BAB II LANDASAN TEORI
A. Pembiayaan di Bank Syariah 1. Definisi Pembiayaan Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. 1 Pembiayaan dalam perbankan syariah atau istilah teknisnya aktiva produktif, menurut ketentuan BI adalah penanaman dana Bank Syariah baik dalam rupiah maupun valas dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, serta sertifikat wadiah Bank Indonesia. 2 2. Prinsip-prinsip Pembiayaan Bank Syariah Dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah pasal 23 ayat (1) menjelaskan bahwa “Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, 1 2
UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Pasal 1 ayat 12. Peraturan BI No. 5/7/PBI/2003 Tanggal 19 Mei 2003.
22
23
sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas”. Dalam menyalurkan pembiayaan, bank harus melaksanakan kegiatan pembiayaan secara sehat yang lazim dikenal dengan prinsip (The Five C’s of Credit Analysis) yang merupakan dasar pemberian kredit atau pembiayaan, yaitu3 : a. Character (watak) Character menggambarkan watak dan kepribadian calon debitur. Tujuan analisa ini adalah untuk mengetahui bahwa calon debitur mempunyai karakter yang baik, jujur, dan mempunyai komitmen terhadap pelunasan kredit (pembiayaan) yang akan diterima dari bank. b. Capacity (kemampuan) Analisis terhadap capasity ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan calon debitur dalam memenuhi kewajibannya sesuai jangka waktu kredit (pembiayaan). Kemampuan keuangan calon debitur sangat penting karena merupakan sumber utama pembayaran kembali kredit (pembiayaan) yang diberikan oleh bank. c. Capital (modal) Capital atau modal yang perlu disertakan dalam objek kredit (pembiayaan) perlu dilakukan analisis yang lebih mendalam. Calon debitur dianggap kuat dalam menghadapi berbagai macam risiko apabila jumlah modal sendiri yang dimiliki cukup besar. 3
Ismail, Manajemen Perbankan: Dari Teori Menuju Aplikasi, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 112-113.
24
d. Collateral (agunan/jaminan) Collateral merupakan jaminan atau agunan yang diberikan oleh calon debitur atas kredit (pembiayaan) yang diajukan. Agunan merupakan sumber pembayaran kedua, artinya apabila calon debitur tersebut tidak dapat membayar angsurannya dan termasuk dalam kredit (pembiayaan) macet, maka bank dapat melakukan eksekusi terhadap agunan. Hasil penjualan agunan digunakan sebagai sumber pembayaran kedua. Dalam pasal 8 UU No.7 Tahun 1992, memang tidak ada keharusan bagi calon debitur untuk memberikan jaminan, namun dengan adanya unsur “keyakinan”, maka bank (kreditur) tetap akan meminta jaminan/collateral. Jaminan ini harus tetap ada karena jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan, memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari barang jaminan debitur yang wanprestasi. 4 e. Condition of Economy (kondisi perekonomian / prospek usaha debitur) Bank perlu mempertimbangkan sektor usaha calon debitur dikaitkan dengan kondisi ekonomi, apakah kondisi ekonomi tersebut akan berpengaruh pada usaha calon debitur di masa yang akan datang.
3. Klasifikasi Pembiayaan Berdasarkan Tingkat Kolektibilitas Pembagian kualitas kredit (dalam bank syari’ah disebut pembiayaan) Menurut SK Direktur Bank Indonesia No. 30/267/KEP/DIR Tahun 1998 adalah sebagai berikut:
4
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, (Yogyakarta : Andi, 2000), hlm. 124.
25
a. Kredit lancar, yaitu apabila memenuhi kriteria: 1) Pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga (bagi hasil) tepat; 2) Memiliki mutasi rekening yang aktif; 3) Bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai. b. Kredit dalam perhatian khusus, yaitu apabila memenuhi kriteria: 1) Terdapat tunggakan pokok dan/atau bunga yang belum melampaui 90 hari; 2) Mutasi rekening relatif rendah; 3) Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan; 4) Didukung oleh pinjaman baru. c. Kredit kurang lancar, yaitu apabila memenuhi kriteria: 1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari; 2) Frekuensi mutasi rekening relatif rendah; 3) Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur. d. Kredit diragukan, yaitu apabila memenuhi kriteria: 1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 hari; 2) Sering terjadi cerukan yang bersifat permanen; 3) Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari; 4) Dokumentasi hukum yang lemah, baik untuk perjanjian kredit maupun peningkatan jaminan.
26
e. Kredit macet, apabila memenuhi kriteria: 1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari; 2) Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru; 3) Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. Menurut Drs. Ismail, bank melakukan penggolongan kredit (pembiayaan) menjadi dua golongan, yaitu kredit performing dan non performing. Kredit performing disebut juga dengan kredit yang tidak bermasalah, dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: a. Kredit dengan kualitas lancar Kredit lancar merupakan kredit yang diberikan kepada nasabah dan tidak terjadi tunggakan. Debitur melakukan pembayaran angsuran tepat waktu sesuai dengan perjanjian kredit. b. Kredit dengan kualitas dalam perhatian khusus Kredit ini masih digolongkan lancar, akan tetapi mulai terdapat tunggakan. Yang tergolong dalam kredit dalam perhatian khusus apabila terdapat tunggakan angsuran sampai dengan 90 hari. Kredit non performing merupakan kredit yang sudah dikategorikan kredit bermasalah, karena sudah terdapat tunggakan. Kredit non performing disebut juga dengan kredit bermasalah, dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: a. Kredit kurang lancar Yang tergolong kredit kurang lancar apabila:
27
1) Pengembalian pinjaman telah mengalami penundaan pembayaran melampaui 90 hari sampai kurang dari 180 hari. 2) Pada kondisi ini hubungan debitur dengan bank memburuk. 3) Informasi keuangan debitur tidak dapat diyakini oleh bank. b. Kredit diragukan Yang tergolong kredit diragukan apabila: 1) Penundaan pembayaran antara 180 hari hingga 270 hari. 2) Pada kondisi ini hubungan debitur dengan bank semakin memburuk. 3) Informasi keuangan sudah tidak dapat dipercaya. c. Kredit macet Kredit macet merupakan kredit yang menunggak melampaui 270 hari atau lebih. Bank akan mengalami kerugian atas kredit macet tersebut.5
B. Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Finance) 1. Definisi Pembiayaan Bermasalah Pembiayaan bermasalah merupakan keadaan dimana nasabah atau debitur tidak mampu memenuhi kewajiban terhadap bank sesuai dengan akad perjanjian.6 Pembiayaaan macet secara umum adalah pembiayaan yang tidak lancar atau pembiayaan dimana debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang diperjanjikan, misalnya persyaratan mengenai pengembalian pokok pinjaman,
5 6
Ismail. Manajemen Perbankan: Dari Teori Menuju Aplikasi, hlm. 122-123. Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 62.
28
peningkatan margin deposit, pengikatan dan peningkatan agunan, dan sebagainya. Secara umum, pembiayaan dengan kolektibilitas kurang lancar, diragukan, dan macet dinilai sebagai pembiayaan bermasalah (Non Performing Finance). 2. Faktor-Faktor Terjadinya Pembiayaan Bermasalah Penyebab terjadinya pembiayaan bermasalah adalah karena kesulitankesulitan keuangan yang dihadapi nasabah. Penyebab kesulitan keuangan nasabah dapat dibagi dalam dua faktor, yaitu: a. Faktor Internal 1) Peminjam kurang cakap dalam usaha tersebut 2) Manajemen tidak baik atau kurang rapi 3) Laporan keuangan tidak lengkap 4) Penggunaan dana yang tidak sesuai dengan rencana 5) Perencanaan yang tidak matang 6) Dana yang diberikan tidak cukup untuk menjalankan usaha tersebut7 b. Faktor Eksternal Adalah faktor-faktor yang berada di luar kekuasaan manajemen perusahaan, seperti bencana alam, peperangan, perubahan dalam kondisi perekonomian dan perdagangan, perubahan teknologi, dan lain-lain. 8
7
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: AMP YKPN, 2002), hlm. 206. Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), hlm 267. 8
29
Menurut Drs. Ismail, faktor penyebab kredit (pembiayaan) bermasalah adalah: a. Faktor intern bank 1) Analisis kurang tepat, misalnya kredit yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga nasabah tidak mampu membayar angsuran yang melebihi kemampuan. 2) Adanya kolusi antara pejabat bank yang menangani kredit dan nasabah, sehingga bank memutuskan kredit yang tidak seharusnya diberikan. 3) Campur tangan terlalu besar dari pihak terkait, misalnya komisaris, direktur bank sehingga petugas tidak independen dalam memutuskan kredit. 4) Kelemahan dalam melakukan pembinaan dan monitoring kredit debitur. b. Faktor ekstern bank 1) Unsur kesengajaan nasabah a) Nasabah tidak memiliki kemauan atau itikad untuk memenuhi kewajibannya. b) Nasabah menggunakan dana kredit tersebut tidak sesuai dengan tujuan penggunaan. Misalnya, kredit modal kerja tetapi digunakan untuk konsumsi.
30
2) Unsur ketidaksengajaan. a) Kemampuan keuangan nasabah menurun sehingga tidak dapat membayar angsuran. b) Perusahaan nasabah mengalami kerugian. c) Perubahan kebijakan dan peraturan pemerintah yang berdampak pada usaha debitur. d) Bencana alam yang dapat menyebabkan kerugian debitur. 9 3. Penanganan Pembiayaan Bermasalah Menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/18DPbS tanggal 30 Mei 2011 Tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/34DPbS tanggal 22 Oktober 2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan dilakukan antara lain dengan cara: a. Penjadwalan
Kembali
(reschedulling),
yaitu
perubahan
jadwal
pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya, tidak termasuk perpanjangan atas pembiayaan mudharabah atau musyarakah yang memenuhi kualitas lancar dan telah jatuh tempo serta bukan disebabkan nasabah mengalami penurunan kemampuan membayar. b. Persyaratan Kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank, antara lain meliputi: 1) Perubahan jadwal pembayaran 9
Ismail, Manajemen Perbankan: Dari Teori Menuju Aplikasi, hlm. 123-124.
31
2) Perubahan jumlah angsuran 3) Perubahan jangka waktu 4) Perubahan nisbah dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah 5) Perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah 6) Pemberian potongan c. Penataan Kembali (restructuring),
yaitu perubahan persyaratan
pembiayaan yang antara lain meliputi: 1) Penambahan dana fasilitas Pembiayaan 2) Konversi akad pembiayaan 3) Konversi pembiayaan menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah 4) Konversi pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara pada perusahaan nasabah yang dapat disertai dengan rescheduling atau reconditioning. Bila kemacetan tersebut akibat kelalaian, pelanggaran atau kecurangan nasabah, maka bank dapat meminta agar nasabah menyelesaikan dengan segera termasuk menyerahkan barang yang diagunkan (jaminan) kepada bank. 10
10
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, hlm 205.
32
C. Agunan dalam Pembiayaan 1. Definisi Agunan Menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah Pasal 1 Ayat 26 disebutkan bahwa agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak atau benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas. Agunan merupakan salah satu unsur jaminan kredit atau pembiayaan, bersama-sama dengan unsur lain (watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha dari debitur), bank dapat memperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan utangnya. 11 2. Macam-Macam Agunan dan Pengikatannya Ada dua jenis agunan, yaitu: a. Agunan Pokok Berupa barang, surat berharga atau garansi yang berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan pembiayaan yang bersangkutan, seperti barang-barang yang dibeli dengan pembiayaan yang bersangkutan maupun tagihan-tagihan debitur.
11
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, hlm. 51.
33
b. Agunan Tambahan Berupa barang, surat berharga atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan pembiayaan yang bersangkutan, yang ditambahkan sebagai agunan.12 Aktiva yang dapat dijadikan sebagai jaminan atau agunan adalah: a. Tanah dan bangunan (rumah tinggal, ruko, rukan, toko, bungalow, kantor, pabrik, gudang, hotel, apartemen) b. Pesawat terbang c. Kapal laut d. Kendaraan transportasi e. Mesin-mesin dan alat-alat berat f. Logam mulia (emas) g. Persediaan barang dagangan h. Saham, dan lain-lain Ketentuan syariah tidak mengatur mengenai jenis pengikatan barang agunan. Oleh karena itu, tata cara pengikatan terhadap barang agunan harus berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum konvensional sebagai ketentuan publik yang mengikat perbankan syariah di Indonesia, yaitu untuk
12
barang tidak bergerak diikat secara Akta
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 283.
34
Pengikatan Hak Tanggungan, sedangkan untuk barang bergerak diikat secara Fidusia atau Gadai, dan untuk kapal diikat secara Hipotik. 13 Syarat-Syarat Agunan a. Syarat-syarat hukum (yuridis): 1) Agunan harus mempunyai wujud (tangible). 2) Agunan harus merupakan milik debitor dengan bukti surat-surat autentiknya. 3) Agunan tidak sedang dalam proses pengadilan. 4) Agunan bukan sedang dalam keadan sengketa. 5) Agunan bukan yang terkena proyek pemerintah. b. Syarat-syarat ekonomis: 1) Agunan harus mempunyai nilai ekonomis pasar. 2) Nilai agunan harus lebih besar daripada plafond kreditnya. 3) Marketability, agunan harus mempunyai pasaran yang cukup luas atau mudah dijual. 4) Ascertainability of value, agunan yang diajukan oleh debitor harus mempunyai standar harga tertentu (harga pasar). 5) Transferable, agunan yang diajukan harus mudah dipindahtangankan baik secara fisik maupun secara hukum. 14
13
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI, TAKAFUL, dan Pasar Modal Syariah di Indonesia), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 117-118. 14 Malayu S.P. Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm 110-111.
35
3. Urgensi Agunan dalam Pembiayaan Pentingnya jaminan atas pembiayaan pada bank syariah karena bank ingin mendapat kepastian bahwa pembiayaan yang diberikan kepada debitur dapat diterima kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama. Penerapan jaminan pada bank syariah tidak bertentangan dengan syariah Islam sebagaimana firman Allah SWT:
aynitrA :
36
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 283). Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa manusia tidak dapat memberikan suatu kepastian tentang apa yang terjadi di masa mendatang.
...
... Artinya : “…Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok…” (Q.S Luqman: 34), sehingga diperlukan suatu jaminan barang sebagai agunan dalam pembiayaan. Agunan tersebut merupakan salah satu cara atau sarana hukum untuk mencegah nasabah mengingkari janjinya.
37
Jaminan berfungsi sebagai keseriusan debitur dalam mengelola dan mengembalikan dana pinjaman dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. 15 Jaminan (kolateral) merupakan salah satu instrumen pengaman yang paling penting untuk menghadapi potensi terjadinya kerugian. Bank syariah bisa menggunakan fasilitas kolateral untuk mengamankan pembiayaan yang diberikan. Hal ini karena konsep ar-rahn (penyitaan asset sebagai jaminan atas kewajiban pembayaran utang di waktu mendatang) diperbolehkan dalam syariah. 16 Rahn sebagai prinsip atau produk pelengkap adalah berupa akad tambahan terhadap produk lain seperti pada saat menerima pembiayaan murabahah, salam, dan lain-lain. Bank menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut. Dalam hal ini, bank biasanya tidak menahan barang jaminan itu secara fisik, tetapi hanya surat-suratnya saja.17 Apabila nasabah tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya, maka bank dapat menggunakan agunan untuk melunasi kewajiban nasabah dengan cara menjual agunan tersebut baik melalui pelelangan maupun di bawah tangan. Meskipun jaminan tersebut sebagai alat pelindung bank, bank tidak serta merta dapat mengeksekusi agunan itu. Jalan yang ditempuh cukup panjang, terlebih apabila nasabah tidak bersedia melepas agunannya. 15
Soebekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Aditama, 2000). 16 Tariqullah Khan dan Habib Ahmed, Manajemen Risiko, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 145. 17 Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait, hlm 117.
38
D. Pelelangan Agunan atas Non Performing Finance 1. Definisi Lelang Lelang adalah penjualan di hadapan orang banyak (dengan tawaran yang atas-mengatasi) dipimpin oleh pejabat lelang.18 Sedangkan menurut pasal 1 angka 1 Kep.Menkeu No. 304/KMK 01/2002, sebagaimana diubah dengan Kep.Menkeu No. 450/KMK 01/2002, yang berbunyi: “Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga secara lisan dan/atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat”. Lelang dalam perbankan berarti, penjualan asset milik debitur yang dijaminkan sebagai agunan dalam rangka memperoleh modal usaha sebagai konsekuensi karena nasabah debitur tidak bisa melunasi kewajibannya, baik melalui Badan Arbitrase, Pengadilan Negeri, maupun jalur lain yang telah ditetapkan dalam undang-undang. 2. Landasan Hukum Lelang a. Hukum Positif Dalam pasal 6 jo Pasal 20 ayat (1) UU NO.4 Tahun 1996 tentang hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT), dinyatakan bahwa dalam hal debitur cedera janji,
18
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 653.
39
mekanisme lelang barang agunan milik debitur dapat dilakukan oleh bank tanpa persetujuan debitur. Dalam pasal 1 angka 24 Peraturan Bank Indonesia No. 9/9/PBI/2007 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdarkan Prinsip Syariah, dinyatakan bahwa bank dapat memperoleh aktiva baik melalui pelelangan maupun di luar lelang dari pemilik agunan karena pemilik agunan atau debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya. b. Hukum Islam Pada prinsipnya, syariah Islam membolehkan jual beli barang/jasa yang halal dengan cara lelang yang dalam fiqh disebut sebagai akad ba’i muzayadah. Praktek lelang (muzayadah) dalam bentuknya yang sederhana pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, Hadist Nabi Muhammad SAW yang artinya: “Dari Anas R.A. Ia berkata bahwa rasulullah SAW menjual sebuah pelana dan sebuah mangkok air dengan berkata : “ Siapa yang mau membeli pelana dan mangkok ini? Seorang laki-laki menyahut : Aku bersedia membelinya seharga satu dirham. Lalu Nabi berkata lagi, siapa yang berani menambahi? Maka diberi dua dirham oleh seorang laki-laki
40
kepada beliau, lalu dijuallah kedua benda itu kepada laki-laki tadi.” (H.R. Tirmidzi).19 Dari Ka’ab bin Malik, “ Sesungguhnya Nabi SAW pernah menyita harta milik Muadz lalu beliau menjualnya untuk membayar utangnya.” (H.R Imam Daruquthni). Untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak, norma, dan etika dalam praktik lelang, syariat Islam memberikan panduan, yaitu antara lain: 1) Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela (‘an taradhin). 2) Objek lelang harus halal dan bermanfaat. 3) Kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual. 4) Kejelasan dan transparansi barang/jasa yang dilelang tanpa adanya manipulasi. 5) Kesanggupan penyerahan barang dari penjual. 6) Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan perselisihan. 7) Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk memenangkan tawaran. Segala bentuk rekayasa curang untuk mengeruk keuntungan tidak sah dalam praktik lelang dikategorikan sebagai praktik najasy (komplotan atau
19
192-193.
Mardani, Ayat-ayat dan Hadist Ekonomi Syariah, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), hlm.
41
trik kotor) yang diharamkan Nabi SAW atau juga dapat dimasukkan dalam kategori Risywah (sogok) bila penjual atau pembeli menggunakan uang atau fasilitas untuk memenangkan lelang yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria yang dikehendaki mitra bisnisnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum lelang diperbolehkan dalam Islam, selama memenuhi kriteria umum yang digariskan syariatnya seperti di atas. 3. Badan Penyelesaian Sengketa Perbankan Ada dua langkah dalam menyelesaikan sengketa perbankan, termasuk sengketa jaminan, yaitu: a. Melalui Jalur Nonlitigasi Dalam menyelesaikan permasalahan melalui jalur nonlitigasi, perbankan syariah umumnya menyelesaikan permasalahan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). BASYARNAS pada awalnya bernama BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang kemudian berubah menjadi BASYARNAS pada tanggal 24 Desember 2003.20 BASYARNAS merupakan arbitrase Institusional khusus yang dapat dijadikan sebagai alternatif forum untuk menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah. Institusi ini diperkuat oleh fatwa DSN-MUI No. 53/DSN-MUI/111/2006. Dalam BASYARNAS, terlebih dahulu arbiter (tunggal atau majelis) akan mengusahakan perdamaian diantara para pihak yang 20
Anonym, “Sejarah BASYARNAS” http://www.mui.or.id/content/sejarah-BASYARNAS, diakses 11 November 2011.
42
bersengketa. Jika upaya itu berhasil, maka akan dibuatkan akta perdamaian. Jika perdamaian tidak berhasil, arbiter akan meneruskan proses pemeriksaan atas sengketa tersebut yang bersifat tertutup.21 Arbitrase Syariah memiliki keunggulan, antara lain: 1. Penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab. 2. Ditangani oleh orang-orang yang ahli di bidangnya. 3. Prosedur pengambilan keputusannya cepat, tidak berbelit-belit, serta biaya murah. 4. Dijamin kerahasiaan sengketa para pemilik karena keputusannya tidak dipublikasikan. 5. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan adsministratif. 6. Khusus untuk kepentingan muamalat Islam dan transakasi melalui bank syariah dan BPR Syariah, arbitrase syariah akan memberi peluang
bagi
berlakunya
hukum
islam
sebagai
pedoman
penyelesaian perkara.22 b. Melalui Jalur Litigasi Bila penyelesaian di luar pengadilan tidak dapat dicapai, maka bank dapat menempuh saluran hukum, yaitu pengadilan negeri. 23 Setelah keluarnya UU No.3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama yang mana 21
Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hlm 82-83. 22 Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, hlm. 84. 23 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, hlm. 206.
43
penambahan kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan mengadili di bidang ekonomi syariah, maka penyelesaian sengketa perbankan dapat ditempuh melalui pengadilan agama. 4. Mekanisme Pelelangan Agunan Atas NPF Terkait penjualan atas hak tanggungan (melalui lelang), bank-bank konvensional terikat dengan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Adapun bank-bank syariah meski sudah memiliki peraturan tersendiri yakni UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dalam hal penjualan asset kredit macetnya, pada prinsipnya mereka juga tunduk kepada Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut. Terdapat dua cara dalam menyelesaikan kredit (pembiayaan) bermasalah, yaitu: 1) Melalui Pengadilan Negeri Terdapat dua alternatif penyelesaian, yaitu: a. Melalui Lelang Eksekusi Putusan Pengadilan Penyelesaian kredit macet dapat dilakukan oleh kreditor dengan menggugat debitor melalui pengadilan negeri. Proses gugatan ini memakan waktu yang cukup lama mengingat adanya kemungkinan para pihak mengajukan banding, kasasi, dan peninjauan kembali dalam pemeriksaan gugatan di pengadilan sebelum akhirnya diperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Apabila akhirnya bank kreditor memenangkan gugatannya, maka jaminan kredit akan dilelang.
44
Dalam hal ini bertindak sebagai pemohon lelang adalah pengadilan negeri dan pelaksana lelang adalah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). b. Lelang Eksekusi Penetapan Pengadilan Berdasarkan pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, mengatur bahwa title eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan dapat dijadikan dasar penjualan objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan.24 Berdasarkan pasal 29 ayat (1) huruf a UU fidusia. Sebagaimana diketahui, Sertifikat Jaminan Fidusia juga memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Ynag Maha Esa” yang memiliki kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Adapun prosedur lelangnya diawali dengan permohonan dari kreditor (bank) kepada pengadilan negeri untuk melakukan eksekusi, apabila pengadilan negeri menerima permohonan tersebut, maka pengadilan negeri dapat menerbitkan penetapan Aanmaning/ tegoran, penetapan sita yang diikuti dengan penyitaan agunan, dan mengeluarkan penetapan lelang. Dalam hal ini bertindak selaku pemohon lelang adalah pengadilan negeri dan sebagai pelaksanaan lelang adalah KPKNL.
24
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 190.
45
2) Memanfaatkan Hak Untuk Melelang Atas Kekuasaan Sendiri oleh Bank. Pasal 6 UUHT menentukan bahwa apabila debitor cedera janji, bank selaku kreditor pemegang Hak Tanggungan Pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum. Penjualan objek Hak Tanggungan ini dilakukan secara lelang dan tidak memerlukan campur tangan pengadilan. 25 Dalam Akta Pengikatan Hak Tanggungan dicantumkan janji sesuai pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT, yaitu bahwa pemegang Hak Tanggungan Pertama mempunyai hak untuk menjual sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji. Dalam hal ini, bertindak sebagai pemohon lelang adalah bank selaku kreditor pemegang Hak Tanggungan Pertama dan sebagai pelaksana lelang adalah KPKNL. UUHT masih menyediakan satu sarana hukum lagi, yaitu melalui penjualan di bawah tangan. Berdasarkan pasal 20 ayat (2) UUHT disebutkan bahwa “Atas kesepakatan Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek hak tanggungan dapat dilakukan di bawah tangan, jika dengan demikian akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.” Alternatif ini kiranya tidak mudah untuk dilaksanakan karena untuk dapat menggunakan sarana ini diperlukan 25
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, hlm. 190-191.
46
kesepakatan kreditor pemegang Hak Tanggungan dan debitor pemberi Hak Tanggungan.26 Untuk memperoleh pengembalian kredit dari hasil pelelangan bukanlah hal yang mudah dan cepat. Pengalaman menunjukkan bahwa untuk menjual agunan melaui prosedur lelang sangat sulit untuk memperoleh pembeli dan harga yang memadai. Acapkali bank justru memperoleh pengembalian yang sangat rendah, belum lagi masih harus dipotong dengan berbagai biaya4 lelang yang cukup besar. Agar tidak terlalu merugikan pihak bank, maka hukum perbankan yang baru memberikan kesempatan kepada bank untuk turut serta dalam pelelangan (sebagai pembeli lelang), sebab jika bank dapat menguasai agunan itu dari pelelangan maka nantinya bank dapat menjual agunan itu secara perlahanlahan menurut harga yang berlaku di pasaran. (pasal 6 ayat k UU No. 7 Tahun 1992).27 Penyitaan barang jaminan (eksekusi) juga sering menjadi masalah dalam proses pelelangan agunan, apalagi jika nasabah menolak untuk menyerahkan agunannya kepada bank. Masalah penyitaan atau eksekusi jaminan di bank syariah sangat tergantung pada kebijakan manajemen. Kalaupun dengan terpaksa harus dilakukan dengan penyitaan, maka penyitaan dilakukan kepada nasabah yang memang nakal dan tidak mengembalikan pembiayaan. Namun, tetap dilakukan dengan cara-cara sebagaimana yang diajarkan menurut ajaran Islam, seperti: 26
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, hlm. 135.
27
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, hlm. 137.
47
a. Simpati
: sopan, menghargai, dan fokus ke tujuan penyitaan.
b. Empati
: menyelami keadaan nasabah, bicara seakan untuk kepentingan nasabah, membangkitkan kesadaran nasabah untuk mengembalikan utangmya.
c. Menekan
: tindakan ini dilakukan jika dua tindakan sebelumnya tidak diperhatikan.28
28
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, hlm. 269.