BAB II LANDASAN TEORI
2.1.
Akuisisi Berasal dari kata acquisition (Latin) dan acquisition (Inggris), makna harfiah
akuisisi adalah membeli atau mendapatkan sesuatu atau obyek untuk ditambahkan pada sesuatu atau obyek yang telah dimiliki sebelumnya. Akusisi dalam terminology bisinis diartikan sebagai berikut : “Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan atau pengendalian atas saham atau asset suatu perusahaan oleh perusahaan lain, dan dalam peristiwa ini baik perusahaan pengambilalih atau yang diambil alih tetap eksis sebagai badan hukum yang terpisah.” Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 Tahun 1998 tentang penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas mendefinisikan akusisis sebagai berikut : “Akuisisi adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih baik seluruh atau sebagian besar saham perseroan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.” Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 22 mendefinisikan akuisisi dari perspektif akuntansi berikut ini : “Akuisisi adalah suatu penggabungan usaha dimana salah satu perusahaan, yaitu pengakuisisi (acquirer) memperoleh kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan yang diakuisisi (acquiree), dengan memberikan aktiva tertentu, mengakui suatu kewajiban, atau mengeluarkan saham.”
9
10
Akuisisi adalah bentuk pengambilalihan kepemilikan oleh pihak pengakuisisi (acquirer) sehingga akan mengakibatkan berpindahnya kendali atas perusahaan yang diambil alih (acquiree) tersebut. Biasanya pihak pengakuisisi memiliki ukuran yang lebih besar dibanding dengan pihak yang diakuisisi. Yang dimaksud dengan pengendalian adalah kekuatan yang berupa kekuasaan untuk : 1.
Mengatur kebijakan keuangan dan operasi perusahaan
2.
Mengangkat dan memberhentikan manajemen
3.
Mendapatkan hak suara mayoritas dalam rapat direksi Dengan adanya pengendalian ini maka pengakuisisi akan mendapatkan
manfaat dari perusahaan yang diakuisisi. Akuisisi berbeda dengan merger karena akuisisi tidak menyebabkan pihak lain bubar sebagai entitas hukum. Perusahaanperusahaan yang terlibat dalam akuisisi secara yuridis masih tetap berdiri dan beroperasi secara independen tetapi telah terjadi pengalihan pengendalian oleh pihak pengakuisisi. Beralihnya kendali berarti pengakuisisi memiliki mayoritas saham-saham berhak suara (voting stock) yang biasanya ditunjukkan atas kepemilikan lebih dari 50 persen saham berhak suara tersebut. Dimungkinkan bahwa walaupun memiliki saham kurang dari jumlah itu pengakuisisi bisa dinyatakan sebagai pemilik suara mayoritas jika anggaran dasar perusahaan yang diakuisi menyebutkan hal yang demikian. Namun dalam hal anggaran dasar menyebutkan lain, bisa juga pemilik lebih dari 51 persen tidak atau belum dinyatakan sebagai pemilik suara mayoritas. Selanjutnya akuisisi memunculkan hubungan antara perusahaan induk (pengakuisisi)
11
dan perusahaan anak (yang diakuisisi) dan selanjutnya keduanya memiliki hubungan afiliasi (Abdul Moin, 2010, p8).
2.1.1. Alasan Melakukan Merger dan Akuisisi Ada beberapa alasan perusahaan melakukan penggabungan baik melalui merger maupun akuisisi, yaitu : 1.
Pertumbuhan atau diversifikasi Perusahaan yang menginginkan pertumbuhan yang cepat, baik ukuran, pasar saham, maupun diversifikasi usaha dapat melakukan merger maupun akuisisi. Perusahaan tidak memiliki resiko adanya produk baru. Selain itu, jika melakukan ekspansi dengan merger dan akuisisi, maka perusahaan dapat mengurangi perusahaan pesaing atau mengurangi persaingan.
2.
Sinergi Sinergi dapat tercapai ketika merger menghasilkan tingkat skala ekonomi (economies of scale). Tingkat skala ekonomi terjadi karena perpaduan biaya overhead meningkatkan pendapatan yang lebih besar daripada jumlah pendapatan perusahaan ketika tidak merger. Sinergi tampak jelas ketika perusahaan yang melakukan merger berada dalam bisnis yang sama karena fungsi dan tenaga kerja yang berlebihan dapat dihilangkan.
3.
Meningkatkan dana Banyak perusahaan tidak dapat memperoleh dana untuk melakukan ekspansi internal, tetapi dapat memperoleh dana untuk melakukan ekspansi eksternal.
12
Perusahaan tersebut menggabungkan diri dengan perusahaan yang memiliki likuiditas tinggi sehingga menyebabkan peningkatan daya pinjam perusahaan dan penurunan kewajiban keuangan. Hal ini memungkinkan meningkatnya dana dengan biaya rendah. 4.
Menambah ketrampilan manajemen atau teknologi Beberapa perusahaan tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak adanya efisiensi pada manajemennya atau kurangnya teknologi. Perusahaan yang tidak dapat mengefisiensikan manajemennya dan tidak dapat membayar untuk mengembangkan teknologinya, dapat menggabungkan diri dengan perusahaan yang memiliki manajemen atau teknologi yang ahli.
5.
Pertimbangan pajak Perusahaan dapat membawa kerugian pajak sampai lebih 20 tahun ke depan atau sampai kerugian pajak dapat tertutupi. Perusahaan yang memiliki kerugian pajak dapat melakukan akuisisi dengan perusahaan yang menghasilkan laba untuk memanfaatkan kerugian pajak. Pada kasus ini perusahaan yang mengakuisisi akan menaikkan kombinasi pendapatan setelah pajak dengan mengurangkan pendapatan sebelum pajak dari perusahaan yang diakuisisi. Bagaimanapun merger tidak hanya dikarenakan keuntungan dari pajak, tetapi berdasarkan dari tujuan memaksimisasi kesejahteraan pemilik.
13
6.
Meningkatkan likuiditas pemilik Merger antar perusahaan memungkinkan perusahaan memiliki likuiditas yang lebih besar. Jika perusahaan lebih besar, maka pasar saham akan lebih luas dan saham lebih mudah diperoleh sehingga lebih likuid dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil.
7.
Melindungi diri dari pengambilalihan Hal ini terjadi ketika sebuah perusahaan menjadi incaran pengambilalihan yang tidak bersahabat. Target firm mengakuisisi perusahaan lain, dan membiayai pengambilalihannya dengan hutang, karena beban hutang ini, kewajiban perusahaan menjadi terlalu tinggi untuk ditanggung oleh bidding firm yang berminat (Gitman, 2003, p.714-716).
2.1.2. Klasifikasi Berdasarkan Objek Yang Diakuisisi Klasifikasi berdasarkan obyek yang diakuisisi dibedakan atas akuisi saham dan akuisisi aset (Stanley Foster Reed dan Alexandra Reed Lajoux, 1999, p338) The Art of M&A : A Merger/Acquisition/Buyout Guide.
2.1.2.1. Akuisisi saham Istilah akuisisi digunakan untuk menggambarkan suatu transaksi jual beli perusahaan, dan transaksi tersebut mengakibatkan beralihnya kepemilikan perusahaan dari penjual kepada pembeli. Karena perusahan didirikan atas sahamsaham, maka akuisisi terjadi ketika pemilik saham menjual saham-saham mereka
14
kepada pembeli atau pengakuisisi. Pada peristiwa ini, pengakuisisi tidak harus meminta persetujuan dari pihak manajemen target, tetapi ada kalanya pemebelian saham tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan negosiasi dan penawaran dengan pihak manajemen atau dewan direksi perusahaan target. Jika manajemen perusahaan setuju, maka mereka akan menginformasikan kepada pemegang saham. Jika pemegang saham juga setuju atas tawaran yang diajukan oleh manajemen tersebut maka “deal” akan segera terwujud. Selanjutnya perusahaan yang diakuisisi akan menjadi perusahaan anak.
2.1.2.2. Akuisisi Aset Apabila sebuah perusahaan bermaksud memiliki perusahaan lain maka ia dapat membeli sebagian atau seluruh aktiva atau aset perusahaan lain tersebut. Jika pembelian tersebut hanya sebagian dari aktiva perusahaan maka hal ini dinamakan akuisisi parsial. Akuisisi aset dilakukan apabila pihak pengakuisisi tidak ingin terbebani hutang yang ditanggung oleh perusahaan target. Berbeda dengan akuisisi saham dimana kewajiban atau hutang target yang ada ditanggung oleh pemilik baru, akuisisi aset dimaksudkan untuk menghindari tanggung jawab ini. Namun demikian kalau proporsi aset yang dibeli melebihi batas tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah, maka pembeli harus ikut menanggung kewajiban hutang perusahaan target. Contoh akuisisi aset adalah rencana PT Semen Gresik untuk mengakuisisi PT Bintang Semen Mandiri yang lokasinya berhimpitan dengan pabrik Semen Gresik Unit IV di Tuban, Jawa Timur.
15
2.1.3. Keunggulan dan Kelemahan Akuisisi
2.1.3.1. Keunggulan Akuisisi Alasan mengapa perusahaan melakukan merger atau akuisisi adalah ada “manfaat lebih” yang diperoleh darinya, meskipun asumsi ini tidak semuanya terbukti. Secara spesifik, keunggulan-keunggulan akuisisi saham dan akuisisi asset adalah sebagai berikut: 1.
Akuisisi Saham tidak memerlukan rapat pemegang saham dan suara pemegang saham sehingga jika pemegang saham tidak menyukai tawaran Bidding firm, mereka dapat menahan sahamnya dan tidak menjual kepada pihak Bidding firm.
2.
Dalam Akusisi Saham, perusahaan yang membeli dapat berurusan langsung dengan pemegang saham perusahaan yang dibeli dengan melakukan tender offer sehingga tidak diperlukan persetujuan manajemen perusahaan.
3.
Karena tidak memerlukan persetujuan manajemen dan komisaris perusahaan, akuisisi saham dapat digunakan untuk pengambilalihan perusahaan yang tidak bersahabat (hostile takeover).
4.
Akuisisi Aset memerlukan suara pemegang saham tetapi tidak memerlukan mayoritas suara pemegang saham seperti pada akuisisi saham sehingga tidak ada halangan bagi pemegang saham minoritas jika mereka tidak menyetujui akuisisi (Harianto dan Sudomo, 2001, p.643-644).
16
2.1.3.2. Kelemahan Akuisisi Disamping memperoleh berbagai manfaat, merger dan akuisisi juga memiliki kelemahan sebagai berikut: 1.
Jika cukup banyak pemegang saham minoritas yang tidak menyetujui pengambilalihan tersebut, maka akuisisi akan batal. Pada umumnya anggaran dasar perusahaan menentukan paling sedikit dua per tiga (sekitar 67%) suara setuju pada akuisisi agar akuisisi terjadi.
2.
Apabila perusahaan mengambil alih seluruh saham yang dibeli maka terjadi merger.
3.
Pada dasarnya pembelian setiap asset dalam akuisisi asset harus secara hukum dibalik nama sehingga menimbulkan biaya legal yang tinggi. (Harianto dan Sudomo, 2001, p.643)
2.1.4. Peraturan-peraturan mengenai merger dan akuisisi
2.1.4.1. Merger dan Akuisisi dalam Undang-undang Anti Monopoli Secara eksplisit undang-undang ini melarang merger dan akuisisi yang berakibat terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dapat diambil pula pengertian bahwa sepanjang merger dan akuisisi tidak berakibat pada terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maka merger dan akuisisi diperbolehkan. Mengenai hal ini Pasal 28 Undang-undang Antimonopoli menyebutkan sebagai berikut (sumber: www.undangundangindonesia.com):
17
(Ayat 1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (Ayat 2) Pelaku
usaha
dilarang
melakukan
pengambilalihan
saham
perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (Ayat 3) ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 28 diatas dilanjtkan dengan pasal 29 sebagai berikut : (Ayat 1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai asset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan tersebut.
18
(Ayat 2) Ketentuan tentang penetapan nilai asset dan atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dalam Peraturan Pemerintah.
2.1.4.2. Peraturan BAPEPAM-LK mengenai Merger dan Akuisisi Sebenarnya istilah yang digunakan dalam Peraturan BAPEPAM bukanlah merger dan akuisisi melainkan penggabungan usaha, peleburan usaha dan pengambilalihan. Namun mengingat istilah merger dan akuisisi telah menjadi istilah yang umum digunakan dalam dunia usaha, maka tulisan ini menggunakan istilah tersebut. Kata merger dalam tulisan ini mengacu pada penggabungan usaha atau peleburan usaha, sedangkan kata akuisisi mengacu pada pengambilalihan suatu perusahaan. Berikut ini adalah rambu-rambu peraturan pasar modal yang harus diperhatikan dalam kegiatan merger dan akuisisi. Merger peraturan utama mengenai merger yang melibatkan perusahaan terbuka adalah Peraturan BAPEPAM No. IX.G.1 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten. Setelah itu terdapat beberapa peraturan lain yang harus diperhatikan seperti Peraturan BAPEPAM No. IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu, dan Peraturan BAPEPAM No. X.K.1 tentang Informasi Yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik. Disamping Peraturan BAPEPAM, kegiatan merger juga harus memperhatikan UU No. 1 tahun
19
1995 tentang Perseroan Terbatas, dan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perusahaan. Persyaratan Berdasarkan Peraturan IX.G.1 terdapat empat persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh Emiten atau Perusahaan Publik dalam hal akan melakukan merger. Pertama, direksi dan komisaris perusahaan-perusahaan yang akan merger wajib membuat pernyataan bahwa kegiatan penggabungan usaha atau peleburan usaha dilakukan dengan memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang saham, persaingan usaha yang sehat, pemegang saham publik dan karyawan. Kedua, pernyataan tersebut harus didukung oleh pihak independen. Ketiga, Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan pernyataan penggabungan usaha atau peleburan usaha yang berisi rancangan penggabungan usaha atau peleburan usaha. Keempat, memperoleh persetujuan rapat umum pemegang saham Emiten atau Perusahaan Publik. Demikian gambaran singkat peraturan BAPEPAM atas kegiatan merger dan akuisisi. Masih terdapat hal-hal lain yang perlu diperhatikan oleh Perusahaan Terbuka dalam hal melakukan kegiatan merger dan akuisisi, seperti masalah perpajakan, peraturan mengenai persaingan
usaha, adanya negative covenant dari
kreditur, serta kecukupan pengungkapan mengenai ultimate shareholder yang sama antar pihak yang melakukan merger atau akuisisi. (sumber : www.bapepam.go.id)
20
2.2.
Rasio Finansial Rasio finansial dikembangkan dengan menggunakan data di neraca, laporan
rugi laba atau harga pasar saham. Karena ragam rasio sangat banyak, maka penulis hanya menggunakan dua model rasio diambil dari rasio profitabilitas. Rasio profitabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan sebuah perusahaan untuk menghasilkan keuntungan. Adapun rasio tersebut merupakan return on assets (ROA) dan return on equity (ROE).
2.2.1. Return On Asset (ROA) Return on assets sering disebut Return on Investment (ROI). Rasio ini mengukur seberapa efektif asset yang ada mampu menghasilkan keuntungan. Semakin besar rasio ini semakin efektif penggunaan asset ini. Yang perlu diperhatikan dari rasio ini adalah nilai buku asset berbeda dengan nilai pasar dimana nilai buku biasanya lebih rendah dibanding dengan nilai pasar.bila nilai buku dinyatakan undervalue maka akan menghasilkan ROA yang tinggi. Dalam merger, tinggi rendahnya rasio ini harus disikapi dengan terlebih dahulu melihat apakah nilai asset betul-betul memberikan informasi yang sebenarnya. Disinilah akuntan dan appraisal berperan penting dalam menaksir nilai sungguhnya dari aktiva tetap.
21
ROA bisa dicari dengan mengalikan profit margin dengan asset turnover. Dengan demikian ROA dapat ditingkatkan melalui peningkatan profit margin dengan peningkatan perputaran aktiva. ROA = Profit Margin x Asset Turnover
x
x
2.2.2. Return On Equity (ROE) Return on equity mengukur seberapa besar keuntungan bersih yang tersedia bagi pemegang saham. Dengan kata lain rasio ini mengukur berapa rupiah keuntungan yang dihasilkan oleh modal sendiri.
x
x
22
2.3.
Economic Value Added (EVA)
2.3.1. Pengertian EVA Menurut Tunggal sebagaimana yang dikutip oleh Iramani (Jurnal Akuntansi dan Keuangan Volume 7 No. 1 Mei, 2005, p3) menyatakan bahwa metode EVA pertama kali dikembangkan oleh Stewart & Stern seorang analis keuangan dari perusahaan Stern Steward & Co pada tahun 1993. Di Indonesia metode tersebut dikenal dengan metode Nilai Tambah Ekonomi (NITAMI). EVA atau NITAMI adalah metode manajemen keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan yang menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat tercipta manakala perusahaan mampu memenuhi semua biaya operasi dan biaya modal. EVA merupakan tujuan perusahaan untuk meningkatkan nilai atau value added dari modal yang telah ditanamkan pemegang saham dalam operasi perusahaan. Oleh karenanya EVA merupakan selisih laba operasi setelah pajak (Net Operating Profit After Tax atau NOPAT) dengan biaya modal (Cost of Capital). Metode ini digunakan terutama disebabkan terdapat beberapa kelemahankelemahan dan ketidakpastian dalam pengukuran kinerja tradisional, sehingga para praktisi dan akademisi mencoba untuk mengembangkan konsep baru dalam pengukuran kinerja. EVA merupakan suatu perangkat finansial untuk mengukur keuntungan nyata operasi perusahaan. Fenomena yang membuat EVA berbeda dengan penghitungan konvensional lain adalah digunakannya biaya modal dalam perhitungannya, yang
23
tidak dilakukan dalam penghitungan konvensional. Kondisi EVA yang positif mencerminkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi daripada tingkat biaya modal. EVA yang positif menunjukkan kemampuan manajemen dalam menciptakan peningkatan nilai kekayaan perusahaan atau pemilik modal, dan sebaliknya, EVA negatif menyiratkan adanya penurunan nilai kekayaan. Perusahaan mempunyai kinerja yang semakin bagus bila mampu menghasilkan nilai EVA yang semakin positif. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen telah menjalankan tugasnya dengan baik. Suatu perusahaan publik yang menghasilkan nilai EVA negatif meskipun mampu membukukan laba bersih yang tinggi sekalipun, berarti perusahaan ini belum mampu menghasilkan tingkat pengembalian modal yang sepadan untuk menutup resiko dan biaya investasi yang ditanamkan pemilik modal (investor). Atau secara lebih sederhana jika dana pemilik modal tersebut ditanam pada investasi bebas resiko seperti SBI (Sertifikat Bank Indonesia) atau deposito, hasilnya justru akan lebih besar tanpa keluar keringat dan ketakutan terkena resiko fluktuasi di tengah kondisi yang tidak menentu.
2.3.2. Perhitungan EVA Menurut Velez sebagaimana yang dikutip oleh Iramani (Jurnal Akuntansi dan Keuangan Volume 7 No. 1 Mei, 2005, p4) menyatakan bahwa ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur EVA, tergantung dari struktur modal dari perusahaan.
24
EVA berangkat dari konsep biaya modal, yakni resiko yang dihadapi perusahaan dalam melakukan investasinya. Semakin tinggi tingkat resiko investasi, semakin tinggi pula tingkat kembalian (pendapatan) yang dituntut investor. Jika model Return on Invesment (ROI) atau Return on Equity (ROE) berhenti pada laba (return) yang diraih, EVA mengurangi laba dengan biaya modal sehingga manajemen perusahaan dituntut untuk mampu memilih investasi dengan tingkat kembalian optimum dan dengan tingkat resiko minimum Secara sederhana, angka EVA diperoleh dari laba usaha dikurangi biaya-biaya (charges) atas kapital yang diinvestasi (invested capital).
EVA = Laba Operasi Setelah Pajak – Total Biaya Modal
Total biaya modal menunjukkan besarnya pengembalian yang dituntut oleh investor atas modal yang diinvestasikan di perusahaan. Besarnya pengembalian tergantung pada tingkat resiko perusahaan yang bersangkutan, dengan asumsi bahwa investor tidak suka dengan resiko (risk averse), semakin tinggi tingkat resiko, semakin tinggi pula tingkat pengembalian yang dituntut investor.
Biaya modal = Tingkat biaya modal x Total modal yang diinvestasikan
Modal berasal dari dua sumber dana yaitu hutang dan ekuitas. Besarnya tingkat biaya modal (WACC) pada persamaan diatas ditentukan berdasarkan ratarata tertimbang dari tingkat bunga setelah pajak dan tingkat biaya modal atas ekuitas,
25
sesuai dengan proporsi hutang dan ekuitas pada struktur modal perusahaan. Dengan kata lain, perhitungan WACC adalah dengan melihat proporsi struktur modal perusahaan yang terdiri dari Modal hutang (debt) dan modal saham (equity) Rumus perhitungan WACC dapat dituliskan sebagai berikut :
WACC = (m1 x kd after tax )+ (m2 x ke ) dimana : m1 = Proporsi modal hutang m2 = Proporsi modal ekuitas kd = Biaya Hutang (setelah pajak) = Cost of Debt ke = Biaya terhadap Equity = Cost of Equity Biaya hutang adalah tingkat bunga sebelum pajak yang dibayar perusahaan kepada pemberi pinjamannya. Biaya hutang dihitung dari besarnya beban bunga yang dibayarkan oleh perusahaan tersebut dalam periode 1 tahun dibagi dengan jumlah pinjaman yang menghasilkan bunga tersebut.
kd=
Besar pinjaman x 100% Beban bunga
Selanjutnya karena pembayaran hutang ini mengurangi besar pendapatan kena pajak, maka ongkos hutang itu harus dikalikan dengan faktor (1-t) untuk mendapatkan biaya bunga setelah pajak, dimana t adalah tingkat pajak yang harus dibayarkan (%).
26
t=
Pajak yangdibayarkan Pendapatan sebelum pajak Oleh karena itu, besarnya cost of debt setelah pajak dapat dihitung sebagai
berikut : kd after tax = kdx x (1 - t) dimana : kd after tax = Biaya hutang setelah pajak t = tingkat pajak kd = Biaya bunga sebelum pajak Dalam menghitung Cost of Equity, digunakan prinsip bahwa tingkat kembalian yang diharapkan dari suatu investasi beresiko sama dengan tingkat kembalian investasi bebas resiko (risk free) ditambah suatu risk premium (menggunakan prinsip model CAPM). Cost of Equity = Risk Premium + Risk Free dimana : RF : Risk Free Invesment Rate, tingkat bunga investasi bebas resiko RP : Risk Premium Invesment Rate, tingkat resiko yang dihasilkan sebagai akibat melakukan pembiayaan dengan penerbitan saham. Risk Premium mencerminkan resiko yang timbul sebagai akibat perusahaan melakukan investasi dalam ekuitas perusahaan. Semakin beresiko suatu perusahaan, semakin besar nilai Risk Premiumnya (RP). Tabel berikut ini menunjukkan besar Risk Premium untuk berbagai jenis resiko investasi yang berbeda. (Roztocki, 2000).
27
Dari perhitungan akan diperoleh kesimpulan dengan interprestasi hasil sebagai berikut: Jika EVA > 0, hal ini menunjukkan terjadi nilai tambah ekonomis bagi perusahaan. Jika EVA < 0, hal ini menunjukkan tidak terjadi nilai tambah ekonomis bagi perusahaan. Jika EVA = 0, hal ini menunjukkan posisi impas karena laba telah digunakan untuk membayar kewajiban kepada penyandang dana baik kreditur maupun pemegang saham.
2.3.3. Keuntungan dan Kelemahan EVA
2.3.3.1. Keuntungan EVA Menurut Utama sebagaimana yang dikutip oleh Iramani (Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Volume 7, No. 1, Mei 2005, p3-4) menyatakan bahwa manfaat EVA adalah: 1.
EVA dapat digunakan sebagai penilaian kinerja keuangan perusahaan karena penilaian kinerja tersebut difokuskan pada penciptaan nilai (value creation),
2.
EVA akan menyebabkan perusahaan lebih memperhatikan kebijakan struktur modal,
3.
EVA membuat manajemen berpikir dan bertindak seperti halnya pemegang saham yaitu memilih investasi yang memaksimumkan tingkat pengembalian
28
dan meminimumkan tingkat biaya modal sehingga nilai perusahaandapat dimaksimalkan, 4.
EVA dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kegiatan atau proyek yang memberikan pengembalian lebih tinggi daripada biaya-biaya modalnya.
2.3.3.2. Kelemahan EVA Meskipun pendekatan nilai tambah mempunyai kelebihan dari ukuran tradisional, namun pendekatan ini memiliki berbagai kelemahan yaitu : 1.
EVA hanya mengukur hasil akhir, konsep ini tidak mengukur aktivitasaktivitas penentu seperti loyalitas konsumen.
2.
EVA hanya menggambarkan penciptaan nilai pada suatu tahun tertentu. Seperti diketahui bahwa nilai perusahaan tersebut merupakan akumulasi dari EVA selama umur perusahaan atau nilai sekarang selama umur dari perusahaan.
3.
Penggunaan CAPM dalam aplikasi keuntungan ekonomis untuk menghitung biaya modal, tidak cukup untuk mengukur hubungan antara risk dan return, karena bergantung pada data yang dipergunakan, dalam hitungan beta.
4.
Perbedaan taksiran market risk premium akan mengakibatkan perbedaan pada biaya modal dan selanjutnya mengakibatkan perbedaan pada keuntungan ekonomis.