BAB II LANDASAN TEORI
A. Aktiva Tetap 1. Pengertian Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam kedaan siap dipakai atau dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan, tidak dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Aktiva tetap merupakan salah satu aset terpenting yang dimiliki oleh perusahaan. Aktiva tetap umumnya digunakan untuk mendukung kegiatan utama perusahaan dalam memperoleh pendapatan. Oleh karena itu, aktiva tetap harus dikelola dengan benar karena dapat mempengaruhi kondisi perusahaan secara signifikan baik dari sisi financial maupun accounting. Aktiva yang dapat digunakan oleh perusahaan dalam menjalankan aktivitas usaha dan sifatnya relatif tetap atau jangka waktu perputarannya lebih dari satu tahun. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009) :
6
7
“Aktiva Tetap adalah aktiva berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu tahun”. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu aktiva tetap mempunyai beberapa sifat, yaitu : 1. Masa manfaatnya jangka panjang atau lebih dari satu tahun. 2. Dimiliki dan digunakan dalam operasi normal perusahaan untuk menghasilkan barang atau jasa. 3. Tidak
ditujukan
untuk
dijual
kembali
atau
diperdagangkan
untuk
mendapatkan keuntungan dari penjualan aktiva tersebut. 4. Nilainya cukup tinggi. 5. Penurunan manfaat (penurunan dari nilai aktiva tetap) secara periodik disebut depreciation expense (penyusutan). 6. Memiliki umur ekonomis dan nilai residu. 7. Menurut SAK, biaya perolehan aktiva tetap adalah setara dengan nilai tunainya dan diakui pada saat terjadinya. Biaya perolehan diukur pada nilai wajar. (IAI; 2009; 16.5)
8
Menurut perpajakan, aktiva tetap harus memenuhi kriteria: 1. Dimiliki dan digunakan dalam usaha atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, dengan suatu masa manfaat yang lebih dari satu tahun. 2. Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam kegiatan normal. Baik menurut akuntansi maupun menurut ketentuan perpajakan nilai aktiva tetap tidak boleh dibebankan sekaligus sebagai biaya. Pembebanannya dilakukan melalui alokasi secara berangsur-angsur dengan cara penyusutan atau amortisasi. 2. Jenis-Jenis Aktiva Tetap Secara garis besar aktiva tetap menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009) dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu : a.
Aktiva Tetap Berwujud Aktiva tetap berwujud ini mempunyai sifat permanen atau dengan kata lain dapat digunakan dalam jangka waktu yang relatif lama. Aktiva tetap berwujud ini masih dibagi lagi menjadi : 1. Aktiva tetap yang umurnya tidak terbatas, seperti tanah 2. Aktiva tetap yang umurnya terbatas dan apabila sudah habis masa penggunaannya bisa diganti dengan aktiva aktiva sejenis, misalnya: bangunan, mesin, peralatan, kendaraan dan lain-lain.
9
3. Aktiva tetap yang umurnya terbatas dan apabila sudah habis masa penggunaannya tidak dapat diganti dengan aktiva sejenis, misalnya: sumber-sumber alam seperti hasil tambang, hutan, dan lain-lain. b.
Aktiva Tetap Tidak Berwujud Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009:19.2): “Aktiva tidak berwujud adalah aktiva non moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif”. Aktiva tetap tidak berwujud adalah aktiva-aktiva yang umumnya lebih dari satu tahun dan tidak mempunyai bentuk fisik. Pada umumnya aktiva tetap tidak berwujud merupakan hak-hak yang dimiliki yang digunakan lebih dari satu tahun. Aktiva tetap seperti ini mempunyai nilai karena diharapkan dapat memberikan sumbangan pada laba.
3. Metode Penyusutan Dalam standar akuntansi keuangan yang sudah diterima umum terdapat 4 metode yang paling sering digunakan dalam menghitung beban depresiasi (Ely, Sri; 2009):
10
a) Metode Garis Lurus (straight line method) 1. Metode garis lurus akan menghasilkan beban penyusutan yang sama setiap periode pada umur manfaatnya. Cara perhitungan penyusutannya dilakukan dengan menggunakan formulasi di atas. Metode penyusutan garis lurus ini, juga sering kali dinyatakan dalam bentuk presentasi. 2. Presentasi ini ditentukan dengan membagi 100% dengan lamanya umur manfaat. Rumus : Biaya penyusutan = Tarif Penyusutan x (HP-NR) HP – NR UE b) Metode dengan Angka-angka Tahunan (sum of the year digit methods) Metode ini menghasilkan beban penyusutan periodik semakin menurun sepanjang umur estimasi aktiva. Rumus : Beban Penyusutan = Tarif x (HP-NR) x n 12 c) Metode Saldo Menurun (declining balance method) Dalam metode ini penyusutan dibebankan berdasarkan prosentase tetap dari nilai buku (saldo terakhir). Biasanya prosentasenya 2 (dua) kali dari prosentase berdasarkan garis lurus.
11
Di dalam menetapkan penyusutan ini, nilai residu tidak dapat diperhitungkan kecuali apabila disyaratkan bahwa nilai buku tidak kurang dari nilai residu yang di harapkan. Rumus : Beban Penyusutan = 2 x Metode Garis Lurus x Book Value Tarif = 2 x 100% / EU d) Metode Unit Produksi (unit productive method) Metode ini umumnya digunakan apabila umur manfaat aktiva tetap bergantung kepada tingkat pemakaiannya. Apabila kalau tingkat pemakaiannya sangat bervariasi dari tahun ke tahun, maka metode unit produksi ini paling cocok digunakan. Oleh sebab itu, metode unit produksi akan menghasilkan jumlah beban penyusutan yang sama dengan bagi setiap unit yang diproduksi. Untuk menerapkan metode ini, umur manfaat aktiva diekspresikan dalam istilah unit kapasitas produksi seperti jam. Rumus : Beban Penyusutan = HP – NR x Produksi Tahun Berjalan Jam Mesin Metode penyusutan menurut peraturan perpajakan diatur dalam pasal 11 Undang-Undang No.17 Tahun 2000 sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Metode penyusutan yang diperbolehkan berdasarkan ketentuan ini adalah :
12
1. Metode Garis Lurus atau straight line method Dalam ketentuan fiskal metode ini disebut penyusutan dalam bagianbagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut. 2. Metode Saldo Menurun atau declining balance method Penyusutan atas harta berwujud dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan, dengan syarat dilakukan secara taat asas. Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas. Harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun. Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta Berwujud ditetapkan sebagai berikut :
13
Tabel 2.1 Tarif Penyusutan menurut Ketentuan Perpajakan Kelompok Harta Berwujud
I. Bukan bangunan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 II. Bangunan Permanen Tidak permanen
Masa Manfaat
Tarif Penyusutan Berdasarkan Metode Garis Lurus
Saldo Menurun
4 tahun 8 tahun 16 tahun 20 tahun
25 % 12,5% 6,25% 5%
50% 25% 12,5% 10%
20 tahun 10 tahun
5% 10%
-
Sumber : Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
B. Sewa Guna Usaha
1. Pengertian Sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (capital lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Dari definisi leasing yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri leasing yang membedakannya dari transaksi sewamenyewa biasa, yaitu:
14
a. Obyek Leasing Barang-barang yang menjadi obyek perjanjian leasing meliputi segala macam barang modal seperti mesin atau komputer, sedangkan pada transaksi sewa-menyewa biasa obyeknya tidak harus barang modal. b. Adanya pembayaran secara berkala dalam waktu tertentu Dalam sewa-menyewa biasanya cara pembayarannya dilakukan sekali untuk suatu periode tertentu, sedangkan leasing pembayarannya dilakukan secara berkala dan bisa dilakukan setiap bulan, setiap kuartal, atau setiap setengah tahun sekali. c. Nilai sisa atau residual value Pada perjanjian leasing ditentukan suatu nilai sisa sedangkan perjanjian sewa-menyewa biasa tidak mengenal hal ini. d. Hak opsi bagi lessee Pada akhir dari masa leasing, lessee mempunyai hak untuk menentukan apakah dia ingin membeli barang tersebut dengan harga sebesar nilai sisa ataukah mengembalikan kepada lessor. Pada perjanjian sewamenyewa biasa jika masa sewa telah berakhir maka penyewa wajib mengembalikan barang tersebut kepada pihak yang menyewakan.
15
2. Jenis-Jenis Sewa Guna Usaha Secara umum jenis leasing bisa dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu: a. Capital Lease (Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi) Pada transaksi leasing jenis ini lessee yang membutuhkan barang menentukan sendiri jenis serta spesifikasi barang yang dibutuhkan. Lessee juga mengadakan negosiasi langsung dengan supplier mengenai harga, syarat-syarat perawatan serta lain-lain hal yang berhubungan dengan pengoperasian barang tersebut. Kemudian lessor akan mengeluarkan dananya untuk membayar barang tersebut kepada supplier dan setelah itu barang tersebut diserahkan kepada lessee. Sebagai imbalan atas jasa penggunaan barang tersebut maka lessee akan membayar secara berkala kepada lessor sejumlah uang untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati bersama. Pada akhir masa lease, lessee mempunyai hak pilih untuk membeli barang tersebut seharga nilai sisanya, mengembalikan barang tersebut kepada lessor atau juga mengadakan perjanjian leasing lagi untuk tahap yang kedua atas barang yang sama. Capital lease sendiri sebenarnya dapat dikategorikan lagi menjadi dua macam :
16
a) Direct Capital Lease Transaksi ini terjadi jika lessee sebelumnya belum pernah memiliki barang yang dijadikan obyek lease. Pada dasarnya transaksi leasing jenis ini sama dengan transaksi capital lease yang telah diterangkan di atas. b) Sale and Lease Back Sesuai dengan namanya, dalam transaksi ini lessee menjual barang yang sudah dimilikinya kepada lessor. Atas barang yang sama ini kemudian dilakukan suatu kontrak leasing antara lessor dan lessee. b. Operating Lease (Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi) Pada transaksi leasing jenis ini, lessor membeli barang dan kemudian menyewakannya kepada lessee untuk jangka waktu tertentu. Pada prakteknya lessee membayar uang secara berkala yang besarnya secara keseluruhan tidak meliputi harga barang serta biaya yang telah dikeluarkan oleh lessor. Disini secara jelas tidak ditentukan adanya nilai sisa serta hak opsi bagi lessee. Setelah masa lease berakhir, lessor merundingkan kemungkinan dilakukannya kontrak lease yang baru dengan lessee yang sama atau juga lessor mencari calon lessee yang baru. Pada operating lease ini biasanya lessor bertanggung jawab mengenai perawatan barang tersebut. Barang-barang yang sering digunakan dalam operating lease ini biasanya barang-barang yang
17
mempunyai nilai tinggi seperti alat-alat berat, traktor, mesin-mesin, dan sebagainya. 3. Perlakuan Akuntansi atas Sewa Guna Usaha Sewa adalah suatu perjanjian dimana lessor memberikan hak kepada lessee untuk menggunakan suatu aset selama periode waktu yang disepakati. Sebagai imbalannya, lessee melakukan pembayaran atau serangkaian pembayaran kepada lessor. (IAI; 2009; 30.1) Perlakuan transaksi sewa guna usaha ditinjau dari aspek akuntansi lebih menekankan pada makna ekonomi (economic substance) dari suatu peristiwa atau transaksi dari pada bentuk hukumnya (legal form). Sewa guna usaha dengan hak opsi (capital lease) yaitu apabila dalam transaksi perusahaan lessor bertindak sebagai pihak yang membiayai barang modal dimana secara berkala lessor menerima pembayaran sewa guna usaha dari lessee dan di akhir masa sewa terdapat hak opsi bagi lessee. Hak opsi adalah hak lessee
untuk
membeli
barang
modal
yang
disewagunausahakan
atau
memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa guna usaha. Sedangkan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) yaitu apabila dalam transaksi perusahaan lessor membeli barang modal dan kemudian menyewa guna usahakannya kepada
18
lessee, lessee tidak mempunyai hak opsi untuk membeli atau memperpanjang transaksi sewa guna usaha tersebut. Pembayaran jumlah angsuran bulanan atas transaksi sewa guna usaha oleh perusahaan dapat dihitung dengan 2 (dua) metode, yaitu pembayaran sewa di depan dan pembayaran di belakang. Penggunaan metode pembayaran tersebut ditentukan dalam perjanjian sewa guna usaha yang dilakukan oleh perusahaan. Metode pembayaran sewa guna usaha di depan dihitung dengan rumus sebagai berikut : Leased Payment = C [ i ( 1 + i ) n-1 ] ( 1 + i ) n-1 – 1 Sedangkan metode pembayaran sewa guna usaha di belakang dihitung dengan rumus sebagai berikut : Leased Payment = C [ i ( 1 + i ) n ] ( 1 + i ) n– 1 Keterangan : C = Harga perolehan aktiva leasing setelah dikurangi simpanan jaminan i = Suku bunga n = periode leasing
19
Jurnal yang dibuat oleh lessee untuk mencatat transaksi sewa guna usaha dengan menggunakan metode Capital Lease adalah sebagai berikut: a)
Pada saat transaksi sewa guna usaha : Aktiva sewa guna
b)
XXXX
Hutang sewa guna usaha
XXXX
Nilai sisa
XXXX
Pembayaran simpanan jaminan : Jaminan kontrak sewa guna usaha
XXXX
Kas c)
XXXX
Pembayaran angsuran : Hutang sewa guna usaha
XXXX
Biaya bunga sewa guna usaha
XXXX
Kas d)
XXXX
Penyusutan aktiva sewa guna usaha : Biaya amortisasi Akumulasi amortisasi
XXXX XXXX
20
Jurnal yang dibuat oleh lessee untuk mencatat transaksi sewa guna usaha dengan metode Operating Lease adalah sebagai berikut : a) Pada saat kontrak ditandatangani : Tidak ada jurnal b) Pada saat pembayaran leasing : Biaya sewa
XXXX
Kas
XXXX
C. Sewa Guna Usaha menurut Perpajakan 1.
Ketentuan Umum a.
Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (capital lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran tertentu secara berkala.
b.
Lessor adalah perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa guna usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dan melakukankan kegiatan sewa guna usaha.
c.
Lessee adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari lessor.
21
d.
Opsi adalah hak lessee untuk membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa guna usaha.
2. Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi (Finance Lease) Menurut ketentuan pajak kegiatan SGU akan digolongkan sebagai SGU dengan
hak
opsi (Finance
Lease)
(PMK-255/PMK.03/2008
jo
PMK
208/PMK.03/2009) apabila memenuhi kriteria berikut (Teguh,Sapto; 2009): a) Jumlah pembayaran SGU selama masa SGU pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor; b) Masa sewa guna usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk barang modal Golongan I, 3 tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 tahun untuk Golongan Bangunan; Dalam hal lessor dan lessee membuat perjanjian Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi (Capital Lease) namun masanya tidak memenuhi ketentuan tersebut di atas, maka perlakuan Pajak Pertambahan Nilai yang diberikan terhadap perjanjian tersebut sama dengan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai terhadap perjanjian Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi (Operating Lease) c) Perjanjian Sewa Guna Usaha memuat ketentuan mengenal opsi bagi lessee (KMK No. 1169/KMK.01/1991 Tanggal 7 November 1991 serta SE10/PJ.42/1994 Tanggal 22 Maret 1994).
22
Ketiga syarat diatas harus dipenuhi seluruhnya agar suatu SGU dapat digolongkan sebagai SGU dengan Hak Opsi (Capital Lease). Ketiga syarat diatas menunjukkan bahwa ketentuan Pajak menggolongkan SGU sebagai Capital Lease jika lessor sebenarnya berniat menjual barang. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah seluruh angsuran yang diterima pada periode leasing pertama lebih besar dari harga pokok barang plus laba dan harus adanya opsi pada akhir periode leasing. Perlakuan Perpajakan bagi Lessor 1.
Penghasilan. Lessor yang menjadi objek PPh adalah seluruh pembayaran SGU-angsuran pokok (bunga + administration fee). Dalam hal Sewa Guna Usaha sindikasi yaitu SGU yang dibiayai oleh beberapa perusahaan leasing, imbalan jasa bagi masing-masing anggota dihitung secara proposional sesuai dengan perjanjian antar anggota yang bersangkutan. Penghasilan tersebut tidak dipotong PPh Pasal 23 oleh lessee. Pengenaan pajaknya dilakukan dengan penghitungan akhir tahun dalam SPT Tahunan.
2.
Lessor tidak boleh menyusutkan barang modal yang di SGU-kan. Sejak berlakunya KMK No.1169/KMK.01/1991 Pajak menganut aliran bahwa tidak ada yang memiliki barang leasing sampai berakhirnya periode leasing dan diketahui dengan pasti siapa pemilik barang tersebut. Bila lessee menggunakan hak opsinya, maka barang tersebut menjadi milik lessee
23
sedangkan bila tidak maka barang tersebut menjadi milik lessor. Akibatnya selama periode leasing barang modal tersebut tidak boleh disusutkan baik oleh lessor maupun oleh lessee. 3.
Lessor dapat membentuk Cadangan Piutang Ragu-ragu sebesar 2,5% dari rata-rata saldo awal dan akhir piutang Sewa Guna Usaha. Karena
capital
lease
adalah
transaksi
pembiayaan
maka
pajak
memperbolehkan lessor untuk membuat cadangan piutang ragu-ragu dan besarnya 2,5% dari rata-rata saldo awal dan akhir piutang Sewa Guna Usaha. Pencadangan tersebut dilakukan dengan mendebet biaya penyisihan piutang serta mengkredit akun Akumulasi Cadangan Penghapusan Piutang. Biaya Penyisihan Piutang tersebut dapat mengurangi penghasilan (Deductible Expenses). 4.
Kerugian piutang Sewa Guna Usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada akun Akumulasi Cadangan Penghapusan Piutang pada tahun yang bersangkutan. Apabila besarnya kerugian piutang yang nyata-nyata tidak tertagih lebih besar dari penyisihan yang dibuat maka selisihnya dapat menjadi biaya (Deductible Expenses). Sebaliknya jika besarnya kerugian piutang yang nyata-nyata tidak tertagih lebih kecil dari penyisihan yang dinuat maka selisihnya harus diakui sebagai penghasilan.
24
5.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 bagi lessor dihitung berdasarkan laporan triwulan yang disetahunkan. Perusahaan leasing, sebagaimana usaha pembiayaan lainnya (Bank, Asuransi, dan lainnya) diwajibkan membuat laporan keuangan tiwulanan yang harus disampaikan ke lembaga pemerintah terkait (BI dan Depkeu). Besarnya PPh Pasal 25 harus dihitung ulang setiap 3 bulan berdasarkan laba rugi triwulan bersangkutan yang disetahunkan.
6.
Jasa pembiayaan sewa guna usaha dengan hak opsi tidak terutang PPN. Tetapi penyerahan barang dari lessor ke lessee terutang PPN.
Perlakuan Perpajakan bagi Lessee 1. Lessee tidak boleh menyusutkan barang modal yang diterima dengan alasan yang sama seperti alasan mengapa lessor tidak boleh menyusutkan barang leasing, lessee-pun tidak boleh menyusutkan barang leasing. 2. Seluruh pembayaran leasing (angsuran plus bunga dan biaya administrasi) boleh menjadi pengurang (Deductible Expenses). 3. Lessee tidak boleh memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran angsuran leasing kepada lessor.
25
3. Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi (Operating Lease) Suatu sewa guna usaha digolongkan sebagai Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi (Operating Lease) apabila memenuhi semua kriteria berikut (Teguh, Sapto; 2009): a. Jumlah pembayaran Sewa Guna Usaha selama masa Sewa Guna Usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang di Sewa Guna Usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor. b. Perjanjian Sewa Guna Usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee. Kedua syarat diatas mengisyaratkan bahwa ketentuan pajak menggolongkan suatu Sewa Guna Usaha sebagai operating lease jika lessor benar-benar tidak berniat menjual barang dan hanya ingin menyewakan saja. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah seluruh angsuran yang diterima lebih kecil dari harga pokok barang plus laba serta tidak termuatnya opsi pemilikan barang pada akhir periode leasing. Jadi, Operating Lease adalah transaksi sewa menyewa biasa. Karena hanya transaksi sewa menyewa biasa, maka kepemilikan barang masih berada di tangan pihak yang menyewakan (lessor) sehingga yang berhak menyusutkan barang adalah lessor.
26
Perlakuan Perpajakan bagi yang menyewa (Lessor) 1. Seluruh pembayaran sewa yang diterima/diperoleh oleh lessor, merupakan objek PPh Pasal 23. 2. Lessor berhak menyusutkan barang modal yang di Sewa Guna Usahakan karena kepemilikan barang ada ditangan lessor. 3. Lessor memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jasa sewa yang diberikan. Perlakuan Perpajakan bagi penyewa (Lessee) 1. Jumlah biaya sewa yang dibayar/terutang pada tahun tersebut boleh menjadi pengurang penghasilan (Deductible Expenses). 2. Lessee tidak boleh menyusutkan barang modal karena barang masih milik lessor. 3. Lessee memotong PPh Pasal 23 setiap kali membayar sewa kepada lessor dengan tarif 6% jika barang modal yang disewakan selain tanah dan bangunan, 3% jika yang disewakan adalah kendaraan serta 10% jika barang modalnya berupa tanah dan bangunan. 4. Pajak Penghasilan Pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan. (IAI; 2009; 46.2)
27
Menurut Keputusan Menteri Keuangan RI No.1169/KMK.01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, pada pasal 16: Perlakuan pajak penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut : 1. Selama masa sewa guna usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewagunausaha, sampai saat lessee menggunakan opsi untuk membeli. 2. Setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutan adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan. 3. Pembayaran sewa guna usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi sewa guna usaha tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 3 keputusan ini. 4. Dalam hal masa sewa guna usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa guna usaha. 5. Lessee tidak memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa guna usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi.
28
D. Contoh Perhitungan Leasing dari sisi Akuntansi dan Perpajakan Contoh kasus : Pada tanggal 31 Maret 2000 PT. Sentosa Abadi yang berusaha dalam bidang persewaan angkutan darat (sudah dikukuhkan sebagai PKP), memperoleh 20 (dua puluh) kendaraan dengan cara Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi, rincian syarat sebuah kendaraan: a. Harga on the road
Rp. 170.000.000,-
PPN sebesar 10% langsung dibayar ke supplier oleh PT. Sentosa Abadi. b. Uang muka
Rp.
40.000.000,-
d. Nilai residu
Rp.
10.000.000,-
e. Hak Opsi
Rp.
10.000.000,-
c. Masa Sewa Guna Usaha 2 (dua) tahun
f. Sisa pokok pinjaman sebesar Rp 120.000.000,- dibayar 8 (delapan) kali angsuran per triwulan sebesar Rp 18.800.000,- pembayaran pertama jatuh tempo 30 Juni 2000, tingkat bunga per triwulan 5,25%. g. Akuntansi: Taksiran umur 4 tahun, diamortisasi dengan metode garis lurus. Fiskal: Kendaraan yang digunakan untuk angkutan umum termasuk kelompok I. h. Pada tanggal jatuh tempo, PT. Sentosa Abadi menggunakan hak opsi. Sisa umur komersial 3 tahun, penyusutan Fiskal dengan metode Saldo Menurun.
29
i.
Laba Komersial sebelum penyusutan komersial dan bunga Sewa Guna Usaha. Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005
j.
Laba Laba Laba Laba Laba Laba
Rp 1.800.000.000 Rp 1.800.000.000 Rp 1.500.000.000 Rp 1.400.000.000 Rp 1.200.000.000 Rp 1.000.000.000
Koreksi Fiskal Beda Tetap Tahun
Biaya yang tidak dapat dikurangkan
Penghasilan neto yang dikenakan PPh Final
2000
Rp. 50.000.000,-
Rp. 10.000.000,-
2001
60.000.000,-
12.000.000,-
2002
70.000.000,-
15.000.000,-
2003
80.000.000,-
18.000.000,-
2004
90.000.000,-
20.000.000,-
2005
100.000.000,-
25.000.000,-
Soal: 1) Buat Tabel Pembayaran Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi, terdiri: Jumlah pembayaran, bunga, angsuran pokok, sisa pokok pinjaman. 2) Buat perbandingan pembebanan biaya secara Akuntansi dan Fiskal mulai 2000 sampai dengan 2005. 3) Hitung Penghasilan Kena Pajak (Rugi Fiskal) dan PPh Terutang dari tahun 2000 sampai 2005.
30
Jawaban Tabel 2.2 PT. Sentosa Abadi Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi 20 Kendaraan Angkutan Darat
Harga on the road
20 x Rp 170.000.000
=
Rp 3.400.000.000
Uang muka
20 x
=
Rp 800.000.000
40.000.000
Rp 2.600.000.000 Nilai Residu
20 x
10.000.000
=
Rp
Pokok Pinjaman
20 x
120.000.000
=
Rp 2.400.000.000
Jumlah Angsuran
8 x 20 x Rp 18.800.000 =
Rp 3.008.000.000
Bunga Ditangguhkan
Rp
200.000.000
608.000.000
Tabel 2.3 Tabel SGU dengan Hak Opsi No
Tanggal Pembayaran -
1.
30-06-2000
Bunga 5,25%
Jumlah Pembayaran
Angsuran Pokok
Sisa Pokok Pinjaman
-
-
-
Rp. 2.400.000.000
Rp. 376.000.000
Rp. 126.000.000
Rp. 250.000.000
Rp. 2.150.000.000
2.
30-09-2000
Rp. 376.000.000
Rp. 112.875.000
Rp. 263.125.000
Rp 1.886.875.000
3.
30-12-2000
Rp. 376.000.000
Rp. 99.060.938
Rp. 276.939.062
Rp. 1.609.935.938
Rp 1.128.000.000
Rp. 337.935.938
Rp. 790.064.062
4.
31-03-2001
Rp. 376.000.000
Rp. 84.521.637
Rp. 291.478.363
Rp. 1.318.457.575
5.
30-06-2000
Rp. 376.000.000
Rp. 69.219.023
Rp. 306.780.977
Rp. 1.011.676.598
6.
30-09-2001
Rp. 376.000.000
Rp. 53.113.021
Rp. 322.886.979
Rp. 688.789.619
7.
30-12-2001
Rp. 376.000.000
Rp. 34.439.481
Rp. 341.560.519
Rp. 347.229.100
Rp. 1.504.000.000
Rp. 241.293.162
Rp. 1.262.706.838
Rp. 376.000.000
Rp. 28.770.900
Rp. 347.229.100
Rp. 3.008.000.000
Rp. 608.000.000
Rp. 2.400.000.000
8.
31-03-2002
0
31
Pembayaran 2000 = Rp.
800.000.000,- + Rp. 1.128.000.000,-
= Rp. 1.928.000.000,Akuntansi : Kendaraan SGU
Rp. 3.400.000.000,-
Taksiran Nilai Residu
Rp.
Jumlah yang Diamortisasi
Rp . 3.200.000.000,-
Taksiran Umur
200.000.000,4 tahun
Amortisasi per Tahun
Rp.
800.000.000,-
30-06-2000 Kendaraan SGU (20 Unit)
Rp. 3.400.000.000,-
Penyusutan kendaraan SGU: 2000 =
Rp. 600.000.000
2001 =
Rp. 800.000.000
2002 =
Rp. 200.000.000
Rp. 1.600.000.000,-
Harga Perolehan Kendaraan
Rp. 1.800.000.000,-
1 April 2002, H.P Kendaraan
Rp. 1.800.000.000,-
Taksiran Umur 3 tahun Metode garis lurus Amortisasi per tahun
Rp.
600.000.000,-
2002 = 9 bulan
Rp.
450.000.000,-
2003 = 12
Rp.
600.000.000,-
2004 = 12
Rp.
600.000.000,-
2005 = 3
Rp.
150.000.000,-
Rp. 1.800.000.000,PPh : 1 April 2002 : H.P = 20 x Rp. 10.000.000,- = Rp. 200.000.000,-
32
Kelompok I, Saldo Menurun 2002 = 9/12 x 50% x Rp. 200.000.000
=
Rp. 75.000.000
2003 = 50% x Rp. 125.000.000
=
Rp. 62.500.000
2004 = 50% x Rp. 62.500.000
=
Rp. 31.250.000
2005 = Sekaligus
=
Rp. 31.250.000
Tabel 2.4 Perbandingan Akuntansi dan PPh Tahun
Keterangan
Akuntansi
Koreksi Fiskal Pos (Neg)
2000
Amortisasi
600.000.000,-
600.000.000
Bunga SGU
337.935.938,-
337.935.938,-
Pembayaran SGU
2001
(1.928.000.000)
1.928.000.000
937.935.938,-
( 990.064.062 )
1.928.000.000
Amortisasi
800.000.000,-
800.000.000,-
Bunga SGU
241.293.162,-
241.293.162,-
Pembayaran SGU
2002
PPh
(1.504.000.000)
1.504.000.000
1.041.293.162,-
( 462.706.838 )
1.504.000.000
Amortisasi
200.000.000,-
200.000.000,-
Bunga SGU
28.770.900,-
Pembayaran SGU
TOTAL
28.770.900,( 376.000.000 )
376.000.000
228.770.900,-
( 147.229.100 )
376.000.000
2.208.000.000,-
(1.600.000.000)
3.808.000.000
HAK OPSI
-
Penyusutan
450.000.000,-
375.000.000
75.000.000
2003
600.000.000,-
537.500.000
62.500.000
2004
600.000.000,-
568.750.000
31.250.000
2005
150.000.000,-
118.750.000
31.250.000
1.600.000.000
200.000.000
2002
1.800.000.000,-
33
4.008.000.000,-
GRAND TOTAL
0
4.008.000.000
BEDA WAKTU 2002
678.770.900,-
227.770.900
Jurnal Kontrak Perjanjian SGU dengan Hak Opsi : 31 Maret 2000 : Kendaraan SGU
Rp. 3.400.000.000
Bunga SGU yang ditangguhkan
Rp.
608.000.000
Kas/Bank
Rp. 800.000.000
Utang SGU
Rp. 3.008.000.000
Utang Hak Opsi
Rp.
200.000.000
Pembayaran Angsuran: Utang SGU
Rp. 376.000.000
Kas/Bank
Rp. 376.000.000
Jurnal Adjustment 31 Des 2000: Penyusutan kendaraan SGU
Rp. 600.000.000
Ak. Penyusutan kendaraan SGU
Rp. 600.000.000
451.000.000
34
Bunga SGU
Rp. 337.935.938
Bunga SGU yang ditangguhkan
Rp. 337.935.938
31 Des 2001, 31 Maret 2002 = sama dengan di atas. Jurnal untuk Hak Opsi : Kendaraan
Rp. 1.800.000.000
Ak. Penyusutan kendaraan SGU
Rp. 1.600.000.000
Kendaraan SGU Utang Hak Opsi Kas/Bank
Rp. 3.400.000.000 Rp. 200.000.000 Rp. 200.000.000