BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Prestasi Belajar Matematika Prestasi belajar matematika di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mengetahui pencapaian kompetensi. Boyatzis (2008) mengemukakan bahwa kompetensi merupakan karakteristikkarakteristik dasar seseorang yang menuntun atau menyebabkan keefektifan dan kinerja yang menonjol (http://id.wikipedia.org/wiki/Kompetensi). Menurut Cowell (1988), kompetensi diartikan sebagai suatu keterampilan/kemahiran yang bersifat aktif. Kompetensi dikategorikan mulai dari tingkat sederhana atau dasar hingga lebih sulit atau kompleks yang pada gilirannya akan berhubungan dengan proses penyusunan bahan atau pengalaman belajar. Cowell berpendapat kompetensi menjadi satu kesatuan utuh yang menggambarkan potensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dinilai, yang terkait dengan profesi tertentu berkenaan dengan bagianbagian yang dapat diaktualisasikan dan diwujudkan dalam bentuk tindakan atau kinerja untuk menjalankan suatu profesi. (http://digilib.its.ac.id/ public/ITSUndergraduate-12394- Chapter1.pdf)
11
Prestasi belajar matematika dalam penelitian ini diperoleh melalui proses yang dimulai dari guru memberi tugas individu, belajar kelompok, kuis, sampai mengerjakan posttest, sebab pembelajaran yang digunakan adalah kooperatif model Team Accelerated Instruction. Prestasi belajar matematika dalam penelitian ini merupakan pengukuran dengan sistem berkelanjutan. Pengukuran prestasi belajar matematika menggunakan instrumen tes. Instrumen penelitian yang digunakan adalah tes prestasi yang disusun sendiri oleh peneliti yang digunakan untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar dari kelas eksperimen dengan pembelajaran kooperatif model Team Accelerated Instruction dan kelas kontrol yang diajar dengan pembelajaran tradisional. Instrumen tes ini telah diuji tingkat validitas dan reliabilitasnya. Dengan demikian prestasi belajar matematika adalah hasil kompetensi yang dicapai siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar matematika selang waktu tertentu. Prestasi belajar diperoleh dari nilai tes akhir yang diberikan setelah satu kompetensi dasar tercapai.
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Matematika Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar matematika dalam penelitian ini sesuai dengan ciriciri
kegiatan
belajar
mengajar
dalam
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Pengertian belajar dalam 12
kegiatan belajar mengajar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah membangun gagasan yang akibat pada perilaku mengajar adalah menciptakan suasana berpikir, memancing siswa mengungkapkan gagasan, mentolerir bila ada gagasan yang salah kemudian mempertanyakan dan membahas gagasan yang benar (Muslich,2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar matematika yang sesuai dengan ciri-ciri kegiatan belajar mengajar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah: 1. Mengalami dan mengeksplorasi yang berarti melibatkan berbagai indra: penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan perasa. Hal ini akan dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang suatu konsep dan meningkatkan daya bertahan pemahaman tersebut dalam pikiran siswa, sesuai dengan pepatah yang mengatakan saya dengar saya lupa, saya lihat saya ingat, saya kerjakan saya mengerti; 2. Interaksi maksudnya adalah berinteraksi dengan teman dan guru memungkinkan siswa memperbaiki kesalahan atau memperkaya gagasan yang dibangun. Di samping itu, interaksi dapat merupakan wahana pengembangan kemampuan sosial siswa seperti berkomunikasi, menyanggah pandapat, dan menyampaikan pendapat secara santun.
13
Interaksi dapat diciptakan oleh guru
dengan cara
merancang kegiatan belajar bagi siswa secara berkelompok, siswa saling menjelaskan kepada temannya tentang temuannya, atau guru mengembalikan pertanyaan siswa kepada siswa lain. 3. Komunikasi.
Siswa
diberi
kesempatan
untuk
mengkomunikasikan gagasan-gagasannya sehingga dapat diketahui gagasan yang benar atau yang salah. Guru perlu mengetahui gagasan apa yang ada dibenak siswa agar siswa dapat mengembangkannya bila gagasannya benar dan dapat memperbaiki bila gagasannya salah. Hal pokok yang perlu disadari guru adalah ekspresi gagasan merupakan kebutuhan mendasar manusia. Oleh sebab itu pemajangan hasil karya siswa, meminta pendapat siswa, tidak mentertawakan pendapat siswa sekalipun lucu, merupakan cara untuk dapat menghidupkan kegiatan komunikasi; 4. Refleksi. Siswa perlu dibiasakan untuk merenungkan kembali apa yang dipikirkan dan dilakukannya agar mereka terlatih menilai diri sendiri dan tidak tergantung pada orang lain. Kegiatan refleksi dapat dibantu guru dengan memberi pertanyaan setelah satu atau beberapa konsep dipelajari. Jawaban terhadap pertanyaan dapat dijadikan bahan pertimbangan guru dalam membimbing siswa untuk belajar selanjutnya, dan jawaban dapat sekaligus menjadi pelatihan bagi siswa 14
dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya serta menilai diri sendiri (Muslich, 2007). Keempat faktor yang mempengaruhi prestasi belajar matematika yang sesuai dengan ciri-ciri kegiatan
belajar mengajar dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu siswa mengalami kegiatan secara langsung, bereksplorasi, berinteraksi deng an teman dan gurunya, berkomunikasi tentang apa yang mereka peroleh dari belajarnya, dan melakukan refleksi tentang apa yang dipelajari, meru-pakan hal yang sebaiknya terjadi dalam setiap KBM. Dengan cara demikianlah hasil belajar yang berupa kompetensi dasar akan tercapai secara maksimal (Muslich, 2007)
2.3 Pengukuran Prestasi Belajar Matematika Pengukuran prestasi belajar matematika menggunakan instrumen tes. Instrumen penelitian yang digunakan adalah tes prestasi yang disusun sendiri oleh peneliti yang digunakan untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar dari kelas eksperimen dengan pembelajaran
kooperatif
model
Team
Accelerated
Instruction dan kelas kontrol yang diajar dengan pembelajaran tradisional. Penyusunan tes disusun dengan memperhatikan kisi-kisi soal yang mengevaluasi indikator pencapaian kompetensi dan materi pelajaran yang dipilih sesuai dengan silabus pembelajaran yang telah disusun oleh satuan pendidikan pada 15
mata pelajaran matematika kelas 5 smester 2 serta berpedoman pada buku sumber mata pelajaran matematika. Penilaian tes prestasi berjumlah 30 item yang meliputi keseluruhan materi pokok. Sebanyak 5 soal mengevaluasi indikator menjumlahkan pecahan berpenyebut tidak sama, 5 item mengevaluasi indikator menjumlahkan pecahan biasa dengan pecahan campuran, 6 item mengevaluasi indikator menjumlahkan pecahan campuran dengan persen dan desimal serta campuran, 5 item mengevaluasi indikator menjumlahkan pecahan biasa dengan persen dan pecahan desimal, dan 5 item mengevaluasi indikator menjumlahkan tiga pecahan berpenyebut tidak sama secara berturut-turut dan 4 item mengevaluasi indikator mengurangkan pecahan dari bilangan asli. Penilaian tiap item diberi bobot 1 poin, sehingga keseluruhan akan berjumlah 30 poin, dan nilai diperoleh dengan cara item benar kali bobot dibagi 3. Jumlah siswa kelas 5 SDN Duren 01 sebagai kelas eksperimen ada 27 siswa. Pengelompokan dibuat menjadi 6 kelompok, maka ada 3 kelompok dengan jumlah anggota 4 siswa dan 3 kelompok dengan jumlah anggota 5 siswa. Penelitian ini memilih satu materi pokok yaitu menjumlahkan dan mengurangkan berbagai bentuk pecahan yang terdiri dari 5 indikator yaitu:
menjumlahkan
pecahan
berpenyebut
tidak
sama, menjumlahkan pecahan biasa dengan pecahan 16
campuran, menjumlahkan pecahan campuran dengan persen dan desimal serta campuran,
menjumlahkan
pecahan biasa dengan persen dan pecahan desimal, dan menjumlahkan tiga pecahan berpenyebut tidak sama secara berturut-turut. Setiap indikator membutuhkan satu kali tatap muka, sehingga diperlukan 7 kali tatap muka. Satu kali tatap muka untuk evaluasi materi pokok.
2.4 Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif pertama kali dikembangkan untuk mengurangi kompetisi di sekolahsekolah Amerika. Pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama antar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, digunakan untuk mengajarkan materi yang komplek, dan yang lebih penting lagi dapat membantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang berdimensi sosial dan hubungan antar manusia. Pembelajaran kooperatif ditemukan oleh David Johnson
dan
Roger
Johson
dari
University
of
Minnesuta yang kemudian dikembangkan oleh para ahli seperti Robert E. Slavin, Elliot Aranson, Shalomo Sharan dan Yoel Sharan, Spencer Kagan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori dari Robert E. Slavin sebab dalam penelitian menggunakan pembelajaran kooperatif model Team Accelerated Instruction yang dikembang-kan oleh Robert E. Slavin. 17
2.4.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif Menurut Slavin (1995) pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, siswa dalam satu kelas dijadikan kelompokkelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 6 orang untuk memahami konsep yang difasilitasi oleh guru. Pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran dengan seting kelompok-kelompok kecil dengan memperhatikan keberagaman anggota kelompok sebagai wadah siswa bekerjasama dan memecahkan suatu masalah melalui interaksi sosial dengan teman sebayanya, memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan dan ia menjadi nara sumber bagi teman yang lain. Jadi Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran yang telah dikenal sejak lama, pada saat guru mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya. Dalam proses belajar mengajar guru tidak lagi mendominasi, namun siswa dilibatkan untuk berbagi informasi dengan siswa yang lain dan saling belajar mengajar sesama mereka.
18
Pembelajaran
kooperatif
adalah
salah
satu
bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan metode belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa (anggota kelompok) harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. Pembelajaran
kooperatif
merupakan
strategi
pembelajaran yang mendorong siswa aktif menemukan sendiri pengetahuannya melalui keterampilan proses. Siswa belajar dalam kelompok kecil yang kemampuannya heterogen. Dalam menyelesaikan tugas kelompok setiap anggota saling bekerja sama dan saling membantu dalam memahami suatu bahan ajar. Agar siswa dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya maka mereka perlu diajari keterampilan-keterampilan kooperatif sebagai berikut: (1) Berada dalam tugas. Berada dalam tugas maksudnya adalah tetap berada dalam kerja kelompok, menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya sampai selesai dan bekerjasama dalam kelompok sesuai dengan kesepakatan kelompok, ada kedisiplinan individu dalam kelompok; (2) Mengambil giliran dan berbagi tugas. Mengambil giliran dan berbagi tugas yaitu bersedia 19
menerima tugas dan membantu menyelesaikan tugas; (3) Mendorong partisipasi. Mendorong partisipasi yaitu memotivasi teman sekelompok untuk memberikan kontribusi tugas kelompok; (4) Mendengarkan dengan aktif. Mendengarkan dengan aktif maksudnya adalah mendengarkan dan menyerap informasi yang disampaikan teman dan menghargai pendapat teman. Hal ini penting untuk memberikan perhatian pada yang sedang berbicara sehingga anggota kelompok yang menjadi pembicara akan merasa senang dan menumbuh kembangkan motivasi belajar bagi dirinya sendiri dan yang lainnya; (5) Bertanya. Menanyakan informasi atau penjelasan lebih lanjut dari teman sekelompok kalau perlu didiskusikan, apabila tetap tidak ada pemecahan tiap anggota wajib mencari pustaka yang mendukung, jika tetap tidak terselesaikan baru bertanya kepada guru. 2.4.2 Tujuan Pembelajaran Kooperatif Dalam pembelajaran kooperatif, dua atau lebih individu saling tergantung satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan bersama. Menurut Slavin dalam Ibrahim dkk (2000) siswa yakin bahwa tujuan mereka akan tercapai jika dan hanya jika siswa lainnya juga mencapai tujuan tersebut. Untuk itu setiap anggota berkelompok bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya. Siswa yang bekerja dalam situasi pembelajaran kooperatif didorong untuk bekerjasama pada 20
suatu tugas bersama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya. Menurut Slavin dalam Ibrahim, dkk (2000) terdapat tiga tujuan Instruksional penting yang dapat dicapai dengan pembelajaran kooperatif yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, pengembangan keterampilan sosial. Dalam pembelajaran kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama
menyelesaikan
tugas-tugas
akademik
(Ibrahim, 2000). Pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting. Menurut Depdiknas tujuan pertama pembelajaran kooperatif, yaitu meningkatkan hasil akademik, dengan meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademiknya. Siswa yang lebih mampu akan menjadi nara sumber bagi siswa yang kurang mampu, yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Sedangkan 21
tujuan yang kedua, pembelajaran kooperatif memberi peluang agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai perbedaan latar belakang. Perbedaan tersebut antara lain perbedaan suku, agama, kemampuan akademik, dan tingkat sosial. Tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah
untuk mengembangkan keterampilan sosial
siswa. Keterampilan sosial yang dimaksud antara lain, berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Slavin. http://hipotes.wordpress. com/2008/05/10/metode-pembelajaran-kooperatif/ Menurut Slavin dalam Isjoni (2009) tujuan utama dalam penerapan pembelajaran kooperatif adalah agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok. Dalam
penelitian
Hasman
(2008)
dituliskan
bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif mempunyai tiga tujuan yang hendak dicapai: (1) Hasil belajar akademik. Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Banyak ahli yang berpendapat bahwa model pembelajaran koope22
ratif unggul dalam membantu siswa untuk memahami konsep-konsep yang sulit; (2) Pengakuan adanya keragaman. Pembelajaran kooperatif bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai macam perbedaan latar belakang. Perbedaan tersebut antara lain perbedaan suku, agama, kemampuan akademik dan tingkat sosial; (3) Pengembangan keterampilan sosial. Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan sosial yang dimaksud dalam pembelajaran kooperatif adalah berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat dan bekerja sama dalam kelompok. 2.4.3 Unsur-unsur Pembelajaran kooperatif Model
pembelajaran
kooperatif
tidak
sama
dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsurunsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan secara asal-asalan. Pelaksanaan prosedur pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan efektif. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Kelima unsur tersebut yaitu: (1) saling ketergantungan positif; (2) tanggung jawab perseorangan; (3) tatap muka; (4) komunikasi antar anggota; (5) evaluasi proses kelompok. Untuk memenuhi kelima unsur tersebut 23
dibutuhkan proses yang melibatkan niat dan kiat para anggota kelompok, para siswa harus mempunyai niat untuk bekerja sama dengan yang lainnya dalam kegiatan belajar kelompok yang akan saling menguntungkan. Selain niat, siswa juga harus menguasai kiat-kiat berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain. Salah satu cara untuk mengembangkan niat dan kerja sama antar siswa dalam pembelajaran kooperatif adalah melalui pengelolaan kelas. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas dalam pembelajaran kooperatif, yakni pengelompokan, semangat kerja sama dan penataan ruang kelas. 2.4.4 Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif Menurut Slavin (1995) pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, siswa dalam satu kelas dijadikan kelompokkelompok kecil yang terdiri dari empat sampai enam orang untuk memahami konsep yang difasilitasi oleh guru. Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dengan setting kelompok-kelompok kecil dengan
memperhatikan
keberagaman
anggota
kelompok sebagai wadah siswa bekerjasama dan memecahkan suatu masalah melalui interaksi sosial dengan teman sebayanya, memberikan kesempatan pada siswa untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan dan ia menjadi nara sumber bagi teman yang lain. 24
Pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri: (1) untuk menuntaskan materi belajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif; (2) kelompok dibentuk dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah; (3) jika dalam kelas terdapat siswa-siswa yang terdiri dari beberapa ras, suku, budaya jenis kelamin yang berbeda, maka diupayakan agar dalam tiap kelompok terdiri dari ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda pula; dan (4) penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok dari pada perorangan.
2.4.5 Landasan Teori Pembelajaran Kooperatif Siswa yang bekerja di dalam kelompok kooperatif dapat belajar lebih banyak dari pada yang diatur dalam kelas-kelas tradisional. Dalam penelitiannya Slavin dalam Yusron (2005) mengungkapkan adanya variasi yang sangat banyak dari model-model teoritis yang dapat menjelaskan keunggulan pembelajaran kooperatif. Teori-teori tersebut terbagi menjadi dua kategori utama yaitu Motivasi dan kognitif. Teori Motivasi, menurut Slavin dalam Yusron (2005) perspektif motivasional pada pembelajaran kooperatif terutama memfokuskan pada penghargaan atau struktur tujuan dimana para siswa bekerja. Struktur tujuan tersebut adalah: (1) kooperatif, di mana tujuan dari tiap individu memberi kontribusi pada pencapaian tujuan anggota yang lain, (2) kompe25
titif, dimana tujuan tiap individu menghalangi pencapaian tujuan anggota lainnya: (3) individualistik, di mana tujuan dari tiap individu tidak memiliki konsekuensi apapun bagi pencapaian tujuan anggota lainnya. Dari perspektif motivasional Slavin dan Johnson dalam Yusron (2005) mengemukakan bahwa struktur tujuan kooperatif menciptakan sebuah situasi dimana satu-satunya cara anggota kelompok bisa meraih tujuan pribadi mereka adalah jika kelompok mereka bisa sukses. Oleh karena itu, untuk meraih tujuan personal mereka, anggota kelompok harus membantu teman satu timnya untuk melakukan apa pun guna membuat kelompok mereka berhasil, dan mungkin yang lebih penting, mendorong anggota satu kelompoknya untuk melakukan usaha maksimal. Dengan kata lain, penghargaan kelompok yang didasarkan pada kinerja kelompok menciptakan struktur penghargaan interpersonal dimana anggota kelompok akan memberikan atau menghalangi pemicu-pemicu sosial dalam merespon usaha-usaha yang berhubungan dengan tugas kelompok. Para pencetus teori motivasional mengkritik terhadap pengaturan kelas tradisional bahwa penilaian yang kompetitif dan sistem penghargaan informal di kelas menciptakan norma-norma di antara mereka yang berlawanan dengan usaha-usaha akademik.
26
Dalam kajiannya Slavin telah menemukan bahwa ketika para siswa bekerja bersama untuk meraih sebuah tujuan kelompok, membuat mereka mengekspresikan norma-norma yang baik dalam melakukan apapun yang diperlukan untuk keberhasilan kelompok. Slavin dkk menemukan bahwa para siswa di dalam kelas-kelas pembelajaran kooperatif merasa bahwa teman sekelas mereka ingin agar mereka belajar. Dalam kelompok kooperatif, pembelajaran menjadi sebuah aktivitas yang bisa membuat para siswa lebih unggul di antara teman sebayanya. Siswa dalam kelompok
kooperatif
yang
berhasil
meraih
prestasi
membuktikan status sosial mereka di dalam kelas, sedangkan di dalam kelas-kelas tradisional siswasiswa seperti ini kehilangan status. Jelasnya tujuan pembelajaran kooperatif menciptakan norma-norma yang pro-akademik di antara para siswa, dan normanorma pro-akademik memiliki pengaruh yang amat penting bagi pencapaian prestasi siswa (Yusron, 2005) Slavin (dalam Yusron, 2005) menjelaskan teori motivasi dalam pembelajaran kooperatif menekankan derajat perubahan tujuan kooperatif mengubah insentif bagi siswa untuk melakukan tugas-tugas akademik, sedang teori kognitif menekankan pada pengaruh dari kerja sama itu sendiri (apakah kelompok tersebut mencoba meraih tujuan kelompok ataupun tidak). Teori kognitif terbagi menjadi dua kategori utama yaitu: teori pembangunan dan teori elaborasi kognitif. 27
Asumsi dasar dari teori pembangunan adalah bahwa interaksi di antara para siswa berkaitan dengan tugastugas yang sesuai meningkatkan penguasaan mereka terhadap konsep kritik. Teori Pembangunan didefinisikan sebagai wilayah pembangunan paling dekat sebagai jarak antara level pembangunan aktual seperti yang di tentukan oleh penyelesaian masalah secara independen dan level pembangunan potensial seperti yang ditentukan melalui penyelesaian masalah dengan bantuan dari orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman yang lebih mampu (Yusron, 2005). Lebih lanjut dituliskan oleh Slavin dalam Yusron (2005) bahwa para peneliti menyerukan untuk meningkatkan penggunaan aktivitas kooperatif di sekolah. Dengan alasan bahwa interaksi di antara siswa dalam tugas-tugas pembelajaran akan terjadi dengan sendirinya untuk mengembangkan pencapaian prestasi siswa. Slavin (dalam Yusron, 2005) menjelaskan bahwa apa yang disebut sebagai perspektif elaborasi kognitif berbeda
dengan
perspektif
elaborasi
dari
sudut
pandang pembangunan. Penelitian dalam bidang psikologi kognitif telah menemukan bahwa jika informasi ingin dipertahankan di dalam memori dan berhubungan dengan informasi yang sudah ada di dalam memori, orang yang belajar harus terlibat dalam semacam pengaturan
kembali
kognitif,
atau
elaborasi
dari
28
materi. Salah satu cara elaborasi yang paling efektif adalah menjelaskan materinya kepada orang lain. Penelitian terhadap pengajaran oleh teman, telah lama menemukan adanya keuntungan pencapaian yang diterima oleh pengajar maupun yang diajar. Dan melalui serangkaian studi para mahasiswa yang bekerja dalam struktur, rancangan kooperatif dapat mempelajari materi teknis atau prosedur
jauh lebih
baik dari pada apabila mereka bekerja sendiri-sendiri. Baik teori motivasi maupun kognitif mendukung manfaat pencapaian dari pembelajaran kooperatif. Ada satu potensi penghalang yang penting untuk dihindari jika ingin pembelajaran kooperatif berjalan efektif secara instruksional. Jika tidak dirancang dengan baik dan benar, metode kooperatif dapat memicu munculnya “pengendara bebas”, atau para pembonceng, di mana sebagian anggota kelompok melakukan semua atau sebagian besar dari seluruh pekerjaan (pembelajaran) sementara yang lainnya hanya ikut mendompleng saja. Menurut Slavin dalam Yusron (2005) ada lima model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan dan diteliti secara ekstensif. 1.
STAD (Student Team Achievement Divisions) Model STAD merupakan metode yang paling
mudah dan merupakan cara terbaik untuk memulai pengajaran dengan CL. Model ini menekankan pada 29
kemajuan individu untuk memberi konstribusi dalam kelompok. Model STAD dikembangkan Slavin, dan merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang menekankan pada aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal (Isjoni, 2009). Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Division), ini dikembangkan pertama kali oleh Robert Slavin
dan
teman-temannya
di
Universitas
John
Hopkins dan merupakan model pembelajaran kooperatif paling sederhana (Ibrahim dkk, 2000). Masingmasing kelompok memiliki kemampuan akademik yang heterogen sehingga dalam satu kelompok akan terdapat satu siswa berkemampuan tinggi, dua orang kemampuan sedang dan satu siswa lagi berkemampuan rendah. 2.
TGT (Teams Games Tournaments) Model TGT hampir sama dengan STAD namun
penekannya pada permainan. Kooperatif model TGT menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 5 sampai 6 siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin, dan suku atau ras yang berbeda. 3.
Jigsaw II
30
Jigsaw telah dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot Aronson dkk di Universitas Texas dan kemudian diadaptasi
oleh
Slavin
dkk
di
Universitas
Jhon
Hopkins. Dalam terapan tipe jigsaw, siswa dibagi menjadi berkelompok dengan lima atau enam anggota kelompok belajar heterogen. Materi pelajaran diberikan pada siswa dalam bentuk teks. Setiap anggota bertanggungjawab untuk mempelajari bagian tertentu bahan yang diberikan. Anggota dari kelompok yang lain mendapat tugas topik yang sama berkumpul dan berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut dengan kelompok ahli (Ibrahim, dkk. 2000 ). 4. Team
Accelerated
Instruction
atau
Team-
Assisted-Individualization Pembelajaran kooperatif model Team Accelerated Instruction ini dikembangkan oleh Slavin. Model ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. Model ini dirancang untuk
mengatasi
kesulitan
belajar
siswa
secara
individual. Oleh karena itu kegiatan pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah. Ciri khas pada model Team Accelerated Instruction ini adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Model Team Accelerated Instruction berfokus pada siswa untuk belajar dalam kelompok dengan lembar
31
kerja yang disediakan. Kelompok yang telah menguasai materi boleh melanjutkan materi berikutnya. 5. CIRC
(Cooperative
Integrated
Reading
and
Composition) Model CIRC merupakan program komprehensif untuk mengajarkan membaca dan menulis pada kelas 2 – 8. Dalam CIRC, guru menggunakan novel atau bahan bacaan yang berisi latihan soal dan cerita. Para siswa ditugaskan untuk berpasangan dalam tim mereka untuk belajar dalam serangkaian kegiatan yang bersifat kognitif, termasuk membacakan cerita satu sama lain, membuat prediksi mengenai bagaimana akhir dari sebuah cerita narasi, saling merangkum cerita satu sama lain, menulis tanggapan terhadap cerita, dan melatih pengucapan, penerimaan dan kosa kata. Para siswa juga belajar dalam timnya untuk menguasai gagasan utama dan kemampuan komprehensif lainnya.
2.5 Pembelajaran Kooperatif Model Team Accelerated Instruction Pembelajaran kooperatif model Team Accelerated Instruction dikembangkan oleh Slavin (1995). Pembelajaran ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. Pembelajaran kooperatif model Team Accelerated Instruction 32
dirancang khusus untuk mengajarkan matematika kepada siswa kelas 3 – 6. Model ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual untuk pemecahan masalah. Ciri khas model Team Accelerated Instruction adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke
kelompok
untuk
didiskusikan,
dibahas
oleh
anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggungjawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama (Yusron, 2005). Team Accelerated Instruction merupakan model pembelajaran yang membentuk kelompok kecil yang heterogen dengan latar belakang cara berpikir yang berbeda untuk saling membantu terhadap siswa lain yang membutuhkan bantuan (Suyitno, 2002). Diterapkan bimbingan antar teman yaitu siswa yang pandai bertanggung jawab terhadap siswa yang lemah dan meningkatkan partisipasi siswa dalam kelompok kecil. Siswa yang pandai dapat mengembangkan
kemam-
puan dan keterampilannya, sedangkan siswa yang lemah dapat terbantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. (http://matematikacerdas.wordpress. com/2010/01/28model-pembelajaran-kooperetif-tipetai-team-assisted-individualization/). Model pembelajaran Team Accelerated Instruction, siswa ditempatkan dalam kelompok kecil (4 sampai 5 siswa) yang heterogen dan selanjutnya diikuti dengan 33
pemberian bantuan secara individu bagi siswa yang memerlukannya.
Melalui
pembelajaran
kelompok,
diharapkan para siswa dapat meningkatkan pikiran kritisnya, kreatif, dan menumbuhkan rasa sosial yang tinggi. Sebelum dibentuk kelompok, siswa diajarkan bagaimana bekerja sama dalam suatu kelompok. Siswa diajari menjadi pendengar yang baik, dapat memberikan penjelasan kepada teman sekelompok, berdiskusi, mendorong teman lain untuk bekerja sama, dan menghargai pendapat teman lain (Yusron, 2005). pembelajaran
Ciri Accelerated
Instruction
kooperatif adalah
model
Team
kemampuan
siswa
untuk bekerja sama dalam kelompok memiliki tugas setara. Oleh karena itu, pada pembelajaran kooperatif keberhasilan kelompok sangat diperhatikan, maka siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan
dan
keterampilannya,
sedangkan
siswa
yang
kurang pandai akan terbantu dalam memahami permasalahan yang diselesaikan dalam kelompok tersebut (Isjoni, 2009). Menurut Slavin (1995) salah satu metode pembelajaran untuk mengantisipasi kurangnya aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran matematika adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif model Team Accelerated Instruction. Pemilihan pembelajaran kooperatif model Team Accelerated Instruction dalam kegiatan belajar mengajar dimaksudkan untuk: 34
(1) Membatasi keterlibatan guru dalam pemeriksaan dan pengelolaan rutin; (2) Belajar melakukan kerja sama dengan kelompok belajar; (3) Meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam kegiatan belajar mengajar dalam sebuah tim; (4) Meningkatkan partisipasi siswa untuk dapat menguasai materi dengan cara mengelola kemampuan individualnya dalam sebuah tim; (5) Memotivasi siswa untuk mempelajari materi yang diberikan dengan cepat dan akurat, dan tidak akan bisa berbuat curang atau menyelesaikan dengan jalan pintas.
2.5.1 Model
Pembelajaran
Team
Accelerated
Instruction memiliki Delapan komponen Menurut Slavin (1995) model pembelajaran Team Accelerated Instruction memiliki delapan komponen yaitu sebagai berikut: 1.
Teams atau kelompok yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri atas 4 sampai 5 siswa. Kelompok tersebut yang mewakili hasilhasil akademis dalam kelas, jenis kelamin dan ras. Fungsi kelompok adalah untuk memastikan bahwa semua anggota kelompok ikut belajar dan lebih khusus adalah mempersiapkan anggotanya untuk mengerjakan tes dengan baik;
2.
Placement Test atau Tes Penempatan yakni pemberian pre-test kepada siswa atau melihat ratarata nilai harian siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menempatkan siswa pada kelompok belajar yang didasarkan pada hasil tes mereka;
35
3.
Curriculum Materials atau Perangkat Pembelajaran yaitu dalam pembelajaran, strategi pemecahan masalah ditekankan pada seluruh materi. Siswa bekerja secara individu tentang materi kurikulum penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, pecahan, perbandingan, persen, statistika, dan aljabar. Masing-masing unit terbagi dalam: (a) Satu lembar petunjuk, berisi tinjauan konsep-konsep yang diperkenalkan oleh guru dalam pengajaran kelompok, dibahas dengan singkat; (b) Beberapa lembar praktik keterampilan masing-masing praktik keterampilan memperkenalkan sebuah sub keterampilan yang membawa kepada ketuntasan keseluruhan keterampilan; (c) Tes formatif, dalam penelitian ini yang dimaksud adalah kuis;
4.
Team Study atau Belajar Kelompok yaitu tahapan tindakan bantuan secara individual kepada siswa yang membutuhkannya. Setelah guru menjelaskan materi pokok pada tiap pertemuan, siswa ditempatkan pada kelompoknya masingmasing. Tujuan dari kelompok ini agar semua siswa aktif untuk belajar dan lebih khusus siswa menyelesaikan tugas secara mandiri. Setiap siswa dalam setiap kelompok bekerja dengan langkah-langkah sebagai berikut: (a) Siswa membentuk pasangan untuk saling memeriksa; (b) Siswa mempelajari materi pokok dan bertanya kepada rekan kelompok atau guru jika ada yang tidak dimengerti; (c) Setelah itu, siswa mengerjakan tugas pada modul yang dibagikan;
5.
Team Scores and Team Recognition atau Skor Kelompok dan Pengakuan Kelompok yaitu pemberian skor terhadap hasil kerja kelompok dan pemberian kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil dalam menyelesaikan tugas. Caranya pada akhir tiap siklus, guru menghitung skor kelompok. Skor ini diperoleh dari rata-rata nilai kuis dan nilai tes tiap siklus yang diperoleh tiap anggota kelompok. Kemudian guru mengumumkan predikat untuk tiap kelompok berdasarkan skor yang diperoleh. Kriteria yang dianut untuk prestasi kelompok yaitu
36
kriteria tinggi untuk kelompok super, kriteria menengah untuk kelompok hebat dan kriteria minimum untuk kelompok baik;
2.5.2
6.
Teaching Group atau Pengajaran Kelompok yakni pemberian materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok, guru memberikan bimbingan selama 10 sampai 15 menit dalam suatu kelompok yang anggotanya diambil dari tiap-tiap kelompok yang terbentuk yang memiliki tingkat penguasaan yang sama dilihat dari modul yang diselesaikan. Tujuan dari pengajaran kelompok ini adalah agar siswa dapat mengintegrasikan pengetahuanpengetahuan baru yang diberikan oleh guru dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga mereka dapat memahami konsep yang diajarkan dengan baik. Pada saat guru memberikan pengajaran kelompok ini, siswa yang lain tetap melanjutkan untuk mengerjakan materi pada kelompoknya masingmasing;
7.
Fact Test atau Tes Fakta yaitu pelaksanaan testes kecil berdasarkan fakta yang diperoleh siswa;
8.
Whole-Class Units atau Unit-unit Kelas Keseluruhan yaitu pemberian materi oleh guru kembali di akhir waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah.
Kelebihan kooperatif
dan
kekurangan
model
Team
pembelajaran Accelerated
Instruction Model
pembelajaran
koperatif
model
Team
Accelerated Instruction memiliki kekurangan dan kelebihan. Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kooperatif model Team Accelerated Instruction, Slavin (1995) menyatakan bahwa belajar kooperatif 37
model Team Accelerated Instruction mempunyai kelebihan sebagai berikut: 1. Guru terlibat minimal dalam pengaturan dan pengecekan rutin 2. Guru akan menggunakan waktunya paling sedikit dalam mengajar kelompok kecil 3. Pelaksanaan program sederhana 4. Para siswa dapat mengecek pekerjaan satu sama lain 5. Mengurangi perilaku yang mengganggu 6. Mengurangi konflik antar pribadi 7. Program ini sangat membantu siswa yang lemah 8. Meningkatkan motivasi belajar pada diri siswa 9. Meningkatkan hasil belajar
Selain memiliki kelebihan model pembelajaran kooperatif model Team Accelerated Instruction juga memiliki kekurangan (Anwar, 2003): 1. Dibutuhkan waktu yang lama untuk membuat dan mengembangkan perangkat pembelajaran, dan 2. Jumlah siswa yang besar dalam kelas, maka guru akan mengalami kesulitan dalam memberikan bimbingan kepada siswanya.
2.5.3
Langkah-langkah
Pembelajaran
Kooperatif
Model Team Accelerated Instruction Langkah-langkah pembelajaran kooperatif model Team Accelerated Instruction sebagai berikut: a.
Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara individual yang sudah dipersiapkan oleh guru;
38
b.
c.
d.
e.
f. g.
Guru memberikan tes secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau skor awal; Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi, sedang, dan rendah). Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender; Hasil belajar siswa secara individual didiskusikan dalam kelompok. Dalam diskusi kelompok setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu kelompok; Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari; Guru memberikan kuis kepada siswa secara individual; Guru memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
2.5.4 Pembentukan dan Penghargaan Kelompok Pembentukan kelompok berdasarkan kemampuan akademik seperti berikut ini. Tabel 2.1 Pembentukan Kelompok berdasarkan Kemampuan Kemampuan
No.
Tinggi
Sedang
Nama
Ranking
Kelompok
1
NA
1
A
2
AZ
2
B
3
LK
3
C
4
NA
4
D
5
PH
5
E
6
RK
6
F
7
DW
7
A
8
IPP
8
A
39
Rendah
9
EW
9
B
10 11
My
10
B
JL
11
C
12
KE
12
C
13
NF
13
D
14
Pw
14
D
15
PR
15
E
16
SM
16
E
17
SV
17
F
18
WS
18
F
19
Zn
19
G
20
RH
20
G
21
AAF
21
H
22
SA
22
A
23
St
23
B
24
IA
24
C
25
NS
25
D
26
Ht
26
E
27
AK
27
F
Menurut Slavin (1995) guru memberikan penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar dari nilai dasar (awal) ke nilai kuis/tes setelah siswa bekerja dalam kelompok. Cara-cara penentuan nilai penghargaan kepada kelompok dijelaskan sebagai berikut. Langkah-langkah memberi penghargaan kelompok: 1. Menentukan
nilai
dasar
(awal)
masing-masing
siswa. Nilai dasar (awal) dapat berupa nilai tes awal atau tes individu; 2. Menentukan nilai tes yang telah dilaksanakan setelah siswa bekerja dalam kelompok, misal nilai tes I, nilai tes II, atau rata-rata nilai tes I dan tes II
40
kepada setiap siswa yang kita sebut nilai kuis terkini; 3. Menentukan nilai peningkatan hasil belajar yang besarnya ditentukan berdasarkan selisih nilai tes terkini dan nilai dasar (awal) masing-masing siswa dengan menggunakan kriteria berikut ini: Tabel 2.2 Kriteria Nilai tes terkini turun lebih dari 10 poin di bawah nilai awal
Nilai peningkatan
Nilai tes terkini turun 1 sampai dengan 10 poin di bawah nilai awal Nilai tes terkini sama dengan nilai awal sampai dengan 10 di atas nilai awal Nilai tes terkini lebih dari 10 di atas nilai awal
5 10 20 30
( Slavin 1995 dalam Isjoni 2009)
Menurut Slavin (1995) guru memberikan penghargaan kelompok berdasarkan rata-rata nilai peningkatan yang diperoleh masing-masing kelompok dengan memberikan predikat cukup, baik, sangat baik dan sempurna. Kriteria untuk status kelompok. 1. Cukup, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok kurang dari 15 (rata-rata nilai peningkatan kelompok <15); 2. Baik, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok antara 15 dan 20 (15 < rata-rata nilai peningkatan kelompok < 20);
41
3. Sangat baik, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok antara 20 dan 25 (20 ≤ rata-rata nilai peningkatan kelompok < 25); 4. Sempurna, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok
lebih
peningkatan
atau sama dengan 25 (rata-rata nilai kelompok
≥
25) (http://mey20.
wordpress.com/edocation/pembelajaran-kooperatiftipe-tai/)
2.6 Pembelajaran Tradisional 2.6.1 Pengertian Pembelajaran Tradisional Pembelajaran Tradisional yaitu pembelajaran dimana guru dianggap sebagai orang yang serba tahu dan ditugaskan untuk menyalurkan ilmu pengetahuan kepada siswanya. Di dalam pembelajaran tradisional fokus utamanya adalah guru. Model pembelajaran tradisional biasanya menekankan kepada guru sebagai pusat informasi dan siswa sebagai penerima informasi. Dengan pola seperti ini maka tahap-tahap dalam pembelajaran tradisional bertentangan dengan tahaptahap pada pembelajaran kooperatif model Team Accelerated Instruction. Model pembelajaran tradisional biasanya meliputi tahap-tahap pembukaan – penyajian – penutup. Guru cenderung menggunakan metode ceramah dan disertai sedikit tanya jawab. Guru berusaha memindahkan pengetahuan yang dimiliki kepada siswa. Pembelajaran tradisioanl membuat siswa pasif dalam menerima pengetahuan yang 42
ditransfer. (Repository.upi.edu/operator/upload/s_ d0251_0605671_ chapter2.pdf) Menurut Brooks & Brooks (1993), penyelenggaraan pembelajaran tradisional lebih menekankan kepada tujuan pembelajaran berupa penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai proses “meniru” dan siswa dituntut untuk dapat mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari melalui kuis atau tes terstandar.
2.6.1 Ciri-ciri Pembelajaran Tradisional Pembelajaran tradisional memiliki ciri-ciri, yaitu: (1) pembelajaran berpusat pada guru, (2) terjadi passive learning, (3) interaksi di antara siswa kurang, (4) tidak ada kelompok-kelompok kooperatif, dan (5) penilaian bersifat sporadis (Brooks & Brooks ,1993). Menurut Nasution (Jurniati, 2007) secara rinci ada lima ciri-ciri model pembelajaran tradisional yaitu: 1. Bahan pelajaran disajikan sebagai keseluruhan tanpa memperhatikan siswa secara individual. 2. Kegiatan pembelajaran umumnya berbentuk ceramah, tugas tertulis dan media lain menurut pertimbangan guru. 3. Siswa umumnya bersifat pasif karena harus mendengarkan penjelasan guru. 4. Kecepatan belajar siswa umumnya ditentukan oleh kecepatan guru dalam mengajar. 5. Diperkirakan hanya sebagian kecil siswa yang menguasai materi pelajaran secara tuntas.
43
Menurut Marsigit (2008) ciri-ciri Pembelajaran Tradisional sebagai berikut: 1. Pembelajaran terpusat pada guru 2. Memberikan pendidikan otak 3. Mengutamakan hafalan 4. Pendidikan untuk anak-anak yang pandai 5. Siswa pasif (mendengar) 6. Berorientasi kepada buku teks 7. Menilai murid berdasarkan pekerjaan 8. Pelajaran bersifat abstrak (ceramah) 9. Pelajaran dengan klasikal 10. Pelajaran bersifat formal 11. Materi yang sama untuk semua siswa 12. Mengajar bersifat transmisi 13. Mendorong persaingan 14. Guru otoriter/mewajibkan 15. Pendidikan uniformitas (penyeragaman) 16. Berorientasi kepada hasil 17. Motivasi belajar bersifat eksternal 18. Disiplin dan hukuman 19. Mencari jawaban benar 20. Matematika sebagai ilmu kebenaran 21. Pendidikan sebagai investasi 22. Siswa sebagai empty vessel 23. Metode mengajar tunggal 24. Alat peraga sulit dikembangkan (Repository.upi.edu/operator/upload/s_d0251_ 0605671_ chapter2.pdf) 2.6.3 Langkah-langkah Pembelajaran Tradisional Langkah-langkah Pembelajaran Tradisional: 1.Menyampaikan tujuan : Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut.
44
2.Menyajikan informasi: Guru menyajikan informasi kepada siswa secara tahap demi tahap dengan metode ceramah 3.Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik: Guru mengecek keberhasilan siswa dan memberikan umpan balik 4.Memberikan kesempatan latihan lanjutan: Guru memberikan tugas tambahan untuk dikerjakan dirumah
2.7 Kajian yang Relevan Beberapa
penelitian
yang
telah
dilakukan
tentang pembelajaran kooperatif tipe Team Accelerated Instruction adalah: 1.
Wijayanti
(2005).
”Perbedaan
Prestasi
Belajar
Bahasa Inggris yang diajarkan dengan Metode Student Team Achievement Division dalam Strategi Pengajaran
Cooperative
Learning
dengan
Non
Cooperative Learning di Kelas 4 SD Laboratorium Satya Wacana Salatiga”. (Tesis) diperoleh hasil nilai rata-rata post-test kelas kontrol 60,6777 dan kelas eksperimen 75,5295 dan F hitung 0,040 dengan signifikansi 0,001 < 0,01 berarti ada perbedaan signifikan antara prestasi belajar bahasa inggris kelas eksperimen dengan kelas kontrol sehingga ada
peningkatan
hasil
belajar
dengan
45
menggunakan cooperative learning dari pada yang non cooperative learning. 2. Suparni (2006). ”Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI Untuk meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV SDN 009 Pakanbaru”. (Skripsi) secara umum menyimpulkan bahwa hasil prestasi belajar pada pembelajaran kelompok eksperimen yang diajar dengan pembelajaran Kooperatif Tipe TAI lebih baik dari pada kelompok kontrol yang diajar dengan cara tradisional (yang biasa dilakukan) dan diperoleh hasil nilai
rata-rata
post-test
kelas
kontrol
48,571
dan kelas eksperimen 72,051 dengan signifikansi 0,000 < 0,05
2.8 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: H1 : µc ≠ µnc
: Ada perbedaan yang signifikan pada prestasi
belajar
matematika
di
antara siswa yang diajar dengan kooperatif model Team Accelerated Instruction dengan siswa yang diajar 46
dengan menggunakan pembelajaran tradisional. H o : µo = µnc
: Tidak ada perbedaan yang signifikan pada prestasi belajar matematika di antara siswa yang diajar dengan kooperatif model Team Accelerated Instruction
dengan
siswa
yang
diajar dengan menggunakan pembelajaran tradisional.
47