11
BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian Value Stocks dan Growth Stocks Value investing adalah strategi investasi yang pada dasarnya melingkupi dua hal, yaitu membeli saham perusahaan yang diperdagangkan pada harga dibawah nilai intrinsiknya (undervalued) dan menjual saham perusahaan yang diperdagangkan pada harga diatas nilai intrinsiknya (overvalued). Value stocks adalah saham-saham perusahaan yang menjadi pilihan aset investasi bagi value investor. Dalam penelitian sebelumnya, value stocks diidentifikasikan sebagai saham perusahaan dengan P/E (Price per Earning per share) rendah oleh Basu (1977) dan Athanassakos, G. (2009) atau P/BV (Price per Book Value per share) oleh Fama dan French (1992) atau P/CF (Price per Cash Flow per share) oleh Lakonishok, Shleifer dan Vishny (1994). Growth stocks adalah saham-saham perusahaan yang menjadi pilihan aset investasi bagi growth investor. Growth investor mengadopsi strategi investasi growth investing yang memilih saham dengan tingkat pertumbuhan tinggi, dan berani membayar harga tinggi untuk saham perusahaan tersebut. Sehingga growth stocks diidentifikasi sebagai saham perusahaan dengan PER, P/BV, atau P/CF yang tinggi pada penelitian sebelumnya yang telah disebutkan diatas.
12
Value premium adalah selisih tingkat returns value stocks terhadap growth stocks. Winners dan Losers adalah terminologi yang dipakai pertama kali oleh Piotroski, J.D. (2000) dalam memisahkan antara value stocks yang baik dan value stocks yang buruk. Dengan winners sebagai terminologi value stocks yang baik dan losers sebagai terminologi value stocks yang buruk. Sejalan juga dengan Athanassakos (2013), penelitian ini akan menggunakan terminologi yang sama.
2.2. Literatur Tentang Perbandingan Tingkat Returns antara Value Stocks dan Growth Stocks Permasalahan pertama dirumuskan pada Bab I sebagai berikut: Bagaimanakah perbandingan tingkat returns antara value stocks dengan growth stocks di pasar saham Indonesia selama periode tahun 2003-2013? Untuk membantu penulis dalam menjawab permasalahan pertama dalam penelitian ini, berikut literatur yang terkait: Basu, S. (1977) dalam penelitiannya menggunakan data perusahaan yang terdaftar dalam bursa NYSE selama periode tahun 1956-1969. Data perusahaan tersebut dipisahkan per tahunnya. Lalu PER yang dihitung dengan harga penutupan setiap hari terakhir perdagangan pada bulan Desember tahun terkait. Data perusahaan tersebut diurutkan lalu dibagi menjadi lima (quintiles) portfolio. Kelima portfolio tersebut diasumsikan untuk dibeli pada hari pertama perdagangan bulan April dan dijual pada hari terakhir perdagangan bulan Maret tahun berikutnya. Tingkat return
13
dihitung tiap tahun, lalu kelima portfolio tersebut diperbandingkan berdasarkan ratarata dan median. French, K. dan Fama, E.F. (1992) menggunakan data semua perusahaan yang terdaftar dalam bursa NYSE, AMEX, dan NASDAQ selama periode tahun 19621989, kecuali perusahaan keuangan, karena leverage tinggi yang merupakan hal normal bagi perusahaan keuangan umumnya merupakan indikasi masalah keuangan (financial distress) untuk perusahaan non-keuangan. Untuk mengidentifikasi value stocks, French, K. dan Fama, E.F. menggunakan rasio BV/P (Book Value per share per Price) yang dihitung pada hari terakhir perdagangan Desember tahun terkait. Data perusahaan tersebut dipisahkan per tahunnya, diurutkan, lalu dibagi menjadi 10 (deciles) portfolio. Tingkat returns saham tersebut dihitung dengan mengasumsikan portfolio dibeli pada hari pertama perdagangan bulan Juli dan dijual pada hari terakhir perdagangan bulan Juni tahun berikutnya. Argumen yang mereka gunakan untuk menjustifikasi perhitungan return Juli-Juni adalah walaupun peraturan SEC mengharuskan perusahaan melaporkan laporan keuangan akhir tahun dalam 3 bulan pertama dalam setahun, namun rata-rata ada 19,8% perusahaan yang melanggar peraturan ini. Lakonishok, J., Schleifer, A., Vishny, R.W. (1994) menggunakan data perusahaan terdaftar dalam bursa NYSE dan AMEX selama periode tahun 19631990. Perbedaan utama penelitian mereka dibandingkan dengan penelitian sebelumnya terletak pada lebih panjangnya periode perhitungan tingkat return. Tingkat return kinerja portfolio yang dibentuk dihitung dengan asumsi portfolio dibeli pada akhir April tahun tersebut (t) dan dijual pada April tahun berikutnya (t+1)
14
berurutan sampai tahun kelima setelah pembentukan portfolio (t+5). Sehingga mereka dapat membandingkan konsistensi tingkat return value stocks pada tahun pertama, kedua, dan seterusnya sampai tahun kelima. Salah satu penemuan yang mereka dapatkan adalah tingkat return value stocks cenderung meningkat seiring dengan semakin panjangnya waktu pemegangan saham. Dan value premium yang cenderung semakin konsisten juga seiring dengan semakin panjangnya waktu pemegangan saham. Athanassakos, G. (2009) menggunakan data bursa saham AMEX, NASDAQ, dan NYSE selama periode tahun 1985-2006. Perbedaan utama penelitiannya dengan penelitian sebelumnya adalah pembagian data perusahaan setelah diurutkan berdasarkan rasio pengidentifikasi value stocks menjadi 4 (quartiles) portfolio, dimana mayoritas penelitian sebelumnya membagi menjadi 10 (deciles) portfolio. Argumen yang menjustifikasi keputusan ini didasarkan pada penelitian Conrad, Cooper dan Kaul (2003) bahwa bukti pendukung value premium meningkat dengan pembagian yang demikian.
2.3. Literatur Tentang Penggunaan Rasio Finansial Permasalahan kedua dirumuskan pada Bab I sebagai berikut: Apakah rasio finansial dapat dimanfaatkan untuk memisahkan value stocks yang baik dari value stocks yang buruk? Untuk membantu penulis dalam menjawab permasalahan kedua dalam penelitian ini, berikut literatur yang terkait:
15
Penelitian Penman (1989) membuktikan bahwa kombinasi rasio finansial yang didapat dari laporan keuangan dapat memprediksi perubahan pendapatan perusahaan secara akurat. Holthausen dan Larcker (1992) menunjukkan bahwa kombinasi yang sama dapat secara langsung memprediksi return saham perusahaan. Yang menjadi masalah utama dari kedua penelitian diatas adalah penggunaan metodologi yang sangat kompleks serta rasio finansial yang sangat banyak jumlahnya. Untuk mengatasi masalah ini, Lev dan Thiagarajan (1993) menggunakan 12 sinyal finansial yang terkait dengan pendapatan, ukuran perusahaan dan kondisi makroekonomi. Piotroski,
J.D
(2000)
mengembangkan
penelitian
sebelumnya
dan
menggabungkannya dengan penelitian yang terkait dengan value stocks, membuatnya menjadi salah satu akademisi pertama yang mencoba memisahkan value stocks yang baik dari yang buruk dengan memanfaatkan rasio finansial. Piotroski menggunakan 9 rasio finansial untuk mengukur 3 area kondisi perusahaan: profitabilitas, likuiditas, dan efisiensi operasional. Untuk profitabilitas, ia mengukur ROA (Return on Asset), CFO (Cash Flow form Operation), ∆ROA (Perubahan pada ROA pada tahun (t) dari (t-1)) dan ACCRUAL (Pendapatan bersih dikurangi CFO). Untuk likuiditas, ia mengukur ∆LEVER (Perubahan pada Debt to Equity Ratio pada tahun (t) dari tahun (t-1)), ∆LIQUID (Perubahan pada Current Ratio pada tahun (t) dari tahun (t-1)), dan EQ_OFFER (Ada tidaknya Equity Offering). Untuk efisiensi operasional, ia mengukur ∆MARGIN (Perubahan Gross Profit Margin pada tahun (t) dari (t-1)), ∆TURN (Perubahan Asset Turnover pada tahun (t) dari (t-1)). Lalu ia memberikan nilai biner (0 atau 1) untuk hasil rasio finansial setiap value stocks. Skor 1 untuk rasio
16
ROA, CFO, ∆ROA, ∆LIQUID, ∆MARGIN, dan ∆TURN yang > 1 atau positif, ACCRUAL, ∆LEVER yang < 1 atau negatif, dan tidak adanya equity offering untuk EQ_OFFER. Skor 0 untuk kondisi sebaliknya. Setelah itu kesembilan nilai biner rasio finansial tersebut digunakan untuk membentuk indikator skor komposit. Sehingga karena secara total penelitian ini akan menggunakan 9 rasio finansial sebagai variabel, maka skor komposit (SCORE) minimal yang satu value stocks dapat miliki adalah 0 dan skor komposit (SCORE) maksimal yang satu value stocks dapat miliki adalah 9. Pengaturan pemberian skor tersebut didesign sehingga value stocks yang baik diharapkan memiliki skor komposit (SCORE) tinggi dan value stocks yang buruk diharapkan memiliki skor komposit yang rendah (SCORE). Penelitian ini membuktikan bahwa value stocks dengan skor komposit (SCORE) tinggi memiliki persentase tingkat return positif yang jauh lebih tinggi daripada portfolio yang terdiri dari semua value stocks. Penelitian ini juga membuktikan adanya korelasi positif antara tingkat return dengan skor komposit (SCORE). Terakhir, penelitian ini juga melakukan regresi multi linear untuk mengetahui kontribusi masing-masing rasio terhadap tingkat return, dan ditemukan bahwa diantara 9 rasio finansial tersebut, ROA, ∆ROA, dan CFO merupakan 3 rasio finansial dengan signifikansi statistik yang paling rendah dan ∆TURN merupakan salah satu rasio finansial dengan signifikansi statistik tertinggi. Athanasssakos, G. (2013) melakukan penelitian yang hampir sama dengan Piotroski (2000), tetapi dengan menggunakan rasio finansial yang berbeda. Dalam penelitian ini, Athanassakos hanya menggunakan 5 rasio finansial untuk menghindari pembentukan indikator skor komposit yang terlalu kompleks. Rasio finansial yang ia
17
gunakan adalah TURNOVER (Sales/Total Asset), EBITG (Pertumbuhan EBIT), EPSG (Pertumbuhan EPS), LIQUID (Likuiditas transaksi saham), dan SIZE (Kapitalisasi Pasar). Perbedaan utama penelitian Athanassakos, G. (2013) dengan penelitian Piotroski, J.D (2000) terletak pada penentuan nilai binernya. Pertama, Athanassakos membandingkan rasio finansial suatu perusahaan dengan median dari total sampel dan kedua, Athanassakos memberikan nilai biner 0 untuk value stocks yang baik dan 1 untuk value stocks yang buruk, sehingga value stocks yang baik diharapkan memiliki skor komposit (SCORE) rendah dan value stocks yang buruk diharapkan memiliki skor komposit yang tinggi (SCORE). Novy-Marx (2012) membuktikan bahwa tingkat profitabilitas perusahaan sangat mempengaruhi tingkat returns saham perusahaan terkait. Bahkan pengaruh tersebut dia klaim memiliki pengaruh yang sebanding dengan value premium dalam mencetak return tinggi. Walaupun secara luas, penelitian ini mendukung strategi growth investing, karena penelitian ini membuktikan tingginya tingkat profitabilitas perusahaan dapat menjustifikasi harga yang tinggi, namun Novy-Marx juga menekankan pada value investor, bahwa dengan memilih value stocks yang memiliki profitabilitas tinggi, strategi value investing dapat menjadi jauh lebih tajam dalam memprediksi tingkat return investasi.
18
2.3.1. 7 Rasio Finansial Pembentuk Indikator Skor Komposit (SCORE) Dari Piotroski, J.D (2000), penulis mengadopsi ∆TURN karena merupakan salah satu rasio finansial dengan signifikansi statistik tertinggi pada penelitiannya. Lalu dari Athanasssakos, G. (2013), penulis akan mengadopsi 4 dari 5 rasio yang ia gunakan, TURNOVER, EBITG, EPSG, dan SIZE, karena semua rasio yang digunakan Athanassakos terbukti signifikan dalam regresi multi linear. Penulis tidak mengikutsertakan LIQUID karena ingin menjaga indikator skor komposit dalam penelitian ini berdasar pada rasio finansial suatu perusahaan, sedangkan LIQUID pada penelitian Athanassakos adalah ukuran volume perdagangan suatu saham. Terakhir, karena Novy-Marx (2012) mengatakan bahwa tingkat profitabilitas sangat menentukan tingkat returns saham suatu perusahaan, penulis akan menambah satu rasio finansial untuk mengukur profitabilitas yaitu ROE (Return on Equity), yang akan dipecah menjadi 3 rasio finansial berdasarkan ROE formula DuPont menjadi TURNOVER (Sales/Total Asset), MARGIN (Net Income/Sales), dan LEVERAGE (Total Asset/Equity). Sehingga ketujuh rasio finansial yang telah dipilih tersebut akan mengukur 4 area dari setiap perusahaan yaitu profitabilitas, pertumbuhan, efisiensi operasi, dan ukuran perusahaan. Dengan profitabilitas diukur oleh rasio TURNOVER (Sales/Total Asset), MARGIN (Net Income/Sales), dan LEVERAGE (Total Asset/Equity) Pertumbuhan perusahaan diukur oleh EBITG (Pertumbuhan EBIT tahun (t) dibanding tahun (t-1)) dan EPSG (Pertumbuhan EPS tahun (t) dibanding tahun (t-1)). Efisiensi
19
operasi diukur oleh ∆TURN (Perubahan Asset Turnover tahun (t) dibanding tahun (t1)). Dan ukuran perusahaan diukur oleh SIZE (Kapitalisasi pasar). Secara lebih detail, masing-masing dari kesembilan rasio tersebut akan dijelaskan dibawah ini.
2.3.2. Return on Equity Model DuPont Sudah menjadi rahasia umum bahwa menurut Warren Buffet, ROE merupakan salah satu faktor terpenting dalam menentukan saham perusahaan yang akan dibelinya. Untuk itu saya juga akan memasukkan ROE dalam skor komposit di penelitian ini. Berdasarkan formula DuPont, ROE dapat dipecah menjadi 3 rasio finansial, yaitu asset turnover, profit margin, dan financial leverage. Keuntungan dari memecah ROE menjadi 3 rasio adalah membedakan perusahaan ber-ROE tinggi yang sehat dan yang tidak sehat, karena dengan memecah ROE suatu perusahaan menjadi 3 rasio, kita dapat mengetahui apa yang menyebabkan tingginya ROE perusahaan tersebut. Sebagai contohnya, dua perusahaan dengan ROE yang sama-sama tinggi. ROE perusahaan yang satu itu tinggi sebagai hasil dari tingginya rasio asset turnover dan profit margin, sedangkan perusahaan yang satu lagi memiliki ROE tinggi sebagai hasil dari tingginya financial leverage. Menunjukkan bahwa perusahaan pertama memiliki ROE tinggi sebagai hasil dari keunggulan manajemen dalam mengelola aset dan operasional perusahaan, sedangkan perusahaan kedua memiliki ROE tinggi sebagai hasil dari tingginya penggunaan hutang. Tentunya analisa seperti ini sangat
20
penting dalam menentukan perusahaan mana yang lebih baik, sebelum kita memutuskan akan berinvestasi diperusahaan mana. Asset Turnover diukur dengan membagi pendapatan perusahaan dengan total aset. Dalam indikator skor komposit, asset turnover akan disingkat TURNOVER. Asset Turnover = 𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠⁄𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 Profit Margin diukur dengan membagi pendapatan bersih perusahaan dengan total pendapatan. Dalam indikator skor komposit, profit margin akan disingkat MARGIN. Profit Margin = 𝑁𝑒𝑡 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒⁄𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠 Financial Leverage diukur dengan membagi total aset dengan ekuitas perusahaan. Dalam indikator skor komposit, financial leverage akan disingkat LEVERAGE. Financial Leverage = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡⁄𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦
2.3.3. Pertumbuhan EBIT dan EPS Dalam
mengukur
tingkat
pertumbuhan
perusahaan,
penulis
akan
menggunakan pertumbuhan pada EBIT (Earning Before Interest and Tax) dan EPS (Earning per Share). Kedua rasio ini terbukti signifikan mempengaruhi tingkat return saham suatu perusahaan pada penelitian Athanassakos (2013). Karena itulah penulis akan menggunakan kedua rasio ini dalam indikator skor komposit.
21
Pertumbuhan EBIT diukur dengan mengurangi EBIT tahun (t) dengan tahun (t-1) lalu membagi hasil pengurangan tersebut dengan EBIT tahun (t-1). Dalam indikator skor komposit, pertumbuhan EBIT akan disingkat EBITG. Pertumbuhan EBIT = (𝐸𝐵𝐼𝑇 (𝑡) − 𝐸𝐵𝐼𝑇 (𝑡 − 1))⁄𝐸𝐵𝐼𝑇 (𝑡 − 1) Pertumbuhan EPS diukur dengan mengurangi EPS tahun (t) dengan tahun (t1) lalu membagi hasil pengurangan tersebut dengan EPS tahun (t-1). Dalam indikator skor komposit, pertumbuhan EPS akan disingkat EPSG Pertumbuhan EPS = (𝐸𝑃𝑆 (𝑡) − 𝐸𝑃𝑆 (𝑡 − 1))⁄𝐸𝑃𝑆 (𝑡 − 1)
2.3.4. Perubahan Asset Turnover Perubahan Asset Turnover adalah ukuran yang paling menonjol dan signifikan dalam regresi yang dilakukan oleh Piotroski, J.D. (2000). Perubahan Asset Turnover akan mengukur efisiensi perusahaan, dengan perubahan positif menunjukkan perusahaan semakin efisien dalam menggunakan asetnya dan perubahan negatif menunjukkan perusahaan semakin tidak efisien dalam menggunakan asetnya. Perubahan asset turnover diukur dengan mengurangi aset turnover tahun (t) dengan tahun (t-1). Dalam indikator skor komposit, perubahan asset turnover akan disingkat ∆TURN. Perubahan asset turnover = Asset Turnover tahun (t) – Asset Turnover tahun (t-1)
22
2.3.5. Ukuran Kapitalisasi Pasar Ukuran kapitalisasi pasar mengukur besarnya suatu perusahaan. Dihitung dengan mengkalikan harga saham suatu perusahaan dengan jumlah saham beredar. Ukuran kapitalisasi pasar merupakan salah satu rasio yang digunakan oleh Athanassakos (2013) dalam indikator skor komposit buatannya, dan terbukti signifikan dalam menentukan tingkat return saham. Dalam indikator skor komposit di penelitian ini, ukuran perusahaan akan disingkat SIZE. Ukuran Kapitalisasi Pasar = Harga Saham x Jumlah Saham Beredar
2.4.
Literatur
Tentang
Penggunaan
Indeks
Sebagai
Benchmark Untuk Mengukur Kinerja Portfolio Saham Permasalahan ketiga dirumuskan pada Bab I sebagai berikut: Bagaimanakah perbandingan kinerja portfolio winners (portfolio yang berisikan value stocks yang baik) dengan kinerja IHSG selama periode tahun 2004-2013? Untuk membantu penulis dalam menjawab permasalahan ketiga dalam penelitian ini, berikut literatur yang terkait: Saat seorang investor saham berbicara tentang kinerja pasar, umumnya yang mereka maksud adalah kinerja suatu indeks yang merepresentasi kumpulan semua saham atau kumpulan saham dalam sektor tertentu. Indeks merupakan indikator arah pasar secara keseluruhan, atau suatu segmen tertentu. Dan investor menggunakan indeks ini sebagai benchmark untuk mengukur kinerja investasi mereka.
23
Penggunaan indeks sebagai indikator yang merefleksikan kinerja pasar dan sebagai benchmark untuk mengukur kinerja portfolio saham sudah merupakan kebiasaan praktis investor sejak tahun 1884, dengan Charles H. Dow dan Edward D. Jones sebagai pembentuk indeks pertama kali di dunia, Dow-Jones Average. Lalu pada tahun 1896, Dow dan Jones membentuk indeks kedua, yang masih ada sampai sekarang yaitu Dow-Jones Industrial Average. Untuk bursa saham Indonesia, ada beberapa indeks yang terdiri dari kumpulan saham yang berbeda-beda. Bursa Efek Indonesia sendiri memiliki dan mengelola 11 indeks, dengan salah satunya adalah IHSG yang merupakan singkatan dari Indeks Harga Saham Gabungan. IHSG akan digunakan sebagai benchmark dalam penelitian ini karena IHSG adalah satu-satunya indeks di Indonesia yang menggunakan semua perusahaan tercatat sebagai komponen perhitungan saham, sehingga IHSG dapat menggambarkan keadaan pasar secara keseluruhan.
2.5. Perbedaan Penelitian Ini Dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, utamanya pada penggunaan rasio ROE (Return on Equity) dengan dipecah menjadi 3 rasio berdasarkan formula DuPont sebagai salah satu ukuran profitabilitas perusahaan. Keputusan ini utamanya didasari oleh pentingnya ukuran profitabilitas dalam memilih saham yang dapat memiliki tingkat return yang superior Novy-Marx (2012), ROE sebagai rasio finansial yang sering kali diingatkan oleh Warren Buffett untuk setiap investor perhatikan dalam keputusan investasinya, dan ROE formula DuPont
24
yang memampukan investor untuk membedakan ROE tinggi karena kemampuan manajemen dalam mengelola aset dan operasional perusahaan atau ROE tinggi karena penggunaan hutang yang berlebihan. Sehingga penelitian ini akan menggunakan ROE formula DuPont sebagai salah satu variabel pembentuk indikator skor komposit.
2.6. Literatur Tentang Pengujian Statistik Hubungan antar dua variabel diuji dengan korelasi, sedangkan pengaruh satu variabel terhadap variabel lainnya diuji dengan regresi. Dalam pengujian regresi, ada beberapa asumsi yang dibuat. Untuk itu diperlukan pengujian terhadap masalahmasalah yang mungkin muncul, yaitu dengan mengandalkan analisis residual (residual analysis). Semua pengujian statistik dalam penelitian ini akan menggunakan fungsi analisis data pada program Microsoft ® Excel. Secara lebih detail akan dibahas pada bagian berikut ini.
2.6.1. Korelasi Pengujian korelasi akan dilakukan untuk menguji hubungan masing-masing rasio finansial yang telah ditetapkan terhadap tingkat return saham. Tingkat keeratan hubungan antar 2 variabel diukur dengan koefisien korelasi yang dinotasikan dengan lambang r, dimana: r=0 berarti tidak ada korelasi antar 2 variabel.
25
r=+1 berarti ada korelasi positif antar 2 variabel, sehingga kenaikkan satu variabel akan diikuti oleh kenaikkan variabel yang kedua. r=-1 berarti ada korelasi negatif antar 2 variabel, sehingga kenaikkan satu variabel akan diikuti oleh penurunan variabel yang kedua.
2.6.2. Regresi Regresi sederhana (simple regression) adalah analisa untuk menguji pengaruh satu variabel bebas (independent variable) terhadap satu variabel terikat (dependent variable). Regresi sederhana dalam penelitian ini akan dilakukan untuk menguji pengaruh indikator skor komposit (SCORE) terhadap tingkat return saham. Rumus regresi sederhana adalah sebagai berikut: 𝑌𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑋1 + 𝜀 𝑌𝑖 = dependent variable 𝛽0= Y intercept of population 𝑋1= independent variable 𝛽1= slope of population 𝜀 = random error in Y Signifikan atau tidaknya pengaruh X terhadap Y ditentukan dengan pengujian hipotesis (hypothesis testing). Uji F test dilakukan dengan rumus sebagai berikut: 𝑟 2⁄ 𝑘
𝐹=
𝑀𝑆𝑅 = 𝑀𝑆𝐸 (1 − 𝑟 2 )⁄ (𝑛 − 𝑘 − 1)
26
p-value < 0,01 berarti indikator skor komposit memiliki pengaruh sangat signifikan terhadap tingkat returns saham p-value < 0,05 berarti indikator skor komposit memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat returns saham p-value > 0,05 berarti indikator skor komposit tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat returns saham Ada beberapa asumsi yang dibuat dalam melakukan regresi, yaitu: 1. Linearity Hubungan antara variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable) adalah hubungan yang linear. 2. Independence of Error Nilai eror (error values) tidak memiliki ketergantungan secara statistik. Nilai eror (error values) dari setiap variabel dianggap terdistribusi normal. 3. Equal Variance (Homoscedasticity) Distribusi probabilitas dari kesalahan (probability distribution of errors) memiliki varian yang konstan. Karena itu, setelah regresi sederhana selesai dilakukan, diperlukan adanya analisis residual. Residual adalah selisis antara (Y) yang diprediksi atau yang didapat berdasarkan model regresi yang telah ada, dengan (Y) sebenarnya. Residual dinotasikan sebagai berikut: 𝑒 = 𝑌𝑖 − 𝑌̂𝑖
27
Analisis residual dilakukan dengan cara memplot residual terhadap garis X berdasarkan model regresi yang telah didapat pada grafik.