BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang Anak Tunagrahita a. Pengertian Anak Tunagrahita
Tunagrahita sendiri berasal dari kata tuna dan grahita. Dalam bahasa jawa lebih dikenal dengan tuno yang artinya rugi dan nggrahito yang artinya berpikir. Maka dari itu istilah tunagrahita bisa diartikan kurangnya daya pikir pada seseorang. Istilah tunagrahita ini resmi digunakan sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Luar Biasa No. 72 tahun 1991. Di masyarakat umum, istilah tunagrahita masih awam untuk dimengerti, banyak dari mereka masih menyebutkan dengan istilah anak idiot, anak berkemampuan rendah, anak lemah ingatan, anak bodoh, dan masih banyak lagi walaupun sebenarnya istilah yang mereka gunakan salah. Menurut kepustakaan bahasa asing sendiri tunagrahita lebih sering disebut dengan istilah-istilah mental retardation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective, mental disorder, amentia, dan oligophrenia. Terlepas dari perbedaan istilah tersebut, di sini akan peneliti kemukakan beberapa pendapat tentang pengertian anak tunagrahita yang kurang lebih sedikit mewakili sebutan salah satu anak berkebutuhan khusus ini dengan tepat. Beberapa pendapat diatas memberi batasan pengertian tentang anak tunagrahita. Menurut Munzayanah (2000: 13), “Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami gangguan dalam perkembangan, dalam daya pikir serta seluruh kepribadiannya, sehingga mereka tidak mampu hidup dengan kekuatan sendiri di dalam masyarakat meskipun dengan cara hidup yang sederhana”. Hal tersebut didukung oleh Amin (1995: 34) yang menyatakan bahwa, “Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dalam fungsi kecerdasan, sosial, emosi, kepribadian, dan fungsi lain sehingga
9
10
anak tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya”. Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Rahardja (2005: 52) yang mengatakan tunagrahita adalah kelainan yang ditandai dengan adanya keterbatasan yang signifikan dalam aspek fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang diekpresikan dalam bentuk konseptual sosial dan praktek keterampilan adaptif. Menurut Grossman anak tunagrahita adalah anak yang memilki kecerdasan intelektual (IQ) secara signifikan berada di bawah rata-rata (Normal) yang disertai dengan ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan semua ini berlangsung pada masa perkembangan (Somantri, 2007:103). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah anak dengan intelektual dibawah rata rata, yang berdampak pada rendahnya kemampuan berpikir, lemahnya daya ingat, terhambatnya fungsi kognitif, kurangnya kemampuan bersosialisasi, dan sulit mengendalikan emosi sehingga memerlukan pendidikan yang khusus. b. Karakteristik Anak Tunagrahita Amin
(1995:
37)
menyebutkan
bahwa
karakteristik
anak
tunagrahita menurut tingkat ketunagrahitaannya adalah sebagai berikut: 1) Karakteristik anak tunagrahita ringan Anak tunagrahita ringan banyak yang lancar berbicara tetapi kurang perbendaharaan kata-katanya, mengalami kesukaran berpikir abstrak tetapi masih mampu mengikuti kegiatan akademik dalam batas-batas tertentu. Pada umur 16 tahun, anak tunagrahita ringan baru mencapai umur kecerdasan yang sama dengan anak umur 12 tahun. 2) Karakteristik anak tungrahita sedang Anak tunagrahita sedang hampir bisa mempelajari pelajaran pelajaran akademik. Mereka umumnya dilatih untuk merawat diri dan aktivitas sehari-hari. Pada umur dewasa, mereka baru umur 7 tahun.
11
3) Karakteristik anak tungrahita berat dan sangat berat Anak tunagrahita berat dan sangat berat sepanjang hidupnya selalu bergantung pada pertolongan dan bantuan orang lain. Mereka tidak dapat memelihara diri, tidak dapat membedakan bahaya atau tidak, kurang dapat bercakap-cakap. Kecerdasannya hanya dapat berkembang paling tinggi seperti anak normal berusia 3 atau 4 tahun. Karakteristik
anak
tunagrahita
yang
dikemukakan
oleh
Munzayanah (2000: 22) adalah sebagai berikut. 1) Anak Idiot a) Mereka tidak dapat bercakap-cakap karena kemampuan berpikir rendah. b) Tidak mampu mengerjakan atau mengurus dirinya sendiri meskipum diberi latihan. c) Hidupnya seperti bayi yang selalu membutuhkan perawatan dan pertolongan. d) Kadang-kadang tingkah lakunya dikuasai oleh gerakan yang berlangsung diluar kesadarannya jadi bersifat otomatis. e) Jarang mencapai umur panjang karena adanya proses kemunduran organ-organ di dalam tubuhnya (deteriorisasi). 2) Anak Imbisil a) Dapat menggunakan kata-kata yang sederhana b) Dapat dilatih untuk merawat diri sendiri c) Dapat dilatih untuk aktivitas hidup sehari-hari d) Masih membutuhkan pengawasan orang lain e) Sulit mengadakan sosialisasi 3) Anak Debil atau Moron a) Dapat dilatih untuk bermacam-macam tugas yang lebih tinggi atau komplek. b) Dapat dilatih dalam bidang sosial atau intelektual dalam batasbatas tertentu, misalnya membaca, menulis, dan menghitung.
12
c) Dapat dilatih untuk pekerjaan-pekerjaan rutin maupun ketrampilan. d) Anak mongolism atau mongoloid e) Letak matanya miring dan biasa berjarak antara dua mata lebih jauh dibandingkan dengan anak normal, serta mata sipit. f) Muka datar, bundar, dan lebar. g) Bibir tebal dan lebar. h) Lidah panjang dan lebar sampai biasanya menjulur keluar. i) Hidung pesek dan pangkal hidung melebar. Tengkorak dari muka sampai dengan belakang kepala pendek. j) Leher belakang pendek. k) Kelima jari tangan pendek dan membengkak, jari pertama (ibu jari) tertanam lebih rendah dan ada juga garis lurus di telapak tangan di bawah jari kedua sampai kelima. Astati (2001: 3) mengelompokkan karakteristik anak tunagrahita ringan menjadi 4 sudut pandang, antara lain: 1) Karakteristik Fisik Penyandang tunagrahita ringan menunjukkan keadaan tubuh yang baik namun bila tidak mendapatkan latihan yang baik kemungkinan akan mengakibatkan postur fisik terlihat kurang serasi. 2) Karakteristik Bicara Dalam berbicara anak tunagrahita ringan menunjukkan kelancaran, hanya saja dalam perbendaharaan katanya terbatas, anak tunagrahita juga mengalami kesulitan dalam menarik kesimpulan mengenai isi dari pembicaraan. 3) Karakteristik Kecerdasan Kecerdasan anak tunagrahita ringan paling tinggi sama dengan anak normal berusia 12 tahun. 4) Karakteritik Pekerjaan Penyandang tunagrahita ringan dapat melakukan pekerjaan yang sifatnya semu skilled atas pekerjaan tertentu yang dapat dijadikan bekal bagi hidupnya.
13
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum anak tunagrahita memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Kondisi fisik anak tunagrahita umumnya tidak jauh berbeda dengan orang normal pada umunya, hanya pada anak tunagrahita tertentu yang fisiknya berbeda. 2) Kondisi intelegensi tunagrahita berada di bawah anak normal, Mental Age berada dibawah usia yang seharusnya. 3) Kemampuan sosialisasi anak tunagrahita sedikit terganggu. 4) Anak tunagrahita masih dapat diajarkan membaca, menulis, berhitung secara sederhana sesuai dengan tingkat kemampuannya. c. Klasifikasi Anak Tunagrahita Somatri dalam buku Psikologi Anak Luar Biasa dijelaskan bahwa kemampuan intelegensi anak tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler (WISC). Dan klasifikasi anak tunagrahita dibagi menjadi tiga yaitu: 1) Tunagrahita ringan memiliki IQ 68-52 menurut Skala Binet dan 69-55 menurut Skala Weschler (WISC). 2) Tunagrahita sedang memiliki IQ 51-36 menurut Skala Binet dan 54-50 menurut Skala Weschler (WISC). 3) Tunagrahita berat memiliki IQ 32-90 menurut Skala Binet dan 39-25 menurut Skala Weschler (WISC). Klasifikasi anak tunagrahita berdasarkan tipe-tipe klinis/fisik (Mumpuniarti, 2007: 11), sebagai berikut: 1) Down syndrome (mongolisme) karena kerusakan khromozon. 2) Krettin (cebol) ada gangguan hiporoid. 3) Hydrocephal karena cairan otak yang berlebihan. 4) Micdocephal karena kekurangan gizi dan faktor radiasi, karena penyakit pada tengkorak, brohicephal (kepala besar) Menurut Kanner (Mumpuniarti, 2007: 13) berdasarkan pandangan masyarakat:
14
1) Tunagrahita absolut (sedang) Yaitu jelas nampak ketunagrahitaannya yang dipandang dari semua lapisan masyarakat 2) Tunagrahita Relatif (ringan) Yaitu dalam masyarakat tertentu dipandang tunagrahita, tetapi ditempat yang lain tidak dipandang tunagrahita 3) Tunagrahita Semu (debil) Yaitu anak yang menunjukkan penampilan sebagai penyandang tunagrahita tetapi sesungguhnya mempunyai kemampuan normal. Beberapa pengelompokan di atas dibuat sebagai upaya untuk memudahkan guru dalam membuat program dan melaksanakan layanan pendidikan
luar
biasa
secara
pengklasifikasian
yang
telah
efektif
dan
dikemukakan
efisien.
Berdasarkan
sebelumnya,
peneliti
menyimpulkan bahwa tunagrahita dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, tergantung dari sudut pandangnya. Sejalan dengan penelitian yang peneliti lakukan, peneliti membatasi pengklasifikasian tunagrahita berdasarkan pada kemampuan dalam menerima pendidikan atau kemapuan dalam menerima pelajaran, yakni: 1) Anak tunagrahita (mampu didik) IQ 68-52 (debil), yaitu dapat dididik
dalam bidang akademik, mampu menyesuaikan sosial dalam lingungan yang lebih luas, dapat mandiri, mampu melakukan pekerjaan sosial sederhana. 2) Anak tunagrahita sedang (mampu latih) IQ 51-36 (Embicil), yaitu
dapat mengurus dirinya sendiri mampu melakukan pekerjaan yang perlu pengawasan di tempat terlindungi dapat berkomunikasi dan beradaptasi di lingkungan terdekat. 3) Anak tunagrahita berat (mampu rawat) IQ 0-35 (Idiot), yaitu sepanjang
hidupnya tergantung pada bantuan yang perawatan orang lain. d. Penyebab Anak Tunagrahita Pengetahuan tentang penyebab retardasi mental atau tunagrahita dapat digunakan sebagai landasan dalam melakukan usaha-usaha
15
preventif. Menurut Suranto & Soedarini (2002: 4-5), beberapa hasil dari penelitian bahwa tunagrahita dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu: 1) Genetik a) Kerusakan/kelainan bio kimiawi b) Abnormal kromosomal 2) Sebab-sebab pada masa pre natal a) Infeksi rehella (cacar) b) Faktor rhesus 3) Penyebab Natal a) Luka saat kelahiran b) Sesak nafas c) Prematuritas 4) Penyebab pos natal a) Infeksi b) Enceoholitis c) Mol Nutrisi/Kekurangan nutrisi. 5) Penyebab sosial kultur Menurut Apriyanto dalam buku “Seluk Beluk Tunagrahita dan Setrategi Pembelajaranya” (2012:40) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor seseorang menjadi tunagrahita yaitu: 1) Faktor Keturunan Penyebab kelainan yang berkaitan dengan dengan faktor keturunan, meliputi hal-hal berikut: a) Kelainan Kromosom Dilihat dari nomornya, kelainan kromosom dapat terjadi pada kromosom-kromosom yang tergolong autosom dan yang tergolong gonosom. Di antara anak yang menjadi tunagrahita karena factor-faktor kelainan kromosom adalah: (1) Kelainan terletak pada autosom Akibat kelainan pada autosom tidak sama, tergantung pada autosom yang mana terdapat kelainan. Antara lain:
16
(a) Patau’s Syndrome (b) Langdon Down’s Syndrome (2) Kelainan terletak pada gonosom Akibat dari kelainan gonosom juga tidak sama, diantaranya yang terkenal adalah: (a) Kinefelter’s Syndrome (b) Turner’s Syndrome (c) Kelainan Gene b) Gangguan Metabolisme Gizi Kegagalan dalam metabolisme dan kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan akan gizi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fisik maupun mental pada individu. Di antara gejalagejala yang nampak seperti: kejang-kejang syaraf serta kelainan tingkah laku, tengkorak kepala besar, telapak tangan lebar dan pendek, leher yang pendek, lidah besar dan menonjol, persendian kaku, ketidaknormalan dalam tinggi badan, kerangka tubuh tidak proporsional dan sebagainya. c) Infeksi dan Keracunan Infeksi dan keracunan ini tidak langsung, tapi lewat penyakit-penyakit yang dialami ibunya, penyakit-penyakit tersebut antara lain: (1) Rubella (2) Syphilis Bawaan (3) Syndrome Gravidity Beracun d) Trauma dan Zat Radioaktif Ketunagrahitaan dapat juga disebabkan karena terjadinya trauma pada beberapa bagian tubuh khususnya pada otak ketika bayi dilahirkan dan terkena radiasi zat radioaktif selama hamil. (1) Trauma Otak Truma otak yang terjadi pada saat dilahirkan biasannya disebabkan karena kelahiran yang sulit sehingga memerlukan
17
alat bantu (tang). (2) Zat Radioaktif Ketidaktepatan penyinaran atau radiasi sinar X selama bayi
dalam
kandungan
mengakibatkan
tunagrahita
microcephaly. Janin yang terkena zat radioaktif pada usia tiga sampai enam minggu pertama kehamilan sering menyebabkan kelainan pada berbagai organ. e) Masalah pada Kelahiran Kelahiran dapat juga disebabkan oleh masalah-masalah yang terjadi pada waktu kelahiran (perinatal), misalnya kelahiran yang disertai hypoxia dapat dipastikan bahwa bayi yang dilahirkan menderita kerusakan otak, menderita kejang, nafas yang pendek. Kerusakan otak pada masa perinatal dapat disebabkan oleh truma mekanis terutama pada kelahiran yang sulit. f) Faktor Lingkungan (Sosial Budaya) Bermacam-macam pengalaman negatif atau kegagalan dalam
melakukan
interaksi
yang
terjadi
selama
periode
perkembangan menjadi salah satu penyebab ketunagrahitaan. Anak tunagrahita banyak ditemukan pada daerah yang memiliki tingkat sosial ekonomi rendah, hal ini disebabkan ketidakmampuan lingkungan memberikan stimulus yang diperlukan selama masamasa perkembangannya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebab-sebab tunagrahita adalah: pada masa prenatal kekurangan vitamin, gangguan psikologis sang ibu, gangguan kelainan pada janin misalnya pada masa natal proses kelahiran tidak sempurna, pada masa pos natal anak tunagrahita dapat disebabkan pada waktu kecil pernah sakit secara terus menerus. Selain itu, faktor keturunan juga dapat berpengaruh, gangguan metabolisme dan gizi, infeksi dan keracunan. Beberapa juga disebabkan oleh predisposisi genetik terhadap gens atau faktor ekologis atau lingkungan, dan waktu terjadinya pemaparan, misalnya janin terpapar virus rubella sewaktu berusia trimester pertama maka
18
kecacatan dapat berat. 2. Tinjauan tentang Hasil Belajar Matematika Operasi Penjumlahan dan Pengurangan a. Pengertian Hasil Belajar Matematika Hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh individu setelah proses belajar berlangsung, yang dapat memberikan perubahan tingkah laku baik pengetahuan, pemahaman, sikap dan keterampilan siswa sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dimyati dan Mudjiono (2002: 150-151) menjelaskan bahwa hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran. Hamalik (2006: 30) menegaskan bahwa hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Dalam buku “Proses Belajar Mengajar” (Hamalik, 2006) Benyamin S. Bloom menyebutkan tiga hasil belajar, yaitu: 1) Ranah Kognitif Ranah
kognitif
berkaitan
dengan
hasil
berupa
pengetahuan,
kemempuan dan kemahiran intelektual. 2) Ranah Afektif Hasil pembelajaran ini berhubungan dengan perasaan, sikap, minat dan nilai. 3) Ranah Psikomotorik Hasil
pembelajaran
ranah
psikomotorik
menunjukkan
adanya
kemampuan fisik seperti kemampuan motorik dan syaraf. Dari ketiga kemampuan ini dijadikan dasar sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa untuk selanjutnya dijadikan sebagai dasar
19
dalam menempuh pembelajaran selanjutnya. Berdasarkan pengertian di atas, peneliti berpendapat bahwa hasil belajar merupakan perubahan perilaku, tingkah laku, sifat, maupun sikap yang terjadi setelah mengikuti proses belajar mengajar. Hasil belajar bertujuan untuk melihat kemajuan siswa dalam hal penguasaan materi yang telah dipelajari. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika merupakan sebuah proses akhir belajar siswa setelah memahami dan menguasai sebuah pengetahuan atau ilmu matematika. Oleh karena itu, di dalam proses pembelajaran matematika seorang guru harus menciptakan suasana lingkungan yang memungkinkan bagi siswa untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran yang baik. Pengetahuan atau ilmu dapat dipahami oleh siswa. Hasil belajar matematika adalah untuk membekali siswa pada pembelajaran matematika dalam kompetensi tertentu. b. Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar seseorang terutama dalam pelajaran matematika tergantung kepada seberapa besar dan seberapa banyak faktor tersebut mempengaruhi anak. Tidak semua faktor mempunyai pengaruh yang sama besar. Ada yang perannya sangat penting dan ada yang kecil saja pengaruhnya.Secara umum dapat dikatakan bahwa agar belajar berhasil baik, faktor-faktor belajar perlu dikerahkan sebanyakbanyaknya dan sejauh mungkin. Faktor
yang
dapat
mempengaruhi
hasil
belajar
dapat
diklasifikasikan dengan beberapa macam cara, klasifiksasi tersebut tidak terpisah secara mutlak dengan yang lainnya. Menurut Munadi dalam buku karangan Rusman (2012:124), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar antara lain meliputi faktor internal dan faktor eksternal: 1) Faktor intern a) Faktor Fisiologis. Secara umum kondisi fisiologis, seperti kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan cacat
20
jasmani dan sebagainya. Hal tersebut dapat mempengaruhi peserta didik dalam menerima materi pelajaran. b) Faktor Psikologis. Setiap indivudu dalam hal ini peserta didik pada dasarnya memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, tentunya hal ini turut mempengaruhi hasil belajarnya. Beberapa faktor psikologis meliputi intelegensi (IQ), perhatian, minat, bakat, motif, motivasi, kognitif dan daya nalar peserta didik. 2) Faktor ekstern a) Faktor Lingkungan. Faktor lingkungan dapat mempengurhi hasil belajar. Faktor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan alam misalnya suhu, kelembaban dan lain-lain. Belajar pada tengah hari di ruangan yang kurang akan sirkulasi udara akan sangat berpengaruh dan akan sangat berbeda pada pembelajaran pada pagi hari yang kondisinya masih segar dan dengan ruangan yang cukup untuk bernafas lega. b) Faktor Instrumental. Faktor-faktor instrumental adalah faktor yang keberadaan dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk tercapainya tujuan-tujuan belajar yang direncanakan. Faktor-faktor instrumental ini berupa kurikulum, sarana dan guru. Hasil belajar sebagai salah satu indikator pencapaian tujuan pembelajaran di kelas tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar itu sendiri. Sugihartono, dkk. (2007: 76 - 77), menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar, sebagai berikut: 1) Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar. Faktor internal meliputi: faktor jasmaniah dan faktor psikologis.
21
2) Faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu. Faktor eksternal meliputi: faktor keluarga, faktor sekolah, dan factor masyarakat. Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan, maka hasil belajar itu dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan, namun secara umum dapat diklasifikasikan menjadi faktor dari dalam diri individu dan dari luar individu yang belajar. c. Pengertian Pembelajaran Matematika Belajar
menurut
Gagne
(Abdul
Majid,
2008:
69)
dapat
didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman. Belajar pada hakekatnya adalah suatu aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku pada diri individu yang sedang belajar (Depdiknas, 2004: 14). Dari konsep belajar muncul istilah pembelajaran, Degeng mengartikan pembelajaran sebagai upaya membelajarkan siswa (Made Wena, 2009:3). Gagne dan Briggs (Depdiknas, 2004:14) mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu rangkaian kondisi, peristiwa, kejadian, dan sebagainya
yang secara sengaja dirancang
untuk
mempengaruhi
pembelajar, sehingga proses belajarnya dapat berlangsung mudah. Pembelajaran matematika sendiri yang lebih spesifik dari pembelajaran secara umum yang dikemukakan oleh Aisyah (2007: 14) adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan (kelas/sekolah) yang memungkinkan kegiatan siswa belajar matematika di sekolah. Menurut Bruner dalam Aisyah (2007: 215) pembelajaran matematika adalah pembelajaran mengenai konsep-konsep dan struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika. Berdasarkan pengertian di atas peneliti berpendapat bahwa pembelajaran matematika anak tunagrahita ringan dimaksudkan terjadi perubahan dalam pengetahuan, ketrampilan, sikap, tingkah laku setelah
22
mengikuti proses pembelajaran. Perubahan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah anak mampu menyelesaikan penjumlahan dengan konsep yang betul. d. Fungsi dan Tujuan Pembelajaran Matematika Dalam dunia pendidikan matematika berfungsi sebagai alat pemecah masalah melalui pola pikir model matematika, dan merupakan alat komunikasi melalui simbol, grafik atau diagram serta model matematika. Menurut Murniati (2007: 6) menyatakan bahwa ”Matematika bagi
Sekolah
Dasar
berguna
untuk
kepentingan
hidup
dalam
lingkungannya, untuk mengembangkan pola pikirnya, dan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemudian”. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kelas 2 Tahun 2007, fungsi matematika adalah untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerja sama. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk SDLB Tunagrahita ringan menyatakan bahwa mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut : 1) Memiliki konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasikan konsep secara tepat dalam pemecahan masalah. 2) Menggunakan penalaran pada pola atau sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti dan menjelaskan gagasan dalam pernyataan matematika. 3) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, pengertian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. 4) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 5) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan dan masalah.
23
Tujuan mata pelajaran matematika di SD menurut kurikulum (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP) SD/MI 2007 adalah mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model Matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Maka dari itu, peneliti menarik kesimpulan dari pembelajaran matematika diatas secara umum mempunyai tujuan sebagai berikut : 1) Membimbing dan memupuk sikap teliti cermat, tekun dan sistimatika. 2) Melatih kerja dengan tenang, sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. 3) Mendidik anak menjadi anak cerdas, tangkas dan trampil. 4) Membimbing
murid-murid
agar
kelak
kemudian
hari
dalam
menghadapi persoalan-persoalan dapat berpikir secara sistimatis, analitis, bebas dan aktif. e. Pembelajaran Matematika Anak Tunagrahita Ringan Banyak yang menganggap dibandingkan dengan pelajaran yang lain matematika adalah pelajaran yang terlalu rumit untuk diajarkan
24
terhadap anak berkebutuhan khusus terutama anak tunagrahita karena sangat menuntut siswa untuk berpikir secara abstrak. Namun dibalik kerumitan tersebut, sangat besar manfaat pembelajaran matematika ini. Menurut Mulyono Abdurrahman (1999: 219) menyebutkan bahwa alasan siswa belajar matematika yaitu : 1) Selalu digunakan dalam segi kehidupan 2) Semua bidang studi memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai 3) Merupakan sarana komunikasi yang kuat, ringkas dan padat 4) Dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara 5) Meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian dan keruangan 6) Memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang Berdasarkan pendapat yang dikemukakan diatas, sangat terlihat jelas bahwa alasan siswa tunagrahita belajar matematika adalah selalu digunakan dalam segala kehidupan dan dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian dan keruangan. Dalam suatu pembelajaran pasti terdapat dasar-dasar atau pondasi utama yang harus dipelajari sebelum mempelajari materi lebih lanjut. Dasar pembelajaran matematika bagi anak yang mengalami hambatan mental ringan maupun hambatan mental sedang, menurut Wehman & Laughlin (Mumpuniarti, 2007: 121) dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Menghitung
merupakan
keterampilan
hubungan
kuantitas
dan
keanekaragaman pengoperasiann. 2) Pembelajaran bilangan (number). Anak tunagrahita harus belajar untuk bidang yang ada hubungannya dengan angka kardinal (satu, dua, atautiga bola), angka ordinal (dalam urutan kesatu, kedua, ketiga), dan angka rasional (setengahnya, sepertiganya, seperempatnya). Konsep pembelajaran tersebut memerlukan tentang konsep kuantias dan kontinun. 3) Pengangkaan (numeration). Anak tunagrahita agar memiliki konsep angka perlu belajar
25
tentang hubungan pasangan antara belajar verbal terkait dengan simbol yang dikatakan secara verbal. 4) Hubungan (relation). Hubungan melibatkan korespondensi dua atau lebih tentang susunan. Keterampilan khusus ini termasuk konsep sama dan ketidaksamaan, penempatan (di tengah, di belakang, di muka) dan perbandingan
(rasio).
Semua
keterampilan
ini
membutuhkan
pembelajaran konsep dan penamaannya dapat menggunakan bantuan benda kongkrit dan gambar permainan. 5) Pengukuran (measurement). Pengukuran
termasuk
penggunaan
bilangan
untuk
mendiskripsikan obyek dan hubungan tentang waktu, uang, temperatur, cairan, berat dan unit-unit secara garis lurus (linier). 6) Pengoperasian bilangan cacah (operation with whole numbers). Termasuk dalam keterampilan ini menghitung, menambah, mengurang, mengalikan dan membagi. 7) Pengoperasian bilangan rasional (operation with rasional numbers). 8) Pemecahan masalah (problem solving). Keterampilan
ini
melibatkan
penggunaan
hitung
untuk
menjelaskan hal-hal yang belum diketahui dalam situasi praktis seharihari. Delapan bidang hitung untuk siswa tunagrahita tersebut diberikan dengan mempertimbangkan taraf perkembangan kemampuan yang telah dicapai, serta usia mental tunagrahita yang bersangkutan. Berdasarkan prinsip-prinsip yang telah diuraikan di atas, untuk operasi hitung dalam penjumlahan dan pengurangan untuk anak tunagrahita ringan menurut pendapat peneliti lebih ke prinsip need for multiple presentation yaitu penyampaian pembelajaran dalam operasi penjumlahan dan pengurangan dalam bentuk pendek sederhana dibantu dengan menggunakan media timbangan bilangan Selain prinsip, dalam proses pembelajaran dibutuhkan strategi untuk memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan.
26
Dalam dunia pendidikan, dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang di desain untuk mencapai tujuan pendidikan seperti
yang diharapkan. Strategi pembelajaran matematika bagi
tunagrahita menurut Wehman & Laughlin (Mumpuniarti, 2007: 250) berpedoman pada prinsip-prinsip, antara lain: 1) Intraindividual and interindividual variations, maksudnya setiap siswa bervariasi dalam kemajuan antar siswa lainnya, demikian juga setiap siswa itu sendiri memiliki tingkat kemajuan yang berbeda-beda pula. 2) Need
for
Multiple
Presentations,
bahwa
dalam
penyajian
membutuhkan berbagai cara. Cara itu baik dalam setting maupun peraganya. 3) Variety of procedure, bahwa dalam penyajian perlu pengulangan, saat diulang perlu menggunakan variasi procedure tetapi tidak semata-mata diulang. .Berdasarkan dasar-dasar pembelajaran matematika yang telah diuraikan di atas, untuk operasi hitung dalam penjumlahan dan pengurangan untuk anak tunagrahita sudah jelas tercantum pada nomor 1. Kemampuan menghitung ini merupakan dasar atau pondasi yang utama dari kemampuan belajar matematika yang lain. Maka dari itu peneliti memilih variabel kemampuan menjumlahkan dan mengurangkan karena sangat berguna nantinya untuk anak tunagrahita. f. Materi Pelajaran Matematika Anak Tunagrahita Ringan Setiap pelajaran matematika pasti memiliki manfaatnya masingmasing. Materi matematika berhitung sangat berguna dalam kehidupan sehari masih dan dapat dijangkau untuk anak tunagrahita. Ada dua alasan pentingnya keterampilan berhitung, yaitu: kemampuan yang berharga untuk menentukan jawaban yang benar dalam tugas-tugas pemecahan masalah dan membantu seseorang untuk menentukan jawaban rasional dalam situasi kehidupan sehari-hari.
27
Untuk mencapai kompetensi, siswa perlu mempelajari fakta-fakta baru dan pengoperasiaanya, atau berkembang secara berkelanjutan dalam bidang-bidang operasi hitung. Pembelajaran pada bidang tersebut meliputi: keterampilam
pra-hitung,
kemampuan
menambah,
mengurangi,
mengalikan dan membagi. 1) Keterampilan Pra-Hitung Ketrampilan pra-hitung adalah proses kemampuan dari siswa untuk kesiapan belajar berhitung. Kemapuan itu harus dilatihkan sebelumnya untuk mampu belajar berhitung sesungguhnya. Kesiapan belajar ditunjukkan oleh kemampuan anak mulai menghitung tanpa makna, dan hal itu melalui berlatih menghubungkan angka dengan suatu susunan objek tetentu, akhirnya siswa mampu mengenal makna angkaangka yang berbeda dan menulisnya 2) Operasi Penjumlahan Maksud dari konsep menjumlah adalah salah satu operasi hitung untuk mengkombinasikan
kuantitas.
Penjumlahan
meliputi
istilah
pengoperasiannya, sifat-sifatnya dan kombinasinya. 3) Operasi Pengurangan Pengurangan merupakan operasi hitung untuk mendapatkan perbedaan di antara kuantitas. Operasi pengurangan kebalikan dari penjumlahan. 4) Operasi Perkalian Perkalian merupakan pengoperasian bagi kombinasi ukuran kuantitas yang sepadan (equal). 5) Operasi Pembagian Pembagian adalah operasi hitung dengan memisah-misahkan secara sepadan (equal) dari suatu kuantitas. Cara ini kebalikan dari opeasi hitung perkalian. 6) Operasi Hitung dengan Angka / Bilangan Rasional Bilangan rasional yang merupakan hasil bilangan bulat dari bilangan asli. Bilangan bulat = pembilang Bilangan asli = penyebut
28
7) Pemecahan Masalah(Problem Solving) dengan Operasi Hitung Pemecahan masalah dalam kehidupan praktis memerlukan pemecahan secara prinsip matematika, khususnya bagi tunagrahita terkait penggunaan operasi hitung untuk pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. Penggunaan keterampilan matematika untuk kehidupan sehari-hari menurut Polloway & Patton (1993: 323) disebut dengan Life Skill Mathematics yang diperlukan untuk dukungan kehidupan di masa dewasa, dalam Mumpuniarti, (2007 : 125-139). Apalagi untuk anak tunagrahita, penggunaan ketrampilan matematika ini juga dapat digunkan untuk sarana bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Ruang lingkup mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan Sekolah Dasar Luar Biasa Tunagrahita Ringan (SDLB-C) seperti yang tercantum dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) Bilangan, (2) Geometri dan pengukuran, (3) Pengolahan data. Ruang lingkup ini cukup sederhana dan dirasa mampu untuk anak anak dengan intelegensi di bawah anak normal. Dilihat dari dua pendapat tersebut materi matematika mencakup beberapa aspek. Menurut peneliti materi materi tersebut cukup memberatkan siswa berintelegensi rendah seperti tunagrahita, maka peneliti menyimpulkan materi matematika yang terpenting untuk anak tunagrahita adalah berhitung dasar, untuk materi yang lainnya bisa disesuaikan dengan kemampuan siswa masing-masing. g. Matematika Operasi Hitung Penjumlahan Kata “penjumlahan” mengandung dua buah kata kunci, yakni penjumlahan dan jumlah. Kata “penjumlahan” menunjuk makna suatu proses, sedangkan kata “jumlah” menunjuk kata hasil. Maksud dari konsep menjumlah adalah salah satu operasi hitung untuk mengkombinasikan kuantitas atau jumlah. Penjumlahan meliputi istilah pengoperasiannya, sifat-sifatnya dan kombinasinya. Menurut Karim, (1996: 185) penjumlahan bilangan bulat
29
mempunyai beberapa sifat, yaitu: 1) Sifat Tertutup Jika a dan b bilangan bulat, maka a + b juga bilangan bulat. 2) Sifat Pertukaran Jika a dan b bilangan bulat, maka a + b = b + a. 3) Sifat Pengelompokan Jika a, b, dan c bilangan bulat maka (a + b) + c = a + (b + c). 4) Sifat adanya unsur identitas Ada bilangan bulat 0 yang bersifat a + 0 = 0 + a = a untuk semuabilangan bulat a. 5) Sifat adanya invers penjumlahan Untuk setiap bilangan bulat a, ada bilangan bulat b sehingga a + b = b + a = 0. 6) Sifat Ketertambatan Jika a, b, c bilangan-bilangan bulat, dan a = b, maka a + c = b + c. 7) Sifat Kanselasi Jika a, b, c bilangan-bilangan bulat, dan a + c = b + c, maka a = b. Menurut Mumpuniarti (2007: 126-127) di dalam pembelajaran matematika pada penjumlahan bagi hambatan mental ringan meliputi: 1) Penjumlahan Kombinasi Dasar Penjumlahan kombinasi dasar adalah variasi yang melibatkan jumlah 0 sampai 9. Dalam kegiatan ini siswa dapat menghitung berbagai variasi melalui jembatan atau pengelompokkan. 2) Penjumlahan Tahap Lebih Tinggi Tahapan ini meliputi kombinasi dasar dalam salah satu nilai tempat terdiri dari satuan, puluhan, dua puluhan. Jembatan diperlukan jika pada satuan jumlahnya lebih dari sepuluh dengan cara menyimpan untuk ditempatkan pada nilai tempat yang lebih tinggi. 3) Penjumlahan Dengan Aneka Digit Pada tahap ini dengan angka bermacam-macam yang ditambahkan, diantaranya 1 digit, 2 digit dan 3 digit. Berbagai prinsip (prosedur
30
sistematis untuk pemecahan masalah matematis) dan masalah yang perlu pengelompokkan kembali (regrouping), atau menyimpan puluhan, ratusan dan seterusnya diperlukan pada tahap aneka digit dalam penambahan. 4) Penjumlahan Dengan Kolom Penambahan dengan kolom melibatkan dua atau lebih proses penjumlahan. Penambahan kolom tunggal meliputi kombinasi dasar, penambahan tahap lebih tinggi, dan penjembatan. Dari banyak jenis operasi hitung penjumlahan diatas hanya beberapa jenis operasi penjumlahan yang dapat diajarkan anak tunagrahita karena keterbatasannya dalam berpikir. Peneliti lebih memilih untuk meneliti penjumlahan sederhana, yaitu hanya terdiri dari 1-2 digit angka saja. h. Matematika Operasi Hitung Pengurangan Pengurangan merupakan operasi hitung untuk mendapatkan perbedaan di antara kuantitas. Operasi pengurangan merupakan kebalikan dari penjumlahan. Pengurangan tidak memenuhi sifat pertukaran, sifat identitas, dan sifat pengelompokan (Sukayati, 2011:24). Menurut Idlesson (2011: 26) pada sembarang bilangan bulat a, b, dan c berlaku sifat-sifat pengurangan : 1) Mengurangkan dengan suatu bilangan sama artinya menambahkan dengan lawan pengurangnya. Contoh : a – b = a + (-b) . (-b) adalah lawan dari b. 2) Tertutup; (a – b) Є bilangan bulat. Operasi pengurangan dalam bilangan bulat sering disebut sebagai pengurangan bilangan bulat saja. Bentuk-bentuk operasi pengurangan bilangan bulat mencakup: (1) bilangan bulat positif dikurangi bilangan bulat positif, (2) bilangn bulat positif dikurangi bilangan bulat negatif, (3) bilangan bulat negatif dikurangi bilangan bulat positif, (4) bilangan bulat negatif dikurangi bilangan bulat negatif.
31
Dari banyak jenis operasi hitung penjumlahan diatas hanya beberapa jenis operasi pengurangan yang dapat diajarkan anak tunagrahita karena keterbatasannya dalam berpikir. Peneliti lebih memilih untuk meneliti pengurangan sederhana, yaitu hanya pada penjumlahan bulat negatif dikurangi penjumlahan bulat negatif saja. 3. Tinjauan tentang Media Pembelajaran Timbangan Bilangan a. Pengertian Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. “Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan”, (Sadiman, 2008: 6). Banyak batasan yang diberikan orang tentang media. Asosiasi Teknologidan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and Communication Technology / AECT) dalam Sadiman, (2008: 6) di negara Amerika membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi. Di bagian lain Gagne menyatakan (Sadiman, 2008: 6) media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association/ NEA) dalam Sadiman (2008: 7) memiliki pengertian yang berbeda tentang media. Media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audiovisual serta peralatannya. Di bagian lain Sadiman (2008) memiliki pendapat sendiri, yaitu: “Media hendaknya dapat dimanipulasi, dapat dilihat, dapat didengar dan dibaca. Apapun batasan yang diberikan, ada persamaan di antara batasan tersebut yaitu bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.” Dengan media yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan siswa maka akan diperoleh gambaran yang lebih jelas dalam
32
proses belajarnya terutama untuk anak-anak yang masih sekolah di tingkat dasar pendidikan luar biasa. Hal tersebut karena pada dasarnya anak belajar melalui tahapan yang kongkrit. Untuk memahami konsep abstrak anak memerlukan benda-benda kongkrit sebagai perantara atau visualisasi konsep abstrak dicapai melalui tingkat-tingkat belajar yang berbeda-beda. Bahkan orang dewasa yang umumnya sudah dapat memahami konsep abstrak dalam keadaan tertentu sering memerlukan visualisasi. b. Manfaat Media Pembelajaran
Media pembelajaran sangat berperan penting dalam suatu pembelajaran yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar yang dicapainya. Manfaat media pengajaran dalam proses belajar siswa yaitu: 1). Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar; 2). Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pengajaran; 3). Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi guru mengajar untuk setiap jam pelajaran; 4). Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktifitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain-lain (Sudjana & Rivai, 2002: 2). Derak Rowntrie (dalam Sumantri dan Permana, 2001: 154-155) menyebutkan fungsi media pendidikan atau pengajaran, adalah (1) Engange the students motivation (membangkitkan motivasi belajar). (2) Recall earlier learning (mengulang apa yang telah di pelajari). (3) Provide new learning stimul (menyediakan stimulus belajar). (4) Active the students response (mengaktifkan respon peserdik). (5) Give Speedy feedback (memberikan balikan dengan cepat). (6) Encaurage approviate practice (menggalakkan latihan yang serasi).
33
Penelitian yang memiliki variabel bebas yang serupa dengan yang peneliti lakukan yaitu penelitian oleh Sri Hartati (2009) yang berjudul “Media Pembelajaran Permainan Kartu Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Bagi Anak Tunagrahita D1 / C SLB / B-C YPAALB Langenharjo Tahun Ajaran 2008/2009”. Penelitian ini berkesimpulan bahwa dengan adanya penggunaan media pembelajaran matematika maka materi pelajaran akan lebih menarik perhatian dan media pembelajaran ini pun sudah terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar anak. Dengan demikian, kesimpulan dari beberapa pendapat diatas tentang peranan alat peraga adalah bahwa alat peraga dapat membuat pendidikan lebih efektif, dapat disesuaikan dengan keadaan siswa sehingga belajar berlangsung lebih menyenangkan disamping itu dapat membantu siswa mengingat pelajaran untuk waktu yang lebih lama. c. Klasifikasi Media Pembelajaran Sadiman (2009:9) mengelompokkan atau mengklafisikan media berdasarkan kesamaan ciri atau karakteristiknya. Basuki dan Mukti (2001: 35) menambahkan apapun bentuk dan tujuan pengklasifikasian media dapat
memperjelas
kegunaan
dan
karakteristik
media,
sehingga
memudahkan kita memilih nantinya. Bertz (dalam Sadiman, 2009:20) pengklasifikasian jenis media, diantaranya: media audio, media visual, dan media audio visual. 1) Media Audio Media audio adalah jenis media yang berisi suara saja sehingga untuk dapat memanfaatkannya sebagai media dalam pembelajaran guru harus dapat memperhatikan mengenai aspek kemampuan menyimak yang dimiliki oleh siswa. Basuki dan Mukti (2001: 35) menambahkan “media audio menambahkan pesan yang disampaikan dalam
lambang-lambang
auditif
verbal,
nonverbal
maupun
kombinasinya yang berkaitan erat dengan indera pendengaran”. Contoh media audio: radio, telepon, tape recorder, piringan audio dan lain-lain.
34
2) Media Visual Media visual adalah jenis media yang dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi visual yang berkaitan erat dengan indera penglihatan. Simbol-simbol tersebut perlu dipahami benar artinya agar proses penyampaiannya dapat berhasil secara maksimal. (Sadiman, 2009: 28). Contoh media visual adalah gambar, foto, diagram, bagan, grafik, sketsa, poster, peta dan lain-lain. Penggunaan media harus dipilih secara sistematis, agar dapat digunakan secara efisien. Ada tiga langkah pokok dalam prosedur penggunaan media pengajaran yang perlu diikuti, yaitu : (1) persiapan sebelum menggunakan media, (2) pelaksanaan (penyajian, penerima), (3) tindak lanjut, tercapai atau tidaknya tujuan yang ditetapkan. Kelebihan penggunaan
media visual
antara
lain:
(1)
mengatasi keterbatasan ruang dan waktu karena semua benda, objek atau peristiwa tidak dapat dibawa ke kelas, (2) merangsang dan mengembangkan kemampuan imajinasi terhadap hal-hal yang sedang disajikan, (3) meningkatkan keaktifan dan kretivitas guru untuk dapat menyampaikan materi dalam bentuk gambar. Kelemahan penggunaan media visual, antara lain : (1) ukurannya terbatas untuk kelompok yang besar, (2) ketersediaan sumber dan ketrampilan, serta kejelian guru untuk dapat memanfaaatkannya. 3) Media Audio Visual Media audio visual adalah jenis media yang menggabungkan unsur suara dan gambar. Penggunaan media audio visual akan lebih baik, apabila menggunakan unsur gambar gerak. Sebagaimana pendapat Basuki Wibawa (2001: 67) Dari ketiga jenis media diatas sudah jelas timbangan bilangan merupakan media visual yang dapat digunakan secara langsung oleh siswa untuk memperjelas suatu materi.
35
d. Kriteria Pemilihan Media Pembelajaran Media pembelajaran yang
beraneka ragam jenisnya
tentunya
tidak akan digunakan seluruhnya secara serentak dalam kegiatan pembelajaran, namun hanya beberapa saja. Untuk itu perlu di lakukan pemilihan media tersebut. Agar pemilihan media pembelajaran tersebut tepat, maka perlu dipertimbangkan faktor/kriteria-kriteria dan langkahlangkah pemilihan media. Heinich dan kawan-kawan dalam Arsyad Azhar (1997: 67–69), mengajukan model perencanaan penggunaan media yang efektif yang dikenal dengan istilah ASSURE. Analyze learner characteristics (menganalisis karakteristik umum kelompok sasaran), State objective (menyatakan atau merumuskan tujuan pembelajaran), Select or modify media (memilih, memodifikasi, atau merancang dan mengembangkan materi dan media yang tepat), Utilize (menggunakan materi dan media), Require learner response (meminta tanggapan dari siswa) and Evaluate (mengevaluasi proses belajar). Kriteria umum dalam pemilihan media pembelajaran adalah ketepatan tujuan pembelajarannya, artinya dalam menentukan media yang akan digunakan pertimbangannya bahwa media tersebut harus dapat memenuhi memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan yang diinginkan (Sundayana, 2014:17) Pada tingkat yang menyeluruh dan umum pula Azhar Arsyad (1997: 69-71) berpendapat pemilihan media dapat dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut: 1) Hambatan pengembangan dan pembelajaran yang meliputi factorfaktor dana, fasilitas dan peralatan yang tersedia, waktu yang tersedia dan sumber-sumber yang tersedia. 2) Persyaratan isi, tugas dan jenis pembelajaran. Isi pembelajaran beragam dari sisi tugas yang ingin dilakukan. Setiap kategori pembelajaran menuntut perilaku yang berbeda-beda dan dengan demikian akan memerlukan teknik dan media penyajian yang berbeda
36
pula. 3) Hambatan dari sisi siswa dengan mempertimbangkan kemampuan dan ketrampilan awal, seperti membaca, mengetik, menggunakan komputer dan karakterisistik siswa lainnya. 4) Pertimbangan lainnya adalah tingkat kesenangan (preferensi lembaga, guru dan pelajar) dan keefektifan biaya. Jadi dari paparan beberapa pendapat diatas disimpulkan bahwa terdapat beberapa kriteria dalam memilih media pembelajaran yang harus diperhatikan oleh pendidik. Yang terpenting dalam kriteria pemilihan media yaitu
kesesuaian antara kebutuhan, tujuan dan media yang
digunakan, serta harus disesuaikan pula dengan kondisi subjek yang akan menggunakan media tersebut. Untuk itu pemilihan dan penggunaan suatu media pembelajaran hendaknya melibatkan tenaga yang mampu, terampil, dan profesional untuk memanfaatkannya disetiap lembaga pendidikan. Dengan harapan bahwa penggunaan media akan mempercepat dan mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran. e. Pengertian Timbangan Bilangan Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prabawanto yang berjudul “Pembelajaran Matematika Untuk Siswa Kelas Kelas Awal Sekolah Dasar: Dari Matematika Informal ke Matematika Formal”, timbangan atau neraca bilangan ini hanya merupakan sebuah jembatan, sebuah alat bantu yang kongret yang dikenalkan guru untuk membantu siswa dalam memahami gagasan formal, karena para siswa belum dapat mengkonstruksi gagasan formal itu secara spontan. Jembatan ini membantu siswa mengaitkan gagasan formal dan simbol dengan pengetahuan informal yang telah dikenal siswa secara baik. Timbangan bilangan ini juga disebut sebagai suatu obyek manipulatif yang kongret (concrete manipulative object) karena merupakan suatu obyek real dan anak dapat melakukan eksplorasinya. Timbangan bilangan adalah suatu alat atau media matematika yang berbentuk seperti timbangan yang didalamnya terdapat anak timbangan
37
sebagai pengontrol dan deretan angka sebagai bilangan yang ingin di ukur dan
digunakan
untuk
menjelaskan
serta
memperagakan
konsep
perhitungan operasi penjumlahan dan pengurangan perkalian dan pembagian pada bilangan Asli (Sumardi, 2010) Dalam buku Young Children Learning Mathematics (1995: 319) Cruikshank, Fitzgerald dan Jensen mengemukakan bahwa: The beam balance is a wooden or plastic beam, approximately 80cm, balanced on a central axis or fulcrum. Each side of the beam is divided into equal units that are numbered one through ten from the center out to the end of the side. At each unit, a peg is attached to the beam allowing masses to the hung under each numeral. A set of uniform masses or approximately 10 grams each is provided. Dari pendapat diatas dikemukakan bahwa timbangan bilangan adalah balok kayu atau plastik yang memiliki panjang sekitar 80cm, dimana seimbang pada sumbu pusat atau titik tumpu. Setiap sisi balok dibagi menjadi unit-unit yang sama dan diberi nomor satu sampai sepuluh dari pusat ke ujung sisi . Pada setiap unit , pasak melekat pada balok yang memungkinkan massa untuk menggantung di bawah setiap angka . Satu set massa atau sekitar 10 gram masing-masing disediakan.
Gambar 2.1 Timbangan Bilangan
Semakin berkembangnya jaman semakin bervariasi pula bentuk dari timbangan bilangan ini. Timbangan bilangan yang digunakan peneliti
38
memiliki prinsip yang sama dengan timbangan bilangan yang telah dikemukakan sebelumnya, hanya saja terdapat perbedaan pada anakan timbangan bilangan yang digunakan sebagai beban. Anakan timbangan bilangan yang peneliti gunakan berbentuk kail dan mengait ke bawah. Walaupun begitu kedua bentuk timbangan ini memiliki cara kerja, prinsip dan fungsi yang sama. Timbangan bilangan yang peneliti buat kurang lebih seperti berikut:
Gambar 2.2 Timbangan bilangan
e. Fungsi Timbangan Bilangan Menurut
Cruikshank,
Fitzgerald
dan
Jensen
(1995:
319)
keseimbangan adalah model yang sangat baik dari sebuah persamaan atau ketidaksetaraan dapat digunakan untuk menunjukkan setiap operasi aritmatika dan jelas menggambarkan asosiatif komutatif, dan sifat distributif serta sifat timbal balik dari penjumlahan dan pengurangan atau perkalian dan pembagian. Pernyataan tersebut didukung oleh Marks, Hiatt, dan Neufel (1988: 311), mereka menemukan bahwa dalam timbangan bilangan“=” berarti seimbang sehingga timbangan bilangan ini dapat digunakan untuk
39
mengecek ketidaksamaan, dan memecahkan secara eksperimental persamaan seperti 2n + 3=5. Menurut Prabawanto yang melihat dari pandangan pendidikan matematika, tidak ada hasil yang akan diperoleh dari penggunaan timbangan atau neraca bilangan kecuali jika neraca ini dapat membantu siswa memahami pengertian ekuivalensi (ekuivalen, lebih besar, dan lebih kecil).
Neraca bilangan ini juga membantu dalam mengeksplorasi
kemampuannya karena obyek manipulative yang kongkret dan real. Penelitian yang dilakukan oleh Sumardi (2010) dengan judul “Penggunaan Media Timbangan Bilangan dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Operasi Perkalian dan Pembagian”. Mungkin apabila dilihat sekilas memang hampir sama namun apabila ditelusuri lebih jauh penelitian yang dilakukan Sumardi ini merupakan penelitian PTK. Subyek yang diberi perlakuan pun juga pada siswa sekolah umum, yaitu pada siswa kelas II SD Negeri Pringanom 3 Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen. Walaupun media yang digunakan sama namun variabel terikat pada penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Pada penelitian Sumardi (2010) menunjukkan bahwa media timbangan bilangan memiliki manfaat untuk memudahkan siswa dalam memahami konsep pembelajaran, dan dapat berpengaruh terhadap afektif, psikomotor dan motorik siswa. Dilihat dari pembelajaran matematika khususnya untuk anak tunagrahita peneliti memiliki kesimpulan bahwa timbangan bilangan memiliki beberapa fungsi antara lain: 1) Memperagakan perhitungan operasi penjumlahan. 2) Memperagakan perhitungan opersai pengurangan. 3) Memperagakan perhitungan operasi perkalian 4) Memperagakan perhitungan operasi pembagian pada bilangan asli. 5) Memperagakan persamaan suatu bilangan 6) Melatih motorik halus anak.
40
7) Selain itu timbangan bilangan ini juga dapat digunakan untuk mengukur beban suatu benda tetapi dengan ukuran benda yang kecil atau tidak terlalu berat. f. Langkah-Langkah Menggunakan Timbangan Bilangan Supaya media pembelajaran itu efektif maka pemanfaatan dan penggunaan media itu harus direncanakan dan dirancang secara sistematik. Apapun media yang dipilih, guru harus mampu menggunakan media tersebut. Nilai dan manfaat media pembelajaran sangat ditentukan oleh bagaimana keterampilan guru menggunakan media pembelajaran tersebut. Keterampilan penggunaan media pembelajaran ini juga nantinya dapat diturunkan kepada siswa sehingga siswa juga mampu terampil menggunakan media pembelajaran yang dipilih. Begitu pula dengan penggunaan media timbangan bilangan ini. Banyak yang merasa masih asing dengan media ini, berikut langkah langkah penggunaan media timbangan bilangan dalam buku Media dan Alat Peraga dalam Pembelajaran Matematika (Sundayana, 2014: 74): 1) Timbangan Bilangan untuk penjumlahan Misal, 3 + 5 = ….. a) Gantungkan sebuah anak timbangan di angka 3 pada lengan sebelah kiri. b) Gantungkan lagi sebuah anak timbangan di angka 5 pada lengan sebelah kiri. c) Untuk menunjukkan hasil penjumlahan 3 + 5, dapat dicoba menggantungkan sebuah anak timbangan pada lengan sebelah kanan sampai kedua lengan timbangan setimbang. Ternyata setelah anak timbangan digantungkan diangka 8 pada lengan sebelah kanan, maka timbangan akan setimbang. Sehingga kesim-pulannya 3 + 5 = 8.
41
Gambar 2.3 Contoh Pemakaian Timbangan Angka untuk Penjumlahan
2) Timbangan Bilangan untuk Pengurangan Misal, 9 – 3 =…… a) Untuk menunjukkan
hasil
pengurangan 9 – 3, dapat dicoba
dengan menggantungkan sebuah anak timbangan di angka 9 pada lengan sebelah kanan. b) Selanjutnya gantungkan sebuah anak timbangan di angka 3 pada lengan sebelah kiri. c) Lalu dengan mencoba-coba, gantungkan sebuah anak timbangan pada lengan sebelah kiri sampai kedua lengan timbanga setimbang. Ternyata setelah anak timbangan digantungkan di angka 6 pada lengan sebelah kiri, maka timbangan akan setimbang. Kesimpulan : 9–3=6
42
Gambar 2.4 Contoh Pemakaian Timbangan Angka untuk Pengurangan
B. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir merupakan sintesis tentang hubungan antara variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah
dideskripsikan. Berdasarkan
teori-teori yang telah dideskripsikan itu selanjutnya dianalisis secara kritis dan sistematis sehingga menghasilkan sintesis tentang hubungan antar variabel yang diteliti. Anak tunagrahita mempunyai tingkat intelegensi di bawah rata-rata, sehingga anak hanya mampu diberi pelajaran membaca, menulis dan berhitung secara sederhana. Dengan pembelajaran matematika praktis, anak dapat membangun hubungan antara operasi sederhana dengan yang lebih komplek. Pada prinsipnya kemampuan operasi penjumlahan dan pengurangan anak tunagrahita ringan sangat terbatas, karena anak mengalami kesulitan untuk berpikir abstrak. Sesuai dengan kondisi dan kemampuan anak tunagrahita ringan yang mengalami hambatan dalam perkembangan mental, maka mereka mempunyai keterbatasan yang sangat kompleks, terutama dalam hal berpikir, sehingga di dalam pembelajaran matematika yang meliputi penjumlahan bilanganpun mengalami kesulitan. Pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh siswa dan guru dengan berbagai fasilitas dan materi untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Kondisi awal siswa kelas IIIC SLB Negeri Karanganyar tahun
43
ajaran 2015/2016 tergolong pasif dan kurang berminat dalam mengikuti pembelajaran matematika salah satunya adalah kemampuan dalam menghitung penjumlahan dan pengurangan. Hal ini karena guru lebih banyak berfungsi sebagai instruktur yang sangat aktif dan siswa sebagai penerima pengetahuan yang pasif. Pembelajaran lebih banyak ceramah, menghafal tanpa memberi kesempatan siswa berlatih berpikir memecahkan masalah dan mengaitkannya dengan pengalaman empiris dalam kehidupan nyata, selain itu guru kurang menggunakan media pengajaran, penyajian materi kurang menarik, dan membosankan sehingga pembelajaran kurang bermakna yang mengakibatkan kemampuan menghitung penjumlahan dan pengurangan pada siswa rendah. Pelaksanaan pembelajaran matematika anak tunagrahita ringan seharusnya sangat perlu mendapatkan perhatian. Dalam penyampaian pelajaran harus menarik, mudah diterima anak, serta yang menyenangkan dan melibatkan siswa dalam interaksi belajar mengajar. Penggunaan media dalam pembelajaran sangat berpengaruh dalam keberhasilan proses belajar mengajar, selain memudahkan dalam penyampaian pesan kepada siswa juga memudahkan guru dalam memberikan materi pelajaran, sehingga ia dapat menerima apa yang disampaikan guru dengan baik. Dengan menggunakan media timbangan bilangan akan mendorong siswa untuk mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, mereka dalam status apa, dan bagaimana mencapainya, sehingga yang mereka pelajari melekat dalam ingatan untuk meningkatkan hasil belajar menghitung penjumlahan dan pengurangan. Kelebihan lain dari media timbangan bilangan yaitu media tersebut lebih menekankan pada hal yang konkrit, sehingga anak lebih mudah memahami dan menguasai isi materi pelajaran. Selain itu, anak tidak cepat bosan karena pelaksanaan pembelajaran dibuat seperti suasana bermain. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dengan optimalisasi penerapan media timbangan bilangan diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa pada operasi hitung penjumlahan dan pengurangan. Hal ini akan terlihat jika proses pembelajaran dengan timbangan bilangan berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa untuk bekerja dan mengalami apa yang
44
dipelajari bukan hanya mengetahui. Skema Pelaksanaan Penelitian Pembelajaran Matematika operasi penjumlahan dan pengurangan kelas IIIC di SLBN Karanganyar
Guru tidak menggunakan media timbangan bilangan dalam proses pembelajaran
Hasil belajar Matematika operasi penjumlahan dan pengurangan siswa masih rendah
Penggunaan media timbangan bilangan dalam proses pembelajaran
Hasil belajar Matematika operasi penjumlahan dan pengurangan siswa meningkat
Gambar 2.5 Kerangka Berpikir Penelitian
C. Rumusan Hipotesis Hipotesis berasal dari 2 penggalan kata yaitu “hypo” yang berarti di bawah dan “thesa” yang berarti kebenaran (Arikunto, 2010: 110). Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui
45
pengumpulan data (Sugiyono, 2013: 96). Menurut Purwanto dan Sulistyastuti (2007: 137), hipotesis adalah pernyataan atau dugaan yang bersifat sementara terhadap suatu masalah penelitian yang kebenarannya masih lemah (belum tentu kebenarannya) sehingga harus diuji secara empiris. Sejalan dengan pendapat Prof. Dr. S. Nasution definisi hipotesis ialah “pernyataan tentative yang merupakan dugaan mengenai apa saja yang sedang kita amati dalam usaha untuk memahaminya” (Nasution: 2000). Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan, penelitian ini diharapkan dapat membawa perubahan kearah perbaikan dan peningkatan
kualitas
pembelajaran
dengan
meningkatkan
hasil
belajar
penjumlahan dan pengurangan bilangan pada siswa kelas IIIC di SLB Negeri Karanganyar. Sehingga dapat diajukan sebuah hipotesis tindakan sebagai berikut: “Penggunaan Media timbangan bilangan berpengaruh untuk meningkatkan hasil belajar matematika operasi penjumlahan dan pengurangan pada siswa tunagrahita ringan kelas III C SLB Negeri Karanganyar tahun ajaran 2015/2016.”