BAB II LANDASAN TEORI 2.1.
Kekuasaan Dalam Konsep Piere Bourdieu Istilah kekuasaan memiliki pengertian yang sangat beragam, digunakan dalam berbagai aspek pengetahuan dan tatanan kehidupan. Istilah ini bisa menunjukan pada kekuasaan ekonomis, kekuasaan politik, kekuasaan militer. Lazimnya, kekuasaan berbicara mengenai hubungan antara yang menguasai dan yang dikuasai dalam sebuah
institusi
yang
disebut
Negara.
Kemajemukan
makna
kekuasaan
mengisyaratkan perbedaan dalam hal mengidentifikasi sumber-sumber kekuasaan, penyelenggara kekuasaan, dan siapa yang berhak memegang kekuasaan. Pada level teoritik, ada yang mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kemampuan orang lain, ada pula yang melihat kekuasaan dari segi kemampuan untuk menentukan keputusan sehingga orang lain mengikuti putusan tersebut sesuai dengan kehendak yang membuat keputusan. (Fashri, 2014: 26) Kalau piranti kekuasaan diandaikan terbentuk dalam sebuah topografi ruang sosial, maka ruang sosial terdiri dari berbagai ranah-ranah yang berbeda tetapi saling terkait. Perwujudan kekuasaan yang dominan membutuhkan perangkat-perangkat simbolik untuk melegitimasi kekuasaan tersebut. Artinya legitimasi kekuasaan tidak akan bisa terbentuk tanpa adanya akumulasi capital (entah itu capital ekonomi, sosial, cultural, maupun simbolik). Semakin besar jumlah capital yang dimiliki seseorang atau institusi, semakin besar pula kekuasaan yang diwujudkannya. Dengan demikian, kekuasaan sangat dipengaruhi oleh konsepsi ranah (field), Kapital dan praktik social. Kekuasaan tidaklah berada diluar sana dan berjarak dengan kita atau dalam hubungan State-society. Ia hadir dekat dengan kita dan menyebar dalam setiap ranah social (social field) melalui praktek social. Istilah yang dikemukakan di atas mengenai kekuasaan sangat berkaitan dengan istilah rana (field) dalam pengertian Piere Bourdieu, Bagong, Suyanto – M. Khusna Amal (Rindawati, 1988: 429) menyebutkan bahwa: Ranah diartikan sebagai sesuatu yang dinamis dimana ranah merupakan kekuatan yang bersifat otonom dan didalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Perjuangan ini dipandang 6
mentransformasikan atau mempertahankan ranah kekuatan. Posisi-posisi ditentukan oleh pembagian modal untuk parah aktor yang berlokasi di ranah tersebut. Ketika posisi telah dicapai maka mereka dapat melakukan interaksi dengan habitus untuk menghasilkan sikap-sikap yang berbeda dan memiliki efek tersendiri pada ekonomi, pengambilan posisi di dalam ranah tersebut. (Rindawati, 1988; 429) 2.2.
Ranah (field) Sebagai Arena Pertarungan Dan Perjuangan Ranah merupakan arena kekuatan yang didalamnya terdapat upanya perjuangan untuk memperebutkan sumberdaya (modal) dan juga demi meperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Ranah juga merupakan arena pertarungan dimana mereka yang menempatinya dapat mempertahankan atau merubah konfigurasi kekuasaan yang ada. Struktur ranahlah yang membimbing dan memberikan strategi bagi penghuni posisi, baik individu maupun kelompok, untuk melindungi atau meningkatkan posisi mereka dalam kaitanya dengan jenjang pencapainyan sosial. Apa yang mereka lakukan berdasarkan pada tujuan yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Strategi-strategi aktor tersebut bergantung pada posisi mereka dalam ranah. Konsep ranah tak bisa dilepaskan dari ruang social (social space) yang mengacu pada keselurahan konsepsi tentang dunia social. Konsep ini memandang realitas social sebagai suatu topologi (ruang) artinya pemehaman ruang social mencangkup banyak ranah di dalamnya yang memiliki keterkaitan satu sama lain dan terdapat titik-titik kontak yang saling berhubungan. (Habitus x Modal) + Ranah = Pratik Konsep ranah mengandaikan hadirnya berbagai macam potensi yang dimiliki oleh individu maupun kelompok dalam posisinya masing-masing. Tidak saja sebagai arena kekuatan-kekuatan, ranah juga merupakan domain perjuangan demi meperebutkan posisi-posisi didalmnya. “ Field is a field of forces, but it is also a field of struggles tending to transform or conserve this field of forces”, tulis Bourdieu. Posisi-posisi terebut di tentukan oleh alokasi modal atas para pelaku yang mendiami suatu ranah. (Fashri, 2014; 106-107). Memahami konsep ranah berarti mengaitkannya dengan modal. Istilah modal digunakan oleh Bourdieu untuk mematahkan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Istilah modal sering dipakai dalam ilmu ekonomi tidak berarti Bourdie 7
jatuh kedalam pandangan „Ekonomisme‟. Istilah modal memuat beberapah cirri penting yaitu : (1) Modal terakumulasi melalu investasi; (2) Modal bisa diberikan kepada yang lain melalu warisan; (3) Modal dapat member keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya. Ide Bourdie tentang modal mencakup kemampuan melakukan control terhadap masa depan diri sendiri dan orang lain. Ini merupakan pemusatan segala kekuatan dan hanya bisa ditemukan dalam sebuah ranah. Melalui modal, individu dan masyarakat dapat dimediasi secara teoritik. Disatu sisi, masyarakat dibentuk oleh perbedaan distribusi dan penguasaan modal. Di sisi lain, para individu juga berjuang memperbesar modal mereka. Hasil dari pembagian dan akumulasi modal inilah yang nantinya menentukan posisi dan status mereka dalam masyarakat (Social trajectory dan class distinction). lewat ranah perjuangan (juga kekuatan) dan modal sebagai logika yang mengatur perjuangan-perjuangan tersebut, Bourdieu berkeinginan menampilkan sosiologi kritisnya bahwa dalam masyarakat terkandung praktik dominansi antara yang mendominasi dan didominasi. (Fashri, 2014; 109). 2.3.
Modal sosial, Modal Ekonomi dan Modal Budaya Dalam Konsep Piere Bourdieu Modal menurut Bourdieu mempunyai definisi yang sangat luas dan mencakup hal-hal material yang dapat memiliki nilai simbolik dan signifikansi secara kultural. Misalnya seperti status, dan otoritas yang dirujuk sebagai modal simbolik serta modal budaya yang didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi. Modal budaya juga dapat berupa seni, bahasa dan pendidikan. Menurut Bourdieu modal merupakan relasi sosial yang terdapat di dalam suatu sistem pertukaran baik material maupun simbol tanpa adanya perbedaan. Modal harus ada di dalam sebuah ranah. Di dalam rumusan generatif Boudieu dijelaskan tentang keterkaitan antara habitus, modal, dan ranah yang bersifat langsung. Di mana nilai yang diberikan modal dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan kultural habitus. Dalam hal ini Bourdieu juga memandang modal sebagai basis dominasi yang dapat dipertukarkan dengan jenis modal yang lainnya. Penukaran yang paling hebat menurut Bourdieu adalah pertukaran simbolis, karena dalam bentuk inilah bentuk modal yang berbeda dipersepsi dan dikenali sebagai sesuatu yang legitimate. Contoh yang jelas untuk menggambarkan penjelasan mengenai modal diatas adalah 8
penggunaan kekuasaan sebagai modal simbolis untuk mewakili pendapat umum mencoba mempresentasikan dunia sosial melalui penggunaan hukum yang bertujuan untuk memberikan negara sebuah jaminan dalam segalah bentuk nominasi resmi. Pada akhirnya, akan memberikan sebuah identitas yang resmi. Identitas ini akan dapat memunculkan pengidentitasan baru tentang modal ekonomi dan modal budaya. (Rindawati, 1988; 432) Menunjuk Bourdieu modal bisa digolongkan kedalam empat jenis yaitu : pertama modal ekonomi mencangkup alat-alat produksi ( Mesin, Tanah, Buruh), materi (pendapatan dan bendah-bendah) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua Modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Termasuk modal budaya antara lain kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernialai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan. Ketiga Modal sosial menunjuk kepada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubunganya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. keempat segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk modal simbolik. (Fauzi Fashri, 2014; 109). Semua bentuk-bentuk modal yang ada, modal ekonomi dan modal budayalah yang memiliki daya besar untuk menentukan jenjang hierarkis dalam masyarakat maju. Prinsip hierarki dan diferensiasi masyarakat tergantung pada jumlah modal yang diakumulasi dan struktur modal itu sendiri. Mereka yang menguasai keempat modal tadi dalam jumlah yang besar akan memperoleh kekuasaan yang besar pula dan menempati posisi hierarki tertinggi (kelas dominan). Tercakup di dalamnya pemilik perusahaan besar, kaum intelektual jebolan institusi pendidikan. Sementara yang hanya menguasai beberepah modal dari keseluruhan modal menempati posisi hierarki sebagai kelas menengah. Peningkatan jenjang bagi kelompok ini sangat tergantung pada kemampuan mereka memperbesar dan mengembangkan modal yang mereka miliki. Kelompok ini bisa kaum wiraswasta, karyawan, dosen baru. Berbeda dari dua kelas tersebut mereka yang tidak memilii modal sama sekali menempati jenjang hierarki social terendah. Contohnya ; para buru, petani pengemis dan lainnya.
9
2.4.
Habitus Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya Aktor berhubungan dengan dunia sosial. Aktor dibekali dengan serangkaian tema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, mengapresiasi dan mengevaluasi dunia sosial, melalui skema inilah orang menghasilkan praktik mereka, merasakan dan mengevaluasinya, secara dealektis habitus adalah produk dari internalisasi struktur dunia sosial (Bourdieu, 1989; 18) Sebenarnya kita dapat menganggap habitus sebagai “akal sehat” Cammon sense (Halton, 2000). Mereka merefleksikan pembagian objektif dalam struktur kelas, seperti kelompok usia, jenis kelamin, dan kelas sosial. Habitus di peroleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang. Jadi habitus bervariasi tergantung pada sifat posisi seseorang di dunia tersebut; tidak semua orang memiliki habitus yang sama. Namun mereka yang menempati posisi sama di dunia sosial cenderung memiliki habitus yang sama (Agar adil bagi Bourdieu, disini harus kita tambahkan ia mengemukakan pernyataan sedemikian rupa sehingga diarahkan oleh keiginan untuk memperkenalkan kembali praktik agen, kemampuan, penemuan dan improvisasinya (Bourdieu, 1990; 13) Dalam hal ini habitus bisa jadi merupakan fenomena kolektif. Habitus memungkinkan orang memahami dunia sosial, namun keberadaan berbagai habitus berarti bahwa dunia sosial dan strukturnya tidak menancapkan dirinya secara seragam pada setiap aktor. (Ritzer, dan Goodman, 2004)
2.5.
Jaringan Irigasi Irigasi sudah sangat lama di kenal di Indonesia, dan petanilah yang mula-mula membangunnya. Petani membagun irigasi untuk memenuhi kebutuhan mengairi areal persawahan yang mereka miliki. Jaringan irigasi yang dibangun umumnya berskala kecil dan bentuknya sederhana sekali. Kegiatan membangun irigasi biasanya dilakukan petani dengan mendayagunakan sumberdaya mereka, secara swadaya dan bergotong royong. Diberbagai daerah kita masih menjumpai irigasi-irigasi yang di bangun oleh petani, yang hingga sekarang masih berjalan dengan baik. Irigasi semacam ini biasa disebut irigasi desa atau irigasi tradisional. Sejarah irigasi yang panjang di indonesia telah memberi kesempatan bagi petani untuk menumbuhkan kelembagaan-kelembagaan pengelolaan air irigasi secara 10
tradisional. Apabilah sarana fisik sebuah jaringan irigasi merupakan “ perangkat keras”nya, maka lembaga-lembaga tersebut baik yang formal maupun yang tidak formal, merupakan “ perangkat lunak”nya, yang mutlak di perlukan untuk mengelola air irigasi sebagaimana mestinya. Lembaga-lembaga yang telah di kembangkan oleh petani itu merupakan semacam sumber daya nasional yang sangat berharga, yang patut dipelajari dan dipahami agar potensi air irigasi dan kemakmuran penghuni pedesaan dapat di tingkatkan. Dalam Perkembangan selanjutnya, Jhon S. Ambler (Lubis dan Harahap, 1988: 75). Menyebutkan bahwa: irigasi bukan menjadi kebutuhan petani saja, melainkan juga kebutuhan pemerintah, terus berlanjut hingga sekarang. Irigasi merupakan salah satu subsektor dari sektor pertanian yang sejak Pembagunan Lima Tahun (pelita 1) secara intensif di kembangkan seiring dengan program pemerintah untuk mencapai swasembada pangan, terutama beras. Di indonesia perlu di bedakan antara irigasi yang di kelola oleh pemerintah dan irigasi yang di kelola oleh petani, yang dulu di sebut “irigasi rakyat” atau irigasi tradisional tetapi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku resminya disebut irigasi pedesaan. Irigasi tersebut yang telah dibangun dengan atau tanpa bantuan pemerintah di kelola sepenuhnya oleh petani yang bersangkutan. Irigasi sejenis ini dapat di sebut irigasi petani. Irigasi yang di kelola oleh pemerintah lazim disebut sebagai irigasi Dinas Pekerjaan Umum (PU). Irigasi tersebut umumnya telah dibangun baru atau di bantu oleh pemerintah, departemen pekerjaan umum, dan sebagian tugas pengelolaan dikerjakan oleh dinas pekerjaan umum propinsi. Dalam duapuluh tahun terakhir ini selain dari membagun irigasi baru dan meningkatkan irigasi PU lainnya, banyak juga irigasi petani yang di ambil ali oleh pemerintah menjadi irigasi PU. (Jhon S. Amber, 1991: 5) Di jaringan irigasi berukuran besarpun, usaha pengelolaan air untuk menunjang produksi pangan tidaklah semata-mata sesuatu kegiatan teknis berkala. Air perlu di atur oleh manusia supaya pemberiannya kepada lahan tepat jumlahnya dan waktunya. Berhasil tidaknya usaha itu tergantung pada tegnologi yang di pergunakan. Namun dengan teknologi manapun untuk mengelola air irigasi dengan baik perlu dilaksanakan serangkainyan kegiatan yang menyangkut seluruh aspek operasi dan 11
pemeliharaan, mulai dari pengerahan tenaga untuk membersihkan saluran atau memperbaiki bendung sampai kepada penyelesaiaan konflik mengenai pembagian air dan perencanaan untuk musim tanam berikutnya. Pola Pengelolaan irigasi pada dasarnya dapat di bagi dalam 2 kategori utama yaitu; pertama, pengelolaan irigasi yang didominasi oleh intervensi pemerintah sebagai warisan dari Pola tata tanam yang di tetapkan dalam pengaturan air yang mendukung tata tanam. Pola ini dapat di sebut sebagai pola berwawasan teknis. Pola kedua didominasi oleh peranan masyarakat setempat dalam mengatur alokasi dan distribusi air. Pola ini dapat disebut pola yang berwawasan sosial. 2.6.
Organisasi Petani Pemakai Air Dalam usaha mencapai swasembada beras, setiap Negara di Asia Tenggara menginvestasikan dana yang sangat besar untuk mengembangkan infrastruktur irigasi dan memperluas lahan yang dapat diari. tetapi agar petani dapat berperan secara efektif dalam pengelolaan jaringan irigasi, mereka harus terhimpun dalam organisasi sehingga kebutuhan yang sama dan keinginan yang berbeda dapat ditangani. Kebutuhan akan kerja sama yang sisitematis merupakan hal yang fundamental dalam irigasi karena ada tingkat saling ketergantungan yang tinggi antara para pemakai air yang memanfaatkan jaringan irigasi yang sama. Apabila petani dibagian hulu tidak membersihkan saluran air mungkin tidak sampai ke petani bagian hilir. Atau apabilah sala satu petani memakai air terlalu banyak akan menimbulkan kebanjiran bagi petani yang lahannya berdekatan dan kekeringan bagi petani yang jauh. Keadaan saling tergatung ini membutuhkan organisasi dimana petani dapat menyampaikan kebutuhannya dan dapat melaksanakan kesepakatan- kesepakatan mereka. (Frances F. Korten 1991; 30). Memakai air merupakan alasan dasar untuk pengadaan organisasi pemakai air. Alasan penting dari organisasi itu adalah memiliki hak-hak pemakainyan air dari sumber umum: sungai, danau, mata air, atau sumber air tanah. Diberbagai daerah di Asia Tenggara petani sudah lama menyadari pentingnya organisasi irigasi dan dari abad ke abad sudah menciptakan sistem sosial yang memperbolehkan mereka membangun dan melestarikan irigasi dalam pada jangka waktu yang panjang. Pada waktu sekarang Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) merupakan organisasi sosial 12
para petani yang bertugas sebagai wadah pengelolaan jaringan irigasi, irigasi desa maupun irigasi subak dengan tujuan agar memperoleh efesiensi. Namun di dalam perjalanan hidup P3A yang oleh pasal 20 peraturan pemerintah No 23 tahun 1982 tentang irigasi diharapkan mampu secara organisatoris, teknis dan finansial diserahkan tugas pembangunan, rehabilitasi, exploitasi, dan pemeliharaan jaringan irigasi di tingkat usaha tani. Tentunya banyak kebutuhan, terutama modal yang tak kecil yang tidak dapat diperoleh dari iuran atau sumbangan namun perlu juga dari pinjaman dan lain-lain sumber dana. P3A yang semulanya berfungsi sebagai wadah bagi para petani untuk maksudmaksud sosial, yaitu mengupanyakan efesiensi pengelolaan jaringan irigasi pada tingkat usaha tani, dalam pengalamannya akan bergeser fungsinya sebagai organisasi ekonomi. Hal ini disebabkan oleh perkembangan kebutuhan para anggotanya dalam memenuhu peningkatan kebutuhan ekonomi. (Soediro 1991;70) 1
1
Ane Booth, “ Tinjauan Sejarah Perkembangan Irigasi di Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan”, dalam effendi pansadaran dan Donald C. Tailor (peyunting). Irigasi: Kelembagaan dan Ekonomi. Jilid 2, PT Gramedia, Jakarta, Hal. 6.
13
2.7.
Kerangka Pikir Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan pada bab serta memperhatikan tinjauan pustaka pada bab 2, maka secara skematis kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini:
PETANI & PERTANIAN Habitus Nilai
FAKTA SOSIAL
AKTOR Habitus Nilai
Habitus Nilai
AKTOR IRIGASI & PERTANIAN
TINDAKAN SOSIAL
(Habitus x Modal) + Ranah
14
Habitus Nilai