BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pembangunan Agroindustri Tujuan pembangunan agroindustri tidak dapat dilepaskan dari peran agroindustri itu sendiri (Yusdja & Iqbal, 2002 dalam Supriyati et al., 2006).
Peranan
agroindustri bagi Indonesia antara lain : 1. Menciptakan nilai tambah hasil pertanian di dalam negeri. 2. Menciptakan lapangan pekerjaan, khususnya dapat menarik tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor agroindustri 3. Meningkatkan penerimaan devisa melalui peningkatan ekspor. 4. Menarik pembangunan sektor pertanian (Simatupang &Purwanto, 1990 dalam Supriyati et al., 2006) Peran agroindustri periode 1995-2000 dalam penciptaan PDB cenderung meningkat dengan penyerapan tenaga kerja lebih besar dibanding sektor lain. Namun produktivitas pekerja lebih rendah dibanding dengan sektor lain kecuali dibanding sektor pertanian. Agroindustri juga adalah industri dengan tingkat ketergantungan impor rendah dan keterkaitan ke depan tinggi (Supriyati et al., 2006). 2.2 Industri Tepung Industri tepung adalah salah satu industri utama di Asia. Sampai tahun 2002, Asia memasok lebih dari sepertiga produksi tepung di dunia dengan nilai tidak kurang dari enam juta dollar. Secara umum komoditi tepung-tepungan dapat dibedakan berdasarkan bahan bakunya, yaitu tepung jagung, tepung ubi kayu, tepung ubi jalar dan gandum. Untuk daerah Asia selatan dan Asia Tenggara komoditi tepung utama yang dihasilkan adalah tepung dari akar tanaman seperti tepung ubikayu dan tepung ubijalar (Fuglie et al., 2006) .
10
Adapun beberapa karakteristik yang dimiliki industri ini adalah : 1. Struktur biaya produksi didominasi oleh biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja. 2. Produksi tepung didominasi oleh perusahaan skala menengah dan besar. 3. Keberadaan industri tepung-tepungan terutama yang berbahan baku akar tanaman pada umumnya berada di daerah-daerah pedesaan yang dengan produktivitas lahan rendah. Hal ini dikarenakan keberadaan tanaman sebagai bahan baku industri ini banyak ditumbuhakan pada lahan-lahan marginal di daerah pedesaan. Oleh karena itu keberadaan industri ini memperikan peluang untuk peningkatan perekonomian pedesaan miskin. (Fuglie et al., 2006) 2.3 Industri Pengolahan Tepung Tapioka A. Permintaan Tepung Tapioka Domestik Permintaan tepung tapioka di Indonesia cenderung meningkat karena peningkatan jumlah industri yang menggunakan bahan baku tepung tapioka. Diperkirakan pertumbuhan permintaan dalam negeri akan mengalami peningkatan sebesar 10% per tahun. Dan untuk pasar ekspor, tepung tapioka mempunyai peluang untuk diekspor ke beberapa negara seperti Eropa dan Asia. Namun karena permintaan dalam negeri tumbuh dengan cepat, maka untuk sementara hasil produksi tepung tapioka masih ditujukan untuk pasar domestik (SIPUK BI, 2003). Beberapa jenis industri yang menggunakan tepung tapioka dalam proses produksinya adalah industri fermentasi seperti industri pembuatan sorbitol, glukose dan alkohol, industri pembuatan penyedap rasa, industri mie instan, roti, serta biskuit, industri tekstil, industri kertas. Selama ini permintaan akan produkproduk di atas terus meningkat. Untuk mie instan mengalami pertumbuhan permintaan sebesar 12.3% pertahun. Industri roti dan biskuti tumbuh sebesar 14% pertahun. Sedangkan untuk sorbitol, glukose dan alkohol mengalami pertumbuhan permintaan sebesar 9% pertahun (Richana et al., 2002)
11
B. Proses Produksi Secara garis besar proses produksi tepung tapioka dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 2.1 Proses Pembuatan Tepung Tapioka
12
C. Pengolahan Limbah Cair Tepung Tapioka Industri tepung tapioka dalam proses produksinya menghasilkan limbah cair yang berpotensi mencemari lingkungan (Rukmana, 1997 dalam Prayati, 2006). Limbah cair tersebut mengandung bahan organik dengan nilai nilai kebutuhan oksigen kimia (COD) yang cukup tinggi. Kandungan COD untuk limbah cair tapioka berkisar antara 15.100-65.100 (Hasanudin, 1997 dalam Prayati, 2006). Penanganan limbah cair tapioka pada umumnya menggunakan IPAL berupa sistem kolam biologis, yaitu penanganan limbah dengan membuat kolam-kolam terbuka. Kolam –kolam biologis tersebut berupa kolam aerobik dan kolam anaerob yang dirangkaikan secara seri. Proses pengolahn limbah cair dilakukan dengan memanfaatkan mikroba yang tumbuh dengan sendirinya dalam kolam. Mikroba yang ada didalam kolam akan menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam limbah cair menjadi senyawa yang lebih sederhana (Rukmana, 1997 dalam Prayati, 2006).
Secara sederhana pengolahan limbah cair dengan
kolam biologis terbuka dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Limbah cair
Kolam anerobik
Kolam aerobik
Gambar 2.2 Pengolahan dengan Kolam-Kolam Biologis (Laboratory of King Mongkut University of Technology Thonbury, 2003) Pemilihan penanganan limbah dengan sistem kolam-kolam biologis dikarenakan hal-hal sebagai berikut : 1. Tersedianya areal yang dijadikan kolam instalasi pengolahan limbah yang sangat luas 2. Proses penguraian limbah yang sederhana dan tidak membutuhkan teknologi tinggi 3. Biaya operasional yang cukup rendah. (Sugiharto, 1987 dalam Prayati, 2006)
13
Namun kelemahan dari pengolahan limbah dengan sistem kolam terbuka adalah waktu yang digunakan untuk proses penguraian relatif lama sekitar 30 hari. Hal ini berdampak pada peningkatan bilangan kolam yang harus disediakan. Selain itu dari proses ini
gas hasil penguraian seperti sulfur, karbondioksida dan gas
metana akan terlepas ke udara bebas. Gas karbondioksida dan gas metana sendiri termasuk gas rumah kaca yang berpotensi meningkatkan pemanasan global (Prayati, 2006). Selain pengolahan dengan sistem kolam terbuka terdapat sistem pengolahan limbah lain yang dapat digunakan untuk mengolah limbah cair tapioka. Sistem pengolah limbah lain yang dapat digunakan adalah sistem pengolahan limbah dengan reaktor tertutup yang dilengkapi dengan penangkap gas ( Gambar 2.5). Prinsip pengolahan limbah pada sistem ini adalah penguraian bahan organik secara anaerobik dalam suatu reaktor tertutup. Pada reaktor tertutup limbah cair dialirkan
ke
dalam
reaktor
yang
mengandung
lapisan
lumpur
berisi
mikroorganisme pengurai . Produk akhir berupa gas metana dan karbon dioksida akan dikumpulkan dalam suatu penampung (Prasanna, 1996).
Gambar 2.3 Pengolahan limbah dengan sistem reaktor tertutup (Laboratory of King Mongkut University of Technology Thonbury, 2003)
14
2.4
Pembangunan Industri Ramah Lingkungan
Dalam mendukung pembangunan industri ramah lingkungan serta berkontribusi terhadap penanganan masalah pemanasan global, telah disepakati suatu kesepakatan
mengenai
mekanisme
yang
disebut
dengan
Mekanisme
Pembangunan Bersih atau CDM (Clean Development Mechanism). Kesepakatan ini berisi kewajiban dari negara industri untuk mengurangi emisi sampai pada angka tertentu ((IGES, 2005). CDM muncul dari masalah perubahan iklim yang mulai muncul sejak akhir dasawarsa 1980-an dan mendapat perhatian dari berbagai negara. Sebanyak 154 negara membentuk UNFCCC (United Nations Frame Work Convention on Climate Change) yang kemudian mendeklarasikan prinsip-prinsip pengurangan pemanasan global.
Dan hasil dari Konvensi UNFCCC menetapkan target
pengurangan emisi oleh negara-negara industri yang selanjutnya di sebut dengan Kyoto Protocol. Dalam konvensi tersebut negara-negara partisipan dibagi menjadi tiga kelompok yang mempunyai kewajiban-kewajiban berbeda (lihat tabel 2.1). Tabel 2.1 Kewajiban setiap Kelompok Partisipan Kyoto Protocol Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Adalah Negara Annex I yang merupakan negara-negara industri. Kewajibannya adalah mematuhi target emisi gas rumah kaca (GRK) dan menyampaikan laporan inventori nasional setiap tahun
Adalah negaranegara industri yang menjadi anggota OECD tahun 1992. Kewajibannya adalah memberikan bantuan finansial kepada negaranegara yang sedang berkembang
Adalah negara yang ekonominya dalam masa transisi. Tidak berkewajiban untuk mencapai target emisi GRK dan merupakan negara yang dalam usaha pengurangan emisinya harus dibantu dan diperhatikan seperti dalam penyediaan investasi, asuransi dan alih teknologi.
Sumber :Panduan CDM di Indonesia (KLH, 2005)
15
Dari Protokol Kyoto kemudian diperkenalkan suatu mekanisme untuk mencapai target pengurangan emisi dari Negara Annex I dengan tujuan untuk pengurangan biaya total atas usaha pengurangan emisi GRK. Mekanisme tersebut selanjutnya disebut CDM. CDM memungkinkan bagi para pihak untuk mengakses peluangpeluang agar memperoleh biaya murah dalam aktivitas pengurangan emisi. Hal ini muncul dari kenyataan bahwa biaya untuk membatasi emisi sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya, sementara itu pembatasan emisi terhadap atmosfer ialah sama, tanpa menghiraukan dimana aktivitas tersebut dilaksanakan. Dengan CDM mengizinkan Negara Annex I untuk melaksanakan sebuah proyek yang dapat mereduksi emisi gas GRK di Negara Non-Annex, dimana dari kegiatan tersebut Negara Annex I akan mendapat imbalan Certified Emission Reduction (CER). Mekanisme CDM secara sederhana dapat dilihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.4 Mekanisme CDM Sumber : Panduan CDM di Indonesia (KLH, 2005) Salah satu proyek
CDM potensial yang diidentifikasi oleh Kementrian
Lingkungan Hidup (KLH) untuk sektor industri adalah proyek pemanfaatan energi alternatif biogas dari limbah cair pada industri tepung tapioka. Pada kondisi saat ini industri bergantung pada bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Dari proses
16
produksinya dihasilkan limbah cair yang diolah dengan sistem pengolahan limbah berbentuk kolam terbuka yang menghasilkan gas metana (CH4) yang terlepas ke udara. Gas metan sendiri termasuk gas rumah kaca (GRK). Potensi pemanasan global I ton metana setara dengan 21 ton CO2. Dengan memanfaatkan CDM industri tepung tapioka dapat mendapatkan bantuan berupa bantuan finansial dan teknologi tepat guna untuk pengolahan limbah cair menjadi biogas. Biogas selanjutnya dapat digunakan sebagai energi alternatif bagi proses produksi industri tepung tapioka dan pembangkit tenaga listik. Adapun skema mekanisme CDM pada proyek penggunaan energi alternatif untuk industri pengolahan tepung tapioka dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.5 Skema pemanfaatan CDM pada Industri Tepung Tapioka (IGES, 2005)
17
2.5 Teori Ekonomi 2.5.1
Teori Permintaan dan Penawaran
Konsep tentang
permintaan dan penawaran adalah bagian-bagian terpenting
dalam kerangka ilmu ekonomi. Fungsi penawaran dan permintaan adalah fungsi yang menghubungkan jumlah barang/jasa (Q) dengan harganya (P) (lihat gambar 2.6). Permintaan (D) dapat dirumuskan sebagai fungsi yang menghubungkan harga dengan jumlah barang/jasa yang diminta oleh pembeli. Sedangkan penawaran (S) adalah fungsi yang menghubungkan
harga dengan jumlah
barang/jasa yang dijual (Johanes & Budiono, 1991).
Gambar 2.6 Hukum Permintaan- Penawaran (Johanes & Budiono, 1991) Liku penawaran (S) dan permintaan (P) dari suatu barang menunjukkan keinginan konsumen (pembeli) dan penjual dalam bertransaksi. Pertemuan antara kedua liku akan menentukan tingkat harga keseimbangan (P1) dan jumlah barang yang ditransaksikan (Q1). 2.5.2
Elastisitas Permintaan Terhadap Harga
Elatisitas permintaan (E) terhadap harga didefinisikan sebagai tingkat perubahan permintaan apabila harga berubah sebesar satu satuan. Elastisitas pada dasarnya ditentukan dengan menggunakan formula : E=
dy / y dy x = * dx / x dx y
E = elastisitas x = kuantitas dari harga y = kuantitas dari permintaan
18
Untuk fungsi permintaan yang berbentuk linear sebagai berikut :
y = bo + b1x Maka koefisien b1 merupakan hasil diferensiasi order pertama dari y terhadap x, atau dapat ditulis sebagai berikut :
b1 =
dy dx
Mengingat bahwa pada umumnya elastisitas tidak bersifat konstan tetapi berubah bila diukur pada titik yang berbeda sepanjang garis regresi, maka elastisitas biasanya diduga pada titik nilai rata-rata dari variabel bebas sebagai berikut : Elastisitas rata-rata
:
E = b1 *
x y
(Gaspersz, 1991). 2.5.3
Pembentukan Harga
Dalam beberapa model ekonomi, harga yang terbentuk di formulasikan sebagai harga pada kondisi kesetimbangan dari fungsi penawaran dan permintaan. Dalam sistem nyata, harga pada kondisi kesetimbangan dari penawaran dan permintaan adalah sesuatu yang tidak jelas. Oleh karena itu, dalam proses pembentukan harga aktual akan dipengaruhi oleh ekspektasi produsen
terhadap harga produk.
Ekspektasi harga produsen adalah harga yang dibentuk oleh produsen dengan memperhatikan biaya produksi dan waktu cakupan persediaan produk jadi di pasaran. Ekspektasi harga produsen sendiri akan mengalami perubahan karena adanya perbedaan antara indikasi harga produk di pasara dengan ekspektasi harga sebelumnya. Indikasi harga di pasaran adalah nilai maksimum dari harga minimum dengan harga produk di pasaran. Harga minimum sendiri adalah harga berdasarkan nilai dari biaya produksi (Sterman, 2000). Biaya produksi yang terbentuk selanjutnya akan mempengaruhi ekspektasi biaya produksi dari produsen. Perbandingan antara ekspektasi biaya produksi dengan ekspektasi harga produsen dengan memperhatikan sensitifitas harga terhadap biaya produksi merupakan pengaruh biaya produksi terhadap harga jual produk.
19
Makin besar nilai perbandingan dan sensitifitas harga maka makin besar pengaruh biaya produksi terhadap harga produk yang terbentuk (Sterman, 2000). 2.6
Tarif Bea Masuk
Tarif Bea Masuk Indonesia (TBMI) adalah suatu pembebanan terhadap barang impor berdasarkan klasifikasi barang yang disusun oleh Internasional Conventional on The Harmonized Comodity Description and Coding Sytem atau yang disebut Harmonized System (HS) (Ditjen Pajak, 2008). Harmonized System adalah standar internasional berkaitan dengan penamaan dan pengkodean suatu komoditi. Penggunaan HS berkaitan dengan
penentuan tarif bea masuk,
penghitungan statistik perdagangan luar negeri (ekspor dan impor) pada suatu negara, negosiasi perdagangan antarnegara, dan penentuan kebijakan perdagangan luar negeri seperti pembatasan impor (anonim, 2006). Pengenaan tarif pada suatu komoditi akan berpengaruh pada pembentukan harga komoditi. Secara umum pengenaan tarif bertujuan untuk : •
Memberikan perlindungan terhadap produsen dalam negeri
•
Mengendalikan konsumsi terhadap komoditi tertentu
•
Instrumen perdagangan internasional
•
Penerimaan negara.
(Ditjen Bea Cukai, 2008) Dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tanggal 2 November 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization, Indonesia secara resmi menjadi anggota World Trade Organization (WTO). Salah satu ketentuan WTO yang harus ditaati oleh setiap negara adalah tidak diperkenankannya negara anggota memiliki peraturan yang menghambat akses pasar dalam perdagangan internasional.
Hal tersebut dituangkan dalam Prinsip
Pengikatan Tarif. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap anggota WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea masuknya atau tarifnya harus diikat. Pengikatan tarif dimaksudkan untuk menciptakan “prediktabilitas” dalam urusan perdagangan internasional. Arti dari pengikatan tarif adalah tidak diperkenannnya
20
suatu negara berlaku sewenang-wenang dalam merubah atau menaikkkan tarif bea masuk. Namun dalam WTO juga termuat prinsip perlakukan khusus dan berbeda bagi negara berkembang.
WTO memperbolehkan anggotanya untuk membentuk
kerjasama perdagangan regional, bilateral dan custom union, asalkan komitmen setiap anggota yang bergabung dalam kerjasama tersebut tidak berubah sehingga merugikan negara anggota WTO yang lain yang tidak termasuk dalam kerjasama tersebut. Namun khusus untuk produk pertanian dan turunannya pengenaan tarif masih merupakan hal yang sensitif. Hal ini ditandai dengan terjadinya deadlock pada saat pembahasan tarif untuk produk pertanian pada konferensi tingkat menteri antar anggota WTO di Hongkong. Negara-negara maju seperti Jepang, Korea dan Eropa tetap berusaha melindungi sistem pertanian di negara masing-masing dengan berbagai alasan, seperti alasan ketahanan pangan, keamanan dan kualitas pangan, dan rurality problem (Pasadilla, 2006). 2.7
Sistem
2.7.1
Definisi Sistem
Terdapat beberapa definisi dan konsep mengenai sistem, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut : -
Sistem adalah sekumpulan entiti (orang atau barang) yang berhubungan satu sama lain menurut suatu cara tertentu dan diorganisasikan untuk suatu tujuan tertentu (Daellenbach,1995)
-
Sistem merupakan sekumpulan entiti yang bertindak dan berinteraksi bersama-sama
untuk
memenuhi
tujuan
akhir
yang
logis
(Law & Kelton, 2000).
21
Dari definisi-definisi di atas dapat dinyatakan karakteristik sistem adalah sebagai berikut : 1. Adanya komponen-komponen yang saling berinteraksi satu sama lain 2. Mempunyai tujuan tertentu yang mendasari keberadaan sistem tersebut 3. Terdapat proses transformasi input menjadi output 4. Adanya mekanisme yang mengendalikan pengoperasian terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan sistem. 5. Mempunyai lingkungan dan batas lingkungan (boundary system). 2.7.2
Berpikir Secara Sistem
Berpikir secara sistem adalah cara berpikir dimana sesuatu dipandang sebagai sebuah sistem, yaitu keseluruhan interaksi antarunsur dari sebuah objek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Sistem bekerja karena adanya struktur hubungan antar unsur di dalamnya. Kinerja sebuah sistem bukanlah merupakan penjumlahan unsur-unsurnya. tetapi merupakan properti tersendiri yang terbentuk dari interaksi antar unsur-unsurnya. Dalam Checkland (1981) disebutkan bahwa terdapat dua fondasi dalam berpikir secara sistem, yaitu Emergence & Hierarchy serta Comunication & Control.
Hierarchy adalah
tingkatan dalam sistem. Suatu tingkatan akan lebih komplek di banding tingkatan di bawahnya. Setiap tingkatan akan memiliki emergence properties yang tidak dimiliki pada tingkat di bawahnya. Sedangkan konsep dari comunication & control adalah penggunaan informasi dalam sistem berkaitan dengan pencapaian tujuan dari sistem dan pengaturan keseimbangan antara sistem dengan lingkungannya 2.7.3
Cara Mempelajari Sistem
Suatu sistem dipelajari karena adaanya kebutuhan untuk mengkaji hubungan antar berbagai komponen atau memprediksi kinerja dari sistem tersebut pada berbagai kondisi berbeda. Adapun cara mempelajari sistem dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
22
System
Eksperimen dengan sistem aktual
Eksperimen dengan model dari sistem
Model fisik
Model Matematik
Solusi Analitis
Simulasi
Gambar 2.7 Cara Mempelajari Sistem (Law & Kelton, 2000) Cara mempelajari suatu sistem dengan melakukan eksperimen pada sistem aktual. Jika dimungkinkan dari segi biaya maupun teknis lain, maka cara ini adalah cara terbaik. Namun dalam kenyataannya jarang sekali terjadi hingga digunakan model untuk menggantikan sistem tersebut. Model merupakan simplifikasi dari suatu sistem yang digunakan untuk pengganti suatu objek. Model dibuat sebagai alat bantu untuk mempelajari dan meningkatkan pemahaman terhadap suatu sistem. Model dibedakan menjadi 2 bagian yaitu model fisik dan model matematis. Terkadang model fisik cukup berguna dalam mempelajari suatu sistem rekayasa atau sistem manajemen, namun yang lebih banyak dipakai adalah model matematis. Model ini dibangun dalam bentuk relasi logis dan kuantitatif yang kemudian dimanipulasi atau diubah untuk mengetahui reaksi yang ditimbulkan oleh model tersebut. Dari model matematis yang dibangun harus diuji untuk mengetahui apakah model tersebut mampu digunakan untuk menjawab pertanyaan atas sistem yang direpresentasikan. Jika model yang dibangun sederhana dimungkinkan untuk menggunakan hubungan-hubungan atau besaran besaran yang ada dalam model tersebut untuk mendapatkan solusi analitis. Namun jika sistem memiliki kompleksitas yang tinggi maka solusi analitis sulit didapatkan. Pada kasus-kasus seperti ini model dipelajari dengan cara simulasi.
23
2.7.4
Simulasi Sistem Dinamis
A. Dasar Simulasi Sistem Dinamis
Metode simulasi sistem dinamis diperkenalkan oleh Jay W. Forrester dengan penerbitan buku pertama didunia berjudul Industrial Dynamics pada tahun 1961. Dalam buku ini beliau mendefinisikan Industrial Dynamics sebagai berikut : “ Industrial Dynamics adalah penelitian tentang karakter informasi umpan balik pada sistem industri dan menggunakan model untuk merancang bentuk organisasi yang lebih baik dan penentuan kebijakan”. Metode simulasi sistem dinamis dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin, yaitu manajemen tradisional, teori umpan balik atau cybernetics dan simulasi komputer. Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ilmu ini dipadukan untuk membentuk sebuah metodologi untuk memecahkan permasalahan secara holistik, menghilangkan kelemahan dari masing-masing disiplin dan menggunakan kekuatan dari msing-masing disiplin untuk membentuk sinergi (Sushil, 1993). Dasar dari metodologi sistem dinamis dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 2.8 Dasar Metodologi Sistem Dinamik (Sushil, 1993) •
Manajemen Tradisional
Manajemen tradisional adalah manajemen yang umum dipakai dalam dunia nyata oleh para praktisi manajerial. Dasar utama dari manajemen tradisional adalah model mental yang terbentuk dari akumulasi pengetahuan dan pengalaman manajer. •
Cybernetics
Cybernetic adalah ilmu mengenai komunikasi dan kontrol yang didasari oleh teori umpan balik. Kekayaan informasi yang terakumulasi dalam model mental tidak
24
dapat digunakan secara efektif tanpa adanya suatu prinsip dalam pemilihan informasi yang relevan dan strukturisasi informasi. Dengan cybernetics manajer dapat menyaring informasi yang ada sesuai dengan permasalahan yang dihadapi, kemudian menghubungkan elemen-elemen informasi tersebut untuk menemukan hubungan sebab akibat yang ada serta membangun struktur umpan balik sistem. •
Simulasi Komputer
Penggunaan komputer dalam simulasi mampu mengatasi kelemahan pemikiran manusia terutama berkaitan dengan keterbatasan dalam menganalisa hubungan sebab akibat untuk orde yang tinggi serta kemampuan komputasi dengan jumlah besar. C. Perilaku Sistem Dinamis
1. Exponential growth Perilaku yang timbul dari umpan balik positif (self-reinforcing feedback). Pada perilaku exponential growth, kuantitas yang lebih besar (kecil) akan mengakibatkan perubahan yang besar (kecil) pula. 2. Goal Seeking Perilaku yang timbul karena adanya umpan balik negatif (self-controlling feedback). Perilaku ini menggambarkan suatu sistem yang berusaha mencapai kondisi keseimbangan. 3. Oscillation Perilaku yang muncul
dari feedback negatif dengan time delay yang
signifikan. Selama time delay, dalam mengidentifikasi efek dari aksi yang diambil, tindakan koreksi terus dilakukan untuk mengembalikan sistem ke kondisi equilibrium atau goal yang diinginkan dari sistem, bahkan setelah dicapainya kondisi equilibriu. (Sterman, 2000). D. Pemodelan dalam sistem dinamis
Proses pemodelan dari suatu sistem adalah proses kreatif. Tidak terdapat prosedur baku dalam proses pemodelan. Proses pemodelan adalah proses yang iteratif. . Adapun beberap tahap-tahap pemodelan yang dapat digunakan dalam pemodelan sistem dinamis dalam Sterman (2000) adalah sebagai berikut :
25
1.
Pendefinisian Masalah
Tahap awal dari pemodelan sistem dinamis adalah pendefinisian masalah. Pada tahap ditentukan dengan jelas tujuan pembuatan model. Model dibuat untuk masalah yang ada pada sistem bukan dibuat untuk keseluruhan sistem. Beberapa hal yang harus dapat diterangkan pada tahap ini adalah : •
Pemilihan tema : apa masalahnya dan mengapa hal tersebut menjadi masalah?.
•
Variabel kunci: apa saja variabel dan konsep kunci yang dijadikan pertimbangan?.
•
Horizon waktu : seberapa jauh waktu yang sebaiknya dipertimbangkan baik historis maupun masa depan ?.
•
Definisi masalah secara dinamis : bagaiman perilaku dari variabelvariabel kunci di masa lalu dan perkiraan perilakunya di masa depan ?.
2.
Memformulasikan Dynamic Hypothesis
Setelah masalah diidentifikasi dan didefinisikan dalam horizon waktu tertentu, langkah selanjutnya adalah membangun teori
yang disebut
dynamic hypothesis. Dynamic hypothesis adalah teori yang digunakan untuk membantu menjelaskan perilaku masalah.
Dynamic hypothesis harus
mampu menjelaskan bahwa dinamika yang terjadi pada sistem muncul dari feed back serta struktur stock & flow dari sistem. Untuk membangun struktur dari sistem, pendekatan sistem dinamis menyertakan beberapa
perangkat yang dapat digunakan untuk proses
tersebut. Perangkat-perangkat yang dimaksud adalah : •
Model Boundary Chart Model Boundary Chart berfungsi merangkum lingkup permasalah dengan menguraikan variabel mana yang akan disertakan sebagai variabel endogen atau endogen sert variabel yang tidak diikutsertakan dalam model. Dengan penguraian variabel akan membantu pemahaman kita mengenai batasan dan asumsi dari model yang dibangun.
26
•
Diagram Subsistem Sub sistem diagram menunjukkan arsitektur dari model secara keseluruhan.
Sub sistem diagram menginformasikan batasan dan
tingkatan agresai dari model dengan menunjukkan jenis dan jumlah organisasi berbeda yang digambarkan. •
Diagram Sebab Akibat Diagram sebab akibat adalah perangkat untuk menggambarkan struktur feedback dalam sistem. Pada dasarnya diagram sebab akibat adalah peta yang menunjukkan hubungan sebab akibat diantara variabel. Hubungan sebab dan akibat ditandai oleh notasi “+” (positif) atau “-“ (negatif) pada ujung panah diagram sebab akibat. Aturan untuk menentukan notasi dalam diagram sebab akibat adalah sebagai berikut (Sushil, 1993) : -
Tanpa memperhatikan variabel-variabel lainnya, jika perubahan pada suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya dengan arah perubahan yang sama, maka hubungan antar variabel ini dinyatakan dengan tanda “+” (positif).
-
Tanpa memperhatikan variabel-variabel lainnya, jika perubahan pada suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya dengan arah perubahan yang beda, maka hubungan antar variabel ini dinyatakan dengan tanda “-” (negatif).
Jika beberapa hubungan kausal digabungkan dan didapatkan suatu alur yang berawal dan berakhir pada variabel yang sama, maka dapat diindentifikasi sebuah loop umpan balik sebab akibat. Loop ini akan memiliki polaritas yang ditentukan oleh hubungan-hubungan sebab akibat didalamnya. Polaritas akan mendiskripsikan struktur sistem dan bukan perilaku masing-masing
variabel yang terlibat. Loop akan memiliki
polaritas positif jika jumlah hubungan sebab akibat dengan tanda negatif dalam loop tersebut adalah nol atau genap atau disebut Reinforcing loop. Sebaliknya jika jumlah hubungan sebab akibat dengan tanda negatif adalah ganjil maka polaritas loop adalah negatif atau disebut Balancing loop.
27
Contoh diagram sebab akibat dengan loop yang terbentuk dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.9 Contoh Diagram Sebab Akibat (Sterman, 2000) •
Diagram Stock and Flow Diagram stock & flow digunakan untuk merepresentasikan struktur secara detil sehingga siap dikembangkan ke dalam formulasi matematis model untuk disimulasikan. Diagram ini memiliki tingkat ketelitian yang paling tinggi. Pada diagram ini sudah dapat dibedakan antara sub sistem fisik dan subsistem informasi dan mengklasifikasikan variabel dan fungsi kedalam jenisnya masing-masing. Secara lengkap kelebihan-kelebihan dari diagram ini adalah: •
mampu menbedakan antara sub sistem fisik dan sub sistem informasi
•
mampu membedakan setiap jenis variabel yang digunakan yaitu level, rate atau auxiliary dengan symbol yang berbeda
•
memiliki hubungan satu sama lain dalam bentuk persamaan matematis
•
mampu mengindikasikan delay dalam sistem
•
menunjukkan dengan jelas jenis fungsi-fungsi khusus yang dipakai dalam persamaan matematis
(Sushil, 1993)
28
Adapun beberapa simbol-simbol yang digunakan dapat dilihat pada gambar di bawah ini .
Gambar 2.10 Contoh Simbol Variabel dalam Diagram Stock & Flow (Powesim 2.51) Adapun untuk variabel yang digunakan dalam model dinamika sistem dapat dibedakan menjadi tiga jenis, level, rate dan auxiliary. Level dan rate adalah variabel sentral dalam sistem dinamis, dan auxiliary adalah variabel pelengkap. Selain itu terdapat variabel yang disebut variabel eksogen yang merupakan variabel yang dibentuk di luar sistem tetapi berfungsi memberi input pada sistem. Terdapat pula parameter konstanta yang merupakan input informasi sistem terhadap rate dan auxiliary dengan nilai konstan sepanjang periode waktu simulasi. Penjelasan untuk setiap variabel adalah sebagai berikut : a.
Variabel Level
Variabel level merepresentasikan akumulasi aliran-aliran yang terdapat di dalam sistem dari waktu ke waktu. Aliran yang masuk ke variabel level dapat berupa aliran fisik atau aliran informasi. Variabel level menyatakan kondisi dari sistem yang menyediakan informasi bagi pengambil keputusan untuk melakukan suatu tindakan. Variabel ini hanya dapat berubah karena variabel rate dan merupakan akumulasi dari aliran masuk (inflow) dikurangi aliran keluar (outflow). b.
Variabel Rate
Variabel rate adalah variabel keputusan yang ditentukan oleh suatu struktur
kebijakan
tertentu.
Keputusan
yang
dilakukan
akan
29
mempengaruhi besarnya level
karena variabel rate merupakan satu
satunya variabel yang dapat mengubah level. Rate tidak dapat diukur secara langsung pada suatu titik waktu tertentu, melainkan diukur pada selang waktu tertentu. Variabel ini dapat dinyatakan secara endogen melalui variabel level yang ada, atau secara eksogen melalui masukan dari luar sistem berupa konstanta atau fungsi. c.
Variabel Auxiliary
Variabel yang digunakan untuk menjabarkan lebih lanjut elemen-elemen yang mempengaruhi suatu struktur kebijakan yang tercermin pada variabel rate. (Sushil, 1993) 3.
Formulasi dari Model Simulasi
Saat hipotesis dinamis,
batasan model dan
model konseptual telah
terbentuk maka model tersebut harus diuji. Pengujian bisa dilakukan langsung melalui percobaan pada sistem nyatanya. Tapi seringkali model konseptual terlalu rumit sehingga perilakunya tidak jelas. Selain itu pengujian pada sistem nyata biasanya tidak mungkin dilakukan karena resikonya tinggi. Oleh karena itu biasanya pengujian dilakukan dengan melalui simulasi. Untuk melakukanya model konseptual harus diubah menjadi model formal lengkap dengan persamaan , parameter dan kondisi inisalnya. 4.
Ujicoba
Pada tahap ini akan dilakukan ujicoba untuk melihat validasi
model
merepresentasikan sistem nyata. Proses validasi pada model sistem dinamis pada dasarnya terbagai dua, yaitu validitas sturktur dan validitas perilaku. •
Validasi sturktur Validasi struktur dilakukan untuk mengukur obyektivitas dari model. Hal ini sangat tergantung pada kemampuan pemodel untuk mempersepsikan dengan teliti gejala-gejala permasalahan dan mengkaitkannya dengan sebab musabab permasalahan. Validasi
30
stuktur dilakukan dengan melakukan uji verifikasi struktur dan uji konsistensi dimensi. •
Validasi perilaku Validasi perilaku dilakukan untuk menilai kecukupan
struktur
model melalui validasi perilaku yang dihasilkan oleh struktur model. Uji ini dilakukan dengan uji reproduksi perilaku dan uji prediksi perilaku 5.
Skenario dan Evaluasi Kebijakan
Saat model sudah terbentuk, maka hal yang selanjutnya adalah menyusun skenario
dan mengevaluasi kebijakan untuk memecahkan masalah.
Kebijakan yang diterapkan tidak terbatas pada pengubahan nilai parameter, tapi terkait kreativitas dalam mengubah struktur dari model atau aturanaturan keputusan baru dalam memecahkan masalah.
31