
sekitar
masalah keuangan.
Bagaimanapun besarnya
pendapatan, keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan pendapatannya sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu melilitnya agar disamping itu mereka dapat menikmati kepuasan atas usahanya dengan cara yang sebaikbaiknya, daripada menjadi seorang istri yang selalu mengeluh karena pendapatan suaminya tidak memadai. 5.
Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak keluarga
pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan, kecil kemungkinannya untuk terjadi percekcokan dan ketegangan hubungan dengan mereka. 5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan Banyak faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan dengan penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi penyesuaian pernikahan : 1. Usia Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983) mengatakan bahwa penyesuaian pernikahan rendah apabila pasangan menikah pada usia yang sangat muda, yaitu
Universitas Sumatera Utara
26
laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia. Dalam hal perbedaan usia, ditemukan tidak terlalu meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi pasangan yang memiliki usia yang sama (Locke; Blode & Wolfe, dalam Dyer, 1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa usia yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam Dyer, 1983). 2. Agama Hubungan antara agama dan penyesuaian perkawinan sudah diselidiki sepanjang tahun. Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan selalu tidak konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar belakang agama dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber; Glenn, dalam Dyer, 1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara Katolik, Yahudi, dan Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama di ketiga agama tersebut. 3. Ras Sejauh ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana perkawinan antar ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik sangat sedikit yang mendukung pandangan ini (Udry, dalam Dyer, 1983).
Universitas Sumatera Utara
27
Penelitian yang dilakukan Monahan (dalam Dyer, 1983) pada perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan antar kulit hitam dan putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam dan hitam; dia juga menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri kulit putih memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan dengan rata-rata perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih. Dimana perbedaan sosial dan kultur masih tetap ada dan larangan pada perkawinan antar ras masih kuat, mereka berusaha untuk tahan menghadapi larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi sangsi yang ada dari kelompok ras mereka masing-masing. 4. Pendidikan Data dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver (dalam Dyer, 1983) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara lamanya mengecap pendidikan dengan kebahagiaan perkawinan. Terman; Burgess & Wallin, (dalam Dyer, 1983) mengungkapkan perbedaan pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum sepenuhnya jelas, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat pendidikan yang sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil penelitian yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan tingkat pendidikan suami istri dengan penyesuaian perkawinan .
Universitas Sumatera Utara
28
5. Keluarga Pasangan Salah satu hal yang harus dihadapi oleh pasangan yang baru menikah adalah bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak saudara setelah menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami mengindikasikan bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria (Duvall; Komorovsky, dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam rumah tangga. C.REMAJA 1. Definisi Remaja Istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang berasal dari kata dalam bahasa latin “adolescere” (kata bendanya adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Istilah adolescence merupakan suatu tahap dalam perkembangan yang mencakup dalam kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja juga merupakan peralihan antara masa kanak–kanak dan dewasa meliputi perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Remaja adalah individu yang berusia antara 13 sampai 18 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. dengan pembagian 13 sampai 16 tahun termasuk masa remaja awal dan 16 sampai 18 tahun termasuk masa remaja akhir (Hurlock, 2004). Semua aspek perkembangan dalam masa remaja secara global berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun
Universitas Sumatera Utara
29
adalah masa remaja pertengahan, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir (Monks, 2009) Menurut WHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) batas usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun. Sedangkan dari segi pelayanan program pelayanan definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang berusia 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Sementara itu menurut BKKBN (Direktorat Remaja dan perlindungan Hak reproduksi) batasan usia remaja adalah 10-21 tahun. Berdasarkan uraian diatas remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dengan usia antara 16-18 tahun. 2. Tugas Perkembangan Remaja Hurlock (2004) mengemukakan beberapa tugas perkembangan di masa remaja, antara lain: a. Menerima keadaan fisiknya b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa. c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlawanan jenis. d. Mencapai kemandirian emosional e. Mencapai kemandirian ekonomi f. Mengembangkan konsep dan keterampilan yang diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat. g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai dan orang dewasa h. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial
Universitas Sumatera Utara
30
i. Mempersiapkan diri memasuki pernikahan, memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga. j. Memperoleh peranan sosial k. Menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif l. Memperoleh kebebasan emosioanal dari orang tua dan dari orang dewasa lainnya m. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri n. Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan o. Mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga p. Membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup. 3. Ciri-ciri Remaja Yang Melakukan Menikah Muda Hurlock (2000) mengatakan bahwa semua periode perkembangan memiliki ciri-ciri perkembangan yang membedakan dari satu periode dengan periode berikutnya. Masa remaja juga mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Remaja yang menikah baik itu remaja putra maupun remaja putri akan mengalami masa remaja yang diperpendek, sehingga ciri dan tugas perkembangan mereka juga ikut diperpendek dan masuk pada masa dewasa (Monks, 2001). 1) Remaja yang telah menikah akan mengalami suatu periode peralihan yang cukup signifikan. Peralihan yang terjadi adalah beralih dari masa anak-anak menuju masa dewasa, dimana remaja harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan harus mempelajari pola dan sikap baru terutama dalam pernikahan.
Universitas Sumatera Utara
31
2) Remaja yang telah menikah akan mengalami periode perubahan, yaitu meliputi perubahan fisik, emosional, perubahan pola dan minat, perubahan nilai-nilai yang berlaku, dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan. 3) Remaja yang telah menikah, mereka diharuskan masuk pada masa dewasa, tidak lagi pada ambang masa dewasa. Masa remaja mereka menjadi diperpendek dan mereka harus meninggalkan stereotip belasan tahun dan menjadi dewasa. D. Menikah Muda Pernikahan merupakan peristiwa yang penting dalam kehidupan seseorang. Hampir setiap individu mempunyai keinginan untuk mengalami hal tersebut. Dalam Undang-Undang Pernikahan yang dikenal dengan UU No.1 tahun 1974, pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 mengenai batas umur untuk melangsungkan pernikahan adalah :”Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun ”. Hal ini sesuai dengan rekomendasi “The Eliminatian of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW)” yang menyatakan bahwa usia 18 tahun seharusnya menjadi usia minimum yang resmi untuk menikah baik pada pria maupun wanita. Menikah muda (early Married) merupakan pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berusia dibawah 19 tahun (WHO, 2006). Menurut BKKBN (2011), perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan di bawah usia
Universitas Sumatera Utara
32
20 tahun. Pernikahan usia muda dapat didefenisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri di usia yang masih muda/remaja. 1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Menikah Muda Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan BKKBN tahun 2011 menemukan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi median usia pernikahan pertama perempuan adalah faktor sosial, ekonomi, budaya dan tempat tinggal (desa/kota). Di antara faktor-faktor tersebut, faktor ekonomi merupakan faktor yang paling dominan terhadap median usia nikah/kawin pertama perempuan. Hal ini ditengarai disebabkan oleh kemiskinan yang membelenggu perempuan dan orang tuanya. Karena tidak mampu membiayai anaknya, maka orang tua menginginkan anaknya tersebut segera menikah sehingga mereka terlepas dari tanggung jawab dan berharap setelah anaknya menikah mereka akan mendapatkanbantuan ekonomi (BKKBN). Menurut beberapa penelitian Pernikahan dini yang masih marak terjadi pada remaja pedesaan pada umumnya dipengaruhi oleh empat faktor, yakni: keinginan bebas pada remaja, ekonomi, pendidikan dan budaya. 1. Keinginan bebas pada remaja. Adanya dorongan rasa kemandirian gadis remaja dan keinginan bebas dari kekangan orangtua (Landung dkk, 2009). Hal tersebut berkaitan dengan perubahan psikologi yang terjadi pada diri remaja sebagaimana yang dijelaskan oleh Neidhart dalam Gunarsah (2008) bahwa remaja atau adolescentia sedang mengalami masa peralihan dari kedudukan ketergantungannya terhadap keluarga
Universitas Sumatera Utara
33
menuju kehidupan dengan kedudukan mandiri. Jannah (2012) menjelaskan bahwa salah satu penyebab pernikahan dini yang terjadi pada masyarakat Desa Pandan (Madura) ialah adanya kesiapan diri pada remaja. Selain orang tua, pendorong terjadinya pernikahan dini di Desa Pandan disebabkan adanya kemauan diri sendiri dari pasangan. Hal ini disebabkan mereka sudah merasa bisa mencari uang sendiri dan juga pengetahuan anak yang diperoleh dari film atau media-media yang lain, sehingga bagi mereka yang telah mempunyai pasangan atau kekasih terpengaruh untuk melakukan pernikahan di bawah batas minimal usia perkawinan. 2. Faktor Ekonomi Pernikahan dini yang terjadi
disebabkan karena alasan membantu
pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Faktor ini berhubungan dengan rendahnya tingkat ekonomi keluarga. Orang tua tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga orangtua memilih untuk mempercepat pernikahan anaknya, terlebih bagi anak perempuan sehingga dapat membantu pemenuhan kebutuhan keluarga (Landung dkk, 2009). Sejalan dengan hal itu, Jannah (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa para orang tua yang menikahkan anaknya pada usia muda mengganggap bahwa dengan menikahkan anaknya, maka beban ekonomi keluarga akan berkurang satu. Hal ini disebabkan jika anak sudah menikah, maka akan menjadi tanggung jawab suaminya. Bahkan para orang tua juga berharap jika anaknya sudah menikah, maka akan dapat membantu kehidupan orang tuanya.
Universitas Sumatera Utara
34
3. Faktor pendidikan Dalam konteks pendidikan, penelitian Landung dkk (2009) dan menjelaskan bahwa
rendahnya
tingkat
pendidikan orang tua, menyebabkan adanya
kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur. Hal tersebut berkaitan dengan rendahnya tingkat pemahaman dan pengetahuan orangtua terkait konsep remaja gadis. Pada masyarakat pedesaan umumnya terdapat suatu nilai dan norma yang menganggap bahwa jika suatu keluarga memiliki seorang remaja gadis yang sudah dewasa namun belum juga menikah dianggap sebagai aib keluarga, sehingga orang tua lebih memilih untuk mempercepat pernikahan anak perempuannya. Jannah (2012) menambahkan bahwa rendahnya pendidikan merupakan salah satu pendorong terjadinya pernikahan dini. Para orang tua yang hanya bersekolah hingga tamat SD merasa senang jika anaknya sudah ada yang menyukai, dan orang tua tidak mengetahui adanya akibat dari pernikahan muda ini. 4. Faktor Budaya Keberadaan budaya lokal (Parampo Kampung) memberi pengaruh besar terhadap pelaksanaan pernikahan dini, sehingga masyarakat tidak memberikan pandangan negatif terhadap pasangan yang melangsungkan pernikahan meskipun pada usia yang masih remaja. Hal ini yang menyebabkan kaum pemuka adat tidak memiliki kemampuan untuk dapat mengatur sistem budaya yang mengikat bagi warganya dalam melangsungkan perkawinan karena batasan tentang seseorang yang dikatakan dewasa masih belum jelas (Landung dkk, 2009).
Universitas Sumatera Utara
35
Sejalan dengan Landung dkk (2009), Syafiq Hasyim dalamJannah (2012) menyebutkan bahwa dalam konteks Indonesia pernikahan lebih condong diartikan sebagai kewajiban sosial dari pada manifestasi kehendak bebas setiap individu. Secara umum, dalam masyarakat yang pola hubungannya bersifat tradisional, pernikahan dipersepsikan sebagai suatu “keharusan sosial” yang merupakan bagian dari warisan tradisi dan dianggap sakral. Sedangkan dalam masyarakat rasional modern, perkawinan lebih dianggap sebagai kontrak sosial, dan karenanya pernikahan sering merupakan sebuah pilihan. Cara pandang tradisional terhadap perkawinan sebagai kewajiban sosial ini, tampaknya memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap fenomena kawin muda yang terjadi di Indonesia. Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pernikahan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu faktor ekonomi, pendidikan, keluarga, kemauan sendiri, media masa dan hamil diluar nikah . a. Faktor Ekonomi Mencher (dalam Siagian, 2012) mengemukakan kemiskinan adalah gejala penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau sekelompok orang, dimana pada suatu titik waktu secara nyata mereka tidak mampu mencapai kehidupan yang layak, sehingga dapat kita katakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda adalah tingkat ekonomi keluarga. Rendahnya tingkat ekonomi keluarga mendorong si anak untuk menikah diusia yang tergolong muda untuk meringankan beban orang tuanya. Dengan si anak
Universitas Sumatera Utara
36
menikah sehingga bukan lagi menjadi tanggungan orang tuanya ( terutama untuk anak perempuan), belum lagi suami anaknya akan bekerja atau membantu perekonomian keluarga maka anak wanitanya dinikahkan dengan orang yang dianggap mampu. b. Faktor Pendidikan Rendahnya tingkat pendidikan cenderung melakukan aktivitas sosial ekonomi yang turun temurun tanpa kreasi dan inovasi. Akibat lanjutnya produktivitas kerjanyapun sangat rendah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara memadai. Karena terkadang seorang anak perempuan memutuskan untuka menikah diusia yang tergolong muda. Pendidikan dapat mempengaruhi seorang wanita untuk menunda usia untuk menikah. Makin lama seorang wanita mengikuti pendidikan sekolah, maka secara teoritis makin tinggi pula usia kawin pertamanya. Seorang wanita yang tamat sekolah lanjutan tingkat pertamanya berarti sekurang-kurangnya ia menikah pada usia di atas 16 tahun ke atas, bila menikah diusia lanjutan tingkat atas berarti sekurang-kurangnya berusia 19 tahun dan selanjutnya bila menikah setelah mengikuti pendidikan di perguruan tinggi berarti sekurang-kurangnya berusia diatas 22 tahun (Siagian,2012) c. Faktor Keluarga/ Orang tua Biasanya orang tua bahkan keluarga menyuruh anaknya untuk menikah secepatnya padahal umur mereka belum matang untuk melangsungkan pernikahan, karena orang tua dan keluarga khawatir anaknya melakukan hal-hal yang tidak di inginkan karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera menikahkan anaknya. Hal ini merupakan hal
Universitas Sumatera Utara
37
yang sudah biasa atau turun-temurun. Sebuah keluarga yang mempunyai anak gadis tidak akan merasa tenang sebelum anak gadisnya menikah.(Landung dkk,2009) d. Faktor kemauan sendiri Hal ini disebabkan karena keduanya merasa sudah saling mencintai danadanya pengetahuan anak yang diperoleh dari film atau media-media yang lain, sehingga bagi mereka yang telah mempunyai pasangan atau kekasih terpengaruh untuk melakukan pernikahan di usia muda. e. Faktor Media massa Media cetak maupun elektronik merupakan media massa yang palingbanyak digunakan oleh masyarakat kota maupun desa. Oleh karena itu, media masa sering digunakan sebagai alat menstransformasikan informasi dari dua arah, yaitu dari media massa ke arah masyarakat atau menstransformasi diantara masyarakat itu sendiri. Cepatnya arus informasi dan semakin majunya tehnologi sekarang ini yang dikenal dengan era globalisasi memberikan bermacam-macam dampak bagi setiap kalangan masyarakat di Indonesia, tidak terkecuali remaja. Teknologi seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, disatu sisi berdampak positif tetapi di sisi lain juga berdampak negatif. Dampak positifnya, munculnya imajinasi dan kreatifitas yang tinggi. Sementara pengaruh negatifnya, masuknya pengaruh budaya asing seperti pergaualan
bebas
dan
pornografi.
Masuknya
pengaruh
budaya
asing
mengakibatkan adanya pergaulan bebas danseks bebas.
Universitas Sumatera Utara
38
Menurut Rohmahwati (2008) paparan media massa, baik cetak (koran, majalah, buku-buku porno) maupun elektronik (TV, VCD, Internet), mempunyai pengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah. f. Faktor MBA ( Marriage By Acident) Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, dengan mudah bisa disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kota-kota besar. Pernikahan pada usia remaja pada akhirnya menimbulkan masalah tidak kalah peliknya. Jadi dalam situasi apapun tingkah laku seksual pada remaja tidak pernah menguntungkan, pada hal masa remaja adalah periode peralihan ke masa dewasa. Selain itu, pasangan yang menikah karena “kecelakaan” atau hamil sebelum menikah mempunyai motivasi untuk melakukan pernikahan usia muda karena ada suatu paksaan yaitu untuk menutupi aib yang terlanjur terjadi bukan atas dasar pentingnya pernikahan. E. Dinamika Pengaruh Kematangan Emosi dengan Penyesuaian Diri Remaja Putri Yang Menikah Muda. Masa remaja ditandai oleh perubahan fisik dan psikologis, pencarian identitas danmembentuk hubungan baru termasukmengekspresikan perasaan seksual (Santrock,2003). Pada masa ini banyak remaja yang tertarik secara seksual pada lawan jenisnya khusunya remaja putri,mereka memiliki keinginan lebih kuat untuk penjajakan dan kepribadian dalam berkencan daripada remaja laki-laki (Duck, dalam Santrock,2003). Hal inilah yang membuat munculnya kecenderungan menikah muda dikalangan remaja yang tidak sesuai tugas
Universitas Sumatera Utara
39
perkembangan mereka . Menikah muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berusia dibawah 19 tahun (WHO,2006). Pernikahan muda sering terjadi karena seseorang berpikir secara emosional untuk melakukan pernikahan, mereka berpikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah (Sanderwitz dan Paxman dalam Sarwono, 2007), tetapi sebenarnya hidup berumah tangga membutuhkan kematangan emosi dan pemikiran untuk menghadapi dan mengendalikan hakekat perkawinan dan peran orang tua yang akan disandang (Adhim, 2002). Hurlock (2004) berpendapat bahwa kematangan emosi merupakan individu yang memiliki kontrol diri yang baik, mampu mengekspresikan emosinya dengan tepat atau sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga lebih mampu beradaptasi karena dapat menerima beragam orang dan situasi dan memberikan reaksi yang tepat sesuai dengan tuntutan yang dihadapi. Kematangan emosi memiliki karakteristik yaitu; kontrol emosi yaitu mampu mengontrol emosi saat emosi sedang memuncak, pemahaman diri yaitu mencari cara mengatasi emosi dengan mengetahui penyebab emosi, dan pengunaan fungsi kritis mental Individu
yaitu mampu membuat
keputusan dengan mempertimbangkan
dampaknya (Hurlock, 2004). Pada saat remaja melakukan pernikahan diusia muda, remaja tersebut akan mengalami periode perubahan yaitu, perubahan fisik, emosional, perubahan pola dan minat, perubahan nilai-nilai yang berlaku, dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan (Hurlock,2000). Salah satu faktor yang mempengaruhi kematangan emosi adalah usia (Hurlock,2004). Diharapkan semakin matang usia individu tersebut semakin matang pula emosi yang dimiliki. Terutama untuk
Universitas Sumatera Utara
40
remaja putri, dimana menurut penelitianKhairani, R., & Putri, D. E. (2008) seorang wanita akan mencapai kematangan emosi nya pada usia 24 tahun sehingga sebelum usia tersebut individu tersebut masih sering tidak stabil emosinya, perubahan suasana hati itu nantinya akan mempengaruhi hubungannya dengan pasangannya.Individu yang memiliki kematangan emosi berarti individu tersebut dapat menempatkan potensi yang dikembangkan dirinya dalam kondisi pertumbuhan, dimana tuntutan yang nyata dari kehidupan individu dewasa dapat diatasi dengan cara yang efektif dan sehat (Schneiders dalam Kurniawan 1995). Remaja dikatakan sudah mencapai kematanan emosi jika individu dapat mengerti situasi tanpa harus diberikan arahan oleh orang lain serta mengerti kewajiban dan tanggung jawabnnya (Chaube,2002). Sejalan dengan Munandar, 2011 remaja putri yang menikah masih membawa sifat anak-anak nya sehingga masing-masing individu perlu menyesuaikan diri dengan pasangannya agar kebutuhan masing-masing pasangan dapat terpenuhi.Menurut (Hurlock,2000) cara seseorang remaja agar dapat menyesuaikan diri dengan pasangan dan kehidupan pernikahannya remaja tersebut
membutuhkan penyesuaian pernikahan . Yang mana dalam halnya
pernikahan usia muda tentunya masing-masing pasangan membawa niai-nilai, sikap, keyakinan dan gaya masing-masing dalam pernikahan (DeGenova,2008). Sehingga untuk mengatasi segala perbedaan yang ada pada masing-masing pasangan, mereka membutuhkan penyesuaian dalam pernikahannya. Hurlock (2000) mengatakan penyesuaian pernikahan merupakan sebuah proses adaptasi suami dan istri, dimana suami istri tersebut dapat mencegah
Universitas Sumatera Utara
41
terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri. Boykin & Stith (2004) mengemukakan bahwa kecenderungan pernikahan diusia remaja memunculkan distress dan banyak yang berakhir pada perpisahan, dimana yang menjadi penyebab utamanya adalah sedikitnya pengalaman dan faktor-faktor kurangnya kesiapan dalam menghadapi pernikahan. Penyesuaian pernikahan sangat dibutuhkan oleh setiap pasangan yang telah menikah, terlebih pada pasangan remaja yang menikah karena di usia remaja emosinya masih sangat labil sehingga perlu adanya saling pengertian antar pasangannya (Hurlock,2000). Emosi mewarnai cara berfikir manusia dalam menghadapi konflik (Lazarus,1991). Selain itu, salah satu kondisi yang menyumbang kesulitan dalam melakukan penyesuaian pernikahan adalah pernikahan usia muda, dimana pernikahan usia muda lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri pada masing-masing pasangan karena umumnya di usia tersebut individu yang belum terlalu matang dalam hal ekonomi, seksualdan emosional (Hurlock,2000). Sejalan dengan hal tersebut, dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa penyesuaian pernikahan dapat berjalan baik jika masing-masing pasangan memiliki kematangan psikologis (Walgito,2004). Kematangan psikologis diantaranya adalah kematangan emosi.
Universitas Sumatera Utara
42
F. Hipotesa Penelitian Berdasarkan uraian teoritis di atas maka hipotesa yang diajukan peneliti dalam penelitian ini adalah “Terdapat Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaian Pernikahan Pada Remaja Putri”.
Universitas Sumatera Utara
43
G. Paradigma Berpikir
Remaja Ciri perkembangan : Mencari identitas diri, Timbulnya keinginan untuk kencan, mempunyai rasa cinta yang mendalam, mengembangkan kemampuan berpikir abstrak, berkhayal tentang aktivitas seks
Menikah
Menikah Muda (early marriage) adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu pasangannya yang masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia dibawah 19 tahun. (WHO, 2006)
Membutuhkan Kematangan Emosi (Hurlock,2004)
Tidak Menikah
Mengalami Konflik – Konflik Pernikahan.
Melakukan Penyesuaian Pernikahan (Hurlock, 2000) : 1. Penyesuaian dengan Pasangan 2. Penyesuaian Seksual 3. Penyesuaian Keuangan 4. Penyesuaian dengan keluarga Pasangan
Universitas Sumatera Utara