BAB II LANDASAN TEORI
A. Kehidupan Keberagamaan Keluarga 1. Pengertian Keberagamaan dan Keluarga a. Pengertian Keberagamaan Kata keberagamaan adalah berasal dari kata beragama, mendapat awalan “ke” dan akhiran “an”. Kata beragama sendiri memeiliki
arti
“memeluk
(menjalankan)
agama”.
Menurut
Poerwadarminta, agama adalah “segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa serta sebagainya) serta ajaran kebaktian dan kewajibankewajiban yang bertalian (berhubungan) dengan kepercayaan itu1. Pengertian ini adalah pengertian agama dalam arti umum, yaitu untuk semua jenis agama. Selanjutnya, imbuhan “ke” dan “an” pada kata “beragama”, menjadikan kata “keberagamaan” mempunyai arti, cara atau
sikap
seseorang
dalam
memeluk
atau
menjalankan
(melaksanakan) ajaran agama yang dipeluk atau dianutnya.2 Dalam pembahasan ini, istilah agama dimaksudkan sebagai Agama Islam, atau “dinullah” atau “dinul haq”, yaitu agama yang datang dari Allah atau agama yang haq. b. Beragama Dalam Berbagai Dimensi Pemahaman Beragama pada era dewasa ini memiliki tantangan tersendiri, karena
selain
dihadapkan
pada
makin
banyaknya
perspektif
pemahaman yang berbeda dalam lingkup agama tertentu di satu sisi, di sisi lain umat beragama juga dihadapkan pada realitas beragama di tengah agama orang lain. Budhi Munawar Rachman memberikan deskripsi menarik tentang hal ini dengan mengatakan:
1
Purwodarminto, Kamus umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1978), hlm.
2
Ibid, hlm. 20.
19
15
16
“Tantangan paling besar dalam kehidupan beragama sekarang ini adalah: bagaimana seseorang beragama bisa mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain. Atau dalam istilah yang lebih teknis “Berteologi dalam konsteks agama-agama”, dalam pergaulan antar agama, semakin hari kita semakin merasakan intensnya pertemuan agama-agama itu. Pada tingkat pribadi sebenarnya hubungan antar tokoh agama di Indonesia kita melihat suasana yang semakin akrab, tetapi pada tingkat teologis yang merupakan dasar dari agama itu muncul kebingungan-kebingungan khususnya yang menyangkut bagaimana kita harus mendefinisikan diri di tengah agama-agama lain yang juga eksis dan punya keabsahan.”.3
Dari realitas yang semakin mengglobal tentang agama dan beragama yang berpadu dengan cepatnya ilmu pengetahuan dalam berbagai perspektif yang multidimensional mengakibatkan semakin beragamnya pemahaman beragama yang semakin lama semakin dinamis. Hal ini tidak bisa terelakkan dikarenakan beragama bukanlah merupakan sikap yang pasif, tetapi akhir-akhir ini beragama lebih dipahami sebagai sikap dialogis intelektual yang proporsional antara manusia, realitas dan Tuhan. Dalam perspektif inilah beragama semakin menemukan momentum untuk bergerak dinamis dan berakselerasi dengan tantangan realitas ruang dan waktu. Nurcholish Madjid, memberikan alternatif pemahaman tentang beragamnya pola keberagamaan dewasa ini dalam tiga kelompok besar yaitu beragama secara eksklusif, beragama secara insklusif dan beragama secara pluralis. Ketiga pola ini merupakan pengelompokkan pola keberagamaan yang relatif bisa diterima. Beragama secara eksklusif adalah beragama yang secara umum beranggapan bahwa agamanyalah yang paling benar dan hanya agamanyalah yang mampu memberikan penyelamatan di akherat nanti. Beragama menganut pola ini sering diidentikkan dengan fundamentalisme yang dalam perjalanannya memang memiliki perspektif dan pola yang hampir sama, sedangkan beragama secara inklusif dan pluralis adalah
3
Budhi Munawar Rachman, “Beragama di Tengah Agama Orang Lain”, artikel dimuat dalam Majalah IDEA Edisi 09/VI/1997, hlm. 32
17
beragama yang lebih terbuka dan mengakui serta memahami eksistensi keanekaragaman teologis.
Untuk lebih jelasnya berikut kutipan
pemahaman Nurcholish Madjid tentang berbagai pola beragamaan tersebut: “Paling tidak dewasa ini para ahli memetakkan dalam tiga sikap dialog. Pertama, sikap yang eksklusif dalam melihat agama lain (agama lain adalah jalan yang salah dan menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua sikap inklusif (agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita) dan ketiga, sikap pluralis yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan misalnya: “Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama”, “Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran”.4
Ketiga pola pemahaman ini tidak monopoli agama tertentu, tetapi berlaku secara umum. Dalam Islampun ketiga pola beragama ini berkembang secara intensif. Untuk lebih memperjelas pemahaman kita tentang keanekaragaman beragama dalam Islam, berikut akan dikaji tentang Islam eksklusif, Islam inklusif dan Islam pluralis. 1. Beragama secara Eksklusif Beragama secara eksklusif merupakan sikap beragama yang lebih didominasi oleh pembacaan tekstual terhadap literatur Islam. Ekslusifisme biasanya dipahami sebagai respon tradisional sebuah agama terhadap hubungannya dengan agama-agama lain yang memandang agama lain dengan kacamata agama sendiri yang didukung oleh penafsiran yang sempit atas doktrin-doktrin keagamaan yang tertulis dalam teks suci. Sikap ini pada umumnya dipegang teguh oleh kaum fundamentalis yaitu kelompok yang menyakini pandangan yang ditegakkan atas keyakinan agama sesuai dengan makna harfiah dari teks suci agama.
4
Nurcholis Madjid, “Dialog Diantara Ahli Kitab: Sebuah Pengantar”, kata pengantar untuk George B. Grose and Benjamin J. Hubbard (editor)., Tiga Agama Satu Tuhan: Sebuah Dialog, terj. Santi Inra Anstuti, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. XIX
18
Sikap kaum fundamentalis5 biasanya mengkonotasikan sikap absolutisme, fanatisme, dan agresifisme. Setidaknya ada tiga unsur yang terdapat dalam sikap kaum fundamentalis yang biasanya juga adalah kelompok eksklusif. Pertama, adanya statisme yang menentang penyesuaian dan kejumudan yang menetang setiap perkembangan atau perubahan, kedua; adalah konsep-konsep kembali ke masa lalu, keterikatan kepada warisan dan tradisi secara eksesif dan ketiga; adalah sikap tidak memiliki toleransi, tertutup, menganut kekerasan dalam bermadzhab, beragama dan oposisionalisme. Fundamentalisme dalam beragama yang akhir-akhir ini sedang menjadi trend karena isu-isu terorisme, sebenarnya memiliki akar sejarah yang sangat panjang, Menurut Trisno Susanto,6 historisitas fundamentalisme justru muncul pertama kali pada kelompok Kristen awal yang ditandai dengan serangkaian penerbitan antara tahun 1909 sampai tahun 1919.
“Saya kira memang satu yang tidak dipungkiri bahwa fundamentalisme menjadi semacam momok untuk setiap orang setelah serangan terhadap WTC. Tetapi sesungguhnya kalau kita kembali ke istilahnya yang paling awal istilah ini berkembang justru di kalangan Kristen awal mulanya. Fundamentalisme itu kata yang kemudian dipakai untuk menyebut serangkaian penerbitan pada awal abad ke-20. Antara 1909 hingga sekitar 1919 ada terbitan brosur yang bernama The Fundamentals Testimony of Truth, itu istilah yang dipakai. Kelompok yang menerbitkan ini rata-rata para tokoh Kristen terutama kalangan Evangelical dan Protestan konservatif yang berkumpul di sekolah teologi yang dinamakan Princetown Theological Seminary di 5 Berbicara tentang fundamentalisme batasan yang tepat mengenai gerakan ini merupakan keniscayaan yang pertama kali harus diangkat, tanpa perangkat konsep akurat kita mudah terperangkap pada dua sikap yang sama-sama kurang bijak, pertama; apriori dengan menganggap semua kekerasan dilakukan kaum fundamentalis atau sikap kedua yaitu membela kaum fundamentalis dengan keyakinan mereka tidak pernah melakukan tindak kekerasan atau dan menyakini, bahwa dalam agama tertentu Islam, misalnya tidak ada gerakan fundamentalis. Lebih lanjut lihat Abd A’la, “Fundamentalisme, Kekerasan dan Signifikansi Dialog; Cacatan Untuk Adian Husaini”, Kompas, 5 April 2002. 6 Trisno Susanto adalah seorang aktifis masyarakat dialog antar agama (Madia, Jakarta) yang juga ahli teologi dalam agama Kristen.
19
Amerika dan istilah fundamentalis pertama dipakai menurut catatan sejarah sekitar 1920 oleh seorang Kristen Baptis bernama Sisilau. Ia menyebut kelompok yang mendukung program fundamentalisme ini sebagai orang-orang fundamentalis”.7
Fundamentalisme seperti yang dideskripsikan di atas sebenarnya bukanlah monopoli dan berlaku khusus untuk agama tertentu, tetapi berlaku secara menyeluruh pada setiap agama. Hal ini dalam agama Kristen Katolik dimonopoli oleh doktrin exstra ecclesiam nulla salus est, no salvation out side the church8 (tidak ada keselamatan di luar Gereja), klaim ini mendapat penegasan normatif dalam Yohanes 14 : 6 yang menyatakan: Jesus said: I’m the way and the truth and the life, no one cames to the father except through me” ( Kata Yesus kepadanya : “Akulah” jalan dan kebenaran dari hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku). Dalam Islam sikap eksklusif yang identik dengan deskripsi di atas dapat dijumpai dalam beberapa ayat yaitu:
(82 : ﺳﻠَﺎ ُم )اﻟﻌﻤﺮان ْ ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ا ْﻟِﺈ ِ ﻦ َ ن اﻟﺪﱢﻳ ِإ ﱠ Artinya:
"Sesungguhnya agama yang diridhoi Allah hanyalah Islam" (Qs. Ali-Imran:19)
ن ﺠ َﺪ ﱠ ِ ﺷ َﺮآُﻮا َو َﻟ َﺘ ْ ﻦ َأ َ ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا ا ْﻟ َﻴﻬُﻮ َد وَاﱠﻟﺬِﻳ َ ﻋﺪَا َو ًة ِﻟﱠﻠﺬِﻳ َ س ِ ﺷ ﱠﺪ اﻟﻨﱠﺎ َ ن َأ ﺠ َﺪ ﱠ ِ َﻟ َﺘ ن ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ﻚ ِﺑَﺄ ﱠ َ ﻦ ﻗَﺎﻟُﻮا ِإﻧﱠﺎ َﻧﺼَﺎرَى َذ ِﻟ َ ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا اﱠﻟﺬِﻳ َ َأ ْﻗ َﺮ َﺑ ُﻬ ْﻢ َﻣ َﻮ ﱠد ًة ِﻟﱠﻠﺬِﻳ (82 : ﺴ َﺘ ْﻜ ِﺒﺮُون َ)اﻟﻤﺎﺋﺪة ْ ﻦ َو ُر ْهﺒَﺎﻧًﺎ َوَأ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ ﻟَﺎ َﻳ َ ِﻗﺴﱢﻴﺴِﻴ Artinya: “Sesungguhnya kamu akan mendapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yag beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (Qs. Al-Maidah: 82)
7 8
Trisno Susanto, “Fundamentalisme Kristen Merebak Kuat”, Jawa Pos, 24 Maret 2002. Sukidi, Teologi Insklusif Cak Nur, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. XXXII
20
Persoalannya kemudian adalah sikap beragama yang diidentikkan dengan fundamentalisme atau sikap yang menjunjung tinggi eksklusivisme akhir-akhir ini sedang menghiasi wacana global yang oleh kalangan tertentu dinilai sebagai ancaman terhadap perdamaian global. Berdasarkan penelitian yang cukup akurat hampir semua pakar dan peneliti keagamaan sepakat, fundamentalisme merupakan fenomena global yang hampir ditemui pada semua agama besar. Meski masing-masing memiliki hukum dan dinamikanya sendiri, semua gerakan fundamentalisme mempunyai ciri yang khas yang nyaris serupa. Kelompok ini merupakan gerakan dengan penggunaan simbol-simbol agama sebagai reaksi atas modernisasi yang telah mengakibatkan krisis kemanusiaan global dan lingkungan yang akut. Dalam respon modernitas itu gerakan ini mencoba kembali pada agamanya di masa
lampau
dengan
mengangkat
teks-teks
suci
melalui
pemahaman yang literatistik. Kaum fundamentalis menurut Basam Tibi9 yang Islam dan Karen Amstrong yang Kristen,10 bukanlah kaum tradisionalis, tetapi mereka adalah modernis sejati, sebab mereka menilai tradisi agama dalam perspektif modernitas dan mereka mengambil secara selektif
unsur-unsur
penting
dari
dua
gejala
itu
untuk
mengemukakan konsep political ordernya sebagai tatanan yang bersifat agama. Pembacaaan secara harfiah adalah kaum modern yang muncul akibat dominasi kesadaran rasional atas kesadaran mistis. Fenomena ini berjalan dengan berkembangnya modernisasi. Fundamentalisme adalah agama politik yang sarat dengan motifmotif politisasi agama dan bukan agama itu sendiri, selain itu 9
Bassam Tibbi berpendapat bahwa fundamentalisme Islam hanya salah satu jenis dari fenomena global yang mana isunya pada masing-masing kasus lebih pada idiologi politik tetang masalah ini dapat ditemukan dalam Alfan Alfian, “Momentum Kebangkitan Islam Moderat” Kompas, 1 Februari 2002. 10 Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, terj. Rahmani Astuti, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2001), hlm. 179
21
model keberagamaan ini bisa muncul dikarenakan kekurang mampuan mereka dalam memilah antara agama normatif dan agama historis. Fundamentalisme
apabila
kita
tarik
pada
wilayah
historisitas Islam, maka istilah ini tergolong baru bahkan penterjemahan fundamentalisme ke dalam bahasa Arab tidak begitu
populer
kecuali
setelah
dua
dekade
terakhir.
Fundamentalisme dalam bahasa Arab disebut dengan al-Ushuliyah. Fundamentalisme dapat dimaknai sebagai paham yang ingin kembali pada dasar-dasar keagamaan. Akar-akarnya dapat dilihat pada model pemikiran yang berkembang pada abad pertengahan terutama pada pemerintahan al-Mansur dalam dinasti Abbasiyah, ketika dasar-dasar keagamaan mulai dikodifikasi. Dasar-dasar yang berkaitan dengan teologi disebut ushuliyah, sedangkan dalam wilayah fiqih disebut dengan ushul fiqh. Fundamentalisme klasik ditandai munculnya perbedaan mendasar
dalam
standarisasi
dan
klasifikasi
pemahaman
keagamaan antara kalangan sunni dan syiah, perbedaan itu amat tergantung pada kepentingan politik saat itu, namun yang lebih mendasar dari fundamentalisme klasik adalah kecenderungan teosentris dikodifikasi
dan
ideologis.
sering
Teosentris
menggunakan
karena
teologi
simbol-simbol
yang
ketuhanan,
sehingga tampak mendorong pada fatalisme. Seluruh urusan baik yang bersifat duniawi maupun transenden sering dikembalikan pada Tuhan yang akhirnya membentuk sikap kepasrahan pasif, dan ketertundukkan apologetik. Oleh sebab itu teologi merupakan wacana yang tidak bisa tersentuh oleh dimensi apapun, sehingga seluruh perangkat yang merupakan elemen teologi sulit dipahami secara bebas dan terbuka, akibatnya teologi yang amat ketat mempunyai dampak negatif bagi pengembangan nalar keagamaan yang progesif dan kritis. Ideologis, dikarenakan pemahaman
22
keagamaan yang teosentris itu senantiasa disesuaikan dengan kepentingan politik. Dari deskripsi ini dapat dimengerti dengan jelas bahwa fundamentalisme yang berakar dari sikap eksklusif alam beragama yang memandang teks-teks suci secara literer yang memiliki kecenderungan
tertutup
yang
awalnya
merupakan
gerakan
pemahaman agama karena adanya respon dialogis dengan modernitas dan peradaban secara berangsur berubah menjadi gerakan politis yang mengusung atas nama agama untuk menyatakan eksistensi mereka11, jadi fundamentalisme yang selama ini diidentikkan dengan agama terutama Islam sebenarnya merupakan gerakan politisasi agama dalam kegamangan eksistensi. 2. Beragama secara Inklusif Inklusifisme sebagai sebuah perspektif beragama adalah respon terhadap dilema yang sangat sedìrhana yang belum diakomodasi dalam eksklusifisme, jika kaum ekslusif mengajarkan bahwa keselamatan hanya ditemukan dalam satu agama tertentu dan diperoleh melalui mendengarkan dan mentaati aturan-aturan yang ada dalam kitab suci salafiyah, maka kaum inklusifisme melihat adanya keluasan dari kasih Tuhan dan ia diperoleh berdasarkan cinta Tuhan kepada manusia. Teologi inklusifistik pada awalnya dikembangkan oleh teolog Katholik yang bernama Karl Rahner yang mengajarkan bahwa kita tidak dilahirkan di luar hubungan dengan Tuhan (eksklusifisme)12, tetapi dalam hubungan dengan Tuhan. Kasih Tuhan yang dibutuhkan untuk keselamatan manusia sudah hadir dalam diri kita sebagai karunia ilahi, artinya kasih Tuhan tidak
11
Menurut Abd A’la, dengan bahasa yang lebih berbeda melihat bahwa yang memicu fundamentlisme adalah adalah perubahan social, lebih lanjut lihat Abd A’la, “Kekerasan, “Sumbangan” Modernisasi dan Fundamentalisme Agama”, Kompas, 1 Februari 2002. 12 Gagasan mengenai hal ini secara lebih luas dapat ditemukan dalam Sukidi, New Age : Wisata Spiritual Lintas Agama, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2001)
23
terbatas pada orang-orang tertentu saja karena kasih Tuhan melingkupi seluruh umat manusia dari agama apapun, ras apapun dan negara manapun.Sikap Inklusif inilah yang nantinya sebagai dasar untuk menuju sikap pluralistik. Secara garis besar teologi inklusif dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu inklusifisme monistik dan inklusifisme pluralistik.13 Inklusif monistik; Secara mendasar berargumen bahwa keselamatan dan kebenaran bukanlah milik agama tertentu, tetapi agama-agama lainpun memilikinya. Hanya saja, kebenaran yang ada ada agama-agama lain tersebut diposisikan sebagai “agama anonim”.
Ada
banyak
tokoh
yang
mendukung
gagasan
inklusifisme monistik ini diantaranya, Yustinus Martir, Raymundo Pannikar, Diogness Allen dan Simone Well, diantara tokoh-tokoh ini yang paling terkenal adalah Karel Rahner. Inklusifisme Pluralistik; Gagasan ini didasarkan pada ketidaksetujuan dengan realitas gagasan inklusifisme monistik. Secara garis besar inklusifisme pluralistik beranggapan kebenaran suatu agama bernilai sama dengan kebenaran agama-agama lain dan tidak berposisi sebagai agama anonim. Tokoh aliran ini adalah Schubert Ogden. Teologi ini tidak setuju dengan eksklusifisme dan inklusifisme monistik yang bersikap ekstrem, dengan menganggap bahwa hanya ada dan hanya mungkin ada satu agama yang benar (there not only is, but can be only one true religion). Ogden sebagai tokoh inklusifisme pluralistik, juga tidak sepakat dengan pluralisme yang mengatakan, bahwa bukan hanya mungkin ada, melainkan memang ada agama lain yang benar (there not only can be, but are other true religion). Menurut Ogden, kita tak perlu mengatakan memang betul-betul ada (are) banyak agama yang benar (seperti pluralisme), tetapi cukup mengetahui bisa ada (can 13
Munawwiruzzaman, “Inklusifisme Monistik, Sebuah Sikap Keberagamaan”, Kompas, 12 Desember, 1997. Lihat dalam Sukidi, op. cit, hlm. 12-13
24
be) banyak agama yang benar (sebagai lawan tidak bisa ada, can not be). Melihat kedua hal di atas, masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan inklusifisme monistik adalah dapat mempertahankan ke-agamaan dan menghubungkan dengan karunia di luarnya, tanpa mengorbankan prinsip “Solus Christus” (dalam
dunia
Kristen).
Sedangkan
kelemahannya
adalah
memandang orang yang beragama lain sebagai penganut agama anonim, dan mengabaikan perbedaan yang mendasar antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain. Kekuatan Ogden sebagai
contoh
tokoh
inklusifisme
pluralistik
ialah
ia
mempersembahkan keselamatan manusia ke sumber yang paling dalam, yaitu Kasih Allah. Kelemahannya, dia menganggap ringan makna penyaliban Yesus. Sikap inklusif dalam Islam mendapatkan pengesahan normatif, tetapi selama ini kita mengabaikannya. al-Qur’an menyatakan : “Tidak ada paksaan untuk beragama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah”,14 “Dan sesungguhnya kami (Tuhan) telah mengutus seorang Rasul di kalangan setiap ummat”,15 juga ayat yang menyatakan setiap kelompok (kaum) mempunyai seorang pembawa petunjuk.16 Pada ayat lain juga dijelaskan : 14
QS. Al Baqarah/2 : 256. lihat Al Qur’an dan Terjemahannya, (Terj. Depag), hlm. 62. QS. An Nahl/16 : 36. lihat Al Qur’an dan Terjemahannya, (Terj. Depag), hlm. 407. 16 QS. Ar Ra’d/13 : 7, Lihat Al Qur’an dan Terjemahannya, (Terj. Depag), hlm. 369. terdapat banyak penegasan dalam al-Qur’an, bahwa setiap kelompuk umat manusia (kaum) telah didatangi pengajar kebenaran, yaitu utusan dan Rasul Tuhan. Antara lain disebutkan : “Dan sungguh Kami (Tuhan) telah mengutus seorang Rasul disetiap kalangan umat”, QS. An Nahl/16 : 36. Dari prinsip bahwa setiap kelompok umat manusia telah pernah datang kepadanya utusan Tuhan (pengajar kebenaran dan keadilan), para ulama’ berselisih pendapat tentang kelompok mana sebenarnya tergolong para pengikut kitab suci. Apakah juga meliputi kelompok-kelompok agama lain di luar agama-agama Ibrahim, yakni selain Islam, Yahudi dan Kristen. Dalam hal ini relevan sekali mengemukakan pendapat ulama’ besar Indonesia, Abdul Hamid Hakim, salah seorang pendiri Madrasah Sumatera Thawalib, di Padang Panjang, Sematera Barat. Dengan mengemukakan firman-firman ilahi yang menegaskan adanaya Rasul atau pengajar kebenaran untuk setiap kelompok manusia dan dengan mengacu pada Tafsir At Thobari, Abdul Hamid Hakim menegaskan bahwa orang-orang Majusi, orang-orang Sabean, orang-orang Hindu,. Orang15
25
ﺻ ْﻴﻨَﺎ ﻚ َوﻣَﺎ َو ﱠ َ ﺣ ْﻴﻨَﺎ ِإَﻟ ْﻴ َ ﻦ ﻣَﺎ َوﺻﱠﻰ ِﺑ ِﻪ ﻧُﻮﺣًﺎ وَاﱠﻟﺬِي َأ ْو ِ ﻦ اﻟﺪﱢﻳ َ ع َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َ ﺷ َﺮ َ ﻦ َوﻟَﺎ َﺗ َﺘ َﻔ ﱠﺮﻗُﻮا ﻓِﻴ ِﻪ َ ن َأﻗِﻴﻤُﻮا اﻟﺪﱢﻳ ْ ِﺑ ِﻪ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َوﻣُﻮﺳَﻰ َوﻋِﻴﺴَﻰ َأ (13 : )اﻟﺸﻮري Artinya : “Ia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah mengenainya” (QS. As Syura : 13).17
ﺣ ْﻴﻨَﺎ ِإﻟَﻰ َ ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ ِﻩ َوَأ ْو ْ ﻦ ِﻣ َ ح وَاﻟ ﱠﻨ ِﺒﻴﱢﻴ ٍ ﺣ ْﻴ َﻨﺎ ِإﻟَﻰ ﻧُﻮ َ ﻚ َآﻤَﺎ َأ ْو َ ﺣ ْﻴﻨَﺎ ِإ َﻟ ْﻴ َ ِإﻧﱠﺎ َأ ْو ب َ ط َوﻋِﻴﺴَﻰ َوَأﻳﱡﻮ ِ ﺳﺒَﺎ ْ ب وَا ْﻟَﺄ َ ق َو َﻳ ْﻌﻘُﻮ َ ﺳﺤَﺎ ْ ﺳﻤَﺎﻋِﻴ َﻞ َوِإ ْ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َوِإ (163 : ن َوءَا َﺗ ْﻴﻨَﺎ دَا ُو َد َزﺑُﻮرًا )اﻟﻨﺴ ْﺎ َ ﺳَﻠ ْﻴﻤَﺎ ُ ن َو َ ﺲ َوهَﺎرُو َ َوﻳُﻮ ُﻧ Artinya : “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan Nabi-Nabi yang kemudian,dan telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ya’kub, Ishaq dan anak cucunya. Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud (QS. An Nisa’ : 163).18
orang Cina (penganut Kong Hu Cu) dan kelompok-kelompok lain seperti orang Jepang adalah para pengikut kitab-kitab suci yang mengandung ajaran tauhid, sampai sekarang”. Ia juga mengatakan “bahwa kitab-kita suci mereka itu bersifat samawi (datang dari langit, yakni wahyu Ilahi)”. Oleh karena itu tidak banyak perbedaan sebab, dia beriman kepada Tuhan dan menyembah-Nya, dan beriman kepada para Nabi dan kepada kehidupan lain, dan dia menganut pandangan hidup (agama) tentang wajibnya berbuat baik dan larangan berbuat jahat. Itulah sebabnya pemerintahan muslim sejak masa lalu sampai hari ini selalu dilindungi agama-agama lain yang tidak menganut paganisme (syirik). Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 2000), cet. IV, hlm. 16-17. 17 QS. Al Syura/42 : 13. Lihat al-Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 785. 18 QS. An Nisa’/4 : 163. Lihat al-Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 150.
26
3. Beragama secara Pluralistik Istilah pluralisme memiliki berbagai macam arti tergantung pada wacana yang dirujuknya, konsep itu pada awalnya diperkenalkan oleh filsuf pencerahan seperti Immanuel Kant19 dan tokoh filsafat pada masa pencerahan Jerman yaitu Christian Wolf,20 yang menunjukkan sebuah doktrin tentang kesempurnaan pandangan dunia yang mungkin dikombinasikan dengan seruan untuk mengadopsi sudut pandang universal tentang warga negara dunia. Dalam bidang filsafat istilah itu menyebar ke dalam wacana akademik yang lain pada pergantian abad ke-20, para pragmatis seperti William James21 menggunakan kembali konsep pluralis itu untuk menekankan implikasi-implikasi empiris dari ontologis pluralistik. Dalam teori ekonomi dan dalam teori sosiologi yang diilhami oleh model-model pilihan rasional, istilah pluralisme dinisbatkan pada gagasan bahwa sistem pasar bebaslah yang mungkin dapat menjamin persaingan terbuka bagi para produsen dan pilihan bebas bagi para konsumen. 19
Immanuel Kant hidup antara tahun 1724-1804, ia sejajar dengan Plato dan Aristoteles sebagai salah seorang filosuf paling penting dalam kebudayaan Barat. Karyanya sangat orisinil dan jangkauannya sangat luas. Karya tersebut dirulis dalam waktu yang sangat krusial dalam perkembangan filsafat ketika terdapat ketegangan antara loyalitas kontinental pada pemikiran rasional dan dukungan Inggris pada pengalaman inderawi. Karya-karyanya yang dibukukan pertama adalah Prolegonema to any Future Metaphysics (1783), The Critique of practical reason (1788) dan untuk lebih jelasnya lihat, Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia Yang Menggerakkan, (Jakarta : Murai Kencana, 2001), hlm. 130 20 Cristian Wolf ialah filsuf yang paling terkenal pada masa pencerahan Jerman. Ia guru besar matematika di Halle, menyebar luaskan ide-ide Leibniz. Wolf tidak mempunyai pokokpokok ajarannya sendiri yang terkenal dengan rasionalisme ekstrimnya, pemikirannya sangat terpengaruh oleh Leibniz pada abad ke-18, sehingga dalam semua bidang ilmu pengetahuan dikemas secara sistematis sesuai alur pikiran Leibniz walaupun terjadi penyimpangan dasar pemikirannya. Sedangkan karya-karya Wolf seperti: Philosophia Prima sive ontologia:rational Thaought on God, the World and the Soul of Man and All things in General (1719). 21 William James adalah dilahirkan di New York, Amerika Serikat. Pada mulanya ia belajar biologi dan pada tahun 1861 ia masuk Laerence Scientific School (Harvard University). Perhatiannya kemudian beralih ke ilmu kedokteran dan masuk Harvard Medical School dan terakhir ia belajar filsafat pada Charles Sander Pierce. Ada beberapa hasil pemikirannya yang sangat terkenal antara lain: Pragmatism, Empirisme Radikal, The Varieties of Religious Experience dan lain sebagainya. Lihat Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 258
27
Dalam konteks wacana ilmu sosial pluralisme memiliki pengertian sebagai sikap pengakuan terhadap keragaman dalam masyarakat dan sebagai prasyarat bagi pilihan dan kebebasan individual. Sedangkan pada wilayah agama yang kemudian dikenal dengan pluralisme agama dapat dianalisis pada tiga tingkat yang berurutan,22 pada tingkat makro pluralisme agama mengisyaratkan bahwa otoritas-otoritas sosial mengakui dan menerima pluralitas dalam bidang keagamaan, pada tingkat meso (pertengahan) pluralisme
mengisyaratkan
penerimaan
akan
keragaman
organisasi-organisasi keagamaan yang berfungsi sebagai unit-unit kompetitif
dan
mengisyaratkan
akhirnya kebebasan
pada
tingkat
individual
mikro
untuk
pluralisme
memilih
dan
mengembangkan kepercayaan pribadinya masing-masing. Beragama secara pluralis dalam dimensi tertentu sangat terkait pada sebuah pemahaman keberagaman yang didasari oleh sebuah pemikiran filosofis yang lebih umum dikenal sebagai filsafat perenial. Istilah Filsafat perennial diperkenalkan pertama kali oleh Agustinus Steochus pada tahun 1540, sebagai judul salah satu karyanya yang ia beri judul “De Perenni Philoshophi”. Istilah itu kemudian dimasyhurkan oleh Leibniz23 pada tahun 1715 untuk mengkonsepsikan suatu pemikiran yang memfokuskan diri pada kajian tentang pencarian kebenaran di kalangan para filosof kuno dan tentang perpisahan antara yang terang dan yang gelap harus di mulai dan dikaji dalam perspektif ini. Pasca Leibnizs, filsafat ini mengalami kemunduran dari telaah intelektual, karena pada masa itu para pengkaji filsafat di Barat lebih berorientasi pada filsafat keduniawian yang lebih
22
Ruslani, “Menuju Humanisme Agama-Agama”, Kompas, 27 Maret 2002. Leibniz dilahirkan di Leipsic Jerman, ayahnya adalah profesor dalam bidang filsafat moral. Leibniz belajar hukum dan filsafat, terutama filsafat Skolastik dan Descartes. Karya-karya besarnya antara lain; De arte combinatoria (1666), Theoria motus concreti et abstracti (1671), Monadologie (1714). Lebih lanjut lihat Ali Mudhofir, op.cit., hlm. 308 23
28
didasarkan pada rasionalis-positivisme. Baru pada abad XX ini filsafat perennial muncul kembali sebagai akibat ditemukannya di dunia Barat yang menyangkut adanya doktrin metafisika yang lebih mengkaji dimensi yang non rasional, di dalam inti semua tradisi yang sekaligus bersifat abadi dan universal, konsep ini dalam perkembangannya akan mengarah pada kebenaran kekal di pusat semua tradisi.24 Sukidi memberi ilustrasi menarik tentang filsafat perennial ini dalam kaitannya dengan agama-agama dan sikap keberagamaan ia mengatakan:
“Semua teoritis dasar pengetahuan perenial itu ada dan hidup dalam tradisi agama-agama yang otentik. Misalnya dalam agama Hindu di kenal konsep “Sanata Darma”, yakni kebijakan yang harus menjadi dasar konstektualisasi agama dalam situasi apapun sehingga agama selalu memanifestasikan diri dalam bentuk etis dan keluruhan hidup. Dalam analogi konprehensifnya sanata darma adalah apa yang disebut oleh Seyyead Husain Nashir sebagai primordial tradition yakni tradisi yang telah dan akan tetap menghidupi kemanusiaan yang ada begitu pula dasar dalam Taoisme atau lebih dikenal dengan konsep Tao yang secara generik berarti jalan setapak, sebagai asas yang harus diikuti sekiranya manusia mau natural sebagai manusia. Dalam agama Budhapun juga diperkenalkan konsep darma yang merupakan ajaran dasar untuk sampai pada sang Budha. Demikian setiap agama sebagai jalan menuju Tuhan berwatak plural, ia bukan sebagai tujuan tetapi hanya sekedar jalan menuju Tuhan meskipun konstruksi lahir jalan itu sangat plural beragama bahkan bertentangan, tetapi secara eksoterik, kata Huston Smith semua itu akan mencapai “Kesatuan Transendental Agamaagama”. Meminjam istilah Paul Knitter dalam bukunya, “No Other The Name? A Critical Survey of Cristian Atittudes Thoward The Word Religion”, 1985, menegaskan bahwa sesungguhnya semua agama relatif, tetapi sekaligus juga sama-sama menuju Tuhan, meski lewat jalan yang berbeda seperti Yesus Kristus sebagai bentuk perwujudan kehadiran yang Ilahi merupakan jalan keselamatan bagi orang-orang Kristen, ataupun Budha, bagi pemeluk agama Budha atau Rama sebagai jalan keselamatan orang Hindu atau juga al-Qur’an yang oleh Frithjof Schoun dinilai sebagai wujud dari kebenaran dan kehadiran sekaligus merupakan petunjuk keselamatan orang-orang Islam. Oleh sebab 24
Seyyed Husain Nasr, “Kata Pengantar”, dalam Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, terj. Rachmani Astuti, (Bandung : Mizan, 1998)
29
itu setiap agama sebagai jalan menuju Tuhan bisa diibaratkan seperti roda sepeda, jari-jari sepeda itu semakin jauh dari as (pusat), maka akan semakin merenggang dan sebaliknya. Secara filosofis itu diungkapkan, ”Barang siapa hanya suka melihat perbedaan-perbedaan sebagai sesuatu yang sangat penting, maka ibarat orang itu berada pada lingkaran dan berada pada posisi pinggir, tetapi barang siapa telah mampu membuka tabir (The Heart of Religion), maka semua agama akan bertemu.” 25
Menurut Suhadi,26 filsafat perennial bisa diderifasikan ke dalam tiga bidang kajian. Pertama, perenial secara bahasa berarti kekal, abadi dan selama-lamanya. Dalam pengertian ini keabadian hanyalah milik Tuhan dan Tuhan hanyalah satu, sehingga semua agama yang secara formal itu berbeda-beda secara hakekat dan intinya adalah sama. Kedua, filsafat perennial ingin membahas fenomena pluralisme agama secara kritis, meskipun agama yang benar hanyalah satu karena ia diturunkan kepada manusia dalam spektrum historis dan sosiologis, maka agama dalam konteks historis selalu hadir dalam formatnya yang pluralistik. Dalam konteks ini setiap agama memiliki kesamaan dengan yang lain, tetapi sekaligus juga memiliki kekhasan, sehingga berbeda. Ketiga, filsafat perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religiusitas seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol, ritus dan pengalaman-pengalaman keberagamaan. Perumusan seperti di atas menjadikan filsafat perennial masuk pada jantung agamaagama yang secara substantif hanya satu, tetapi terbungkus dalam bentuk, wadah dan jalan yang berbeda. Sikap keberagamaan dalam perspektif inilah akhir-akhir ini sedang mendapat respon positif dengan maraknya semangat dialog antar agama dan kepercayaan serta teologi yang menerabas sikap sikap keangkuhan beragama dan monopoli kebenaran. Sikap 25
Sukidi, “Filsafat Perennial; Pintu Masuk Ke Jantung Agama-agama”, Ekspresi, Edisi X/TH.VIII, Maret 1999, hlm. 24 26 Suhadi, “Menolak Legitimasi Agama; Membaca Pemikiran Abdurrahman Wahid”, Suara Merdeka, 11 Desember 1998.
30
keberagamaan seperti juga melahirkan sikap keberagaman yang kritis dan responsif seperti gagasan-gagasan Islam Liberal, Islam Pos-Tradisional, Agama Post Tauhid, serta pemikiran-pemikiran lain yang bercorak sama yaitu perombakan dan pemahaman baru yang lebih cerah. Dalam Islam, pengakuan adanya pluralisme adalah sebuah keniscayaan karena secara normatif sudah jelas, tetapi sikap dakwah
kita
selama
ini
yang
mencoba
menutupi
dan
mengesampingkan klaim teologis keniscayaan normatif itu. alQur’an dengan jelas menyatakan : “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama”.27 Konsekwensi logis dari ayat ini adalah manusia itu diberi kebebasan penuh untuk berpegang kepada agamanya atau pindah ke agama lain, sehingga kedewasaan beragama dituntut pada level ini dan tidak ada istilah untuk mempengaruhi dengan menggunakan propaganda-propaganda kosong untuk memasuki sistem kepercayaan tertentu seperti yang dilakukan dalam dakwah kita selama ini. Pada ayat lain dinyatakan : “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”.28 Selain kebebasan beragama, dijamin penuh dalam al-Qur’an pada level lain al-Qur’an juga menghargai agama lain, bahkan berjanji memberikan pahala; seperti dalam ayat : “Sesungguhnya orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Sabi’in, siapa saja yang beriman kepada Alla h dan hari kemudian serta berbuat kebajikan, bagi
27
QS. Al Baqarah/2 : 256. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 19. Sejalan dengan tidak dibolehkannya dalam agama, terdapat isyarat dalam kitab suci bahwa setiap makhluk telah ditetapkan oleh Allah jalan hidup mereka sendiri yang kemudian menghasilkan kemajemukan masyarakat, dan kemajemukan ini hanyalah Allah yang sebab dan hikmahnya; “ …..Untuk setiap kelompok dari kamu telah Kami buatkan jalan dan tata cara, jika seandainya Tuhan menghendaki, tentulah Ia akan menjadikan kamu sekalian umat yang tuggal”, QS. Al Maidah/5 : 48, serta ayat : “Dan bagi setiap umat telah Kami buatkan (ketetapan) suatu jalan (hidup) yang mereka tempuh …”. QS. Al Hajj/22 : 67. 28 QS. Al Kafirun/109 : 6. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 1112.
31
mereka
adalah
pahala
dari
Tuhan
mereka.
Tidak
ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih”.29 Menurut
Fazlur
Rahman,30
para
mufasir
muslim
mengingkari pesan yang sangat jelas dari ayat ini bahwa orangorang dari kaum manapun juga yang mempercayai tiga hal, yaitu percaya kepada Allah dan hari kiamat serta berbuat baik, akan memperoleh
keselamatan.
Komentator-komentator
tersebut
berbelit dengan menyatakah bahwa yang dimaksud dengan Yahudi, Kristen dan orang-orang Sabi’in pada ayat ini adalah orang yang telah masuk Islam. Pengertian ini salah karena dalam ayat itu sendiri telah disebutkan bahwa orang-orang muslim adalah yang pertama di antara empat kelompok tersebut. Alasan kedua yang diberikan oleh mufasir-mufasir Islam, setelah alasan yang pertama gagal dan dapat dipatahkan adalah : yang dimaksudkan orangorang Yahudi, Kristen dan Sabi’in adalah orang-orang Kristen, Yahudi dan Sabi’in yang saleh sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw. Penafsiran ini juga salah,31 dikarenakan pernyataan orang-orang Yahudi dan Kristen bahwa di akherat nanti mereka sajalah yang akan memperoleh keselamatan.32 Juga dibantah oleh al-Qur’an : “Barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah sedang ia berbuat kebajikan, baginya pahala dari
29 QS. Al Baqarah/2 : 62. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 19. Bandingkan dengan QS. Al Maidah/5 : 96, : “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula (mereka) bersedih hati”. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 172. 30 Fazlur Rahman adalah pemikir Islam asal Pakistan yang akhirnya menjadi guru besar tentang pemikiran Islam di Universitas Chocago, USA. 31 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Dalam al-Qur’an, (Bandung : Pustaka, 1996), cet. II, hlm. 239 (terj. Anas Mahyudin). 32 Lihat QS. Al Baqarah/2 : 111, yang artinya : “Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata : “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka”. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 30.
32
sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”.33 Faridh Esack, doktor tafsir al-Qur’an dari Afrika Selatan dalam
bukunya
:
“Al-Qur’an,
Liberalisme,
Pluralisme
:
Membebaskan Yang Tertindas”34 ia berpendapat bahwasannya pengakuan Al-Qur’an atas pluralisme agama tampak jelas tidak hanya dari penerimaan kaum lain sebagai komunitas religius yang sah tetapi juga pada penerimaan kehidupan spiritualitas mereka dan keselamatan melalui jalan yang berbeda-beda, sebagaimana AlQur’an berkata : “Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan sinagogsinagog orang-orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah”.35 Selain ayat-ayat pluralis ini memang al-Qur’an dalam beberapa ayat mengindikasikan lain seperti dalam ayat : “Orangorang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti agama mereka”.
36
Serta
ayat :
ﺧﺒَﺎﻟًﺎ َودﱡوا ﻣَﺎ َ ﻦ دُو ِﻧ ُﻜ ْﻢ ﻟَﺎ َﻳ ْﺄﻟُﻮ َﻧ ُﻜ ْﻢ ْ ﺨﺬُوا ِﺑﻄَﺎ َﻧ ًﺔ ِﻣ ِ ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا ﻟَﺎ َﺗ ﱠﺘ َ ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ﺻﺪُو ُر ُه ْﻢ َأ ْآ َﺒ ُﺮ َﻗ ْﺪ َﺑ ﱠﻴﻨﱠﺎ ُ ﺨﻔِﻲ ْ ﻦ َأ ْﻓﻮَا ِه ِﻬ ْﻢ َوﻣَﺎ ُﺗ ْ ت ا ْﻟ َﺒ ْﻐﻀَﺎ ُء ِﻣ ِ ﻋ ِﻨ ﱡﺘ ْﻢ َﻗ ْﺪ َﺑ َﺪ َ (118 : ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌ ِﻘﻠُﻮن َ)اﻟﻌﻤﺮان ْ ت ِإ ِ َﻟ ُﻜ ُﻢ اﻟْﺂﻳَﺎ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagi kamu. Mereka menyukai apa yang menyusahkanmu, telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar.
33
QS. Al Baqarah/2 : 112. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 30. Dalam Sukidi, “Tinjauan Islam atas Pluralisme Agama”, Kompas Senin 18 Juli 2001 35 QS. Al Hajj/22 : 40. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 518. 36 QS. Al Baqarah/2 : 120. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 32. 34
33
Tapi sesungguhnya telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami) jika kamu memahaminya” (Ali Imran : 118).37
c. Dimensi-Dimensi Keberagamaan Keberagamaan atau religiusitas tidaklah merupakan otoritas tetapi perlu diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan bermasyarakat. Aktivitas keberagamaan bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan aktivitas yang didorong oleh kekuatan batin dan bukan hanya yang berkaitan dengan aktifitas yang tampak oleh mata, tetapi juga aktifitas yang terjadi dalam hati seseorang. Oleh sebab itu keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam dimensi yang saling terkait dengan realitas. Secara garis besar dimensi keberagamaan menurut Roland Robertson38, dapat dilihat dalam 5 aspek dasar yaitu :
pertama;
dimensi ideologi,39 pada dimensi ini seseorang yang beragama berpegang pada pandangan teologi tertentu dan mengakuinya sebagai sebuah perangkat kebenaran. Mesikupun demikian eksistensi doktrin ini bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tetapi juga terjadi pada tradisi-tradisi pada satu agama. Kedua; dimensi ritual,40 dimensi ini juga disebut dengan dimensi peradaban karena terdiri dari berbagai macam ritus, tindakan keagamaan secara formal dan praktek-praktek suci. Ketiga; dimensi pengalaman,41 dimensi ini lebih berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang sebagai kepuasan batin. Keempat; dimensi penghayatan dan Kelima : dimensi pengetahuan
37
QS. Ali Imran/3 : 118. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 95. Roland Robertson (editor), Agama dalam Analisa dan Intepretasi Sosiologis, Terj. Syaifuddin, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 1993), hlm. 295-279 39 Deskripsi lebih lanjut lihat, Muslim Ishak, Pembaharuan Pemikiran Teologi di Indonesia, (Semarang : Duta Grafika, 1988) 40 Deskripsi lebih lanjut lihat Asywalie Syukur, Pengantar Perbandingan Madzab, (Surabaya : Bina Ilmu, 1982) 41 Wacana lebih lanjut lihat Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta : Paramadina, 1999) dan lihat dalam AE Priyono, Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, (Bandung : Zaman, 1999) 38
34
agama.42 Sedangkan menurut Mahmud Syaltud, pada dasarnya Islam dibagi menjadi tiga bagian yaitu aqidah, syariah dan akhlaq43. 2. Pengertian Orang Tua Orang tua dalam perspektif ini lebih diartikan sebagai keluarga. Keluarga adalah masyarakat terkecil sekurang-kurangnya terdiri dari pasangan suami isteri sebagai sumber intinya berikut anak-anak yang lahir dari mereka. Atau juga dapat dipahami keluarga adalah suatu persekutuan hidup berdasarkan perkawinan yang sah terdiri dari suami dan isteri yang juga selaku orang tua dari anak-anak yang dilahirkannya. Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan keluarga adalah merupakan unit terkecil, tetapi terpenting dari masyarakat yang terdiri atas suami isteri (baik mempunyai anak atau tidak) yang terjalin dengan ikatan pernikahan dan pertalian darah (anak) serta memiliki suatu tujuan terpadu. Dalam sebuah keluarga setidaknya-tidaknya terdiri dari sepasang suami isteri baik mempunyai anak atau tidak. Keluarga adalah suatu kesatuan diri pribadi-pribadi yang ada hubungannya karena pernikahan. Dalam hidup keluarga ini diawali dengan suatu proses pernikahan. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh pengakuan akan keturuna (yang dilahirkannya), memperkokoh ikatan batin dengan saling menyayangi, melengkapi
kekurangan
diri,
bertanggung
jawab
bersama
serta
menyelenggarakan kehidupan ekonomi bersama-sama dan dinikmati secara bersama pula dalam kehidupan rumah tangga. Setiap orang yang membentuk kehidupan berkeluarga tentu menginginkan terciptanya sebuah keluarga atau rumah tangga yang bahagia sejahtera lahir dan batin serta memperoleh keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Dari keluarga
42 Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktirn, dan Peradaban, (Jakarta ; Paramadina,1992) Lihat juga dalam Asghar Ali Enggineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996) 43 lihat dalam Mashudi, “Pengaruh Situasi Kehidupan Agama Keluarga terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam Siswa Sekolah Dasar Negeri Gemuhblaten 01 Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal Tahun Pelajaran 1997/1998”, Skripasi FT, IIWS Semarang, (Semarang : Perpustakan IIWS, 1998) hlm. 25
35
bahagia sejahtera (keluarga sakinah) inilah kelak akan terwujud pula masyarakat yang rukun, damai serta adil dan makmur material maupun spiritual. Agar keluarga sakinah (keluarga bahagia sejahtera) terwujud dan terlaksana dengan sebaik-baiknya, maka suami isteri yang memegang peranan utama dalam mewujudkan keluarga sakinah perlu meningkatkan wawasan pengetahuan dan pengertian tentang bagaimana cara membina kehidupan keluarga sesuai dengan tuntutan agama dan ketentuan hidup bermasyarakat. Setiap anggota keluarga khususnya suami isteri diharapkan mampu menciptakan stabilitas kehidupan rumah tangga yang penuh dengan ketentraman dan kedamaian. Stabilitas kehidupan rumah tangga sakinah inilah merupakan modal dasar bagi pembinaan keluaga sakinah. Ketenangan, kedamaian dan keharmonisan keluarga sangat menentukan terciptanya situasi yang kondusif bagi pendidikan anak-anak. B. Motivasi Belajar Agama Islam 1. Pengertian Motivasi Ada Deskripsi menarik tentang motifasi yang diungkapkan oleh Nurul Khotimah dengan mengutip berbagai pendapat.
“Menurut Lester Crow, motive adalah kekuatan dinamis yang mempengaruhi pikiran, emosi dan perilaku, menurut Webster, motivasi adalah sesuatu yang merangsang seseorang untuk berbuat dengan cara tertentu atau yang menentukan kemauan : pemacu, menurut Henry Clay Lindgren, motivasi timbul ketika seseorang menyadari adanya ketidakseimbangan antara siapa dia dan bagaimana dia seharusnya, dengan demikian motivasi terdiri dari tuntutan untuk menjadi lebih memadai dan untuk menghilangkan ketidakcocokan antar apa yang terlihat dan apa yang seharusnya. Menurut Sumadi Suryabrata, motivasi adalah kekuatan yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas sedangkan menurut Yusuf Murad, motivasi secara istilah dikatakan sebagai sesuatu yang mendorong seseorang untuk bersemangat baik yang tampak dalam gerakan maupun yang tersimpan dalam pikiran. Motivasi ada yang bersifat alami dan ada yang diusahakan”.44 44
Nurul khotimah, “Respon Siswa terhadap Program Cerdas Cermat Pelajar di TVRIdan Kaitannya dengan Motivasi Berprestasi Siswa MTs NU 01 Cepiring”, Skripsi FT IAIN Walisongo, (Semarang : Perpustakaan FT IAIN Walisongo, 1993) hlm. 26-27
36
Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Dalam rumusan tersebut ada tiga unsur yang saling berkaitan, ialah sebagai berikut: pertama; Motivasi dimulai dari adanya perubahan energi dalam pribadi. Perubahan tersebut terjadi disebabkan oleh perubahan tertentu, pada sistem neurofisiologis dalam organisme manusia, misalnya; karena terjadinya perubahan dalam sistem pencernaan, maka timbul motif lapar. Di samping itu, ada juga perubahan energi yang tidak diketahui. Kedua; Motivasi ditandai oleh timbulnya perasaan (affective arousal). Mula-mula berupa ketegangan psikologis, lalu berupa suasana emosi. Suasana emosi ini menimbulkan tingkah laku yang bermotif. Perubahan ini dapat diamati pada perbuatannya, contoh; seseorang terlibat dalam suatu diskusi, dia tertarik pada masalah yang sedang dibicarakan, karenanya dia bersuara atau mengemukakan pendapatnya dengan kata-kata yang lancar dan cepat. Ketiga; Motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan. Pribadi yang bermotivasi memberikan respons-respons ke arah suatu tujuan tertentu. Respon itu berfungsi mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh perubahan energi dalam dirinya. Tiap respons merupakan suatu langkah ke arah mencapai tujuan. Contoh si A ingin mendapat hadiah, maka ia belajar misalnya; mengikuti ceramah, bertanya, membaca buku, menempuh tes, dan sebagainya. Komponen-komponen motivasi memiliki dua komponen yaitu komponen dalam dan komponen luar. Komponen dalam ialah perubahan dalam diri seseorang, keadaan merasa tidak puas, ketegangan psikologis. Komponen luar ialah keinginan dan tujuan yang mengarahkan perbuatan seseorang. Komponen dalam adalah kebutuhan-kebutuhan yang ingin dipuaskan, sedangkan luar ialah tujuan yang hendak dicapai.
45
106-107
45
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta : Bumi Aksara, 1999), hlm.
37
a. Jenis-Jenis Motivasi Para ahli mengadakan pembagian dari jenis-jenis motivasi dikarenakan begitu banyak jenisnya. Dari teori motivasi yang ada, dapat diajukan tiga pendekatan untuk menentukan jenis-jenis motivasi yaitu pendekatan kebutuhan, pendekatan fungsional dan pendekatan deskriptif.
Pertama,
pendekatan
kebutuhan
menurut
Abraham
Maslow,46 bahwa motivasi dari segi kebutuhan manusia sifatnya bertingkat-tingkat. Pemuasan terhadap tingkat kebutuhan tertentu dapat dilakukan jika tingkat kebutuhan tertentu dapat dilakukan jika tingkat sebelumnya telah mendapat pemuasan. Kebutuhan-kebutuhan ini ialah; kebutuhan fisiologis, yakni kebutuhan primer yang harus dipuaskan lebih dahulu, yang terdiri dari kebutuhan pangan, sandang dan papan. Kemudian kebutuhan keamanan, baik keamanan batin maupun barang atau benda dan kebutuhan sosial terdiri dari kebutuhan perasaan untuk diterima oleh orang lain, perasaan dihormati, kebutuhan untuk berprestasi dan kebutuhan perasaan berpartisipasi. Dan ada juga kebutuhan berprestise yaitu kebutuhan yang erat hubungannya degan status seseorang. Jenis-jenis kebutuhan tersebut dapat menjadi dasar dalam upaya menggerakkan motivasi belajar siswa. Upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut melalui proses pembelajaran hanya dapat dilakukan oleh guru dalam batasbatas tertentu. Kedua pendektan fungsional; pendekatan ini berdasarkan konsep-konsep motivasi yaitu penggerak, harapan dan insentif. Penggerak adalah yang memberi tenaga, tetapi tidak membimbing, bagaikan mesin tetapi tidak mengemudikan kegiatan. Organisme berada dalam keadaan tegang, responsif dan penuh kesadaran. Pada diri manusia terdapat dua sumber tenaga, yaitu sumber eksternal (stimulasi dari lingkungan yang masuk dari luar sampai korteks
46
Ibid, hlm. 109
38
melalui jalur tertentu) dan internal (alur pikiran, simbol-simbol dan fantasi dari pada korteks). Harapan, adalah keyakinan sementara bahwa suatu hasil akan diperoleh setelah dilakukannya suatu tindakan tertentu.47 Harapanharapan merupakan rentang antara ketentuan subjektif bahwa sesuatu akan terjadi dan tidak akan terjadi. Ada jurang antara apa yang diamati dengan apa yang diharapkan dalam melakukan pengamatan. Salah satu jenis
harapan
ialah
motif
berprestasi,
yaitu
harapan
untuk
memeperoleh kepuasan dalam penguasaan perilaku yang menantang dan sulit.48 Berdasarkn penelitian MC.Clelland terhadap program latihan yang direncang bagi para pengusaha di India, ia mengajukan beberapa preposisi tentang pengembangan motif-motif baru di kalangan orang dewasa yaitu 1) Preposisi tersebut antara lain upaya-upaya pendidikan untuk mengembangkan suatu motif baru akan berhasil dnegan baik, bila individu memiliki alasan-alasan yang kuat dan percaya, bahwa dia dapat, akan, dan harus mengembangkan suatu motif. 2) Perubahan motif akan terjadi jika motif baru dijadikan sebagai syarat untuk menjadi anggota kelompok baru 3) Perubahan motif lebih banyak terjadi, jika dia lebih banyak belajar sendiri dan beralih dari kehidupannya yang bersifat rutin. 4) Perubahan dalam motif akan terjadi dalam suasana yang menggairahkan dan dia dipandang sebagai orang yang mampu membimbing dan mengarahkan perilakunya (future behavior) 5) Motif akan mempengaruhi pikiran dan tindakan, bila individu merasa ada kemajuan pada dirinya ke arah pencapaian tujuan. 6) Motif akan mempengaruhi pikiran dan tindakan, bila individu terlibat dalam upaya mencapai tujuan yang konkrit dalam kehidupan yang berhubungan dengan motif tersebut. 47
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1996), hlm.
48
Oemar Hamalik, Op. Cit, hlm. 110
112.
39
7) Motif akan mempengaruhi pikiran dan tindakan, jika individu dapat melihat dan mengalami motif baru sebagai perbaikan terhadap nilai-nilai kultural. 8) Motif akan mempengaruhi pikiran dan perbuatan, bila melihat motif itu sebagai suatu perbaikan dalam citranya sendiri. 9) Motif akan mempengaruhi pikiran dan tindakan individu, jika dikaitkan dengan peristiwa kehidupannya sehari-hari. 10) Individu mau mengembangkan motif, jika dia mampu menentukan dengan jelas aspek-aspek suatu motif. 11) Upaya-upaya pendidikan akan berhasil dengan baik, bila individu memahami, bahwa pengembangan motif baru bersifat realistik dan beralasan. 12) Perubahan dalam pikiran tindakan akan terjadi, jika individu dapat mengkaitkan motif dengan perbuatan tertentu49. Insentif, ialah objek tujuan yang aktual. Ganjaran (reward) dapat diberikan dalam bentuk konkrit atau dalam bentuk simbolik. Insentif
menimbulkan
dan
menggerakkan
perbuatan,
jika
disosialisasikan dengan stimulans tertentu dalam bentuk tanda-tanda akan mendapatkan sesuatu, misalnya siswa dimotivasi dengan caracara atau tanda-tanda tertentu, bahwa dia akan memperoleh uang. Dalam hal ini, individu melakukan antisipasi dan mengharapkan sesuatu. Pendekatan
deskriptif,
masalah
motivasi
ditinjau
dari
pengertian deskrptif yang menunjuk pada kejadian-kejadian yang dapat diamati dan hubungan-hubungan matematik. Masalah motivasi dilihat berdasarkan kegunaannya dalam rangka mengendalikan tingkah laku manusia.
49
Lihat dalam Nasution Sadikin, Didaktika Asas-Asas Mengajar, (Jakarta : Bumi Aksara, 1982), hlm. 82.
40
b. Sifat-sifat Motivasi Berdasarkan pengertian di atas dan analisa motivasi yang dikemukakan di atas, pada pokoknya motivasi memiliki dua sifat yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik, yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Pertama, motivasi instrinsik, adalah motivasi yang tercakup dalam situasi belajar yang bersumber dari kebutuhan dan tujuan-tujuan siswa sendiri. Motivasi ini sering disebut motivasi murni atau motivasi yang sebenarnya timbul dari dalam diri peserta didik, misalnya keinginan untuk mendapat ketrampilan tertentu, menikmati kehidupan, keinginan untuk diterima orang lain, dan sebagainya. Motivasi ini timbul tanpa pengaruh dari luar. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang hidup dalam diri peserta didik dan berguna dalam situasi belajar yang fungsional. Dalam hal ini, pujian atau hadiah atau sejenisnya tidak diperlukan, karena tidak akan menyebabkan peserta didik bekerja atau belajar untuk mendapatkan pujian atau hadiah. Ini berarti, bahwa motivasi intrinsik ialah bersifat nyata atau motivasi sesungguhnya, yang disebut Sound Motivation.50 Kedua, motivasi ekstrinsik, adalah motivasi yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar situasi belajar, seperti angka, kredit, ijazah, tingkatan hadiah, medali, pertentangan dan persaingan, yang bersifat negatif ialah sarkasme, ejekan dan hukuman.motivasi ini diperlukan di sekolah, sebab pembelajaran di sekolah tidak semuanya menarik minat, atau sesuai dengan kebutuhan siswa didik. Ada kemungkinan peserta didik belum menyadari pentingnya bahan pelajaran yang disampaikan guru. Dalam keadaan ini peserta didik bersangkutan perlu dimotivasi agar belajar. Guru berupaya membangkitkan motivasi belajar peserta didik sesuai dengan keadaan peserta didik itu sendiri.
50
Andrew Mc Ghie, Penerapan Psikologi Dalam Penerapan, terjemahan Eka Patinasari (Yogyakarta : Penerbit Andi, 1996), hlm. 167.
41
Tidak ada suatu rumus tertentu yang dapat digunakan oleh guru untuk setiap keadaan. Antara keduanya, sulit untuk menentukan mana yang lebih baik. Yang dikehendaki adalah timbulnya motivasi instrinsik, tetapi motivasi ini tidak mudah dan tidak selalu dapat timbul. Di pihak lain, guru bertanggung jawab supaya pembelajaran berhasil dengan baik dan oleh karenanya guru berkewajiban membangkitkan motivasi ekstrinsik pada peserta didiknya. Diharapkan lambat laun timbul kesadaran sendiri untuk melakukan kegiatan belajar. Guru berupaya mendorong dan merangsang agar tumbuh motivasi sendiri (self motivation) pada diri peserta didik51. Kemunculan sifat motivasi, apakah motivasi instrinsik atau ekstrinsik bergantung dan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain; tingkat kesadaran diri sisiwa atas kebutuhan yang mendorong tingkah laku dan kesadaran atas tujuan belajar yang hendak dicapainya, pengaruh kelompok siswa, bila pengaruh kelompok terlalau kuat maka motivasinya lebih condong ke sifat ekstrinsik. Lalu suasana di kelas juga berpengaruh terhadap munculnya sifat tertentu pada motivasi belajar siswa. Suasana kebebasan yang bertanggung jawab tentunya lebih merangsang munculnya motivasi instrinsik dibandingkan dengan suasana penuh tekanan dan paksaan. 2. Pengertian Belajar Mustaqim, dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pendidikan, menulis;
“Belajar menurut Lyle E.Bourne, J.R, Bruce R.Ekstrand adalah “Learning is relatively permanent change in behaviour traceable to experince and practice”. (Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang diakibatkan oleh pengalaman dan latihan) Menurut Clifford T.Morgan belajar ialah peruabahan tingkah laku yang relatif tetap yang merupakan hasil pengalaman yang lalu (“Learning is any relatively permanent change in behaviour that is a result of past 51
Sofyan Abdullah, Pendidikan Bagi Anak Usia Dini, (Yogyakarta : Arrusy Media, 2004), hlm. 27.
42
experience”), Dalam kacamata Guilford belajar itu ialah perubahan tingkah laku yang dihasilkan dari rangsangan (“Learning is any change in behaviour resulting from stimulation”), Musthofa Fahmi, mendefiniskan: Bahwa belajar adalah ungkapan yang menunjuk aktivitas (yang menghasilkan perubahan-perubahan tingkah laku atau pengalaman).52
Batasan-batasan belajar di atas, secara umum dapat disimpulkan, 53
belajar adalah tingkah laku yang relatif tetap yang terjadi karena latihan dan pengalaman. Dengan kata lain yang lebih rinci belajar adalah; pertama, suatu aktifitas atau usaha yang disengaja, kedua : aktivitas tersebut menghasilkan perubahan, berupa sesuatu yang baru, baik yang segera nampak atau tersembunyi tetapi juga hanya berupa penyempurnaan terhadap sesuatu yang pernah dipelajari, ketiga : perubahan-perubahan meliputi; perubahan ketrampilan jasmani, kecepatan perseptual, isi ingatan, abilitas berpikir, sikap terjhadap nilai-nilai dan inhibisi serta lainlain fungsi jiwa (perubahan yang berkenaan dengan aspek psikis dan fisik), dan keempat ; Perubahan tersebut relatif bersifat konstan a. Prinsip-Prinsip Belajar Dari beberapa teori54 yang dikemukakan oleh para ahli dapat dirangkum prinsip-prinsip belajar antara lain; pertama belajar akan berhasil jika disertai kemauan dan tujuan tertentu, kedua; belajar akan lebih berhasil jika disertai berbuat, latihan dan ulangan. Ketiga; belajar lebih berhasil jika memberi sukses yang menyenangkan, belajar akan lebh berhasil jika tujuan belajar berhubungan dengan aktifitas belajar
52
Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 33-34. Kajian tentang belajar dan berbagai pendapat tentang belajar dilihat dalam Agus Suyanto, Bimbingan ke Arah Belajar Yang Sukses, (Jakarta : Aksara Baru, 1990), hm. 10-25 54 Ada 3 teori dasar yaitu; pertama aliran Skolastik, Herbart dan Aliran ilmu jiwa daya. Kelompok Skolastik beranggapan bahwa belajar tidak lain adalah mengulang-ulang bahan yang dipelajari makin sering diulang makin dikuasai. Sedangkan herbart bahwa jiwa manusia terdiri dari unsur kecil berupa tanggapan yang mempunyai kekuatan. Makin kuat tanggapan, maka makin besar peranannya dalam tingkah laku individu begitu sebaliknya. Dan menurut aliran ilmu jiwa daya bahwa jiwa manusia mempunyai berabagai daya, misal daya mengenal, mengingat, berkhayal, dan daya berpikir. Daya-daya tersebut dapat diperkuat fungsinya dengan mengadakan latihan misalnya untuk melatih daya ingat dengan jalan menghafal angka-angka, huruf-huruf, ungkapan yang penting disini ialah pembentukan dan penguatan daya ingat. Lihat dalam Mustaqim, op. cit hlm. 46-47 53
43
itu sendiri atau berhubungan dnegan kebutuhan hidupnya. Kelima; belajar lebih berhasil jika bahan yang sedang dipelajari dipahamai, bukan sekedar menghafal fakta. Keenam; belajar adalah proses yang memerlukan bantuan dan bimbingan orang lain, hasil belajar dibuktikan dengan adanya perubahan dalam diri si pelajar dan terakhir ulangan dan latihan perlu, akan tetapi harus didahului oleh pemahaman. b. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar Ada beberapa faktor yang mempengaruhi belajar yaitu; kesehatan jasmani dan keadaan psikis. Pertama : Kesehatan jasmani. Kekurangan gizi biasanya mempunyai pengaruh terhadap keadaan jasmani, mudah mengantuk, lekas lelah, lesu dan sejenisnya terutama bagi anak-anak yang usainya masih muda, pengaruh ini sangat menonjol. Selain kadar makanan juga pengaturan waktu istirahat yang tidak baik dan kurang, biasanya tidak menguntungkan. Akibatnya lebih jauh adalah daya tahan badan menurun, yang berarti memberi daerah kemungkinan lebih luas lagi berabagai jenis macam penyakit seperti influenza, batuk dan lainya secara keseluruhan, badan kurang sehat sudah cukup mengganggu aktifitas belajar, apabila sampai jatuh sakit, boleh dikata aktifitas terhenti. Keadaan fungsi-fungsi jasmani tertentu, seperti fungsi panca indera, lebih-lebih mata dan telinga mempunyai pengaruh besar sekali dalam belajar. Mungkin orang tidak menolak bila dikatakan bahwa panca indera adalah pintu gerbang ilmu pengetahuan, hal ini mengingat bahwa pengenalan dunia luar yang disebut pengamatan, panca indera punya peranan penting. Hasilnya berupa kesan yang tinggal dalam ingatan yang berikutnya membantu fantasi, demikian terus terkaiy satu samamlain, hingga pentingnya panca indera. Oleh karenanya guru, orang tua, harus senantiasa berusaha menjaga
44
kesehatannya, dengan jalan antara lain pemeriksaan secara teratur dan berjangka. Kedua : Keadaan psikis, bila menengok kembali kepada perubahan jenis-jenis belajar, nampak dengan jelas belajar lebih banyak berhubungan dengan aktifitas jiwa, dengan kata lain faktorfaktor psikis memang memiliki peran yang sangat menentukan di dalam belajar yang terdiri dari faktor perhatian, kognitif, afektif dan motivasi. Perhatian adalah pemusatan tenaga psikis tertuju ada suatu objek atau banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai aktifita yang dilakukan. Dilihat banyak sedikitnya suatu aktifitas, perhatian bisa dibedakan; perhatian intensif dan perhatian tidak intensif. Makin intensif perhatian belajar makin berhasillah belajar, oleh karenanya materi dan penyampaian sebaiknya mampu menimbulkan perhatian yang intensif. Kognitif, aspek ini terdiri dari aspek pengamatan, fantasi, ingatan dan berfikir. Afektif, afektif meliputi perasaan, emosi dan suasana hati. Dalam keadaan stabil dan normal perasaan sangat menolong individu melakukan perbuatan belajar, tetapi perasan dengan intensitas sedemikain tinggi, sehingga pribadi kehilangan kontrol misalnya takut, bigung, putus asa atau sangat gembira ini semua menghambat proses belajar, sedangkan keadaan afektif individu yang lebih bersifat tetap bisa disebut suasana hati, dan secara garis besar bisa dibedakan menjadi suasana perasaan riang dan suasana murung.yang disebutkan pertama membantu belajar, sedang terakhir sangat mengganggu perbuatan belajar. Motivasi. keadaan jiwa individu yang mendorong untuk melakukan suatu perbuatan guna mencapai suatu tujuan bisa disebut motivasi. Motivasi dikatakan murni bila diri individu ada keingianan kuat untuk mencapai hasil belajar itu sendiri, misalnya individu bekerja di kota x, jarak kota tersebut dengan tempat tinggalnya 5 km,
45
agar ia tidak terlalu lelah dan lebih cepat, ia membeli sepeda motor, namun karena ia belum bisa mengendarai lalu belajar. Motivasi belajar disini bisa dikatakan murni, karena tujuan utamanya adalah hasil belajar itu sendiri. Lain halnya dnegan tujuan belajar atau yang hanya ingin memperoleh hadiah atau ganjaran atau nilai angka. Namun perlu dimengerti meskipun hadiah atau hukuman kurang efektf, namun jika cara lain buntu, jalan ini bisa ditempuh untuk menggairahkan belajar yang sifatnya sementara.55. 3. Pengertian Motivasi Belajar Motivasi belajar berasal dari beberapa arti kata yaitu motivasi dan belajar. Motivasi berasal dari kata “motif”, yang berarti daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukn aktifitas-aktifitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Motif merupakan suatu kondisi intern atau disposisi (kesiapsiagaan). Motivasi adalah daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan dan dihayati. Motivasi belajar ialah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar itu, maka tujuan yang dikehendaki oleh siswa tercapai. Dikatakan keseluruhan, karena biasanya ada beberapa motif yang bersama-sama menggerakkan siswa untuk belajar. Motivasi belajar merupakan faktor psikis, yang bersifat non inteletual. Peranannya yang khas ialah dalam hal gairah atau semangat belajar siswa yang bermotivasi kuat akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Motivasi belajar dapat dikelompokkan menjadi
dua bentuk yaitu motivasi ekstrinsik dan
intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah bentuk motivasi yang di dalamnya aktifitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu dorongan yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktifitas belajar. Misalnya anak rajin 55
Mustaqim, op. cit, hlm. 70-77
46
belajar untuk memperoleh hadiah yang telah dijanjikan kepadanya oleh orang tua. Motivasi intrinsik adalah bentuk motivasi yang di dalamnya aktifitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu dorongan yang secara mutlak berkaitan dnegan aktivitas belajar. Misalnya anak belajar karena ingin mengetahui seluk beluk suatu maslaah selengkap-lengkapnya. Siswa yang bermotivasi intrinsik mempunyai tujuan menjadi orang yang terdidik, yang berpengetahuan, yang ahli dalam bidang studi tertentu dan lain sebagainya. Satu-satunya jalan menuju ke tujuan yang ingin dicapai ialah belajar, tanpa belajar, tidak mungkin menjadi ahli. Dorongan yang mengerakan itu bersumber pada suatu kebutuhan, kebutuhan kali ini berisikan keharusan untuk menjadi orang terdidik dan lain sebagainya. Siswa yang bermotivasi ekstrinsik, juga mempunyai suatu tujuan tetapi tujuannya lain dari menjadi orang yang berpengetahuan dan lain sebagainya. Kegiatan belajar dilakukan untuk mencapai tujuan itu, tetapi sebenarnya tidak mutlak perlu belajar untk mencapai tujuan, dnegan kata lain kegiatan belajar hanya dianggap sebagai alat atau sarana. Hubungan antara kegiatan belajar dan tujuan yang akan dicapai tdak mutlak; yang satu dapat dilepaskan dari yang lain. Misalnya untuk memperoleh pujian dari orang tua, siswa dapat melakukan berbagai kegiatan, bukan hanya kegiatan belajar.56 C. Pengaruh Kehidupan Keberagamaan Orang Tua terhadap Motivasi Siswa Dalam Belajar PAI Motivasi belajar anak menurut Slameto57 dipengaruhi beberapa faktor yaitu : pertama, faktor internal yang meliputi faktor jasmaniah yaitu kesehatan dan cacat tubuh, faktor psikologis yang meliputi intelegensi dan perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan kesiapan serta kelelahan. Kedua, faktorfaktor ekternal yang meliputi faktor keluarga yang terdiri dari cara orang tua 56
Winkel SJ, Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar, (Jakarta : Gramedia, 1983),
hlm. 27-28 57
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang mempengaruhinya, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), hlm. 56
47
mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latarbelakang kebudayaan. Ketiga, faktor sekolah yang terdiri metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan murid, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, waktu sekolah, standart pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah. Keempat, Faktor masyarakat, meliputi keadaan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul dan bentuk kehidupan bermasyarakat. Dari pengertian ini dapat dimengerti bahwa ada empat komponen penting yang mempengaruhi motivasi belajar anak yaitu kondisi anak itu sendiri, keluarga, sekolah dan masyarakat. Keluarga merupakan salah satu aspek penting dalam proses ini dikarenakan sebagian besar waktu bagi anak dihabiskan bersama keluarga. Bagaimanapun juga faktor keluarga tidak dapat berdiri sendiri, tetapi terkait dengan faktor yang lain dan terpola dalam berbagai dimensi baik itu kondidi ekonomi, tingkat pendidikan orang tua, situasi keluarga dan keberagamaan. Dari sini bisa dimengerti keberagamaan keluarga merupakan salah satu dimensi dari faktor keluarga secara umum yang mempengaruhi motivasi belajar anak. Menurut Mulyono Notosudirjo, sepanjang sejarah manusia terdapat hubungan yang dekat dan tidak mungkin dipisahkan yaitu keluarga, ibu, ayah dan anak. Sekalipun dalam kehidupan itu terdapat perubahan dalam sistem budaya dan sosial kemasyarakatan, kenyataannya ikatan ketiga hal itu tetap dipertahankan58. Keluarga mempunyai arti yang penting buat anak. Kehidupan keluarga tidak hanya berfungsi memberikan jaminan makan kepada anak melainkan juga memegang fungsi lain yang penting bagi perkembangan anak. 1. Sosialisasi Anak Anak bersosialisasi yaitu belajar hidup dalam pergaulan pertamatama dilakukan dalam lingkup keluarga. Anak belajar untuk dapat bergaul dengan orang lain dapat terlakasana apabila dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang baik. Sosialisasi yang terjadi dalam lingkungan 58
Moelyono Notosoedirdjo, Kesehaatan Mental : Konsep dan Penerapan, (Malang : UMM, 1999), hlm. 173
48
keluarga disebut sosialisasi domestik59. Pada sosialisasi ini bayi belajar untuk dapat mengadakan antisipasi dengan baik. Kelusrga mempunyai tugas meneruskan norma-norma dan budaya hidup kepada anak dalam keluarga tersebut. Pada periode ini anak belajar mengenal akan dirinya sendiri, siapa dir itu, bagaimana dia itu mengadakan suatu konsepsi diri dan mengenal yang dia mampu dan tidak mampu lakukan. Ini semua akan memberikan kemantapan pada pembentukan kepribadian anak, terutama yang terkait dengan perkembangan berikutnya dalam merespon pengaruh lingkungan baik neatif maupun positif. Mengingat pentingnya peran keluarga bagai penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi anak maka keluarga perlu menyediakan waktu untuk berkumpul sambil minum atau makan bersama, di waktu ini ank dapat mengeluarkan emosinya, mendapat tanggapan, kritik dan pandangan dari saudara-saudaranya dan orang tuanya tentang bagimana anak harus bersikap dalam situasi yang begitu itu. 2. Tata Cara Kehidupan Keluarga Tata cara kehidupan keluarga akanmemberikan suatu sikap serta perkembangan anak. Anak yang dibesarkan dalam susunan keluarga yang demokratis membuat ia mudah bergaul, aktif dan ramah tamah. Anak belajar menerima pandangan pandangan orang lain, belajar dengan bebas mengemukakan pandangannya sendiri dan
mengemukakan alasan
alasannya. Anak yang dibesarkan dengan situasi keluarga yang sering membiarkannya akan membuat anak tidak aktif dalam kehidupan sosial, perkembangan fisik terhambat, mengalami banyak frustasi dan memiliki kecenderungan untuk mudah membenci orang. Sedangkan anak yang dibesarkan dalam keluarga yang otoriter, anak cenderung tidak melawan tenang, dan selalu berusaha menyesuaikan dirinya dengan kehendak orang lain (orang tua), sehingga kreatifitas anak berkurang.60 59 60
Ibid, hlm. 174 Ibid, hlm. 176
49
Menurut Sri Suprapti, berdasarkan penelitian di AS terhadap 15.000 remaja menunjukkan bahwa jika peran ayah dalam pendidikan anak berkurang/terabaikan maka terjadi peningkatan yang signifikan (1) jumlah anak putri belasan tahun hamil tanpa nikah, (2) kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak dan (3) patologi psiko-sosial. Lebih lanjut ditemukan juga bahwa absennya peranan ayah jauh lebih signifikan dampak negatifnya bagi anak dibandingkan absennya peran ibu. Sebaliknya jika dalam keluarga ayah berperan dalam pendidikan anaknya akan meningkatkan prestasi belajarnya61.
Ayah menurut Bloir dapat berperan penting bagi perkembangan pribadi anak, baik sosial, emotional maupun intelektualnya. Pada diiri anak akan tumbuh motivasi, kesadaran diridan identitas skill sehingga memberi peluang untuk sukses belajarnya, identitas gender yang sehat, perkembangan moral dengan nilainya dan sukses lebih primer dalam keluarga dan kerja. Terhadap semua itu peran ayah yang paling kuat adalah terhadap prestasi belajar anak dan hubungan sosial yang harmonis. Menurut National parent Asosiation yang mendasarkan hasil penelitiannya selama 30 tahun terakhir menyimpulkan manfaat peran ayah bagi anak adalah makin baiknya pertumbuhan secara fisik, sosio-emotional, keterampilan kognitif pengetahuan dan bagaimana anak belajar sehingga prestasi belajarnya lebih tinggi. Hasil penelitian US Departement of Education yang di acu Wood Elementary Dad’s Club, diperoleh bahwa siswa-siswa yang mendapat nilai A ternyata 51% ayah dan ibu yang berperan pada aras tinggi atau 48% hanya ayah saja atau 44% ibu saja yang berperan tinggi62.
Dari kutipan ini jelaslah bahwa keluarga memiliki peran penting dalam proses pengembangan anak baik itu kepribadian maupun prestasi yang menyangkut pula motivasi belajar karena dari lingkup keluarga inilah anak belajar dalam prosesnya yang dimanis. Ada juga dua buah hadis riwayat dari Abu Hurairah dan Asy-Syu’bi yang dimuat dalam kitab Tambihul Ghofilin63 yang memiliki korelasi penting dengan kajian ini
61
Sri Suprapti, “Peran Ayah dan Prestasi Belajar Anak”, Isnpirasi, 20-30 Juni 2004 hlm.
6 62
Ibid Al Faqih Abu Laits Samarqonsi, Tambihul Ghofilin : Pembangun Jiwa Moral Ummat, terj. Abu Imam Taqiyudin, (Malang : Darul Ihya, 1986), hlm. 125 63
50
ب اِذَا َ ﺳ ُﻤ ُﻪ اِذَا ُو ِﻟ َﺪ َو ُﻳ َﻌِﻠ ُﻤ ُﻪ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ ْ ﻦ ِا َﺴ ُﺤ ْ ن َﻳ ْ ﺷﻴَﺎ ْء َا ْ ﻼ َﺛ ًﺔ َا َ ﻲ اﻟ َﻮ ِﻟ ِﺪ َﺛ َ ﻖ اﻟ َﻮ ِﻟ ِﺪ ﻋَﻠ ِ ﺣ َ ﻦ ْ ِﻣ ك َ ﺟ ُﻪ اِذَا َا ْد َر ُ ﻋ َﻘ َﻞ َو ُﻳ َﺰوﱢ َ Artinya : "Diantara kuajiban orang tua terhadap anaknya sedikitnya ada tiga hal yaitu memberi nama yang baik ketika lahir, mendidiknya sesuai kemampuannya dan mengawinkannya ketika sudah dewasa".
ﻲ َِﺑﺮِﻩ َ ن َوﻟَﺪَا ُﻩ ﻋَﻠ َ َ ِرﺣَﻢ اﷲ ُ َو ِﻟ ُﺪ َاﻋَﺎ Artinya : "Allah selalu mengasihi orang tua yang mendorong anaknya berbakti kepadanya dalam artian dia tidak memerintahnya sesuatu diluar kemampuannya".