BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Tanaman Kedelai Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill.) merupakan tanaman yang banyak
dibudidayakan di Indonesia. Namun tanaman ini bukan merupakan
tanaman asli dari Indonesia. Diperkirakan kedelai diperkenalkan oleh pendatang Cina pada permulaan abad 18. Kedelai sudah banyak ditanam di Jawa, Bali dan pulau-pulau nusantara lainnya. Di Pulau Jawa, ada banyak varietas kedelai lokal yang ditanam. Varietas lokal tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai salah satu tetua dalam pembentukan varietas unggul. Contoh varietas lokal seperti varietas lokal Cirebon, Brebes, Lumajang, dan lain-lain. Varietas lokal merupakan varietas kedelai yang telah beradaptasi pada suatu wilayah dalam jangka panjang. Semuanya mempunyai keragaman morfologi yang berbeda-beda. Namun keragaman secara morfologi belum tentu menunjukkan keragaman genetik yang berbeda karena lingkungan berpengaruh terhadap morfologi (Rukmana dan Yuniarsih 1996). Kedelai memiliki ciri-ciri : (1) daun majemuk dengan susunan anak daun pinatus dan beranak daun 3 (trifoliate leaves), (2) berbeda-beda dalam bentuk, besar, warna dan derajat keluruhannya, (3) bentuk anak daun ada yang berbentuk bujur telur (ovate), ada yang berbentuk mata tombak (lanceolate), juga ada yang berbentuk panjang (linier)
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2.1 daun kedelai, (a) daun trifoliate kedelai, (b) ruas samping kanan daun trifoliate, (c) ruas tengah daun trifoliate, (d) ruas samping kiri daun trifoliate
Pada buku (nodus) pertama tanaman yang tumbuh dari biji terbentuk sepasang daun tunggal. Selanjutnya, pada semua buku di atasnya terbentuk daun majemuk selalu dengan tiga helai. Helai daun tunggal memiliki tangkai pendek dan daun bertiga mempunyai tangkai agak panjang. Masing-masing daun berbentuk oval, tipis, dan berwarna hijau. Permukaan daun berbulu halus (trichoma) pada kedua sisi. Tunas atau bunga akan muncul pada ketiak tangkai daun majemuk. Setelah tua, daun menguning dan gugur, mulai dari daun yang menempel di bagian bawah batang. Kedelai juga dikenal dengan nama soybean dan nama-nama ilmiah lainnya, seperti : Dolichos soja, Glycine soja, G. hispida, atau Soja max. Akan tetapi sekarang lebih dikenal dengan sebutan Glycine max. Kedelai dikenal sejak tahun 4000-5000 SM. Kedelai berasal dari Monsjuria dan Cina bagian Timur, sebab disana terdapat kedelai liar yang disebut Glycine ussuriens. Kedelai liar dicirikan dengan tumbuh merayap, berumur tahunan, batang kecil dan halus, daun sempit, polong kecil dan biji kecil-kecil berwarna hitam serta bobot 1000 biji hanya berkisar 10-20 gram saja. G. gracilia adalah jenis perantara dari Glycine ussuriensis ke G. max, terdapat disekitar Manchuria. (Rukmana dan Yuniarsih 1996). Data botanis Habitus : tegak dan berbentuk semak, tinggi 30 – 180 cm Umur : semusim (3 – 4 bulan) -
Kedelai Genjah (<80 hari)
-
Kedelai Sedang (85-90 hari)
-
Kedelai dalam (> 90 hari)
Batang : -
Berbulu, ada yang putih dan ada yang coklat
-
Bercabang, tegak (vertikal); contoh : americana
-
Horizontal (sejajar tanah); contoh : no.29
-
Bagian atas kotiledon disebut epikotil (berwarna ungu atau hijau), dimana warna hipokotil ini dapat sama dengan warna bunganya. o Bila hipokotil berwarna ungu, bunganya berwarna ungu o Bila hipokotil berwarna hijau, bunganya berwarna putih
Ada 2 tipe tumbuhan kedelai : -
Tipe pertumbuhan indeterminat o batang kedelai dengan tipe indeterminat yaitu tidak berakhir dengan sekelompok bunga atau polong. Ujung batang tipe ini tumbuh memanjang terkadang seperti membelit. o polong tidak matang serempak jadi dapat dipanen beberapa kali.
-
Tipe pertumbuhan determinat o ujung batang diakhiri bunga, rangkaian bunga atau polong o polong matang serempak sehingga panen hanya satu kali
Daun -
Daun majemuk dengan susunan anak daun pinatus dan beranak daun 3 (trifoliate leaves).
-
Berbeda-beda dalam bentuk, besar, warna dan derajat keluruhannya.
-
Bentuk anak daun ada yang berbentuk bujur telur (ovate), ada yang berbentuk mata tombak (lanceolate), juga ada yang berbentuk panjang (linier)
Bunga -
Bunga kedelai sangat kecil, berwarna ungu, putih dan campuran
-
Bunga kedelai keluar dari ketiak daun atau buku-buku, berkelompok (clustered)
-
Jumlah bunga dalam satu kluster ada yang mencapai 13-15 bunga, tetapi kebanyakan jatuh tidak berbentuk polong.
-
Bentuk bunga seperti kupu-kupu.
-
Benang sari 9+1 menjadi 9 bersatu membentuk mirip tabung yang di dalamnya terdapat putik.
-
Penyerbukan kedelai adalah penyerbukan sendiri/self polinate.
-
Terdapat penyerbukan silang tetapi sangat sedikit yakni kurang dari 1% (0,07 – 0,9 %).
Polong -
Buah kedelai disebut polong (pod)
-
Tiap polong berisi 1-5 biji, tetapi kebanyakan berisi 2-3 biji
-
Warna hijau pada waktu muda, bila tua berwarna coklat muda atau kuning jerami dan ada coklat tua yang kehitaman.
-
Polong tua ada yang pecah dan tidak pecah.
-
Kehilangan biji karena biji pecah dapat mencapai 30-50%
-
Kultivar yang mudah dipecah harus dipanen sebelum polong kering atau waktu polong sudah kuning.
Biji -
Besarnya bervariasi tergantung kultivar, dari kecil sampai besar sehingga bobot 100 biji dapat berkisar 5-35 gram
-
Bentuk biji ada yang bulat dan ada yang lonjong
-
Biji terdiri dari kulit biji (seed coat)dan keping biji (cotyledone) serta lembaganya.
-
Keping biji hijau atau kuning saja
-
Kulit biji bervariasi bergantung kultivar : kuning, hijau, coklat, hitam atau campuran.
Bulu -
Daun, polong dan batang kedelai berbulu, ada yang coklat dan putih kelabu.
-
Sifat berbulu adalah sifat genetik
-
Ada juga kultivar yang tidak berbulu, bulu pendek-pendek dan jarang
-
Kultivar tidak berbulu, hasilnya rendah, pertumbuhannya kerdil, dan mudah diserang wereng (leaf hopper/penghisap daun). (Rukmana R, Yuniarsih Y. 1996)
2.2 Content Based Image Retrieval (CBIR) Content based image retrieval (CBIR) merupakan suatu pendekatan untuk masalah temu kembali citra yang didasarkan pada informasi yang terkandung di dalam citra itu sendiri seperti warna, bentuk, dan tekstur dari citra (Han & Ma 2002). CBIR terdiri atas dua tahap yaitu pengindeksan dan penemuan kembali citra. Gambar 2 menunjukkan diagram CBIR.
Pengindeksan (offline) Basis data citra
Praproses
Ekstraksi Fitur
Pengembangan Indeks
Basis data Fitur
Citra Kueri
Praproses
Ekstraksi Fitur
Pengembangan Indeks
Basis data Fitur
Penemuan Kembali (online) Gambar 2.2 Diagram CBIR. 2.3
Citra Digital Citra merupakan gambar pada bidang dua dimensi. Ditinjau dari sudut
pandang matematis, citra merupakan sebuah fungsi kontinu dari intensitas radiasi pada bidang dua dimensi. Sumber radiasi mengeluarkan radiasi yang kemudian mengenai objek, objek memantulkan kembali sebagian dari radiasi tersebut, pantulan radiasi ini ditangkap oleh sensor pada alat-alat optik
seperti mata,
kamera, pemindai (scanner) dan sebagainya.
Gambar 2.3 (a) Image kontinu diproyeksikan ke dalam array sensor, (b) Hasil penyampelan dan kuantifikasi image Selanjutnya bayangan objek tersebut direkam dalam suatu media tertentu. Citra semacam ini disebut juga sebagai citra pantulan. Jika objek menghasilkan radiasi sendiri, maka citra yang tertangkap oleh sensor disebut sebagai citra emisi. Sedangkan jika objek bersifat transparan, sehingga citra yang dihasilkannya merupakan representasi dari radiasi yang berhasil diserap oleh partikel-partikel dari objek tersebut, maka citra tersebut adalah citra absorpsi (Bovik 2000).
Analisis terhadap sebuah citra dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer melalui sebuah sistem visual buatan yang biasa disebut dengan computer vision. Secara umum, tujuan dari sistem visual adalah untuk membuat model nyata dari sebuah citra. Untuk itu citra yang ditangkap oleh sensor yang masih dalam bentuk fungsi kontinu (analog) harus diubah terlebih dahulu menjadi fungsi diskret (digital) yang dapat dibaca oleh komputer. Proses ini disebut sebagai digitasi, terdiri dari dua sub proses yaitu pencuplikan (sampling) dan kuantifikasi. Pencuplikan (sampling) merupakan proses untuk mengubah sebuah sinyal dalam ruang kontinu menjadi sinyal dalam ruang diskret, hasil dari proses ini adalah citra yang terdiri dari piksel-piksel yang tersusun dalam kolom dan baris. Setiap piksel merupakan hasil penggabungan dari beberapa sinyal yang saling berdekatan. Sekali sebuah citra mengalami proses sampling, tidak dimungkinkan untuk mengembalikannya kedalam bentuk kontinu. Setiap piksel biasanya akan memuat nilai intensitas yang pada awalnya mempunyai range kontinu, artinya sangat banyak kemungkinan nilai yang dapat dimuat oleh setiap piksel. Sehubungan dengan keterbatasan kemampuan komputer untuk memproses pengkodean nilai-nilai tersebut, dibutuhkan sebuah metode untuk membatasinya. Kuantifikasi merupakan proses untuk mengubah range nilai intensitas yang semula kontinu menjadi range nilai yang diskret sedemikian sehingga dapat diakomodasi oleh sistem pengkodean biner pada komputer. Suatu citra yang telah melalui proses digitasi disebut sebagai citra digital. 2.2.1 Representasi Citra Digital Citra digital biasa direpresentasikan sebagai sebuah fungsi dua dimensi f(x,y), x dan y adalah koordinat spasial yang menunjukkan lokasi dari sebuah piksel didalam sebuah citra dan amplitudo dari f pada setiap pasangan koordinat (x,y) adalah intensitas dari citra pada piksel tersebut (Gonzalez 2004). Untuk kebutuhan pengolahan dan analisis, representasi tersebut ditampilkan dalam bentuk matriks seperti pada Gambar 2.4.
f(0,0) f(1,0) . f(x, y) . . f(M 1,0)
f(0,1)
...
f(1,1)
...
f(M 1,1)
...
f(0, N 1) f(1, N 1) . . . f(M 1, N 1)
nilai intensitas tiap piksel
(a)
(b)
Gambar 2.4 Representasi citra digital. (a) Piksel-piksel dalam konvensi koordinat, (b) Piksel-piksel dalam sel-sel matriks 2.2.2 Picture element (piksel) Piksel dapat diartikan sebagai salah satu dari komponen gambar yang menentukan resolusi dari gambar tersebut, misalnya sebuah gambar dikatakan memiliki resolusi sebesar 240 x 120, dapat diartikan bahwa banyaknya piksel horizontal adalah 240 dan piksel vertikal adalah 120, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam gambar tersebut terdiri dari 28800 piksel. Dalam masalah pengolahan citra, hubungan antara piksel adalah hubungan yang sangat penting. Sebuah piksel p pada koordinat (x,y) mempunyai 4 tetangga horizontal dan vertikal yang formatnya sebagai berikut : (x+1, y), (x-1, y), (x, y+1), (x, y-1). Kumpulan dari piksel-piksel tersebut disebut 4-neighbours of p dapat dinyatakan sebagai N4(p), kecuali p(x,y) posisinya terletak pada garis batas gambar. Sehingga jumlah piksel tetangga terdiri dari 4 tetangga selain 4 tetangga di atas juga 4 tetangga di bawah yaitu : (x+1, y+1), (x-1, y-1), (x-1, y+1), (x-1 , y1). Piksel-piksel itu dinyatakan sebagai ND(p). Gabungan dari N4(p) dan ND(p) didefinisikan sebagai 8 tetangga p dan dinyatakan sebagai NS(p). 2.2.3 Tipe-Tipe Citra Digital Tiga tipe citra digital yang sering digunakan adalah citra intensitas, citra biner, dan citra RGB. Citra intensitas dan citra biner merupakan citra monokrom (lebih dikenal dengan citra hitam putih) sedangkan citra RGB merupakan citra berwarna. a. Citra Intensitas, merupakan sebuah matriks dua dimensi berukuran mxn yang setiap selnya berisi nilai intensitas antara 0 sampai dengan 255. Intensitas 0
ditangkap sebagai warna hitam pekat, sedangkan intensitas 255 ditangkap sebagai warna putih terang oleh mata manusia. Nilai intensitas yang ada diantaranya merupakan gradasi dari warna hitam ke putih, atau lebih sering disebut warna keabuan (grayscale). b. Citra biner, merupakan sebuah matriks dua dimensi berukuran mxn yang setiap selnya berisi kode 0 atau 1 yang merupakan representasi dari nilai logical ”benar” atau ”salah”, disebut juga tipe data boolean. Nilai 0 sering diasosiasikan dengan warna putih terang (setara dengan nilai 255 pada citra intensitas) sedangkan nilai 1 sering diasosiasikan dengan warna hitam (setara dengan nilai 0 pada citra intensitas). Akan tetapi, asosiasi tersebut bisa berubah-ubah tergantung dari asumsi yang digunakan oleh pengguna. Tidak ada ketetapan yang mengatur hubungan nilai 0 dan 1 terhadap warna hitam dan putih. Umumnya, citra biner terbentuk dari citra intensitas yang mengalami proses tresholding. Proses ini sangat sederhana, pertama-tama tetapkan sebuah nilai T yang terletak diantara range nilai intensitas. Ubah nilai intensitas dari setiap piksel dengan mengikuti aturan berikut : 0 , jika f(n) T g(n) 1, jika f(n) T c. Citra RGB (red, green, blue), merupakan kumpulan dari 3 buah matriks 2 dimensi yang masing-masing memuat nilai intensitas (0 s.d. 255) untuk warna merah, hijau dan biru. Sebuah piksel merupakan komposisi dari ketiga nilai intensitas tersebut (triplet). Jika digunakan sebagai input pada sistem monitor berwarna, triplet tersebut akan menghasilkan warna-warna yang unik. Susunan komponen RGB untuk sebuah piksel sehingga menghasilkan citra berwarna dapat diilustrasikan sebagai berikut : Komposisi ketiga komponen warna untuk sebuah piksel
zR z G z B
Komponen blue Komponen Komponen red
Gambar 2.5 Skema susunan komponen RGB untuk sebuah piksel pada citra berwarna
2.4 Pengenalan Pola Pengenalan pola dapat didefinisikan sebagai penetapan objek atau kejadian ke dalam satu dari beberapa kategori yang telah ditentukan sebelumnya (Duda, Hart dan Stork 2001). Secara garis besar dapat dikatakan bahwa pengenalan pola memetakan suatu fitur, yang merupakan ciri utama suatu objek (yang dinyatakan dalam sekumpulan bilangan-bilangan) ke suatu kelas yang sesuai. Proses pemetaan ini menyangkut inferensi, baik secara eksplisit dengan statistik (misalnya dalam aturan Bayesian) maupun tak eksplisit dengan suatu jaringan keputusan (misalnya jaringan syaraf tiruan atau logika samar). Secara mendasar, suatu sistem pengenalan pola terdiri dari komponenkomponen berikut: sensoring, mekanisme pre-processing, mekanisme ekstraksi atau penyari fitur (manual/otomatis), algoritma pemilah (classification) dan post processing. Diagram blok dari sistem pengenal pola dapat digambarkan sebagai berikut: Input
Sensoring
Preprosessing
Ekstraksi Fitur
Classification
Post processing
keputusan Gambar 2.6 Komponen sistem pengenal pola
Sensoring : menangkap objek dari dunia nyata menjadi sinyal-sinyal listrik dan selanjutnya dikonversi ke dalam bilangan-bilangan setelah melalui proses dijitasi. Preprocessing : berfungsi untuk menonjolkan informasi dan menghilangkan noise dalam citra. Ekstraksi fitur: mengambil besaran komponen tertentu dari citra objek yang mewakili sifat utama citra objek, sekaligus mengurangi dimensi citra objek menjadi sekumpulan bilangan yang lebih sedikit tetapi representatif. Classification : melakukan penetapan fitur ke kelas yang sesuai Postprocessing : menggunakan output dari hasil klasifikasi untuk memutuskan aksi yang direkomendasikan. 2.4.1 Sensoring Input untuk sistem pengenalan pola biasanya beberapa jenis transducer, seperti : kamera, scanner atau array mikropon. Kesulitan dari permasalahan yang dihadapi bergantung pada karakteristik dan batasan transducer seperti bandwidth, resolusi, sensitivitas, distorsi, sinyal terhadap rasio noise, latency dan sebagainya. 2.4.2 Preprocessing 2.4.2.1 Edge detection Edge detection adalah operasi yang digunakan untuk mendeteksi garis tepi (edges) yang membatasi dua wilayah citra homogen yang memiliki tingkat kecerahan yang berbeda (Pitas 1993). Beberapa metode pendeteksi garis tepi yang umum digunakan antara lain Sobel, Prewitt, Robert, Laplacian of a gaussian, Zero crossing, dan Canny. 2.4.2.2 Canny Edge Detector Canny Edge Detector, dikembangkan oleh John F. Canny, adalah algoritma multi-stage yang dapat mendeteksi batasan luar edge image. Deteksi tepi Canny menggunakan gradient magnitude untuk memperbaiki deteksi tepi sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan garis tepi tunggal. Canny juga
menemukan teori komputasional deteksi edge, yang mana canny memperkenalkan Non-maximum supperssion dan Hysteresis thresholding pada pendeteksian edge. Pendeteksi pertama yang dihasilkan hanya pada image grayscale dan disesuaikan untuk mengakomodasi image warna. Terdapat tiga tahap dalam deteksi tepi Canny (McAndrew 2004), yaitu: 1. Konvolusi. Filter yang digunakan adalah filter Gaussian. Persamaannya dapat dilihat pada persamaan berikut. x2
x 2 f 2 e 2 Filter tersebut memperhalus noise dan menemukan piksel kandidat yang mungkin untuk tepi. 2. Non-maximum supperssion. Ide dasarnya adalah tiap piksel p memiliki arah p (edge direction) yang berasosiasi dan agar dipertimbangkan sebagai piksel
tepi, nilai p harus lebih besar dari piksel tetangga dalam arah p . 3. Hysteresis thresholding. Menggunakan dua nilai threshold yaitu tL dan tH dengan tL merupakan nilai minimum threshold dan tH merupakan nilai maksimum threshold. Piksel-piksel dengan nilai lebih besar dari tH diasumsikan sebagai piksel tepi. Sementara itu, piksel-piksel dengan nilai p dimana t L p t H
merupakan adjacent dari piksel tepi juga dapat
dipertimbangkan sebagai piksel tepi. 2.4.2.3 Thresholding Menurut Young et al (1998), thresholding merupakan salah satu teknik segmentasi yang memiliki konsep yang sederhana. Suatu parameter yang disebut brightness threshold dipilih dan diaplikasikan pada suatu gambar f(x,y) dengan menggunakan aturan: If f(x,y) < Then f(x,y) = object = 1 Else f(x,y) = background = 0
Aturan di atas dipakai dengan asumsi objek yang terang dengan background yang gelap, sedangkan untuk objek yang gelap dengan background yang terang maka rumus yang dipakai aturan: If f(x,y) > Then f(x,y) = object = 1 Else f(x,y) = background = 0 2.5 Ekstraksi fitur Ekstraksi ciri bentuk merupakan salah satu bagian dari CBIR untuk informasi bentuk pada citra. Proses ini dapat dilakukan dengan pendekatan Elliptical Fourier Descriptor. Ekstraksi ciri adalah proses mengambil ciri-ciri yang terdapat pada citra. Tujuan utama dari proses ekstraksi fitur adalah untuk mengkarakterisasi objek yang ingin dikenali dari sebuah citra dengan menggunakan ukuran-ukuran yang memiliki nilai sangat mirip untuk objek pada kategori yang sama dan sangat berbeda untuk objek pada kategori yang tidak sama. Artinya, dilakukan pencarian terhadap ciri-ciri dari objek yang membedakannya dengan objek yang lain dan ciri-ciri tersebut tidak akan berubah (invariant) meskipun ada pengaruh transformasi yang tidak relevan terhadap citra (Duda, Hart dan Stork 2001). Elliptical Fourier Descriptor merupakan suatu cara untuk menormalisasi koefisien Fourier dengan menggunakan sebuah harmonik (deskripsi eliptik dari suatu kontur). Hasil ekstraksi elliptic Fourier Descriptor adalah invarian dengan rotasi, dilatasi, dan translasi kontur, dan juga starting point pada kontur, tetapi tidak menghilangkan informasi tentang bentuk kontur. 2.6 Chain Code (Pengkodean Tepi) Pengkodean tepi (edge) dimulai dari hasil pendeteksian edge. Pengkodean ini berdasarkan pada pengkodean Freeman pada kontur tertutup. Menurut deskripsi Freeman (Khul & Giadina 1982), sebuah kontur tertutup dapat dikodekan dengan 8 garis standar pada matriks 3x3 dimana elemen pusatnya adalah kaki garis dan ujungnya diberikan oleh satu elemen pada matriks (lihat Gambar 2.7).
Gambar 2.7 : Representasi vector dari pengkodean Freeman Dengan menggunakan pengkodean Freeman, sebuah kontur tertutup dapat digambarkan sebagai rantai : C = u 1 u 2 u 3 u 4 ....u K , dimana u {0, 1, ...7} adalah vector berarah dengan arah (π/4)u. Panjang masing-masing u akan sama dengan 1 jika genap atau √2 jika ganjil. Sebagai contoh pengkodean Freeman dari edge ditunjukkan pada Gambar 2.8 yang diberikan dengan rantai sebagai berikut : 0007766766544334444321111 Catatan bahwa : titik permulaan kontur diberikan oleh piksel pada sudut kiri atas.
Gambar 2.8 Contoh dari binary kontur image Misalkan u adalah elemen dari rantai Freeman, maka panjang ( t ) dari rantai tersebut adalah : 2 1 u ui ti 1 (1 ( 1) i ) 2 Sehingga jika p adalah banyaknya elemen pada rantai dari keseluruhan kontur, maka panjang rantai akan menjadi :
p
t p ti i 1
Selanjutnya T akan mengidentifikasi panjang dan tp menyatakan panjang p elemen dari rantai. Misalkan xi dan yi adalah proyeksi dari uj pada sumbu X dan Y, dengan nilai-nilainya adalah sebagai berikut : xi sign(6 ui ) * sign(2 ui )
yi sign(4 ui ) * sign(ui ) dimana 1 sign() 0 1
jika 0, jika 0 jika 0
Elemen generik p dari rantai Freeman yang memproyeksikan semua elemen 1..p pada sumbu X dan Y dapat ditulis sebagai : p
x p xi i 1 p
y p yi i 1
Pada citra (image) baru akan dilakukan evaluasi koefisien eliptikal dari analisis Fourier.
Gambar 2.9 Diagram skema kontur daun. Lingkaran pada kontur menunjukkan titik chain code pada kontur dari citra digital. 2.7 Elliptical Fourier Descriptors Elliptical Fourier descriptors merupakan suatu representasi parametrik
dari kontur tertutup berbasis ellips yang bergerak secara harmonik (Khul, 1982).
Untuk menghasilkan Elliptical Fourier descriptors suatu kurva dibutuhkan ekspansi Fourier suatu kurva. Ekspansi Fourier dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk komplek atau trigonometri. Pada penelitian ini, ekspansi Fourier didasarkan pada representasi trigonometri yang merujuk pada hasil penelitian Kuhl dan Giardina. Ekspansi Fourier untuk proyeksi x dan y dari chain code pada kontur tertutup didefinisikan sebagai berikut (Kuhl dan Giardina 1982) :
x (t ) A0 an cos n 1
2n t 2n t bn sin T T
dan
y (t ) C0 cn cos n 1
2n t 2n t d n sin T T
dimana : T
A0
1 x(t )dt T 0
an
2 2n t x(t ) cos dt T 0 T T
2 2n t bn x(t ) sin dt T 0 T T
Koefisien harmonik berkaitan dengan n harmonik ke-n, yakni an dan bn yang dengan mudah ditemukan karena x(t) merupakan potongan linier dan kontinu terhadap waktu. Turunan (derivation) koefisien pada fungsi x(t) dapat ditulis sebagai x (t ) yang terdiri dari barisan potongan konstan turunan x p / t p yang digabungkan dalam interval waktu t p t t p 1 untuk nilai p dalam rentang
1 p K . Turunan terhadap waktu ini adalah periodik dengan periode T dan dapat direpresentasikan dengan barisan Fourier berikut :
x (t ) n cos n 1
2n t 2n t n sin T T
dengan :
n
2 2n t x (t ) cos dt T 0 T T
2 2n t x (t ) sin dt T 0 T T
n Selanjutnya,
t
p 2 K x 2n t n p cos dt T p 1 t p t p1 T
2 K x p T p 1 t p
2n t p 2n t p 1 sin sin T T
dan t
p 2 K x 2n t n p sin dt T p 1 t p t p1 T
2n t p 2n t p 1 2 K x p cos cos T p 1 t p T T
Namun x (t ) juga dapat dihasilkan secara langsung dari definisinya sebagai :
x (t ) n 1
2n 2n t 2n 2n t an sin cos T T T T
Setelah menyamakan koefisien dari dua ekspresi x (t ) , diperoleh : x p 2n t p 2n t p 1 cos cos T T p 1 p K
an
T 2n 2 2
t
bn
T 2n 2 2
t
x p 2n t p 2n t p 1 sin T sin T p 1 p K
Dengan menggunakan cara yang sama seperti ekspansi barisan Fourier proyeksi x, dapat diperoleh ekspansi barisan Fourier proyeksi y dari chain code kontur lengkap sebagai berikut : y p 2n t p 2n t p 1 cos T cos T p 1 p K
cn
T 2n 2 2
t
dn
T 2n 2 2
t
y p 2n t p 2n t p 1 sin sin T T p 1 p K
Keterpakaian ekspresi koefisien Fourier memperluas metode chain code yang dikembangkan oleh Freeman yang sesuai dengan beberapa potongan linier
representasi kontur ketika tidak ada kendala yang terbentuk pada perubahan x p dan y p ( t p (x p y p )1/ 2 ). Elemen pertama komponen Fourier (d.c. component) pada barisan Fourier dapat ditulis sebagai berikut : A0
1 K x p 2 2 (t p t p 1 ) p (t p t p 1 ) T p 1 2t p
C0
1 K y p 2 2 (t p t p 1 ) p (t p t p 1 ) T p 1 2t p
dengan p 1
x p
j 1
t p
p 1
y p
j 1
t p
p x j p y j
p 1
t j 1
j
p 1
t j 1
j
dan
1 1 0 Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari analisis Elliptical Fourier adalah melakukan tahapan untuk mengaproksimasi edge tertutup sebagai jumlah harmonik eliptik. Untuk setiap harmonik dapat digunakan 4 koefisien Fourier ai, bi, ci dan di, dan untuk mengidentifikasi kontur tertutup K elemen dapat diperoleh dengan menggunakan N harmonik (Khul dan Giadina 1982). 2.8 Sifat-sifat Ekspansi Fourier Kontur Tertutup
Penggalan (truncated) pendekatan Fourier untuk kontur tertutup dapat ditulis sebagai berikut : N
N
n 1
n 1
x(t ) A0 X n dan y (t ) C0 Yn Dimana komponen proyeksi Xn
X n (t ) an cos Yn (t ) cn cos
2n t 2n t bn sin T T
2n t 2n t d n sin T T
Persamaan ini ditunjukkan oleh Khul (1982) bahwa titik (XN,YN) semuanya memiliki eliptik loci (sekumpulan titik-titik dengan sifat-sifat yang sama), dan pendekatan Fourier untuk kontur asli dapat dilihat sebagai penambahan pada fase tertentu yang berhubungan dengan perputaran phasor, yang ditentukan dengan proyeksi. Setiap vektor pemutar (phasor) yang berotasi memiliki locus eliptik dan berotasi lebih cepat daripada harmonik pertama terhadap banyaknya harmonik. Y
Titik awal berubah λ unit, t* = 0
λ V U harmonik 1
ψ X
2 Titik awal asal, t=0
3
Gambar 2.10 Pendekatan elliptik pada suatu kontur Pada gambar 2.10 diilustrasikan suatu contoh kedudukan (locus) elliptik (X1,Y1) untuk chain code tertentu. Elliptik loci yang sama pada titik (Xn,Yn) akan dihasilkan tanpa memperhatikan titik awal kontur, akan tetapi phasor akan memberikan arah yang berbeda untuk mendekati (aproksimasi) kontur. Pendekatan ini tidak ditunjukkan dengan memperkenalkan operator perputaran yang menghubungkan koefisien Fourier an, bn, cn dan dn (n ≥ 1) pada titik awal terhadap koefisien an*, bn*, cn* dan dn* untuk titik awal yang memindahkan unit di sekeliling kontur, dan dengan membandingkan loci (Xn, Yn) pada dua titik awal. Perbedaan pada titik awal yang ditunjukkan pada bidang proyeksi sebagai pergeseran phasor (yakni titik awal memindahkan unit pada arah rotasi di sekeliling kontur dari titik awal asli yang telah diproyeksikan untuk n ≥ 1). X N (t * ) an cos
2n * 2n * (t ) bn sin (t ) T T
YN (t * ) cn cos
2n * 2n * (t ) d n sin (t ) T T
dengan t* t Setelah memperluas Xn dan Yn serta menggabungkannya, maka diperoleh : X n* (t * ) an* cos
Yn* (t * ) cn* cos
2n t * 2n t * bn* sin T T
2n t * 2n t * d n* sin T T
dengan a b
* n * n
2 n cos c T 2 n d sin T * n * n
2 n T an 2 n bn cos T sin
cn dn
Koefisien an*, bn*, cn* dan dn* benar untuk daerah t* (t*=0) yang ditempatkan pada titik awal pengganti. Kedudukan (loci) elliptik untuk titik (Xn,Yn) ditunjukkan dengan menghapus keterkaitan (dependensi) pada fungsi sinus dan kosinus untuk menghasilkan persamaan berikut : (d n2 cn2 ) X n2 (an2 bn2 )Yn2 2 X n Yn (an cn bn d n ) 1 (an d n bn cn ) Dengan cara yang sama dapat diperoleh loci eliptik untuk proyeksi X n* dan Yn* :
X n* (t * ) X n (t * ) Yn* (t * ) Yn (t * ) (d n2 cn2 ) X n*2 (an2 bn2 )Yn*2 2 X n*Yn* (an cn bn d n ) 1 (an d n bn cn ) Sehingga loci elliptik yang sama dihasilkan untuk titik awal yang berbeda. Perputaran sumbu koordinat X,Y searah jarum jam melalui derajat ke dalam sumbu U,V dipenuhi dengan operasi perputaran berikut : U cos V sin
sin X cos Y
Pengaruh rotasi di sekitar sumbu (axial) pada koefisien Fourier an*, bn*, cn* dan dn* tampak ketika proyeksi X n* , Yn* yang diekspresikan dalam bentuk matriks berikut : X n* an* * * Yn cn
2 nt * cos bn* T d n* 2 nt * sin T
Selanjutnya, proyeksi pada sumbu U,V (un,vn) adalah : un cos v sin n
sin X cos cos Y sin * n * n
sin a cos c
* n * n
2 nt * cos b T d 2 nt * sin T * n * n
dan merotasikan koefisien Fourier an*, bn*, cn* dan dn* pada sekitar sumbu, yang didefinisikan sebagai : an** ** cn
bn** cos d n** sin
sin an* cos bn*
bn* cn*
Pengaruh kombinasi pada rotasi axial dan penggantian titik awal pada koefisien an, bn, cn dan dn dari titik awal pertamanya dinotasikan dengan matriks sebagai berikut : a b
** n ** n
c cos d sin ** n ** n
sin an cos bn
2 n cos cn T 2 n dn sin T
2 n T 2 n cos T
sin
2.9 Fitur Fourier Elliptik
Koefisien Fourier an, bn, cn dan dn (1 ≤ n ≤ N) dari pendekatan Fourier pada kontur tertutup digunakan sebagai klasifikasi kontur. Sifat-sifat bentuk kontur harus dispesifikasikan sebab koefisien yang dihasilkan beragam menurut titik awal penelusuran kontur (berdasarkan chain code Freeman) dan rotasi spasial, besaran, translasi kontur serta prosedur normalisasi yang konsisten hanya didasarkan pada intrinsik. Perputaran phasor memberikan basis model normalisasi yang sangat baik bila locus (kedudukan) phasor harmonik pertamanya adalah
elliptik, yang menghasilkan dua klasifikasi sederhana yang bersesuaian dengan posisi pada setiap akhir sumbu mayor ellips. 2.10 Klasifikasi untuk Elliptik Locus Harmonik Pertama
Klasifikasi kontur dihasilkan melalui 2 tahap proses. Pertama, phasor harmonik pertama diputar hingga phasor berimpit dengan sumbu semi-mayor dari lokusnya. Kemudian sumbu koordinat X,Y pada kontur dengan arah asal diputar ke sumbu koordinat U,V yang baru, didefinisikan dengan sumbu mayor dan minor dari ellips, sehingga sumbu X positif bersamaan dengan sumbu semimayor dilokasikan pada putaran phasor. Eksistensi dari dua klasifikasi yang mungkin dengan mudah dapat diverifikasi dengan mengkonstruksi diagram penambahan phasor kontur untuk kombinasi perputaran yang berbeda dan dengan mengamati penambahan phasor pada setiap sumbu semimayor yang selalu berarah dengan cara yang sama pada sumbu koordinat U,V. Untuk menentukan hubungan antara dua klasifikasi, klasifikasi diasosiasikan dengan sumbu semimayor yang dihasilkan melalui titik awal dan putaran angular spasial 1 dan 1 radian, dimana
1 21 / T dan 1 merupakan penganti titik awal. Kemudian untuk klasifikasi sumbu semimayor 1 an** ** 1 cn
(1 ≤ n ≤ N) adalah :
b cos 1 sin 1 an d sin 1 cos 1 cn
** 1 n ** 1 n
bn cos n1 d n sin n1
sin n1 cos n1
Klasifikasi untuk sumbu semimayor lainnya dihasilkan dengan perputaran selanjutnya dengan titik awal dan sudut spasial melalui radian sebagai berikut : 2 an** ** 2 cn
b cos( 1 ) sin( 1 ) an d sin( 1 ) cos( 1 ) cn
** 2 n ** 2 n
cos 1 sin 1 an = sin 1 cos 1 cn an** = (1) n 1 ** 1 cn
bn cos n(1 ) sin n(1 ) d n sin n(1 ) cos n(1 )
cos n1 bn n (1) dn sin n1
sin n1 cos n1
b d
** 1 n ** 1 n
Selanjutnya, harmonik ganjil dari dua klasifikasi tetap sama untuk semua n, tetapi harmonik genap (tidak termasuk bias A0 dan C0) berubah tanda.
Titik awal, sudut rotasi θ1 ditentukan dari titik (x1,y1) dengan lokus elliptik berikut: x1 a1 cos b1 sin y1 c1 cos d1 sin dengan 2 t / T , selanjutnya dengan menurunkan besaran phasor harmonik
pertama E ( x12 y12 )1/ 2 dan turunannya sama dengan nol, maka akan dihasilkan : 2(a b c d )
1
1 arctan 2 1 21 21 1 2 2 a1 c1 b1 d1 Ekspresi sudut rotasi ini mengalokasikan sumbu semimayor pertama sehingga berpindah dari titik awal pada arah rotasi kontur. Hal ini dapat dibuktikan dengan mensubstitusikan nilai 1 pada turunan kedua E dan kuantitas negatif akan selalu dihasilkan, yakni 0 ≤ θ1 ≤ . Rotasi spasial 1 ditentukan dari koefisien Fourier a1* dan c1* yang benar dari titik awal pengganti θ1 radian. a1* * b1
c1* cos 1 sin 1 a1 d1* sin 1 cos 1 b1
c1 d1
Dan titik ( x1* , y1* ) dengan lokus elliptiknya adalah : x1* (t * ) a1* cos
2 * * 2 * t b1 sin t T T
y1* (t * ) c1* cos
2 * 2 * t d1* sin t T T
Karena t* = 0 ketika phasor harmonik pertama berhimpit (align) dengan sumbu semimayor, maka 1 dihasilkan sebagai : y1* (0) * x1 (0)
1 arctan
c* = arctan 1* , a1
0 1 2
Selanjutnya besar semimayor adalah : E * (0) ( x1* (0) 2 y1* (0) 2 )1/ 2 (a1*2 c1*2 )1/ 2
Klasifikasi dapat dibuat secara bebas dari ukuran dengan membagi setiap koefisien dengan besaran sumbu semimayor, dan bebas dari translasi dengan mengabaikan bias A0 dan C0. an** ** cn
bn** an* d n** bn*
cn* cos 1 sin 1 1 d n* sin 1 cos 1 E *
2.12 Keputusan Pengenalan
Klasifikasi kontur digunakan baik pada model training untuk sampel kelas yang diketahui maupun model keputusan untuk pengenalan image yang belum diketahui. Pengukuran kemiripan antara citra kueri dengan citra yang ada dalam basis data dilakukan dengan menggunakan euclidian distance. distance= (ai**,n a**j ) 2 (bi**,n b**j ) 2 (ci**, n c**j ) 2 (di**,n d **j ) 2 dimana ai**,n , bi**,n , ci**,n , di**,n = koefisien data training a**j , b**j , c**j , d **j = koefisien data testing
dengan i=1, …, banyak data training j=1, ..., banyak data testing n=1, ..., banyak varietas. Selanjutnya keputusan pengenalan diperoleh dari :
recognition min(distance) i
2.13 Penelitian Terdahulu Yang Berkaitan
Neto et al (2005) telah melakukan penelitian yang berjudul “ Identifikasi spesies tanaman dengan menggunakan analisis bentuk daun Elliptic Fourier” dimana Elliptic Fourier (EF) dan analisis diskriminan yang digunakan untuk mengidentifikasi tanaman soybean (Glycine max (L.) merrill), sun flower (Helianthus pumilus), redroot pigweed (Amaranthus retroflexus) dan velvetleaf (Abutilon theophrasti Medicus) berdasarkan dari bentuk daun. Metode yang digunakan untuk mendapatkan boundary daun adalah menggunakan chain code dan fungsi harmonik elliptic Fourier. Hasil dari klasifikasi menunjukkan bahwa
spesies tanaman selama tiga minggu secara sukses diidentifikasi dengan rataan dari rata-rata klasifikasi yang benar adalah 89.4%. Model diskriminan secara benar mengklasifikasikan dengan rata-rata 77.9% redroot pigweed, 93.6% sunflower, 89.4% velvetleaf dan 96.5% soybean. Setelah menggunakan semua ekstraksi dari minggu kedua dan ketiga, seluruh akurasi klasifikasi adalah : 89.2%. Model diskriminan secara benar mengklasifikasikan 76.4% redroot pigweed, 93.6% sunflower, 81.6% velvetleaf, 91.5% daun soybean yang diekstraksi dari daun trifoliate dan 90.9% dari daun unifoliate. Analisis fitur bentuk elliptic Fourier merupakan alat yang penting dan akurat untuk identifikasi dan pementaan spesies weed.