BAB II LANDASAN TEORI
A.
Tinjauan Tentang Persepsi Persepsi merupakan proses untuk memahami lingkungannya meliputi objek,
orang, dan simbol atau tanda yang melibatkan proses kognitif (pengenalan). Proses kognitif adalah proses dimana individu memberikan arti melalui penafsirannya terhadap rangsangan (stimulus) yang muncul dari objek, orang, dan simbol tertentu. Dengan kata lain, persepsi mencakup penerimaan, pengorganisasian, dan penafsiran stimulus yang telah diorganisasikan dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap. Hal ini terjadi karena persepsi melibatkan penafsiran individu pada objek tertentu, maka masing-masing objek akan memiliki persepsi yang berbeda walaupun melihat objek yang sama. Menurut Walgito (2004:87), persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses penginderaan tidak dapat lepas dari proses persepsi dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari proses persepsi. Proses penginderaan akan selalu terjadi setiap saat, pada waktu individu menerima stimulus melalui alat
indera. Stimulus yang diindera itu kemudian oleh individu
7
diorganisasikan dan diinterprestasikan, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindera itu, dan proses ini disebut persepsi. Menurut Walgito (2004 : 87), ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dapat menyadari dan membuat persepsi, yaitu sebagai berikut. a. Adanya objek yang dipersepsikan.Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat dating dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian terbesar stimulus datang dari luar individu. b. Adanya alat indera, syaraf dan pusat susunan syaraf. Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Disamping itu harus ada pula syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Dan sebagai alat untuk mengadakan respons diperlukan syaraf motoris. c.
Adanya perhatian.Untuk menyadari atau mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek. Tanpa perhatian tidak akan terjadi persepsi. Dari hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengadakan persepsi ada syarat-syarat yang bersifat :
8
a.
Fisik atau kealaman.
b. Fisiologis. c. Psikologis. Dari definisi diatas, maka pengertian persepsi dalam penelitian ini adalah merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Dalam perkataan lain, persepsi adalah memberikan makna pada stimuli indrawi (sensory stimuly) (Rakhmat, 2001:51). Namun demikian, karena persepsi tentang objek atau peristiwa tersebut tergantung pada suatu kerangka ruang dan waktu maka persepsi profesi akuntan seorang mahasiswa akuntansi juga akan subjektif (personal) dan situsional. Selain secara implisit sudah nampak dalam definisi diatas, oleh faktor personal dan situsional, yang oleh Krech dan Crutchfield (1997:235) dalam Rakhmat (2001:51) disebut dengan faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor fungsional (personal) berasal dari kebutuhan, masa lalu, dan hal-hal lain yang termasuk apa yang disebut sebagai faktor personal. Oleh karena itu, yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli tersebut. Faktor struktural (situsional) berasal semata-mata dari sifat fisik dan efek-efek syaraf yang ditimbulkannya pada sistem syaraf individu.
9
B.
Pengertian Etika dan Pembagian Etika Pengertian etika, dalam bahasa latin "ethica", berarti falsafah moral. Ia
merupakan pedoman cara bertingkah laku yang baik dari sudut pandang budaya, susila serta agama. Sedangkan menurut Keraf (1997: 10), “ Etika secara harfiah berasal dari kata Yunani ethos (jamaknya: taetha), yang artinya sama persis dengan moralitas, yaitu adat kebiasaan yang baik “. Istilah etika jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), memiliki tiga arti, yang salah satunya adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Di Indonesia etika diterjemahkan menjadi kesusilaan karena sila berarti dasar, kaidah atau aturan, sedangkan su berarti baik, dan bagus. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian diwujud dalam bentuk aturan atau kode tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada, dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan self control, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial atau profesi itu sendiri.
10
Dalam banyak hal pembahasan mengenai etika tidak telepas dari pembahasan mengenai moral. Soseno (1987) mengungkapkan bahwa etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Menurut Thodorus M Tuanakotta (1997) menyatakan bahwa etik meliputi sifat-sifat manusia yang ideal atau disiplin atas diri sendiri diatas atau melebihi persyaratan atau kewajiban menurut undang-undang. Sedangkan S.Munawir (1987), etik merupakan suatu prinsip moral dan perbuatan yang menjadi landasan bertindak seseorang sehingga apa yang dilakukannya dipandang oleh masyarakat umum sebagai perbuatan yang terpuji dan meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang. Etik yang disepakati bersama oleh anggota suatu profesi disebut kode etik profesi. Menurut Keraf dan Imam (1995:41-43), etika dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut. 1. Etika umum Etika umum berkaitan dengan bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak, serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat dianalogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori. 2. Etika khusus Etika khusus adalah penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Etika khusus dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
11
a. Etika individual, menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. b. Etika sosial, berkaitan dengan kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia dengan manusia lainnya salah satu bagian dari etika sosial adalah etika profesi, termasuk etika profesi akuntan. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa etika merupakan seperangkat aturan/ norma/ pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan dan dianut oleh sekelompok/ segolongan manusia/ masyarakat/ profesi.
C.
Persepsi Terhadap Etika Profesi Masalah etika profesi merupakan suatu isu yang selalu menarik untuk riset
karena profesi memiliki komitmen moral yang tinggi. Para pelaku bisnis ini diharapkan mempunyai integritas dan kompetensi yang tinggi. Berbagai pelanggaran etika telah banyak terjadi saat ini yang dilakukan oleh akuntan ataupun karyawan bagian akuntansi, misalnya berupa rekayasa data akuntansi untuk menunjukkan kinerja perusahaan agar terlihat lebih baik, ini merupakan pelanggaran akuntan terhadap etika profesinya yang telah melanggar kode etik akuntan karena akuntan telah memiliki seperangkat kode etik tersendiri yang disebut sebagai aturan tingkah laku moral bagi akuntan dalam masyarakat. Selain kaidah etika masyarakat juga terdapat dengan apa yang disebut dengan kaidah profesional yang khusus berlaku dalam kelompok profesi yang bersangkutan.
12
Etika tersebut dinyatakan secara tertulis atau formal dan selanjutnya secara consensus disebut dengan kode etik. Sifat sanksinya berupa moral psikologik, yaitu dikucilkan dari pergaulan kelompok profesi yang bersangkutan. Dalam hal etika profesi, sebuah profesi memiliki komitmen moral yang tinggi, yang biasanya dituangkan dalam bentuk aturan khusus yang menjadi pegangan bagi setiap orang yang mengemban profesi yang bersangkutan. Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebiut yang biasanya disebut sebagai kode etik yang harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi. Menurut Chua dkk (1994) menyatakan bahwa etika professional juga berkaitan dengan perilaku moral yang lebih terbatas pada kekhasan pola etika yang diharapkan untuk profesi tertentu. Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat harus memiliki kode etik yang merupakan seperangkat prinsip-prinsip moral dan mengatur tentang perilaku profesional (Agoes, 1996). Tanpa etika, profesi akuntansi tidak akan ada karena fungsiaAkuntansi adalah penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis. Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap etika profesi adalah akuntan publik, penyedia informasi akuntansi dan mahasiswa akunatansi (Suhardjo dan Mardiasmo, 2002). Etika profesi merupakan karakteristik suatu profesi yang membedakannya dengan profesi lain yang berfungsi untuk mengatur tingkah laku para anggotanya. Kelompok profesional
merupakan
kelompok
yang
berkeahlian
dan
berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang
13
berkualitas dan berstandar tinggi tersebut dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat "built-in mechanism" berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan disisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan keahlian (Wigjosoebroto, 1999). Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak lagi adanya kepedulian maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.
D.
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia Dalam menjalankan profesinya, seorang akuntan diatur oleh kode etik
akuntan. Kode etik ikatan akuntan Indonesia merupakan norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan dengan para klien, antara akuntan dengan sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat. Keberadaan kode etik menyatakan secara eksplisit beberapa criteria tingkah laku yang harus ditaati oleh profesi.
14
Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia, Kode Etik ini mengikat para anggota IAI di satu sisi dan dapat dipergunakan oleh akuntan lainnya yang bukan atau belum menjadi anggota IAI di sisi lainnya. Kode Etik Akuntan Indonesia yang baru tersebut terdiri dari empat bagian (Prosiding kongres VIII, 1998), yaitu: 1 Kode Etik Umum. Terdiri dari 8 prinsip etika profesi, yang merupakan landasan perilaku etika profesional, memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, dan mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota, yang meliputi: a.
Prinsip tanggung jawab profesi Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
b.
Prinsip kepentingan publik Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
c.
Prinsip integritas intergritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang mendasari kepercayaan publik dan patokan bagi anggota dalam menguji semua kebutuhan yang diambil.
15
d.
Prinsip objektivitas Objektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai yang diberikan atas jasa anggota. Prinsip objektivitas mengharuskan anggota bersikap
adil,
tida
memihak,
jujur secara
intelektual,
tidak
berprasangka atau bias, bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain. e.
Prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional anggota
mempunyai
kewajiban
untuk
melaksanakan
jasa
profesionalnya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Setiap anggota harus melakukan upaya untuk mencapai tingkatan kompetensi sehingga kualitas jasa yang diberikan memenuhi tingkat profesionalisme yang tinggi. f.
Prinsip kerahasiaan setiap anggota haus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada
hak
atau
kewajiban
profesional
atau
hukum
untuk
mengungkapkannya.
16
g.
Prinsip perilaku profesional setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
h.
Prinsip standar teknis. Standar teknis yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, International Federation of Accountant, badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.
2
Kode Etik Aturan Kompartemen Akuntan. Kode
Etik
Kompartemen
Akuntan dan
Kompartemen mengikat
disahkan
selurus anggota
oleh
Rapat
Anggota
Kompartemen
yang
bersangkutan. Sebelum tahun 1998, IAI hanya memiliki kode etik yang mengikat seluruh anggotanya. Aturan- aturan yang berlaku dalam kode etik dirumuskan dan disahkan dalam kongres IAI yang melibatkan seluruh anggota IAI tanpa melihat keanggotaan kompartemen anggota yang bersangkutan. Akan tetapi setelah tahun 1998, seluruh kompartemen IAI telah memiliki aturan etika masing-masing. Dengan demikian, kode etik IAI memeliki empat aturan etika kompartemen, yaitu aturan etika kompartemen Akuntan Publik (KAP), Kompartemen Akuntan Pendidik (KAPd), Kompartemen Akuntan Manajemen (KAM), kompartemen Akuntan Sektor Publik (KASP).
17
3 Interpretasi Kode Etik Akuntan Kompartemen. Interpretasi Kode Etik Akuntan Kompartemen merupakan panduan penerapan Kode Etik Akuntan Kompartemen. Interpretasi aturan etika ini adalah interpretasi
yang
dikeluarkan
oleh
pengurus
kompartemen
setelah
memperhatikan tanggapan dari anggota dan pihak-pihak berkepentingan lainnya sebagai panduan dalam penerapan etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya 4. Tanya jawab. Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat itu dapat dipakai sebagai interpretasi dan atau aturan etika sampai dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk mengantikannya. Tanya jawab memberikan penjelasan atas setiap pertanyaan dari anggota kompartemen tentang aturan etika beserta interpretasinya.
Di Indonesia, penegakan Kode Etik dilaksanakan oleh sekurang– kurangnya enam unit organisasi, yaitu: Kantor Akuntan Publik, Unit Peer Review Kompartemen Akuntan Publik – IAI, Badan Pengawas Profesi Kompartemen Akuntan Publik – IAI, Dewan Pertimbangan Profesi IAI, Departemen Keuangan RI, dan BPKP. Selain keenam unit organisasi tadi, pengawasan terhadap Kode Etik diharapkan dapat dilakukan sendiri oleh para anggota dan pimpinan KAP. Hal ini tercermin di dalam rumusan Kode Etik Akuntan Indonesia pasal 1 ayat 2, yang berbunyi:
18
“Setiap anggota harus selalu mempertahankan integritas dan obyektifitas dalam melaksanakan tugasnya. Dengan mempertahankan integritas, ia akan bertindak jujur, tegas dan tanpa pretensi. Dengan mempertahankan obyektifitas, ia akan bertindak adil tanpa dipengaruhi tekanan/permintaan pihak tertentu/ kepentingan pribadinya.“ Kode Etik Akuntan Indonesia ini mengikat para anggota Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan dapat dipergunakan oleh akuntan lainnya yang bukan atau belum menjadi anggota IAI. Ada dua sasaran pokok dari kode etik ini, yaitu: pertama, kode etik ini bermaksud untuk melindungi masysrakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dari kaum profesional. Kedua, kode etik ini bertujuan untuk melindungi keluhuran profesi tersebut dari perilakuperilaku buruk orang-orang tertentu yang mengaku dirinya professional (Keraf, 1998).
E.
Kode Etik Profesi Akuntan Publik
Sehubungan dengan perkembangan yang terjadi dalam tatanan global dan tuntutan transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar atas penyajian Laporan Keuangan, IAPI merasa adanya suatu kebutuhan untuk melakukan percepatan atas proses pengembangan dan pemutakhiran standar profesi yang ada melalui penyerapan Standar Profesi International. Sebagai langkah awal IAPI telah menetapkan dan menerbitkan Kode Etik Profesi Akuntan Publik, yang berlaku efektif tanggal 1
19
Januari 2010.
Untuk Standar Profesional Akuntan Publik, Dewan Standar
Profesi sedang dalam proses “adoption” terhadap International Standar on Auditing yang direncanakan akan selesai di tahun 2010, berlaku efektif 2011.
1.
Prinsip integritas. Setiap Praktisi harus tegas dan jujur dalam menjalin hubungan profesional dan hubungan bisnis dalam melaksanakan pekerjaannya.
2.
Prinsip objektivitas. Setiap Praktisi tidak boleh membiarkan subjektivitas, benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak layak (undue influence) dari pihak-pihak lain memengaruhi pertimbangan profesional atau pertimbangan bisnisnya.
3.
Prinsip kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional Setiap Praktisi wajib memelihara pengetahuan dan keahlian profesionalnya pada suatu tingkatan yang dipersyaratkan secara berkesinambungan, sehingga klien atau pemberi kerja dapat menerima jasa profesional yang diberikan secara
kompeten
berdasarkan
perkembangan
terkini
dalam
praktik,
perundang-undangan, dan metode pelaksanaan pekerjaan. Setiap Praktisi harus bertindak secara profesional dan sesuai dengan standar profesi dan kode etik profesi yang berlaku dalam memberikan jasa profesionalnya. 4.
Prinsip kerahasiaan. Setiap Praktisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasil dari hubungan profesional dan hubungan bisnisnya, serta tidak boleh
20
mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak ketiga tanpa persetujuan dari klien
atau
pemberi
kerja,
kecuali jika
terdapat
kewajiban
untuk
mengungkapkan sesuai dengan ketentuan hukum atau peraturan lainnya yang berlaku. Informasi rahasia yang diperoleh dari hubungan profesional dan hubungan bisnis tidak boleh digunakan oleh Praktisi untuk keuntungan pribadinya atau pihak ketiga. 5.
Prinsip perilaku profesional. Setiap Praktisi wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku dan harus menghindari semua tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Masingmasing prinsip dasar etika profesi tersebut dijelaskan secara lebih rinci pada Seksi 110 - 150 dari Kode Etik ini. Setiap bidang profesi tentunya harus memiliki aturan-aturan khusus atau lebih
dikenal dengan istilah “Kode Etik Profesi”. Dalam bidang akuntansi sendiri, salah sati profesi yang ada yaitu Akuntan Publik. Sebenarnya selama ini belum ada aturan baku yang membahas mengenai kode etik profesi Akuntan Publik. Namun demikian baru0baru ini salah satu badan yang memiliki fungsi untuk menyusun dan mengembangkan standar profesi dan kode etik akuntan public yang berkualitas dengan mengacu pada standar internasional yaitu Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) telah mengembangkan dan menetapkan suatu standar profesi dan kode etik profesi yang berkualitas yang berlaku bagi profesi akuntan publik di Indonesia.
21
Kode Etik Profesi Akuntan Publik (Kode Etik) ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian A dan bagian B. Bagian A dari kode etik ini menetapkan prinsip dasar etika profesi dan memberikan kerangka konseptual untuk penerapan prinsip tersebut. Bagian B dari Kode Etik ini memberikan ilustrasi mengenai penerapan kerangka konseptual tersebut pada situasi tertentu. Kode etik ini menetapkan prinsip dasar dan aturan etika profesi yang harus ditetapkan oleh setiap individu dalam kantor akuntan public (KAP) atau jaringan KAP, baik yang merupakan anggota IAPI maupun yang bukan merupakan anggota IAPI, yang memberikan jasa professional yang meliputi jasa assurance dan jasa selain assurance seperti yang tercantum dalam standar profesi dan kode etik profesi. Untuk tujuan kode etik ini, individu tersebut di atas selanjutnya disebut “praktisi”. Anggota IAPI yang tidak berada dalam KAP atau jaringan KAP dan tidak memberikan jasa professional seperti tersebut diatas tetap harus mematuhi dan menerapkan bagian A dari kode etik ini. Suatu KAP atau jaringan KAP tidak boleh menetapkan kode etik profesi dengan ketentuan yang lebih ringan daripada ketentuan yang diatur dalam kode etik ini. Setiap praktisi wajib mematuhi dan dan menerapkan seluruh prinsip dasar dan aturan etika profesi yang di atur dalam kode etik ini, kecuali bila prinsip dasar dan aturan etika profesi yang diatur oleh perundang-undangan, ketentua hokum dan peraturan lainnya yang berlaku ternyata berbeda dari kode etik ini. Dalam kondisi tersebut, seluruh prinsip dasar dan aturan etika profesi diatur oleh perundang-undangan, ketentua hokum dan peraturan lainnya yang berlaku tersebut
22
wajib dipatuhi, selain tetap mematuhi prinsip dasar dan aturan etika profesi lainnya yang diatur dalam kode etik ini.
F.
Tinjauan Tentang Level Hirarki Salah satu hal yang mempengaruhi seseorang berperilaku etis adalah
lingkungan, yang salah satunya adalah lingkungan kerja yang bersifat hirarki, yang membedakan yang telah lebih dulu atau yang lebih lama pengalaman kerjanya yang biasa disebut dengan senior dengan karyawan yang baru atau masih baru di suatu lingkungan kerja yang biasa disebut dengan junior. Kata level berasal dari bahasa latin yaitu „livel‟ yang berarti nilai dalam arti taksiran sesuatu, angka kepandaian, banyak sedikitnya. Sedangkan hierarkis dapat diartikan dengan susunan pemerintahan, organisasi yang dilakukan orang yang bertingkat pangkat dan kedudukannya. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa level hirarki merupakan suatu kedudukan yang melambangkan suatu tingakatan atau angka. Konsep level hirarki pada penelitian ini lebih mengacu kepada tingkatan umur atau pengalaman seseorang yang lebih sering dikenal dengan senior dan junior. Kata senior dan junior berasal dari bahasa latin yang berarti angkatan atau golongan. Senior merupakan golongan yang lebih tua sedangkan junior merupakan golongan atau angkatan yang lebih muda. Konvensi atau definisi tradisional kuno menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan senior adalah orang yg lebih tua dalam segi usia (dan dengan demikian
23
dianggap banyak pengalaman dan lebih bijak). Namun bukan berarti yang lebih senior lebih bijak dalam melakukan berbagai hal. Intinya yang dihargai dari seorang senior adalah sikapnya yang bijak bukan kesenioran itu sendiri. Dengan kata lain, siapapun yang bersikap bijaksana, kreatif dan memiliki visi ke depan lebih maju, baik itu yunior atau senior bahkan anak kecil sekalipun, seharusnya mendapat tanggapan yang sewajarnya di bidang dimana dia lebih mampu dari yang lebih tua angkatannya.
G.
Hirarki Akuntan Publik dan Mahasiswa Akuntansi Terhadap Etika Profesi Akuntan Publik. Perilaku etis antara auditor senior dan auditor junior akan dipengaruhi oleh
lama pengalaman kerja yang mana selama bekerja sebagai seorang auditor dihadapkan dengan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan perilaku etis (Prasetyo, 2004). Lama pengalaman kerja adalah jangka waktu (tahun) seorang auditor bekerja. Lama pengalaman kerja dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu mereka yang telah bekerja lebih dari lima tahun dikategorikan sebagai auditor senior dan mereka yang bekerja di bawah lima tahun sebagai auditor junior. Pembagian ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Budiyanti (dalam Widiastuti, 2003). Orientasi professional pada dasarnya berkaitan dengan level organisasi (Sorensen, 1974). Berbagai penelitian mempertanyakan apakah ada nilai-nilai profesional yang berbeda antara berbagai posisi organisasional, misalnya antara partner dan staf akuntan. Studi yang dilakukan oleh Sorensen (1974) menunjukkan bahwa meningkatnya orisentasi birokrasi dan berkurangnya orientasi profesional
24
berada pada posisi rendah ke posisi tinggi, misalnya junior ke senior akuntan, ia berpendapat bahwa nilai-nilai profesioal atau komitmen professional didefinisikan sebagai : 1 Keinginan yang kuat untuk menjadi bagian dari profesi; dan 2 Berkeinginan yang kuat untuk menjadi anggota profesi. Dengan demikian partner akhirnya merasa lebih memiliki dibandingkan stafnya. Sedangkan Aranya dkk (1981) berpendapat bahwa staf akuntan yang berada pada tingkat bawah merasa bahwa dalam tahap transisional karena berkaitan dengan karier maka nilai profesional perlu untuk ditingkatkan. Pada perusahaan manapun pasti terdiri dari karyawan senior dan karyawan junior. Tentu saja yang dimaksud karyawan senior adalah karyawan yang memiliki masa kerja cukup lama di suatu perusahaan. Biasanya karyawan senior juga memiliki pengalaman yang lebih tinggi dan mampu menghandle pekerjaan-pekerjaan sulit. sebaliknya karyawan junior adalah karyawan yang masa kerjanya masih pendek. Karyawan baru ditambah usianya yang masih muda, tergolong karyawan yunior. Selama ini mereka yang senior di kantor dianggap memiliki jam terbang yang lebih tinggi dibanding yang junior. Selain itu mereka memiliki keunggulan pengalaman dalam menangani masalah-masalah rutin di perusahaan. Dan senior biasanya juga dianggap lebih memahami gaya atau aturan tak tertulis di perusahaan. Pada Mahasiswa, peneliti lebih condong untuk mengetahui minat serta wawasan mahasiswa senior dan junior terhadap profesi akuntan publik. Karena mahasiswa juga perlu diberikan pemahaman dan pengetahuan tentang berbagai teori
25
yang berhubungan dengan profesi akuntan publik jika kelak ingin menjadi seorang auditor. Dari uraian di atas, maka sudah seharusnya calon akuntan (mahasiswa) perlu diberi pemahaman yang cukup terhadap masalah-masalah etika profesi akuntan publik yang akan mereka hadapi. Terdapatnya mata kuliah yang berisi ajaran moral dan etika sangat relevan untuk disampaikan kepada mahasiswa. Dalam hal ini berarti keberadaaan pendididikan etika memiliki peranan penting dalam perkembangan profesi di bidang akuntansi di Indonesia.
H.
Pengembangan Hipotesis Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, maka penelitian ini bermaksud
untuk menguji lebih lanjut apakah memang ada atau tidak perbedaan persepsi tersebut dengan menguji hipotesis berikut ini : Ha1 : Terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa senior dan junior dipandang dari segi level hirarki terhadap etika profesi akuntansi publik. Ha2: Terdapat perbedaan persepsi antara auditor senior dan junior dipandang dari segi level hirarki terhadap etika profesi akuntansi publik. Ha3: Terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa dan auditor dipandang terhadap etika profesi akuntansi publik.
Tujuan membandingkan antara mahasiswa akuntansi senior dan junior, akuntan publik senior dan junior ,dan mahasiswa dan akuntan publik, untuk
26
mengetahui perbedaan mengenai persepsi Etika Profesi Akuntan Publik. Apabila hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan persepsi maka wajar saja karena akuntan publik sudah menerapkan Etika Profesi Akuntan Publik dalam pekerjaannya sedangkan mahasiswa Akuntansi baru dipersiapkan untuk berprofesi sebagai akuntan publik. H1: Terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara senior dengan junior pada mahasiswa akuntansi terhadap etika profesi akuntan publik. H2: Terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara senior dengan junior pada akuntan publik terhadap etika profesi akuntan publik. H3: Terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara akuntan publik dan mahasiswa akuntansi terhadap etika profesi akuntan publik.
27