BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Sistem Produksi Lean
2.1.1 Sejarah Sistem Produksi Lean Istilah ”Lean” yang dikenal luas dalam dunia manufacturing dewasa ini dikenal dalam berbagai nama yang berbeda seperti, Lean Production, Lean Manufacturing, Toyota Production System, dan lain-lain. Secara singkat, periode awal mula munculnya Lean adalah: o Tahun 1902, Sakichi Toyoda membuat sebuah mesin tenun yang dapat berhenti sendiri jika terjadi gangguan. Yang sekarang ini dikenal sebagai Jidoka. o Tahun1913, Henry Ford menerapkan produksi dengan aliran yang tidak terputus (the flow of production) dan lini perakitan untuk produksi massal. Namun,
masalah
yang
dihadapi
adalah
ketidakmampuan
untuk
memproduksi lebih dari satu variasi mobil. o Tahun 1930-an, setelah perang dunia kedua, Kiichiro Toyoda, Taiichi Ohno, Shigeo Shingo dan keluarga Toyoda menemukan sistem produksi yang fleksibel (one pice flow) yang didukung dengan ditemukannya sistem tarik (Pull system) dimana proses dapat memproduksi sejumlah produk sesuai yang dibutuhkan.
10
o Tahun 1950-an, Shigeo Shingo mengembangkan sistem yang dikenal sebagai SMED (Single Minute Exchange of Dies). o Kemudian sistem persediaan Just-In-Time dikembangkan dengan sistem produksi Lean.
2.1.2 Sistem Produksi Lean
Sistem produksi Lean atau lebih dikenal sebagai Lean adalah suatu upaya terus-menerus untuk menghilangkan pemborosan (waste) dan meningkatkan nilai tambah (value added) produk (barang/jasa) agar memberikan nilai kepada pelanggan (customer value). Selain itu terdapat pula definisi lain dari Lean yaitu suatu pendekatan sistemik dan sistematik untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau kegiatan-kegiatan yang tidak bernilai tambah (non-value added activities) melalui peningkatan terus-menerus secara radikal dengan cara mengalirkan produk (material, work-in process, output) dan informasi menggunakan sistem tarik (pull system) dari pelanggan internal dan eksternal untuk mengejar keunggulan dan kesempurnaan. (Gaspersz, 2007, hal 2) Lean memiliki beberapa tujuan, yaitu: 1. Mengeliminasi pemborosan yang terjadi dalam bentuk waktu, usaha dan material pada saat melakukan proses produksi. 2. Memproduksi sesuai pesanan dari konsumen. 3. Mengurangi biaya seiring dengan meningkatnya kualitas produk yang dihasilkan. Pemborosan (Muda – istilah Jepang) merupakan aktivitas yang tidak memberi nilai tambah dan dikenal dalam kalangan praktisi Lean Manufacturing sebagai ”Delapan Pemborosan”. Hal ini bertanggung jawab pada 95% dari seluruh biaya produksi. Delapan pemborosan tersebut antara lain:
11
Jenis
Pembororsan (waste) 1 Transportasi Membawa barang dalam proses (WIP) dalam jarak yang jauh, menciptakan angkutan yang tidak efisien, atau memindahkan material atau komponen, atau barang jadi ke dalam atau keluar gedung atau antar proses sehingga mengakibatkan waktu penanganan material bertambah. 2 Inventory Kelebihan material, barang dalam proses atau barang jadi menyebabkan lead time yang panjang, barang kadaluarsa, barang rusak, peningkatan biaya pengangkutan dan penyimpanan, dan keterlambatan. Persediaan berlebih juga menyembunyikan masalah seperti ketidakseimbangan produksi, keterlambatan pengiriman dari pemasok, produk cacat, mesin rusak dan waktu set up yang panjang.
Akar Penyebab (Root Causes) - Lay out yang buruk - Ketiadaan koordinasi dalam proses - House keeping yang buruk - Pengaturan area kerja yang buruk
- Lokasi penyimpanan material yang banyak dan saling berjauhan. - Peralatan yang tidak handal - Aliran kerja yang tidak seimbang - Pemasok yang tidak kapabel - Peramalan kebutuhan yang tidak akurat - Ukuran batch yang besar - Waktu pergantian yang panjang.
12
3 Pergerakan Setiap gerakan karyawan yang mubazir saat melakukan pekerjaan, seperti, mencari, meraih atau menumpuk komponen. Berjalan juga termasuk pemborosan.
- Pengaturan area kerja yang buruk - Lay out yang buruk - Metode kerja yang tidak konsisten - Desain mesin yang buruk
4 Menunggu Para pekerja hanya mengamati mesin otomatis yang sedang berjalan atau berdiri menunggu proses berikutnya, alat, pasokan, komponen selanjutnya, atau menganggur saja karena kehabisan material, keterlambatan proses, break down, dan bottleneck.
5 Over Process Melakukan langkah yang tidak diperlukan untuk memproses komponen. Melakukan pemrosesan yang tidak efisien karena alat yang buruk dan rancangan produk yang buruk, menyebabkan gerakan yang tidak perlu, dan memproduksi barang cacat. Pemborosan terjadi karena ketika membuat produk yang memliki kualitas yang lebih tinggi daripada yang diperlukan.
- Metode kerja yang tidak konsisten - Waktu pergantian yang panjang
- Pemeliharan alat yang jelek - Gagal mengkobinasi operasi-operasi kerja - Proses kerja dibuat serial padahal proses-proses itu tidak tergantung satu sama lain yang seharusnya dapat dibuat paralel - Ketidaktepatan penggunaan alat
13
6 Over Production - Ketiadaan komunikasi Memproduksi barang-barang yang belum tentu dipesan, akan menimbulkan pemborosan seperti kelebihan tenaga kerja dan kelebihan tempat penyimpanan dan biaya transportasi yang meningkat karena adanya persediaan yang berlebih.
- Sistem balas dan penghargaan yang tidak tepat - Hanya berfokus pada kesibukan bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan internal atau eksternal
7 Defective Products: - Incapable processes Memproduksi komponen cacat atau yang memerlukan perbaikan. Perbaikan atau pengerjaan ulang, scrap, memproduksi barang pengganti, dan inspeksi berarti tambahan penanganan, biaya, waktu dan upaya yang sia-sia. Defective Design:
- Insufficient planning - Ketiadaan SOP
- Lack customer input in design Tidak memenuhi kebutuhan pelanggan, penambahan feature - Over design yang tidak perlu 8 Kreatifitas karyawan yang tidak dimanfaatkan: Kehilangan waktu, gagasan, keterampilan, peningkatan dan kesempatan belajar karena tidak melibatkan atau tidak mendengarkan karyawan anda. Sumber data tabel: Gaspersz, 2007
14
Gambar 2.1 Areas of Waste Sumber gambar: Kaufmann Consulting Group
2.1.3 Prinsip-Prinsip Dalam Penerapan Produksi Lean
Suatu perusahaan yang telah melihat bahwa produksi Lean akan memberikan suatu perubahan yang baik pada usahanya, akan terdorong untuk mencoba melakukan penerapan sistem ini di perusahaannya. Sebelum melakukan penerapan tersebut, penting untuk diketahui beberapa prinsip yang mendasari pandangan untuk penerapan sistem Lean, yaitu: 1.
Mengidentifikasi nilai produk berdasarkan pada pandangan dari pelanggan, dimana pelanggan menginginkan produk (barang atau jasa) dengan kualitas yang superior, harga kompetitif dan pengiriman yang tepat waktu. Perusahaan harus berpikir melalui sudut pandang pelanggan dalam melakukan desain produk, proses produksinya serta pemasarannya.
2.
Membuat dan melakukan identifikasi terhadap aliran proses produk sehingga kegiatan yang dilakukan dapat diamati dengan detil. Umumnya
15
banyak perusahaan tidak melakukan pembuatan aliran proses produk melainkan membuat aliran proses bisnis atau aliran proses kerja sehingga tidak dapat dijadikan pertimbangan apakah memberikan nilai tambah kepada produk yang dibuat. 3.
Menghilangkan pemborosan yang tidak bernilai tambah dari semua aktivitas yang terdapat dalam proses value stream tersebut dengan menganalisa value stream yang telah dibuat.
4.
Mengorganisasikan agar material, informasi dan produk mengalir dengan lancar dan efisien sepanjang proses value stream dengan menggunakan sistem tarik.
5.
Secara terus-menerus dan berkesinambungan melakukan peningkatan dan perbaikan dengan cara mencari teknik-teknik dan alat peningkatan agar mencapai keunggulan dan peningkatan terus-menerus.
2.2
Six Sigma
2.2.1 Sejarah dan Perkembangan Six Sigma
Sejarah Six Sigma berangkat dari kejadian yang menimpa perusahaan Motorola pada sekitar tahun 1980-an sampai dengan tahun 1990-an. Motorola merupakan salah satu korporat AS dan Eropa dimana produk yang mereka luncurkan dikalahkan oleh para pesaing Jepang. Manajemen Motorola mengakui bahwa kualitas produk yang dihasilkan sangat mengerikan. Motorola tidak memiliki program kualitas. Tetapi pada tahun 1987, keluar sebuah pendekatan baru dari sektor komunikasi Motorola yang dipimpin oleh George Fisher. Konsep perbaikan inovatif itu dinamakan Six Sigma. Six Sigma memberikan Motorola sebuah cara yang sederhana dan konsisten untuk melacak dan membandingkan kinerja dengan persyaratan pelanggan (ukuran Six Sigma) dan sebuah target ambisius dari kualitas yang sempurna secara praktik (tujuan Six Sigma). Six Sigma juga merupakan metode untuk mengukur kualitas produk dan jasa, dan dalam sepuluh tahun terakhir Six Sigma semakin terkenal karena
16
keberhasilan-keberhasilan yang dicapai setelah konsep kualitas ini diterapkan, contohnya terdapat pula di perusahaan Allied Signal dan General Electric.
2.2.2 Pengertian Six Sigma
Six Sigma adalah suatu sistem yang komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, memberi dukungan dan memaksimalkan usaha yang berfokus pada pemahaman dalam kebutuhan pelanggan dengan menggunakan fakta, data, dan analisis statistik serta terus menerus memperhatikan pengaturan, perbaikan dan mengkaji ulang proses usaha. Menurut Gaspersz, Six Sigma adalah: 1. Upaya mengejar keunggulan dalam kepuasan pelanggan melalui peningkatan kualitas terus-menerus. 2. Sasaran kualitas dramatik yang memiliki kapabilitas produk dan proses 3,4 DPMO atau 99,99966 % bebas cacat. 3. Ukuran yang mengindikasikan bagaimana suatu proses produksi industri. 4. Strategi
terobosan
yang
memungkinkan
perusahaan
melakukan
peningkatan luar biasa di tingkat bawah (bottom line) melalui proyekproyek Six Sigma. 5. Suatu pendekatan menuju tingkat kegagalan nol (zero defect oriented). 6. Pengendalian proses berfokus pada kapabilitas industri.
Di dalam penerapan Six Sigma ada beberapa inti dan filosofi penting yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Selalu berpikir dalam kerangka proses bisnis utama serta kebutuhan pelanggan dengan tetap berfokus pada tujuan strategis perusahaan. 2. Memusatkan perhatian kepada para pendukung perusahaan yang bertanggung jawab menyukseskan proyek-proyek penting, mendukung kerja kelompok, membantu mengatasi keengganan untuk berubah dan menggalang sumber daya.
17
3. Menekankan sistem pengukuran yang bisa dikuantifikasi, seperti cacat per satu juta kemungkinan (defect per million oportunities – DPMO) yang bisa diterapkan di setiap bagian perusahaan produksi, rekayasa, administrasi, peranti lunak dan lain-lain. 4. Memastikan bahwa sistem pengukuran yang tepat dapat teridentifikasi di awal setiap proses serta memastikan bahwa sistem tersebut berfokus pada pencapaian bisnis, sehingga dapat memberikan sistem insentif dan akuntabilitas. 5. Menyediakan pelatihan menyeluruh yang diikuti dengan penugasan tim proyek untuk meningkatkan profitabilitas, mengurangi kreatifitas yang tidak bernilai tambah, serta mencapai pengurangan waktu siklus. 6. Menciptakan ahli-ahli peningkatan proses berkualifikasi tinggi yang dapat menekankan aneka alat untuk meningkatkan kinerja serta alat untuk meningkatkan kinerja serta dapat memimpin tim. 7. Mencanangkan tujuan jangka panjang untuk perbaikan.
2.2.3 Konsep Six Sigma Secara Statistik
Sigma adalah sebuah unit pengukuran statistik yang mencerminkan kapabilitas proses. Sigma adalah sebuah cara untuk menentukan atau bahkan memprediksi kesalahan atau cacat dalam proses, baik dalam proses manufaktur atau pengiriman sebuah pelayanan. Jika perusahaan sudah mencapai level 6 Sigma berarti dalam prosesnya ada peluang untuk cacat atau melakukan kesalahan sebanyak 3,4 kali dari 1.000.000 kemungkinan. Secara teknis, jika sekumpulan data yang sangat besar atau dapat dikatakan sebagai populasi maka rata-ratanya dikenal dengan µ (miu) dan standar deviasinya dikenal sebagai σ (Sigma) Sebuah distribusi berbentuk kurva lonceng dari parameter atau karakteristik kualitas menunjukkan luas area di bawah kurva normal yang berada diantara atau di luar nilai batas dari rata-rata terhadap ±1σ, ±2σ, ±3σ, ±4σ, ±5σ dan ±6σ. Berikut ini
18
akan digambarkan kurva normal dengan batas-batas Sigma dari satu sampai dengan 6σ.
Gambar 2.2 Hubungan Kurva Normal dan Batas Sigma
Area yang berada di luar kurva dinamakan dengan persentasi yang menggambarkan kecacatan yang sering dikaitkan dengan PPM (parts per million) atau PPB (parts per billion). Nilai dari PPM dan PPB ini juga berkaitan dengan kapabilitas proses yang sering kali digunakan untuk menggambarkan kondisi dari proses apakah sudah mampu memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan. Berikut ini digambarkan hubungan spesifikasi, PPM dan kapabilitas proses.
Tabel 2.1 Hubungan Kuantitatif antara Sigma, PPM dan Cpk
19
2.2.4 Definisi Kualitas
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kualitas dapat berarti: 1. Tingkat baik buruknya sesuatu, kadar. 2. Derajat atau taraf. Banyak pakar atau organisasi yang mencoba mendefinisikan kualitas berdasarkan sudut pandang masing-masing. Menurut Goestch dan Davis (1994,p.4) definisi kualitas adalah kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Mutu adalah sesuatu yang diputuskan oleh pelanggan, bukan oleh insinyur atau oleh pemasaran dan manajemen umum. Mutu didasarkan pada pengalaman aktual pelanggan terhadap produk atau jasa, diukur berdasarkan persyaratan pelanggan dan selalu mewakili sasaran yang bergerak dalam pasar yang penuh persaingan. (Feigenbaum, 1992) Menurut Feigenbaum (1992,p7), mutu produk dan jasa didefinisikan sebagai keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembuatan dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa digunakan untuk memenuhi harapan-harapan pelanggan. Kualitas adalah total composite product dan pelayanan dari marketing, engineering, manufacturing, dan maintenance. Yang mana produk dan pelayanan yang digunakan akan mempertemukan harapan konsumen (Feigenbaum). Perluasan kualitas ditentukan dengan seberapa bagus karakteritik kualitas yang sebenarnya (kebutuhan konsumen, diekspresikan dalam bahasa konsumen) dihubungkan dengan karakteristik kualitas pengganti (spesifikasi produk, diekspresikan produsen dengan bahasa teknik) (Ishikawa) dan Lean Six Sigma.
2.3
Lean Six Sigma
Lean Six Sigma adalah metodologi yang memaksimalkan nilai dari perusahaan dengan mencapai tingkat tercepat dari pengembangan dalam kepuasan pelanggan, biaya, kualitas dan modal.
20
Lean dan Six Sigma perlu digabungkan karena:
Lean tidak dapat membuat sebuah proses berada pada pengendalian statistikal.
Six Sigma sendiri tidak dapat memperbaiki kecepatan proses secara dramatis atau mengurangi modal yang diinvestasikan.
Prinsip dari Lean Six Sigma adalah untuk membuat perbaikan yang radikal dalam biaya, kualitas dan kefleksibilitasan, sebuah perusahaan harus mengeliminasi aktifitas yang menyebabkan isu-isu critical-to-quality dari pelanggan dan waktu menunggu yang lama berdasarkan time traps dengan menggunakan metode Lean dan Six Sigma. Untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi time traps terbesar, perlu menerapkan ketiga hukum dari Lean Six Sigma (Three Laws of Lean Six Sigma), yaitu:
First Law: The Law of Flexibility. Process velocity is directly proportional to flexibility. Second Law: The Law of Focus. 80% of the delay in any process is caused by 20% of activities. Third Law: The Law of Velocity. The average velocity of flow through any process is inversely proportional to both the number of “things” in process and the average variation in supply and demand.
21
2.4
Metode DMAIC dalam Six Sigma
Dalam mengerjakan suatu proyek yang berkaitan dengan Six Sigma atau berkaitan dengan perbaikan kualitas dikenal kerangka berpikir yang dinamakan DMAIC (Define-Measure-Analyze-Improve-Control).
Sangat
penting
untuk
mengikuti kerangka berpikir ini sehingga permasalahan yang akan diselesaikan benar-benar akan memberikan perbaikan yang menyeluruh kepada proses dan keuntungan perusahaan. Oleh karena itu penting untuk mendalami setiap bagian dari metode DMAIC ini. Berkut ini akan dijelaskan hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada setiap tahap, yaitu: 1. Define adalah fase pertama dalam siklus DMAIC yang menentukan masalah/peluang, proses dan persyaratan pelanggan, karena siklus DMAIC literatif, maka masalah proses, aliran dan persyaratan harus diverifikasi dan diperbarui di sepanjang fase-fase yang lain guna mandapatkan kejelasan (Pande, 2002, hal.430). 2. Measure adalah fase kedua dalam siklus DMAIC, dimana ukuranukuran kunci diidentifikasi dan data dikumpulkan, disusun, dan disajikan (Pande,2002, hal.435). 3. Analyze adalah fase ketiga dalam siklus DMAIC, dimana detail proses diperiksa dengan cermat untuk peluang-peluang perbaikan (Pande, 2002, hal.427). 4. Improve adalah fase keempat dalam siklus DMAIC, dimana solusi-solusi dan ide-ide secara kreatif dibuat dan diputuskan. Sekali sebuah masalah telah diidentifikasi, diukur dan dianalisis, maka dapat ditentukan solusisolusi potensial untuk memecahkan masalah dalam pernyataan masalah dan mendukung pernyataan tujuan (Pande, 2002, hal.432). 5. Control adalah tahap terakhir dalam metode DMAIC, dimana setelah solusi-solusi diestimasi, maka ukuran-ukuran tidak berhenti untuk mengikuti dan memverifikasi stabilitas perbaikan dan prediktabilitas dari proses.
22
2.4.1 Define 2.4.1.1 Project Statement
Project Statement adalah suatu pernyataan proyek yang meliputi beberapa komponen berikut:
Business Case, berisi pernyataan yang menyatakan latar belakang umum dari permasalahan yang terjadi
Problem Statement, berisi pernyataan tentang masalah yang akan dibahas.
Project Scope, menyatakan obyek dan ruang lingkup penelitian.
Goal Statement, menyatakan tujuan dari penelitian yang dilakukan.
Milestone, menyatakan jangka waktu penelitian dilakukan.
2.4.1.2 Diagram SIPOC (Supplier-Input-Process-Output-Customer)
Diagram SIPOC adalah (Evan&Lindsay, 2007, hal.93-94) peta tingkat tinggi yang digunakan untuk menentukan batasan proyek dengan cara mengidentifikasi proses yang sedang dipelajari, input dan output proses tersebut serta pemasok dan pelanggannya. Dengan informasi yang cukup mengenai fungsi-fungsi yang terkait dalam perusahaan itu, kita dapat memahami dan mengetahui jalannya proses yang ada di dalam perusahaan dari awal sampai akhir sehingga dapat melakukan perbaikan terhadap masalah yang ada di dalam proses secara tepat. Pembuatan diagram ini biasanya dilakukan pada awal dari penelitian, bila menggunakan metode DMAIC maka pembuatan diagram SIPOC berada pada tahap define karena akan digunakan sebagai dasar pedoman bagi perbaikan yang akan dilakukan. Dalam gambar berikut ini akan ditampilkan bentuk tampilan dari diagram SIPOC.
23
Gambar 2.3 Bentuk Diagram SIPOC 2.4.1.3 Peta Aliran Proses
Peta aliran proses adalah suatu diagram yang menunjukkan urutan-urutan dari operasi, pemeriksaan, transportasi, menunggu dan penyimpanan yang terjadi selama satu proses atau prosedur yang berlangsung serta di dalamnya memuat pula informasi-informasi yang diperlukan untuk analisa seperti waktu yang dibutuhkan dan jarak perpindahan (Sutalaksana, 1979, hal.28). Adapun kegunaan dari peta aliran proses adalah sebagai berikut: a. Digunakan untuk mengetahui aliran bahan mulai awal masuk dalam suatu proses atau prosedur sampai aktivitas terakhir. b. Memberikan informasi mengenai waktu penyelesaian suatu proses. c. Digunakan untuk mengetahui jumlah kegiatan yang dialami bahan selama proses berlangsung. d. Alat untuk melakukan perbaikan-perbaikan proses atau metode kerja. e. Mempermudah proses analisa untuk mengetahui tempat-tempat dimana terjadi ketidakefisienan pekerjaan.
Berikut terdapat beberapa prinsip yang bisa digunakan untuk membuat suatu peta aliran proses yang lengkap, yaitu: a. Tulis judul pada bagian kiri atas yaitu “PETA ALIRAN PROSES”,
24
yang kemudian diikuti dengan pencacatan beberapa identifikasi yaitu: nomor/nama komponen yang dipetakan, nomor gambar, peta orang atau peta bahan, cara sekarang atau yang diusulkan, tanggal pembuatan, dan nama pembuat peta. Semuanya dicatat di kanan atas kertas. b. Catat pada bagian kiri atas kertas mengenai ringkasan yang memuat jumlah total dan waktu total dari setiap kegiatan yang terjadi dan juga mengenai total jarak perpindahan yang dialami bahan selama proses. c. Uraikan proses yang terjadi lengkap beserta lambang-lambang dan informasi-informasi mengenai jarak perpindahan, jumlah yang dilayani, waktu yang dibutuhkan dan kecepatan produksi. Jika mungkin, tambahkan juga dengan kolom analisa, catatan dan tindakan yang diambil berdasarkan analisa tersebut. d. Ada suatu cara yang cukup sederhana tetapi cukup efektif untuk menganalisa peta aliran proses yaitu dengan menggunakan metode “Dot and Check Technique”, yaitu: Tabel 2.2 Dot and Check Technique NO
PERTANYAAN
BERIKUTNYA
1
Apa tujuannya?
Mengapa?
2
Dimana dikerjakan?
Mengapa?
3
Kapan dikerjakan?
Mengapa?
4
Siapa yang mengerjakan?
Mengapa?
5
Bagaimana mengerjakannya?
Mengapa?
Sumber data tabel: Sutalaksana, 1979, Hal 30
25
TINDAKAN YANG MUNGKIN DILAKUKAN Menghilangkan aktivitas yang tidak perlu Menggabungkan atau merubah tempat kerja Menggabungkan atau merubah waktu atau urutan proses Menggabungkan atau merubah orang Menyederhanakan atau memperbaiki metode
2.4.1.4 Value Stream Mapping
Value stream mapping adalah sebuah metode visual untuk memetakan jalur produksi dari sebuah produk yang di dalamnya termasuk material dan informasi dari masing-masing stasiun kerja. Value stream mapping ini dapat dijadikan
titik
awal bagi perusahaan untuk mengenali pemborosan dan
mengidentifikasi penyebabnya. Menggunakan value stream berarti memulai dengan gambaran besar dalam menyelesaikan permasalahan bukan hanya pada proses-proses tunggal dan melakukan peningkatan secara menyeluruh dan bukan hanya pada proses-proses tertentu saja. Dalam sistem Lean, fokus dimulai dengan value stream mapping, yang mana di dalamnya digambarkan seluruh langkah-langkah proses yang berkaitan dengan perubahan permintaan pelanggan menjadi produk atau jasa yang dapat memenuhi permintaan dan mengidentifikasi berapa banyak nilai yang terdapat dalam setiap langkah ditambahkan ke produk. Segala aktivitas yang menciptakan fitur-fitur atau fungsi-fungsi yang memberikan nilai kepada pelanggan dinamakan dengan value-added, sedangkan sebaliknya dinamakan dengan non-value-added. Value stream mapping menyediakan pandangan yang jelas mengenai proses yang terjadi dengan memvisualisasikan berbagai macam tingkatan proses, memberikan perhatian pada pemborosan yang terjadi dan penyebabnya serta membantu dalam menghasilkan keputusan sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Pengetahuan yang diperoleh melalui penggambaran keadaan awal dari proses akan sangat membantu dalam membentuk value stream di masa mendatang untuk diimplementasikan
dan
mengidentifikasi
kesempatan-kesempatan
untuk
melakukan perbaikan. Pembuatan value stream mapping dimulai dengan membuat sketsa dari proses yang dilakukan perusahaan agar dapat membantu para karyawan untuk mengerti tentang memproduksi
aliran material
barang
atau
jasa.
dan
informasi yang
Diagram
yang
dibutuhkan untuk
dihasilkan
biasanya
memvisualisasikan aliran produk dari pelanggan sampai kepada supplier dan
26
menggambarkan juga keadaan sekarang dan yang ingin dicapai. Dalam membuat value stream mapping dilakukan klasifikasi terhadap kegiatan dengan cara menanyakan serangkaian pertanyaan terhadap aktivitas yang akan diklasifikasikan. Berikut ini pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengklasifikasikan: (George, 2002, hal.52-53)
A. Pertanyaan yang berkaitan dengan penambahan nilai kepada konsumen (Customer Value-Added): 1. Apakah aktivitas yang dilakukan menambah bentuk atau fitur dari produk atau jasa yang dihasilkan? 2. Apakah aktivitas yang dilakukan memberikan keuntungan dalam persaingan (seperti harga yang lebih murah, pengantaran yang lebih cepat dan cacat yang lebih sedikit)? 3. Akankah pelanggan mau membayar lebih atau cenderung lebih memilih perusahaan kita apabila mereka mengetahui bahwa kita melakukan aktivitas ini?
B. Pertanyaan yang berkaitan dengan penambahan nilai dari segi bisnis (Bussiness Added-Value): Sebagai tambahan terhadap penambahan nilai pada konsumen, terkadang bisnis mengharuskan kita untuk melakukan aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah dari sudut pandang konsumen. Adapun pertanyaan yang berkaitan dengan nilai tambah ini adalah: 1. Apakah aktivitas ini merupakan syarat dari hukum atau aturan yang berlaku? 2. Apakah aktivitas ini mengurangi resiko finansial dari pemilik bisnis? 3. Apakah aktivitas ini mendukung kebutuhan pelaporan finansial? 4. Apakah proses akan rusak apabila proses ini tidak dilakukan?
27
Bila di dalam proses produksi terdapat aktivitas-aktivitas seperti ini maka sebaiknya harus dilakukan penghilangan terhadap kegiatan ini atau bila tidak memungkinkan maka harus ada pengurangan biaya apabila hal ini tetap dilakukan.
C. Pertanyaan yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak bernilai tambah (Non-Value-Added): 1. Apakah kegiatan yang dilakukan termasuk dalam aktivitas seperti: menghitung, penanganan, inspeksi, transportasi, penundaan, penyimpanan, ekspedisi, pengerjaan ulang dan tanda tangan yang melibatkan banyak pihak? 2. Dengan memiliki pandangan yang global dari supply chain, berapa banyak pabrik yang diperlukan untuk mengirimkan volume produk yang diproduksi? Akankah lead time berkurang atau terjadinya pengurangan biaya pada fasilitas yang telah tersedia? 3. Dengan lead time yang lebih cepat maka berapa banyak distributor yang dapat dikurangai sehingga dapat meningkatkan keuntungan bagi pabrik?
Setelah melakukan klasifikasi terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan, selanjutnya perlu dibuat value stream mapping berdasarkan hasil klasifikasi. Berikut ini langkah-langkah yang perlu diterapkan dalam membentuk value stream mapping adalah: (George, 2005, hal.46-49) 1. Menentukan produk tunggal, atau keluarga produk yang akan dipetakan. Apabila terdapat beberapa pilihan dalam menentukan keluarga produk/jasa, pilihlah sebuah produk yang memenuhi kriteria berikut ini: Produk atau jasa mempunyai aliran proses yang hampir sama, sehingga produk atau jasa yang dipilih dapat mewakilkan
28
keluarga produk tersebut. Produk atau jasa mempunyai volume produksi yang tinggi dan biaya yang paling mahal dibandingkan dengan produk atau jasa yang lain. Produk atau jasa tersebut mempunyai segmentasi kriteria yang penting bagi perusahaan. Produk atau jasa tersebut mempunyai segmentasi kriteria yang penting bagi perusahaan. Produk atau jasa tersebut mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap konsumen. 2. Gambarkan aliran proses. Pelajari kembali simbol-simbol untuk memetakkan suatu proses. Mulailah pada akhir dari proses dengan apa yang dikirimkan kepada pelanggan dan tarik ke belakang. Identifikasi aktifitas-aktifitas yang utama. Letakkan aktifitas-aktifitas tersebut dalam suatu urutan. 3. Tambahkan aliran material pada peta yang dibuat. Tunjukkan pergerakan dari semua material. Gabungkan material bersama dengan aliran yang sama. Petakan semua proses pendukung dalam produksi, termasuk pula kegiatan-kegiatan
inspeksi
dan
berbagai
macam
aktifitas
pengetesan material proses. Tambahkan pemasok-pemasok di awal proses. Pelajari kembali simbol-simbol untuk memetakan suatu proses. 4. Tambahkan aliran infomasi. Petakan aliran informasi diantara aktifitas-aktifitas. Dokumentasikan bagaimana komunikasi proses dengan konsumen dan pemasok. Dokumentasikan bagaimana informasi dikumpulkan (elektronik,
29
manual, dll). 5. Kumpulkan data-data proses dan hubungkan data-data tersebut dengan tabel-tabel yang terdapat dalam value stream mapping. Ikuti proses secara manual untuk mendapatkan hasil yang sesuai. Bila memungkinkan cobalah untuk mencari data-data berikut ini: o Apa yang memberikan stimulasi kepada proses? o Waktu set up dan waktu proses per unit. o Take rate (rata-rata permintaan pelanggan). o Persentase cacat yang terjadi. o Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. o Persentase downtime (berkaitan dengan berbagai jenis waktu yang
mengakibatkan
proses
tidak
dapat
mencapai
produktivitas maksimun) o Jumlah WIP. o Batch size. 6. Masukkan data-data yang berhasil dikumpulkan ke dalam value stream mapping. 7. Dan kemudian lakukanlah verifikasi dengan meminta orang lain yang bukan termasuk dalam tim pembuat tetapi memahami proses yang terjadi untuk melakukan perbandingan antara value stream mapping yang dibuat dengan keadaan sebenarnya.
2.4.1.5 Voice of Customer
Voice
of
Customer
(VOC)
adalah
data
yang
mencerminkan
pandangan/kebutuhan para pelanggan sebuah perusahaan yang diterjemahkan ke dalam persyaratan yang dapat diukur untuk proses. Data ini dapat berupa komplain, survei, komentar dan riset pasar.
30
2.4.2 Measure 2.4.2.1 Perhitungan Data Waktu
Pengukuran waktu ditujukan untuk mendapatkan waktu baku penyelesaian pekerjaan. Hal pertama yang dilakukan adalah pengukuran pendahuluan. Tujuan melakukan pengukuran pendahuluan adalah untuk mengetahui berapa kali pengukuran harus dilakukan untuk tingkat-tingkat ketelitian dan keyakinan yang diinginkan.
Tingkat
ketelitian
dan
keyakinan
ini
ditetapkan
pada
saat
menjalankan langkah penetapan tujuan pengukuran. Adapun tujuan dari pengukuran waktu adalah mencari waktu yang sebenarnya dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan setelah memperhatikan faktor kelonggaran dan penyesuaian atau waktu baku. (Sutalaksana, 1979, hal.132).
2.4.2.1.1
Tingkat Ketelitian dan Tingkat Keyakinan
Tingkat ketelitian menunjukkan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya yang dinyatakan dalam persen. Sedangkan tingkat keyakinan menunjukkan besarnya keyakinan pengukur bahwa hasil yang diperoleh memenuhi syarat ketelitian tadi. (Sutalaksana, 1979, hal.135).
2.4.2.1.2
Uji Kenormalan Pengujian kenormalan yang dilakukan terhadap data waktu adalah
dengan menggunakan pengujian Kolmogorov-Smirnov. Uji kenormalan dengan metode Kolmogorov-Smirnov adalah suatu uji kebaikan suai yang digunakan untuk menentukan apakah data yang mengikuti suatu peluang distribusi tertentu. Biasanya diujikan untuk menentukan suatu populasi berdistribusi normal atau seragam. Pengujian kemormalan dengan uji Kolmogorov Smirnov juga dapat
31
dilakukan dengan menggunakan software MINITAB 14. Berikut ini adalah langkah-langah pengujiannya: 1.
Masukkan data ke dalam worksheet
2.
Klik Stat Î Basic Statistics Î Normality Test
3.
Masukkan kolom yang berisi data pengamatan pada variable kemudian pilih Kolmogorov-Smirnov. Klik OK
4.
Tentukan bahwa data beridistribusi normal jika P value > α (0.05) dan sebaliknya jika Pvalue ≥ α (0.05) maka data tidak berdistribusi normal.
2.4.2.1.3
Uji Keseragaman dan Kecukupan Data
Pengujian ini dilakukan karena keadaan sistem yang selalu berubah mengakibatkan waktu penyelesaian yang dihasilkan sistem selalu berubahubah, namun harus dalam batas kewajaran (Sutalaksana, 1979, hal.136). Berikut ini langkah-langkah untuk pengujian keseragaman data:
Hitung rata-rata subgrup dengan:
dimana: x adalah harga rata-rata dari sub grup ke-1 k adalah harga banyaknya subgrup yang terbentuk Hitung standar deviasi sebenarnya dari waktu penyelesaian dengan: √
(
32
X )
dimana: N adalah jumlah pengamatan pendahuluan yang telah dilakukan x
adalah
waktu
penyelesaian
yang
teramati
selama
pengukuran
p endahuluan yang telah dilakukan. Hitung standar deviasi dari distribusi harga rata-rata subgrup dengan: X
√
dimana: n adalah besarnya sub grup Tentukan batas kontrol atas dan bawah (BKA dan BKB) dengan : X
X
X
X
dimana: Zα / 2 = Titik Z yang diperoleh dengan mencari nilai area kurva sebesar α/2 pada tabel distribusi normal Batas-batas kontrol ini merupakan batas kontrol apakah grup ”seragam” atau tidak. Jika semua rata-rata sub grup sudah berada dalam batas kontrol, maka dapat dihitung banyaknya pengukuran yang diperlukan dengan menggunakan rumus pengujian kecukupan data. Berikut langkah-langkah pengujian kecukupan data (Sutalaksana, 1979, hal 134): [
(
√
33
)
]
dimana: s adalah persentase tingkat ketelitian. N’ adalah jumlah pengukuran yang diperlukan. N adalah jumlah pengukuran yang telah dilakukan.
Jika hasil perhitungan jumlah pengukuran waktu yang diperlukan (N’) lebih kecil atau sama dengan jumlah pengukuran yang telah dilakukan
(N’≤N),
maka jumlah pengukuran telah cukup mewakili
populasi yang ada. Sedangkan jika jumlah pengukuran masih belum mencukupi, maka harus dilakukan pengukuran kembali sampai jumlah pengukuran yang diperlukan sudah melebihi oleh jumlah yang telah dilakukan.
2.4.2.1.4
Perhitungan Waktu Normal Perhitungan waktu normal dilakukan dengan mengalikan antara
waktu siklus rata-rata yang diperoleh dari data pengamatan dengan penyesuian yang diberikan. Dalam penelitian ini penyesuaian yang diberikan menggunakan cara penyesuaian Westing house dimana penilaian pada 4 faktor yang dianggap menentukan kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja yaitu keterampilan, usaha, kondisi kerja dan konsistensi. Setelah memperoleh nilai penyesuaian total maka dapat dilakukan penghitungan waktu normal dengan
menggunakan rumus: (Sutalaksana,
1979, hal.137) Wn = Ws x p dimana: p
= faktor penyesuaian
Ws = waktu siklus rata-rata
Perhitungan waktu normal ini dilakukan hanya untuk waktu siklus 34
rata-rata yang dilakukan oleh operator. 2.4.2.1.5
Perhitungan Waktu Baku
Perhitungan
waktu
baku
dilakukan
dengan
menambahkan
kelonggaran pada waktu normal. Waktu baku juga terbagi menjadi dua bagian yaitu waktu baku operator dan waktu baku mesin. Untuk waktu normal mesin tidak diberikan kelonggaran sehingga waktu normal dapat langsung dijadikan waktu baku mesin. Waktu baku penyelesaian pekerjaan adalah waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh seorang pekerja normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam sistem kerja terbaik (Sutalaksana, 1979, hal.117). Kelonggaran adalah tambahan waktu yang diperlukan operator untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam kelonggaran untuk kebutuhan pribadi, kelonggaran untuk menghilangkan rasa fatique, dan kelonggaran untuk hal-hal yang tak terhindarkan dimana penambahannya diberikan pada waktu normal. Kelonggaran untuk menghilangkan rasa fatique memiliki beberapa kriteria sesuai dengan yang terdapat dalam buku Teknik Tata Cara Kerja. Nilai-nilai kelonggaran untuk kebutuhan pribadi pria adalah sebesar 2% dan untuk wanita sebesar 3%. Sedangkan kelonggaran untuk hambatan tak terhindarkan memiliki perbedaan untuk satu elemen pekerjaan dengan elemen pekerjaan lainnya tergantung pada kondisi yang ada. Perhitungan nilai kelonggaran total diperoleh dengan menjumlahkan seluruh nilai kelonggaran yang telah ditentukan. Berikut ini langkah-langkah perhitungan waktu baku, yaitu : Kelonggaran Total (K) = Ka+Kb+Kc Waktu Baku Operator (Wbo) = % operator x Wno x (1+K) Waktu Baku Mesin (Wbm) = Waktu Normal Mesin Waktu Baku Total (Wb) = Wbo + Wbm
35
Keterangan:
Ka = kelonggaran untuk kebutuhan pribadi (untuk Pria =2%, Wanita=3%) Kb = kelonggaran untuk menghilangkan rasa fatique Kc = kelonggaran untuk hambatan tak terhindarkan
2.4.2.2 Perhitungan Metrik Lean
Langkah yang perlu dilakukan untuk melakukan penerapan sistem Lean adalah pengukuran beberapa metrik Lean. Pengukuran metrik ini akan memberikan gambaran awal mengenai kondisi perusahaan sebelum diterapkan Lean dan bila Lean telah diterapkan maka akan terlihat perubahan pada nilai yang lebih baik pada metrik- metrik ini. Perhitungan metric Lean terdiri dari perhitungan manufacturing lead time, process cycle efficiency, process lead time, dan process velocity (George, 2005, hal.201-202): 1. Efisiensi Siklus Proses (Process Cycle Eficiency). Cara melihat kondisi pabrik secara umum adalah dengan menilai efisiensi siklus proses, karena dengan menggunakan metrik ini dapat dilihat bagaimana persentasi antara waktu proses terhadap waktu keseluruhan produksi yang dilakukan oleh pabrik. Suatu perusahaan dapat dikatakan Lean apabila mempunyai waktu proses yang bernilai tambah mencapai lebih dari 30% dari total lead time proses. Persamaan untuk efisiensi siklus proses:
Value added time adalah waktu melakukan proses yang memberikan nilai tambah kepada produk sedangkan total lead time adalah waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses dari awal sampai akhir yaitu ketika barang dipesan sampai dengan barang dikirim kepada pelanggan. Tabel di bawah ini menunjukkan nilai dari Typical Cycle Efficiency dan World Class Efficiency.
36
Tabel 2.4 Typical and World-Class Cycle Efficiencies Application Machining Fabrication Assembly Continuous Manufacturing Business Processes-Transactional Business Processes-Creative/Cognitive
Typical Cycle
World-Class
Efficiency
Cycle Efficiency
1% 10% 15% 30% 10% 5%
20% 25% 35% 80% 50% 25%
Sumber data tabel: George, 2002, Hal 37
2. Lead Time dan Kecepatan Proses (Process Speed) Lead time adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memberikan produk atau jasa kepada pelanggan sejak permintaan diterima. Memahami apa yang menyebabkan
lead
time
menjadi
panjang yang berarti terdapat proses yang berjalan dengan lambat, akan sangat memudahkan pada saat menganalisa keadaan perusahaan dan memikirkan solusi yang tepat untuk diterapkan. Persamaan untuk perhitungan lead time ini dikenal dengan nama Little’s Law, yaitu: (
)
Selain lead time terdapat pula kecepatan proses (process velocity) yang dapat menggambarkan berapa banyak barang atau produk yang melalui sebuah stasiun kerja. Persamaannya adalah sebagai berikut:
37
2.4.2.3 Critical To Quality (CTQ)
Critical To Quality adalah kebutuhan yang sangat penting dari produk yang diperlukan oleh pelanggan (George, 2002, hal.18). Perusahaan yang bersangkutan harus dengan jelas mendefinisikan bagaimana karakteristik CTQ ini dapat diukur dan dilaporkan. CTQ yang merupakan karakteristik kualitas yang ditetapkan seharusnya berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik pelanggan (Pande, 2002, hal 31), yang diturunkan secara langsung dari persyaratan-persyaratan output dan pelayanan. Pada akhirnya, perusahaan tersebut harus menghubungkan pengukuran CTQ pada kunci proses dan pengendalian sehingga perusahaan dapat menentukan bagaimana meningkatkan proses.
2.4.2.4 Peta Kendali
Peta kendali pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Walter Andrew Shewart, oleh karena itu peta kendali ini juga sering disebut dengan peta kendali Shewart. Maksud dari peta kendali ini adalah untuk menghilangkan variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus dan umum. Pada dasarnya setiap peta kendali memiliki: a. Garis tengah (Central Line), yang dinotasikan sebagai CL. b. Sepasang batas kontrol (Control Limits). Satu batas kontrol ditempatkan di atas CL yang dikenal dengan batas kontrol atas (Upper Control Limit), yang dinotasikan sebagai UCL. Sedangkan yang satu lagi batas kontrolnya ditempatkan di bawah CL yang dikenal dengan batas kontrol bawah (Lower Control Limit), yang dinotasikan sebagai LCL. c. Tebaran
nilai-nilai
karakteristik
kualitas
yang
menggambarkan
keadaan dari proses. Jika nilai yang diplot di peta kontrol masih berada dalam batas kontrol, maka proses yang berlangsung dianggap terkontrol. Sedangkan jika nilai diplot berada di luar batas kontrol, maka proses dianggap di luar kontrol sehingga perlu diambil tindakan perbaikan.
38
Batas kontrol adalah suatu batas atas dan batas bawah dari suatu proses
yang
selalu
berfluktuasi,
dimana
dengan
mudah
dapat
diidentifikasi apakah suatu proses dapat dikatakan terkendali atau tidak. Berikut adalah contoh dari peta kontrol:
UCL CL LCL Gambar 2.4 Contoh Peta Kontrol
Peta
kendali
dapat
digunakan
untuk
tiga
tujuan
yaitu
(Evan&Lindsay, 2007, hal.244): a Untuk membantu mengidentifikasi sebab khusus variasi dan menciptakan status pengendalian statistic. b Untuk mengawasi proses dan menandakan kapan proses tersebut keluar dari batasan pengedalian. c. Untuk menentukan kapabilitas proses.
Dalam membuat peta kendali pertama-tama yang harus dilakukan adalah menentukan jenis data yang akan diolah dalam peta kendali. Jenis data yang akan diolah terdiri dari data variabel (variables data) dan data atribut (attributes data). Data variabel merupakan data kuantitatif yang diukur untuk keperluan analisis dan data atribut merupakan data kualitatif yang dapat dihitung untuk pencatatan dan analisis. Data atribut biasanya diperoleh dalam bentuk unit-unit ketidaksesuaian dengan spesifikasi atribut yang ditetapkan. Peta kontrol p digunakan untuk mengukur proporsi ketidaksesuaian dari item- item dalam kelompok yang sedang diinspeksi. Dengan demikian, peta kontrol p digunakan untuk mengendalikan proporsi dari item-item yang tidak memenuhi syarat spesifikasi kualitas atau proporsi dari produk
39
yang cacat yang dihasilkan dalam suatu proses. Proporsi yang tidak memenuhi syarat didefinisikan sebagai rasio banyaknya item yang tidak memenuhi syarat dalam suatu kelompok terhadap total banyaknya item dalam kelompok itu. Item-item itu dapat mempunyai beberapa karakteristik kualitas yang diperiksa atau diuji secara simultan oleh pemeriksa. Jika item-item itu tidak memenuhi standar pada satu atau lebih karakteristik kualitas yang diperiksa, item-item itu digolongkan sebagai tidak memenuhi syarat spesifikasi atau cacat. Pembuatan
peta
kontrol
p,
dapat
dilakukan
mengikuti
langkah-langkah berikut: 1. Tentukan ukuran contoh yang cukup besar (n>30) 2. Hitung nilai proporsi cacat dan simpangan baku 3. Hitung batas-batas kontrol 3-Sigma
̅
CL
= ̅ ̅+√
̅(
̅)
̅+√
̅(
̅)
4. Plot atau tebarkan data proporsi (atau persentase) yang cacat dan lakukan pengamatan apakah data itu berada dalam pengendalian statistikal. 5. Apabila data pengamatan menunjukkan bahwa proses berada pada pengendalian statistikal, gunakan peta kontrol p untuk memantau proses terus-menerus. Tetapi apabila data pengamatan menunjukkan bahwa proses tidak berada pada pengendalian statistikal, proses itu harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum menggunakan peta kontrol itu untuk pengendalian kualitas terus-menerus. 6. Apabila data pengamatan menunjukkan bahwa proses berada pada
40
pengendalian statistikal, tentukan kapabilitas proses menghasilkan produk yang sesuai (tidak cacat) sebesar: (1 – p-bar). Penggunaan Software MINITAB 14: 1.
Masukkan data yang akan diproses.
2.
Klik Stat > Control Chart > Attributes Chart > p.
3.
Masukkan data jumlah cacat ke dalam variabel dan data jumlah inspeksi ke dalam sub grup sizes. Klik OK.
4.
Tampilan data peta kontrol p.
2.4.2.5 Perhitungan Tingkat Sigma.
Dalam pendekatan Six Sigma, proses yang terjadi dalam suatu pabrik atau perusahaan diukur kinerjanya dengan menghitung tingkat Sigma-nya. Semakin nilai Sigma mendekati enam Sigma maka kinerja dari proses dapat dikatakan sangat baik. Dasar perhitungan tingkat Sigma adalah menggunakan DPMO untuk data atribut. Perhitungan DPMO dan Tingkat Sigma untuk data atribut dapat dilakukan sesuai langkah-langkah perhitungan berikut ini (Pande, 2002, hal.237246): 1.
Defect Per Unit (DPU). Ukuran ini merefleksikan jumlah rata-rata dari cacat,semua jenis, terhadap jumlah total unit dari unit yang dijadikan sampel.
dimana: D = jumlah defective atau jumlah kecacatan yang terjadi dalam proses produksi. U = jumlah unit yang diperiksa. 2.
Defect Per Opportunity (DPO). Menunjukkan proporsi cacat atas jumlah total peluang dalam sebuah kelompok.
41
dimana: OP (Opportunity) = karaketristik yang berpotensi untuk menjadi cacat.
3.
Defect Per Million Opportunities (DPMO). DPMO mengindikasikan berapa banyak cacat akan muncul jika ada satu juta peluang. DPMO = DPO x 1.000.000
4.
Mengkonversikan nilai DPMO menggunakan tabel konversi untuk mengetahui proses berada pada tingkat Sigma berapa.
5.
Perhitungan tingkat Sigma dapat dengan mudah dihitung dengan menggunakan Microsoft Excell yaitu dengan menggunakan formula berikut ini: (Evan and Lindsay, 2007, hal 46)
NORMSINV (1-DPMO/1.000.000)
2.4.3 Analyze
2.4.3.1 Time Traps Time traps adalah perangkap waktu yang terjadi dalam proses produksi yang disebabkan oleh adanya waktu menunggu yang cukup lama sehingga memperpanjang waktu siklus dalam proses produksi. Perhitungan time traps dilakukan untuk mengetahui proses mana yang menyebabkan waktu menunggu yang cukup lama sehingga dapat dianalisa penyebab-penyebabnya dan dapat diberikan usulan untuk perbaikan. Berikut digunakan dalam perhitungan timetraps.
42
adalah
rumus-rumus
yang
2.4.3.2 Diagram Pareto
Diagram Pareto ditemukan oleh ahli ekonomi asal Italia bernama Vilfredo Pareto. Hukum dari diagram pareto adalah 80/20 atau 80% dari problem (cacat produk) diakibatkan oleh 20% penyebab. Diagram Pareto adalah histogram data yang mengurutkan dari frekuensi yang terbesar hingga yang terkecil (Evan and Lindsay, 2007, hal.87-89). Diagram ini membantu manajemen secara cepat mengidentifikasikan area paling kritis yang membutuhkan perhatian khusus dan cepat. Pada dasarnya Diagram Pareto dapat digunakan untuk: a. Membantu menemukan permasalahan yang paling penting untuk segera diselesaikan (ranking tertinggi) sampai dengan masalah yang tidak harus segera diselesaikan (ranking terendah). b. Mengidentifikasi
masalah
yang
paling
penting
yang
paling
mempengaruhi usaha perbaikan kualitas dan memberikan petunjuk dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk menyelesaikan masalah. c. Membandingkan kondisi proses, misalnya ketidaksesuaian proses sebelum dan setelah diambil tindakan perbaikan terhadap proses. Penyusunan Diagram Pareto sangat sederhana, menurut Mitra (1993) dan Besterfield (1998), proses penyusunan Diagram Pareto meliputi 6 langkah, yaitu: 1.
Menentukan metode atau arti dari pengklasifikasian data, misalnya
43
berdasarkan masalah, penyebab, jenis ketidaksesuain, dsb. 2.
Menentukan
satuan
yang
digunakan
untuk
membuat
urutan
karakteristik-karakteristik tersebut, misalnya rupiah, frekuensi, unit, dsb. 3.
Mengumpulkan data sesuai dengan interval waktu yang telah ditentukan.
4.
Merangkum data dan membuat ranking kategori data tersebut dari yang teringgi hingga yang terkecil.
5.
Menghitung frekuensi kumulatif atau persentase kumulatif yang digunakan.
6.
Menggambarkan
diagram
batang
yang
menunjukkan
tingkat
kepentingan relatif masing-masing masalah. Mengidentifikasi beberapa hal penting untuk mendapat perhatian. Membuat Pareto dengan menggunakan software MINITAB 14: 1. Masukkan data yang akan diproses. 2. Klik Stat > Quality Tools > Pareto Chart. 3. Masukkan data CTQ ke dalam Labels in dan jumlah unit cacat ke dalam Frequencies in. Klik OK. 4. Tampilkan data diagram Pareto.
2.4.3.3 Diagram Sebab Akibat
Diagram sebab akibat adalah alat yang dikembangkan oleh Kaoru Ishikawa pada tahun 1943, disebut juga Diagram Ishikawa. Pada intinya diagram ini berfungsi untuk mendaftarkan serta mengidentifikasi penyebab-penyebab yang berbeda yang dapat memberi kontribusi pada masalah. Pada diagram ini ada yang disebut tulang utama yaitu yang mewakili akibat atau suatu masalah sedangkan tulang-tulang yang lain disebut sebab-sebab, lalu ada sub-sub tulang yang mewakili sebab-sebab yang lebih rinci lagi dan seterusnya. Diagram sebabakibat dapat digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan sebagai berikut:
Membantu mengidentifikasi akar penyebab dari suatu masalah.
Membantu membangkitkan ide untuk solusi dari suatu masalah.
44
Membantu dalam pencarian fakta lebih lanjut.
Dalam analisa masalah cacat, kategori umum yang biasa digunakan terdiri dari faktor mesin, material, metode, manusia, pengukuran dan lingkungan.
2.4.3.4 Diagram Five Why
Diagram five why ini berasal dari kebudayaan yang telah lama ditanamkan di perusahaan besar seperti Toyota. Seorang petinggi Toyota bernama Taiichi Ohno mengemukakan bahwa pemecahan masalah sebenarnya membutuhkan identifikasi akar penyebab bukan sumber, karena yang biasanya tersembunyi dibalik sumber adalah akar penyebab masalah. Diagram five why berusaha untuk mengungkapkan akar dari permasalahan untuk dapat perbaiki dengan tepat dengan bertanya sebanyak lima kali mengapa ketika suatu ketidak sesuaian terjadi pada proses (Liker, 2006, hal.303). Langkah-langkah dalam melakukan analisa 5 Whys (George et al, 2005, hal.145), yaitu: 1. Menentukan suatu penyebab masalah, bisa dari diagram sebab akibat atau grafik batang yang tertinggi pada Diagram Pareto dan pastikan pengertian penyebab masalah tersebut diketahui. (Why 1) 2. Bertanya “Mengapa hal tersebut terjadi”? (Why 2) 3. Menentukan salah satu dari alasan untuk Why 2 dan bertanya “Mengapa hal itu terjadi”? (Why 3) Melanjutkan langkah ini hingga dirasakan sudah diperoleh akar permasalahan yang potensial.
2.4.3.5 Failure Mode and Effect Analysis FMEA
atau
analisis
mode
kegagalan
dan
efek
adalah
suatu
prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan. Suatu metode kegagalan adalah apa saja yang termasuk dalam kecacatan/kegagalan dalam desain, kondisi di luar batas spesifikasi yang
45
ditetapkan, atau perubahan-perubahan dalam produk yang menyebabkan terganggunya fungsi dari produk itu. Dengan menghilangkan mode kegagalan, maka FMEA akan meningkatkan keandalan dari produk sehingga meningkatkan kepuasan pelanggan yang menggunakan produk tersebut. Langkah-langkah dalam membuat FMEA: 1.
Mengidentifikasi proses atau produk/ jasa.
2.
Mendaftarkan masalah-masalah potensial yang dapat muncul, efek dari masalah-masalah potensial tersebut dan penyebabnya. Hindarilah masalah-masalah sepele.
3.
Menilai masalah untuk keparahan (severity), probabilitas kejadian (occurance) dan detektabilitas (detection).
4.
Menghitung Risk Priority Number atau RPN yang rumusnya adalah dengan mengalikan ketiga variabel dalam poin 3 di atas dan menentukan rencana solusi-solusi prioritas yang harus dilakukan.
Gambar 2.5 Contoh Tabel FMEA
Berikut ini akan dijelaskan langkah-langkah dalam pengisian tabel FMEA, yaitu: 1. Fungsi proses Merupakan gambaran dari proses produksi yang akan dianalisa beserta dengan penjelasan secara singkat fungsi dari proses tersebut. Jika prosesnya ada beberapa operasi dengan potensi kegagalan yang berbeda, daftarkan operasi sebagai proses terpisah.
46
2. Jenis kegagalan yang terjadi Potensi kegagalan proses yang diidentifikasi adalah proses yang terjadi
gagal
dalam
memenuhi
persyaratan
proses.
Gunakan
pengalaman proses yang sama untuk me-review klaim pelanggan sehubungan dengan komponen yang sama. Asumsikan bahwa part atau material yang masuk sudah baik. 3. Efek dari kegagalan yang terjadi Akibat yang ditimbulkan dari kegagalan yang terjadi terhadap konsumen maupun efek terhadap kelangsungan proses selanjutnya. 4. Severity Nilai tingkat keparahan dari akibat yang ditimbulkan terhadap konsumen maupun terhadap kelangsungan proses selanjutnya yang secara tidak langsung juga merugikan. Terdiri dari rating dari 1–10. Tabel 2.5 memperlihatkan kriteria dari setiap nilai rating severity. Makin parah efek yang ditimbulkan, makin tinggi nilai rating yang diberikan. 5. Penyebab kegagalan Penyebab kegagalan didefinisikan sebagai penjelasan mengapa kegagalan-kegagalan pada proses tersebut bisa terjadi. Setiap kemungkinan penyebab kegagalan yang terjadi didaftarkan dengan lengkap. 6. Occurrence Seberapa sering kemungkinan penyebab kegagalan terjadi. Nilai occurrence ini diberikan untuk setiap penyebab kegagalan. Terdiri dari rating dari 1 – 10. Tabel 2.6 memperlihatkan kriteria dari setiap nilai rating occurrence. Makin sering penyebab kegagalan terjadi, makin tinggi nilai rating yang diberikan. 7.
Kontrol yang dilakukan Kontrol yang dilakukan untuk mendeteksi penyebab kegagalan yang terjadi.
8.
Detection (detectability) Seberapa jauh penyebab kegagalan dapat dideteksi. Terdiri dari
47
rating dari 1 – 10. Tabel 2.7 memperlihatkan kriteria dari setiap nilai rating detectability. Makin sulit mendeteksi penyebab kegagalan yang terjadi, makin tinggi nilai rating yang diberikan. 9.
Risk Priority Number (RPN) RPN merupakan perkalian dari rating occurrence (O), severity (S) dan detectability (D): RPN = O x S x D Angka ini digunakan sebagai panduan untuk mengetahui masalah yang paling serius, dengan indikasi angka yang paling tinggi memerlukan prioritas penanganan serius.
Tabel 2.5 Nilai Severity Rating 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
Criteria: A Failure Could... Injure a customer or employe Be illegal Render the unit unfit for use Cause extreme customer dissatisfaction Result in partial malfunction Cause a loss performance likely to result in a complaint Cause minor performance loss Cause a minor nuisance, can be overcome with no loss Be unnoticed, minor effect on performance Be unnoticed and not affect the performance
Sumber data tabel: Gitlow dan Levine, 2005, Hal 158
Tabel 2.6 Nilai Occurence Rating 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
Time Period More than once per day Once every 3-4 days Once per week Once per month Once every 3 months Once every 6 months Once per year Once every 1-3 years Once every 3-6 years Once every 6-100 years
Sumber data tabel: Gitlow dan Levine, 2005, Hal 158
48
Probability of Occurance > 30% ≤ 30% ≤ 5% ≤ 1% ≤ 0.3 per 1000 ≤ 1 per 10000 ≤ 6 per 100000 ≤ 6 per million ≤ 3 per ten million ≤ 2 per billion
Tabel 2.7 Nilai Detection Rating 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
Definition Defect cause by failure is not detectable Occasional units are checked for defects Units are systematically sampled and inspected All units are manully inspected Manual inspection with mistake proofing modification Process is monitored with control charts and manually inspected Control charts used with an immediate reaction to out of control condition Control charts used as a above with 100% inspection surronding out of control condition All units automatically inspected or control charts used to improve the process Defect is obvious and can be kept from the customer or control charts are used for process improvement to yield a no inspection system with routine monitoring
Sumber data tabel: Gitlow dan Levine, 2005, Hal 159
2.4.4 Improve 2.4.4.1 Layout Improvement
Tata letak dari sebuah pabrik merupakan tempat yang sangat penting karena semua proses kerja dibentuk dan bekerja berdasarkan tata letak pabrik tersebut, sehingga untuk mendapatkan tata letak pabrik yang baik maka perlu adanya penyesuaian layout dari tata letak fasilitas agar tujuan produktivitas yang optimal dari tiap proses. Pengaturan tata letak pabrik ini meliputi penyimpanan material, perpindahan material, penempatan personel kerja agar dapat menunjang kelancaran proses produksi. Pengaturan tata letak fasilitas tersebut akan sangat mendukung semua tujuan awal bila jarak antar work station lebih dekat sehingga tidak ada jarak perpindahan. Pengaturan tata letak yang terencana dengan baik akan didapat berbagai keuntungan dan tujuan yang terangkum dalam enam tujuan dasar yaitu:
Integrasi secara menyeluruh yang dapat mempengaruhi proses produksi
Perpindahan jarak yang minimal
Aliran kerja pabrik yang lancer 49
Memanfaatkan semua area pabrik secara efektif dan efisien.
Kepuasan terhadap kerja dan rasa aman pekerja terjaga
Pengaturan tata letak yang fleksibel
2.4.4.2 5S 5S adalah program yang merangkum serangkaian aktivitas untuk menghilangkan pemborosan yang menyebabkan kesalahan, cacat dan kecelakaan di tempat kerja. Kelima S tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Seiri (Sort) – pilahlah barang-barang dan simpan hanya yang diperlukan dan singkirkan yang tidak diperlukan.
2.
Seiton (Set in Order) – Setiap barang memiliki tempat dan setiap barang ada di tempatnya.
3.
Seiso (Shine) – Proses pembersihan sering kali berbentuk pemeriksaan yang mengungkapkan abnormalitas dan kondisi sebelum terjadinya kesalahan yang dapat berdampak buruk terhadap kualitas atau menyebabkan kerusakan pada mesin.
4. Seiketsu
(Standardize)
–
Kembangkan
sistem
dan
prosedur
untuk mempertahankan dan memonitor ketiga S yang pertama. 5. Shitsuke (Sustain) – Menjaga tempat kerja agar tetap stabil merupakan
proses
yang
terus-menerus
dari
peningkatan
berkesinambungan.
2.4.4.3 Mistake Proofing
Pembuktian kesalahan memberikan perhatian khusus pada satu perlakuan konstan untuk semua proses, yaitu kesalahan manusia. Inti dari mistake proofing adalah pengamatan yang cermat terhadap setiap aktifitas dalam proses dan memeriksa serta mencegah masalah di setiap langkah. Kegunaan mistake proofing membuat barang cacat tidak mungkin masuk ke langkah selanjutnya dari proses produksi.
50
2.4.4.4 Jidoka Jidoka merupakan salah satu prinsip dalam Toyota Production System yang berarti menghentikan proses untuk membangun kualitas. Hal ini berarti ketika terjadi kerusakan maka produksi harus segera dihentikan sehingga masalah dapat diperbaiki sebelum barang cacat itu diteruskan ke proses selanjutnya. Jidoka atau sering disebut dengan autonomation adalah peralatan yang dilengkapi dengan inteligensia manusia untuk menghentikan dirinya sendiri ketika terjadi suatu masalah. Kualitas dalam proses jauh lebih efektif dan lebih murah daripada memeriksa dan memperbaiki masalah kualitas setelah terjadi.
2.4.4.5 Hoshin Planning
Hoshin planning adalah suatu metodologi untuk manajemen membuat perencanaan ke depan. Dengan hoshin planning, setiap anggota bertanggung jawab di setiap bagiannya dan mempunyai target masing yang berkaitan dengan target perusahaan yang dibuat pimpinan. Hoshin planning merupakan suatu proses untuk mengembangkan target-target tersebut, mengkomunikasikan dan mengukur status pencapaiannya
2.4.5 Control 2.4.5.1 Standard Operating Procedures
Definisi SOP adalah sebuah panduan yang dikemukan secara jelas tentang apa yang disyaratkan dan harus dilakukan dari semua karyawan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. SOP bukan standar tapi prosedur kerja yang dilakukan secara benar dan konsisten. SOP harus tertulis, menjelaskan secara singkat langkah demi langkah dan dalam tampilan yang mudah dibaca. Gunakan kata kerja dalam kalimat aktif. Contoh, ‘Kirim spesifikasi ke vendor’ bukan ‘Spesifikasi dikirim ke vendor’. Kalimat singkat, jelas dan tidak banyak frase. Gunakan pernyataan positif, seperti ‘Lengkapi lembar kerja buku dan kembalikan ke pengadaan’ tidak dengan 51
pernyataan negatif, seperti ‘Jangan dikembalikan sebelum lembar kerja dilengkapi’.
Maanfaat 1.
Dapat menjelaskan secara detail semua kegiatan dari proses yang dijalankan.
2.
Dapat menstandarkan semua aktifitas yang dilakukan pihak yang bersangkutan.
3.
Dapat mengurangi waktu pelatihan karena sudah ada kerangka kerja yang diperlukan.
4.
Dapat meningkatkan konsistensi pekerjaan karena sudah ada arah yang jelas.
5.
Dapat meningkatkan komunikasi antar pihak-pihak yang terkait, terutama pekerja dengan pihak manajemen.
Jenis
1. Sederhana Prosedur dengan langkah-langkah yang singkat, berulangulang dan hanya memerlukan sedikit keputusan. Prosedur yang hanya melibatkan sedikit kegiatan oleh sedikit orang. 2.
Hirarki Prosedur dengan langkah-langkah yang rinci, panjang, konsisten. Langkah-langkah dalam hirarki mungkin berisi sub-sub langkah untuk lebih memperjelas prosedur.
3.
Grafis Prosedur dengan langkah-langkah yang sangat panjang dan lebih rinci. Tipe grafis akan membagi proses yang panjang menjadi sub-proses yang lebih pendek. Pictures truly are worth a thousand words.
4.
Flowcharts Prosedur yang berisi banyak keputusan-keputusan atau pertimbangan-pertimbangan. Flowcharts adalah representasi grafis yang menghubungkan langkah-langkah secara fisik dan logis.
52
2.5
Penelitian Terdahulu
Selain referensi buku-buku, pedoman penulisan penelitian ini juga bersumber dari referensi internet yang membahas topik Lean Six Sigma dan beberapa karya ilmiah yang membahas mengenai Lean Six Sigma.
53