3
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Roket Roket merupakan wahana luar angkasa, peluru kendali atau kendaraan terbang yang mendapatkan dorongan melalui reaksi kimia bahan bakar (propellant) dalam ruang bakar dan mesin (nosel) roket.Aksi dari keluaran dalam ruang bakar dan nosel tersebut, mampu membuat gas mengalir dengan kecepatan tinggi sehingga menimbulkan dorongan reaktif yang besar untuk roket (hukum Newton ke3)(http://id.wikipedia.org/wiki/Roket, diakses Februari 2011). Bahan bakar roket ada dua macam, yaitu bahan bakar padat (solid propellant) dan bahan bakar cair (liquid propellant).
2.2 Bahan Bakar Padat (Solid Propellant) Terdapat banyak macam bahan bakar padat yang digunakan untuk roket.Mulai dari yang berdaya dorong lemah sampai tinggi.Seperti contohnya campuran potassium perchlorat, sulfur dan karbon.Ada juga barium nitrat, sulfur dan charcoal.Selain itu ada juga black powder atau sering diistilahkan bubuk mesiu dan masih banyak lagi. Pada penelitian ini akan digunakan bubuk mesiukarena lebih mudah dicari bahan – bahan penyusunnya.Selain itu bubuk mesiu juga memiliki daya dorong yang cukup tinggi. Bahan – bahan kimia yang dipakai antara lain : a. Kalium Nitrat atau Potassium Nitrat (KNO3). b. Belerang (S). c. Karbon (C). Seluruh bahan – bahan tersebut ditumbuk hingga halus kemudian dicampur dengan perbandingan yang tepat serta ditambahkan zat perekat namun dalam jumlah yang sangat kecil (secukupnya). Semakin halus bahan – bahan yang digunakan, maka akan semakin baik pembakarannya.
4
2.3 Tekanan Stagnasi Tekanan stagnasi (Po) adalah tekanan yang terjadi dimana kecepatan fluida sama dengan nol (v = 0). Untuk mendapatkan nilai Po maka perlu diketahui nilai massa jenis (ρo), tetapan gas (Ro) dan temperatur pembakaran (To) dari bahan bakar (propellant) yang dipakai (dalam hal ini yang dimaksud yaitu solid propellant). Jika nilai dari ρo, Ro dan To telah diketahui, maka nilai dari Po pada propellant didapat dengan menggunakan persamaan berikut (Cengel, 2006) :
Po ρo . R o . To ……………………………………………………………. (2.1)
dimana : Po : Tekanan stagnasi bahan bakar (Pa). ρo : Massa jenis bahan bakar (kg/m³). Ro : Tetapan gas bahan bakar (J/kg.K). To : Temperatur pembakaran bahan bakar (K).
2.4 Tekanan Ruang Bakar Tekanan ruang bakar (Pc) adalah tekanan yang terjadi akibat pembakaran bahan bakar (propellant) dalam ruang bakar yang menimbulkan dorongan yang reaktif sehingga dapat digunakan untuk menggerakan roket. Adapun persamaannya adalah
sebagai
berikut
(http://www.nakka-rocketry.net/design1.html,
diakses
Oktober 2011):
1
a 1n Pc Kn . . ρo . c * …………………………………………...... (2.2) 1000000
Kn
Ab ..…………………………………………………………………. (2.3) At
5
k o 1
c*
R . To k o 1 k o 1 …...………………………………………...... (2.4) . Mr . ko 2
dimana : Pc : Tekanan ruang bakar (MPa). Kn : Rasio Klemmung a
: Laju pembakaran propellant (mm/s).
ρo : Massa jenis propellant (gr/cm³). c * : Karakteristik kecepatan gas dari propellant (m/s).
n : Eksponen laju pembakaran propellant. Ab : Luasan pembakaran (mm2). At : Luasan throat nosel (mm2). R : Tetapan gas universal = 8,314 J/mol.K. To : Temperatur pembakaran propellant (K). Mr : Berat molekul produk (propellant) (kg/kmol). ko : Rasio panas spesifikpropellant.
2.5 Rasio Panas SpesifikPropellant Rasio panas spesifik propellant(ko) merupakan perbandingan antara panas spesifik tekanan atur (Cp) dan panas spesifik volume atur (Cv) (Shames, 2003).
ko
ko
Cp Cv
………………………………………………………………….... (2.5)
Cp Cp - R o
…..…………………………………………………………... (2.6)
dimana : ko : Rasio panas spesifik propellant. Cp : Panas spesifik tekanan atur (J/kg.K). Cv : Panas spesifik volume atur (J/kg.K). Ro : Tetapan gas propellant (J/kg.K).
6
Nilai kodalam persamaan gas ideal didapat dengan menerapkan persamaan seperti di bawah ini (nilai panas spesifik konstan) (Anderson, 2007) :
Po To Pa Ta
k o k -1 o
………………………………………………………......... (2.7)
dimana : Po : Tekanan stagnasi propellant (Pa). Pa : Tekanan atmosfer = 101325 Pa pada temperatur 293 K. To : Temperatur bahan bakar (K). Ta : Temperatur atmosfer = 293 K pada tekanan 101325 Pa. ko : Rasio panas spesifik propellant.
2.6 Bilangan Mach Bilangan Mach (M) merupakan perbandingan dari kecepatan fluida atau benda pada fluida (v) dengan kecepatan suara (c) pada fluida yang sama. Persamaan dari bilangan Mach adalah sebagai berikut (Anderson, 2007):
M
v ……………………………………………………………………... (2.8) c
dimana : M : Bilangan Mach. v : Kecepatan fluida atau benda (m/s). c
: Kecepatan suara pada suatu fluida (untuk di udara = 343,2 m/s).
2.7 Bilangan Mach Karakteristik Propellant Bilangan Mach karakteristik propellant (Mpropellant) merupakan perbandingan kecepatan aliran propellant terhadap kecepatan suara. Adapun persamaannya adalah sebagai berikut (Cengel, 2006) :
7
k o
Po k o - 1 k o - 1 1 . M propellant2 Pa 2 …………………………………………... (2.9)
dimana : Po
: Tekanan stagnasi propellant (Pa).
Pa
: Tekanan atmosfer = 101325 Pa pada temperatur 293 K.
ko
: Rasio panas spesifik propellant.
Mpropellant : Bilangan Mach karakteristik propellant.
2.8 De Laval Nozzles Dalam perancangan ini, nosel roket terdiri dari dua bagian yaitu bagian converging dan diverging atau biasa disebut converging-diverging nozzles (De Laval Nozzles) seperti terlihat pada gambar berikut :
Gambar 2.1 : Converging-Diverging Nozzles (De Laval Nozzles).
Tujuan dari bentuk seperti ini adalah untuk mendapatkan kecepatan aliran fluida yang tinggi (aliran supersonic) pada bagian exit. Fluida yang mengalir dari bagian converging(aliran subsonic) akan mengalami penurunan tekanan sampai mencapai tekanan kritis. Tekanan kritis ini terjadi pada bagian yang memiliki luasan terkecil atau disebut bagian throat, dimana pada bagian ini bilangan Machsama dengan 1 (aliran transonic). Setelah melewati bagian ini, fluida akan mengalami peningkatan kecepatan seiring dengan bertambahnya luasan (bagian diverging) (Anderson, 2007). Kecepatan fluida akan terus meningkat diikuti dengan penurunan
8
tekanan, dimana kecepatan maksimal akan dicapai bila tekanan exit (pada bagian diverging) sama dengan tekanan atmosfer (Pe = Patm).
2.9 Luasan Bidang Bakar Untuk menjaga kestabilan tekanan ruang bakar, sangat penting untuk mengendalikan rasio Klemmung (Kn), dimana rasio Kn merupakan perbandingan antara luasan bidang bakar (Ab) dengan luasan throat (At) nosel. Luasan bidang bakar (Ab) adalah luasan pada bahan bakar dimana terjadi pembakaran. Dalam perancangan ini akan digunakan tipe bahan bakar (propellant) dengan bentuk unrestricted hollow cylindrical. Adapun bentuk dari propellant tersebut adalah sebagai berikut:
Gambar 2.2 : Bentuk Bahan Bakar (Propellant), Unrestricted Hollow Cylindrical.
Luasan bidang bakarmaksimum (Ab
max)
yang dapat diaplikasikan untuk
menghasilkan gaya dorong (tidak meledak) didapat dengan menerapkan persamaan berikut (http://www.nakka-rocketry.net/design1.html, diakses Oktober 2011):
A b max
1 . π . D 2 d 2 π . L . D d …………...……………………….. (2.10) 2
sedangkan,
At
1 2 . π . d t ……………………………………………………………... (2.11) 4
9
dimana : Ab max : Luasan bidang bakar maksimum (mm2). D
: Diameter ruang bakar (mm).
d
: Diameter inti propellant (mm).
L
: Panjang propellant (mm).
At
: Luasan throat nosel (mm2).
dt
: diameter throat nosel (mm).
2.10 Half-angle Half-angle adalah sudut yang terbentuk berdasarkan nilai dari bilangan Mach karakteristik propellant dan perbandingan kecepatan fluida saat fluida yang mengalir mengalami normal shock. Pada bagian converging, half-angle dinotasikan dengan θ, sedangkan pada bagian diverging dan nose roket, half-angle dinotasikan dengan μ, terlihat seperti gambar berikut :
Gambar 2.3 :Half-angle Bagian Noseldan Nose.
Hafl-angle tersebut didapat dengan menerapkan persamaan berikut (Cengel, 2006):
1 ……………………………………………………… (2.12) μ sin -1 . M propellant
v v θ tan -1 . n1 - tan -1 . n2 …………………………………………….. (2.13) v n2 v n1
dimana :
10
v n1 v n2
v1 ……………………………………………………………..….. (2.14) v2
(k o 1) . M propellant v1 ………….……………………………………. (2.15) v 2 2 (k o - 1) . M propellant2 2
keterangan : µ
: Half-angle bagian divergingdan nose roket (˚).
θ
: Half-angle bagian converging (˚).
Mpropellant : Bilangan Mach karakteristik propellant. v1/v2
: Perbandingan kecepatan fluida saat normal shock.
ko
: Rasio panas spesifik propellant.
2.11 Airfoil Airfoil merupakan lapisan udara yang melewati suatu benda, yang terbentuk di sekitar permukaan benda karena adanya gerak dari benda terhadap fluida atau sebaliknya yang mana arahnya berlawanan. Bentuk dari airfoil salah satunya mengikuti standarisasi dari NACA (National Advisory Committee for Aeronautic), salah satu contohnya adalah NACA 8412. Angka - angka yang tertera pada NACA 8412 berarti : o Satu angka pertama (8) menunjukkan nilai dari maximum chamber yang nilainya 1/100 panjang chord o Satu angka kedua (4) menunjukkan lokasi maximum chamber yang nilainya 1/10 panjang chord dihitung dari leading edge. o Dua angka terakhir (12) menunjukkan nilai dari maximum thickness yang nilainya 1/100 panjang chord.
11
Gambar 2.4 : NACA 8412.
Untuk NACA seri 4 angka, mendapatkan nilai dari angka – angka yang tertera bersamanya dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa persamaan berikut ini (http://www.aerospaceweb.org/question/airfoils/q0041.shtml, diakses Februari 2011):
90 …………………………. (2.16) x 1 - cos no.urut data - 1 . jumlah data 1
y(t)
t . 0,2969. x 0,126 .x 0,3516 .x 2 0,2843 .x 3 0,1015 .x 4 …….. (2.17) 0,2
m y(c) 2 . 2px - x 2 x p …………………………………………... (2.18) p
m y(c) 2 1 - p
. 1 - 2p 2px - x 2 x p ……………………………... (2.19)
y(c) θ arctan . ………………………………………………………... (2.20) x
x(u) x - y(t) . sinθ ………………………………………………………. (2.21)
y(u) y(c) y(t) . cos θ …………………………………………………... (2.22)
12
x( l ) x y(t) . sinθ ………………………………………………………. (2.23) y(l ) y(c) - y(t) . cos θ …………………………………………………… (2.24)
dimana : x
: Nilai pada sumbu x sepanjang chord.
y(t) : Nilai pada sumbu y untuk tiap nilai thickness sepanjang chord. t
: Thickness.
y(c) : Nilai pada sumbu y untuk tiap nilai chamber sepanjang chord. m
: Maximum chamber.
p
: Lokasi maximumchamber.
θ
: Sudut antara sumbu x dan y untuk tiap data (˚).
x(u) : Nilai pada sumbu x bagian permukaan atas sepanjang chord. y(u) : Nilai pada sumbu y bagian permukaan atas sepanjang chord. x(l) : Nilai pada sumbu x bagian permukaan bawah sepanjang chord. y(l) : Nilai pada sumbu y bagian permukaan bawah sepanjang chord.
Biasanya untuk mendapatkan sebuah bentuk airfoil yang utuh, diambil sebanyak 25 data. Kemudian dengan persamaan – persamaan tadi, nilai – nilai dari 25 data tersebut akan diperoleh. Untuk mempermudah perhitungan, dapat digunakan aplikasi komputer berupa Microsoft Excel dan hasil perhitungannya di plot ke dalam sebuah grafik.
Tabel 2.1 : Klasifikasi NACA Airfoil.
Family 4-Digit
Advantages
Disadvantages
Applications
1. Good stall characteristics
1. Low maximum lift coefficient
1. General aviation 2. Horizontal tails
2. Small center of pressure movement across large speed range
2. Relatively high drag
Symmetrical:
3. Roughness has little effect
3. High pitching moment
3. Supersonic jets 4. Helicopter blades 5. Shrouds 6. Missile/rocket fins
13
Tabel 2.1 : Lanjutan.
5-Digit
16-Series
6-Series
1. Higher maximum lift coefficient
1. Poor stall behavior
2. Low pitching moment
2. Relatively high drag
3. Roughness has little effect 1. Avoids low pressure peaks 2. Low drag at high speed 1. High maximum lift coefficient 2. Very low drag over a small range of operating conditions 3. Optimized for high speed
7-Series
1. Very low drag over a small range of operating conditions 2. Low pitching moment
1. General aviation 2. Piston-powered bombers, transports 3. Commuters 4. Business jets
1. Relatively low lift
1. Aircraft propellers 2. Ship propellers
1. High drag outside of the optimum range of operating conditions
1. Piston-powered fighters 2. Business jets 3. Jet trainers 4. Supersonic jets
2. High pitching moment 3. Poor stall behavior 4. Very susceptible to roughness 1. Reduced maximum lift coefficient
Seldom used
2. High drag outside of the optimum range of operating conditions 3. Poor stall behavior 4. Very susceptible to roughness
Sumber :http://www.aerospaceweb.org/question/airfoils/q0041.shtml.
Pada perancangan ini akan digunakan NACA seri 4 angka karena untuk roket biasanya menggunakan NACA seri 4 angka.
14
2.12 Gaya Hambat Gaya hambat (Fd) adalah gaya yang timbul akibat dari gaya tekan (Fp) dan gaya gesekan (Ff) yang terjadi pada permukaan benda yang bergerak pada fluida atau sebaliknya. Gaya hambat memiliki koefisien seret (cd) yang juga merupakan hasil penjumlahan dari koefisien tekanan (cp) dan koefisien gesekan (cf). Hubungan dari komponen – komponen tersebut dapat dijelaskan melalui persamaan berikut (Cengel, 2006):
Fd Fp Ff ………………………………………………………………... (2.25) 1 2 Fd c d . . ρ . v roket . A roket ……………..…………………………………. (2.26) 2
c d c p c f ………………………………………………………………... (2.27)
c p 2 sin 2 μ …..………………...………………………………………..... (2.28)
cf
2. τw ρ . v roket
2
……………………………………………………………… (2.29)
2
f . ρ . v roket ………………………………………………………….. (2.30) τw 8
ε/d 2,51 2 log 3,7 Re . f f
1
Re
………………………………………….. (2.31)
ρ . v roket . d roket ………………………………………………………... (2.32) μ'
dimana : Fd
: Gaya seret (N).
Fp
: Gaya tekan (N).
15
Ff
: Gaya gesek (N).
cd
: Koefisien seret.
cp
: Koefisien tekanan.
cf
: Koefisien gesekan.
μ
: Sudut nose (˚).
τw
: Gesekan pada permukaan benda (Pa).
ρ
: Massa jenis fluida kontak (kg/m³).
vroket
: Kecepatan roket (m/s).
f
: Faktor gesekan.
Aroket : Luas bidang kontak (m²). Re
: Bilangan Reynolds.
droket
: Diameter benda (m).
ε/d
: Relative roughness, (untuk rancangan ini, body roket akan dilapisi dengan resin kemudian akan diamplas sampai permukaannya menjadi sangat halus sehingga ε/d ≈ 0).
µ’
: viskositas udara = 0,00001825kg/ms.
2.13 Posisi Center of Pressure dan Center of Gravity Posisi Center of Pressure (XCP) adalah posisi distribusi tekanan yang tertuju pada satu titik pusat yang disebabkan oleh aliran fluida yang melewati permukaan suatu objek. Sedangkan posisi Center of Gravity (XCG) merupakan posisi distribusi berat yang tertuju pada satu titik pusat (titik berat).
Gambar 2.5 : Variabel – Varibel Untuk Mencari XCP dan XCG.
Adapun persamaan yang digunakan untuk mencari posisi Center of Pressure (XCP) dan posisi Center of Gravity (XCG) pada roket adalah sebagai berikut
16
(http://www2.estesrockets.com/pdf/TIR-33_Center_of_Pressure.pdf,diakses Februari 2011) :
C Nn 2 ……………………………………………………………………. (2.33) X N X . L N ……………………………………………………………….. (2.34) X 0,666
(Conical Nose)
X 0,5
(Parabolic Nose)
X 0,466
(Ogival Nose)
r k fb 1 …………………………………………………………… (2.35) S r
r
d ………………………………………………………………………. (2.36) 2
CNf
S 4. N . d
2
2 .l 1 1 cr ct
C Nfb k
fb
xf Xf
2
…...…………………………………………. (2.37)
. C Nf …………………………………………………………..... (2.38) m . c r 2c t 1 c .c . c r c t - r t 3 .c r c t 6 cr ct
………………………….. (2.39)
C NT C Nn C Nfb ………………………………………………………….. (2.40)
XC P
C Nn . X N C N fb . x f ………………………………………………. (2.41) C NT
17
XC G XC P - d ……………………………………………………………. (2.42)
dimana : d
: Diameter roket (mm).
LN
: Panjang nose (mm).
Xf
: Jarak ujung nose sampai fin root chord leading edge (mm).
cr
: Fin root chord (mm).
ct
: Fin tip chord (mm).
S
: Fin span (mm).
N
: Jumlah fin (buah).
CNn
: Konstanta gaya normal.
XN
: Posisi tekanan pada nose (mm).
kfb
: Konstanta fin/body Interference.
r
: Jari – jari roket (mm).
l
: Panjang span pada chord of fin (mm).
CNf
: Konstanta gaya normal pada fin.
CNfb
: Konstanta gaya normal fin/body.
xf
: Posisi Center of Pressure pada fin (mm).
CNT
: Konstanta gaya normal total.
XCP
: Posisi Center of Pressure dihitung dari ujung nose (mm).
XCG
: Posisi Center of Gravity dihitung dari ujung nose (mm).
2.14 Gaya Dorong Roket Gaya dorong roket (Fthrust roket) adalah gaya yang diperlukan yang berasal dari reaksi pembakaran propellant yang digunakan untuk menggerakkan roket. Adapun persamaannya adalah sebagai berikut :
Fthrust
roket
m roket . a roket ……………………………………………………. (2.43)
Fthrust
roket
m roket .
v roket t pembakaran
……………………………………………….. (2.44)
18
2.15 Ketinggian Luncur Terdapat dua metode yang digunakan dalam menghitung ketinggian luncur roket. Adapun metode – metode yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Metode Direct adalah metode dimana ketinggian luncur roket didapat dengan mengukur langsung menggunakan altimeter, sehingga didapat sudut yang tercipta antara roket yang meluncur dengan titik reference.
Gambar 2.6 : Diagram Pengukuran Ketinggian Luncur Roket Metode Direct.
Adapun persamaan yang dipakai adalah sebagai berikut : H H 1 H 2 ………………………………………………………. (2.45) H 2 x . tan θ ………………………………………………………(2.46)
19
dimana : H
: Ketinggian luncur roket (m).
H1 : Ketinggian altimeter (m). H2 : Ketinggian luncur dari titik reference (m). x
: Jarak pengamat dari tempat peluncuran roket (m).
θ
: Sudut inklinasi (º).
b. Metode Boost-Coast Phase Adalah metode dimana ketinggian luncur didapat dengan perhitungan teoritis.Pada metode ini roket mengalami dua macam fase, yaitu boost phase dan coast phase. Boost phase adalah gerak luncur roket saat terjadi pembakaran (menghasilkan gaya dorong), sedangkan coast phase adalah gerak luncur roket setelah bahan bakar roket habis.
Gambar 2.7 : Diagram Pengukuran Ketinggian Luncur Roket Metode Boost-Coast Phase.
20
Adapun persamaan yang dipakai adalah sebagai berikut :
1 2 . a b . t b …………………………………………... (2.47) 2
Hb vo . t b
ab
Fthrust
roket
- m roket . g - Fd …………………………………… (2.48) m roket
v b a b . t b ………………………………………………………... (2.49)
Hc vb . t c
1 2 . a c . t c …………………………………………… (2.50) 2
t c t target - t b ……………………………………………………… (2.51)
a c -g -9,8 m/s 2 ………………………………………………... (2.52) H H b H c ……………………………………………………… (2.53)
dimana : Hb
: Ketinggian luncur saat boost phase (m).
vo
: Kecepatan roket sebelum peluncuran (m/s).
tb
: Waktu pembakaran propellant (s).
ab
: Percepatan roket saat boost phase (m/s2).
F thrust roket
: Gaya dorong roket (N).
mroket
: Massa roket total (kg).
g
: Gaya gravitasi (m/s2).
Fd
: Gaya hambat (N).
mroket
: Massa roket total (kg).
vb
: Kecepatan roket saat boost phase (m/s).
Hc
: Ketinggian luncur roket saat coast phase (m).
21
tc
: Waktu jelajah roket saat coast phase (s).
ac
: Percepatan gravitasi yang menghambat roket (m/s2).
ttarget
: Waktu untuk roket mencapai target ketinggian (s).