BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Keagenan (agency theory)
Jensen dan Meckling (1976) dalam penelitian Wendy Endrianto (2010) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (prinsipal) meminta pihak lainnya (agen) untuk melaksanakan sejumlah pekerjaan atas nama prinsipal yang melibatkan pendelegasian beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen. Jika kedua pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut berusaha untuk memaksimalkan utilitas mereka maka ada kemungkinan bahwa agen tidak akan selalu bertindak untuk kepentingan terbaik prinsipal. Dengan tujuan memotivasi agen maka prinsipal merancang kontrak sedemikan rupa sehingga mampu mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak yang efisien merupakan kontrak yang memenuhi dua asumsi, yaitu sebagai berikut ini. (1) Agen dan prinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen maupun prinsipal memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri. (2) Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya. Namun, pada kenyataannya agen sebagai pengelola perusahaan umumnya memiliki informasi yang lebih banyak mengenai kondisi perusahaan dibandingkan dengan prinsipal sebagai pemilik perusahaan 9
sehingga menimbulkan terjadinya asimetri informasi. Eisenhardt (1989) dalam penelitian Wendy Endrianto (2010) menyatakan ada tiga asumsi sifat manusia terkait teori keagenan, yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia
tersebut
manajer
akan
cenderung
bertindak
oportunis,
yaitu
mengutamakan kepentingan pribadi dan hal ini memicu terjadinya konflik keagenan sehingga diperlukan peran pihak ketiga yaitu auditor independen untuk mengevaluasi pertanggungjawaban keuangan manajemen dan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Auditor sebagai pihak yang independen dibutuhkan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja manajemen apakah telah bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal melalui laporan keuangan. Prinsipal mengharapkan auditor memberikan peringatan awal mengenai kondisi keuangan perusahaan. Data-data perusahaan akan lebih mudah dipercaya oleh investor dan pemakai laporan keuangan lainnya apabila laporan keuangan yang mencerminkan kinerja dan kondisi keuangan perusahaan telah mendapat pernyataan wajar dari auditor. Auditor bertugas untuk memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan perusahaan, dan mengungkapkan permasalahan going concern yang dihadapi perusahaan
apabila
auditor
meragukan
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
10
kemampuan
perusahaan
dalam
B. Kebangkrutan Perusahaan 1.
Pengertian Kebangkrutan
Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah “failite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar hutangnya disebut dengan Le falli. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failire. Di Negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”. Menurut Toto (2008:177) kebangkrutan (bankcruptcy) merupakan kondisi dimana perusahaan tidak mampu lagi untuk melunasi kewajibannya. Kondisi ini biasanya tidak muncul begitu saja di perusahaan, ada indikasi awal dari perusahaan tersebut yang biasanya dapat dikenali lebih dini kalau kita membaca laporan keuangan secara lebih cermat dengan suatu cara tertentu. Rasio keuangan dapat digunakan sebagai indikasi adanya kebangkrutan di perusahaan. Kebangkrutan menurut Weston dan Bringham (2006:474) dalam penelitian Winy (2013) adalah sebagai berikut : Kebangkrutan adalah suatu kegagalan yang terjadi pada perusahaan yang dapat didefinisikan dalam beberapa cara, dan beberapa kegagalan serta tidak harus menyebabkan keruntuhan atau pembubaran perusahaan. Kegagalan tersebut adalah: a. Kegagalan Ekonomi ( Economic Failure) Kegagalan dalam arti ekonomis yang berarti bahwa pendapatan perusahaan tidak menutup biayanya sendiri. Kegagalan dapat juga berarti bahwa tingkat pendapatan atas biaya historis dari investasinya lebih kecil daripada biaya modal perusahaan. Bahkan kegagalan dapat juga diartikan bahwa pendapatan nyata perusahaan telah turun dibawah pendapatan yang
11
diharapkan. Tidak ada kesatuan pendapat mengenai definisi kegagalan dalam arti ekonomis. b. Kegagalan Keuangan ( Financial Failure) Walaupun kegagalan keuangan adalah istilah yang tidak seberapa meragukan dari kegagalan ekonomis, namun demikian kegagalan keuangan mempunyai dua segi yang diakui secara umum. Perusahaan dianggap gagal jika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pada waktu jatuh tempo, walaupun total harta melebihi total hutang. Ini didefinisikan sebagai ketidakmampuan membayar secara teknik (technical insolvency atau insolvensi teknis). Perusahaan itu gagal atau bangkrut, jika total hutang melebihi penilaian wajar dari total harta (yaitu jika nilai bersih dari perusahaan yang sebenarnya itu negatif). Selanjutnya, apabila dipakai perkataan gagal/failure), maka ini akan dikatakan insolvensi teknis maupum kabangkrutan. Kebangkrutan memang sulit untuk didefinisikan dengan pasti, buktinya adalah munculnya pendapat yang berbeda-beda tentang arti kebangkrutan. Meskipun demikian, umumnya perusahaan dianggap bangkrut jika hutang perusahaan lebih besar dari aktiva perusahaan dan jika perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada kreditur saat jatuh tempo. Sehingga disimpulkan bahwa kebangkrutan sebagai kesulitan likuiditas yang sangat parah sehingga perusahaan tidak dapat menjalankan operasi dengan baik yang berakibat bangkrut.
2.
Faktor-faktor Penyebab Kebangkrutan
Perusahaan yang berada pada Negara yang sedang mengalami kesulitan ekonomi akan lebih cepat mengalami kebangkrutan, karena kesulitan ekonomi akan memicu semakin cepatnya kebangkrutan perusahaan yang mungkin tadinya sedang mengalami kesulitan finansial maka akan semakin sulit dan pada akhirnya bangkrut. Namun demikian, proses kebangkrutan sebuah perusahaan tentu saja
12
tidak semata-mata disebabkan oleh faktor ekonomi saja, tetapi bisa juga disebabkan oleh faktor lain yang sifatnya non ekonomi. Menurut Darsono dan Ashari (2005:104) mendeskripsikan bahwa secara garis besar penyebab kebangkrutan bisa dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari bagian internal manajemen perusahaan. Sedangkan faktor eksternal bisa berasal dari faktor luar yang berhubungan langsung dengan operasi perusahaan atau faktor perekonomian secara makro. Darsono dan Ashari (2005:104) mengatakan Faktor internal yang bisa menyebabkan kebangkrutan perusahaan meliputi: A. Manajemen yang tidak efisien akan mengakibatkan kerugian terusmenerus yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan tidak dapat membayar kewajibannya. Ketidakefisien ini diakibatkan oleh pemborosan dalam biaya, kurangnya keterampilan dan keahlian manajemen. B. Ketidakseimbangan dalam modal yang dimiliki dengan jumlah hutangpiutang yang dimiliki. Hutang yang terlalu besar akan mengakibatkan biaya bunga yang besar sehingga memperkecil laba bahkan bisa menyebabkan kerugian. Piutang yang terlalu besar juga akan merugikan karena aktiva yang menganggur terlalu banyak sehingga tidak menghasilkan pendapatan. C. Adanya kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan bisa mengakibatkan kebangkrutan. Kecurangan ini akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan yang pada akhirnya membuat bangkrut perusahaan. Kecurangan ini bisa berbentuk manajemen yang korup ataupun memberikan informasi yang salah pada pemegang saham atau investor.
Lebih lanjut Darsono dan Ashari (2005:104) mengatakan sedangkan faktor eksternal yang bisa mengakibatkan kebangkrutan berasal dari faktor yang berhubungan langsung dengan perusahaan meliputi pelanggan, supplier, debitor, kreditor, pesaing ataupun dari pemerintah. Sedangkan faktor eksternal yang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan meliputi kondisi perekonomian secara makro ataupun faktor persaingan global. Faktor-faktor eksternal yang bisa mengakibatkan kebangkrutan adalah:
13
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Perubahan dalam keinginan pelanggan yang tidak diantisipasi oleh perusahaan yang mengakibatkan pelanggan lari sehingga terjadi penurunan dalam pendapatan. Untuk menjaga hal tersebut perusahaan harus selalu mengantisipasi kebutuhan pelanggan dengan menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Darsono dan Ashari (2005:104) Kesulitan bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi kebutuhan bahan baku yang digunakan untuk produksi. Untuk mengantisipasi hal tersebut perusahaan harus selalu menjalin hubungan baik dengan supplier dan tidak menggantungkan kebutuhan bahan baku pada satu pemasok sehingga resiko kekurangan bahan baku dapat diatasi. Faktor debitor juga harus diantisipasi untuk menjaga agar debitor tidak melakukan kecurangan dengan mengemplang hutang. Terlalu banyak piutang yang diberikan debitor dengan jangka waktu pengembalian yang lama akan mengakibatkan banyak aktiva menganggur yang tidak memberikan penghasilan sehingga mengakibatkan kerugian yang besar bagi perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus selalu memonitor piutang yang dimiliki dan keadaan debitor supaya bisa melakukan perlindungan dini terhadap aktiva perusahaan. Hubungan yang tidak harmonis dengan kreditor juga bisa berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Apalagi dalam undang-undang No.4 tahun 1998, kreditor bisa memailitkan perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus bisa mengelola hutangnya dengan baik dan juga membina hubungan baik dengan kreditor. Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki diri sehingga bisa bersaing dengan perusahaan lain dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. Semakin ketatnya persaingan menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki produk yang dihasilkan, memberikan nilai tambah yang lebih baik bagi pelanggan. Kondisi perekonomian secara global juga harus selalu diantisipasi oleh perusahaan. Dengan semakin terpadunya perekonomian dengan Negaranegara lain, perkembangan perekonomian global juga harus diantisipasi oleh perusahaan. Darsono dan Ashari (2005:104)
Dari teori yang dikemukakan diatas maka faktor penyebab kebangkrutan adalah faktor yang mempengaruhi terjadinya suatu kebangkrutan yang dialami oleh perusahaan yang kondisi keuangannya tidak sehat, baik itu faktor ekonomi, internal dan eksternal.
14
3.
Indikator – indikator Kebangkrutan
Sebelum kebangkrutan terjadi tentu sudah terdapat gejala atau indikasi yang mengarah pada terjadinya kebangkrutan. Menurut Hanafi dan Halim (2009:264), salah satu sumbernya adalah aliran kas untuk saat ini atau untuk masa datang. Sumber lain adalah analisa strategi perusahaan. Analisis ini memfokuskan pada persaingan yang dihadapi oleh perusahaan, struktur biaya relative terhadap persaingan, kualitas manajemen, kemampuan manajemen mengendalikan biaya dan lainnya. Analisis semacam ini bisa dijadikan sebagai pendukung analisis aliran kas, karena kondisi perusahaan semacam ini akan mempengaruhi aliran kas perusahaan. Analisis break event sebagai contoh, akan melihat seberapa jauh penjualan bisa turun agar perusahaan masih bisa memperoleh keuntungan. Sedangkan menurut Foster (1986) dalam penelitian Winy (2013), ada beberapa indikator atau sumber informasi tentang kemungkinan dari kebangkrutan yaitu: a. Sebuah analisis arus kas periode sekarang dan masa mendatang. Manfaat dari penggunaan sumber informasi ini yakni fokus secara langsung pada dugaan kebangkrutan untuk periode yang menjadi perhatian. Estimasi arus kas termasuk pada analisis ini merupakan variabel kritis pada asumsi yang mendasari persiapan anggaran. b. Analisis strategi perusahaan. Analisis ini mempertimbangkan kompetitor potensial dari perusahaan atau institusi, struktur biaya reatifnya, ekspansi gedung pada industry, kemampuan perusahaan untuk meneruskan kenaikan biaya, kualitan manajemen dan sebagainya. Dalam teori, pertimbangan ini juga akan mendasari analisis arus kas. Bagaimanapun sebuah fokus yang terpisah pada persoalan strategi dapat menyoroti konsekuensi dari perbedaan yang tiba-tiba terjadi dalam sebuah industri. c. Analisis laporan keuangan perusahaan dengan perbandingan perusahaan. Analisis ini dapat berfokus pada variabel keuangan single ( univariate analysis) atau kombinasi variabel keuangan ( multivariate analysis). Variabel ekternal seperti return sekuritas atau peringkat obligasi.
15
4. Prediksi Kebangkrutan Kemampuan
dalam
memprediksi
kebangkrutan
akan
memberikan
keuntungan banyak pihak, terutama pada kreditur dan investor. Kemudian prediksi kebangkrutan juga berfungsi untuk memberikan panduan bagi pihakpihak tentang kinerja keuangan perusahaan apakah akan mengalami kesulitan keuangan atau tidak di masa mendatang. Maka, sebagai pihak yang berada di luar perusahaan, investor sebaiknya memiliki pengetahuan tentang kebangkrutan sehingga keputusan yang diambil tidak akan salah. Salah satu indikator yang bisa dipakai untuk mengetahui tingkat kebangkrutan adalah indikator keuangan. Prediksi kesulitan keuangan salah satunya dikemukakan oleh seorang profesor di New York University bernama Edward I Altman yang disebut dengan Altman ZScore. Rumus Z-Score ini menggunakan komponen laporan keuangan sebagai alat prediksi terhadap kemungkinan bangkrut tidaknya perusahaan. Dari teori
yang
dikemukakan
diatas
bahwa
dalam
memprediksi
kebangkrutan dapat mengetahui kondisi keuangan perusahaan di masa yang akan datang dari komponen yang digunakan dalam rumus Z-Score yang sebagai alat prediksi terhadap kemungkinan bangkrut tidaknya suatu perusahaan. 5.
Manfaat Informasi Prediksi Kebangkrutan
Secara umum pemakai data
informasi kebangkrutan
bank dapat
dikelompokan ke dalam dua kelompok yaitu: pemakai internal adalah pihak manajemen
yang
bertanggung
jawab 16
terhadap
pengelolaan
perusahaan
harian(jangka pendek) dan jangka panjang, sedangkan pemakai eksternal yaitu investor atau calon investor yang meliputi pembeli atau calon pembeli saham atau obligasi, kreditor atau peminjam dana bank, dan pemakai lain seperti karyawan, analisiskeuangan, pialang saham, supplier, pemerintah (berkaitan dengan pajak) dan Bapepam (berkaitan dengan perusahaan yang go publik). Informasi tentang prediksi kebangkrutan suatu perusahaan akan sangat bermanfaat bagi beberapa kalangan. Menurut Hanafi (2009:261) informasi kebangkrutan dapat bermanfaat untuk : a. Pemberi Pinjaman Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat untuk pengambilan keputusan siapa yang akan diberi pinjaman, dan kemudian bermanfaat untuk mengambil kebijakan memonitor pinjaman yang ada. b. Investor Investor saham atau obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan tentunya akan sangat berkepentingan melihat adanya kemungkinan bangkrut atau tidaknya perusahaan yang menjual surat berharga tersebut. c. Pemerintah Pemerintah mempunyai kewajiban melindungi buruh, industri dan masyarakat. Hasil penemuan yang akan menemukan kesulitan keuangan dan petunjuk kebangkrutan akan sangat membantu untuk pengambilan sikap dan untuk mengeluarkan aturan penting yang melindungi masyarakat dari kerugian besar dan yang sangat mungkin akan mengganggu stabilitas ekonomi dan politik Negara. d. Akuntan Akuntan mempunyai kepentingan terhadap informasi kelangsungan suatu usaha karena akuntan akan menilai kemampuan going concern suatu perusahaan. e. Manajemen Kebangkrutan berarti munculnya biaya-biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan dan biaya ini cukup besar. Suatu penelitian menunjukkan biaya kebangkrutan bisa mencapai 11% - 17% dari nilai perusahaan. Contoh biaya kebangkrutan yang langsung adalah biaya akuntan dan penasihat hukum. Sedangkan contoh biaya kebangkrutan yang tidak langsung adalah hilangnya kesempatan dan keuntungan karena beberapa hal seperti pembatasan yang mungkin diberlakukan oleh pengadilan. Apabila perusahaan bisa mendeteksi potensi kebangkrutan seawal mungkin, maka penghematan bisa dilakukan, misalnya dengan melakukan merger restrukturisasi keuangan sehingga biaya kebangkrutan bisa dihindari. f. Auditor
17
Auditor dalam melakukan audit harus ada petunjuk bahwa perusahaan bisa going concern atau tidak. Apabila ada petunjuk bahwa perusahaan tidak bisa melakukan operasinya, auditor harus memberikan pendapat tentang tidak adanya petunjuk going concern tersebut. Dengan adanya model yang memprediksi kebangkrutan, auditor bisa melakukan audit dan bisa memberikan pendapat terhadap laporan keuangan perusahaan dengan lebih baik.
B. Analisis Kebangkrutan Metode Altman Z-score Menurut Muslich (2007: 59-60), sejumlah studi telah dilakukan untuk mengetahui kegunaan analisis rasio keuangan dalam memprediksi kegagalan perusahaan. Salah satu studi tentang prediksi ini adalah Multiple Discriminant Analysis yang dilakukan oleh Edward I. Altman. Altman mempergunakan lima jenis rasio, yaitu Working Capital to Total Assets, Retained Earning to Total Assets, Earning Before Interest and Taxes to Total Assets, Market Value of Equity to Book Value of Total Debt dan Sales to Total Assets. Metode Z-score adalah salah satu model diskriminan yang sering dipakai oleh beberapa ahli statistik sebagai acuan dasar bagi mereka untuk menciptakan model-model diskriminan yang baru untuk menganalisis kebangkrutan perusahaan. Velavan, M. (2011 : Vol.4 (5) 61). Formula Z-Score: Z-score dihitung dengan mengalikan rasio akunting yang efisien dalam memprediksi kebangkrutan. Working Capital to Total Assets (X1) adalah rasio pertama yang digunakan sebagai alat diskriminan adalah rasio Modal Kerja terhadap total aktiva (Working Capital/Total Aktiva), ini sering kali dijumpai dalam studi kasus permasalahan perusahaan, ini adalah ukuran bersih pada aktiva lancar perusahaan terhadap modal perusahaan. Modal kerja bersih adalah selisih antara aktiva lancar dikurangi hutang
18
lancar. Karakteristik likuiditas benar-benar ditentukan secara jelas biasanya sebuah perusahaan yang mengalami kerugian operasi yang terus menerus akan menyusutkan aktiva lancar sehubungan dengan total aktiva. Rasio ini mengukur likuiditas suatu perusahaan. Rumus dari rasio ini adalah sebagai berikut:
X1 =
Working Capital Total Assets
Retained Earning to Total Asset (X2) adalah ukuran dari profitabilitas kumulatif lewat waktu disebutkan pada awalnya sebagai satu dari rasio baru. Usia perusahaan dinyatakan secara implisit dalam rasio ini, sebagai contoh, sebuah perusahaan baru secara relative mungkin akan menjukkan rasio laba ditahan/total aktiva yang rendah karena tidak adanya waktu untuk menambah laba kumulatifnya. Oleh Karena Itu dapat dibuktikan bahwa perusahaan baru nampak berbeda dari analisis ini, dan kesempatan atau
peluang untuk diklasifikasikan dalam
golongan bangkrut relatif lebih tinggi dari perusahaan yang telah lama beroperasi, jika hal-hal yang lain dianggap tidak berpengaruh (cateris paribus). Rasio ini menggambarkan efisiensi usaha dan kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan, dengan rumus sebagai berikut:
X2 =
Retained Earning Total Assets
19
Earning Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Assets (X3) adalah rasio yang dihitung dengan membagi total aktiva perusahaan dengan penghasilan sebelum bunga dan potongan pajak dibagi dengan total aktiva. Pada pokoknya, merupakan ukuran
produktivitas dari aktiva perusahaan yang sesungguhnya
terlepas dari pajak atau faktor leverage. Sejak keberadaan pokok perusahaan didasarkan pada kemampuan menghasilkan laba dari aktivitasnya. Selanjutanya keadaan bangkrut dalam pengertian kebangkrutan terjadi saat total kewajiban melebihi penilaian wajar perusahaan terhadap aktiva perusahaan dengan nilai ditentukan oleh kemapuan aktiva dalam menghasilkan laba. Rumus rasio ini adalah sebagai berikut:
X3 =
EBIT Total Assets
Market Value Of Equity to Book Value Of Debt (X4) dimana Modal diukur melalui gabungan nilai pasar dan keseluruhan lembar saham preferen dan biasa. Sementara utang meliputi utang lancar dan utang jangka panjang. Ukuran tersebut menunjukkan seberapa banyak aktiva perusahaan dapat menurun nilainya (diukur dari nilai pasar modal ditambah utang) sebelum kewajiban (utang) melebihi aktiva dan perusahaan menjadi bangkrut. Dalam rasio ini faktor dimensi nilai pasar yang tidak ditentukan oleh studi mengenai kebangkrutan lainnya juga ditambahkan, sehingga tampak menjadi penentu prediksi kebangkrutan yang lebih efektif dari pada rasio serupa yang lebih umum digunakan. Selain itu juga dapat mengukur kemampuan perusahaan dalam memberikan jaminan kepada setiap utangnya
20
melalui modal sendiri. Rumus yang digunakan dalam rasio ini adalah sebagai berikut:
X4 =
Market Value of Equity Book Value of Debt
Sales To Total Assets (X5) merupakan rasio perputaran modal adalah standar rasio keuangan yang menggambarkan kemampuan peningkatan penjualan dari aktiva perusahaan yang merupakan suatu ukuran dari kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi yang kompetitif. Rumus dalam rasio ini adalah sebagai berikut:
X5 =
Sales Total Assets
Dengan demikian analisis diskriminan dapat bermanfaat bagi perusahaan untuk memperoleh peringatan awal kebangkrutan dan kelanjutan usahanya. Semakin awal suatu perusahaan memperoleh peringatan kebangkrutan, semakin baik bagi pihak manajemen karena pihak manajemen bisa melakukan perbaikanperbaikan dan dapat memberikan gambaran dan harapan yang mantap terhadap nilai masa depan perusahaan tersebut. Agar perusahaan tetap berjalan dengan baik dapat melakukan analisis Z-Score untuk menilai bagaimana perusahaan mereka pada masa sekarang dan bagaimana perusahaan mereka nantinya. Analisis ZScore merupakan suatu persamaan yang dapat memprediksikan tingkat kebangkrutan atau tingkat kesehatan terhadap kinerja keuangan perusahaan.
21
Menurut Toto Prihadi (2008 : 179-182) ada 3 macam fungsi diskriminan Altman Z-Score yaitu : 1.
Model Pertama Z-Score ( untuk perusahaan manufaktur yang go public) Z = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5 Keterangan : Z = bankcruptcy index X1 = working capital / total assets X2 = retairned earnings / total assets X3 = earning before interest and taxes / total assets X4 = market value of equity / book value of total debt X5 = sales / total assets Dengan titik cut-off sebagai berikut: a. Jika nilai Z < 1,80 maka termasuk perusahaan yang bangkrut. b. Jika nilai 1,81 < Z < 2,99 maka perusahaan termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan). c. Jika nilai Z > 2,99 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut.
2.
Model Kedua Z’-Score ( untuk perusahaan manufaktur yang tidak go public) Karena keterbatasan dari penggunaan Z-Score yang hanya dapat digunakan untuk perusahaan publik dan manufaktur, kemudia Altman mengembangkan dua varian dari Z-score, yaitu Z’-Score dan Z”-Score. Z’Score ditujukan untuk perusahaan non publik (private) dengan cara merumuskan kembali rasio yang digunakan, yaitu menghilangkan market value of equity dan menggantinya dengan book value of equity. Perumusan yang berubah dan sampel yang berbeda membuat hasil akhir rumus Z’-Score menjadi berbeda dengan Z-Score orisinal. Z’ = 0,717X1 + 0,847 X2 + 3,108 X3 + 0,42 X4 + 0,988 X5 Keterangan : Z = bankrupcy index X1 = working capital / total asset X2 = retained earnings / total assets X3 = earning before interest and taxes / total asset X4 = book value of equity / book value of total debt X5 = sales/ total asset Dengan titik cut-off sebagai berikut : a. Jika nilai Z’ < 1,23 maka termasuk perusahaan yang bangkrut. b. Jika nilai 1,23 < Z’ < 2,9 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan). c. Jika nilai Z’ > 2,9 maka termasuk perusahaa yang tidak bangkrut.
22
3.
Model Ketiga Z”-Score (untuk perusahaan non manufaktur) Varian terakhir adalah Z”-Score. Pada model terakhir ini rasio sales to total asset dihilangkan dengan harapan industry effect, dalam pengertian ukuran perusahaan terkait dengan aset atau penjualan dapat dihilangkan. Sampel yang digunakan kemudian diganti dengan perusahaan dari negara berkembang (emerging market), yaitu Mexico. Z” = 6,56 X1 + 3,26 X2 + 6,72 X3 + 1,05 X4 Keterangan : Z” = bankcruptcy X1 = working capital / total asset X2 = retairned earnings / total asset X3 = earning before interest and taxes / total asset X4 = book value of equity / book value of total debt Dengan titik cut-off sebagai berikut : A. jika nilai Z” < 1,1 maka termasuk perusahaan yang bangkrut B. jika nilai Z” 1,1-2,6 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan) C. jika nilai Z” > 2,6 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut.
Menurut Altman (2000) ketepatan dan keakuratan model ini telah diuji beberapa kali dan secara umum menunjukkan hasil yang relatif dapat dipercaya untuk memprediksi kegagalan perusahaan dalam jangka waktu kurang dari 5 tahun. Dalam penelitiannya, Altman membuktikan bahwa model yang diciptakannya ini dapat memprediksi kebangkrutan dengan tingkat keakuratan 95% untuk periode 1 tahun sebelum bangkrut, 72% untuk periode 2 tahun sebelum bangkrut, 48% untuk periode 3 tahun sebelum bangkrut, 29% untuk periode 4 tahun sebelum bangkrut dan 36% untuk periode 5 tahun sebelum bangkrut. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa kemampuan prediksi dari mode Z-score menurun dari tahun ke tahun.
23
C. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian terdahulu No. Nama
Tahun
Judul Penelitian
Variabel Penelitian
Hasil Penelitian
2009
Perbandingan Analisis Prediksi Kebangkrutan Menggunakan Model Altman Pertama, Altman Revisi dan Altman Modifikasi dengan Ukuran dan Umur Perusahaan Sebagai Variabel Penjelas (Studi Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Analisis Kebangkrutan Model Altman Z-Score dan Springate pada Perusahaan Industri Properti
financial distsress, bankruptcy Index,bankruptcy prediction model, size of company, age of the company
Menyatakan bahwa model Altman pertama memberikan tingkat prediksi kebangkrutan yang tinggi dibandingkan dengan model Altman Revisi dan Alltman Modifikasi
Altman Z-Score danSpringate, bankcruptcy
Terdapat perbedaan hasil pengujian kebangkrutan perusahaan antara model Altman dan model Springate di perusahaan industri property tahun 2005-2009
Peneliti 1.
Ayu Suci dan Niki Lukviarman
2.
Hafiz Adnan
2010
24
3.
Mila
2012
Penggunaan The Zmijewski Model, The Altman Model dan The Springate Model sebagai Prediktor Delisting
Delisting, The Zmijewski model,The Altman model,The Springate model
Fatmawati
4.
Yoseph
2011
Analisis Kebangkrutan Dengan Metode Z-Score Altman, Springate dan Zmijewski Pada PT.Indofood Sukses Makmur,Tbk Periode 20052009
Bankruptcy, Financial Performance, Financial Ratio, Springate, ZScore Altman, Zmijewski
5
Winy
2013
Perbandingan Analisis Prediksi Kebangkrutan Dengan Menggunakan Altman Model dan Springate Model Pada Perusahaan Tekstil Yang Tercatat di Bursa Efek Indonesia
Altman Z-Score dan Springate, bankcruptcy
2011
Measuring Financial Health of Kothari Sugars Limited using 'Z' Score Model
Altman's Z-Score
Kasmala
6
M. Velavan
25
Hasil analisis diketahui bahwa dari ketiga model prediktor delisting yang digunakan model Zmijewski lebih akurat dalam memprediksi perusahaan delisting, dibandingkan dengan model Altman dan model Springate. Analisis dengan menggunakan model Altman PT. Indofood Sukses Makmur,Tbk pada tahun 2005-2009 berpotensi bangkrut, model Springate pada tahun 2007 dan 2008 berpotansi bangkrut, model Zmijewski PT.Indofood Sukses Makmur tidak berpotensi bangkrut Terdapat perbedaan antara Model Altman dengan Model Springate dalam memprediksi kebangkrutan dan hasil analisis kebangkrutan model Altman lebih akurat dibandingkan dengan model Springate. As per the calculated score, Kothari Sugars Limited needs to put in efforts to increase the score. This will help the Kothari Sugars to avoid any damage to its liquidity and solvency positions thereby avoiding financial distress
D. Model Penelitian
Tabel 2.2 berikut ini merupakan model penelitian yang menggunakan rasio model Altman Z-Score yang terdiri dari lima rasio.
Tabel 2.2 Model Penelitian
Model Altman Z-Score Rasio WCTA (X1)
Rasio RETA (X2) Y Prediksi Kebangkrutan
Rasio EBITTA (X3)
Rasio MVEBVL (X4)
Rasio STA (X5)
26