BAB II LANDASAN TEORI
A.
Pengendalian Internal Pengendalian
internal
merupakan
suatu
cara
untuk
mengarahkan,
mengawasi dan mengukur sumber daya suatu organisasi. Kegiatan tersebut berperan penting untuk mencegah dan mendeteksi penggelapan (fraud) dan melindungi sumber daya organisasi baik yang berwujud seperti mesin dan lahan maupun tidak berwujud seperti reputasi atau hak kekayaan intelektual seperti merk dagang. Pengendalian internal terdiri atas kebijakan dan prosedur yang digunakan dalam operasi organisasi untuk menyediakan informasi yang handal serta menjamin dipatuhinya hukum dan peraturan yang berlaku. Tujuan pengendalian internal berkaitan dengan keandalan laporan keuangan, umpan balik yang tepat waktu terhadap pencapaian tujuan-tujuan operasional dan strategis, serta kepatuhan hukum dan regulasi. Pada tingkatan transaksi spesifik intern, pengendalian internal merujuk pada aksi yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu seperti memastikan pembayaran dilakukan sesuai prosedur. Prosedur pengendalian internal mengurangi variasi proses dan pada gilirannya memberikan hasil yang lebih dapat diperkirakan. Menurut Anastasia dan Lilis (2011:82) pengendalian internal adalah: Semua rencana operasional, metode, dan pengukuran yang dipilih oleh suatu kegiatan usaha untuk mengamankan harta kekayaannya, mengecek keakuratan dan keandalan data akuntansi usaha tersebut, meningkatkan
7
8
efisiensi operasional, dan mendukung dipatuhinya kebijakan manajerial yang telah ditetapkan. Menurut Mulyadi (2008:163), pengendalian internal meliputi : Struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi, mendorong efisiensi, dan mendorong dipatuhinya kebijakan manajemen. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengendalian internal meliputi organisasi dan semua metode serta ketentuan-ketentuan yang terkoordinasi demi mengamankan kekayaan, memelihara kecermatan, dan sampai sejauh mana data akuntansi dapat dipercaya. Pengendalian internal dapat
mencegah kerugian atau pemborosan
pengolahan sumber daya perusahaan. Pengendalian internal juga menyediakan informasi tentang bagaimana menilai kinerja dan manajemen perusahaan serta menyediakan informasi yang akan digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan. Pengendalian internal erat hubungannya dengan pengawasan internal. Pengawasan internal adalah seluruh kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur yang ditetapkan secara efektif dan efisien untk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kelola yang baik. Dalam konteks perusahaan, James A. Hall (2011:181) menjelaskan bahwa sistem pengendalian internal (internal control system) terdiri atas berbagai
9
kebijakan, praktik, dan prosedur yang ditetapkan oleh perusahaan untuk mencapai 4 (empat) tujuan umum, yaitu : 1. Menjaga aktiva perusahaan; 2. Memastikan akurasi dan keandalan catatan serta informasi akuntansi; 3. Mendorong efisiensi dalam operasional perusahaan; dan 4. Mengukur kesesuaian dengan kebijakan serta prosedur yang ditetapkan oleh pihak manajemen. Seperti yang dijelaskan oleh Hall dalam bukunya “Pernyataan Standar Akuntansi No. 78 (SAS 78)” yang sesuai dengan rekomendasi Committe of Sponsoring Organization of the Treatway Commission (COSO), terdapat 5 (lima) komponen pengendalian internal yang meliputi: 1.
Lingkungan pengendalian (control environment) Mencakup sikap para manajemen dan karyawan terhadap pentingnya pengendalian yang ada di organisasi tersebut. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap lingkungan pengendalian adalah filosofi manajemen (manajemen tunggal dalam persekutuan atau manajemen bersama dalam perseroan) dan gaya operasi manajemen (manajemen yang progresif atau yang konservatif), struktur organisasi (terpusat atau terdesentralisasi), serta praktik kepersonaliaan. Lingkungan pengendalian ini amat penting karena menjadi dasar keefektifan unur-unsur pengendalian yang lain.
2.
Penilaian resiko (risk assesment) Semua organisasi memiliki resiko, baik dalam aktivitas yang berkaitan dengan bisnis maupun non bisnis. Resiko yang telah diidentifikasi dapat
10
dianalisi dan dievaluasi sehingga dapat diperkirakan intensitas dan tindakan yang dapat meminimalkanya. 3.
Informasi dan komunikasi (information and communication) Merupakan elemen-elemen penting dari pengendalian intern perusahaan. Informasi tentang lingkungan pengendalian, penilaian resiko, prosedur pengendalian dan monitoring diperlukan oleh manajemen sebagai pedoman operasional dan menjamin ketaatan dengan pelaporan hukum dan peraturanperaturan yang berlaku pada perusahaan. Informasi juga diperlukan oleh pihak luar perusahaan. Manajemen dapat menggunakan informasi jenis ini untuk menilai standar eksternal.
4.
Pemantauan (monitoring) Pihak manajemen harus memastikan bahwa pengendalian internal berfungsi seperti yang dimaksud. Pemantauan merupakan proses yang memungkinkan kualitas desain pengendalian internal serta operasinya berjalan. Pemantauan terhadap sistem pengendalian internal akan menemukan kekurangan serta meningkatkan
efektivitas
pengendalian.
Pengendalian
internal
dapat
dimonitor dengan baik dengan cara penilaian khusus atau sejalan denga usaha perusahaan. Usaha memantau yang terakhir dapat dilakukan dengan cara mengamati perilaku karyawan atau tanda-tanda peringatan yang diberikan oleh sistem akuntansi. Penilaian secara khusus biasanya dilakukan secara berkala saat terjadi perubahan pokok dalam strategi manajemen senior, struktur korporasi atau kegiatan usaha.
11
5.
Aktivitas pengendalian (control activities) Aktivitas pengendalian adalah berbagai kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk memastikan bahwa tindakan yang telah diambil untuk mengatasi resiko perusahaan yang telah diidentikasi. Aktivitas pengendalian ditetapkan untuk menstandarisasi proses kerja sehingga menjamin tercapainya tujuan perusahaan dan mencegah atau mendeteksi terjadinya ketidakberesan dan kesalahan. Dijelaskan lebih lanjut oleh James A. Hall (2011:186), bahwa lingkungan
pengendalian (control environment) merupakan dasar untuk semua komponen pengendalian intern yang lain. Lingkungan pengendalian memiliki beberapa elemen antara lain : 1.
Integritas dan nilai etika pihak manajemen;
2.
Struktur organisasi;
3.
Keterlibatan dewan komisaris dan komite audit perusahaan, jika ada;
4.
Filosofi pihak manajemen dan gaya beroperasi;
5.
Prosedur untuk mendelegasikan tanggung jawab dan wewenang;
6.
Metode pihak manajemen untuk menilai kinerja;
7.
Pengaruh eksternal, seperti pemeriksanaan oleh lembaga yang berwenang; dan
8.
Kebijakan dan praktik perusahaan untuk mengelola sumber daya manusianya. Penilaian resiko (risk assesment) bertujuan untuk mengidentifikasi,
menganalisis, dan mengelola resiko yang berkaitan dengan pelaporan keuangan.
12
Resiko dapat timbul dari berbagai perubahan lingkungan, seperti berikut ini: 1.
Perubahan dalam lingkungan operasional;
2.
Personel baru yang memiliki pemahaman berbeda atau tidak memadai atas pengendalian internal;
3.
Sistem informasi baru atau yang direkayasa ulang;
4.
Pertumbuhan yang signifikas dan cepat sehingga mengalahkan pengendalian internal yang ada;
5.
Implementasi teknologi baru ke dalam proses produksi atau sistem informasi yang berdampak pada pemrosesan transaksi;
6.
Pengenalan lini baru produk, atau aktivitas yang baru;
7.
Restrukturisasi organisasional;
8.
Masuk ke pasar asing yang dapat berdampak pada operasi; dan
9.
Adopsi prinsip akuntansi baru yang berdampak pada pembuatan lapora keuangan. Sistem informasi (information and communication) terdiri atas record dan
metode yang digunakan untuk memulai, mengidentifikasi, menganalisis, mengklasifikasi, serta mencatat berbagai transaksi perusahaan dan untuk menghitung aktiva dan kewajiban yang terkait. Sistem informasi akuntansi yang efektif akan dapat melakukan berbagai hal berikut ini: 1.
Mengidentifikasi dan mencatat semua transaksi keuangan yang valid;
2.
Menyediakan informasi secara tepat waktu mengenai berbagai transaksi;
3.
Secara akurat mengukur nilai keuangan berbagai transaksi;
4.
Secara akurat mencatat berbagai transaksi periode waktu terjadinya.
13
Pengawasan (monitoring) adalah proses dimana kualitas dari desain dan operasi pengendalian internal dapat dinilai. Penilaian ini dapat dicapai dengan prosedur yang terpisah atau melalui aktivitas yang berjalan. Aktivitas pengendalian (control activities) adalah berbagai kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk memastikan bahwa tindakan yang tepat telah dilakukan untuk menangani berbagai resiko yang telah diidentifikasi perusahaan. Menurut Harrison Jr. at.al (2011:233), tujuan pengendalian internal adalah sebagai berikut: 1.
Menjaga aset Perusahaan harus menjaga asetnya dari pemborosan, inefisiensi, dan kecurangan.
2.
Mendorong karyawan untuk mengikuti kebijakan perusahaan Semua orang dalam perusahaan baik manajer dan karyawan harus bekerja mencapai tujuan yang
sama.
Sistem pengendalian
yang
memadai
menyediakan kebijakan yang jelas yang menghasilkan perlakuan yang adil baik bagi pelanggan maupun karyawan. 3.
Mempromosikan efisiensi operasional Perusahaan tidak boleh memboroskan sumber dayanya, pengendalian yang efektif akan meninimalkan pemborosan, yang menurunkan biaya dan meningkatkan laba.
4.
Memastikan catatan akuntansi yang akurat dan dapat diandalkan Catatan yang akurat merupakan hal yang penting. Tanpa pengendalian yang memadai, catatan mungkin tidak dapat diandalkan, yang membuatnya tidak
14
mungkin menyatakan bagian mana dari perusahaan yang menguntungkan dan bagian mana yang memerlukan perbaikan. Perusahaan dapat kehilangan uang atas setiap produk yangterjual, kecuali catatan akurat mengenai biaya produk tersebut telah dibuat. 5.
Menaati persyaratan hukum Perusahaan, seperti manusia, merupakan subjek hukum. Jika mengabaikan hukum, perusahaan akan dikenai denda, atau dalam kasus yang ektrem, eksekutif puncaknya mungkin saja masuk penjara. Pengendalian internal yang efektif akan membantu memastikan ketaatan terhadap hukum dan membantu menghindarai kesulitan hukum. Berdasarkan tujuan pengendalian internal tersebut, maka pengendalian yang
dianut untuk mencapai tujuan-tujuan di atas terdiri dari pengendalian akuntansi intern dan pengendalian operasional. Pengendalian operasional dibedakan dari pengendalian akuntansi intern melalui tujuan utama operasionalnya. Pengendalian operasional ini lebih banyak dilakukan oleh bagian operasional daripada bagian akuntansi atau bagian keuangan. Akan tetapi, bukan berarti bahwa pengendalian operasional tidak berkaitan dengan pengendalian akuntansi intern, karena pengendalian dan catatan yang digunakan untuk pengendalian operasional dapat juga digunakan untuk pengendalian akuntansi intern. Sedangkan Mulyadi (2010:164), menyebutkan unsur-unsur pengendalian internal adalah sebagai berikut :
15
1.
Adanya struktur organisasi yang memisahkan tanggung jawab fungsional secara tepat. Penyusunan struktur organisasi sesuai dengan jenis dan ukuran skala perusahaan. Dasar pertimbangan pokok dalam menyusun struktur organisasi adalah fleksibel. Artinya, memungkinkan untuk pengembangan tanpa mengubah pola dasar.
2.
Pemberian wewenang yang pas dan prosedur pembukuan yang baik, yang menunjang pengawasan akuntansi terhadap aktiva, kewajiban, pendapatan dan beban usaha. Sistem wewenang dan prosedur pembukuan merupakan alat bagi manajemen untuk melaksanakan pengawasan terhadap operasi dan pencatatan atas transaksi yeng terjadi. Pengawasan terhadap operasi dilakukan melalui prosedur otorisasi yang diatur terlebih dahulu. Prosedurprosedur ini mencakup seluruh kegiatan yang ada dalam suatu badan usaha.
3.
Terselenggara praktik sehat dalam melaksanakan fungsi masing-masing unit organisasi.
Dalam melaksanakan fungsi masing-masing unit, setiap
pelaksanan harus
independen sesuai dengan prosedur
dan
tingkat
kewenangan. Praktik sehat ini berlaku pada setiap jenjang pelaksanaan kerja, yang akan langsung di cek oleh pelaksana berikutnya. 4.
Pegawai dengan tingkat kecakapan memadai sesuai dengan tanggung jawabnya. Sistem akuntansi yang disusun akan dilaksanakan oleh para pegawai. Pegawai yang cakap tidak harus berpendidikan tinggi, tetapi cukup mampu melaksanakan fungsi dan tanggung jawab masing-masing. Sementara itu, dalam lingkup pemerintahan di Indonesia, pengendalian
internal dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang
16
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Pada pasal 1 (satu) ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut, dijelaskan bahwa : Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan asset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa : Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP, adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selanjutnya, pada Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan bahwa Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) terdiri atas unsur : 1.
Lingkungan pengendalian;
2.
Penilaian resiko;
3.
Kegiatan pengendalian;
4.
Informasi dan komunikasi; dan
5.
Pemantauan pengendalian intern. Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut, dijelaskan bahwa Unsur
Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah ini mengacu pada unsur Sistem Pengendalian Intern yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara. Selanjutnya masing-masing unsur tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1.
Lingkungan pengendalian Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan
17
perilaku positif dan mendukung terhadap pengendalian intern dan manajemen yang sehat. 2.
Penilaian risiko Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam.
3.
Kegiatan pengendalian Kegiatan pengendalian membantu memastikan bahwa arahan pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakan. Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.
4.
Informasi dan komunikasi Informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan pengendalian dan tanggung jawabnya.
5.
Pemantauan Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti.
B.
Efektivitas Pengendalian Internal Pengendalian internal tidak bisa dilepaskan dari istilah efektivitas. Menurut
Mardiasmo (2009:182) efektivitas berarti “menyediakan jasa-jasa yang benar sehingga memungkinkan pihak yang berwenang untuk mengimplementasikan
18
kebijakan dan tujuannya”. Efektivitas berkenaan dengan dampak suatu output bagi pengguna jasa (konsumen). Untuk mengukur efektivitas suatu kegiatan harus didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan (disetujui) sebelumnya. Jika hal itu belum tersedia, auditor bekerja sama dengan top management dan badan pembuat keputusan untuk menghasilkan kriteria tersebut dengan berpedoman pada tujuan pelaksanaan suatu program. Efektivitas bisa juga diartikan sebagai keberhasilan suatu manajemen, program atau kegiatan dalam mencapai suatu tujuan yang ditetapkan. Efektivitas merupakan suatu aspek penilaian terhadap prestasi manajemen dalam mengelola perusahaan. Sedangkan pengendalian berorientasi pada usaha untuk menilai dan meningkatkan unsur efektivitas dari setiap aktivitas dalam suatu organisasi. Suatu pengendalian internal dikatakan efektif apabila memahami tingkat sejauh mana tujuan operasi entitas tercapai, laporan keuangan yang diterbitkan dipersiapkan secara handal, serta hukum dan regulasi yang berlaku dipatuhi. Arens et.al (2008:501) menjelaskan pengertian efektivitas adalah “tingkatan dimana tujuan organisasi dicapai”. Dari kutipan itu diketahui bahwa efektivitas adalah hubungan hasil (output) yang dicapai organisasi dengan sasaran yang ingin dicapai. Jika output tersebut mendekati sasaran atau tujuan, maka dapat dikatakan efektif. Masih menurut Arens, pengendalian internal yang efektif sangat erat hubungannya dengan keandalan data keuangan dan sangat fundamental bagi pemenuhan tanggung jawab manajemen secara keseluruhan. Daftar perkiraaan yang baik, pedoman kebijaksanaan akuntansi, dan prosedur disusun dengan tepat.
19
Prosedur yang telah ditetapkan itu dilaksanakan oleh orang-orang yang cakap, kompeten, serta adanya pemisahan tugas yang jelas. Dengan demikian, tercipta orang-orang yang profesional dalam bidangnya masing-masing serta dapat mendukung efektivitas struktur pengendalian internal. Sementara itu, pengertian efektivitas pengendalian internal dapat pula diawali dengan memahami definisi pengendalian internal yang disampaikan oleh Susanto (2007:103) sebagai berikut: Suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan direksi, manajemen dan karyawan yag dirancang untuk memberikan jaminan yang meyakinkan bahwa tujuan organisasi akan dapat dicapai melalui efisiensi dan efektivitas operasi, penyajian laporan keuangan yang dapat dipercaya, ketaatan terhadap undang-undang dan aturan yang berlaku. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengendalian internal yang efektif dapat tercapai ketika seluruh bagian perusahaan yakin bahwa tujuan perusahaan mereka akan bisa tercapai melalui efisiensi dan efektivitas operasi, penyajian laporan keuangan yang dapat dipercaya, ketaatan terhadap undang-undang dan aturan yang berlaku. Pengendalian internal akan berjalan secara efektif ketika didukung oleh aktivitas pengendalian. Seperti yang disampaikan oleh Bodnar dan Hopwood (2006: 129-146) aktivitas pengendalian di sini diartikan sebagai “ kebijakan dan prosedur yang dibangun untuk membantu memastikan bahwa arahan manajemen dilaksanakan dengan baik”. Beberapa hal penting dalam aktivitas pengendalian, yaitu: 1.
Pemisahan tugas;
2.
Dokumen dan catatan yang memadai;
20
3.
Akses terbatas ke harta karyawan organisasi;
4.
Pengencekan akuntabilitas dan tujuan kinerja oleh pihak independen; dan
5.
Pengendalian pengelolaan akuntansi. Devas
dalam
Tomo
(2004:34),
menilai
keefektifan
dengan cara
perbandingan antara realisasi penerimaan dan target penerimaan suatu kegiatan usaha, seperti yang telah diformulasikan sebagai berikut : Efektivitas (a) =
Efektivitas (b) =
Realisasi Penerimaan Potensi Penerimaan Realisasi Penerimaan Target Penerimaan
x 100%
x 100%
Formula inilah yang nantinya akan digunakan untuk mengukur efektivitas PNBP sub sektor perikana tangkap. Namun dengan perkembangan zaman yang ada pada saat ini, ada dua faktor yang relevan dan secara potensial diasumsikan mempengaruhi keefektifan implementasi kebijakan PNBP yaitu sanksi hukum (law enforcement) serta komitmen dan kepentingan dari pengusaha.
C.
Jenis-Jenis Penerimaan Negara Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
penerimaan negara adalah “uang yang masuk ke kas negara”. Sumber-sumber penerimaan negara bisa berasal dari pajak, retribusi, keuntungan BUMN/BUMD, denda dan sita, pencetakan uang, pinjaman, sumbangan, hadiah dan hibah, serta penyelenggaraan undian berhadiah. Pajak merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap wajib pajak tertentu berdasarkan undang-undang tanpa ada imbalan langsung bagi
21
pembayarnya. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dibagi menjadi pajak pusat yakni pajak yang dipungut Pemerintah Pusat dan pajak daerah yang dipungut Pemerintah Daerah. Pajak Pusat terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn-BM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Bea Materai, Bea Masuk, Cukai, dan pajak Ekspor. Sedangkan Pajak Daerah terdiri dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Hotel dan Restoran (PHR), Pajak Reklame, Pajak Hiburan, dan Pajak Bahan Bakar. Retribusi merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah berdasarkan undang-undang di mana pemerintah memberikan imbalan langsung bagi pembayarnya. Pungutan retribusi dapat dipaksakan. Contoh retribusi adalah pelayanan medis di rumah sakit milik pemerintah, pelayanan perparkiran pemerintah, pembayaran uang sekolah, dan lain-lain. Sebagai pemilik BUMN, pemerintah pusat berhak memperoleh bagian laba yang diperoleh BUMN. Demikian pula dengan BUMD, pemerintah daerah sebagai pemilik BUMB berhak memperoleh bagian laba BUMD. Pemerintah berhak memungut denda atau menyita aset milik masyarakat, apabila masyarakat baik itu individu, kelompok, maupun organisasi diketahui telah melanggar peraturan pemerintah. Contoh denda adalah denda pelanggaran lalu lintas, denda ketentuan peraturan perpajakan, penyitaan barang-barang illegal, penyitaan jaminan atas hutang yang tidak tertagih, dan lain-lain.
22
Pencetakan uang umumnya dilakukan pemerintah dalam rangka menutup defisit anggaran, apabila tidak ada alternatif lain yang dapat ditempuh. Penentuan besarnya jumlah uang yang dicetak harus dilakukan dengan cermat, agar pencetakan uang tidak menimbulkan inflasi. Pinjaman pemerintah merupakan sumber penerimaan negara yang dilakukan apabila terjadi defisit anggaran. Pinjaman pemerintah di kemudian hari akan menjadi beban pemerintah karena pinjaman tersebut harus dibayar kembali berikut dengan bunganya. Pinjaman dapat diperoleh dari dalam maupun luar negeri. Sumber pinjaman bisa berasal dari pemerintah, institusi perbankan, institusi non bank, maupun individu. Sumbangan, hadiah, dan hibah dapat diperoleh pemerintah dari individu, institusi atau pemerintah. Sumbangan, hadiah, dan hibah dapat diperoleh dari dalam
maupun
luar
negeri.
Tidak
ada
kewajiban
pemerintah
untuk
mengembalikan sumbangan, hadiah, atau hibah. Sumbangan, hadiah, dan hibah bukan penerimaan pemerintah yang dapat dipastikan perolehannya tetapi tergantung kerelaan dari pihak yang memberi sumbangan, hadiah atau hibah. Pemerintah dapat menyelenggarakan undian berhadiah dengan menunjuk suatu institusi tertentu sebagai penyelenggara. Jumlah yang diterima pemerintah adalah selisih dari penerimaan uang undian dikurangi dengan biaya operasi dan besarnya hadiah yang dibagikan. Banyak negara menyelenggarakan undian berhadiah seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jepang, dan Jerman. Pada masa lalu Indonesia juga pernah menyelenggarakan undian berhadiah.
23
Selanjutnya, berdasarkan institusi yang menanganinya, penerimaan negara dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian, yakni: penerimaan pemerintah pusat, penerimaan pemerintah daerah provinsi, dan penerimaan pemerintah daerah kabupaten/kota. Masing-masing penerimaan dijelaskan sebagai berikut: 1.
Penerimaan Pemerintah Pusat: a. Penerimaan pembiayaan, terdiri dari pinjaman sektor perbankan, pinjaman luar negeri, penjualan obligasi pemerintah, privatisasi BUMN, dan penjualan aset pemerintah; b. Penerimaan Negara dan Hibah, terdiri dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), bagian laba BUMN, dan lainlain penerimaan yang sah.
2.
Penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari: 1) Pajak Daerah; 2) Retribusi Daerah; 3) Bagian laba BUMD; 4) PAD lainnya yang sah, yeng terdiri dari pendapatan hibah, pendapatan dana darurat, dan lain-lain pendapatan. b. Pendapatan dari Dana Perimbangan, terdiri dari : 1) Bagian daerah dari PBB dan BPHTB; 2) Bagian daerah dari pajak Penghasilan Wajib ajak Perseorangan/ Pribadi; 3) Bagian daerah dari Sumber daya alam;
24
4) Bagian daerah dari Dana Alokasi Umum; 5) Bagian daerah dari Dana Alokasi Khusus. c. Penerimaan pembiayaan, terdiri dari: 1) Pinjaman dari Pemerintah Pusat; 2) Pinjaman dari pemerintah Daerah otonom Lainnya; 3) Pinjaman dari BUMN/BUMD; 4) Pinjaman dari Bank/Lembaga Non Bank; 5) Pinjaman dari Luar Negeri; 6) Penjualan Asset Daerah; 7) Penerbitan Obligasi Daerah. 3. Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), terdiri dari: 1) Pajak Daerah; 2) Retribusi Daerah; 3) Bagian Laba BUMD; 4) PAD lainnya yang sah, yang terdiri dari pendapatan hibah, pendapatan dana darurat, dan lain-lain pendapatan. b. Pendapatan dari Dana Perimbangan, terdiri dari: 1) Bagian daerah dari PBB dan BPHTB; 2) Bagian Daerah dari Pajak Penghasilan Wajib pajak Perseorangan/ Pribadi; 3) Bagian Daerah dari Sumber daya alam; 4) Bagian daerah dari Dana Alokasi Umum;
25
5) Bagian Daerah dari Dana Alokasi Khusus. c. Penerimaan pembiayaan, terdiri dari: 1) Pinjaman dari Pemerintah Pusat; 2) Pinjaman dari pemerintah Daerah otonom Lainnya; 3) Pinjaman dari BUMN/BUMD; 4) Pinjaman dari Bank/Lembaga Non bank; 5) Pinjaman dari Luar Negeri; 6) Penjualan Asset Daerah; 7) Penerbitan Obligasi Daerah.
D.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) PNBP merupakan salah satu unsur dari APBN, selain penerimaan pajak dan
penerimaan hibah dalam negeri dan luar negeri. PNBP secara substansial memiliki persamaan dengan retribusi yang dipungut pemerintah. Retribusi merupakan iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan yang jasa balik secara langsung ditunjukkan oleh pemakai jasa, begitu juga dengan PNBP. Paksaan ini bersifat ekonomis, siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, tidak dikenakan iuran itu. Oleh karena persamaan yang dimiliki antara PNBP dengan retribusi, maka penilaian di antara keduanya pun memiliki beberapa kesamaan, yaitu: 1.
Penilaian kecukupan;
2.
Penilaian keadilan;
3.
Penilaian kemampuan administratif;
26
4.
Penilaian kesepakatan politik. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa “Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan”. Selanjutnya, pada pasal 2 ayat (2) undang-undang tersebut dijelaskan bahwa kelompok PNBP meliputi: 1.
Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah;
2.
Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
3.
Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan;
4.
Penerimaaan dari pelayanan yang dilaksanakan pemerintah;
5.
Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;
6.
Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah;
7.
Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri. Kecuali jenis PNBP yang ditetapkan dengan Undang-undang, jenis PNBP
yang tercakup dalam kelompok sebagaimana terurai di atas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Artinya di luar jenis PNBP yang terurai di atas, dimungkinkan adanya PNBP lainnya. Menurut Tjandra (2006:79) komponen-komponen dari Penerimaan PNBP adalah: 1.
Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) a.
Minyak Bumi, faktor-faktor yang diperhitungkan adalah:
27
1) Harga minyak mentah dalam dollar AS per barel; 2) Produksi minyak mentah termasuk kondesat; 3) Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar; 4) Komponen pajak yang diperhitungkan dalam penerimaan sumber daya alam dari minyak bumi, tetapi diperhitungkan sebagai penerimaan PPh. b.
Gas Alam, faktor-faktor yang diperhitungkan adalah: 1) Volume ekspor dan harga LNG dan PPG; 2) Komponen pajak tidak diperhitungkan dalam penerimaan SDA gas alam, namun diperhitungkan sebagai penerimaan PPh.
c.
Pertambangan Umum, faktor-faktor yang diperhitungkan adalah : 1) Iklim investasi di pertambangan umum; 2) Variasi luas wilayah kuasa pertembangan yang wajib membayar iuran tetap (landrent) dan variasi tingkat produksi mineral/bahan galian yang diwajibkan membayar royalti; 3) Tarif royalti yang bervariasi dari yang terendah sampai yang tertinggi
dalam
dollar
AS
per
ton
serta
landrent
yang
mempertimbangkan harga pasar; 4) Hanya memperhitungkan bagian penerimaan pemerintah pusat. d.
Kehutanan, faktor-faktor yang diperhtiungkan adalah : 1) Variasi luas wilayah pengusahaan hutan, variasi tingkat produksi hasil hutan dan kelompok-kelompok jenis-jenis hasil hutan;
28
2) Variasi tarif disesuaikan dengan jenis dan kelompok hasil sumber daya hutan serta status dan lokasi HPH dan tarif yang berlaku umum per meter kubik; 3) Hanya diperhitungkan bagian penerimaan pemerintah pusat. e.
Perikanan, faktor-faktor yang diperhitungkan adalah : 1) Jumlah PMA dan PMDN yang beroperasi di wilayah laut Indonesia; 2) Hasil Produksi Perikanan, dan variasi tarif perizinan dan pengusahaan perikanan; 3) Hanya memperhitungkan bagian penerimaan pemerintah pusat.
2.
Bagian Pemerintah atas Laba BUMN, faktor-faktor yang diperhitungkan adalah: a.
Pertumbuhan ekonomi nasional;
b.
Upaya peningkatan laba BUMN melalui kebijakan reformasi BUMN;
c.
Pertimbangan atas kinerja dan tingkat kesehatan BUMN.
Sedangkan untuk PNBP lainnya, faktor-faktor yang diperhitungkan adalah sebagai berikut: 1.
Peningkatan disiplin pelaksanaan pemungutan dan penyetoran PNBP yang bersumber dari Kementerian/Lembaga;
2.
Penyesuaian berbagai tarif pungutan, dengan tetap mempertimbangkan daya beli masyarakat;
3.
Peningkatan pengawasan di dalam pelaksanaanya. Pemeriksaan PNBP pada instansi pemerintah merupakan kombinasi antara
pemeriksaan kinerja (performance audit) dan pemeriksaan kepatuhan (compliance
29
audit) yang membandingkan rencana dengan realisasi serta menguji ketepatan perhitungan target PNBP. Tujuan yang diharapkan adalah agar dapat memberikan pemahaman yang sama atas pemeriksaan pengelolan PNBP berdasarkan kondisi terkini dan mendorong pengelolaan PNBP yang transparan. Sedangkan manfaat yang diharapkan yaitu sebagai acuan dalam penyusunan pedoman teknis pemeriksaan PNBP. Tiap anggaran Kementerian/Lembaga Negara pada dasarnya mempunyai PNBP yang bersifat umum, tidak berasal dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. PNBP yang bersifat umum ini antara lain penerimaan hasil penjualan barang inventaris kantor yang tidak digunakan lagi, penerimaan hasil penyewaan barang milik negara, hasil penyimpanan uang negara pada bank pemerintah atas giro jasa, serta penerimaan kembali uang persekot gaji/tunjangan. Di samping PNBP yang umum, terdapat PNBP yang bersifat fungsional yaitu penerimaan yang berasal dari hasil pungutan Kementerian/Lembaga Negara atas jasa yang diberikan sehubungan dengan tugas dan fungsinya dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Penerimaan fungsional tersebut terdapat pada sebagian besar Kementerian /Lembaga Negara, namun macam dan ragamnya
berbeda
antara
satu
Kementerian/Lembaga
Negara
dengan
Kementerian/Lembaga Negara lainnya, tergantung kepada jasa pelayanan yang diberikan. Demikian pula dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, khususnya Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Sesuai dengan tugas dan fungsinya yang terkait dengan usaha penangkapan ikan, maka sumber PNBP yang dikelola
30
berasal dari pemanfaatan sumber daya ikan serta imbal jasa atas pelayanan yang diberikan kepada nelayan dan pelaku usaha. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak, pasal 1 ayat (5), rencana PNBP adalah hasil perhitungan/penetapan PNBP yang diperkirakan akan diterima dalam 1 (satu) tahun yang akan datang. Pejabat instansi pemerintah wajib menyampaikan rencana PNBP tahun anggaran yang akan datang di lingkungan instansi pemerintah bersangkutan kepada Menteri secara tertulis dan wajib disampaikan paling lambat tanggal 15 Juli pada tahun anggaran berjalan. Jika Pejabat Instansi Pemerintah tidak atau terlambat menyampaikan Rencana PNBP, Menteri dapat menetapkan Rencana PNBP instansi pemerintah yang bersangkutan. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 pasal 3 ayat (1), disebutkan bahwa tarif atas jenis PNBP ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya,
biaya
penyelenggaraan kegiatan pemerintah sehubungan dengan jenis PNBP yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. Tarif tersebut ditetapkan dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis PNBP yang bersangkutan. Pada prinsipnya, seluruh jenis dan penyetoran PNBP diatur dengan undangundang. Namun, apabila undang-undang belum menunjuk instansi pemerintah untuk menagih dan atau memungut PNBP terutang, maka Menteri Keuangan dapat menunjuk instansi pemerintah untuk tujuan dimaksud. Instansi Pemerintah
31
yang ditunjuk tersebut wajib menyampaikan kepada Menteri Keuangan secara tertulis dan berkala, yaitu rencana PNBP sekurang-kurangnya satu kali dalam satu Tahun Anggaran dan laporan realisasi PNBP sekurang-kurangnya dua kali dalam satu Tahun Anggaran. Jumlah PNBP yang terutang ditentukan dengan cara: 1.
Ditetapkan oleh instansi pemerintah, atau
2.
Dihitung sendiri oleh wajib pajak Terutangnya PNBP diatur dengan Peraturan Pemerintah dan penetapan
jumlah PNBP yang terutang menjadi kadaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya PNBP yang bersangkutan dan tertunda apabila wajib bayar melakukan tindak pidana di bidang PNBP. Seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke kas negara. Seluruh PNBP dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagian dana dari suatu jenis PNBP dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut oleh instansi yang bersangkutan, di antaranya : 1.
Penelitian dan pengembangan teknologi;
2.
Pelayanan kesehatan;
3.
Pendidikan dan pelatihan;
4.
Penegakan hukum;
5.
Pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual lainnya;
6.
Pelesterian sumber daya alam.
32
Ketentuan tentang tata cara penyampaian laporan realisasi PNBP diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006. Pada pasal 8 peraturan tersebut dijelaskan bahwa Satuan Kerja selaku Kuasa Pengguna Anggaran wajib menyampaikan pertanggungjawaban penerimaan negara dalam bentuk Laporan Realisasi Anggaran yang dihasilkan melalui Sistem Akuntansi Instansi.
E.
Standar Kepatuhan Pengelolaan PNBP Kepatuhan adalah ketaatan atau berdisiplin. Terkait dengan pengelolaan
PNBP, maka standar kepatuhan dapat diartikan secara bebas sebagai ketaatan dalam menjalankan semua peraturan yang terkait dengan pengelolaan PNBP. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:138), “kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan”. Dengan demikian, pihak yang dikenai kewajiban membayar pungutan PNBP bisa dikatakan patuh ketika mereka secara taat memenuhi dan melaksanakan kewajiban pembayaran pungutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam hal pengelolaan PNBP sub sektor perikanan tangkap, terdapat 3 (tiga) peraturan perundang-undangan terkait yang menjadi standar kepatuhan. Ketiga peraturan perundang-undangan tersebut adalah: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah; (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
33
Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan (sekarang nomenklatur Departemen telah berubah menjadi Kementerian). Pada Penjelasan dari ketiga peraturan perundang-undangan tersebut, tersaji pada uraian berikut ini.
1.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah merupakan peraturan yang secara khusus mengatur Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP. Pada peraturan pemerintah tersebut SPIP disebutkan merupakan proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundangundangan. SPIP diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan pengawasan intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
34
Dalam rangka melaksanakan pengendalian intern, pemerintah dalam hal ini menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota membentuk aparat pengawasan intern pemerintah yang terdiri atas : a. BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan); b. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern; c. Inspektorat Provinsi; d. Inspektorat Kabupaten/Kota BPKP melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi: 1) Kegiatan yang bersifat lintas sektoral; 2) Kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negera; 3) Kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden BPKP harus menyampaian laporan pengawasan kepada Menteri Keuangan. Berdasarkan laporan keuangan tersebut, BPKP menyusun dan menyampaikan ikhtisar laporan hasil pengawasan kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Inspektorat Jenderal melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang didanai dengan APBN. Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaran tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah provinsi atau kabupaten/kota yang
35
didanai oleh APBD Provinsi atau APBD Kabupaten/Kota. Ketiganya wajib menyusun ikhtisar laporan hasil pengawasan kepada menteri/pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya dengan tembusan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
2.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 Undang-undang nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan
Pajak merupakan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang Penerimaan Bukan Pajak (PNBP). Undang-undang ini dibentuk dalam rangka meningkatkan efisiensi perekonomian dan keuangan negara serta untuk memberikan kepastian peranan dan wewenang pemerintah dalam melaksanakan penyelenggaraan dan pengelolaan PNBP. Undang-undang ini mengatur tentang aturan umum mengenai pengelompokan jenis PNBP, apa yang menjadi dasar utama dari pengenaan tarif PNBP, serta bagaimana pemeriksaan terhadap PNBP. Di dalam undang-undang ini terdapat pula ketentuan hukum yang terkait, mengenai keberatan atas jumlah pengenaan PNBP maupun ketentuan pidana terkait PNBP tersebut. Adapun arah dan tujuan dari perumusan Undang-Undang nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP adalah sebagai berikut: a.
Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan melalui optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara bukan
36
pajak dan ketertiban administrasi pengelolaan penerimaan negara bukan pajak serta penyetoran penerimaan tersebut ke kas negara; b.
Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan-kegiatan yang menghasilkan PNBP;
c.
Menunjang
kebijaksanaan
pemerintah
dalam
rangka
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta investasi di seluruh wilayah Indonesia; d.
Menunjang upaya terciptanya aparat pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyederhaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi keuangan dan anggaran negara, serta pengingkatan pengawasan.
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006 Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2002 berisi tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan. Peraturan ini merupakan penjabaran teknis dari Undang-Undang nomor 20 tahun 1997 khusus untuk PNBP yang berada dalam lingkup kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dengan demikian, jenis pungutan PNBP bidang perikanan baik di pusat maupun di UPT lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan diatur dalam peraturan ini.
37
Pada pasal 2 peraturan pemerintah ini, dijelaskan bahwa jenis PNBP pada Kementerian Kelatan dan Perikanan adalah penerimaan dari : a.
Pungutan perikanan;
b.
Jasa pelabuhan perikanan;
c.
Jasa pengembangan dan pengujian mutu hasil perikanan;
d.
Jasa Pengembangan penangkapan ikan;
e.
Jasa budidaya perikanan;
f.
Jasa karantina ikan;
g.
Jasa pendidikan dan pelatihan; dan
h.
Jasa penyewaaan fasilitas. Dari kedelapan jenis dimaksud, yang masuk dalam kewenangan Direktorat
Jenderal Perikanan Tangkap adalah pungutan perikanan, jasa pelabuhan perikanan, dan jasa pengembangan penangkapan ikan. Pungutan perikanan selanjutnya biasa disebut dengan PBNP Sumber Daya Alam (SDA) karena merupakan imbal balik dari pelaku usaha yang telah memanfaatkan sumber daya ikan. Sedangkan jasa pelabuhan perikanan dan jasa pengembangan penangkapan ikan biasa disebut dengan PNBP Non-SDA. Selain tiga peraturan tersebut di atas, masih ada beberapa peraturan perundang-undnagan terkait yang mengatur PNBP, seperti PP nomor 22 tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran PNBP, PP no.73 tahun 1999 tentang Tata cara Penggunaan PNBP yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu, PP no.1 Tahun 2004 tentang Tata cara Penyampaian Rencana laporan Realisasi PNBP dan PP no.29
38
tahun 2009 tentang Tata cara Penentuan Pembayaran, dan Penyetoran PNBP Yang Terutang. Seluruh peraturan tersebut dijadikan acuan oleh instansi pemungut PNBP sehingga proses pemungutan dan pengelolaannya bisa berjalan sebagaimana mestinya.
F.
Hasil Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan pengelolaan
PNBP. Penelitian dimaksud beserta sarinya antara lain sebagai berikut: 1. Artikel yang disusun oleh Nimmi (2013) menyatakan bahwa besarnya potensi sumber daya perikanan tangkap Indonesia yang diperkirakan sebesar 6,52 juta ton per tahun (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011) erat kaitanya dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Saat ini PNBP salah satunya berasal dari perizinan (PPP dan PHP) yang dikenakan pada armada penangkapan yang beroperasi di perairan Indonesia sesuai dengan peraturan yang ada. Sektor perikanan khususnya perikanan tangkap diharapkan dapat menjadi salah satu sektor usaha yang dapat memberikan sumbangan signifikan pada PDB dan pertumbuhan ekonomi. Dijelaskan pula bahwa pengelolaan sumber daya perikanan tangkap saat ini bukan lagi menangkap ikan sebanyakbanyaknya melainkan perlu pula diikuti pengendalian sumber daya perikanan tangkap yang berkelanjutan yang salah satunya melalui instrumen perizinan.
39
2. Jurnal yang disusun oleh Tamsil (2013) mengatakan bahwa selama Tahun 2007-2011, PNBP sektor kelautan dan perikanan mengalami peningkatan ratarata sebesar 12,1%. Faktor utama yang mendukung adalah semakin intensifnya upaya penagihan atas tunggakan-tunggakan kewajiban PNBP pemegang izin kapal tangkap. Sumber utama PNBP sektor kelautan dan perikanan adalah dari Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dan Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) serta imbal jasa pelabuhan dan balai pengembangan. Selanjutnya ditegaskan juga oleh Tamsil bahwa sumber potensial ekonomi dari PPP dan PHP dapat ditingkatkan melalui optimalisasi kinerja dan tata kelola (governance). Harmonisasi kebijakan menjadi penting dalam upaya meningkatkan PNBP seperti pengesahan RUU keautan sebagai payung hukum, meningkatkan produktivitas dan efisiensi PNBP dari sumbersumber yang ada, anggaran yang berpihak pada sektor kelautan dan perikanan dengan didukung oleh kinerja yang baik. 3. Penelitian oleh Samuel (2009) menyatakan bahwa PP nomor 46 tahun 2002 menjadi alat pengendali internal terhadap PNBP di lingkungan Kanwil BPN Sumatera Utara, namun yang pasti bahwa PP nomor 46 tahun 2002 tidak “mendongkrak” jumlah PNBP yang diterima untuk suatu periode karena peran PP nomor 46 tahun 2002 hanya sebatas controller.
40
Tabel 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu
No
Nama Peneliti dan Tahun Penelitian
Judul Penelitian
Variabel Penelitian
Hasil Penelitian
1
Nimmi Zulbainarni (2013)
Tinjauan Empiris Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap
PNBP, sumber daya perikanan
Sumberdaya perikanan tangkap memberikan kontribusi cukup besar terhadap PNBP
2
Tamsil Linrung (2013)
Potensi Penerimaan Negara dari Sektor Kelautan dan Perikanan
PPP, PHP dan Imbal Jasa
PNBP sektor kelautan dan perikanan dapat ditingkatkan melalui optimalisasi kinerja dan tata kelola.
3
Samuel Sidjabat (2009)
Pengendalian Internal Terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui Penerapan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2002 Pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara
PNBP, pengendalian Internal
PP nomor 46 tahun 2002 menjadi alat pengendali internal terhadap PNBP di lingkungan Kanwil BPN Sumatera Utara.
Sumber : hasil analisis
Penelitian ini merupakan replikasi/pengembangan dari penelitian Samuel Sidjabat (2009) yang berjudul “Pengendalian Internal Terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui Penerapan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2002 Pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara”. Perbedaannya terletak pada objek penelitian, di
41
mana saya meneliti PNBP sub sektor perikanan tangkap pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
G.
Kerangka Pemikiran
Ditjen Perikanan Tangkap, KKP
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2006
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sub Sektor Perikanan Tangkap: a. SDA b. Non-SDA
Pengendalian Internal terhadap PNBP Sub Sektor Perikanan Tangkap
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian