9
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Notaris a. Dasar Hukum Notaris Tentang notaris di Indonesia, semula diatur di dalam Reglement op het Notarisambt in Nederlands Indie atau yang biasa disebut Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia, yang berlaku mulai tahun 1860 (Stbl. 1860 No.3).1 Kemudian Jabatan Notaris diatur dalam : a) Ordonantie tanggal 16 September 1931, Tentang Honorarium Notaris, b) Undang‐Undang Nomor 33 Tahun 1954, Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Dalam perkembangannya, banyak ketentuan‐ketentuan didalam Peraturan Jabatan Notaris yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perkembangan masyarakat di Indonesia. Pada tanggal 6 Oktober 2004, di undangkan Undang‐Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor : 117 yang terdiri dariXIII bab dan 92 pasal. Kemudian di tahun 2014 pada tanggal 17 Januari 2014 mulailah berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang baru di Indonesia. b. Pengertian Notaris Munculnya lembaga notaris dilandasi kebutuhan akan suatu alat bukti yang mengikat selain alat bukti saksi. Adanya alat bukti lain yang 1
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Jakarta: CV. Rajawali, 1982. hlm. 29
9
10
mengikat, mengingat alat bukti saksi kurang memadai lagi sebab sesuai dengan
perkembangan
masyarakat,
perjanjian-perjanjian
yang
dilaksanakan anggota masyarakat semakin rumit dan kompleks. Istilah notaris pada dasarnya berasal dari kata “notarius” (bahasa latin), yaitu nama yang diberikan pada orang-orang Romawi di mana tugasnya menjalankan pekerjaan menulis atau orang-orang yang membuat catatan pada masa itu. Hampir selama seabad lebih, eksistensi notaris dalam memangku jabatannya didasarkan pada ketentuan Reglement Of Het Notaris Ambt In Nederlandsch No. 1860 : 3 yang mulai berlaku 1 Juli 1860. Dalam kurun waktu itu, Peraturan Jabatan Notaris mengalami beberapa kali perubahan. Pada saat ini, notaris telah memiliki undang-undang tersendiri dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pengertian notaris dalam system Civil Law yang diatur dalam Pasal 1 Ord, stbl. 1860 nomor 3 tentang Jabatan Notaris di Indonesia mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860 yang kemudian diterjemahkan oleh R. Soegondo disebutkan pengertian notaris adalah sebagai berikut : Notaris adalah pejabat umum, khususnya (satusatunya) yang berwenang untuk membuat akta-akta otentik tentang semua tindakan, perjanjian-perjanjian, dan keputusan-keputusan yang diharuskan oleh perundang-undangan umum untuk dikehendaki oleh yang berkepentingan bahwa hal itu dinyatakan dalam surat otentik, menjamin tanggalnya, menyimpan akta-akta dan mengeluarkan grosse, salinan-salinan (turunan-turunan) dan kutipan-kutipannya, semuanya itu apabila pembuatan akta-akta demikian itu atau dikhususkan itu atau dikhususkan kepada pejabat-pejabat atau orang-orang lain.2 Demi untuk kepentingan notaris dan untuk melayani kepentingan masyarakat Indonesia, maka pemerintah berupaya mensahkan Peraturan Jabatan Notaris yang kita sebut dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2
G. H. S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris,Erlangga, Jakarta,1992,hlm. 31
11
2014 Jo Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).
Berdasarkan
sejarah,
notaris
adalah
seorang pejabat
negara/pejabat umum yang dapat diangkat oleh negara untuk melakukan tugas-tugas negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan. Pengertian notaris terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Bab I Pasal 1 ayat (1) yaitu, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang dan mewakili kekuasaan umum untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini, untuk kepentingan pembuktian atau sebagai alat bukti. Memperhatikan uraian Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris, dapat dijelaskan bahwa notaris adalah pejabat umum, berwenang membuat akta, otentik, ditentukan oleh undang-undang. Tugas notaris adalah mengkonstantir hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik. Ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.3 Jabatan
notaris
merupakan
jabatan
yang
keberadaannya
dikehendaki guna mewujudkan hubungan hukum diantara subyeksubyek hukum yang bersifat perdata. Notaris sebagai salah satu pejabat umum mempunyai peranan penting yang dipercaya oleh pemerintah dan masyarakat untuk membantu pemerintah dalam melayani masyarakat dalam menjamin kepastian, ketertiban, ketertiban dan perlindungan hukum melalui akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapannya, mengingat akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat.
3
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, Buku I , PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2007, hlm. 159
12
Notaris sebagai salah satu penegak hukum karena notaris membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian. Para ahli hukum berpendapat bahwa akta notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai bukti yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun demikian dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi-saksi, yang dapat membuktikan bahwa apa yang diterangkan oleh notaris dalam aktanya adalah benar. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Jabatan Notaris disebutkan bahwa notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri, sedangkan untuk dapat diangkat sebagai notaris harus dipenuhi persyaratan dalam Pasal 3 UUJNP, antara lain : 1) warga negara Indonesia; 2) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3) berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; 4) sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater; 5) berijasah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; 6) telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (duapuluh empat) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; 7) tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris. 8) Tidak
pernah
dijatuhi
pidana
penjara
berdasarkan
putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Pemerintah menghendaki notaris sebagai pejabat umum yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan
13
kewajiban untuk dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam
membantu
membuat
perjanjian,
membuat
akta
beserta
pengesahannya yang juga merupakan kewenangan notaris. Meskipun disebut sebagai pejabat umum, namun notaris bukanlah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kepegawaian. Notaris terikat dengan peraturan jabatan pemerintah, notaris tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah, tetapi memperoleh gaji dari honorarium atau fee dari kliennya.4 Notaris dapat dikatakan sebagai pegawai pemerintah yang tidak menerima gaji dari pemerintah, notaris dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari pemerintah. Oleh karena itu, bukan saja notaris yang harus dilindungi tetapi juga para konsumennya, yaitu masyarakat pengguna jasa notaris.5 Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian, dengan mengkategorikan notaris sebagai pejabat publik, dalam hal ini publik yang bermakna hukum. Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan pejabat publik dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai badan atau pejabat tata usaha negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing pejabat publik tersebut. Notaris sebagai pejabat publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian.6 Notaris merupakan pengemban profesi luhur yang memiliki 3(tiga) ciri-ciri pokok. Pertama, bekerja secara bertanggungjawab (dapat dilihat dari mutu dan dampak pekerjaan). Kedua, menciptakan keadilan (tidak memihak dan tidak melanggar hak pihak manapun). Ketiga, bekerja tanpa pamrih demi kepentingan klien dengan 4
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 16. Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 34. 6 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai PejabatPublik, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm.31. 5
14
menjunjung tinggi harkat dan martabst sesama anggota profesi dan organisasi profesinya.7 Seorang notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus memiliki keterampilan profesi di bidang hukum juga harus dilandasi dengan tanggungjawab dan moral yang tinggi serta pelaksanaan terhadap tugas jabatannya maupun nilai-nilai dan etika, sehingga dapat menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan ketentuan hukum dan kepentingan masyarakat. Notaris dalam melaksanakan tugasnya secara profesional harus menyadari kewajibannya, bekerja sendiri, jujur, tidak berpihak dan penuh rasa tanggungjawab dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaikbaiknya untuk kepentingan umum (public). Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya seorang notaris harus berpegang teguh pada Kode Etik Jabatan Notaris sebab tanpa itu, harkat dan martabat professionalisme akan hilang. c. Jabatan Notaris Adanya jabatan notaris dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dikehendaki oleh para pihak agar dituangkan dalam bentuk akta otentik untuk dijadikan sebagai alat bukti yang berdasarkan peraturan perundang-undangan bahwa tindakan hukum tertentu wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Aturan hukum jabatan notaris di Indonesia, dari pertama kali banyak mengalami perubahan dan bermacam-macam. Dari beberapa aturan hukum yang ada, kemudian dimasukkan kedalam satu aturan hukum, yaitu UUJN. Misalnya tentang pengawasan, pengangkatan dan pemberhentian notaris. Dengan lahirnya UUJN maka telah terjadi unifikasi hukum dalam pengaturan notaris di Indonesia dan UUJN 7
Lanny Kusumawati, Tanggung jawab Jabatan Notaris, terdapat dalam http://Adln.Lib.unair.ac.id
15
merupakan hukum tertulis sebagai alat ukur bagi keabsahan notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Mengenai pengangkatan notaris ditentukan dalam Pasal 3 UUJNP yang ditambah lagi syarat sebagaimana tersebut dalam Bab II Pasal 2 ayat (1) dan Tata Cara Pengangkatan Notaris diatur dalam Bab III, Pasal 3-8 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.HT.03.01 Tahun 2006. Pengertian jabatan harus berlangsung terus menerus atau berkesinambungan dapat diberlakukan kepada notaris, meskipun seseorang sudah pensiunan dari jabatannya sebagai notaris, atau dengan berhentinya
seseorang
sebagai
notaris,
maka
berhenti
pula
kedudukannya sebagai notaris. Notaris sebagai jabatan, akan tetapi ada akta-akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris yang sudah pensiun tersebut akan tetap diakui dan akan disimpan sebagai suatu kesinambungan oleh notaris pemegang protokolnya. Notaris tidak dapat melakukan tindakan apapun, seperti merubah isi akta, tapi yang dapat dilakukannya yaitu merawat dan mengeluarkan salinan atas permintaan para pihak yang namanya tersebut dalam akta atau para ahli warisnya. Mereka yang menjalankan tugas jabatan notaris oleh umur biologis. Umur yuridis akta notaris bila sepanjang masa, sepanjang aturan hukum yang mengatur jabatan notaris masih ada, dibandingkan dengan umur biologis notaris sendiri yang akan berakhir karena notaris meninggal dunia. Peraturan jabatan notaris yang terdiri beberapa substansi kemudian dimasukkan dalam satu aturan hukum, yaitu UUJN. Misalnya tentang pengawasan, pengangkatan, dan pemberhentian notaris. Dengan lahirnya UUJN maka telah terjadi unifikasi hukum dalam pengaturan notaris di Indonesia dan UUJN merupakan hukum tertulis sebagai alat ukur bagi keabsahan notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.
16
Notaris sebagai pejabat publik mempunyai karakteristik sebagai berikut:8 1) Sebagai Jabatan UUJN merupakan unifikasi dibidang pengaturan jabatan notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang- undang yang mengatur jabatan notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara. Menempatkan notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu atau kewenangan tertentu serta sifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. 2) Notaris mempunyai kewenangan tertentu. Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian, jika seorang pejabat (notaris) melakukan tindakan tidak diluar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang notaris tercantum dalam UUJN Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3). Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN, wewenang notaris adalah membuat akta, bukan membuat surat seperti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atau membuat surat lain, seperti Surat Keterangan Waris (SKW). Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain akan datang kemudian (ius constituendum). Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika notaris melakukan perbuatan di luar wewenangnya, maka produk atau aktanotaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat
8
ibid, hal. 82
17
dilaksanakan. Pihak yang dirugikan oleh tindakan notaristersebut, maka notaris dapat digugat secara perdata ke pengadilan negeri. 3) Diangkat dan diberhentikan oleh menteri dalam UUJN Pasal 2 menentukan bahwa notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal ini menteri yang dibidang hukum (Pasal 1 angka 14 UUJNP). Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya, pemerintah. Dengan demikian notaris menjalankan tugas jabatannya bersifat mandiri, tidak memihak siapa pun, tidak tergantung siapa
pun
(independent), yang dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain. 4) Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya notaris walaupun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu. 5) Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat Kehadiran notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga notaris mempunyai tanggungjawab untuk melayani masyarakat yang dapat menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota yang wilayah jabatannya meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Notaris dalam tempat kedudukannya harus memiliki satu kantor saja dan tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatannya di luar tempat kedudukannya.
18
For carrying out his duties, the notary public has general jurisdiction, with exceptions in cases specified by law, namely :9 a) The probate procedure is in the responsibility of the notary public from the notary office located in the teritorial jurisdiction of the court where the deceased had his last residence. b) In case of successive inheritances, heirs can choose the power of any notary offices located in the teritorial jurisdiction of the court in which he was last home one of the authors who died at least. c) Acts of bills of exchange, promissory notes and checks are teritorial jurisdiction of the notary public of the court which payment shall be done. d) Issuance of duplicate and renewal of notary document are responsibillity of notary public in whose office is located their original. d. Tugas dan Kewenangan Notaris 1) Tugas Notaris Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris tidak memberikan uraian yang lengkap mengenai tugas notaris. Selain akta otentik, notaris
juga
ditugaskan
untuk
melakukan
pendaftaran
dan
mensahkan surat-surat atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Notaris juga memberikan nasihat hukum dan penjelasan mengenai peraturan perundang-undang kepada pihak yang bersangkutan. Hakikat tugas notaris selaku pejabat umum ialah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan hukum antara pihak yang secara manfaat dan mufakat meminta jasa notaris yang pada dasarnya adalah sama dengan tugas hakim yang memberikan keadilan di antara para pihak yang bersengketa. Dalam konstruksi hukum kenotariatan, salah satu tugas jabatan notaris
adalah
memformulasikan
keinginan
atau
tindakan
penghadap/para penghadap kedalam bentuk akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku. Bahwa notaris tidak memihak tetapi mandiri dan bukan sebagai salah satu pihak dan 9
George Schin. “The Jurisdiction Of Public Notary”.Legal Sciences European IntregationRealities and Perspective.2011.hlm.59
19
tidak memihak kepada mereka yang berkepentingan. Itulah sebabnya dalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku pejabat umum terdapat ketentuan undang-undang yang demikian ketat bagi orang tertentu, tidak diperbolehkan sebagai saksi atau sebagai pihak berkepentingan pada akta yang dibuat dihadapannya. Tugas pokok notaris ialah membuat akta otentik, baik yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan maupun oleh keinginan orang tertentu dan badan hukum yang memerlukannya.10 Adapun kata otentik itu menurut Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian sempurna. Letak arti penting dari seorang notaris, bahwa notaris diberi wewenang untuk membuat akta yang memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada notaris, sehingga dapat digunakan sebagai alat pembuktian dalam sebuah sengketa hukum yang digunakan untuk mengingatkan kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, sehingga dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian.11 Dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar sepanjang tidak ada bukti sebaliknya.
2) Kewenangan Notaris Setiap pemberian atau adanya suatu kewenangan senantiasa diikuti pula dengan kewajiban dan/atau tanggung jawab dari padanya.12 Oleh karena notaris diberi kewenangan membuat akta otentik, maka notaris yang bersangkutan berkewajiban untuk memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan oleh peraturan
10
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,2006, hlm.37 11 Valentine Phebe Mowoka, “Pelaksanaan Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Yang Dibuatnya”, artikel pada Jurnal Lex et Societatis,Edisi No.4 Vol. II,2014, hlm.62 12 Wawan Setiawan, “Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta”, makalah dalam seminar nasional sehari Ikatan Mahasiswa Notariat Universitas Diponegoro Semarang, tanggal 9 Maret 1991
20
perundang-undangan, agar akta yang dibuat itu memenuhi syarat sebagai akta otentik. Adapun yang menjadi kewenangan notaris, yaitu : a) Kewenangan Umum Mengenai wewenang yang harus dipunyai oleh notaris sebagai pejabat umum untuk membuat suatu akta otentik. Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris yaitu membuat akta secara umum. Hal ini dapat disebut sebagai kewenangan umum notaris dengan batasan sepanjang : 1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang. 2. Menyangkut akta yang harus dibuat adalah akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum untuk dibuat atau dikehendaki oleh yang bersangkutan. 3. Mengenai kepentingan subjek hukumnya yaitu harus jelas untuk kepentingan siapa suatu akta itu dibuat. Namun, ada juga beberapa akta otentik yang merupakan wewenang notaris dan juga menjadi wewenang pejabat atau instansi lain, yaitu:13 1. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW), 2. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal 1227 BW), 3. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi (Pasal 1405, 1406 BW), 4. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 WvK), 5. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (Pasal 15 ayat (1) UU No.4 Tahun 1996), 6. Membuat akta risalah lelang. 13
Habib Adjie, Hukum Notaris indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Op.cit.,hlm 79
21
Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris, maka ada 2 hal yang dapat kita pahami, yaitu : 1. Notaris
dalam
tugas
jabatannya
memformulasikan
keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku. 2. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti yang lainnya. Jika misalnya ada pihak yang menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka pihak yang menyatakan tidak benar inilah yang wajib membuktikan pernyataannya sesuai dengan hukum yang berlaku b) Kewenangan Khusus Kewenangan notaris ini dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN yang mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti : 1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya di dalam suatu buku khusus ; 2. Membukukan
surat-surat
di
bawah
tangan
dengan
mendaftarkannya dalam suatu buku khusus ; 3. Membuat salinan (copy) asli dari surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan ; 4. Melakukan pengesahan kecocokan antara fotokopi dengan surat aslinya ; 5. Memberikan
penyuluhan
hukum
sehubungan
pembuatan akta ; 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
dengan
22
7. Membuat akta risalah lelang. Khusus mengenai nomor 6 (membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan) banyak mendapat sorotan dari kalangan ahli hukum Indonesia dan para notaris itu sendiri, maka dari itu akan sedikit dibahas mengenai masalah ini. Pasal 15 ayat (2) huruf j UUJN memberikan kewenangan kepada notaris untuk membuat akta di bidang pertanahan. Ada tiga penafsiran dari pasal tersebut yaitu:14 1. Notaris telah mengambil alih semua wewenang PPAT menjadi wewenang notaris atau telah menambah wewenang notaris. 2. Bidang pertanahan juga ikut menjadi wewenang notaris. 3. Tidak ada pengambil alihan wewenang dari PPAT ataupun dari notaris, karena baik PPAT maupun notaris telah mempunyai wewenang sendiri-sendiri. Jika kita melihat dari sejarah diadakannya notaris dan PPAT itu sendiri maka akan nampak bahwa memang notaris tidak berwenang untuk membuat akta di bidang pertanahan. PPAT telah dikenal sejak sebelum kedatangan bangsa penjajah di Negara Indonesia ini, dengan berdasar pada hukum adat murni yang masih belum diintervensi oleh hukum-hukum asing. Pada masa itu dikenal adanya (sejenis) pejabat yang bertugas untuk mengalihkan hak atas tanah di mana inilah yang merupakan cikal bakal dari keberadaan PPAT di Indonesia. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa lembaga PPAT yang kemudian lahir hanya merupakan kristalisasi dari pejabat yang mengalihkan hak atas tanah dalam hukum adat. Adapun mengenai keberadaan notaris di Indonesia yang dimulai pada saat zaman penjajahan Belanda ternyata sejak awal memang hanya memiliki kewenangan yang
14
Ibid.,hlm.84
23
terbatas dan sama sekali tidak disebutkan mengenai kewenangan notaris untuk membuat akta di bidang pertanahan. Namun, hal ini akan menjadi riskan jika kita melihat hierarki peraturan yang mengatur mengenai keberadaan dan wewenang kedua pejabat negara ini. Keberadaan notaris ditegaskan dalam suatu undang-undang yang di dalamnya menyebutkan bahwa seorang notaris memiliki kewenangan untuk membuat akta di bidang pertanahan. Keberadaan PPAT diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 yang secara hierarki tingkatannya lebih rendah jika dibandingkan dengan Undang-Undang No.30 Tahun 2004 yang mengatur keberadaan dan wewenang notaris. Sampai sekaran hal ini masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan baik pakar hukum maupun notaris dan/atau PPAT itu sendiri. Jalan tengah yang dapat diambil adalah bahwa notaris
juga
dapat
memiliki
wewenang
di
bidang
pertanahan sepanjang bukan wewenang yang telah ada pada PPAT. c) Kewenangan Yang Akan Ditentukan Kemudian Dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN yang dimaksud dengan kewenangan yang akan ditentukan kemudian adalah wewenang yang berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius constituendum).15 Wewenang notaris yang akan ditentukan kemudian,
merupakan
wewenang
yang
akan
ditentukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Batasan mengenai apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa :16
15 16
Ibid.,hlm.82 Ibid.,hlm.83
24
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat Bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, yang juga mengikat secara umum. Berdasarkan uraian di atas, bahwa kewenangan notaris yang akan ditentukan kemudian tersebut adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh lembaga negara (Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat) atau pejabat negara yang berwenang dan mengikat secara umum. Dengan batasan seperti ini, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dalam bentuk undang-undang dan bukan di bawah undangundang.
e. Kewajiban dan Larangan Notaris 1) Kewajiban Notaris Pada dasarnya notaris adalah pejabat yang harus memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan bukti otentik. Namun dalam keadaan tertentu, notaris dapat menolak untuk memberikan pelayanan dengan alasan-alasan tertentu (Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJNP). Dalam penjelasan pasal ini, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “alasan untuk menolaknya” adalah alasan yang mengakibatkan notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang. Di dalam praktiknya sendiri, ditemukan alasan-alasan lain sehingga notaris menolak untuk memberikan jasanya, antara lain:17 17
Ibid.,hlm.87
25
1. Apabila notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi berhalangan secara fisik. 2. Apabila notaris tidak ada di tempat karena sedang dalam masa cuti. 3. Apabila notaris karena kesibukan pekerjaannya tidak dapat melayani orang lain. 4. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat suatu akta tidak diserahkan kepada notaris. 5. Apabila penghadap atau saksi yang diajukan oleh penghadap tidak dikenal oleh notaris atau tidak dapat diperkenalkan kepadanya. 6. Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar biaya bea materai yang diwajibkan. 7. Apabila karena pemberian jasa tersebut, notaris melanggar sumpahnya atau melakukan perbuatan melanggar hukum. 8. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa notaris membuat akta dalam bahasa yang tidak dikuasai oleh notaris yang bersangkutan, atau apabila orang-orang yang menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas, sehingga notaris tidak mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh mereka. Dengan demikian, jika memang notaris ingin menolak untuk memberikan jasanya kepada pihak yang membutuhkannya, maka penolakan tersebut harus merupakan penolakan dalam arti hukum, dalam artian ada alasan atau argumentasi hukum yang jelas dan tegas sehingga pihak yang bersangkutan dapat memahaminya. Menurut ketentuan Pasal 16 ayat (7) UUJNP, pembacaan akta tidak wajib dilakukan jika dikehendaki oleh penghadap agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan/atau memahami isi akta tersebut, dengan ketentuan hal tersebut dicantumkan pada akhir akta. Sebaliknya, jika penghadap tidak berkehendak seperti itu, maka notaris wajib untuk
26
membacakannya,
yang kemudian ditandatangani oleh setiap
penghadap, saksi dan notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 ayat (1) UUJNP dan apabila pasal 44 UUJNP ini dilanggar oleh notaris, maka akan mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris (Pasal 44 ayat (5) UUJNP). Ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf n UUJNP jika tidak dilaksanakan oleh notaris dalam arti notaris tidak mau menerima magang, maka kepada notaris yang bersangkutan dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis ( Pasal 16 ayat (13) ). Selain kewajiban untuk melakukan hal-hal yang telah diatur dalam undang-undang, notaris masih memiliki suatu kewajiban lain. Hal ini berhubungan dengan sumpah/janji notaris yang berisi bahwa notaris akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan notaris. Secara umum, notaris wajib merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pembuatan akta notaris, kecuali diperintahkan oleh undang-undang bahwa notaris tidak wajib merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan yang berkaitan dengan akta tersebut. Dengan demikian, hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan notaris untuk membuka rahasia isi akta dan keterangan/pernyataan yang diketahui oleh notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud. Hal ini dikenal dengan “kewajiban ingkar” notaris.18 Instrumen untuk ingkar bagi notaris ditegaskan sebagai salah satu kewajiban notaris yang disebut dalam pasal 16 ayat (1) huruf f UUJNP, sehingga kewajiban ingkar untuk notaris melekat pada tugas jabatan notaris. Kewajiban ingkar ini mutlak harus dilakukan dan dijalankan
oleh
notaris,
kecuali
ada
undang-undang
yang
memerintahkan untuk menggugurkan kewajiban ingkar tersebut. 18
Ibid.,hlm.89
27
Kewajiban untuk ingkar ini dapat dilakukan dengan batasan sepanjang notaris diperiksa oleh instansi mana saja yang berupaya untuk meminta pernyataan atau keterangan dari notaris yang berkaitan dengan akta yang telah atau pernah dibuat oleh atau di hadapan notaris yang bersangkutan. Dalam praktiknya, jika ternyata notaris sebagai saksi atau tersangka, tergugat, ataupun dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan/ pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan, sedangkan undangundang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut notaris yang bersangkutan. Dalam hal ini, dapat dikenakan pasal 322 ayat (1) dan (2) Kitab UndangUndang Hukum Pidana, yaitu membongkar rahasia, yang padahal sebenarnya notaris wajib menyimpannya. Sehubungan dengan perkara perdata, yaitu apabila notaris berada dalam kedudukannya sebagai saksi, maka notaris dapat meminta untuk dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya.19 2) Larangan Notaris Larangan notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang untuk dilakukan oleh notaris. Jika larangan ini dilanggar oleh notaris, maka kepada notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana yang tersebut dalam pasal UUJNP. Dalam hal ini, ada suatu tindakan yang perlu ditegaskan mengenai substansi pasal 17 huruf b, yaitu meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari tujuh hari berturut-turut tanpa alasan yang sah. Bahwa notaris mempunyai wilayah jabatan satu provinsi (pasal 18 ayat (2) UUJN) dan mempunyai tempat kedudukan pada satu kota atau kabupaten pada propinsi tersebut (pasal 18 ayat (1) UUJN). Sebenarnya yang 19
Ibid.,hlm.90
28
dilarang adalah meninggalkan wilayah jabatannya (propinsi) lebih dari tujuh hari kerja.20 Dengan demikian, maka dapat ditafsirkan bahwa
notaris
tidak
dilarang untuk
meninggalkan
wilayah
kedudukan notaris (kota/kabupaten) lebih dari tujuh hari kerja.
2. Tinjauan Umum Akta Notaris a. Pengertian Akta Notaris Istilah Akta dalam bahasa Belanda disebut “acte” atau “akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “act” atau “deed” menurut pendapat umum mempunyai dua arti, yaitu : 1. Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (rechthandeling). 2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau untuk digunakan sebagai perbuatan hukum tertentu yaitu berupa tulisan yang ditunjukkan kepada pembuktian tertentu. Secara etimologi menurut S.J. Fachema Andreae, kata “akta” berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti “geschrif” atau surat.21 Sudikno Mertokusumo mendefinisikan akta sebagai berikut : “Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian”.22 Akta sendiri adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.23 Dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang di buat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud itu, ditempat di mana 20
Ibid.,hlm.91 Suharjono, “Varia Peradilan Tahun XI Nomor 123”, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum,1995, hlm 128. 22 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi ke-8, cetakan pertama, Liberty,Yogyakarta,2009,hlm 51 23 Abdul Ghofur Anshori, Op.cit.,hlm.18 21
29
akta dibuat.24 Pegawai umum yang dimaksud adalah pegawai-pegawai yang dinyatakan dengan undang-undang mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik, misalnya notaris, panitera juru sita, pegawai pencatat sipil, hakim dan sebagainya. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan
dalam
undang-undang.
Sehingga,
ada
dua
macam/golongan akta notaris, yaitu: 1. Akta yang dibuat oleh notaris (akta relaas atau akta pejabat); Yaitu akta yang dibuat oleh notaris memuat uraian dari notaris suatu tindakan yang dilakukan atas suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris, misalnya akta berita acara/risalah rapat RUPS suatu perseroan terbatas, akta pencatatan budel, dan lain-lain. 2. Akta yang dibuat di hadapan notaris (akta partij). Yaitu akta yang dibuat di hadapan notaris memuat uraian dari apa yang diterangkan atau diceritakan oleh para pihak yang menghadap kepada notaris, misalnya perjanjian kredit, dan sebagainya. Akta yang dibuat tidak memenuhi pasal 1868 Kitab UndangUndang Hukum Perdata bukanlah akta otentik, melainkan akta dibawah tangan. Perbedaan mendasar antara akta otentik dengan akta dibawah tangan adalah : 1. Akta Otentik Akta itu disebut otentik apabila memenuhi 3 unsur, yaitu :25 pertama, dibuat dalam bentuk menurut ketentuan undang-undang, kedua, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, ketiga, pejabat umum itu harus berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat. Akta Otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ia memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang 24
Tan Thong Kie,Op.cit., hlm.154 Nurul Muslimah Kurniati, Notaris Dan Akta Notaris, tedapat dalam http://notarisnurulmuslimahkurniati.blogspot.co.id/2009/04/notaris-dan-akta-notaris.html
25
30
sempurna tentang apa yang diperbuat/ dinyatakan dalam akta ini. Ini berarti mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupa karena dianggap melekatnya pada akta itu sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dan bagi hakim itu merupakan “Bukti Wajib/Keharusan”. Dengan demikian akta otentik mempunyai kekuatan pembukttian yang kuat sepanjang tidak dibantah kebenarannya oleh siapa pun, kecuali bantahan terhadap terhadap akta tersebut sebaliknya.
26
dapat
dibuktikan
Akta otentik berfungsi sebagai suatu alat bukti tertulis
yang digunakan bahan pertimbangan hakim dalam mengambil putusan apabila terjadi perselisihan antara para pihak atau apabila ada gugatan dari pihak yang berkepentingan.27 Suatu akta merupakan akta otentik, maka akta tersebut mempunyai 3 (tiga) fungsi terhadap para pihak yang membuatnya yaitu :28 a. sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan perjanjian tertentu; b. sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak. c. sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa tanggal tertentu kecuali jika ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
2. Akta Bawah Tangan Akta bawah tangan bagi hakim merupakan “Bukti Bebas” karena akta di bawah tangan ini baru mempunyai kekuatan bukti materiil setelah dibuktikan kekuatan formilnya. Sedang kekuatan
26
Tanggung jawab Profesi Notaris Dalam Menjalankan Tanggung jawab Pembuatan Akta-akta Notaris, terdapat dalam http://tansrik.blogspot.co.id/2009/12/tanggung-jawab-profesi-notarisdalam.html 27 Lidya Febiana, “Notaris Sebagai Saksi Dalam Penyidikan Otentisitas Akta”. artikel pada Calyptra:Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Vol.2.No.1, 2013,hlm.3 28 Salim HS, Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.43
31
pembuktian
formilnya
baru
terjadi,
bila
pihak-pihak
yang
bersangkutan mengakui akan kebenaran isi dan cara pembuatan akta itu. Akta yang termasuk akta di bawah tangan yaitu : a. Legalisasi,
adalah
akta
di
bawah
tangan
yang
belum
ditandatangani, diberikan kepada notaris dan dihadapan notaris ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan, setelah isi akta dijelaskan oleh notaris kepada mereka. Pada legalisasi, tanda tangannya dilakukan dihadapan yang melegalisasi. b. Waarmeken, adalah akta di bawah tangan yang didaftarkan untuk memberikan tanggal yang pasti. Akta yang sudah ditandatangani diberikan kepada notaris untuk didaftarkan dan diberi tanggal yang pasti. Pada waarmeken tidak menjelaskan mengenai siapa yang menandatangani dan apakah penandatangan memahami isi akta, hanya mengenai kepastian tanggal saja dan tidak ada kepastian tandatangan.
b. Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Sebagai alat bukti umumnya dapat dikatakan akta notaris dibedakan menjadi tiga macam kekuatan pembuktian yakni :29 1) Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) Merupakan kekuatan pembuktian dalam artian kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini berdasarkan Pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan. Akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah, yakni sebagai yang benar-benar berasal dari pihak, terhadap siapa akta tersebut dipergunakan, apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau dengan cara yang 29
Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit. hlm 19-23
32
sah menurut hukum telah diakui oleh yang bersangkutan. Sementara akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya (acta publica probant sese ipsa). Suatu akta nampak sebagai akta otentik, artinya menandakan dirinya dari luar, dari kata-katanya sebagai seorang pejabat umum, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap akta otentik sampai dapat dibuktikan bahwa akta tersebut bukanlah akta otentik. 2) Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht) Merupakan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap. Artinya bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di dalam jabatan itu. Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke acte), akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar, dan juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat umum di dalam menjalankan jabatannya. Pada akta dibawah tangan kekuatan pembuktian ini hanya meliputi kenyataan bahwa keterangan itu diberikan, apabila tanda tangan yang tercantum dalam akta dibawah tangan itu diakui oleh yang
yang
menandatanganinya
atau
dianggap
telah
diakui
sedemikian menurut hukum. Dalam arti formal, maka terjamin kebenaran/
kepastian
tanggal
dari
akta
otentik,
kebenaran
tandatangan, identitas dari orang-orang yang hadir, demikian juga tempat akta dibuat. Pada akta otentik berlaku terhadap setiap orang yakni apa yang ada dan terdapat diatas tandatangan mereka. Namun terdapat kekecualian atau pengingkaran atas kekuatan pembuktian formal ini. Pertama, pihak penyangkal dapat langsung tidak mengakui bahwa
33
tanda tangan yang dibubuhkan dalam akta tersebut adalah tanda tangannya. Kedua, pihak penyangkal dapat menyatakan bahwa notaris dalam membuat akta melakukan suatu kesalahan atau kekhilafan namun tidak menyangkal tanda tangan yang ada di dalam akta tersebut. Artinya pihak penyangkal tidak mempersoalkan formalitas akta namun mempersoalkan substansi akta.
Dalam
membuktikan hal ini menurut hukum dapat digunakan segala hal yang berda dalam koridor hukum formil pembuktian. 3) Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht) Merupakan kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya. Artinya tidak hanya kenyataan yang dibuktikan oleh suatu akta otentik, namun isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh membuatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya. Akta otentik dengan demikian mengenai isi yang dimuatnya berlaku sebagai yang benar, memiliki kepastian sebagai sebenarnya maka menjadi terbukti dengan sah diantara para pihak oleh karenanya apabila digunakan di muka pengadilan adalah cukup dan bahwa hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya disamping akta otentilk tersebut. Hakim terikat dengan alat bukti otentik sebab jika tidak demikian maka dapat dipertanyakan apa gunanya undang-undang menunjuk para pejabat yang ditugaskan untuk membuat suatu akta otentik sebagai alat bukti bila hakim dapat begitu saja mengesampingkan akta yang dibuat oleh pejabat tersebut.
c. Akibat Hukum Akta Notaris Akta notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka yang membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya
34
perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subyektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat obyektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang.30 Akibat hukum tertentu jika syarat subyektif tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan sepanjang sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang berkepentingan. Syarat obyektif ini jika tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapa pun. Syarat subyektif perjanjian dicantumkan dalam akta notaris dalam awal akta dan syarat obyektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta, Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 Kitab UndangUndang Hukum Perdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian, jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap notaris tidak memenuhi syarat subyektif, maka atas permintaan orang tertentu tersebut dapat dibatalkan. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka dianggap membatalkan seluruh badan akta, termasuk membatalkan syarat objektif. Syarat subjektif ditempatkan sebagai sebagai bagian dari awal akta, dengan alasan meskipun syarat subyektif tidak dipenuhi sepenjang tidak ada pengajuan pembatalan dengan cara gugatan dari orang-orang tertentu, maka isi akta yang berisi syarat objektif tetap mengikat para 30
Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 37.
35
pihak, hal ini berbeda jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka akta dianggap tidak pernah ada. Akta notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang hal ini merupakan salah satu karakter akta notaris. Kerangka notaris harus menempatkan syarat subyektif dan syarat objektif akta notaris yang sesuai dengan makna dari suatu perjanjian dapat dibatalkan dan batal demi hukum, oleh karena itu kerangka akta notaris harus terdiri : 1) Kepala atau awal akta, yang memuat : a) judul akta; b) nomor akta; c) pukul, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan d) nama lengkap dan tempat kedudukan notaris dan wilayah jabatan notaris (Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUJN); e) nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedidikan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; f) keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap; baik untuk diri sendiri, kuasa, selaku orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua untuk anaknya yang belum dewasa, selaku wali,
selaku
pengampu,
curator
(kepailitan),
dan
dalam
jabatannya. g) nama lengkap, tempat tanggal lahir serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal. 2) Badan atau isi akta; memuat kehendak dan keinginan dari para pihak yang berkepentingan yang diterangkan atau dinyatakan di hadapan notaris atau keterangan-keterangan dari notaris mengenai hal-hal yang disaksikannya atas permintaan yang bersangkutan. Isi badan akta otentik ini hanya berisi satu perbuatan hukum saja. Akta notaris yang di dalamnya memuat lebih dari satu akta notaris yang demikian tidak memiliki eksekutorial dan tidak sah. 3) Penutup atau akhir akta, yang memuat :
36
a) uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7); b) uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta bila ada; c) nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta, dan d) uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian. Akta notaris yang dapat dibatalkan dan batal demi hukum ditinjau dari ketentuan Pasal 38 UUJN : 31
Keterangan
Akta Notaris batal demi Akta Notaris dapat hukum dibatalkan Alasan Melanggar syarat Melanggar syarat subyektif, yaitu : objektif, yaitu : 1. sepakat mereka yang 1. suatu hal tertentu; mengikatkan dirinya; 2. suatu sebab yang 2. kecakapan untuk halal. membuat suatu perikatan. Mulai 1. akta tetap mengikat Sejak akta tersebut Berlaku/ selama belum ada ditandatangani dan terjadinya putusan pengadilan tindakan hukum yang Pembatalan yang telah mempunyai tersebut didalam akta kekuatan hukum tetap. dianggap tidak pernah 2. akta menjadi tidak terjadi, dan tanpa perlu mengikat sejak ada ada putusan putusan pengadilan pengadilan. yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tabel 1. Perbedaan Akta Notaris batal demi hukum dan dapat dibatalkan 31
Ibid, hal. 55
37
3. Tinjauan Umum Perbuatan Melawan Hukum Istilah perbuatan melawan hukum dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah “onrechtmatig daad” atau dalam Bahasa Inggris disebut dengan istilah “tort”.32 Sebelumnya diartikan secara sempit, yakni suatu perbuatan yang melanggar hak oranglain atau jika orang berbuat bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. Dalam rumusan tersebut, yang harus dipertimbangkan hanya hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang, jadi perbuatan itu harus melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan oleh undang-undang, dengan demikian melanggar hukum (onrechtmatig) sama dengan melanggar undang-undang (onwetmatig).33 Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau halhal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat. Penafsiran yang sempit ini sangat merugikan orang banyak, sebab tidak semua kepentingan orang dalam masyarakat diatur dan dilindungi undang-undang.34 Perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut:35 a. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain. b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. d. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.
32
Munir Fuady, Perbuatan melawan hukum (Pendekatan Kontemporer), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,2013, hlm. 2 33 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,2000,hlm.253 34 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata (Edisi Revisi), Alumni, Bandung, 2010, hlm.276 35 Munir Fuady. Op.Cit.,hlm.6
38
Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain adalah melanggar hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, tetapi tidak terbatas pada hak-hak yaitu
hak-hak
pribadi
(persoonlijkheidsrechten),
hak
kekayaan
(vermosgensrecht), hak atas kebebasan dan hak atas kehormatan dan nama baik.36 Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri adalah suatu kewajiban hukum yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.37 Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan adalah tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, manakala tindakan melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak lain maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat meminta ganti kerugian berdasarkan atas perbutan melawan hukum seperti yang terkadung dalam Pasal 1365 KUHPerdata.38 Perbuatan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik atau yang disebut dengan istilah zorgvuldigheid juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Jadi, jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar pasal-pasal dari hukum yang tertulis mungkin masih dapat dijerat dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat. Keharusan dalam pergaulan masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.39
Perbuatan melawan hukum dapat dijumpai baik dalam ranah hukum pidana (hukum publik) maupun dalam ranah hukum perdata (hukum private). Dalam konteks itu jika dibandingkan maka kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan perbedaan.40 Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk dikatakan melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya 36
Ibid. Ibid.,hlm.8 38 Ibid. 39 Ibid. 40 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm 14. 37
39
ketentuan hukum yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua melawan hukum tersebut pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum. Perbedaan pokok antara kedua melawan hukum tersebut, apabila melawan hukum pidana lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan. Sementara melawan hukum perdata lebih memberikan perlindungan kepada private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies). Sementara menurut M.A. Moegni Djojodordjo, Mariam Darus Badrulzaman, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, I.S. Adiwimarta, dan Setiawan, menerjemahkannya menjadi perbuatan melawan hukum. Penterjemahan onrechtmatige daad sebagai perbuatan melawan hukum lebih tepat dibandingkan perbuatan melanggar hukum. Pertama, dalam kata melawan melekat sifat aktif dan pasif. Kedua, kata itu secara subtansif lebih luas cakupannya dibandingkan dengan kata melanggar.41 Maksudnya adalah bahwa dalam kata melawan dapat mencakup perbuatan yang didasarkan, baik secara sengaja maupun lalai. Sementara kata melanggar cakupannya hanya pada perbuatan yang berdasarkan kesengajaan saja. Perbuatan melawan hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 1365 hingga Pasal 1380. Meskipun pengaturan perbuatan melawan hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya 15 pasal, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa gugatan perdata di pengadilan didominasi oleh gugatan perbuatan melawan hukum disamping gugatan wanprestasi. Perbuatan melawan hukum lebih diartikan sebagai sebuah perbuatan melukai (injury) daripada pelanggaran terhadap kontrak (breach of contract). Apalagi perbuatan melawan hukum umumnya tidak didasari dengan adanya hubungan hukum kontraktual. Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena 41
M.A Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum,Pradnya Paramita, Jakarta,1982, hlm.66
40
salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu perbuatan melawan hukum karena kesengajaan, perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian) dan perbuatan melawan hukum karena kelalaian.42 Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Perbuatan melawan hukum adalah setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undangundang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum adalah tidak demikian. Undang-undang hanya menetukan satu pasal umum, yang memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum. Jadi pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas. Perbuatan melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar kaidah hak subjektif orang lain, tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat. Unsurunsur perbuatan melawan hukum (PMH) ada 5 unsur perbuatan melawan hukum (PMH) yaitu :43 a) Adanya suatu perbuatan 42
Munir Fuady, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,Notaris, Kurator, dan Pengurus, PT. Citra Aditya Bakti., Bandung, 2005, hlm. 3 43 Munir Fuady. Perbuatan Melawan Hukum,Op.cit. hlm.10
41
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif). b) Adanya perbuatan melawan hukum Dikatakan perbuatan melawan hukum, tidak hanya hal yang bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga jika berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang memenuhi salah satu unsur berikut yaitu berbertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan keharusan (kehati-hatian, kepantasan, kepatutan) yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda. c) Adanya unsur kesalahan Unsur kesalahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan dan akibat-akibat yang dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku. d) Adanya kerugian Yaitu kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum tidak hanya dapat mengakibatkan kerugian uang saja, tetapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. e) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara faktual hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Teori penyebab kira-kira merupakan bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum.
42
a. Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dengan Wanprestasi Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan para praktisi hukum masih bingung tentang wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, kerap kali ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum (genus spesific). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah:44 1) Sumber; Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata : “Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang.” Wanprestasi terjadi karena debitur (yang dibebani kewajiban) tidak memenuhi isi perjanjian yang disepakati, seperti :
44
Perbedaan Wanprestasi dengan Perbuatan Melawan Hukum, https://www.lbh lentera keadilan.com/permalink.php?id=485250158219995&story_fbid=4
43
a. Tidak dipenuhinya prestasi sama sekali, b. Tidak tepat waktu dipenuhinya prestasi, c. Tidak layak memenuhi prestasi yang dijanjikan, Perbuatan melawan hukum lahir karena undang-undang sendiri yang menentukan. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUHPerdata : “Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undangundang sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” Artinya, perbuatan melawan hukum semata-mata berasal dari undang-undang,
bukan
karena
perjanjian
yang
berdasarkan
persetujuan dan perbuatan melawan hukum merupakan akibat perbuatan manusia yang ditentukan sendiri oleh undang-undang. Ada 2 kriteria perbuatan melawan hukum yang merupakan akibat perbuatan manusia, yakni : a)
Perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum (rechtmagitg, lawfull)
b)
Perbuatan
manusia
yang
tidak
sesuai
dengan
hukum
(onrechtmatig, unlawfull). Dari 2 kriteria tersebut, kita akan mendapatkan apakah bentuk perbuatan melawan hukum tersebut berupa pelanggaran pidana (factum delictum), kesalahan perdata (law of tort) atau betindih sekaligus delik pidana dengan kesalahan perdata. Dalam hal terdapat kedua kesalahan (delik pidana sekaligus kesalahan perdata) maka sekaligus pula dapat dituntut hukuman pidana dan pertanggung jawaban perdata (civil liability).
2) Timbulnya hak menuntut. Pada wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti Pernyataan
lalai
(inmorastelling,
negligent
of
expression,
interpellatio, ingeberkestelling). Hal ini sebagaimana dimaksud
44
pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan : “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan. Hal ini diperkuat yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan : “Apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur”. Dalam perbuatan melawan hukum, hak menuntut dapat dilakukan tanpa diperlukan somasi. Sekali timbul perbuatan melawan hukum, saat itu juga pihak yang dirugikan langsung dapat menuntutnya (action, claim, rechtvordering)
3) Tuntutan ganti rugi (compensation, indemnification) Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadi
kelalaian.
Hal
ini
sebagaimana
diatur
Pasal
1237
KUHPerdata: “Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya”. Pasal 1246 KUHPerdata menyatakan : “Biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang
45
akan diperoleh sekiranya perjanjian tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst). Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas. Sementara, dalam perbuatan melawan hukum, tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan pasal 1265 KUHPerdata, tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya, tidak perlu perincian. Dengan demikian, tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand, herstel in de vorige toestand). Meskipun tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi, seperti : Putusan Mahkamah Agung No. 196 K/ Sip/ 1974 tanggal 7 Oktober 1976, menyatakan : “Besarnya
jumlah
ganti
rugi
perbuatan
melawan
hukum,
diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak”. Putusan Mahkamah Agung No. 1226 K/Sip/ 1977 tanggal 13 April 1978, menyatakan : “Soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.
4. Tinjauan Umum Pertanggungjawaban Hukum Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang secara etimologi berarti kewajiban terhadap segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak lain. Pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).
46
Menurut Hans Kelsen dalam bukunya membagi pertanggungjawaban menjadi empat macam yaitu:45 a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri. b. Pertanggungjawaban
kolektif
berarti
bahwa
seorang
individu
bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian. d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan. Menurut kamus hukum ada 2 istilah pertanggungjawaban yaitu liability (thestate of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible). Liability merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga merupakan kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial, kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau beban. Kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undangundang dengan segera atau pada masa yang akan datang. Responsibility berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atau suatu kewajiban, dan termasuk
putusan,
keterampilan,
kemampuan,
dan
kecakapan.
Responsibility juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas undang-
45
Hans Kelsen, terjemahan Raisul Mutaqien, Teori Hukum Murni, Bandung, 2006, hlm. 140
Nuansa dan Nusamedia,
47
undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan yang telah ditimbulkannya.46 Tanggung jawab hukum menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang hukum perdata dan tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.47 Bentuk pertanggungjawaban dalam hukum perdata dapat dikelompokan menjadi
dua,
yaitu
pertanggungjawaban
kontraktual
dan
pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum. Perbedaan antara tanggung jawab kontraktual dengan tanggung jawab perbuatan melawan hukum adalah apakah dalam hubungan hukum tersebut terdapat perjanjian atau tidak. Jika terdapat perjanjian tanggung jawabnya adalah tanggung jawab kontraktual. Sementara apabila tidak ada perjanjian namun terdapat satu pihak merugikan pihak lain, pihak yang dirugikan dapat menggugat pihak yang merugikan untuk bertanggung jawab dengan dasar telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pertanggungjawaban
notaris
dapat
dibagi
menjadi
pertanggungjawaban secara pidana, administrasi dan perdata. Ketiga jenis pertanggungjawaban tersebut ditentukan oleh sifat pelanggaran /melawan hukumnya perbuatan dan akibat hukumnya. Bentuk pertanggungjawaban pidana selalu bersanksi pidana. Pertangungjawaban administrasi selalu bersanksi administrasi, dan pertanggungjawaban perdata ditujukan pada pengembalian kerugian keperdataan, akibat dari wanprestasi atau onrechtsmatige daad. Pada dasarnya setiap bentuk pelanggaran selalu mengandung sifat melawan hukum dalam perbuatan itu. Dalam hal sifat melawan hukum tindak pidana, selalu membentuk pertanggunggjawaban 46 47
Ridwan HR., Op.cit., hlm. 335-336. Munir Fuady,Perbuatan Melawan Hukum,Op.cit., hlm. 4.
48
pidana sesuai tindak pidana tertentu yang dilanggarnya. Sementara sifat melawan hukum administrasi dan hukum perdata, sekedar membentuk pertanggungjawaban administrasi dan perdata saja sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. 5. Teori Hukum Teori hukum dalam Bahasa Inggris disebut dengan Theory of Law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtstheorie yang mempunyai kedudukan sangat penting di dalam proses pembelajaran maupun di dalam penerapan hukum karena dengan adanya teori hukum, dapat membantu dalam kerangka pemecahan berbagai persoalan.48 Teori hukum menurut J.J.H. Bruggink adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan.49 Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan metode interdisipliner. Teori hukum dapat lebih mudah digambarkan sebagai teori-teori dengan berbagai sifat mengenai objek, abstraksi, tingkatan refleksi dan fungsinya.50 a. Teori Keadilan Keadilan berasal dari kata adil yang artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak memihak atau tidak berat sebelah. Keadilan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang bersifat adil atau perbuatan yang tidak memihak. Keadilan adalah salah satu dari tujuan hukum selain kemanfaatan dan kepastian
48
Salim H.S & Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi Buku Kedua, ctk Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2014, hlm.5 49 Otje Salman,S dan Anthon F.Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka kembali, Refika Aditama,Bandung,2007,hlm.60 50 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum,ctk Keenam, edisi revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012,hlm. 78
49
hukum. Perwujudan keadilan dapat dilihat dalam ruang lingkup kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara. Keadilan dimulai dengan salah satu pilihan yang paling umum yang bisa dibuat orang bersama-sama, yakni dengan pilihan prinsip pertama dari konsepsi keadilan yang mengatur kritik lebih lanjut serta reformasi institusi.51 Teori keadilan Hans Kelsen, dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.52 Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan
bahwa
suatu
tatanan
bukan
kebahagian
setiap
perorangan, melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin
individu
dalam arti
kelompok, yakni
terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhankebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.53 Pengembang lain teori keadilan adalah John Rawls, menyajikan tentang konsep keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan “Prinsip kebijaksanaan rasional yang diterapkan pada konsep kesejahteraan agregatif (hasil pengumpulan) kelompok”.54 Subyek utama keadilan sosial adalah struktur masyarakat, atau lebih tepatnya, cara lembaga51
Uzair Fauzan&Heru Prasetyo, Teori keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik Hukum Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, ctk Kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2011, hlm.12 52 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung,2011, hlm. 7 53 Ibid 54 Salim,H.S & Erlies Septiana Nurbaini,Op.cit.,hlm.31
50
lembaga
sosial
utama
mendistribusikan
hak
dan
kewajiban
fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial.55 Ada dua tujuan dari teori keadilan menurut John Rawls, yaitu:56 1) Pertama, teori ini mau mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip umum keadilan yang mendasari dan menerangkan berbagai keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam keadaan-keadaan khusus kita. Maksud dari “keputusan moral” adalah sederet evaluasi moral yang telah kita buat dan sekiranya menyebabkan tindakan sosial kita. Keputusan moral yang sungguh dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi moral yang kita buat secara refleksif. 2) Kedua, Rawls mau mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang
lebih
unggul
atas
teori
utilitarianisme.
Rawls
memaksudkannya “rata-rata” (average utilitarianisme). Maksudnya adalah bahwa institusi sosial dikatakan adil jika diabdikan untuk memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan. Sedang utilitarianisme rata-rata memuat pandangan bahwa institusi sosial dikatakan adil jika hanya diandaikan untuk memaksimalisasi keuntungan per kapita. Untuk kedua versi utilitarianisme tersebut “keuntungan” didefinisikan sebagai kepuasan atau keuntungan yang terjadi melalui pilihan-pilihan. Rawls mengatakan bahwa dasar kebenaran teorinya membuat pandangannya lebih unggul dibanding kedua versi utilitarianisme tersebut. Prinsip-prinsip keadilan yang ia kemukakan lebih unggul dalam menjelaskan keputusan moral etis atas keadilan sosial. Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memerhatikan dua prinsip keadilan, yaitu :57 55 56
Ibid Damanhuri Fattah,”Teori Keadilan Menurut John Rawls”, Jurnal TAPIs,Vol.9 No.2, JuliDesember,2013,hlm.32-33
51
Pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Teori ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk
mencari
keadilan
yang
seadil-adilnya
terhadap
pertanggungjawaban yang dibebankan kepada notaris yang telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik khususnya perbuatan notaris yang telah dijatuhi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Diharapkan teori ini dapat memberikan rasa adil dalam hal pertanggungjawaban notaris terhadap perbuatannya yang melawan hukum khususnya bagi para pihak yang dirugikan oleh notaris atau bagi notaris itu sendiri dan pada umumnya bagi masyarakat yang akan menggunakan jasa notaris, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap seorang notaris akan semakin besar dan membuat masyarakat merasa aman apabila menggunakan jasa seorang notaris.
b. Teori Pertanggungjawaban Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).58 Dari pengertian tersebut maka tanggung jawab dapat diartikan sebagai perbuatan bertanggungjawab (pertanggungjawaban) atas perbuatan yang telah dilakukan. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang dibedakan atas
57 58
Salim,H.S & Erlies Septiama Nurbaini, Op.cit.,hlm 31 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 1139.
52
pertanggungjawaban
atas
kesalahan
(based
on
fault)
dan
59
pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility).
Pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pada Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367, prinsip ini dipegang teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan untuk bertanggungjawab secara hukum apabila unsur terdapat unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dikenal sebagai pasal perbuatan melawan hukum mengharuskan empat unsur pokok yang harus dipenuhi yaitu adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility), prinsip tanggung jawab mutlak adalah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau tidak, dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam melakukan perbuatannya itu pelaku tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian, kekurang hatihatian atau ketidakpatutan. Tanggung jawab mutlak sering juga disebut dengan tanggung jawab tanpa kesalahan. Menurut Hans Kelsen di dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”.60 Disamping pandangan di atas, teori tentang tanggung jawab hukum juga dikembangkan oleh Wright, yang disebut dengan 59
Jimly Asshidiqie dan Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta,2006, hlm. 61. 60 Ibid.,hlm.63
53
interactive justice, yang berbicara tentang kebebasan negatif seseorang kepada oranglain dalam hubungan interaksinya satu sama lain. Esensi dari interactive justice adalah adanya kompensasi sebagai perangkat yang melindungi setiap orang dari interaksi yang merugikan (harmful interaction), yang umum diterapkan dalam perbuatan melawan hukum (tort law), hukum kontrak dan hukum pidana. Menurut Wright, limitasi pertanggungjawaban hukum perdata ditentukan dari ada atau tidaknya suatu standar obyektif tertentu (specified standard of conduct) untuk menjadi dasar penilaian yang terdiri dari (1) no worseofflimitation, (2) superseding cause limitation, (3) risk play-out limitation.61 Berdasarkan standar pertama, yakni no worse off limitation, tidak ada pembatasan tanggung jawab terhadap suatu perbuatan melawan hukum, jika jelas adanya suatu kesalahan dan yang mempunyai kontribusi langsung berdasarkan asas kausalitas terhadap kerugian.62 Standar kedua, superseding cause limitation, harus dilihat terlebih dahulu apakah tindakan yang menjadi penyebab terjadinya kerugian itu bersifat dependent ataukah independent. Jika bersifat dependent, maka pertanggungjawaban hukum tersebut tidak dapat dikecualikan ataupun dibatasi.63 Pendekatan ketiga, risk play-out limitation yaitu adanya hubungan antara bagaimana suatu kerusakan yang terjadi merupakan akibat dari suatu resiko yang dapat diprediksi sebelumnya. Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu : 1)
Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam
61
Salim,H.S & Erlies Septiama Nurbaini.,Op.cit..,hlm 213 Ibid 63 Ibid.,hlm 214 62
54
teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi 2)
Teori fautes de service, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Hubungan
antara
teori
pertanggungjawaban
ini
dengan
permasalahan yang penulis angkat adalah walaupun notaris di dalam menjalankan kewenangannya sebagai pejabat umum telah membuat akta otentik yang baik dan benar serta sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi tidak dipungkiri di dalam menjalankan tugasnya tersebut seorang notaris bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan didalam pembuatan akta yang akan menimbulkan akibat hukum pada para pihaknya. Notaris apabila melakukan kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan para pihak, maka notaris
tersebut
dapat
dimintakan
pertanggungjawabannya
atas
kesalahannya tersebut. Teori pertanggungjawaban ini digunakan untuk menganalisis pertanggungjawaban apa saja yang dapat dibebankan kepada notaris yang dalam melaksanakan tugas dan jabatannya melakukan perbuatan menyimpang atau perbuatan melawan hukum. Teori ini untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk mengetahui jenis pertanggungjawaban seperti apa yang sesuai diberikan kepada Notaris dan nantinya dapat memberikan kepuasan kepada para pihak yang dirugikan atas perbuatan notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik.
c. Teori Kewenangan Istilah
kekuasaan,
kewenangan,
dan
wewenang
sering
ditemukan dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga
55
dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah (the rule and the ruled). Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah bevoegheid dalam istilah hukum Belanda. Jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah bevoegheid. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah bevoegheid digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.64 Kewenangan menurut H.D Stoud adalah keseluruhan aturanaturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik. Ada dua unsur yang terkandung dalam pengertian konsep kewenangan tersebut yaitu : adanya aturan hukum dan sifat hubungan hukum.65 Ada perbedaan antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta 64
Sonny Pungus, Teori Kewenangan, terdapat blogspot.com/2011/01/teori-kewenangan.html. 65 Salim,H.S & Erlies Septiama Nurbaini.,Op.cit, hlm. 183-184
dalam
http://sonny-tobelo.
56
distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundangundangan. Kewenangan (authority) adalah hak untuk memberi perinta, dan kekuasaan untuk meminta dipatuhi.66 Kewenangan yang sah jika ditinjau dari mana kewenangan itu diperoleh, maka ada tiga kategori kewenangan yaitu kewenangan secara atribusi, delegasi,mandat.67 Atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten. Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Kewenangan yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Jadi dalam atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). 66
Andi
Asrianti, Teori Kewenangan, terdapat dalam http://andiasrianti.blogspot.com/2013/02/normal-0-false-false-false-en-us-zh-cn.html. 67 Lutfi Effendi, Pokok-pokok Hukum Administrasi, Edisi Pertama Cetakan Kedua, Bayumedia Publising, Malang, 2004, hlm. 77-79
57
Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans),
tetapi
beralih
pada
penerima
delegasi
(delegataris).Sementara pada mandat, penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataristetapberada pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya penerima mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.68 Max Weber membagi kewenangan menjadi empat macam, yang meliputi :69 1) Wewenang kharismatis, tradisional dan rasional (legal); 2) Wewenang resmi dan tidak resmi; 3) Wewenang pribadi dan teritorial; dan 4) Wewenang terbatas dan menyeluruh. Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma yang merupakan suatu kemampuan khusus yang melekat pada diri seseorang, yang diyakini bawaan sejak lahir. Wewenang tradisional merupakan wewenang yang dapat dipunyai oleh seseorang atau kelompok orang. Wewenang rasional atau legal, yaitu wewenang yang disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat, sistem hukum mana dipahamkan sebagai kaidahkaidah yang telah diakui serta ditaati oleh masyarakat, dan bahkan yang telah diperkuat oleh negara. Wewenang tidak resmi merupakan hubungan yang timbul antar pribadi yang sifatnya situasional, dan sifatnya sangat ditentukan pihak-pihak yang saling berhubungan tadi. Wewenang resmi sifatnya sistematis, dapat diperhitungkan dan rasional. Wewenang pribadi lebih didasarkan pada tradisi, dan/atau kharisma. Wewenang teritoral merupakan wewenang dilihat dari 68 69
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 105-106. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.280281
58
wilayah tempat tinggal. Wewenang terbatas adalah wewenang yang sifatnya terbatas, dalam arti tidak mencakup semua sektor atau bidang saja. Wewenang menyeluruh merupakan wewenang yang tidak dibatasi oleh bidang-bidang kehidupan tertentu.70 Dalam kaitannya kewenangan dengan permasalahan yang diangkat adalah notaris yang diberi kewenangan dalam membuat akta otentik menyalahgunakan wewenangnya tersebut yang mengakibatkan para pihak mengalami kerugian serta dapat mengakibatkan akta otentik yang dibuat oleh notaris tersebut menjadi tidak mempunyai kekuatan yang mengikat, sehingga notaris dapat dikatakan telah bertindak sewenangwenang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Teori kewenangan ini untuk menjawab rumusan masalah kedua.
B. Hasil Penelitian Yang Relevan 1. Penelitian Tesis, yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM NOTARIS DALAM KAITANNYA DENGAN AKTA YANG DIBUATNYA MANAKALA ADA SENGKETA DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pontianak No. 72/pdtg/pn.Pontianak)” oleh Ratih Tri Jayanati Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro tahun 2010 dengan rumusan masalah bagaimana perlindungan hukum notaris selaku pejabat umum yang membuat akta sesuai syarat formil ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan notaris dan apa akibat hukum dari putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap notaris. Kesimpulan dari penelitian ini adalah akta notaris merupakan partij akta, di mana akta tersebut hanya memuat tentang pernyataan-pernyataan para pihak yang datang ke notaris. Notaris selaku pejabat umum hanya merumuskan keterangan dan pernyataan yang diperolehnya dari para penghadap. Notaris tidak dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran terhadap 70
Salim,H.S & Erlies Septiama Nurbaini, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Disertasi dan Tesis, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2013, hlm 187-188
59
pembuatan akta perikatan jual beli sebagaimana tersebut di atas, karena apa yang dituangkan dalam suatu akta notaris adalah kehendak dari para pihak, dimana notaris adalah sebagai pejabat umum yang berwenang. Perlindungan hukum terhadap notaris yang diminta sebagai saksi oleh penyidik, jaksa maupun hakim diatur pada Pasal 66 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pemberian persetujuan pemanggilan notaris sebagai saksi terhadap akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapannya oleh Majelis Pengawas Daerah kepada penyidik, jaksa maupun hakim hanya menyangkut materi pembuatan akta. Notaris selaku pejabat umum hanya merumuskan keterangan dan pernyataan yang diperolehnya dari para penghadap. 2. Penelitian
Tesis,
yang
berjudul
“PELAKSANAAN
SANKSI
PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI NOTARIS OLEH DEWAN KEHORMATAN IKATAN NOTARIS INDONESIA DI KABUPATEN TANGERANG” oleh Sulistiyono, Sarjana Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2009, dengan rumusan masalah pelanggaran kode etik apa saja yang dilakukan oleh Notaris di Kabupaten Tangerang dan bagaimanakah pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia sebagai organisasi profesi dapat mengikat terhadap Notaris yang melanggar kode etik di Kabupaten Tangerang. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pelanggaran kode etik yang terjadi antara lain adalah : pembuatan akta yang telah terlebih dahulu dipersiapkan oleh notaris lain sehingga
notaris
yang
bersangkutan
tinggal
menandatangani,
penandatangan akta yang tidak dilakukan dihadapan notaris, membuat akta di luar wilayah jabatannya, ketentuan mengenai pemasangan papan nama di depan atau di lingkungan kantor notaris serta notaris yang membuat papan nama melebihi ukuran yang telah ditentukan, persaingan tarif yang tidak sehat, melakukan publikasi atau promosi diri dengan mencantumkan nama dan jabatannya. Pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Ikatan Notaris lndonesia Kabupaten Tangerang sebagai
60
organisasi protesi terhadap notaris yang melanggar kode etik di Kabapaten Tangerang,
adalah:
teguran,
peringatan
dan
pemberhentian
dari
keanggotaan perkumpulan. Namun sanksi tersebut di atas termasuk sanksi pemecatan yang diberikan terhadap notaris yang melakukan pelanggaran kade etik bukanlah berupa pemecatan dari jabatan notaris melainkan pemecatan dari kaanggotaan Ikatan Notaris Indonesia sehingga walaupun notaris yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik, notaris tersebut masih dapat membuat akta dan menjalankan kewenangan lainnya sebagai notaris, sehingga sanksi tersebut terkesan kurang mempunyai daya mengikat bagi notaris yang melakukan pelanggaran kode etik. 3. Penelitian Tesis, yang berjudul “TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM HAL TERJADI PELANGGARAN KODE ETIK” oleh Evie Murniaty Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2010 dengan rumusan masalah bagaimanakah tanggung jawab notaris dalam hal terjadi pelanggaran kode etik dan bagaimana akibat hukum jika terjadi pelanggaran kode etik oleh notaris. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa : 1). Tanggung jawab notaris dalam hal terjadi pelanggaran kode etik yang merupakan suatu tuntunan, bimbingan atau pedoman moral atau kesusilaan untuk suatu profesi tertentu atau merupakan daftar kewajiban dalam menjalankan suatu profesi yang disusun oleh para anggota profesi itu sendiri dan mengikat mereka dalam mempraktikkannya adalah secara organisasi berlaku ketika notaris melakukan pelanggaran terhadap kode etik profesi sebagai pedoman yang dibuat oleh organisasi profesi; 2) Akibat hukum jika terjadi pelanggaran kode etik oleh Notaris adalah sebagai berikut : a) Apabila didasarkan kepada kepatutan, segi moral dan keagamaan dan menurut kata hati nurani, seharusnya tidak dilakukan oleh notaris yang menyandang dan mengemban jabatan terhormat terlebih sebagai pemegang amanat; b) Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap etika profesi yang telah dibukukan atau peraturan-peraturan yang telah disusun secara tertulis dan
61
mengikat serta wajib ditaati oleh segenap anggota kelompok profesi untuk ditaati dan dapat dikenakan sanksi bagi yang melanggar ketentuan tersebut; c) Notaris yang melakukan pelanggaran kode etik sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan maka penyelesaiannya berdasarkan ketentuannya itu sendiri, sehingga kepastian hukum terhadap profesi notaris lebih terjamin. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pertanggungjawaban notaris secara etik hanya melalui organisasi termasuk akibat hukumnya. Perbedaan dengan penelitian tesis yang penulis angkat, penulis membahas mengenai pertanggungjawaban notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik, yaitu pertanggungjawaban secara perdata, administratif, pidana, kode etik, kemudian mengaitkan dengan kasus yang diteliti dan asas-asas pelaksanaan tugas membuat akta otentik sebagai notaris yang baik dalam melaksanakan jabatannya, yaitu Asas Kepastian Hukum, Asas Persamaan, Asas Kepercayaan, Asas Kecermatan, Asas Pemberian Alasan, Larangan Penyalahgunaan wewenang, Larangan bertindak sewenang-wenang, Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalitas.
C. Kerangka Berpikir
Perbuatan Hukum Pembuatan Akta Otentik
Benar/ Sesuai
Penghadap
Salah / Cacat
Notaris
62
Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan Melawan Hukum
Putusan Pengadilan
Pertanggungjawaban Notaris secara : - Teori Keadilan - Teori Pertanggungjawaban - Teori Kewenangan
-
Perdata Administratif Pidana Kode Etik
pelaksanaan tugas membuat akta otentik sebagai Notaris yang baik dalam melaksanakan jabatannya Keterangan : Notaris dalam melaksanakan tugasnya melakukan perbuatan hukum yaitu pembuatan akta otentik, yang mana dalam pembuatan akta otentik itu sudah benar atau sesuai dengan aturan hukum yang berlaku atau salah dan mengandung cacat hukum. Kesalahan itu dapat terjadi karena kesalahan dari keterangan penghadap atau kesalahan dari notaris itu sendiri. Suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris itu apabila salah dan mengandung cacat hukum atau tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini yang akan penulis bahas mengenai perbuatan melawan hukum notaris. Dapat dikatakan perbuatan yang dilakukan notaris sebagai perbuatan melawan hukum yaitu setelah diperiksa dan dijatuhi putusan oleh pengadilan. Mendasarkan dari putusan pengadilan tersebut, notaris dapat diminta pertanggungjawabannya secara perdata, administratif, pidana, dan kode etik.
63
Hal ini yang menjadi rumusan masalah pertama. Untuk menghindari notaris terjerat sanksi-sanksi, maka perlu memperhatikan bagaimana pelaksanaan tugas membuat akta otentik sebagai notaris yang baik dalam menjalankan jabatannya. Hal ini menjadi rumusan masalah kedua. Guna menjawab rumusan-rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan teori keadilan, teori pertanggungjawaban, dan teori kewenangan, yang mana diharapkan dapat membantu menjawab, memecahkan, dan menyelesaikan permasalahanpermasalahan yang dihadapi dalam penulisan hukum ini.