BAB II LANDASAN TEORI
Pada bab ini, akan dipaparkan landasan teori yang digunakan dalam penyusunan tesis ini. Sesuai dengan topik tesis, teori-teori yang digunakan sebagai acuan
adalah
teori
Manajemen
Perubahan
(Change
Management)
pada
organisasi/perusahaan dari Palmer, teori Competency dan pengembangannya dari Spencer.
2.1
Penyebab Perubahan Dalam Organisasi Dalam dunia bisnis dengan persaingan yang sangat kompetitif seperti yang
terjadi di dalam industri alat berat di Indonesia maka keberhasilan perusahaan untuk bisa bertahan dalam situasi ini bergantung pada kepuasan shareholders terhadap kinerja dari perusahaan tersebut. Kegagalan dalam melakukan ini akan menuntun shareholders untuk memindahkan modal mereka ke perusahaan lain atau dapat membuat shareholders menggunakan pengaruhnya untuk mengganti manajemen senior yang dianggap gagal dengan orang lain yang sejalan dengan keinginan shareholders. Manajemen juga dituntut untuk menstabilkan keadaaan yang tidak stabil, menstabilkan keadaan yang goyah, beradaptasi dengan keadaan sekarang, mengantisipasi mada depan, meningkatkan apa yang sudah ada, mencari apa yang seharusnya ada, memipin sebuah perubahan kearah yang lebih baik namun tetap
mempertahankan tradisi-tradisi positif yang sudah ada, kemungkinan-kemungkinan yang berdasarkan sesuatu yang dipercaya bahwa perkembangan mungkin dilakukan dan manajemen dapat membuat perbedaan. Tekanan untuk berubah bisa berupa tekanan dari lingkungan diluar organisasi dan tekanan yang berasal dari dalam organisasi. Tekanan dari lingkungan diluar organisasi bisa disebabkan karena menurunnya sumber daya organisasi sebagai akibat dari berkurangnya permintaan dan berkurangnya penjualan, menurunnya pangsa pasar dan keputusan buruk dalam investasi (Palmer et al, 2006, p50). Pada kondisi yang lebih ekstrem perubahan organisasi didesain untuk dapat mengubah cash flow yang negatif, menghindari kebangkrutan dan bahkan menghindari kematian dari suatu organisasi (Palmer et al, 2006, p50). Sedangkan tekanan dari dalam organisasi lebih disebabkan karena pertumbuhan organisasi, kebutuhan akan integrasi dan kolaborasi, kebutuhan untuk memantapkan kembali organisasi di situasi yang baru, adanya pergantian CEO dan juga variasi dari tekanan politik dan kekuasaan (Palmer et al, 2006, p61). Macam-macam tekanan untuk berubah dari lingkungan di luar organisasi antara lain (Palmer et al, 2006, pp 52-57): A. Fashion Pressures Perubahan dalam organisasi dapat disebabkan oleh respon dari manajemen terhadap trend yang ada seperti: keinginan untuk dipandang sebagai suatu organisasi yang profesional, modern dan sesuai dengan inovasi terbaru dari management practices.
Di bawah ini adalah contoh perkembangan dari manajemen trend yang banyak diterapkan oleh manajer untuk mengikuti trend yang berkembang di dunia bisnis pada tiap masa: Tabel 2.1 Perkembangan Manajemen Trend Sumber : Palmer et al (2006, p52) 1950s
1960s
1970s
Management by
Sensitivity
Quality of Work
Objectives (MBO)
Training and T-
Life Programs
1980s Corporate Culture
1990s Employee Empowerment
groups Program
Total Quality
Horizontal
Management
Corporations
Employee
International
Vision
Assistance
Standards
Programs (EAPs)
Organization 9000
Evaluation and
QualityCircles
Review Technique (PERT)
(ISO 9000) Reengineering Agile Strategies Core Competencies
B. Mandated Pressures Perubahan dapat terjadi karena adanya tekanan dari luar yang dipaksakan atau diwajibkan (mandated pressures) ke dalam organisasi dimana organisasi diwajibkan melakukan aktivitas serupa dengan organisasi-organisasi lain disebabkan permintaaan
dari luar meminta mereka untuk melakukan hal tersebut. Tekanan tersebut dapat bersifat formal dan informal: •
Formal Coercive Pressures Termasuk di dalamnya adalah mandat dari pemerintah seperti kebijakan atau hukum baru sehingga organisasi mau tidak mau akan dipaksa untuk berubah sesuai kebijakan atau hukum yang diperlukan.
•
Informal Coercive Pressures Termasuk didalamnya adalah komitmen perubahan dari suatu organisasi dalam melakukan suatu program untuk memperkuat dukungan dari organisasi lain yang juga melakukan program yang sama.
C. Geopolitical Pressures Adalah tekanan yang disebabkan oleh situasi geografis dan keadaan politik yang kemudian mendorong terjadinya perubahan pada organisasi. D. Market Decline Pressures Adalah tekanan yang disebabkan oleh menurunnya pasar dari suatu produk atau jasa yang dihasilkan menekan organisasi untuk melakukan perubahan agar dapat relevan dengan keadaan di luar. E. Hypercompetition Pressures Tekanan dari luar juga dapat disebabkan oleh persaingan yang sangat kompetitif dalam suatu industri atau bisnis yang serupa dimana organisasi dipaksa untuk berubah agar dapat sejalan dengan kebutuhan customer.
F. Reputation and Credibility Pressures Tekanan dari luar yang menjamin mekanisme pengaturan perusahaan untuk meyakinkan agar reputasi perusahaan tetap positif. Reputasi perusahaan sendiri adalah kumpulan dari akibat tindakan yang dilakukan oleh perusahaan di masa lalu dan sebagai hasil dari segala kemampuan perusahaan yang menghasilkan output yang bernilai kepada stakeholders.
Macam-macam tekanan untuk berubah dari dalam organisasi perusahaan antara lain (Palmer et al, 2006, pp 61-65): A. Growth Pressures Tekanan dari dalam organisasi itu sendiri yang menginginkan akan adanya pertumbuhan yang terus menerus dapat berakibat pada perubahan dalam organisasi tersebut. B. Integration and Collaboration Pressures Terkadang
perubahan
juga
disebabkan
adanya
kebutuhan
untuk
mengintegrasikan seluruh perusahaan untuk dapat membuat economies of scale diantara unit bisnis mereka sehingga hasil dari perubahan ini dapat berupa kordinasi dan kolaborasi yang lebih baik diantara unit bisnis yang berbeda-beda dalam perusahaan. C. Identity Pressures Perubahan juga dapat disebabkan karena adanya tekanan untuk menentukan identitas dari suatu perusahaan sesuai bisnis yang mereka lakukan.
D. New Broom Pressures Fenomena new broom dapat memberikan sinyal akan adanya perubahan seperti ketika seorang CEO baru masuk dan memimpin perusahaan maka itu dapat memberi sinyal berubahnya cara-cara yang lama. E. Power and Political Pressures Tekanan politik dapat dihubungkan dengan adanya pergantian dari Board of Directors dan CEO levels. Tekanan kekuasaan dapat juga muncul untuk memicu perubahan yang bertujuan mempercepat proses pembuatan keputusan atau bahkan untuk mengakhiri konflik internal perusahaan.
2.2
Definisi Perubahan dalam Organisasi Perubahan dapat didefinisikan dengan melakukan sesuatu yang berbeda atau
bahkan benar-benar berbeda dari keadaan yang sebelumnya. Perubahan organisasi sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu (Palmer et al, 2006, p78 ): •
First Order; Adaptive/ Incremental Change Tipe perubahan ini akan melibatkan penyesuaian dalam sistem, proses atau struktur organisasi tetapi tidak melibatkan perubahan mendasar dalam strategi, nilai-nilai inti atau identitas perusahaan. Perubahan first order bertujuan untuk mempertahankan
dan
mengembangkan
kesinambungan perusahaan.
organisasi
juga
mendukung
•
Second Order; Discontinuous Change/ Transformational Change Tipe perubahan ini bersifat transformasional, lebih radikal dan secara mendasar mengubah organisasi juga intinya. Perubahan second order tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan tetapi merubah nature dari seluruh organisasi perusahaan.
2.2.1 First Order, Adaptive/ Incremental Changes Dalam tipe perubahan first order ini perubahan dapat diidentifikasikan menjadi dua fokus yaitu fokus pertama kepada individu dan inisiatif mereka dan fokus kedua kepada individu dan akibat yang ditimbulkan kepada rutinitas mereka (Palmer et al, 2006, p79). Berikut adalah penjelasan dari masing-masing fokus perubahan pada first order(Palmer et al, 2006, pp 79-81): •
Perubahan Mengambil Alih Inisiatif Individu Menurut Frohman, dalam fokus perubahan ini ditemukan bahwa tidak cukup perhatian yang diberikan pada keseluruhan dampak ke organisasi dengan adanya perubahan skala kecil dan belum ada perhatian terhadap identifikasi peran dari inisiatif pribadi. Sedangkan adanya perubahan skala besar seperti restrukturisasi perusahaan dan reengineering seperti adanya pengenalan teknologi baru yang terlalu teknis menurut pandangan manajemen membuat mereka tidak memperhatikan pentingnya inisiatif individu dalam mencapai perubahan terakhir. Hal ini disebabkan karena perusahaan beroperasi di waktu dimana teknologi hanya menghasilkan competitive
advantage yang terbatas dimana karakteristik yang paling sesuai untuk teknologi adalah lead time sehingga fungsi dari tiap individu lah untuk membuat atau mengeksploitasi teknologi demi kepentingan perusahaan. Frohman
menambahkan
bahwa
sudah
sejak
lama
manajer
menghiraukan dampak terkecil dari bottom line, perubahan lokal dari organisasi dan tidak mendukung kondisi yang mengijinkan inisiatif pribadi atau individu untuk berkembang. Padahal orang-orang yang seperti inilah yang bekerja melebihi tugasnya, dapat membuat perbedaan, fokus pada tindakan dan fokus lebih sedikit kepada kerja sama daripada kepada hasil yang dicapai. Menurut Frohman inisiatif individu berhubungan dengan perubahan lokal dapat muncul apabila atribut-atribut dari kepemimpinan yang kuat, sistem birokrasi dan kerja sama di perusahaan seimbang satu dengan yang lainnya dimana ada beberapa organisasi yang memberikan tempat bagi inisiatif individu yang dalam waktu yang sama sejalan dengan tujuan organisasi perusahaan. •
Perubahan Sebagai Pengembangan Dari Rutinitas Menurut
Feldman
perubahan
pada
level
menengah
dan
transformasional disebabkan bahwa rutinitas adalah sumber dari stabilitas perusahaan yang secara mendasar perlu diganggu untuk memunculkan perubahan. Tetapi dia memberikan pandangan yang berbeda bahwa rutinitas organisasi dapat menjadi sumber perubahan dalam organisasi melalui orang yang berbeda yang menempatkan interpretasi mereka sendiri dan tindakan mengenai bagaimana seharusnya rutinitas dijalankan.
Ada dua macam rutinitas internal yang bersifat dinamis yang dapat memicu perubahan berkesinambungan yaitu pertama ketika performa yang lalu ada dibawah yang diharapkan dan yang kedua ketika pencapaian hasil dapat membuka kemunkinan atau peluang-peluang baru. Contoh-contoh tindakan dalam perekrutan, pelatihan dan penetapan anggaran dapat dikembangkan atau mengalam perubahan sepanjang waktu sebagai respon dari interpretasi dan tindakan dari tiap individu yang bertanggung jawab terhadap hal-hal tersebut.
2.2.2 Second Order; Discontinuous / Tranformational Change Banyak perubahan organisasi seperti downsizing, restrukturisasi, dan reengineering dimasukkan sebagai kategori transformasi yang didesain secara mendasar merubah nature dasar dari organisasi. Menurut Palmer dan Dunford ada delapan rekomendasi yang sering muncul untuk menghadapi kompetisi dari lingkungan bisnis (Palmer et al, 2006, p82): •
Delayering (mengurangi jumlah dari tingkatan vertikal dalam organisasi).
•
Networks/ Alliances (melibatkan kolaborasi dari strategi internal dan eksternal).
•
Outsourcing (menyerahkan kepada pihak luar aktivitas organisasi yang tidak mempunyai kompetensi khusus atau berbeda).
•
Disaggregation (memecah organisasi kedalam unit-unit bisnis yang lebih kecil).
•
Empowerment (pengenalan secara mekanik atau teknis untuk memyediakan bagi karyawan nya kuasa, sumber daya dan dorongan untuk dapat mengambil tindakan).
•
Flexible Work Groups (untuk kebutuhan yang khusus yang dibubarkan atau dibentuk untuk menyelesaikan suatu pekerjaan).
•
Short Term Staffing (menyewa atau mengontrak orang untuk bekerja pada organisasi pada jangka waktu yang pendek untuk mengerjakan tugas yang khusus).
•
Reduction of Internal and External Boundaries (mengurangi batasan-batasan internal dan eksternal dengan tujuan mendorong komunikasi dan pembagian sumber daya).
Dalam perubahan transformasional pada second order harus memperhatikan bahwa lingkungan organisasi mungkin dapat berubah tetapi perlu mengetahui bagaimana organisasi seharusnya berubah untuk sesuai kebutuhan lingkungan organisasi baru dengan memperhatikan kekuatan organisasi yang sekarang dan kebutuhan organisasi di masa depan. Beberapa tipe perubahan transformasi yaitu (Palmer et al, 2006, pp 82-83): •
Type 1 Transformation Tipe transformasi ini muncul ketika organisasi bergerak dari entrepreneurial
struktur menjadi struktur manajemen profesional.
•
Type 2 Transformation Tipe transformasi ini melibatkan revitalisasi dari perusahaan yang sudah
mapan. Jadi organisasi sendiri tetap pada pasar yang sama tetapi fokus kepada bagaimana untuk membangun diri sendiri agar dapat beroperasi dengan lebih efektif. •
Type 3 Transformation Tipe transformasi ini melibatkan perubahan visi dalam perusahaan yang
secara mendasar merubah bisnis yang digeluti.
2.2.3 Beyond Either First Order or Second Order Change Selain perubahan first order dan second order maka ada jenis perubahan yang tidak termasuk keduanya dimana terdapat dua alternatif pendekatan perubahan jenis ini adalah (Palmer et al, 2006, pp 85-86): •
Midrange Organizational Change Tipe perubahan ini penting ketika perusahaan mencari modifikasi seperti apa
perubahan yang cocok untuk perusahaan tanpa menghancurkan loyalitas karyawan dan atribut-atribut positif yang dimiliki oleh perusahaan. Dalam tipe perubahan ini dapat melalui model pemikiran tiap-tiap individu yang ikut membangun identitas perusahaan dan mempengaruhi bagaimana pemberitahuan perubahan dapat diterima: o High Inertia, dapat muncul apabila perubahan dianggap sebagai hal yang tidak perlu sehingga ada sedikit kesenjangan antara identitas sekarang dengan yang akan diimplementasikan pada perubahan.
o High Stress, dapat muncul apabila perubahan dianggap sebagai suatu hal yang mustahil untuk dicapai dan kesenjangan yang terjadi terlalu lebar antara identitas organisasi yang sekarang dengan yang nanti muncul sebagai hasil dari perubahan. •
Change as Punctuated Equilibrium Tipe perubahan ini memfokuskan diri pada posisi alternatif yang memiliki
sebaran yang lebih luas yang memerlukan kebutuhan perhatian diantara perubahan incremental (first order) dan perubahan transformasi (second order). Dalam punctuated equilibrium theory maka kita melihat organisasi terus berevolusi (berubah) melalui periode stabilitas yang cukup panjang (periode ekuilibrium) pada pola dasar mereka dalam beraktivitas yang disisipi perubahan mendasar yang kecil (revolutionary period). Revolutionary period secara substansial mernganggu pola aktivitas yang sudah mapan dan memulai dasar bagi periode ekuilibrium yang baru.
2.3
Teori Perubahan Organisasi Dalam menganalisa perubahan yang terjadi di dalam organisasi perubahan
maka diperlukan teori-teori mengenai perubahan organisasi perusahaan agar didapatkan analisa yang tepat mengenai keadaan yang terjadi sebelum perubahan dan bagaimana pendekatan dalam melakukan perubahan yang sesuai dengan keadaan perusahaan.
2.3.1 Lewin’s Force Field Analysis Model (1951) Salah satu teori untuk menganalisa perubahan yang sering digunakan adalah model analisis Lewin’s Force Field. Berikut adalah gambar model analisis Lewin’s Force Field (McShane dan Von Glinow, 2007, p488) untuk menggambarkan bagaimana suatu perubahan yang efektif dapat terjadi dengan mempertimbangkan pihak yang mendukung dan menentang terhadap perubahan:
Desired Conditions
Restraining Forces
Restraining Forces
Restraining Forces
Driving Forces
Driving Forces Current Conditions
Driving Forces
Before Change
During Change
After Change
Gambar 2.1 Lewin’s Force Field Analysis Model Sumber: McShane & Von Glinow (2007, p488)
Pada model analisis Lewin’s Force Field terdapat dua kutub kekuatan yang saling mendorong. Satu sisi kekuatan dari model ini adalah driving forces yang mendorong perusahaan untuk menuju keadaan yang dinginkan (keadaan setelah berubah). Driving forces ini antara lain adanya globalisasi sebagai salah satu faktor eksternal dan adanya perubahan dalam struktural perusahaan sebagai salah satu faktor
internal untuk mendorong perubahan. Sisi kekuatan lainnya dari model ini adalah restraining forces yang menginginkan keadaan tidak berubah (status quo). Pada Lewin’s model ini menekankan bahwa perubahan yang efektif dapat terjadi melalui tiga tahap yaitu tahap pertama adalah tahap “unfreezing” yang merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya atau adanya kebutuhan untuk berubah, kemudian tahap kedua adalah tahap “changing“ berupa langkah tindakan baik memperkuat driving forces maupun memperlemah restraining forces, dan tahap ketiga adalah tahap “refreezing“ yaitu membawa kembali organisasi kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium).
2.3.2 Teori Motivasi Beckhard dan Harris (1987) Teori lainnya tentang perubahan organisasi dapat dikutip dari Beckhard dan Harris yang merumuskan teori-teori motivasi untuk berubah, dimana mereka menyimpulkan bahwa perubahan dapat terjadi kalau ada sejumlah syarat yaitu (Kasali, 2005, pp 100-101): •
Manfaat – Biaya Manfaat yang diperoleh lebih besar daripada biaya perubahan.
•
Ketidakpuasan Adanya ketidakpuasan yang menonjol terhadap keadaan sekarang.
•
Persepsi Hari Esok Manusia dalam suatu organisasi melihat bahwa hari esok dipersepsikan lebih baik.
•
Cara yang Praktis Ada cara praktis yang dapat ditempuh untuk keluar dari situasi sekarang. Jadi kalau dirumuskan dalam persamaan matematika secara sederhana ditulis
sebagai berikut: ABC>D Dimana,
A = Ketidakpuasan B = Persepsi Hari Esok C = Ada Cara yang Praktis D = Biaya untuk melakukan perubahan
Logika ini menunjukkan pentingnya efisiensi dalam perubahan agar manfaat yang
diperoleh
cukup
memotivasi
perubahan
dan
perlunya
upaya-upaya
mendiskreditkan keadaan sekarang sebagai keadaan yang buruk sehingga kita merasa perlu untuk segera bergerak. Hanya saja, kalau tidak ada jalan yang praktis maka kita akan gagal menyelesaikan perubahan itu dan efeknya akan sangat menekan karena orang-orang sudah sangat berharap akan datangnya hari esok yang lebih baik. Beckhard dan Harris menganjurkan agar sebaiknya kita fokus ke depan daripada berbicara tentang masa lalu yang telah memberikan dampak negatif pada hari ini. Hal ini disebabkan oleh temuan-temuan yang menyebutkan untuk fokus terhadap hari esok: •
Memberikan semangat (optimisme) dan membuang perasaan-peraaan pesimis.
•
Mendorong orang-orang menentukan perannya dalam perubahan, dan menciptakan kepatuhan.
•
Mengurangi ketidakpuasan dan perasaan-perasaan tidak nyaman.
•
Memberikan fokus perhatian pada upaya-upaya mengatasi masalah ketimbang gejala-gejala, untuk membuat kegiatan dan organisasi bekerja secara efektif. Teori ini dianggap lebih sempurna dari teori Kurt dan Lewin (Lewin’s Force
Field Model Analysis). Akan tetapi teori ini sekalipun memiliki kelemahan, salah satunya adalah tidak mudah mengajak orang–orang untuk percaya tentang apa yang tidak mereka lihat dan tidak mudah mengajak mereka melihat atau berpersepsi tentang hari esok.
2.4
Resistansi Untuk Berubah (Resistance to Change) Ketika suatu perusahaan memutuskan untuk melakukan perubahan dalam
organisasi perusahaan mereka baik dari segi struktural organisasi perusahaan, visi dan misi perusahaan maupun dari segi tujuan masa depan yang ingin dicapai perusahaan maka pasti akan muncul dua pihak yang saling berseberangan dalam organisasi perusahaan yaitu pihak yang mendukung terjadinya perubahan dan pihak yang menentang terhadap perubahan atau disebut juga pihak yang tidak ingin untuk berubah.
2.4.1 Kekuatan Penentang Perubahan Seperti yang sudah dijelaskan dalam teori Lewin’s Force Field Analysis Model maka ketika perusahaan akan atau sedang melakukan perubahan maka ada dua kekuatan besar yang akan muncul yaitu driving forces (kekuatan pendukung
perubahan) dan restraining forces (kekuatan penentang perubahan) yang menurut banyak
survey
yang
dilakukan
kepada
eksekutif
perusahaan
berhasil
mengidentifikasikan bahwa hambatan terbesar dalam perubahan adalah adanya sikap tidak ingin berubah dari karyawannya (employee resistance) yang adalah bentuk dari restraining forces tadi. Alasan mendasar yang dikemukakan oleh para karyawan adalah bahwa para karyawan merasa bahwa perubahan akan membuat segala sesuatunya menjadi lebih kompleks dan membuang-buang waktu. Bentuk-bentuk dari sikap ini antara lain adalah tidak mau bekerja sama, protes, ketidakhadiran, keluar dari perusahaan dan bisa juga berupa tindakan kolektif seperti mogok atau boikot. Resistensi itu sendiri sebenarnya hanyalah gejala (symptoms) dari masalah sesungguhnya yang lebih dalam dan besar sehingga diperlukan agen perubahan (change agents) yang tidak hanya mengubah insiden-insiden seperti tidak mau bekerja sama, protes, ketidakhadiran, keluar dari perusahaan dan bisa juga berupa tindakan kolektif seperti mogok atau boikot, tetapi lebih kepada untuk mencari tahu dan mengerti mengapa para karyawan tidak mau berubah sesuai dengan sikap dan perilaku yang diharapkan perusahaan. Beberapa penyebab utama mengapa karyawan tidak mau berubah terlihat pada gambar di bawah ini:
Direct Costs Saving Face Forces for Change
Fear of the Unknown Breaking Routines Incongruent Systems Incongruent Team Dynamics
Gambar 2.2 Forces Resisting Organizational Change Sumber: McShane & Von Glinow (2007, p490)
Berikut adalah penjelasan dari masing masing penyebab mengapa muncul resistensi dari para karyawan (McShane dan Von Glinow, 2007, pp 490-491): •
Direct Costs (biaya langsung) Jenis resistensi ini muncul karena beberapa karyawan menganggap bahwa hasil dari perubahan menyebabkan biaya yang lebih tinggi atau keuntungan yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan situasi yang sedang berjalan.
•
Saving Face (menyelamatkan muka) Beberapa karyawan menentang perubahan sebagai bagian dari strategi politik untuk melakukan pembuktian bahwa keputusan untuk berubah yang ditetapkan oleh manajemen perusahaan itu salah atau dapat juga untuk
membuktikan bahwa orang-orang pencetus perubahan ternyata tidak kompeten. •
Fear of The Unknown (ketakutan akan hal yang tidak diketahui) Beberapa karyawan menentang perubahan karena mereka kuatir apabila kompetensi yang sekarang mereka miliki nantinya tidak dapat memenuhi persyaratan kerja yang baru.
•
Breaking Routines (memecah rutinitas) Beberapa karyawan yang telah menyukai situasi nyaman yang mereka jalankan akan menentang perubahan karena perubahan dapat menyebabkan sesuatu yang tidak dapat diprediksi (tidak sama dengan pola yang sudah nyaman mereka jalani sehari-hari)
•
Incongruent Organizational System (ketidaksamaan sistem organisasi) Adanya perubahan dikuatirkan tidak dapat sejalan dengan sistem lama yang sudah stabil dan berjalan baik di masa lalu dalam hal ini termasuk sistem reward, seleksi, training dan kontrol-kontrol sistem yang lain.
•
Incongruent Team Dynamics (ketidaksamaan kondisi kelompok kerja) Adanya kekuatiran bahwa adanya perubahan dapat menyebabkan perubahan kelompok kerja dimana kelompok kerja yang lama dirasakan sudah cukup nyaman.
2.4.2 Strategi
untuk
Mengurangi
Kekuatan
Penentang
Perubahan McShane dan Von Glinow menjelaskan Suatu perubahan yang efektif tidak hanya sekedar membutuhkan adanya kesadaran dari karyawan terhadap kekuatan yang mendorong perubahan (driving forces) tetapi juga melibatkan pengurangan atau penghilangan kekuatan yang menentang perubahan (restraining forces). Berikut ini adalah strategi-strategi yang dapat digunakan untuk meminimalkan kekuatan yang menentang perubahan (McShane dan Von Glinow, 2007, pp 494-497): •
Komunikasi (Communication) Komunikasi adalah hal pertama yang harus dilakukan mengenai perubahan oleh karena itu komunikasi kepada karyawan tentang perubahan bagus untuk digunakan ketika para karyawan tidak merasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk berubah atau ketika para karyawan tidak tau bagaimana perubahan dapat mempengaruhi mereka. Kelemahan dari strategi komunikasi adalah memakan waktu yang lama dan berpotensi memakan biaya yang lebih banyak.
•
Pembelajaran (Learning) Proses
pembelajaran
digunakan
apabila
perubahan
membutuhkan
pebgetahuan atau keahlian baru termasuk di dalamnya adalah pelatihan dan pembelajaran dengan praktek. Proses pembelajaran dapat membantu memecah rutinitas yang lama (breaking routines) dan membantu beradaptasi
dengan peran yang baru. Kelemahan dari strategi pembelajaran adalah memakan waktu yang lama dan berpotensi memakan biaya yang lebih banyak. •
Keterlibatan Pegawai (Employee Involvement) Keterlibatan karyawan dapat digunakan sebagai strategi agar karyawan dapat ikut memiliki perubahan juga dapat membantu karyawan menyelamatkan muka (saving face) dan mengurangi perasaan takut akan sesuatu yang belum diketahui (fear of the unknown). Dalam strategi ini termasuk kelompok tugas atau kegiatan-kegiatan di masa depan yang mendukung perubahan. Kelemahan dari strategi ini memakan sangat banyak waktu, dapat memicu timbulnya konflik antar karyawan dan dapat menghasilkan keputusan yang buruk apabila kepentingan karyawan tidak sama dengan kebutuhan perusahaan.
•
Manajemen Stress (Stress Management) Strategi
manajemen
stress
dilakukan
apabila
strategi
komunikasi,
pemebelajaran dan keterlibatan karyawan tidak dapat memecahkan masalah stress/ tekanan dari karyawan. Keuntungan dari strategi ini adalah dapat menambah motivasi untuk berubah, berkurangnya ketakutan akan sesuatu yang belum diketahui, lebih sedikit biaya (direct costs). Kelemahan dari strategi ini adalah memakan waktu, sangat mahal dan belum tentu dapat menolong semua karyawan. •
Negoisasi (Negotiation)
Strategi
negoisasi
(negotiation)
adalah
salah
satu
bentuk
strategi
mempengaruhi yang menjanjikan adanya keuntungan atau sumber daya sebagai ganti dari kerja sama karyawan sesuai permintaan. Strategi ini mengurangi biaya (direct costs) tetapi memiliki kelemahan yaitu mahal, hanya sebatas mendapatkan kerja sama dari karyawan tapi tidak mendapatkan komitmen karyawan. •
Pemaksaan (Coercion) Strategi pemaksaan cocok digunakan apabila seluruh strategi diatas semuanya tidak berhasil. Termasuk di dalam strategi ini adalah secara tegas mengingatkan karyawan akan kewajiban mereka, secara periodik memonitor sikap dan perilaku,untuk memastikan adanya kerja sama, memperingatkan orang yang tidak mau berubah dan menggunakan ancaman sanksi untuk memaksakan kerja sama. Kelemahan dari strategi ini adalah mengurangi kepercayaan karyawan kepada perusahaannya, bahkan dapat menimbulkan lebih banyak lagi penolakan terhadap perubahan (resistensi).
2.4.3 Membekukan Kembali Kondisi yang Diharapkan Setelah perusahaan dapat menganalisa kekuatan-kekuatan yang mendorong dan menentang perubahan untuk kemudian mengurangi atau meminimalkan kekuatan yang menentang perubahan maka diharapkan tercapai kondisi perubahan sesuai yang diharapkan oleh organisasi perusahaan.
Langkah terakhir yang harus dilakukan oleh manajemen perusahaan (pemimpin perusahaan) adalah menetapkan atau membekukan perilaku baru dan menyelaraskan semua itu dengan sistem organisasi dan kelompok kerja sesuai kondisi yang diharapkan untuk dapat tercapai.
2.5
Implementasi Perubahan Dalam mengimplementasikan perubahan perlu adanya pendekatan perubahan
dalam organisasi yang digunakan agar nilai-nilai yang mendasari perubahan tidak hanya menghasilkan keuntungan bagi organisasi saja tetapi juga bagi seluruh karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Pendekatan organizational development (OD) adalah salah satu pendekatan yang paling populer digunakan dalam perubahan selama lebih dari setengah abad dan pengembangan dari pendekatan organizational development (OD) memunculkan beberapa pendekatan baru untuk menangani perubahan dalam skala besar yaitu appreciative inquiry dan pendekatan sense-making, juga ada tiga pendekatan perubahan yang lain yaitu pendekatan perubahan change management, contigency dan processual.
2.5.1 Pendekatan Organizational Development Organizational Development (OD) adalah teknik untuk implementasi perubahan yang paling dasar yang dikembangkan sepanjang waktu dan dipengaruhi oleh banyak teori dan perspektif yang berbeda-beda.
Organizational Development sendiri secara umum memiliki karakteristik sebagai berikut: •
Direncanakan dan melibatkan diagnosa secara sistematis dari sistem organisasi perusahaan secara keseluruhan, mengatur rencana untuk perbaikan beserta dengan sumber daya yang dibutuhkan.
•
Level atas dari manajemen perusahaan berkomitmen untuk merubah proses.
•
Memiliki tujuan untuk meningkatkan efektifitas dari organisasi agar dapat membantu organisasi mencapai misinya.
•
Bersifat jangka panjang biasanya membutuhkan waktu dua sampai tiga tahun untuk mencapai perubahan yang efektif.
•
Berorientasi kepada tindakan.
•
Mengubah perilaku dan kebiasaan adalah fokus dari usaha perubahan.
•
Pembelajaran berbasis pengalaman sangat penting karena itu membantu dalam mengidentifikasi kebiasaan yang sekarang dan perubahan yang dibutuhkan.
•
Pembentukan Groups dan Teams adalah fokus utama dari perubahan. Karena Organizational Development (OD) itu sendiri adalah berdasarkan
kepada riset terhadap tindakan, maka Organizational Development memiliki langkahlangkah sebagai berikut (Palmer et al, 2006, pp 180-181): •
Problem Identification Seseorang dalam organisasi menaruh perhatian kepada apa yang mereka pikirkan sebagai masalah yang butuh diidentifikasi.
•
Consultation With OD Practitioner Klien dalam hal ini perusahaan dengan praktisi membicarakan bersama halhal yang berkaitan dengan Organizational Development.
•
Data Gathering And Problem Diagnosis Wawancara, observasi, survei dana analisa terhadap data kinerja dapat digunakan untuk membantu problem diagnosis.
•
Feedback Konsultan memberikan data yang telah dikumpulkan dari responden kepada klien
(perusahaan)
dengan
merahasiakan
identitas
dari
orang-orang
(karyawan) yang memberikan data. •
Joint Problem Diagnosis Salah satu bagian dari action research process dimana karyawan terlibat dalam memberikan informasi dan berdiskusi mengenai segala sesuatu yang diperlukan dalam perubahan.
•
Joint Action Planning Tindakan-tindakan yang diperlukan untuk dilakukan sudah teridentifikasi.
•
Change Actions Munculnya perkenalan dan transisi kepada teknik-teknik dan kebiasaan baru.
Para praktisi dari Organizational Development juga perlu memiliki beberapa keahlian sebagai berikut: •
Intrapersonal Skills Memiliki pengembangan yang baik dari kumpulan nilai-nilai dan integritas termasuk di dalamnya kemampuan mengendalikan diri dalam situasi organisasi dengan tekanan yang sangat tinggi.
•
Interpersonal Skills Dibutuhkan ketika bekerja dalam kelompok untuk mendapatkan kepercayaan demi menyediakan kebutuhan akan konsultasi dan pelatihan yang dibutuhkan untuk pengembangan dan perubahan.
•
General Consultation Skills Termasuk di dalamnya adalah teknik intervensi untuk membantu mereka dalam mendiagnosa masalah dan mendisain teknik untuk mengintervensi masalah tersebut.
•
Organizational Development Theory Untuk memastikan bahwa karyawan memiliki pengetahuan yang diperlukan atau spesialisasi berkaitan dengan bagian kerja mereka. Berikut ini akan dibahas kelemahan-kelemahan dari implementasi perubahan
dengan menggunakan pendekatan Organizational Development (OD): •
OD definitions and concepts Organizational Development mungkin tersusun dari satu atau banyak intervensi pada periode waktu yang berbeda-beda sehingga menyelaraskan
antara OD dan kemampuan untuk mengembangkan efektifitas organisasi sangatlah susah apalagi jika kurang mengerti tentang definisi dari OD itu sendiri. •
Internal Validity Problems Berhubungan dengan apakah perubahan yang timbul disebabkan oleh adanya intervensi perubahan atau faktor-faktor yang lain.
•
External Validity Problems Berhubungan dengan apakah OD dan teknik-teknik OD sesuai dengan keseluruhan organisasi.
•
Lack of Theory Tidak adanya teori yang teruji untuk membantu periset untuk mengetahui apa yang harus dilihat dari penelitian mereka.
•
Problems With Measuring Attitude Changes Menggunakan survey sebelum dan sesudah perubahan untuk mengukur perubahan sikap sama memusingkannya dengan karyawan yang melihat dengan skala berbeda ketika mereka ditanyai untuk yang kedua kalinya.
•
Problems With Normal Science Approaches To Research Kemampuan untuk menggunakan teknik-teknik dipertanyakan dengan hubungannya ke OD.
2.5.2 Pendekatan Appreciative Inquiry Pendekatan implementasi menggunakan metode ini merepresentasikan pergeseran dari penekanan pada pemecahan masalah dan manajemen konflik yang biasa ditemui pada pendekatan Organizational Development kepada fokus pada penggabungan pandangan di masa mendatang (sesuatu yang mungkin bisa dicapai di masa mendatang. Teknik implementasi perubahan dengan pendekatan Appreciative Inquiry memiliki empat langkah yaitu (Palmer et al, 2006, pp 187): •
Menemukan atau mengapresiasikan apa yang terbaik yang sudah dilakukan.
•
Membangun pengetahuan ini untuk menolong mewujudkan masa depan yang mungkin terjadi.
•
Mendesain atau membangun melalui dialog secara kolektif mengenai apa yang seharusnya terjadi.
•
Mempertahankan tujuan atau masa depan dari organisasi.
2.5.3 Pendekatan Sense Making Dalam menggunakan pendekatan Sense Making maka didapatkan delapan kerangka agar pendekatan ini lebih masuk akal yaitu (Palmer et al, 2006, p191): 1. Sense Making and Identity Construction Cara-cara yang berbeda dimana karyawan menerima dengan masuk akal kejadian perubahan organisasi dan bagaimana hal tersebut berkaitan dengan pengertian mereka mengenai identitas yang dibangun dalam organisasi.
2. Social Sense Making Kebutuhan dimana karyawan perlu menerima dengan masuk akal situasi tidak hanya sebagai individu pribadi tetapi juga sebagai individu sosial yang berhubungan dengan variasi dari adanya pengaruh kepada mereka. 3. Extracted Cues of Sense Making Kebutuhan
manajer
perubahan
untuk
mengetahui
bagaimana
cara
karyawannya menggambarkan petunjuk, ide atau tindakan yang diambil dari lingkungan luar dengan tujuan membuat masuk akal berbagai keputusan. 4. Ongoing Sense Making Sense Making berubah sepanjang waktu selama ide-ide baru didapatkan dan kejadian-kejadian baru dialami. 5. Retrospection Karyawan merasa masuk akal akan perbuatannya yang dapat dilihat pada masa lalu (retrospectively). 6. Plausibility Cara dimana program manajemen perubahan butuh untuk dijual sehingga cerita mengenai perubahan dapat dipercaya daripada kebutuhan akan akurasinya. 7. Enactment Lebih kepada penerapan akan sense of action (rasa untuk melakukan tindakan)
.
8. Projective Sense Making Kemampuan seorang agen perubahan untuk memproyeksikan sense making ke dalam situasi, dan membentuk interpretasinya untuk orang lain.
2.5.4 Pendekatan Change Management Salah satu model untuk pendekatan Change Management yang cukup terkenal adalah John Kotter’s Eight Step Model seperti yang dijelaskan berikut ini (Palmer et al, 2006, p207): •
Menciptakan keadaan yang mendesak Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam langkah ini antara lain melakukan analisa pasar, mendefinisikan masalah-masalah dan peluang peluang yang ada, menggunakan teknik-teknik yang fokus kepada perhatian karyawan mengenai pentingnya perubahan untuk memenuhi tantangan yang ada.
•
Memastikan bahwa ada kelompok perubahan yang sangat kuat untuk menuntun perubahan Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam langkah ini antara lain membuat struktur tim untuk membantu mendorong terjadinya perubahan, memastikan bahwa tim-tim yang ada memiliki kekuatan yang cukup untuk mencapai perubahan yang diinginkan.
•
Mengembangkan visi Tindakan yang dilakukan dalam langkah ini adalah mengembangkan visi yang menyediakan fokus terhadap perubahan.
•
Mengkomunikasikan visi Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam langkah ini antara lain menetapkan model peran yang sejalan dengan visi di perusahaan, menggunakan saluransaluran yang berbeda-beda untuk secara konstan mengkomunikasikan visi.
•
Memperkuat staf Tindakan-tindakan
yang
dilakukan
dalam
langkah
ini
antara
lain
menyingkirkan kebijakan-kebijakan dan struktur organisasi yang membatasi pencapaian visi. •
Memastikan bahwa ada kemenangan jangka pendek Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam langkah ini antara lain memastikan bahwa adanya kemenangan membantu kebutuhan akan perubahan, memberi penghargaan terhadap kemenangan membantu meningkatkan motivasi.
•
Mengkonsolidasikan keuntungan Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam langkah ini antara lain melanjutkan untuk
menyingkirkan
kebijakan-kebijakan
dan
proses-proses
yang
menghalangi perubahan, memberikan penghargaan kepada karyawan bersikap positif sesuai perubahan., membuat proyek-proyek baru berkaitan dengan perubahan. •
Melekatkan perubahan ke dalam budaya Tindakan yang dilakukan dalam langkah ini adalah menghubungkan perubahan kepada performa organisasi dan kepemimpinan.
2.5.5 Pendekatan Contigency Teori Contigency berpendapat bahwa gaya dari suatu perubahan bergantung pada skala perubahan dan penyerapan anggota dari organisasi tersebut dalam menerima terjadinya perubahan. Berikut adalah lima macam gaya perubahan dengan menggunakan pendekatan Contigency yaitu (Palmer et al, 2006, pp 212-213): •
Developmental Transitions Diterapkan pada situasi dimana terdapat perubahan secara konstan sebagai hasil dari organisasi itu sendiri yang beradaptasi kepada faktor-faktor eksternal dan perubahan lingkungan organisasi. Gaya utama dalam kepemimpinan adalah konsultasi dimana pemimpin menempatkan diri sebagai pelatih untuk mendapatkan kesediaan, berbagi komitmen antar anggotaanggota organisasi demi kebutuhan peningkatan yang berkesinambungan.
•
Task Focused Transitions Gaya manajemen perubahan yang diterpakan adalah memberikan arahan (directive) dimana pemimpin perubahan berperan sebagai kapten yang mencari kepatuhan dari anggota-anggota organisasi untuk mendefinisikan ulang bagaimana suatu organisasi beroperasi dalam area-area khusus. Secara keseluruhan terjadinya perubahan didorong dari atas dan ditranslasikan oleh manajer di level bawah dengan pendekatan konsultasi pada bagian organisasi yang memerlukan perubahan.
•
Charismatic Transformation
Karyawan menerima bahwa organisasi ada di luar lingkungannya dimana memerlukan perubahan yang bersifat radikal atau revolusioner. Dimana pemimpin yang memiliki karisma bertugas membantu menciptakan identitas baru dan pergeseran paradigma dalam cara-cara organisasi menjalankan operasionalnya, pemimpin berkarisma memungkinkan untuk mendapatkan komitmen emosional dari staf sampai ke direksi baru. •
Turnaround Seorang turnaround change leaders beroperasi sebagai komandan dengan utilisasi posisi kekuasaan untuk memaksa perubahan yang diinginkan di dalam organisasi. Gaya pemaksaan diperlukan apabila hanya ada sedikit staff yang mendukung perubahan dan hanya tersedia sedikit waktu bagi perubahan organisasi.
•
Taylorism Gaya perubahan yang diasosiasikan dengan fine tuning (ketepatan) dan pendekatan patrenalistic dalam menangani perubahan.
2.5.6 Pendekatan Processual Pendekatan Processual memiliki asumsi dimana perubahan terjadi secara berbeda-beda sepanjang waktu. Beberapa tahapan yang terjadi dalam perubahan sesuai pendekatan Processual adalah (Palmer et al, 2006, pp 216-217):
•
Problem Sensing Stage Tahap ini manjadi penting di dalam lingkungan politik yang sangat tinggi karena memberikan tanda dan menyebarkan ke seluruh organisasi melalui diskusi dan pengambilan keputusan serta legitimasi dari beberapa masalah yang membutuhkan perhatian.
•
Development of Concern Proses yang melibatkan macam-macam tingkat kedudukan dalam organisasi, dimana dalam proses ini menyediakan tempat dan kesempatan untuk melawan conventional wisdom.
•
Acknowledgement And Understanding of The Importance of The Problem Pada tahap ini akan dimunculkan peran pemenang dan pentingnya untuk memungkinkan rasionalitas baru untuk bertumbuh seiring diagnosa baru terhadap masalah dan solusi.
•
A Planning And Acting Stage Pada tahap ini melibatkan arahan dan tujuan yang jelas di masa depan termasuk menempatkan manajer transisi untuk memungkinkan terjadinya transisi perubahan. Pada tahap ini juga melibatkan manajemen senior untuk membuat suatu tekanan (tension) pada organisasi antara keadaan sebelum dan keadaan yang diperlukan di masa mendatang dimana manajemen menengah perlu memanfaatkan tekanan (tension) ini untuk menciptakan momentum untuk perubahan dengan menentukan target dan sejenisnya.
•
Stabilizing Change Pada tahap ini termasuk perubahan dalam sistem organisasi seperti HRD dan juga IT dengan tujuan mendukung terjadinya perubahan. Berikut juga akan dibahas nilai-nilai praktis dalam pendekatan Processual
yang mendorong manajer untuk mendapatkan perhatian terhadap isu-isu kritis perubahan yang dihadapi daripada hanya sekedar memberikan resep manajemen perubahan saja. Sepuluh pelajaran yang berkaitan dengan nilai-nilai praktis itu dapat dilihat di bawah ini (Palmer et al, 2006, pp 217-218): •
Sederhana, resep perubahan yang linear harus dapat ditentang.
•
Strategi perubahan butuh untuk dapat beradaptasi pada reaksi dan politik yang diciptakan.
•
Perubahan
memerlukan
waktu
dan
memunculkan
perubahan
berkesinambungan. •
Asumsi-asumsi
yang
diambil
untuk
digunakan
perlu
untuk
selalu
dipertanyakan. •
Manajer perubahan perlu untuk belajar dari cerita-cerita mengenai pengalaman perubahan termasuk di dalamnya juga individu-individu dari setiap level.
•
Program pelatihan perlu berjalan selaras dengan perubahan yang diinginkan.
•
Komunikasi perlu untuk muncul dalam konteks, juga sensitif dalam bersaing dengan narasi dan proses politik.
•
Substansi dari perubahan itu sendiri harus sejalan dan melingkupi konteks internal dan eksternal.
•
Proses politik akan menjadi pusat mengenai seberapa cepat hasil perubahan akan muncul.
•
Perubahan mencakup proses yang sifatnya kontradiksi sama seperti menulis ulang masa lampau dan ekspektasi di masa depan.
2.6
Hubungan antara Visi dengan Perubahan Untuk mencapai perubahan organisasi secara sukses maka perlu untuk
didapatkan visi yang benar. Perubahan yang dilakukan haruslah sejalan dengan visi yang jelas dan juga sesuai dengan strategi bisnis beserta akivitas-aktivitas yang terkordinasi dan konsisten. Memiliki visi yang strategis dapat mengakibatkan keuntungan kompetitif (competitive advantage), meningkatkan kinerja organisasi dan mencapai pertumbuhan organisasi perusahaan yang berkesinambungan. Strategi bisnis yang kekurangan visi dapat gagal untuk mengidentifikasi kapan perubahan itu dibutuhkan, begitu juga dengan kekurangan dalam proses menyebarkan visi menjadi suatu tindakan kolektif dapat mengakibatkan kegagalan dalam menghasilkan transformasi perubahan organisasi. Suatu visi harus memiliki 3 hal untuk dapat menunjukkan nilai dari visi itu sendiri (Palmer et al, 2006, p230) yaitu content (atribut yang melekat pada visi tersebut), context (bagaimana memaksimalkan visi tersebut) dan process (pengembangan dari visi itu sendiri).
Ada perbedaan mendasar antara visi dengan misi dari suatu perusahaan dimana visi biasanya berfungsi memberi gambaran tentang masa depan perusahaan dan bersifat memberi inspirasi sedangkan misi perusahaan lebih kepada tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan mengaris bawahi apa yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan itu (Palmer et al, 2006, p236). Visi itu sendiri memiliki dua dimensi yang terdiri dari dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi eksternal adalah pandangan mengenai apa itu pasar, customer, pesaing (competitors), dinamika industri dan akibat dari makroekonomi terhadap pasar dilihat dari sudut pandang perusahaan. Sedangkan dimensi internal lebih melihat kepada nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan dalam suatu organisasi. Di bawah ini adalah macam-macam hubungan antara visi dengan perubahan (Palmer et al, 2006, pp 245-253): A. Vision Drives Change Visi dapat menjadi pendorong atau pemicu terjadinya perubahan di organisasi perusahaan. Dengan visi sebagai pendorong atau pemicu terjadinya perubahan maka diharapkan suatu perubahan dapat mempunyai dasar yang baik yaitu di dalam visi perusahaan yang pada akhirnya dapat membantu agar proses perubahan lebih dapat diterima oleh para karyawannya. B. Vision Emerges during Change Visi baru muncul setelah perubahan di organisasi perusahaan mulia dilakukan. Banyak visi dapat muncul selama perubahan dan belum ada satu visi yang benar-benar jelas sampai transformasi perubahan dalam perusahaan telah selesai dilakukan.
C. Vision Helps Change Adanya suatu visi dapat membantu organisasi dalam proses perubahan yang sedang dilakukan. Visi tersebut dapat membantu perusahaan sebagai berikut: meningkatkan performa atau kinerja perusahaan, memfasilitasi perubahan organisasi, memungkinkan adanya rencana strategis, melalui visi dapat merekrut bakat-bakat yang diperlukan dan fokus pada pembuatan keputusan. D. Vision Hinder Change Adanya suatu visi bisa menjadi penyebab tertahannya suatu perusahaan untuk berubah. Hal ini dapat terjadi apabila seorang pemimpin yang visioner atau karismatik menggunakan daya tarik emosional sebagai dasar untuk memicu perubahan tindakan dan mengabaikan perhatian-perhatian yang diperlukan pada detail operasional untuk membuat perubahan dapat bekerja dengan baik. E. Vision is an Attribute of Heroic Leaders Suatu perubahan organisasi yang strategis dapat berlangsung sukses apabila dipimpin dengan efektif dimana seorang heroic leaders tidak hanya menyemangati pengikutnya untuk berperan serta dalam perubahan dan memberi contoh perilaku serta membantu pengikutnya tetapi juga menyediakan visi bagi para pengikutnya. Aspek penyediaan visi ini dalam peran mereka sebagai pemimpin perubahan diartikan bahwa mereka sebagai pemimpin
menyediakan
kendaraan
untuk
pengikutnya
agar
dapat
mengembangkan komitmen, tujuan yang sama yang dapat diraih dan jalan untuk mencapai kesuksesan. Sehingga visi ini harus dapat dicerminkan dalam setiap tindakan sang pemimpin perubahan.
F. Vision Is An Attribute of Heroic Organizations Visi dalam hal ini mencerminkan ideologi dasar dimana visi adalah sesuatu yang tidak dapat berubah dan didefinisikan sebagai alasan suatu organisasi untuk tetap berdiri dan eksis dimana visi masa depan adalah aspirasi dari organisasi untuk terus berubah sepanjang waktu.
2.7
Competency Kompetensi adalah bekal bagi seseorang untuk menjalankan tugas pekerjaan
sehari-harinya sesuai dengan target yang diberikan oleh perusahaan. Dengan adanya kompetensi tersebut diharapkan dapat meminimalisasi hambatan dan tantangan yang mungkin dihadapi dalam setiap tugas pekerjaan yang dijalankan oleh seorang pegawai.
2.7.1 Definisi Competency Menurut Spencer dan Spencer (1991, p9), “Competency is an underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion referenced effective and/or superior performance in a job or situation”. Underlying characteristic maksudnya adalah kompetensi yang dimiliki harus sangat mendalam dan merupakan bagian dari kepribadian seseorang serta dapat digunakan untuk memprediksikan perilaku seseorang dalam variasi situasi dan tugas pekerjaan yang lebih luas.
Casually related maksudnya adalah kompetensi dapat menyebabkan atau memprediksikan perilaku dan kinerja seseorang. Criterion referenced maksudnya adalah kompetensi yang secara aktual memprediksikan siapa saja yang melakukan sesuatu dengan baik atau tidak diukur dengan kriteria spesifik atau standart.
2.7.1.1 Underlying Characteristics Kompetensi
adalah
karakteristik
seseorang
yang
ditekankan
dan
mengindikasikan cara dalam bersikap atau berpikir secara umum dalam setiap situasi dan bertahan dalam waktu yang panjang dan masuk akal. Lima tipe dari karakteristik-karakteristik kompetensi menurut Spencer dan Spencer (1991, pp 9-11) adalah: •
Motives, sesuatu yang dipikirkan atau diinginkan secara konsisten oleh seseorang yang pada akhirnya memicu suatu tindakan.
•
Traits, karakteristik-karakteristik secara fisik dan tanggapan-tanggapan secara konsisten kepada situasi atau informasi.
•
Self-Concept, adalah sikap, nilai-nilai dan gambaran diri seseorang.
•
Knowledge, informasi yang seseorang miliki dalam area-area pengetahuan yang spesifik.
•
Skill, kemampuan untuk menunjukkan keadaan fisik atau mental dari suatu pekerjaan.
2.7.1.2 Casual Relationship Motive, trait dan self-concept competencies memprediksikan tindakan perilaku yang kemudian diubah menjadi job performance outcomes dengan aliran casual flow model sebagai berikut:
Gambar 2.3 Competency Causal Model Flow Sumber: Spencer & Spencer (1991, p13)
2.7.1.3 Criterion Reference Suatu karaktristik bukan disebut sebagai suatu kompetensi apabila tidak dapat memprediksi sesuatu yang cukup berarti pada dunia nyata. Suatu karakteristik yang tidak membuat perbedaan pada suatu kinerja alah tidak termasuk kompetensi dan tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi seseorang. Kriteria yang paling sering digunakan dalam pengetahuan mengenai kompetensi antara lain (Spencer & Spencer, 1991, p13): •
Superior Performance, secara statistik didefinisikan sebagai satu standar deviasi diatas performa rata-rata.
•
Effective Performance, biasanya didefinisikan sebagai level minimal yang dapat diterima dari suatu level pekerjaan, posisi dibawah cutoff point dapat
dipertimbangkan sebagai orang yang tidak memiliki kompetensi melakukan pekerjaannya.
Suatu kompetensi dapat dibagi menjadi dua kategori bergantung pada kriteria dari kinerja pekerjaan yang sudah diprediksikan dahulu (Spencer & Spencer, 1991, p15): •
Threshold Competencies, Faktor ini adalah karakteritik mengenai suatu pengetahuan atau keahlian dasar yang mana setiap orang dalam suatu pekerjaan perlu untuk memiliki keahlian ini secara efektif tetapi tidak membedakan superior dari mereka yang memiliki performa rata-rata.
•
Differentiating Competencies, Faktor ini membedakan superior dari mereka yang memiliki performa rata-rata, contohnya orientasi keberhasilan biasanya dinyatakan lebih tinggi dari yang diminta oleh perusahaan dimana ini adalah suatu kompetensi yang akhirnya membedakan superior dari average salespeople.
2.7.2 Designing Competency Studies Dalam memulai suatu riset mengenai kompetensi suatu organisasi perlu untuk mengidentifikasi pekerjaan yang akan diteliti, biasanya adalah pekerjaan yang memiliki nilai yang tinggi berkaitan hubungannya dengan strategi perusahaan. Maka agar berhasil suatu organisasi harus dapat mengetahui jenis-jenis pekerjaan yang
bersifat kritikal sehingga ada tidaknya nilai tambah dari seseorang yang memegang jabatan tersebut dapat membuat perbedaan akan kesukesan perusahaan. Ada tiga metode yang sering dipakai dalam melakukan riset mengenai kompetensi yaitu Classic study design, Expert panel based studies dan Studies of single incumbent and future jobs (Spencer & Spencer, 1991, pp 94-113). 1) Classic Study Design Classic Study Design adalah salah satu desain yang digunakan dalam riset mengenai kompetensi terdiri atas beberapa tahap sebagai berikut (Spencer & Spencer, 1991, pp 94-106): a) Define Performance Effectiveness Criteria Langkah pertama dan yang paling penting dalam riset mengenai kompetensi adalah dengan mengidentifikasi kriteria atau ukuran yang superior atau performa yang efektif dari suatu pekerjaan yang dijadikan objek untuk riset. Suatu kriteria yang idela bisanya berupa ukuran keluaran yang berupa hard skill seperti data penjualan atau laba untuk business manager atau paten dan publikasi untuk ilmuwan atau peneliti. b) Identify a Criterion Sample Kriteria efektifitas dari suatu pekerjaan yang berhasil diidentifikasi pada Langkah pertama digunakan untuk mengidentifikasi kelompok orang superstars dengan kelompok pembanding yang berisi orang-orang dengan kinerja yang biasa-biasa saja yang pada akhirnya dapat membantu menentukan suatu kriteria. c) Collect Data
Ada enam metode pengumpulan data yang pada umumnya digunakan untuk pengembangan model kompetensi klasik yaitu: •
Behavioral Event Interviews Metode ini menggunakan metode in-depth interview baik untuk superior dan pegawai dengan kinerja yang biasa-biasa saja. Kelebihan metode ini antara lain Lebih presisi dalam melihat bagaimana suatu kompetensi diekspresikan, Bebas dari isu rasial, gender dan kebudayaan, Data yang didapat dapat digunakan untuk penilaian, pelatihan dan Career pathing. Kelemahan metode ini antara lain Menghabiskan waktu dan biaya, memerlukan orang-orang yang ahli untuk melakukan wawancara, tidak terlalu praktis untuk beberapa jenis pekerjaan.
•
Expert panels Metode ini menggunakan panel yang berisi orang-orang yang ahli untuk melakukan brainstorming karakteristik pribadi dari seorang pegawai untuk dapat digolongkan sebagai pegawai yang superior atau yang biasa-biasa saja. Kelebihan metode ini antara lain Cepat dan efisien dalam mengumpulkan data-data yang berharga, Anggotaanggota panel dapat lebih tahu mengenai konsep-konsep kompetensi, metode penilaian dan variabelnya. Kelemahan metode ini antara lain Kemungkinan salah dalam memprediksikan sesuatu kompetensi yang dianggap baik padahal sebaliknya.
•
Surveys Anggota ahli dari panel serta pegawai lainnya dalam organisasi turut memberikan penilaian mengenai butir-butir kompetensi mengenai penting tidaknya suatu kompetensi dalam membetuk suatu pekerjaan yang efektif. Kelebihan metode ini antara lain Lebih cepat dan murah dalam mengumpulkan data demi kepentingan analisa statistika. Kelemahan metode ini antara lain Data yang didapatkan terbatas hanya pada apa saja yang ditanyakan di survey dan bisa saja ada kompetensi yang terlewat untuk ditanyakan, Bisa menjadi kurang efisien apabila responden yang mengisi survey tidak relevan dengan pekerjaan yang disurvey
•
.Computer Based ”Expert” System Sistem ahli yang terkomputerisasi dapat menghasilkan kumpulan pertanyaan
berdasarkan
dasar
pengetahuan
kompetensi
yang
dikumpulkan dari riset-rsiet sebelumnya. Kelebihan meode ini antara lain Kemudahan mengaskes ratusan data dan membandingkannya dalam database, Efisiensi dan produktif karena menghasilkan pertanyaan secara cepat dan relevan. Kelemahan dalam metode ini antara lain data yang didapat sangat bergantung pada respon dari pertanyaan, tidak dapat mengidentifikasi kompetensi baru yang tidak ada di dalam database. •
Job Task / Function Analysis
Para pegawai dan peneliti mendaftar secara detail setiap tugas, fungsi atau perbuatan yang dilakukan oleh pemegang jabatan pada suatu periode tertentu. Kelebihan dari metode ini antara lain memproduksi deskripsi suatu pekerjaan dengan sangat lengkap sehingga berguna untuk desain pekerjaan, analisis kompensasi dan beberapa analisis kompetensi. Kelemahan metode ini antara lain lebih memperhatikan karakteristik
pekerjaan
dibandingkan
kepada
orangnya,
daftar
pekerjaan perlu ada dengan detail. •
Direct Observation Para pegawai secara langsung diamati dalam melakukan pekerjaan mereka yang sifatnya kritikal dan perilaku mereka dikodekan ke dalam kompetensi-kompetensi. Kelebihan metode ini antara lain cara terbaik dalam mendidentifikasi masing-masing kompetensi yang disarankan oleh anggota panel, survey atau interview. Kelemahan metode ini antara lain membutuhkan biaya yang sangat mahal dan tidak efisien.
d) Analyze Data and Develop a Competency Model Pada langkah ini data dari semua sumber dan metode dianalisa untuk mengidentifikasikan kepribadian dan kompetensi keahlian yang membedakan kinerja yang superior dengan yang biasa-biasa saja.
e) Validate the Competency Model
Model kompetensi yang didapat pada langkah keempat dapat divalidasi dengan tiga langkah yaitu: •
Pertama, peneliti mengumpulkan data dari interview dari kedua kriteria baik itu superior atau yang biasa-biasa saja lalau mereka memberikan
penilaian
pada
masing-masing
sample
untuk
kompetensinya. •
Kedua, Uji coba dapat dikembangkan untuk mengukur kompetensi yang dideskripsikan pada model kompetensi dan digunakan untuk menilai seseorang apakah masuk ke golongan superior atau yang biasa-biasa saja.
•
Ketiga, adalah cara yag paling ampuh dalam memvalidasi suatu model kompetensi
adalah
memilih
atau
melatih
seseorang
dengan
kompetensi-kompetensi dan melihat bagaimana perilaku orang ini di masa mendatang. f) Prepare Applications of the Competency Model Setelah divalidasi maka model kompetensi dapat digunakan dalam beberapa cara seperti mendesain wawancara, penilaian, career pathing, manajemen kinerja, rencana promosi, pelatihan dan pengembangan, kompensasi dan sistem informasi manajemen. 2) Expert Panel Based Studies Riset berdasarkan expert panel terdiri dari empat langkah yaitu (Spencer & Spencer, 1991, pp 108-109):
a) Convene Expert Panel Untuk setiap target pekerjaan atau lingkup pekerjaan, sumber daya manusia spesialis, manajer, dan pemegang jabatan dengan kinerja superior perlu mengidentifikasikan Key accountabilities (tugas yang penting, kewajibankewajiban dan hasil yang dihasilkan), Ukuran dari hasil Key Accountabilities untuk mengidentifikasi siapa yang memiliki kinerja superior dalam pekerjaan tersebut, Career paths, kompetensi pegawai yang diperlukan dalam melakukan pekerjaannya. b) Conduct Behavioral Event Interview (Optional) Jika diperlukan maka pemegang jabatan yang superior perlu untuk diwawancara untuk memastikan dan menyediakan contoh narasi dari kompetensi yang akan diidentifikasi oleh expert panel. c) Analyze Data and Develop a Competency Model Data yang dapat digunakan untuk menganalisa dan mengidentifikasikan tingkah laku dan kepribadian yang membedakan seseorang dari yang memiliki kinerja superior dengan yang biasa-biasa saja. d) Validate the Competency Model Suatu model kompetensi dapat dengan cepat divalidasi dengan rating atau peringkat dari sampel kriteria superior dengan yang biasa-biasa saja yang diidentifikasi di langkah ketiga. 3) Studies of Single Incumbent and Future Jobs Pendekatan yang digunakan untuk mempelajari pekerjaan masa depan (future jobs) yaitu expert panel, perbandingan antara element pekerjaan yang
diketahui dengan kompetensi yang berkorelasi, analisis dari pekerjaanpekerjaan yang sudah ada. Sedangkan kompetensi untuk sebuah pekerjaan yang sudah ada dapat ditentukan dengan mengolah data dari orang-orang yang terkait dengan pemegang jabatan pada pekerjaan tersebut.
2.7.3 Generic Competency Model: Sales People Kompetensi seorang penjual (sales people) yang superior bergantung pada panjang dan kompleksitas siklus penjualan, karakteristik perusahaan dan wilayah, produk, dan tipe customer. Karakteristik dari short, intermediate and long cycle positions dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.2 Karakteristik Short, Intermediate and Long Cycle Positions Sumber : Spencer & Spencer (1991, p172) Short Cycle Intermediate Long Cycle Most retail positions
Some retail, much
Complex sales to business
business sales Single buyer
Usually a single buyer or
Many purchasing influence
small group Personal impact only, or
Small to moderate impact
Large impact on client’s
very small business impact
on business
business
Short interactions, usually
Repeated brief interaction,
Long term, complex
one time
often a regular basis
relations; close involvement in client decision and implementation
Very many customers
Many customers
Fewer customers
Small $ per sale
Moderate $ per sale
Very large $ sale
Very frequent rejection
Varied amount of rejection
Less frequent rejection
Varied product, not
Other vendors offer
Complex technical
customized, simple
similar products; not
products; may be
installation
technically complex
customized, installed and supported
Pada sebuah model umum kompetensi, kluster kompetensi yang paling penting bagi seorang penjual adalah kluster Achievement and Action (pencapaian dan
tindakan), dan kluster Interpersonal Impact and Influence (akibat dan pengaruh). Kedua kluster ini memiliki frekuensi yang sama dan keduanya sama pentingnya untuk mencapai kesuksesan dalam menjual. Berikut adalah tabel model kompetensi umum untuk penjual. Tabel 2.3 Generic Competency Model for Sales People Sumber : Spencer & Spencer (1991, p173) Weight Competency XXXXXXXXXX
Impact and Influence Establish credibility, Adresses customer’s issues and concerns, Indirect influence, Predicts effects of own words and actions
XXXXX
Achievement Orientation Sets challenging achieveable goals, Uses time efficiently (Improves customer’s operation) (Focuses on potential profit opportunities)
XXXXX
Initiative Persists, does not give up easily, Seizes opportunities (Respond to competitive threats)
XXX
Interpersonal Understanding Understands nonverbal behavior, Understands others attitudes and meanings, Predicts others reactions
XXX
Customer Service Orientation Makes extra efforts to meet customer needs, Discover and meets customer’s underlying needs, Follow up customer contact and complaints (Becomes a trusted advisor to customers)
XXX
Self Confidence Confident in own abilities, Takes on challenge, Optimistic style
XX
Relationship Building Maintains work-related friendships, Has and uses networks of contacts
XX
Analytical Thinking Anticipates and prepares for obstacles, Thinks of several explanations or plans
XX
Conceptual Thinking Uses rules of thumbs, Notices similarities between present & past
XX
Information Seeking Gets information from many sources
XX
(Organizational Awareness) Understands functioning of client organization
Threshold
Technical Expertise Has relevant technical or product knowledge
2.7.4 Competency Based Application Kompetensi dapat dijadikan dasar dalam melakukan pemilihan pegawai demi kepentingan rekrutmen, penempatan, promosi, juga dapat digunakan untuk melakukan manajemen kinerja, rencana suksesi, pengembangan dan carrer pathing serta manajemen sumber daya manusia di masa depan.
2.7.4.1
Competency
Assesment
and
Based
Job-Person
Application Matching
for for
Selection: Recruiting,
Placement, Retention and Promotion Seleksi adalah proses mencocokkan antara orang dengan pekerjaannya baik orang dari luar organisasi (rekrutmen dan seleksi pegawai baru) atau orang dari dalam organisasi (penempatan dan promosi). Berikut ini adalah isu-isu yang perlu untuk menggunakan competency based selection (Spencer& Spencer, 1991, p240): •
Kinerja atau produktivitas yang buruk pada pekerjaan yang kritikal
•
Turnover yang tinggi atau rendahnya loyalitas
•
Rencana suksesi di masa depan
•
Waktu pembelajaran yang cukup panjang
•
Kesempatan yang sama untuk setiap kandidat
•
Perubahan dalam organisasi
•
Menetapkan kebutuhan akan pelatihan di awal Langkah-langkah yang digunakan dalam pengembangan sistem seleksi
berdasarkan kompetensi adalah sebagai berikut (Spencer& Spencer, 1991, pp 241242): 1. Mengembangkan suatu model kompetensi untuk pekerjaan yang menjadi sasaran. 2. Memilih dan mengembangkan metode untuk penilaian. 3. Melatih penilai demi kepentingan metode penilaian.
4. Melakukan penilaian terhadap kompetensi yang dimiliki oleh kandidat yang akan mengisi pekerjaan yang menjadi sasaran. 5. Membuat keputusan cocok tidaknya seorang kandidat dengan pekerjaan yang menjadi sasaran. 6. Memastikan sistem seleksi dilakukan dengan benar. 7. Mengembangkan pekerjaan berdasarakan kompetensi, pusat data orang yang menjadi kandidat dan sistem pencocokkan.
2.7.4.2 Competency Based Application for Performance Management System Sistem Manajemen Kinerja (Performance Management System) adalah suatu siklus dimana para manajer bekerja sama dengan bawahannya untuk: •
Plan Performance, Mengidentifikasikan tanggung jawab pekerjaan dan harapan serta sekumpulan tujuan untuk performance period.
•
Coach/Manage,
Menawarkan
feedback,
dukungan,
dan
bantuan
pengembangan melalui performance period. •
Appraise Performance, Secara formal mengevaluasi kinerja pada setiap akhir performance period. Kemudian suatu penilaian kinerja nantinya dapat digunakan untuk
menyediakan informasi bagi pegawai lain pada divisi lain seperti (Spencer & Spencer, 1991, p264): •
Compensation, Menetapkan pembayaran tetap atau berdasarkan kinerja.
•
Succesion
Planning,
Mengidentifikasi
kandidat
untuk
menggantikan
pemegang jabatan sebelumnya. •
Discipline, Penilaian pada masa percobaan.
•
Development, Pelatihan, tugas pekerjaan atau hubungan antara atasan dengan bawahan yang meningkatkan kompetensi pegawai.
•
Career Pathing, Perencanaan tugas pekerjaan di masa depan yang didesain untuk memberikan pegawai suatu pengalaman atau kompetensi yang spesifik.
Untuk suatu Sistem Manajemen Kinerja (Performance Management System) yang diterapakan di perusahaan pada umumnya adalah kombinasi dari planning ,management dan appraisal performance dalam suatu siklus seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.4 Generic Performance Management System (PMS) Sumber: Spencer & Spencer (1991, p265)
Setelah diketahui siklus seperti apa yang menjadi dasar penilaian kompetensi dan kinerja di suatu perusahaan mana perlu diketahui juga isu-isu seperti apa yang
perlu untuk menggunakan competency based performance management (Spencer& Spencer, 1991, p267): •
Standar kinerja suatu pekerjaan dan kriteria penilaian yang terlihat tidak seimbang atau tidak adil.
•
Penilaian kinerja dipandang oleh manajer dan pegawai sebagai sesuatu yang sifatnya paperwork dan birokratis sehingga tidak terlalu dipandang serius karena hanya mempunyai sedikit efek dalam kinerja dan pengembangan pegawai
•
Pegawai tidak melihat apa-apa yang berarti untuknya dalam Performance Management System.
•
Performance Management System hanya mempunyai sedikit efek dalam manajemen yang aktual.
•
Performance Management System tidak menggambarkan strategi perusahaan karena gagal dalam memfokuskan pada perilaku pegawai atau prioritas strategi.
•
Penilaian kinerja tidak berdampak pada keputusan untuk promosi ataupun suksesi. Langkah-langkah yang digunakan dalam pengembangan sistem seleksi
berdasarkan kompetensi adalah sebagai berikut (Spencer& Spencer, 1991, pp 268270): 1. Mengidentifikasikan kompetensi yang dibutuhkan untuk kinerja yang superior di masa sekarang atau pekerjaan di masa yang mendatang.
2. Mengembangkan model campuran pada performance management system untuk menilai hasil dari kinerja dan perilaku kompetensi yang dapat memprediksikan kinerja pegawai dalam suatu pekerjaan. 3. Melatih manajer dan pegawai( bawahan) dalam pelatihan manajemen kinerja (performance management) meliputi perjanjian antara manajer dengan pegawai
mengenai
level
kompetensi
mereka
sekarang,
pegawai
mengidentifikasikan level kompetensi yang ingin untuk dicapai dan dikembangkan untuk dapat memeuhi pencapaian kinerja pribadi mereka serta perjanjian kontrak antara manajer dengan pegawainya yang berisi tentang tindakan yang diambil manajer berkaitan dengan bantuan dan dukungan terhadap pengembangan pegawainya atau bawahannya.
2.7.4.3
Competency
Based
Application
for
Succesion
Planning Rencana suksesi (Succesion Planning) adalah sistem yang dijalankan untuk memilih pegawai yang berkompeten untuk pindah ke posisi penting atau posisi kunci di suatu perusahaan sehingga posisi itu nantinya tidak lowong atau kosong. Pencocokkan antara posisi pekerjaan dengan pegawai biasanya dilakukan antara pegawai yang sekarang dengan pekerjaan yang mereka asumsikan di masa mendatang. Tradisionalnya pekerjaan di masa mendatang memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan yang sekarang. Pada lingkungan tertentu dimana perusahaan mengalami perampingan atau perubahan yang cepat dari suatu
organiasasi, rencana suksesi digunakan untuk posisi kunci keatas, untuk sesama level atau bahkan pada posisi di bawah posisi yang dijabat oleh pegawai sekarang. Kriteria yang umumnya digunakan untuk rencana suksesi yang sukses termasuk di dalamnya (Spencer & Spencer, 1991, p276): •
Menyiapkan satu atau dua kandidat internal yang memenuhi kualifikasi dan diidentifikasikan serta diasumsikan mampu mengisi posisi pekerjaan kunci sebelum menjadi lowong.
•
Catatan mengenai promosi yang sukses atau berkaitan dengan penempatan pekerjaan.
•
Beberapa orang yang memiliki kinerja superior meninggalkan perusahaan karena kurangnya kesempatan bagi mereka. Selanjutnya perlu diketahui juga isu-isu seperti apa yang perlu untuk
menggunakan competency based succesion planning system (Spencer& Spencer, 1991, p279): •
Promosi atau hasil penempatan yang ada buruk atau tidak terlalu baik karena banyak orang yang dipromosikan atau dipindahkan dengan tanggung jawab baru akhirnya gagal atau keluar.
•
Adanya kebutuhuan untuk mengatur ulang staf teknis atau profesional menjadi tenaga marketing atau menjadi manajemen.
•
Perubahan organisasi membutuhkan pegawai dengan kompetensi yang berbeda.
•
Mergers, Akuisisi dan pengaturan kembali dari suatu organisasi perusahaan memerlukan perusahaan baru untuk memutuskan pegawai mana saja yang dibutuhkan untuk mengisi posisi pekerjaan baru. Langkah-langkah yang digunakan dalam pengembangan rencana suksesi
berdasarkan kompetensi adalah sebagai berikut (Spencer& Spencer, 1991, pp 279281): 1. Mengidentifikasikan pekerjaan-pekerjaan yang merupakan posisi penting di dalam perusahaan. 2. Mengembangkan model kompetensi untuk sasaran pekerjaan yang sifatnya kritikal dan pengisi pekerjaan tersebut. 3. Melakukan penilaian kandidat yang akan mengisi jabatan dan pemegang jabatan yang sekarang dibandingkan dengan kompeensi yang diperlukan untuk posisi pekerjaan yang menjadi sasaran. 4. Membuat keputusan mengenai pemegang jabatan yang sekarang dengan kandidat penggantinya. 5. Mengembangkan sitem informasi berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia. 6. Mengembangkan sistem pengembangan/career pathing system.
2.7.4.4 Competency Based Application for Development and Career Pathing Aktivitas-akitivitas yang berkaitan dengan pelatihan dan pengembangan berdasarkan kompetensi pada umumnya melingkupi program pelatihan formal, petunjuk sumber daya pengembangan diri sendiri, instruksi untuk diri sendiri melalu komputer dan media interaktif, penugasan, hubungan pengajaran serta struktur organisasi, proses dan kebudayaan yang pada akhirnya akan didesain untuk membentuk kompetensi diri sendiri. Kemudian akan diketahui isu-isu seperti apa yang perlu untuk menggunakan competency based training (Spencer& Spencer, 1991, p293): •
Kebutuhan yang langsung dan mendesak untuk meningkatkan kinerja pegawai.
•
Adanya keinginan untuk mengurangi waktu pembelajaran dari saat seorang pegawai baru saja masuk ke perusahaan sampai ke produktivitas optimal. Langkah-langkah yang digunakan dalam pengembangan program pelatihan
berdasarkan kompetensi adalah sebagai berikut (Spencer& Spencer, 1991, pp 294298): 1. Mengembangkan model kompetensi yang dibutuhkan. 2. Mengidentifikasikan kompetensi-kompetensi mana saja yang membutuhkan biaya yang cukup banyak jika diputuskan untuk dilatih dibandingkan dengan jika memilih orang yang sudah memiliki kompetensi itu.
3. Memilih pilihan pengembangan kompetensi yang paling efektif dari segi biaya. 4. Mengembangkan metode penilaian dan kurikulum untuk pelatihan. 5. Melatih instruktur atau pelatih saat dibutuhkan atau dapat diterapkan. 6. Melatih orang-orang yang mau belajar. 7. Melakukan evaluasi terhadap hasil yang dicapai dari pelatihan.
2.7.4.5 Competency Based Application for Human Resource Management in the Future Kebanyakan pengamat meyakini bahwa di masa depan lingkungan bisnis akan mengalami hal-hal seperti di bawah ini (Spencer & Spencer, 1991, p342) sehingga perlu adanya manajemen sumber daya yang berdasarkan kompetensi: •
Perubahan yang sangat cepat dalam teknologi dan kehidupan sosial
•
Pergeseran yang lebih jauh ke arah information economy yang membutuhkan pegawai dengan tingkat pengetahuan yang sangat tinggi.
•
Persaingan yang sangat ketat di pasar dunia.
•
Fragmentasi pasar lebih kearah specialized niche
•
Adanya keanekaragaman diantara pegawai dan customer dari segala ras, jenis kelamin, negara yang berbeda dan kebudayaan yang berbeda di seluruh dunia. Berikut ini akan dibahas komepetensi-kompetensi yang dianggap penting
untuk dimiliki oleh para eksekutif (pengambil keputusan), manajer dan pegawai dalam suatu perusahaan (Spencer & Spencer, 1991, pp 343-345):
1. Untuk Executives (pengambil keputusan) •
Strategic Thinking, Merupakan kemampuan untuk mengerti perubahan lingkungan secara cepat baik dalam trend, peluang pasar, ancaman akan persaingan, mengerti akan kekuatan dan kelemahan perusahaan mereka sendiri, dan dapat mengidentifikasikan tanggapan strategis yang optimal.
•
Change Leadership, Merupakan kemampuan untuk mengkomunikasikan vision dari strategi perusahaan sehingga membuat tanggapan yang sesuai dan masuk akal serta menjadi keinginan stakeholders, bertindak sebagai pendukung inovasi dan kemampuan berwirausaha juga kemampuan untuk dapat mengalokasikan sumber daya perusahaan secara optimal sehingga dapat mengimplementasikan perubahan secara terus menerus.
•
Relationship Management, Merupakan kemampuan untuk membangun suatu hubungan dengan jaringan lain yang lebih kompleks
yang mana hal ini
dibutuhkan bagi eksekutif perusahaan untuk dapat sukses, dapat berperan sebagai perwakilan pegawai, juga sebagai pengatur kebijakan di segala tingkatan. 2. Untuk Managers •
Flexibility, Kemauan dan kemampuan untuk merubah struktur manajerial dan proses ketika dibutuhkan untuk dapat mengimplementasikan strategi perubahan perusahaan.
•
Change Implementation, Kemampuan untuk mengkomunikasikan kebutuhan organisasi kepada para pegawai, kemampuan menangani perubahan,
berkomunikasi, melatih menjadi fasilitator proses untuk implementasi perubahan dalam suatu kelompok. •
Entrepreneurial Innovation, Motivasi untuk para juara dalam menghasilkan produk baru, jasa dan proses produksi.
•
Interpersonal Understanding, Kemampuan untuk mengerti dan menghargai perbedaan orang lain.
•
Empowering, Perilaku manajerial termasuk di dalamnya membagi informasi, partisipasi
dalam
pengembangan
mengembangakn
pegawai,
ide
pegawainya,
merencanakan
mendelegasikan
tugas-tugas
yang
berarti,
meyediakan pengajaran dan tanggapan balik ke pegawai atau bawahannya, adanya ekspresi positif kepada bawahan dan memberi penghargaan kepada peningkatan yang dilakukan oleh bawahan sehingga membuat para pegawai merasa lebih mampu dan termotivasi pada tanggung jawab yang lebih besar. •
Team Facilitation, Kemampuan yang diperlukan untuk menggabungkan orang-orang yang berbeda untuk bekerja bersama-sama agar secara efektif mencapai tujuan yang sama, menetapkan tujuan yang ingin dicapai serta pembagian tugas dengan jelas, mendorong pegawai yang hanya diam saja untuk ikut berpartisipasi dan membantu memecahkan suatu permasalahan.
•
Portability, Kemampuan untuk berdaptasi dengan cepat dan berfungsi secara efektif dengan lingkungan luar negeri atau lingkungan baru diluar perusahaan biasanya.
3. Untuk Employees •
Flexibility, Kemauan dalam melihat suatu perubahan sebagai peluang yang menarik daripada melihatnya sebagai ancaman.
•
Information-Seeking Motivation and Ability to Learn, Adanya antusiasme terhadap peluang untuk mempelajari kemampuan teknik baru dan kemampuan berhubungan dengan orang lain.
•
Achievement Motivation, Akibat dari adanya inovasi dan ”kaizen” yang adalah peningkatan berkesinambungan dalam kualitas dan produktivitas yang dibutuhkan agar sesuai dengan kompetisi yang terus meningkat.
•
Work Motivation under Time Pressure, Merupakan kombinasi dari flexibility dan achievement motivation, Adanya penanganan terhadap tekanan dan komitmen terhadap organisasi yang memungkinkan seseorang untuk bekerja dibawah tekanan peningkatan permintaan untuk menghasilkan produk atau jasa baru dengan waktu yang lebih singkat dan lain sebagainya.
•
Collaborativeness, Kemampuan bekerja sama dengan baik dengan orangorang dari berbagai disiplin ilmu, memiliki pandangan yang positif, adanya saling pengertian dengan orang lain, memiliki komitmen terhadap organisasi
•
Customer Service Orientation, Adanya pengertian dan pemahaman yang cukup untuk mau mendengar kebutuhan customer dan memiliki inisiatif yang cukup untuk melewati segala tantangan di dalam perusahaan dalam rangka memecahkan masalah dari customer.