BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Persediaan 2.1.1 Pengertian Persediaan Pada setiap perusahaan, baik perusahaan kecil, perusahaan menengah maupun perusahaan besar, persediaan sangat penting bagi kelangsungan hidup perusahaan. Pada prinsipnya persediaan adalah sumber daya yang menganggur (idle resources) yang keberadaanya menunggu proses lebih lanjut, maksud proses lebih lanjut disini dapat berupa kegiatan produksi seperti dijumpai pada kegiatan manufaktur, kegiatan pemasaran yang dijumpai pada sistem distribusi, ataupun kegiatan konsumsi seperti dijumpai pada sistem rumah tangga, perkantoran dan sebagainya (Nur Bahagia, 2006). Nur Bahagia (2006) menjelaskan bahwa keberadaan persediaan dalam kegiatan usaha tidak dapat dihindarkan. Salah satu penyebab utamanya adalah barang-barang tersebut tidak dapat diperoleh secara instan, tetapi diperlukan tenggang waktu untuk memperolehnya. Tenggang waktu tersebut
dimulai
dari
saat
melakukan
pemesanan,
waktu
untuk
memproduksinya, dan waktu untuk mengantar barang ke distributor bahkan sampai dengan waktu untuk memproses barang di gudang hingga siap digunakan oleh pemakainya. Interval waktu antara saat pemesanan dilakukan sampai dengan barang siap digunakan disebut waktu ancangancang (lead time). Persediaan dalam suatu unit usaha dapat dikategorikan sebagai modal kerja yang berbentuk barang. Keberadaannya tidak saja dianggap sebagai beban (liability) karena merupakan pemborosan (waste), tetapi sekaligus juga dianggap sebagai kekayaan (asset) yang dapat segera dicairkan dalam bentuk uang tunai (cash). Dalam aktivitas unit usaha baik industry maupun 7
bisnis, nilai persediaan barang yang dikelola pada umunya cukup besar, tergantung pada jenis serta skala industry dan bisnisnya (Nur Bahagia, 2006). Nur Bahagia (2006) mengemukakan bahwa sesuai dengan karakteristik pengelolaanya, permasalahan yang dihadapi di dalam sistem persediaan pada umunya dapat dibedakan menjadi dua jenis permasalahan, yaitu: permasalahan kebijakan dan permasalahan operasional. 1. Permasalahan Kebijakan Persediaan Permasalahan kebijakan persediaan adalah permasalahan dalam sistem persediaan yang berkaitan dengan bagaimana menjamin agar setiap permintaan dapat dipenuhi dengan ongkos yang minimal. Masalah ini terkait dengan penentuan besarnya operating stock dan safety stock, yaitu: berapa jumlah barang yang akan dipesan/dibuat, kapan saat pemesanan/pembuatan dilakukan, dan berapa jumlah persediaan pengamannya. Jenis permasalahan
ini pada hakikatnya dapat
dikualifikasikan dan jawabannya akan terkait dengan metode pengendalian persediaan terbaik yang digunakan. 2. Permasalaahn Operasional Permasalahan ini lebih bersifat kualitatif dan pada prinsipnya berkaitan dengan permasalahaan kelancaran dan efesiensi mekanisme serta prosedur pengoperasian sistem persediaan. Permasalahaan ini bersifat rutin sebab selalu dijumpai dalam pengelolaan sistem persediaan sehari-hari. 2.1.2. Fungsi Persediaan Menurut Handoko (2000), dilihat dari fungsinya persediaan dapat dibedakan atas :
8
1. Fungsi decoupling Persediaan ini memungkinkan perusahaan dapat memenuhi permintaan langganan tanpa tergantung pada supplier. Persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan konsumen yang tidak dapat diramalkan (fluctuation stock) 2. Fungsi economic lot sizing Persediaan
ini
mempertimbangkan
penghematan-penghematan
(potongan pembelian, biaya pengangkutan per unit lebih murah dan sebagainya) karena perusahaan melakukan pembelian dalam kuantitas yang lebih besar, dibanding biaya-biaya yang timbul karena besarnya persediaan. 3. Fungsi antisipasi Anticipation stock berguna untuk menghadapi fluktuasi permintaan yang dapat diperkirakan atau diramalkan berdasar pengalaman atau data-data masa lalu (permintaan musiman).
2.1.3. Jenis Persediaan Persediaan yang terdapat dalam perusahaan dapat dibedakan menurut beberapa cara. Menurut Handoko (2000) persediaan dapat dibedakan berdasarkan jenis dan posisi barang tersebut dalam urutan pengerjaan produk yaitu : 1. Persediaan bahan baku (raw material stock) yaitu persediaan dari barangbarang berwujud yang digunakan dalam proses produksi, barang yang diperoleh dari sumber-sumber alam ataupun dari supplier atau perusahaan yang menghasilkan bahan baku bagi perusahaan pabrik yang menggunakannya. 2. Persediaan bagian produk atau parts yang dibeli (purchased parts/components stock) yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari parts yang diterima dari perusahaan lain, yang dapat secara
9
langsung di assembling dengan parts lain, tanpa melalui proses produksi sebelumnya. 3. Persediaan bahan-bahan pembantu atau barang-barang perlengkapan (supplies stock) yaitu persediaan barang-barang atau bahan-bahan yang diperlukan dalam proses produksi untuk membantu berhasilnya proses produksi atau yang dipergunakan dalam bekerjanya suatu perusahaan, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen barang jadi. 4. Persediaan barang setengah jadi atau barang dalam proses (work in process /progress stock) yaitu persediaan barang-barang atau bahanbahan yang keluar dari tiap-tiap bagian dalam suatu pabrik atau bahanbahan yang telah diolahnmenjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses kembali untuk kemudian menjadi barang jadi. 5. Persediaan barang jadi (finished good stock) yaitu persediaan barangbarang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap untuk dijual kepada pelanggan atau perusahaan lain.
2.1.4 Klasifikasi Persediaan Menurut Tersine (1994) dalam buku Ginting mengemukakan bahwa masalah persediaan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, sebagai berikut: 1. Berdasarkan repeativeness (pengulangan pemesanan) a) Singgle order adalah sistem persediaan dengan satu kali pemesanan. b) Repeat order adalah sistem persediaan dengan pemesanan berulang 2. Berdasarkan pemasok a) Outside supply adalah barang diperoleh dari pemasok yang berasal dari luar perusahaan. b) Inside supply adalah barang diperoleh dari dalam perusahaan sendiri. 3. Berdasarkan sifat demand a) Constant demand adalah permintaan dari suatu item akan tetap sepanjang waktu.
10
b) Variable demand adalah permintaan akan mengikuti pola distribusi normal, poisson beta, dan distribusi lainnya. c) Independent demand adalah permintaan antara satu item dengan item yang lainnya tidak berhubungan, contoh: permintaan pada barang jadi (finished good) d) Dependent demand adalah permintaan satu item bergantung langgsung dengan permintaan item yang lain yang merupakan item pada level diatasnya, contoh: permintaan subassembling, komponen dan raw material. 4. Berdasarkan lead time a) Constant lead time berarti lead time akan tetap sepanjang waktu. b) Variable lead time adalah lead time bervariasi, dapat mengikuti pola distribusi tertentu. 5. Berdasarkan sistem pemesanan a) Perceptual adalah sistem persediaan yang melakukan pemesanan pada saat tingkat persediaan berada pada reoder point. b) Periodic adalah sistem persediaan dimana pemesanan dilakukan pada siklus waktu tertentu. c) Material requirement planning merupakan cara untuk menentukan persediaan apabila permintaan suatu item bergantung pada permintaan lain.
2.1.5 Pengendalian Persediaan Bagi perusahaan menyimpan persediaan berarti menginvestasikan sejumlah dana dalam bentuk persediaan, oleh sebab itu perusahaan akan selalu mengawasi persediaan berada dalam kondisi optimum. Menurut Assauri (1999), pengawasan persediaan merupakan salah satu kegiatan dari urutan kegiatan-kegiatan yang berkait erat satu sama lain dalam seluruh operasi produksi perusahaan tersebut sesuai dengan apa yang telah direncanakan lebih dahulu baik waktu, jumlah, kualitas maupun biaya.
11
Pengawasan persediaan berhubungan dengan pengaturan agar produksi berjalan secara efektif dan efisien, sehingga perlu ditetapkan kebijaksanaan yang berkenaan dengan persediaan. Skema hubungan pengawasan persediaan dengan perencanaan dan pengawasan produksi ditunjukan pada gambar dibawah ini :
Ramalan permintaan jangka panjang
Ramalan permintaan jangka pendek
Keputusan kebijaksanaan
Persediaan yang sebenarnya
Keputusan operasi jangka pendek
Analisis perencanaan jangka panjang
Analisis perencanaan jangka pendek
Keputusan -keputusan operasi jangka panjang
Skedul Produksi Rencana umum produksi, tingkat employment, neraca persediaan
Pengambilan investasi yang dibutuhkan . Kebijakan service , Kebijaksanaan kesempatan kerja, dll
Fasilitas modal, program penjualan , dsb.
Permintaan sebenarnya
Fasilitas yang tersedia
Gambar 2.1 Skema hubungan pengawasan persediaan dengan perencanaan dan pengawasan produksi (Assauri, 1999)
Menurut Handoko (2000) pengendalian persediaan merupakan fungsi manajerial yang sangat penting karena persediaan fisik perusahaan banyak melibatkan investasi rupiah terbesar dalam pos aktiva lancar. Bila perusahaan terlalu banyak menginvestasikan dananya dalam persediaan maka mengakibatkan besarnya biaya penyimpanan. Sebaliknya bila perusahaan
tidak
mempunyai
persediaan
yang
mencukupi
dapat
mengakibatkan terganggunya proses produksi.
2.1.6 Tujuan Pengendalian Persediaan Tujuan pengendalian persediaan menurut Assauri (1999), menyebutkan bahwa tujuan pengendalian persediaan dinyatakan sebagai usaha untuk :
12
1. Menjaga jangan sampai perusahaan kehabisan persediaan sehingga dapat mengakibatkan terhentinya kegiatan produksi. 2. Menjaga agar supaya pembentukan persediaan oleh perusahaan tidak terlalu besar, sehingga biaya persediaan tidak terlalu besar. 3. Menjaga agar pembelian secara kecil-kecilan dapat dihindari karena berakibat biaya pemesanan menjadi besar.
2.1.7 Kebijakan Persediaan Menurut Ginting (2007), secara garis besar kebijakan persediaan terbagi dua, yaitu 1. Periodic Review(R,r) Policy Untuk Periodic Review(R,r) Policy Policy persediaan dihitung hanya pada saat periode yang ditentukan, jika pada saat itu persediaan berada di bawah titik minimum persediaan yang ditetapkan (reorder point), maka dilakukan pemesana. Sedangkan jika persediaan diatas reorder point, maka tidak dilakukan pemesanan (Ginting, 2007). Periodic Review(R,r) Policy ini dapat digambarkan seperti pada gambar berikut:
R
Inventory
R
r
t1
t2
t3
T im e
Gambar 2.2 Periodic Review(R,r) Policy
13
Pada saat
, jumlah persediaan (I ) berada di aras reorder point (r),
sehingga tidak dilakukan pemesanan. Setelah selang waktu T, yaitu pada saat
=
, dilakukan pemesanan sejumlah
−
unit, karena
pada saat jumlah persediaan ( ) berada di bawah reorder point. Perlu dicatat bahwa pemesanan tidak diterima seketika, sehingga jumlah persediaan berkurang terus sepanjang lead time hingga pesanan diterima. Pada gambar, pesanan yang dibuat pada
tidak diterima
hingga persediaan habis dan terjadi kekurangan persediaan.
2. Continous Review (Q,r) Policy Pada Continous Review (Q,r) Policy, sisa persediaan diperiksa terusmenerus, setiap ada bahan yang masuk atau keluar, dilakukan pencatatan. Order ini akan dilakukan setiap kali jumlah persediaan mencapai reorder point. Continous Review (Q,r) Policy dapat digambarkan seperti pada gambar berikut:
Q
Inventory I
Q
Q
I
I R
r
Time
Gambar 2.3 Continous Review (Q,r) Policy
Pada gambar diatas, setiap kali jumlah persediaa (I) sampai pada titik reorder point, maka dilakukan pemesanan. Namu, pemesanan ini tidak akan diterima seketika sesuai lead time. Sehingga, ketika penggunaan sepanjang lead time lebih besar dari reorder point, maka akan timbul
14
kekurangan. Pada gambar juga terlihat bahwa waktu antara satu order dengan order berikutnya bervariasi, sedangkan jumlah yang dipesan (Q) tetap.
Kebijakan persediaan dapat dibagi menjadi 2 model kebijakan, yaitu: 1. Model Q Metode yang banyak digunakan dalam menentukan berapa jumlah ekonomis yang harus dilakukan untuk pesanan adalah metode EOQ (Economic Order Quantity), rumus kuantitas pesanan ekonomis ini pertama kali dikembangkan oleh F.W. Harris pada tahun 1915. EOQ dan variasinya masih banyak digunakan secara luas di dalam industri bagi manajemen persediaan untuk jenis permintaan bebas. Model EOQ didasarkan pada asumsi-asumsi berikut ini : a) Tingkat permintaan adalah konstan, berulang-ulang dan diketahui. b) Tenggang waktu pesanan konstan dan diketahui. Oleh sebab itu, tenggang waktu pesanan sejak pesanan ditempatkan sampai pengiriman pesanan selau merupakan besaran yang tetap. c) Tidak
diperbolehkan
adanya
kehabisan
stok.
Karena
permintaan dan tenggang waktu pesanan adalah konstan, maka dapat ditentukan secara tepat kapan harus memesan bahan atau barang dan menghindari kekurangan stok. d) Bahan dipesan atau diproduksi dalam waktu lot, dan seluruhnya ditempatkan ke dalam persediaan dalam satu waktu.
15
e) Suatu struktur biaya spesifik digunakan sebagai berikut : biaya satuan unit adalah konstan dan tidak ada potongan yang diberikan untuk pembelian dalam jumlah besar. Biaya pemesanan yang tetap untuk setiap lot, yang mana biaya tersebut bebas dari jumlah satuan di dalaam lot tersebut. f) Satuan barang merupakan produk tunggal tidak ada interaksi dengan produk lainnya. Rumusan Q dimana merupakan Economic Order Quantity atau biasa disingkat dengan EOQ:
=
2×
×
Dimana : D = tingkat permintaan (unit per tahun) S = biaya pemesanan setiap kali pesan (rupiah per unit) H = biaya simpan per unit per tahun (per unit per tahun)
2. Model P Metode POQ digunakan dalam menentukan jumlah pemesanan per periode tertentu. Metode POQ sebenarnya adalah pengembangan dari metode EOQ. POQ menggunakan logika yang sama dengan EOQ, tetapi POQ mengubah jumlah pemesanan menjadi jumlah periode pemesanan. Hasilnya adalah interval pemesanan tetap dengan bilangan bulat (integer). Untuk menentukan jumlah pemesanan sistem POQ cukup dengan memproyeksikan jumlah kebutuhan setiap periode. Jika pada metode EOQ jumlah barang setiap pemesanan adalah konstan, maka pada metode POQ ini interval periode pemesanan juga konstan.
16
Interval pemesanan ekonomis (Economic Order Interval/EOI) dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :
=
Dimana :
=
2× ×
: Interval pemesanan ekonomis dalam satu periode. S
: Biaya pemesanan setiap kali pesan : Biaya simpan per unit = I×C
D
: Rata-rata permintaan per periode
17