BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori yang relevan dengan penelitian 1.
Managerial Overconfidence Organisasi menurut Robert N. Anthony & Vijay Govindarajan (2009:5) yang
diterjemahkan oleh FX. Kurniawan Tjakrawala adalah sebagai berikut : Bahwa organisasi terdiri dari sekelompok orang yang bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama (dalam suatu organisasi bisnis tujuan utamanya adalah memperoleh tingkatan laba yang memuaskan). Organisasi dipimpin oleh satu hierarki manajer, dengan chief executive officer (CEO) pada posisi puncak dan para manajer unit bisnis, departemen, bagian (section), dan subunit lainnya berada di bawah CEO dalam bagan organisasi. Manajer mempunyai kewajiban untuk memaksimumkan kesehjateraan para pemegang saham, namun disisi lain manajer juga mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan kesehjateraan mereka. Penyatuan kepentingan pihak-pihak ini seringkali menimbulkan masalah yang disebut dengan masalah keagenan (Faizal, 2004). Masalah keagenan antara manajer dan pemegang saham muncul sebagai akibat dari pemisahan fungsi pengelolaan dan kepemilikan. Ketika presentase saham yang dimiliki oleh manajemen lebih rendah dari saham yang dimiliki oleh pemegang, maka besar kemungkinan akan terjadi masalah keagenan. Presentase kepemilikan saham yang lebih rendah yang dimiliki oleh manajer dapat mendorong manajer untuk melakukan tindakan oportunistik yang akan menguntungkan dirinya sendiri. Hal tersebut membuat manajer mengabaikan tugas utamanya, yaitu menciptakan nilai bagi pemegang saham.
10
Akuntansi melalui laporan keuangan sebagai produknya merupakan jembatan antara manajemen dengan pihak lain, internal maupun eksternal. Seperti telah penulis jelaskan pada bagian I, bahwa laporan keuangan yang dibuat oleh perusahaan menggambarkan kinerja manajemen dalam mengelola sumber daya perusahaannya. Informasi yang disampaikan melalui laporan keuangan ini diguunakan oleh pihak internal maupun pihal eksternal. Laporan keuangan tersebut harus memenuhi tujuan, aturan serta prinsip-prinsip akuntansi yang sesuai denagn standar yang berlaku umum agar dapat menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat bagi setiap penggunanya. Literatur keuangan terdahulu menjelaskan bahwa overconfidence manager adalah manajer yang secara sistematik memperkirakan pengembalian yang berlebihan atas proyek-proyek perusahaan, atau manajer yang secara sistematik memperkirakan pendapatan keuntungan perusahaan yang terlalu berlebihan serta memprediksi arus kas yang terlalu optimistik, atau terlalu meremehkan (underestimates) kemungkinan rugi perusahaan (Heaton [2002], Malmendier dan Tate [2005]. Ahmed dan Duellman (2012) menyatakan bahwa penting untuk meneliti pengaruh overconfidence
terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat perusahaan,
termasuk didalam nya kebijakan akuntansi, karena overconfidence menyebabkan keputusan yang dapat merusak nilai perusahaan. Overconfidence managers biasanya akan memberikan perkiraan yang terlalu berlebihan atas pendapatan (ROI – Return on Investment) perusahaan dimasa yang akan datang. Ahmed dan Duellman (2012) memperkirakan hal ini menyebabkan overconfidence managers akan menunda
11
pengakuan rugi dan menggunakan sedikit sekali metode akuntansi konservatisme dalam melaporkan posisi keuangan perusahaan. Burg et al. (2012) menyatakan bahwa manajemen memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan keuangan perusahaan (termasuk kebijakan dan standar akuntansi yang akan digunakan), sebagai contoh manajer memiliki keleluasaan dalam menentukan pengakuan pendapatan dan penentuan biaya. Manajemen biasanya memiliki beberapa karakteristik, salah satu karakteristik manajemen yang paling menarik untuk dibahas adalah manajemen yang overconfidence. Overconfidence adalah perilaku bias manajemen yang mengacu kepada perkiraan yang terlalu berlebihan terhadap kemampuan individual manajemen. Bias ini muncul karena fenomena psikologis yang diterima secara umum dimana setiap individu manajer relatif melebih-lebihkan kemampuan mereka
sendiri
dibandingkan dengan
kemampuan manajer secara rata-rata (pengakuan kemampuan diatas rata-rata). Para ekskutif korporasi pada umumnya cenderung merasa Overconfidence dan Overestimate terhadap kemampuan mereka sendiri, karena mereka merasa memiliki komitmen yang kuat terhadap perusahaan mereka. Kinerja para ekskutif ini sulit untuk dievaluasi dan mereka cenderung percaya bahwa kinerja perusahaan berada dalam kendali mereka (Larwood dan Whittaker, [1977] dalam Burg et al. [2012])). Burg et al. (2012) dalam penelitiannya selain memperkirakan bahwa perubahan susunan manajemen akan diikuti oleh perubahan standar akuntansi, manajer overconfidence yang menggantikan manajer rasional akan melakukan big bath Accounting (kecurangan) dengan menangguhkan pendapatan dan melakukan penghapusan piutang besar-besaran untuk kemudian menimpakan penyebab kerugian perusahaan kepada
12
CEO sebelumnya, sehingga terlihat seolah-olah para manajer yang overconfidence ini lebih baik dalam menata keuangan perusahaan daripada manajer sebelumnya yang lebih rasional. Dechow et al. (1996) serta Hribar dan Jenkins (2004) dalam Burg et al. (2012) menyatakan bahwa perusahaan akan menanggung biaya pasar yang besar apabila manipulasi laba yang mungkin dilakukan oleh manajemen yang overconfidence terungkap. Penulis sependapat dengan hal ini, seperti yang telah penulis ungkapkan pada Bab I mengenai tututan pemegang saham Blackberry terhadap perusahaan tersebut, tuntutan yang disebabkan oleh overconfidence yang dilakukan pihak manajemen Blackberry pada tahun sebelumnya, tentu akan menyebabkan perusahaan mengeluarkan biaya lebih untuk urusan di pengadilan. a.
Pengukuran Managerial Overconfidence Malmendier dan Tate [2005, 2008] dalam Ahmed dan Duellman [2012]
melakukan pengukuran terhadap Managerial Overconfidence dengan 2 cara yaitu : 1. Kepemilikan saham oleh CEO dan keputusan untuk mengevaluasi atau menjual saham. 2 pengukuran yang menjadi fokus pertama terhadap kebiasaan CEO adalah dalam hal mengambil kebijakan terhadap saham, keputusan untuk menahan atau menjual saham kepasaran, sedangkan 2 pengukuran lainnya fokus terhadap keputusan CEO untuk berinvestasi. Ukuran yang pertama, CEO diidentifikasi overconfidence dengan meneliti timing CEO tersebut saat melakukan evaluasi terhadap saham. CEO biasanya dibawah tekanan dan terkena dampak tersendiri atas resiko saham perusahaan. Karenanya untuk mengurangi dampak ini, biasanya CEO akan meminimalkan kepemilikan mereka atas saham dan diikuti dengan segera melakukan evaluasi terhadap kepemilikan saham.
13
Namun, CEO yang overconfidence percaya bahwa perusahaan mereka akan memperoleh keuntungan dan yakin bahwa harga saham perusahaan akan meningkat, sehingga mereka menunda untuk melakukan evaluasi terhadap saham. Ahmed dan Duellman [2012] mengidentifikasi manajer yang overconfidence dari data pada Execucomp dengan mengikuti metode Campbell et al. [2011] dan Hirshleifer, Low dan Teoh [2012]. Dengan deskripsi persamaan sebagai berikut : (1) mencatat nilai rata-rata persaham (C) dengan membagi nilai-nilai saham yang bisa dievaluasi tetapi tidak dievaluasi dengan jumlah saham yang bisa dievaluasi tetapi tidak dievaluasi. (2) mengurangi (C) dari nilai pasar (S) pada saat akhir tahun fiskal untuk mendapatkan harga rata-rata per-saham yang bisa di evaluasi (X). (3) membagi nilai rata-rata saham (C) dengan nilai rata-rata harga saham yang dapat dievaluasi (X) untuk menghitung rasio saham yang bernilai uang. (4) menggunakan metode Holder67 dikategorikan sebagai overconfidence ketika rasio saham yang bernilai uang (C/X) lebih dari 0,67 paling tidak dua kali selama periode sampel. Konsisten dengan Malmendier dan Tate [2005] dan Campbell et al. [2011], seorang CEO dikategorikan overconfidence jika pada tahun fiskal pertama dia menunjukkan perilaku overonfidence dan selanjutnya pada sisa tahun sampel diklasifikasikan sebagai overconfidence. Pengukuran kedua yang dilakukan adalah berdasarkan Malmendier dan Tate [2005],
yang
menggunakan
metode
pembelian
bersih
CEO
untuk
mengindentifikasi eksekutif yang overconfidence. Karena top eksekutif pada umumnya memiliki keterbatasan dalam hal penjualan saham, dan sering memiliki keterbatasan dalam mencegah resiko atas kepemilikan saham dengan menjual
14
saham dalam waktu singkat, seorang eksekutif harus merasa percaya diri mengenai keuntungan masa depan perusahaan mereka dan merencanakan pembelian saham tambahan. Karena itu, konsisten dengan penelitian Campbell et al. [2011], overconfidence CEO diukur dengan menggunakan variabel yang terbagi menjadi 2, dimana pembelian dianggap setara dengan satu jika pembelian bersih CEO berada pada kuintil teratas dari distribusi Purchase (Pembelian) saham oleh semua CEO dan pembelian tersebut meningkatkan kepemilikan mereka terhadap perusahaan sebesar 10% selama tahun fiskal, selain itu, dinyatakan nol. 2. Keputusan untuk berinvestasi Malmendier dan Tate [2005, 2008] dan Ben-David, Graham, dan Harvey [2010] mendemonstrasikan bahwa keputusan perusahaan dalam ber-investasi berhubungan dengan managerial overconfidence. Para peneliti ini beranggaparan bawah keputusan manajemen untuk berinvestasi menyimpan informasi mengenai level overconfidence manajemen tersebut. Berdasarkan hal ini, terdapat dua pengukuran overconfidence yang didasarkan pada keputusan CEO untuk berinvestasi. (1) sebuah proxi berdasarkan teori yang dikemukakan oleh BenDavid, Graham dan Harvey [2010] bahwa perusahaan dengan CEO yang overconfidence mempunyai anggaran untuk belanja modal (Capital ExpenditureCAPEX) yang lebih besar, dari pada CEO yang tidak overconfidence. Dinilai 1 (Overconfidence) apabila CAPEX dikurangi nilai sisa asset pada tahun berjalan lebih besar jika dibandingkan dengan CAPEX dikurangi nilai sisa aset pada pertengahan tahun sebelumnya. Hal ini sesuai dengan penemuan Malmendier dan
15
Tate [2005] yang menyatakan bahwa overconfidence manajer cenderung berinvestasi secara berlebihan dalam proyek-proyek besar. (2) proxy kedua yang dipakai untuk mengukur overconfidence berdasarkan keputusan berinvestasi adalah berdasarkan teori Schrand dan Zechman [2011] yang menyatakan bahwa kelebihan nilai investasi dalam aset dari sisa regresi total pertumbuhan aset dengan pertumbuhan penjualan yang dijalankan industri dalam setahun. Dinyatakan sebagai Over-Invest (Investasi yang berlebihan) jika regresi dari nilai sisa (residu) atas kelebihan investasi lebih besar dari nol, selain itu dinyatakan tidak Over-Invest. Secara intuisi dapat ditarik kesimpulan, bahwa apabila pertumbuhan nilai asset lebih cepat dari dari pertumbuhan penjualan maka dapat dikatakan bahwa manajer perusahaan tersebut telah melakukan investasi yang berlebihan dibandingkan manajer-manajer lain, sehingga dapat dikatakan sebagai overconfidence.
2. Konservatisme Akuntansi Konservatisme biasanya didefinisikan sebagai reaksi kehati-hatian (Prudent) terhadap ketidakpastian, ditujukan untuk melindungi hak-hak dan kepentingan pemegang saham (Shareholder) dan pemberi pinjaman (debtholders) yang menentukan sebuah verifikasi standar yang lebih tinggi untuk mengakui goodnews daripada badnews
(Lara, et al., 2005). Ketidakpastian dan risiko tersebut harus
dicerminkan dalam laporan keuangan agar nilai prediksi dan kenetralan bisa diperbaiki. Pelaporan yang didasari kehati-hatian akan memberi manfaat yang terbaik untuk semua pemakai laporan keuangan.
16
Dalam Belkaoui (2006 : 288) yang diterjemahkan oleh Ali Akbar Yulianto prinsip Konservatisme (conservatism principle) di definisikan sebagai berikut : Suatu prinsip pengecualian atau modifikasi dalam hal bahwa prinsip tersebut bertindak sebagai batasan terhadap penyajian data akuntansi yang relevan dan andal. Prinsip konservatisme menganggap bahwa ketika memilih antara dua atau lebih teknik akuntansi yang berlaku umum, suatu preferensi ditunjukkan untuk opsi yang memiliki dampak paling tidak menguntungkan terhadap ekuitas pemegang saham. Secara lebih spesifik, prinsip tersebut mengimplikasikan bahwa nilai terendah dari aktiva dan pendapatan serta nilai tertinggi dari kewajiban dan beban yang sebaiknya dipilih untuk dilaporkan. Konservatisme sebagai reaksi kehati-hatian dalam menghadapi ketidakpastian yang melekat dalam perusahaan untuk mencoba memastikan bahwa ketidakpastian dan resiko inheren dalam lingkungan bisnis sudah cukup dipertimbangkan. Selain merupakan konvensi penting dalam laporan keuangan, konservatisme mengimplikasikan kehati-hatian dalam mengakui dan mengukur pendapatan dan aktiva. Konsep konservatisme menyatakan bahwa dalam keadaan yang tidak pasti, manajer perusahaan akan menentukan pilihan perlakuan atau tindakan akuntansi yang didasarkan pada keadaan, harapan, kejadian, atau hasil yang dianggap kurang menguntungkan (Dewi, 2004). Konservatisme merupakan antisipasi terhadap kerugian daripada laba. Menurut Watts (2003) dalam Kiryanto dan Supriyanto (2006), mengantisipasi laba berarti mencatat laba sebelum ada klaim secara hukum dihubungkan dengan aliran kas dimasa yang akan datang dan sebaliknya tidak mengantisipasi laba berarti belum mencatat laba sebelum ada klaim secara hukum secara dihubungkan denagn aliran kas dimasa yang akan datang. LaFond dan Roychowdhury (2007) menyatakan bahwa konservatisme akuntansi meliputi penggunaan standar yang lebih tepat untuk
17
mengakui badnews sebagai kerugian dan untuk mengakui goodnews sebagai keuntungan dan memfasilitasi kontrak yang efisien antara manajer dan shareholders. a. Manfaat Konservatisme Akuntansi Kontroversi mengenai manfaat angka-angka akuntansi yang konservatif belum juga mendapatkan jalan tengahnya. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa konservatisme akuntansi bermanfaat. Tetapi ada juga pendapat yang menentangnya dan beranggapan bahwa konservatisme akuntansi tidak bermanfaat karena mengandung informasi yang bias. 1) Akuntansi Konsevatif Tidak Bermanfaat Meskipun prinsip konservatisme telah diakui sebagai dasar laporan keuangan di Amerika Serikat, namun beberapa peneliti masih meragukan manfaat konservatisme tersebut. Stabus (1995) dalam Mayangsari dan Wilopo (2002) berpendapat adanya berbagai cara untuk mendefinisikan dan mengintepretasikan konservatisme merupakan kelemahan konservatisme. Disampiang itu, konservatisme dianggap sebagai suatu sistem akuntansi yang bias. Pendapat ini dipicu oleh pengertian mengenai konservatisme itu sendiri yang disampaikan oleh beberapa peneliti terdahulu, dimana akuntansi yang mengakui kerugian lebih cepat daripada pendapatan dan keuntungan, serta menilai aktiva dengan nilai terendah dan kewajiban dengan nilai tertinggi. 2) Akuntansi Konservatif Bermanfaat Akuntansi konservatif tetap disarankan untuk digunakan. Hal ini dapat dilihat dalam aturan-aturan yang ada dalam standar akuntansi yang ada di Indonesia (PSAK 2012). Akuntansi konservatif akan menguntungkan dalam kontrak-kontrak antara
18
pihak-pihak dalam perusahaan maupun luar perusahaan. Konservatisme dapat membatasi tindakan manajer untuk membesar-besarkan laba (manajemen laba) serta memanfaatkan informasi asimetri sehingga dapat mengurangi konflik yang terjadi antara manajemen dan para pemegang saham (agency conflict). Para peneliti menyebutkan telah terjadi peningkatan konservatisme standar akuntansi secara global. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya tuntutan hukum, sehingga auditor dan manajer cenderung melindungi dirinya dengan selalu melaporkan angka-angka yang konservatif di dalam laporan keuangannya (Givoly dan Hayn, 2002 dalam Mayangsari dan Wilopo, 2002). Berdasarkan kontrak yang efisien, konservatisme akuntansi menyatakan bahwa besarnya laba yang diantisipasi merupakan fungsi langsung dari kemampuan perusahaan dalam mengestimasi laba perusahaan dalam masa mendatang. Secara intuitif, prinsip konservatisme ini bermanfaat karena dapat digunakan untuk memprediksikan kondisi pada masa mendatang. Dengan kata lain, pemilihan suatu metide yang mendukung prinsip konservatisme memiliki value relevance. Logika ini dapat membantah kritik terhadap ketidakbergunaan laporan keuangan yang berdasarkan pada prinsip konservatisme (Mayangsari dan Wilopo, 2002). b. Pengukuran Konservatisme Para Peneliti biasanya menggunakan tiga bentuk pengukuran untuk menyatakan konservatisme, yaitu Watts (2003b) dalam Fitri (2010) : 1) Net asset measures Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui konservatisme laporan keuangan seperti yang digunakan oleh Beaver dan Ryan (2000) adalah nilai aktiva yang understatement dan kewajiban yang overstatement. Proksi
19
pengukuran ini menggunakan rasio market to book value of equity yang mencerminkan nilai pasar ekuitas relatif terhadap nilai buku ekuitas perusahaan. Book value dihitung menggunakan nilai ekuitas pada tanggal neraca yaitu tanggal 31 Desember dan Market Value diukur menggunakan harga penutupan saham pada tanggal pengumuman agar dapat merefleksikan respon pasar atas laporan keuangan (Fala, 2007). Rasio yang bernilai lebih dari 1, mengindikasikan penerapan akuntansi yang konservatif karena perusahaan mencatat nilai perusahaan lebih rendah dari nilai pasarnya (Dewi, 2004). 2) Earning/Accrual measure Pada tipe ini, konservatisme diukur dengan menggunakan metode akrual, yaitu selisih antara laba bersih dengan arus kas. Pengukuran konservatisme ini dilakukan oleh Dewi dan Sari (2004), yaitu : Cit = Niit – Cfit Cit
: tingkat konservatisme perusahaan i pada waktu t
Niit
: laba bersih sebelum extraordinary item ditambah depresiasi dan
amotisasi Cfit
: arus kas dari kegiatan operasi
Semakin kecil ukuran akrual suatu perusahaan, menunjukkan bahwa perusahaan tersebut semakin menerapkan prinsip akuntansi yang kionservatis. 3) Earning/Stock relation measure Stock market price berusaha untuk merefleksikan perubahan nilai asset pada saat terjadinya perubahan baik perubahan atas rugi ataupun laba dalam nilai asset – stock return tetap berusaha untuk melaporkannya sesuai dengan waktunya.
20
Untuk menyediakan estimasi konservatisme, Basu (1997) dalam Sari dan Adhariani (2008) menyatakan bahwa konservatisme menyebabkan kejadiankejadian yang merupakan kabar buruk atau kabar baik terefleksi dalam laba yang tidak sama (asimetri waktu pengakuan). Hal ini disebabkan karena salah satu definisi konservatisme menyebutkan bahwa kejadian yang diperkirakan akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan dan harus segera diakui sehingga mengakibatkan kabar buruk lebih cepat terefleksi dalam laba dibandingkan kabar baik. Ia memprediksi bahwa pengembalian saham dan earnings cenderung merefleksikan kerugian dalam periode yang sama, tapi pengembalian saham merefleksikan keuntungan lebih cepat daripada earnings. Basu (1997) meregres laba tahunan pada return saham tahunan yang sama : NI = βo+β1NEG+β2RET+β3RET*NEG+ε NI
: laba bersih sebelum extraordinary item dibagi dengan nilai pasar ekuitas pada awal tahun
RET
: Return saham
NEG
: variabel indikator, bernilai satu jika RET negatif dan bernilai nol jika RET positif
β2
: mengukur ketepatan waktu dari laba dengan respon terhadap return positif (goodnews)
β3
: mengukur ketepatan waktu dari laba incremental dengan respon terhadap return negatif (badnews).
Dalam persamaan ini RET yang dipergunakan mengacu pada Jogiyanto (2003:109) dalam Michell Suharli (2005) dimana saham dibedakan menjadi dua
21
yaitu : (1) return realisasi merupakan return yang telah terjadi, (2) return ekspektasi merupakan return yang diharapkan akan diperoleh oleh investor di masa yang akan datang. Berdasarkan pengertian return bahwa return suatu saham adalah hasil yang diperoleh dari investasi dengan cara menghitung selisih harga saham periode berjalan dengan periode sebelumnya dengan mengabaikan deviden, maka persamaan untuk RET ditulis dengan rumus : Ross et al. (2003:238) dalam Michell Suharli (2005). Ri =
P t - P t-1 P t-1
Keterangan : Ri
= Return Saham
Pt
= Harga saham pada periode t
Pt-1
= Harga saham pada periode t-1
c. Peluang Pemilihan Tingkat Konservatisme Oleh Manajemen Salah satu pengertian mengenai tingkat konservatisme akuntansi adalah tingkat konservatisme akuntansi yang dipilih oleh manajemen dalam menerapkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Beberapa metode akuntansi dalam PSAK (IAI, 2012) yang memberikan peluang bagi manajer untuk menyelenggarakan akuntansi konservatif antara lain (Lo, 2005; Widyaningrum, 2008; Fitri, 2010) : 1) PSAK No. 14 (Revisi 2012) : Persediaan Pada paragraf 22 menyatakan biaya untuk persediaan yang secara umum tidak dapat ditukar dengan persediaan lain (not ordinary interchangeable) dan barang atau jasa yang dihasilkan dan dipisahkan untuk proyek tertentu harus
22
diperhitungkan berdasarkan identifikasi khusus terhadap biayanya masingmasing. Paragraf 24 menyatakan bahwa biaya persediaan, kecuali yang disebut dalam paragraf 22, harus dihitung dengan menggunakan rumus biaya masuk pertama keluar pertama (MPKP) atau rata-rata tertimbang. Entitas menggunakan rumus biaya yang sama terhadap semua persediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang sama. Untuk persediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang berbeda, rumus biaya yang berbeda diperkenankan. Metode MPKP atau yang sering disebut dengan FIFO dalam metode penelitian persediaan menghasilkan laba yang lebih besar daripada metode LIFO dan ratarata tertimbang (weighted averange cost method) dalam laporan laba rugi perusahaan. Hal tersebut dikarenakan metode FIFO menghasilkan biaya persediaan akhir menjadi lebih besar sehingga harga pokok penjualan menjadi lebih kecil dan laba yang dihasilkan menjadi lebih besar. Oleh karena itu metode FIFO merupakan metode penilaian persediaan yang paling konservatif. Hal tersebut berlaku jika kondisi perekonomian mengalami inflasi sehingga harga terus meningkat. Berbeda dengan laporan laba rugi akuntansi, laporan laba rugi fiscal hanya mengakui dua metode penilaian persediaan, yaitu FIFO dan rata-rata tertimbang. Diantara kedua metode tersebut, metode rata-rata tertimbang merupakan metode yang paling konservatif karena menghasilkan biaya persediaan akhir yang lebih besar dan laba yang dihasilkan menjadi lebih kecil Widyaningrum (2008) dalam Fitri (2010).
23
2) PSAk No. 17 (1994) tentang akuntansi penyusutan telah diganti oleh PSAK No. 16 (Revisi 2012) tentang asset tetap. Dalam paragraf 63 menyatakan bahwa berbagai metode penyusutan dapat digunakan untuk mengalokasikan jumlah yang disusutkan secara sistematis dari suatu asset selama umur manfaatnya. Metode tersebut antara lain metode garis lurus (straight line method), metode saldo menurun (diminishing balancig method), dan metode unit produksi (sum of the unit method). Metode garis lurus menghasilkan pembebanan yang tetap selama umur manfaat asset jika nilai residunya tidak berubah. Metode saldo menurun menghasilkan pembebanan yang menurun selama umur manfaat asset. Metode jumlah unit produksi menghasilkan pembebanan berdasarkan pada ekspektasi penggunaan keluaran dari aset. Metode penyusutan asset dipilih berdasarkan ekspetasi pola pemakaian manfaat ekonomi masa depan aset. Metode tersebut diterapkan secara konsisten dari periode ke periode, kecuali terdapat perubahan dalam ekspetasi pola pemakaian manfaat ekonomi masa aset tersebut. Berdasarkan waktunya, jika periode penyusutan suatu perusahaan semakin pendek, maka akan lebih konservatif dan jika periode penyusutan semakin panjang maka semakin tidak konservatif (Dewi, 2005). Hal tersebut dikarenakan jika periode penyusutan semakin pendek, maka biaya penyusutan menjadi lebih besar sehingga laba yang dihasilkan menjadi lebih kecil. Diantara metode penyusutan yang disebutkan dalam PSAK tersebut, metode penyusutan saldo menurun lebih konservatif dibanding metode lainnya. Tetapi hal tersebut hanya
24
terjadi pada awal-awal periode penyusutan sedangkan pada saat menuju akhir periode penyusutan metode saldo menurun menjadi tidak konservatif. 3) PSAK No. 19 (Revisi 2012) : Aset takberwujud Pada paragraf 98 menyatakan bahwa terdapat berbagai metode amortisasi untuk mengalokasikan jumlah tersusutkan aset atas dasar yang sistematis selama umur manfaatnya. Metode tersebut mencakup metode garis lurus, metode saldo menurun, dan metode unit produksi. Metode yang digunakan dipilih berdasarkan pada pola konsumsi manfaat ekonomi masa depan dan diterapkan secara konsisten dari periode ke periode, kecuali terdapat perubahan dalam perkiraan pola konsumsi tersebut. Sama halnya dengan penyusutan, jika periode amortisasi semakin pendek, maka akan lebih konservatif dan jika periode amortisasi semakin panjang, maka semakin tidak konservatif (Dewi, 2004). Hal tersebut dikarenakan jika periode amortisasi semakin pendek, maka biaya amortisasi tiap periode menjadi lebih lebih besar sehingga laba yang dihasilkan menjadi lebih kecil. Sama seperti dengan penyusutan pula, diantara metode amortiasi yang disebutkan dalam PSAK, metode amortisasi menurun merupakan metode yang paling konservatif diantara metode lain yang ada. Lebih lanjut, paragraf 99 menyatakan bahwa amortisasi biasanya diakui dalam laba rugi. Namun, terkadang manfaat ekonomis yang terkandung dalam aset terserap dalam menghasilkan aset lain. Dalam kasus ini beban amortisasi merupakan bagian dari biaya perolehan aset lain tersebut dan dimasukkan ke dalam jumlah tercatatnya. Misalnya, amortisasi asset takberwujud yang
25
digunakan dalam proses produksi dimasukkan ke dalam jumlah tercatat persediaan. Kesimpulan yang dapat diambil dari paragraf 99 tersebut adalah bahwa apabila amortisasi suatu asset tidak berwujud diakui sebagai bagian dari harga pokok asset lainnya, hal tersebut dapat membuat laba yang dihasilkan dalam laporan keuangan menjadi besar dan tidak konservatif. Sebaliknya, jika amortisasi tersebut diakui sebagai beban, maka laba yang dihasilkan menjadi lebih kecil atau konservatif. 4) PSAK No. 20 : Biaya Riset dan Pengembangan telah diganti oleh PSAK No. 19 : Aset takberwujud (Revisi 2012). Pada paragraf 53 menyatakan bahwa perusahaan tidak boleh mengakui aset tak berwujud yang timbul dari penelitian (atau tahap penelitian pada suatu proyek internal). Pengeluaran untuk penelitian (atau tahap penelitian pada proyek internal) diakui sebagai beban pada saat terjadinya. Pada paragraf 56 menyatakan bahwa suatu aset takberwujud yang timbul dari pengembangan (atau dari tahap pengembangan pada proyek internal) diakui jika, dan hanya jika perusahaan dapat menunjukkan enam kriteria tertentu. Laporan keuangan akan menjadi lebih konservatif jika biaya riset dan pengembangan diakui sebagai beban daripada sebagai aktiva. Biaya riset dan pengembangan yang diakui sebagai beban mengakibatkan laba yang dihasilkan menjadi lebih kecil. Sedangkan biaya riset dan pengembangan yang diakui sebagai aktiva mengakibatkan laba yang dihasilkan menjadi lebih besar dan tidak konservatif.
26
d. Kontroversi Konservatisme Akuntansi Konservatisme merupakan konsep akuntansi yang kontroversial. Banyak kritik mengenai kegunaan suatu laporan keuangan jika penyusunannya menggunakan metode yang konservatif karena laporan akuntansi yang dihasilkan dengan metode tersebut cenderung bias dan tidak mencerminkan realita (Mayangsari dan Wilopo, 2002). Monahan (1999) dalam Fitri (2010) menyatakan bahwa semakin konservatif metode akuntansi yang digunakan, maka nilai buku ekuitas yang dilaporkan akan semakin bias (bervariasi antar waktu). Konsisi ini mendukung simpulan bahwa laporan keuangan itu sama sekali tidak berguna karena tidak dapat mencerminakn nilai perusahaan sesungguhnya. Klein dan Marquant (2000) dalam Juanda (2007) dalam Fitri (2010) mengemukakan dua aspek yang menjadikan konservatisme akuntansi mengurangi kualitas laporan keuangan terutama masalah relevansi. Pertama, konservatisme melaporkan terlalu rendah baik laba maupun aktiva. Hal ini akan mempengaruhi kualitas
relevansi
laporan
keuangan
khususnya
netralitas.
Karena
ingin
mempertahankan reliabilitas, kadang perusahaan mengabaikan relevansi informasi, atau sebaliknya. Misalnya, ketika mencatat kerugian kontijensi, mencatat biaya riset dan pengembangan. Konservatisme mendorong adanya penyimpangan karena sikap pesimistik, walaupun hal ini memang diharapkan oleh kreditor, namun akan menjadi problem ketika melakukan analisis ekuitas. Kedua, konservatisme merupakan hasil dari penundaan secara selektif terhadap berita baik, sementara dengan segera mengakui berita buruk. Praktik seperti ini akan mengurangi kandungan informasi laporan keuangan yang berkaitan dengan relevansi.
27
Masih mengenai kontroversi konservatisme akuntansi, pendapat yang lebih lengkap dikemukakan oleh KAM (1995) dan Qiang (2003) dalam Juanda (2007) dan dalam Fitri (2010) yang menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek yang menyebabkan konservatisme akuntansi ditolak antara lain: (1) Ketidakkonsistenan. Ketika aset dilaporkan terlalu rendah karena digunakan atau dijual, hal ini akan mengakibatkan laba dilaporkan terlalu tinggi. Dalam kasus lain, laba yang dilaporkan terlalu rendah pada periode sekarang akan dilaporkan terlalu tinggi pada periode berikutnya; (2) Ketidakteraturan. Tingkat konservatisme dalam laporan keuangan berkaitan dengan perihal kebijakan perusahaan. Misalnya, ketika mengantisipasi kerugian, mungkin dicatat dan mungkin tidak karena suatu ekspetasi selalu dapat direvisi; (3) Penyembunyian. Investor mengalami kesulitan menentukan dan menemukan jumlah aset yang dilaporkan terlalu rendah, sehingga dalam kasus ini investor dalam posisi tidak diuntungkan dan memberi peluang keuntungan bagi pihak dalam; (4) Kontradiktif. Konservatisme akuntansi bertentangan dengan prinsip akuntansi lainnya antara lain prinsip biaya, prinsip penandingan, prinsip konsistensi, dan prinsip pengungkapan; (5) Konservatisme akuntansi bertentangan dengan karakteristik kualitatif laporan keuangan, antara lain, relevan, reliabilitas, dan komparabilitas. 3. Auditor Eksternal (Akuntan Publik Bersertifikat) Audit menurut Randal J. Elder et al. (2011:4) yang diterjemahkan oleh Desi Fitriyani adalah sebagai tugas pengumpulan dan evaluasi bukti mengenai informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi tersebut
28
dengan kriteria yang telah ditetapkan. Audit harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen. Randal J. Elder et al. (2012) dalam bukunya tersebut lebih lanjut menjelaskan mengenai audit, bahwa untuk melakukan audit harus tersedia informasi dalam bentuk yang dapat diverifikasi dan beberapa standar (kriteria) yang dapat digunakan auditor untuk mengevaluasi informasi tersebut, yang dapat dan memiliki banyak bentuk. Para auditor secara rutin melakukan audit atas informasi yang dapat diukur, termasuk laporan keuangan perusahaan dan SPT Pajak Penghasilan Perorangan. Auditor juga mengaudit informasi yang lebih subjektif, seperti efektivitas sistem komputer dan efisiensi operasi manufaktur. Kriteria untuk mengevaluasi informasi juga bervariasi, tergantung pada informasi yang sedang diaudit. Dalam audit atas laporan keuangan historis oleh kantor akuntan publik (KAP), kriteria yang berlaku biasanya adalah prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia (Generally accepted accounting principles – GAAP). Auditor harus memiliki kualifikasi untuk memahami kriteria yang digunakan dan harus kompeten untuk mengetahui jenis serta jumlah bukti yang akan dikumpulkan guna mencapai kesimpulan yang tepat setelah memeriksa bukti tersebut. Auditor juga harus memiliki sikap mental yang independen. Kompetensi orang-orang yang melaksanakan audit tidak akan ada nilainya jika mereka tidak independen dalam mengumpulkan dan mengevaluasi bukti. Auditor yang mengeluarkan laporan mengenai laporan keuangan perusahaan, sering kali disebut auditor independen. Walaupun auditor ini menerima fee dari perusahaan, mereka biasanya cukup
29
independen dalam melakukan audit yang informasinya dapat diandalkan oleh para pemakai.
B. Penelitian Terdahulu Mayangsari dan Wilopo (2002) menguji hubungan antara konservatisme akuntansi dengan value relevance dan discretionary accruals pada perusahaan manufaktur di Indonesia dan menemukan bukti bahwa prinsip akuntansi konservatif memiliki value relevance. Artinya, dengan menggunakan prinsip konservatisme laporan keuang yang disajikan juga dapat menunjukan nilai pasar perusahaan. Semakin tinggi konservatisme, semakin tinggi pertumbuhan perusahaan. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi konservatisme, semakin rendah kemungkinan dilakukannya manajemen laba sehingga hal ini menunjukkan bahwa konservatisme dapat mengurangi sikap oportunistik pihak manajemen. Sedangkan discretionary accruals tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai pasar perusahaan. Motivasi pembuatan penelitian ini karena adanya tuduhan ketidakbergunaan prinsip konservatif karena hanya akan menghasilkan kualitas earnings yang rendah. Dewi (2004) melakukan penelitian mengenai pengaruh konservatisme laporan keuangan terhadap earnings response coefficient pada perusahaan manufaktur dan non-manufaktur (kecuali perbankan) dari tahun 1996 hingga 2000, menemukan bukti bahwa akrual diskresioner dengan konservatisme laporan keuangan berhubungan signifikan tetapi lemah. Sedangkan hubungan earnings response coefficient dengan konservatisme laporan keuangan, khususnya bahwa
30
earnings response coefficient laporan yang optimis lebih besar dibandingkan earnings response coefficient laporan yang konservatif. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa earnings response coefficients laporan yang cenderung persisten optimis lebih tinggi dibandingkan earnings response coefficient laporan yang cenderung persisten konservatif. Selain itu, Widya (2005) melakukan penelitian dengan judul “analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan perusahaan terhadap akuntansi konservatif”. Dalam penelitiannya, Widya menggunakan struktur kepemilikan, kos politis, kontrak utang dan pertumbuhan sebagai variabel bebsa. Sedangkan variabel terikatnya adalah konservatisme. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi struktur kepemilikan, besarnya kos politis dan pertumbuhan penjualan meerupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan perusahaan terhadap akuntansi konservatif. Semakin besar konsentrasi struktur kepemilikan perusahaan terhadap modal, serta semakin besar kos politis yang dikeluarkan perusahaan, maka perusahaan tersebut cenderung untuk memilih strategi akuntansi konservatf. Disisi lain, penelitian tersebut menunjukkan bahwa leverage bukan merupakan faktor yang mempengaruhi pilihan perusahaan terhadap akuntansi konservatif. Ahmed dan Duellman (2007) menguji mengenai karakteristik dewan terhadap konservatisme akuntansi menemukan bukti bahwa inside directors berhubungan negatif signifikan dengan konservatisme akuntansi yang diukur dengan ukuran akrual, sedangkan outside directors berhubungan positif. Ukuran dewan yang diukur dengan ukuran akrual menunjukkan hasil yang tidak
31
signifikan dengan konservatisme akuntansi, sedangkan kepemilikan institusional dan ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol berhubungan negatif dan tidak signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Wardhani (2008) yang meneliti mengenai pengaruh karakteristik dewan terhadap tingkat konservatisme akuntansi di Indonesia dengan obyek penelitian sebanyak 69 perusahaan yang terdaftar di BEI dengan variabel independen yang digunakan yaitu komisaris independen, kepemilikan manajerial, dan keberadaan komite audit menunjukkan hasil bahwa keberadaan komite audit berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap tingkat konservatisme dengan ukuran akrual, sedangkan kepemilikan manajerial dan independensi komisaris tidak berpengaruh positif, tetapi independensi komisaris mempunyai pengaruh positif terhadap konservatisme dengan ukuran pasar. Dengan ukuran pasar pula, penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kepemilikan manajerial, semakin rendah tingkat konservatisme suatu perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Fitri Rahmawati (2008) yang meneliti mengenai pengaruh karakteristik dewan sebagai salah satu mekanisme corporate governance terhadap konservatisme akuntansi di Indonesia dengan obyek penelitian perusahaan-perusahaan manufaktur yang listing di BEI selama 4 tahun berturut-turut dari tahun 2005 hingga 2008 menunjukkan bahwa faktor indepensi komisaris, kepemilikan manajerial, keberadaan komite audit, ukuran dewan, kepemilikan institusional, pertumbuhan penjualan, profitabilitas, leverage dan ukuran perusahaan secara bersama-sama mempengaruhi tingkat konservatisme
32
akuntansi yang diukur dengan ukuran akrual sebesar 40%, sedangkan faktorfaktor diatas secara bersama-sama juga mempengaruhi tingkat konvservatisme yang diukur dengan ukuran nilai pasar sebesar 23,80 %. Ahmed & Duellman (2012) menginvestigasi mengenai hubungan antara managerial overconfidence dan konservatisme akuntansi dan membuktikan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara managerial overconfidence dan konservatisme akuntansi. Karena manajer yang terlalu optimistik biasanya melebih-lebihkan kemungkinan ROI (Return on Investment) yang akan diperoleh perusahaan, Ahmed dan Duellman telah memprediksi bahwa Managerial Overconfidence akan terhubung secara negatif dengan konservatisme akuntansi. Dengan meneliti sampel yang diambil dari 14.641 perusahaan selama tahun 1993 – 2009, mereka menemukan bukti kuat bahwa hubungan negatif yang cukup signifikan antara kepercayaan diri manajer yang terlalu berlebihan dengan konservatisme akuntansi. Lebih jauh, penemuan keduanya adalah bahwasanya pemantauan pihak luar tidak terlalu berpengaruh terhadap hubungan ini.
C.
Pengembangan Hipotesis
1.
Pengaruh Overconfidence terhadap konservatisme akuntansi
Konservatisme di definisikan sebagai standar verifikasi yang tinggi saat pengakuan good news daripada bad news (Basu [1997], Watts [2003]). Konsep konservatisme yang dikenal secara umum dibagi menjadi dua sub-konsep : conditional and unconditional conservatsim (Ball and Shivakumar, 2005; Beaver and Ryan, 2005). Conditional Conservatism mengarah pada pemikiran bahwa
33
earning direfleksikan dalam pengkuan rugi dan laba dalam kondisi asymmetric timelines, dimana asimmetric timelines timbul dari kecenderungan akuntan untuk menggunakan verifikasi tingkat tinggi atas pengakuan kabar baik daripada kabar buruk dalam laporan keuangan. Contoh dari conditional conservatism dapat dilihat pada akuntansi persediaan (LOCOM) dan akuntansi impairment untuk aset berwujud dan tidak berwujud jangka panjang. Estimasi manajemen memainkan peranan yang kadang di kritik dalam mengaplikasikan konservatisme akuntansi. Sebagai contoh, ketika manajer mengestimasi nilai bersih persediaan dalam mengaplikasikan peraturan “lower of cost or market” saat penilaian persediaan. Mereka pada umumnya akan meninggikan (overestimate) kemungkinan arus kas yang positif dan merendahkan (underestimate) kemungkinan arus kas yang negatif (rendah). Manajemen yang terlalu optimistik dalam meramalkan (mengestimasi) keuntungan yang akan diperoleh perusahaan di masa yang akan datang cenderung menunda pengakuan kerugian dan menggunakan sedikit sekali praktek akuntansi konservatisme. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut : H1a
: Terdapat pengaruh negatif antara optimistik manajemen yang terlalu
berlebihan dalam mengestimasi keuntungan (overconfidence managerial) dengan konservatisme kondisional (conditional conservatism). Implikasi kedua dari pemilihan kebijakan akuntansi adalah overconfidence managers akan melakukan penilaian terhadap aset dengan nilai yang terlalu tinggi (overvalue) dan melakukan penilaian terhadap hutang dengan nilai yang terlalu rendah (undervalue). Sebagai contoh, seorang overconfidence manager akan
34
membuat perkiraan yang terlalu tinggi atas pengembalian piutang perusahaan (account receivable), dan membuat cadangan yang terlalu rendah untuk pengembalian hutang perusahaan. Demikian halnya ketika membuat perkiraan atas nilai aset tetap, aset tetap akan dinilai dengan nilai yang tertinggi. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut : H1b : Terdapat pengaruh negatif antara optimistik manajemen yang terlalu berlebihan dalam mengestimasi keuntungan (overconfidence managerial) dengan unkondisional konservatisme (unconditional conservatism).
2. Pemantauan pihak ketiga, konservatisme dan Overconfidence Jajaran direksi dan pemegang saham independen melihat laporan yang disusun dengan konservatisme akan lebih baik, pantauan pihak ketiga (Auditor eksternal/Akuntan
publik
bersertifikat)
dapat
mengurangi
efek
negatif
overconfindence managerial terhadap akuntansi konservatisme sebagaimana yang disampaikan oleh Kahneman dan Lovallo (1993) yang berpendapat bahwa pengaruh optimisme manajemen yang terlalu berlebihan (Overconfidence Managerial) terhadap
konservatisme
akuntansi
dapat
dikurangi
dengan
melibatkan pantauan pihak luar. Pendapat ini, yang menyatakan bahwa pantauan pihak ketiga dapat mengurangi hubungan negatif antara Overconfidence managerial dan akuntansi konservatisme membentuk hipotesis berikut ini : H2
: Pengaruh negatif antara optimisme manajer yang terlalu berlebihan
dan konservatisme akuntansi akan menjadi lemah pada perusahaan apabila
35
pemantauan pihak ketiga (Auditor eksternal/Akuntan Publik Bersertifikat) cukup ketat.
D.
Model Konseptual Berdasarkan pada teori yang telah dijelaskan sebelumnya dan berdasarkan
pada uraian penelitian-penelitian terdahulu, maka peneliti mengindikasikan bahwa Overconfidence Managerial yang terdiri dari direksi dan komisaris dependen dalam perusahaan sebagai variabel independen dan akuntansi konservatisme sebagai variabel dependen (terikat) serta auditor eksternal (Akuntan Publik Bersertifikat) sebagai variabel kontrol yang mempengaruhi tingkat konservatisme akuntansi yang diterapkan sebagai kebijakan perusahaan.
Untuk
membantu
dalam memahami mengenai hubungan antara Overconfidence Managerial terhadap konservatisme akuntansi dan bagaimana auditor eksternal berperan sebagai variabel kontrol maka diperlukan sebuah kerangka pemikiran. Dari landasan teori yang telah diuraikan diatas kemudian dibuatlah hipotesis-hipotesis yang dapat digambarkan dalam sebuah hubungan antar variabel seperti dibawah ini :
36
Managerial Overconfidence (Susunan manajerial over optimistik) terdiri dari : a. Direksi b. Komisaris \
Konservatisme Akuntasi a. Dengan Ukuran Akrual b. Dengan Ukuran Nilai Pasar
External Monitorning (Pihak luar ketiga/luar Perusahaan) : Akuntan Publik (KAP)
Keterangan : : :
Variabel Independen Variabel Kontrol
Gambar 2.1 Model Konseptual
37