BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Pelayanan Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik dan menyediakan kepuasan pelanggan. Kasmir (2005) mengemukakan bahwa pelayanan diberikan sebagai tindakan atau perbuatan seseorang atau organisasi untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1992) dijelaskan pelayanan sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain. Sedangkan melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang. Sementara itu Pelayanan Umum menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M/PAN/7/2003 diartikan: “Segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundangundangan.” Adapun kata kualitas menurut Barabba (2003:189) memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi mulai dari yang konvensional hingga yang lebih strategis. Definisi konvensional kualitas menggambarkan karakteristik suatu produk seperti: kinerja (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika (esthetics), dan sebagainya. Sedangkan definisi
12
13
strategis lebih menekankan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan dan kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers). Menurut American Society for quality control yang dikutip oleh Lupiyoadi (2002) kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristikkarakteristik dari suatu produk atau jasa dalam hal kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah ditentukan/bersifat laten”. Salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan dari kualitas produk adalah kemampuan organisasi atau perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Keberhasilan organisasi atau perusahaan dalam memberikan layanan yang bermutu kepada para pelanggannya akan berdampak pada pencapaian pangsa pasar yang tinggi, serta peningkatan profit perusahaan tersebut sesuai dengan pendekatan yang digunakannya. Konsekuensi atas pendekatan kualitas pelayanan suatu produk akan memiliki esensi penting bagi strategi perusahaan untuk mempertahankan diri dan mencapai kesuksesan dalam menghadapi persaingan. Berdasarkan pengertian kualitas tersebut, Gaspersz (1997) menyatakan bahwa pada dasarnya kualitas mengacu kepada pengertian pokok yaitu kualitas terdiri atas sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung, maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk. Kualitas terdiri atas segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan. Pada bagian lain Gaspersz (1997) mengutip Juran tentang definisi manajemen kualitas yaitu sebagai suatu kumpulan aktivitas yang berkualitas dengan kualitas tertentu yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
14
1. Kualitas menjadi bagian dari setiap agenda manajemen 2. Sasaran kualitas dimasukkan ke dalam rencana bisnis 3. Jangkauan sasaran diturunkan dari benchmarking: fokus adalah pada pelanggan dan pada kesesuaian kompetisi; di sana adalah sasaran untuk peningkatan kualitas tahunan. 4. Sasaran disebarkan ke tingkat mengambil tindakan 5. Pelatihan ditetapkan pada setiap tingkat 6. Pengukuran ditetapkan seluruhnya 7. Manajer atas secara teratur meninjau kembali kemajuan dibandingkan dengan sasaran 8. Penghargaan diberikan untuk kinerja terbaik 9. Sistem imbalan (reward system) diperbaiki Kualitas pelayanan yang baik adalah menjaga janji pelayanan agar pihak yang dilayani merasa puas dan diuntungkan. Meningkatkan kualitas merupakan pekerjaan semua orang. Selanjutnya Parasuraman and Berry (1985) mengatakan ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expective service (pelayanan yang diharapkan) dan perceived service (pelayanan yang diterima). Karena kualitas pelayanan berpusat pada upaya pemenuhan dari keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan, untuk itu Zeithaml and Bitner (1996) mendefinisikan bahwa pelayanan adalah penyampaian secara excelent atau superior dibandingkan dengan harapan pelanggan. Salah satu pendekatan kulitas pelayanan yang banyak dijadikan acuan dalam pengukuran kualitas adalah model SERVQUAL (Service Quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman and Berry (1985). Para Penulis telah menerapkannya dalam serangkaian penelitian terhadap enam sektor jasa, yaitu: reparasi, peralatan rumah tangga, kartu kredit, asuransi, sambungan telepon jarak jauh, perbankan ritel, dan pialang sekuritas. SERVQUAL dibangun berdasarkan perbandingan dua faktor utama yaitu persepsi pelanggan atas layanan yang nyata
15
mereka terima (perceived service) dengan layanan yang diharapkan atau diinginkan (expected service). Untuk mengukur kualitas pelayanan menurut Parasuraman, et.al yang dikutip oleh Lupiyoadi (2001:148) menjelaskan sebagai berikut: 1. Tangibles (bukti fisik) yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Yaitu meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang dan lain-lain), perlengkapan dan peralatan yang digunakan (teknologi) serta penampilan pegawainya. 2. Reliability (keandalan) adalah kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap simpatik dan dengan akurasi yang tinggi. 3. Responsiveness (daya tanggap) yaitu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. 4. Assurance (jaminan dan kepastian) yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara lain komunikasi, kredibilitas, keamanan, kompetensi dan sopan santun. 5. Emphaty (empati) yaitu memberikan perhatian yang tulus yang bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan pelanggan. Tjiptono (2002) menyimpulkan bahwa citra kualitas pelayanan yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan. Hal ini dikarenakan pelangganlah yang mengkonsumsi serta yang menikmati jasa layanan, sehingga merekalah yang seharusnya menentukan kualitas jasa. Persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa merupakan penilaian yang menyeluruh terhadap keunggulan suatu jasa layanan. Apabila kualitas jasa yang diterima oleh pelanggan lebih baik atau sama dengan yang ia bayangkan, maka cenderung ia akan mencobanya
16
kembali. Tetapi apabila perceived service yang diberikan lebih rendah dari expected service, maka pelanggan akan kecewa dan menghentikan hubungannya dengan perusahaan jasa yang bersangkutan. Tjiptono (2002:61) kemudian merumuskan bahwa bagi pelanggan kualitas pelayanan terkait dengan spesifikasi yang dituntut pelanggan. Pelanggan memutuskan bagaimana kualitas yang dimaksud dan apa yang dianggap penting. Pelanggan mempertimbangkan suatu kualitas pelayanan. Untuk itu, kualitas dapat dideteksi pada persoalan bentuk, sehingga dapat ditemukan: 1. Kualitas pelayanan merupakan bentuk dari sebuah janji 2. Kualitas adalah tercapainya sebuah harapan dan kenyataan sesuai komitmen yang telah ditetapkan sebelumnya. 3. Kualitas dan integritas merupakan sesuatu yang tak terpisahkan. Keberhasilan dalam menjalankan dan mengembangkan pelayanan tidak terlepas dari kemampuan dan pemilihan konsep pendekatannya. Barata (2004:78) mengembangkan konsep pelayanan berdasarkan A6, yaitu: 1. Ability (kemampuan) Ability adalah pengetahuan dalam keterampilan tertentu yang mutlak diperlukan untuk menunjang program layanan, yang meliputi kemampuan dalam bidang kerja yang ditekuni, melaksanakan komunikasi yang efektif, mengembangkan motivasi dan menggunakan public relations sebagai instrument dalam membina hubungan ke dalam dan keluar organisasi atau perusahaan. 2. Attitude (sikap) Attitude adalah perilaku atau perangai yang harus ditonjolkan ketika menghadapi para pelanggan. 3. Appearance (penampilan) Appearance adalah penampilan seseorang, baik bersifat fisik maupun nonfisik, yang mampu merefleksikan kepercayaan diri dari kredibilitas pihak lain. 4. Attention (perhatian) Attention adalah kepedulian penuh terhadap pelanggan, baik yang berkaitan dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan maupun pemahaman atas saran dan kritiknya. 5. Action (tindakan) Action adalah berbagai tindakan nyata yang harus dilakukan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan.
17
6. Accountability (tanggung jawab) Accountability adalah suatu sikap keberpihakan kepada pelanggan sebagai wujud kepedulian untuk menghindarkan atau meminimalkan kerugian atau ketidakpuasan pelanggan. Berdasarkan konsep A6 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam memberikan
pelayanan,
penyelenggara
pelayanan
dituntut
untuk
dapat
meminimalkan apa yang dibutuhkan dan diharapkan oleh pelanggan. Sehingga saat pelanggan merasa senang dilayani oleh petugas tersebut, maka pelayanan petugas sangat memuaskan atau pelayanan petugas berkualitas. Sebaliknya, ketika pelanggan merasa dirugikan aparat akibat pelayanannya berbelit-belit, tidak terbuka atau transparan, maka dapat dikatakan pelayanannya tidak berkualitas. Untuk itulah maka kualitas pelayanan menjadi sangat penting sekali dalam rangka untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gaspersz (1997) menyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers). Kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1992) kualitas diartikan sebagai tingkat baik buruknya sesuatu atau pribadi yang baik dalam bentuk tingkah laku seseorang yang baik yang dapat dijadikan teladan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Menurut Barabba (2003:189) Kualitas juga dapat diartikan sebagai kesesuaian dengan persyaratan dan kesesuaian dengan pihak pemakai atau bebas dari kerusakan atau cacat. Untuk itu Barata (2004:80) menyatakan bahwa kualitas pelayanan adalah suatu kegiatan pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan prinsip: lebih mudah, lebih baik, cepat, tepat, akurat, ramah, sesuai dengan harapan pelanggan. Adapun untuk sektor publik sendiri kualitas pelayanan dapat diartikan sebagai kegiatan pelayanan yang diberikan kepada seseorang atau orang lain,
18
organisasi pemerintah atau swasta (sosial, politik, LSM, dan lain-lain) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan sektor publik adalah pelayanan yang memuaskan masyarakat sesuai dengan standar pelayanan dan azas-azas pelayanan publik atau pelanggan. Kualitas pelayanan adalah pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan standar pelayanan yang telah dibakukan sebagai pedoman dalam pemberian layanan. Standar pelayanan adalah ukuran yang telah ditentukan sebagai suatu pembakuan pelayanan yang baik. Parasuraman dalam Tjiptono (2002:69) telah berhasil mengindetifikasikan sepuluh faktor atau dimensi utama yang menentukan kualitas pelayanan dalam sektor jasa. Kesepuluh dimensi utama kualitas pelayanan tersebut di antaranya: 1. Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Dalam hal Ini perusahaan pemberi jasanya secara tepat semenjak saat pertama (right the first time) dalam memenuhi janjinya. Misalnya menyampaikan jasanya sesuai dengan jadwal yang disepakatinya. 2. Responsiveness, yaitu kemauan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan. 3. Competence, artinya setiap karyawan dalam perusahaan jasa tersebut memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tersebut. 4. Access, yaitu meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi, fasilitas jasa yang mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, saluran komunikasi mudah untuk dihubungi. 5. Courtesy, yaitu meliputi sikap yang sopan santun, respek, perhatian, dan keramahan para contact personnel (seperti resepsionis, operator telepon, dan lain-lain). 6. Communication, artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat dipahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. 7. Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya, kredebilitas mencakup namaperusahaan, reputasi perusahaan, karakteristik contact personnel, dan interaksi dengan pelanggan. 8. Security, yaitu aman dari bahaya, resiko, keragu- raguan . Aspek ini meliputi keamanan secara fisik, keamanan finansial serta kerahasiaan.
19
9. Understanding knowing the customer, yaitu usaha untuk memahami kebutuhan pelanggan. 10. Tangible, yaitu bukti fisik dari jasa yangbisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang digunakan, dan respresentasi fisik dari jasa. Kemudian Deming seperti dikutip Gaspersz (1997), berpendapat bahwa untuk membangun sistem kualitas modern diperlukan transformasi manajemen menuju kondisi perbaikan secara terus menerus (continuous improvement). Transformasi manajemen ini kemudian diringkas ke dalam 14 butir Deming, sebagai berikut: 1. Ciptakan tujuan yang mantap ke arah perbaikan barang maupun produk dan jasa dengan tujuan agar menjadi lebih kompetitif dan tetap dalam bisnis serta memberikan lapangan kerja. 2. Adopsikan cara berfikir (filosofi) yang baru. Kita berada dalam era ekonomi yang baru. Karena itu diperlukan transformasi manajemen untuk menghadapi tantangan dalam memenuhi tanggung jawab serta melakukan kepemimpinan untuk perubahan. 3. Hentikan ketergantungan pada inspeksi massal untuk memperoleh kualitas. Hilangkan kebutuhan untuk inspeksi masal dengan cara membangun kualitas ke dalam produk itu sejak awal 4. Akhiri praktek bisnis dengan hanya bergantung pada harga. Sebaliknya minimumkanlah biaya total. Bergeraklah menuju pemasok (supplier) tunggal setiap barang (item) dengan membina hubungan jangka panjang yang berdasarkan kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust). 5. Tingkatkan perbaikan secara terus-menerus pada sistem produksi dan pelayanan serta tingkatan kualitas dan produktivitas dan dengan demikian serta terus-menerus akan mengurangi biaya. 6. Lembagakan pelatihan kerja. Pelatihan kerja akan meningkatkan kemampuan personil dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya 7. Lembagakan kepemimpinan. Tujuan kepemimpinan seharusnya membantu pekerja, mesin, dan instrumentasi ke arah hasil kerja yang lebih baik. 8. Hilangkan ketakutan sehingga setiap orang dapat bekerja secara efektif untuk perusahaan. 9. Hilangkan hambatan-hambatan di antara departemen. Orang-orang yang berada dalam bagian riset, desain, penjualan dan produksi harus bekerja sama sebagai suatu tim untuk mengantisipasi masalah-masalah dalam produksi dan penggunaan barang dan jasa itu. 10. Hilangkan slogan-slogan, desakan-desakan, dan target-target kepada pekerjaan untuk mencapai sesuatu, sehingga tercapai kerusakan nol (zero defect) dan tingkat produktivitas baru yang lebih tinggi.
20
11. Hilangkan kuota produksi kerja di lantai pabrik. Substitusikan dengan kepemimpinan. Selain itu, hilangkan manajemen serba sasaran (management by objective). Hilangkan manajemen berdasarkan angka produksi. Subtitusikan dengan kepemimpinan. 12. Hilangkan penghalang yang merampok para pekerja dari hak kebanggaan kerja mereka. Tanggungjawab para pengawas (supervisors) harus diganti dari angka-angka produksi ke kualitas produk. Selain itu, hilangkan penghalang yang merampok orang-orang yang berada dalam posisi manajemen dan rekayasa dari hak kebanggaan kerja mereka. Ini berarti menghentikan praktek sistem penilaian tahunan (annual of merit rating) dan manajemen serba sasaran serta manajemen berdasarkan pada angka produksi. 13. Lembaga program pendidikan dan pengembangan diri secara serius 14. Gerakkan setiap orang dalam perusahaan untuk mencapai transformasi di atas. Transformasi menjadi tugas dan tanggung jawab setiap orang dalam perusahaan itu. Gaspersz (1997) menyatakan secara singkat beberapa langkah yang diperlukan untuk menjadikan sistem kualitas modern menjadi lebih efektif, antara lain: 1. Mendefinisikan dan merinci sasaran dan kebijaksanaan kualitas. 2. Berorientasi pada kepuasan pelanggan. 3. Mengarahkan semua aktivitas untuk mencapai sasaran dan kebijaksanaan kualitas yang telah ditetapkan. 4. Mengintegrasikan aktivitas-aktivitas itu dalam organisasi. 5. Memberikan penjelasan maupun tugas-tugas kepada pekerja untuk bersikap mementingkan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan untuk mensukseskan program pengendalian kualitas terpadu. 6. Merinci aktivitas pengendalian kualitas pada penjualan produk. 7. Mengidentifikasikan kualitas peralatan secara cermat. 8. Mengidentifikasikan dan mengefektifkan aliran informasi kualitas, memprosesnya dan mengendalikannya. 9. Melakukan pelatihan (training) serta memotivasi karyawan untuk terus bekerja dengan orientasi meningkatkan kualitas. 10. Melakukan pengendalian terhadap ongkos kualitas dan pengukuran lainnya serta menetapkan standar kualitas yang dinginkan 11. Mengefektifkan tindakan koreksi yang bersifat positif 12. Melanjutkan sistem pengendalian, mencakup langkah selanjutnya dan menerima informasi umpan balik, melakukan analisis hasil, serta membandingkan dengan standar kualitas yang telah ditetapkan. 13. Memeriksa aktivitas dari sistem kualitas modern secara periodik. Berdasarkan beberapa langkah yang diperlukan untuk menjadikan sistem kualitas modern menjadi lebih efektif maka hal ini berlaku pula di pemerintahan
21
yaitu dengan diterapkannya kompetensi pelayanan prima yang diberikan oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat. Kebijakan ini dapat dilihat dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan dan pedoman yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan pelayanan publik antara lain; 1. Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.. 3. Instruksi Presien Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat. 4. Instruksi presiden Nomor 9 Tahun 1998 tentang Pendayagunaan Aparatur Negara. 5. Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. 6. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. 7. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum penyelenggaraan Pelayanan Publik. 8. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. 9. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 26KEP/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabiltas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. 10. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 118/KEP/M.PAN/8/2004 tentang Pedoman Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat Bagi Instansi Pemerintah. 11. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 04/SE/M.PAN/2/2005 tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam rangka tindak lanjut instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. 12. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 10/SE/M.PAN/07/2005 tentang Prioritas Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. 13. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 15/SE/M.PAN/9/2005 tentang Peningkatan Intensitas Pengawasan Dalam Upaya Perbaikan Pelayanan Publik. Beberapa produk hukum di atas memberi dasar hukum legal formal guna memperbaiki kinerja organisasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
22
Oleh karena itu kualitas pelayanan masyarakat dewasa ini tidak dapat diabaikan lagi, bahkan hendaknya disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi. Tuntutan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat dalam era globalisasi tidak akan terhindarkan. Era ini ditandai dengan ketatnya persaingan di segala bidang kehidupan, baik kehidupan berbangsa maupun bermasyarakat. Oleh karena itu kualitas pelayanan merupakan salah satu jawaban dalam menghadapi era globalisasi. Khusus
di
instansi
pemerintah
sendiri,
selama
ini
masyarakat
mengkonotasikan pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat cenderung kurang memuaskan dan tidak berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengaduan yang diajukan kepada aparatur pemerintah akibat adanya oknum yang memberikan layanan buruk kepada masyarakat. Salah satu keluhan yang sering terdengar dari masyarakat yang berhubungan dengan aparatur pemerintah selain pelayanan berbelit-belit, diakibatkan pula pada perilaku birokrasi yang kaku dan perilaku oknum aparatur yang kadang kala kurang bersahabat. Realita ini memerlukan kepedulian dari kalangan aparatur, agar masyarakat mendapatkan layanan prima. Keprimaan dalam pemberian layanan pada gilirannya akan mendapatkan pengakuan atas kualitas pelayanan yang memuaskan masyarakat (pelanggan). Layanan prima adalah layanan yang memberikan kepuasan pelanggan. Hal ini sesuai dengan sepuluh prinsip pelayanan umum yang diatur dalam Keputusan
Menteri
Negara
Pemberdayaan
Aparatur
Negara
Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, kesepuluh prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
23
1. Kesederhanaan; Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan; 2. Kejelasan; a. Persyaratan teknis dan adminsitratif pelayanan publik; b. Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/ sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; c. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran. 3. Kepastian waktu; Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. 4. Akurasi ; Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah. 5. Keamanan; Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum. 6. Tanggung jawab; Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan Penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik. 7. Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (teletematika). 8. Kemudahan Akses; Tempat dan lokasi sarana prasarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informasi. 9. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan; Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas. 10. Kenyamanan; Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapih, lingkungan yang indah dan sehat, serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lainnya. Kualitas pelayanan pada masyarakat merupakan salah satu masalah yang mendapatkan perhatian serius oleh aparatur pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya Standar Pelayanan Publik menurut Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, sekurang-kurangnya meliputi: 1. Prosedur pelayanan; 2. Waktu Penyelesaian; 3. Biaya Pelayanan;
24
4. Produk Pelayanan; 5. Sarana dan Prasarana; 6. Kompetensi petugas pelayanan Tambahan materi muatan standar pelayanan publik tersebut diatas dimaksudkan untuk melengkapi, dasar pertimbangannya cukup realiistis karena memasukan materi muatan dasar hukum memberikan kepastian adanya jaminan hukum/legalitas bagi standar pelayanan tersebut. Disamping itu, persyaratan, pengawasan, penanganan pengaduan dan jaminan pelayanan bagi pelanggan perlu dijadikan materi muatan standar pelayanan publik. Penyusunan standar pelayanan publik, harus mempertimbangkan aspek kemampuan, kelembagaan dan aparat penyelenggara pelayanan, dan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat. Dengan harapan, agar standar pelayanan publik yang ditetapkan dapat dilaksanakan dengan baik, terutama oleh para pelaksana operasional pelayanan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, dimengeti dan diterima oleh masyarakat/stakeholder. Untuk melaksanakan hal tersebut perlu adanya standar pelayanan minimal. Dalam pengertiannya Standar Pelayanan Minimal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal, di antaranya: 1. Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. 2. Indikator SPM adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi, berupa masukan, proses, hasil dan/atau manfaat pelayanan. 3. Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. 4. Disamping pengertian SPM sebagaimana diuraikan di atas, perlu dipahami bahwa SPM berbeda dengan Standar Teknis, karena Standar Teknis merupakan faktor pendukung pencapaian SPM. Perlu dipahami oleh
25
seluruh aparatur pemerintah dan masyarakat, bahwa SPM adalah suatu kondisi yang mensyaratkan daerah menetapkan standar pelayanan untuk jenis pelayanan dasar tertentu dengan indikator dan batas waktu pencapaiannya. SPM harus disusun dengan perencanaan yang matang termasuk rencana penganggarannya. 5. SPM disusun dengan perencanaan yang matang, maksudnya dalam menyusun rencana harus senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip SPM, yaitu sederhana, konkrit, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mempunyai batas waktu pencapaian. 6. Dalam perencanaan SPM harus disusun dan direncanakan penganggarannya, maksudnya agar SPM dapat diukur berapa besar anggaran yang dibutuhkan daerah untuk membiayai jenis pelayanan wajib tertentu berdasarkan standar teknis yang ditentukan. Misalnya; berdasarkan standar teknis, dapat diketahui berapa besarnya biaya untuk membangun satu Puskesmas; yang berkaitan dengan standar fisik bangunan; luas bangunan, jumlah lantai bangunan, konstruksi bangunan. Standar teknis tidak hanya untuk kepentingan teknis pembangunan fisik, tetapi juga berkait dengan kepentingan pengawasan, dan kepentingan perencanaan anggaran seperti; biaya operasional, anggaran penyediaan fasilitas pendukung kegiatan SPM. 7. Standar teknis sebenarnya lebih ditekankan pada kualitas jenis pelayanan dasar yang direncanakan dan berhubungan dengan berapa besar anggaran yang dibutuhkan (fiscal need). Dengan diketahuinya fiscal need, dan dengan mengukur kemampuan PAD-nya (fiscal capacity) daerah dapat mengetahui fiscal gap untuk membiayai SPM dimaksud. Instrumen dari prinsip di atas, menurut Hardjosoekarto (1997) adalah pembalikan mental model pada birokrat dari keadaan lebih suka dilayani menuju pada lebih suka melayani. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat seperti yang terdapat dalam agenda reinventing government adalah pengembangan organisasi yang bermuara pada terwujudnya a smaller, better, faster and cheaper government. Osborne dan Gabler (1993) seperti dikutip Hardjosoekarto (1997) menyatakan bahwa agenda reinventing government ini bertumpu pada prinsip customer driven government (pemerintah berorientasi pada pertama menempatkan pemimpin puncak birokrasi berada pada piramida tertinggi dengan warga negara (customer) berada pada posisi terbawah. Sebaliknya yang kedua menempatkan
26
warganegara {customer) berada pada puncak piramida dengan pemimpin birokrasi berada pada posisi paling bawah. Lihat gambar 2.1 berikut ini.
CEO
Paradigma Lama
MANAJEMEN KARYAWAN PELANGGAN
PELANGGAN
KARYAWAN MANAJEMEN
Paradigma Baru
CEO
Gambar 2.1. Paradigma Pelayanan Sumber: Osborne dan Gaebler (1993) dalam Hardjosoekarto (1997) Pelayanan prima kepada masyarakat telah menjadi bagian penting dari accountability manajemen. Untuk itu perlu disadari bahwa datangnya era pelayanan terbaik kepada masyarakat/pelanggan sangatlah relevan dengan prinsip pengembangan daya saing global. Sejalan dengan jiwa reinventing government, Osborne dan Gaebler (1993) seperti dikutip Hardjosoekarto (1997) dalam Manajemen Pembangunan No. 19/V/April 1997 kembali menyodorkan lima strategi dalam menerapkan reinventing government, di antaranya: 1. 2. 3. 4. 5.
Creating clarity of purpose Creating consequences for performance Puting the customer in thedriver's seat Shifting control away from the top and the center Creating an entrepreneurial culture.
27
Hardjosoekarto (1997) selanjutnya menyatakan bahwa implementasi prinsip reinventing government tersebut di atas dapat ditempuh melalui tiga agenda penting, yaitu: 1. Public-private partnership atau privatization 2. Budgeting reform 3. Organizational development and change. Hasil studi tentang perusahaan-perusahaan industri kelas dunia yang berhasil mengembangkan konsep kualitas dalam perusahaan, menurut Gaspersz, (1997) melahirkan apa yang disebut sebagai Manajemen Kualitas Terpadu (Total Quality Management, TQM). Indonesia dalam posisi sebagai negara yang sedang membangun menuju ke negara industri, perlu membangun suatu sistem kualitas modern dan dapat mempraktekkan manajemen kualitas terpadu dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat sebagai senjata untuk memenangkan persaingan pasar global. Pasar global adalah suatu pasar yang diselimuti oleh situasi dan sistem kompetisi yang demikian ketat. Sehingga kita dihadapkan pada tuntutan ditemukannya suatu jawaban tentang kualitas produk jasa pelayanan yang memuaskan masyarakat pelanggannya. Salah satu konsep dasar dalam memuaskan pelanggan, minimal menurut Gaspersz (1997) mengacu pada: (1) keistimewaan yang terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan atraktif (mempunyai daya tarik; bersifat menyenangkan) yang dapat memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian dapat memberikan kepuasan dalam penggunaan produk itu, (2) kualitas terdiri atas segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.
28
Pedoman kualitas seperti dijelaskan di atas menunjukkan bahwa kualitas selalu berfokus pada kepentingan/kepuasan pelanggan (Customer Focused Quality). Dengan demikian, menurut (Gaspersz, 1997) produk-produk didesain dan diproduksi, serta pelayanan diberikan untuk memenuhi keinginan pelanggan. Oleh karena itu kualitas mengacu pada segala sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan. Suatu produk yang dihasilkan baru dapat dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik, dan diproduksi (dihasilkan) dengan cara yang baik dan benar.
2.2 Pengertian Kepuasan Menurut Tjiptono dan Chandra (2004) bahwa kepuasan telah menjadi konsep sentral dalam wacana bisnis maupun pelayanan publik. Organisasi bisnis dan non-bisnis berlomba-lomba mencanangkan program kepuasan sebagai salah satu tujuan strategisnya, misalnya melalui slogan-slogan seperti ”pelanggan adalah raja”, ”kepuasan anda adalah tujuan kami”, ”we care for customer” dan sebagainya. Brayfild dalam Sibarani (2002) mengatakan bahwa kepuasan dapat diduga dari sikap seseorang terhadap hasil dari suatu pekerjaan. Ini artinya bahwa orang akan merasa puas apabila apa yang diinginkan seseorang atas hasil dari suatu pekerjaan sesuai dengan apa yang mereka peroleh. Lebih lanjut Moorse dalam Pangabean mengemukakan bahwa kepuasan tergantung kepada apa yang diinginkan seseorang dari pekerjaannya dan apa yang mereka peroleh. Di sini dapat diungkapkan bahwa orang yang merasa puas adalah orang yang mempunyai keinginan banyak dan mendapatkannya. Begitu pula bahwa
29
orang yang tidak merasa puas adalah mereka yang mempunyai keinginan paling banyak namun kenyataannya mendapat paling sedikit. Sedangkan orang yang paling
merasa
puas
adalah
orang
yang
menginginkan
banyak
dan
mendapatkannya. Untuk itulah maka kepuasan timbul sebagai akibat dari berbagai sikap seseorang terhadap pekerjaannya, baik berkaitan dengan orang lain maupun kehidupan pada umumnya. Kotler dan Keller (2007:177) mengungkapkan bahwa secara umum, kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa yang muncul dari seseorang setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja (atau hasil) yang diharapkan. Jika kinerja berada di bawah harapannya, maka dia tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, dia akan puas. Sedangkan jika kinerja melebihi harapan, maka dia akan sangat puas atau senang. Rangkuti (2003) menyatakan, bahwa: ”Kepuasan seseorang didefinisikan sebagai respons antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakannya setelah pemakaian.” Dengan kata lain merupakan sikap positif dan menyenangkan yang dirasakan oleh seseorang atas pengorbanannya yang dapat menimbulkan kepuasan. Sehingga kepuasan ini sebagaimana dikemukakan oleh Gibson (1985) akan sangat tergantung pada tingkat intrinsik dan ekstrinsik serta bagaimana persepsi hasil kerja terhadapnya. Intrinsik di sini menyangkut nilai (value) dari suatu hasil kerja. Value ini dapat meliputi aspek sosial, ekonomis, kultural, keamanan, serta prestise yang dapat diraih dari hasil pekerjaan tersebut dan terakses dalam satu hasil pekerjaan kepada mereka sehingga seseorang akan mendapatkan kepuasan. Band (1991:79) menyatakan secara sederhana tentang definisi kepuasan sebagai berikut:
30
“Satisfaction is the state in which customers needs, wants and expectations, through the transaction cycle, are not or exceeded, resulting in repurchase and continuing loyalty. In other words, if customer satisfaction could be expressed as a ratio, it would look like this: customer satisfaction = perceived quality: needs, wants and expectations”. Definisi kepuasan dari Band di atas merumuskan kepuasan sebagai perbandingan kebutuhan, keinginan dan harapan terhadap perputaran transaksi apakah memenuhi atau tidaknya keputusan untuk menggunakan dan meneruskan loyalitasnya. Dalam kata lain, jika seseorang puas dapat diukur dalam sebuah rasio yang akan terlihat dari kepuasan = penerimaan kualitas : kebutuhan, keinginan dan harapan. Pengertian ini dikuatkan oleh Engel dalam
Tjiptono
(2004:146) bahwa: “Kepuasan merupakan evaluasi alternatif yang dipilih untuk sekurang-kurangnya memberikan hasil (outcome) sama atau melampaui harapan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil yang diperoleh tidak memenuhi harapannya. Menurut Day dalam Tjiptono dan Diana (2003) bahwa: “Kepuasan adalah respon terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang disarankan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. Oliver (1997:13) menguatkan mendefinisikan kepuasan sebagai berikut. “Satisfaction is the consumer’s fulfillment response. It is a judgement that a product or service feature, or the product or service itself. Provided (or is providing) a pleasurable level of consumtion-related fulfillment, includinglevels of under or overfulfillments.” Arti dari pleasurable fullfillment disini dapat diartikan bahwa apakah penerimaan hasil dari suatu kinerja dapat memenuhi kesenangan (pleasure), yaitu keinginan, hasrat dan tujuan yang diinginkan. Dari definisi-definisi ini menurut Alma (2004) bahwa kepuasan merupakan suatu perasaan atau penilaian emosional dari seseorang atas harapan dan kebutuhan mereka. Jika sesuai
31
dengan apa yang diharapkan, maka akan terdapat kepuasan dan sebaliknya akan timbul rasa kecewa apabila apa yang dibutuhkan dan diinginkan dan diharapkan tidak tercapai. Dengan kata lain bilamana kenikmatan yang diperoleh melebihi harapannya, maka dia akan betul-betul puas, dan mereka akan mengadakan setia serta memberi rekomendasi kepada rekan-rekannya. Dari penjelasan di atas, dapat dilihat pula bahwa ada kesamaan dalam menjelaskan kepuasan seseorang. Kepuasan pada dasarnya terletak paa individu dan wujud dari kepuasan itu akan tampak pada sikapnya saat ini dan di masa yang akan datang. Sehingga jika seseorang dirasakan telah puas atas kinerja suatu badan, maka dirinya akan menggunakan badan tersebut untuk memuaskan apa yang dibutuhkan dan diinginkan dan harapannya. Hal ini berarti sebuah pengalaman kepuasan akan menimbulkan rasa senang dan positif pada seseorang. Setiap orang yang masuk ke suatu lingkungan yang membawa kebutuhan dan keinginan yang ingin dicapainya atau dipenuhi maka harus ada faktor pendorong dari luar dirinya untuk memberikan atau menunjukkan kinerja yang melebihi kebutuhan dan harapannya. Pemenuhan kepuasan tersebut menurut Handoko (1995) merupakan aspek penting bagi suatu badan atau lembaga karena hal ini akan menciptakan lingkungan positif di lingkungan pekerjaan. Kemudian Fraser (1992) mengungkapkan bahwa kepuasan pada dasarnya merupakan suatu kondisi yang amat subjektif. Kepuasan akan bersifat pribadi atau individual, artinya setiap individu akan mempunyai tingkat kepuasan yang berbedabeda sesuai dengan sistem yang ada pada dirinya. Perbedaan tersebut ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan dan nilai-nilai yang dianut oleh individu
32
dalam kaitannya dengan pengalaman yang diperolehnya. Dengan demikian maka kepuasan pun akan bergeser secara dinamis. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Newstrn dan Davies (1993) bahwa kepuasan bersifat dinamis. Ini artinya bahwa kepuasan dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang dinamai individu. Individu inilah yang menentukan apakah sesuatu kinerja dapat memberinya kepuasan atau ketidakpuasan. Kepuasan di sini menjadi tidak ada batas karena memang kepuasan itu bukanlah sesuatu yang berwujud. (Fraser, 1992). Oleh karena itu individu cenderung
memperkecil
ketidakpuasan
ketimbang
membesar-besarkan
kepuasannya, karena kepuasan itu adalah perasaan pribadi yang kadang-kadang bertentangan dengan kepuasan kelompok. Hal tersebut bisa terjadi karena setiap individu berbeda dalam setiap kondisi dari waktu ke waktu. Agar lebih jelas kita dapat melihat teori yang dikemukakan oleh Wexley dan Yulk (1984) tentang kepuasan. Pertama, discrepancy theory yang mengemukakan bahwa untuk mengukur kepuasan seseorang dapat dilakukan dengan menghitung selisih apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Artinya orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan sebab batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi. Teori ketidaksesuaian antara lain dikemukakan oleh Locke dalam Sule (2000), bahwa kepuasan atau ketidakpuasan bergantung kepada ketidaksesuaian antara apa yang diperoleh dengan apa yang diharapkan. Inividu akan merasa puas bila terjadi kesesuaian antara harapan dengan kenyataan. Ketidakpuasan makin besar jika ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan makin besar pula.
33
Kedua equity theory mengemukakan bahwa orang akan merasa puas sepanjang mereka merasa ada keadilan (equity). Teori keadilan dikembangkan oleh Adams (1993) yang menyebutkan bahwa kepuasan adalah penilaian individu terhadap keadilan atau kewajaran imbalan yang diterima. Keadilan dapat didefinisikan sebagai perbandingan atau rasio input dengan output
yang
ditunjukkan. Prinsip teori keadilan adalah individu akan merasa puas atau tidak puas bergantung pada apakah dirasakan adanya keadilan atau tidak pada suatu situasi. Menurut teori keadilan ada tiga unsur dalam melakukan perbandingan kepuasan, yaitu input, outcomes dan comparison person. Input adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan seseorang sebagai sumbangan terhadap pengorbanannya. Outcomes adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan sebagai hasil dari pengorbanannya. Sementara itu comparison person adalah orang lain yang dapat dijadikan perbandingan rasio input-outcomes yang dimilikinya. Comparison person dapat berupa pengorbanan yang sama di suatu lingkungan dengan lingkungan lain dan mungkin pula dirinya di masa lampau. Karena kepuasan seseorang bergantung pada harapannya, maka Gasperz, (1997:35) mencatat ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan, di antaranya: 1. Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan ketika ia akan mencoba melakukan transaksi. Jika pada saat itu kebutuhan dan keinginannya besar, harapannya akan juga tinggi, demikian selanjutnya. 2. Pengalaman masa lalu ketika mengkonsumsi produk atau jasa. 3. Pengalaman dari teman-teman, dimana mereka akan menceritakan kualitas produk dan jasa yang akan dibeli. 4. Komunikasi melalui iklan dan pemasaran juga mempengaruhi harapan pelanggan.
34
Apabila kepuasan dapat dinyatakan sebagai suatu rasio atau perbandingan Nasution (2005) merumuskan persamaan kepuasan yaitu Z =X/Y, dimana Z adalah kepuasan, X adalah kualitas yang dirasakan, dan Y adalah harapan. Jika seseorang merasakan bahwa kualitas yang dirasakan melebihi harapan mereka, maka kepuasannya akan menjadi tinggi atau paling sedikit bernilai besar dari satu (Z > 1). Sedangkan pada sisi lain, apabila dirinya merasakan kualitas yang dirasakan lebih rendah atau lebih kecil dari harapan mereka, maka kepuasannya akan menjadi lebih rendah atau bernilai lebih kecil dari satu (Z<1). Berdasarkan penjelasan-penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa indikator dari kepuasan adalah berupa kesesuaian antara harapan dengan kenyataan yang ditunjukkan oleh berbagai aspek hasil pekerjaan, yaitu: kinerja-kinerja yang ditunjukkan dengan kebutuhan dan keinginan. Selain pendapat dari para ahli tersebut, indikator kepuasan dalam sektor publik dapat merujuk pada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Sebagai unsur minimal yang harus ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat terdiri dari 14 unsur kepuasan yaitu sebagai berikut: 1. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan; 2. Persyaratan Pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya; 3. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggung jawabnya); 4. Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku;
35
5. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan; 6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahliandan ketrampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat; 7. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan; 8. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani; 9. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati; 10. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan; 11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan; 12. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan; 13. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan; 14. Keamanan Pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan. Dari regulasi tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah berusaha untuk menciptakan kepuasan masyarakat melalui berbagai peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
2.3 Pengertian Pajak Daerah Pajak Daerah menurut Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, menyatakan bahwa Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau Badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan
36
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Untuk meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah dari pos pajak daerah, pemerintah daerah perlu memperluas obyek pajak. Yang dimaksud dengan pajak adalah iuran kepada negara oleh terhutang yang wajib membayarnya (wajib pajak) berdasarkan undang-undang dan wajib pajak tersebut tidak mendapat balasan jasa atas pembayaran kewajiban itu secara langsung. Menurut Mardiasmo (2006) pada prinsipnya sistem perpajakan dan retribusi harus ekonomis, efisien dan adil (economy, efficiency, equity) serta sederhana administrasinya. Davey (1983) mengatakan dalam beberapa hal Pemerintah Regional dibenarkan oleh undang-undang atau peraturan memungut, menaksir atau mengumpulkan pajak pendapatan, bersifat paralel akan tetapi berbeda dengan pajak pendapatan nasional. Secara keseluruhan pembagian administrasi pajak dan perhitungan yang dipakai atas kekayaan di daerah tidak sama dengan pengenaan, pembebasan atau keringanan yang diberikan kepada perorangan untuk tingkat nasional. Pajak Daerah dikenakan kepada masyarakat atau badan usaha di daerah tanpa imbalan langsung atas pembayaran pajak tersebut. Pajak biasanya harus dibayar oleh anggota masyarakat sebagai suatu kewajiban hukum tanpa perimbangan apakah secara pribadi mereka mendapat manfaat langsung dari pembayaran pajak tersebut. Pajak merupakan iuran kepada negara oleh terhutang yang wajib membayarnya (wajib pajak) berdasarkan undang-undang dan si wajib pajak
37
tersebut tidak mendapat balasan jasa atas pembayaran kewajiban itu. Pajak juga merupakan sumber umum penerimaan pemerintah yang hampir tidak berubah dan benar-benar dijaga oleh pemerintah pusat. Pembagian hasil penerimaan ini dengan cara penyerahan atau pembagian adakalanya dicantumkan dalam undang-undang. Beberapa cara pemerintah regional di Negara kesatuan memperoleh penerimaan yang berasal dari pajak pendapatan sebagian karena dimungkinkan oleh sistem pajak nasionalnya dan lainnya karena perbedaan dasar pajak yang ditetapkan pengaturan pembagian hasil pajak yang dimaksud antara lain dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang selanjutnya dirubah dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbanggan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu pada pasal yang menerangkan tentang pembagian hasil Pajak Bumi dan Bangunan dan peroleh hak atas bumi dan bangunan. Jenis pajak daerah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah khususnya provinsi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana tercantum pada pasal 2 ayat (1) yaitu jenis pajak provinsi terdiri atas: 1. 2. 3. 4.
Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB); Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Upaya peningkatan pajak dilakukan di dalam kerangka perbaikan sistem perpajakan secara keseluruhan. Beberapa usaha yang bisa dilakukan (Sitompul; 2000:278) antara lain:
38
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Menghapus pajak daerah yang tidak memuaskan. Memperbaiki kinerja pajak daerah yang ada. Meningkatkan wewenang pemerintah daerah. Meningkatkan administrasi pajak daerah. Menciptakan pajak daerah konvensional yang baru. Menciptakan pajak daerah non konvensional yang baru.
Namun keberhasilan dalam mengelola sumber-sumber penerimaan Pajak Daerah ini tergantung pada kemampuan Pemerintah Daerah itu sendiri dalam mengoptimalisasikan faktor-faktor yang turut menentukan keberhasilan tersebut. Pandangan seperti itu perlu dipertimbangkan karena sesungguhnya suatu fenomena hubungan kualitas antar kebijakan keuangan, dengan kondisi dinamis perekonomian daerah. Dalam konteks itu, seseorang atau wajib pajak bisa dikatakan dengan sukarela ia memenuhi kewajiban pajaknya apabila ia sendiri mempunyai kemampuan lebih untuk memenuhi kewajibannya. Menurut Machfud (1992) pemerintah daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap menempatkan sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai fungsi budgeter dan fungsi regulator. Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sementara fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya pajak minuman keras dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor komoditi tertentu dalam rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri. Ciri utama yang menunjukan suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan
39
sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan Pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD khususnya pajak daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara. Berkaitan dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstentifikasi subyek dan obyek pendapatan. Secara umum, menurut Rencana Strategis (Resntra) Provinsi Banten 2007 – 2012 upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Memperluas basis penerimaan Tindakan yang dilakukan memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain yaitu mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan. 2. Memperkuat proses pemungutan Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antaralain mempercepat penyusunan Perda, mengubah tarif, khususnya tarif retribusi dan peningkatan SDM. 3. Meningkatkan Pengawasan Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi tehadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayar pajak dan pelayanan yang diberikan oleh daerah. 4. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan administrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan.
40
5. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di daerah. Untuk itulah maka cara-ara ini diharapkan akan mampu mengoptimalisasi intensifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah secara maksimal sesuai dengan yang diharapkan.
2.4 Paradigma Penelitian Penelitian ini dilatar belakangi berdasarkan laporan hasil survey Indeks Kepuasan Masyarakat DLLAJ Provinsi Jawa Timur (2006), yang digunakan sebagai acuan dan standar bagi DLLAJ Proponsi Jawa Timur terhadap pelayanan di DLLAJ Provinsi Jawa Timur. Tujuannya secara umum yaitu untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat secara nyata dan mengetahui kecenderungan kinerja pelayanan di DLLAJ Provinsi Jawa Timur dan melakukan evaluasi dan atau revaluasi berkaitan dengan pelayanan DLLAJ Provinsi JATIM kepada masyarakat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa seluruh unit pelayanan pada area pelayanan DLLAJ Provinsi Jawa Timur memiliki nilai Indeks Kepuasan Masyarakat yang BAIK (B). Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan yang telah diberikan oleh petugas pelayanan pada area pelayanan DLLAJ di Jawa Timur sudah cukup baik. Nilai Indeks IKM tertinggi terjadi pada unit pelayanan uji mutu, kemudian unit pelayanan ijin trayek, terakhir unit pelayanan jembatan timbang se-Jawa Timur sehingga dengan indeks IKM ini berarti kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang dilaksanakan di DLLAJ Provinsi Jawa Timur dipengaruhi oleh kualitas pelayanan.
41
Kemudian selain itu penelitian ini ada beberapa penelitian yang mendukung dilaksanakannya penelitian ini, sebagaimana nampak pada Tabel 2.1 berikut ini:
42
Tabel 2.1 Penulis
Judul
Charolina (2008)
Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap Kepuasan Wajib Pajak Pribadi pada Kantor Pelayanan Pajak Cilegon
Nugraha (2008)
Pengaruh Kualitas Pelayanan Speedy Terhadap Kepuasan Konsumen Pada PT. Telkom
Paradigma Penelitian Variabel
Metode Penelitian
1) 2) 3) 4) 5)
Tangible Emphaty Reliability Responsiveness Assurance
Menggunakan metode deskriptif dan korelasional dengan analisis kuantitatif. Jumlah responden sebanyak 174 responden
1) 2) 3) 4) 5)
Tangible Emphaty Reliability Responsiveness Assurance
Menggunakan metode deskriptif analisis dan didesain dengan desain studi kasus dan korelasi. Jumlah sampel yaitu sebanyak 94 orang responden.
Hasil Penelitian Pengaruh Secara Sendiri-Sendiri Pengaruh Bersama-Sama T Æ KEPUASAN KPÆ KEPUASAN r = 0,012; Y = 30,855 + 2,647X1; Y = 11,923 + 0,154X1 + Hipotesis = t hitung (0,119) < t tabel (1,970) 0,414X2 + 0,221X3 + 2,225X4 + 1,873X5 (Sig, 0,05/ α =5%) R = 0,615 E Æ KEPUASAN 2 r = 0,736; Y = 22,012 + 1,933 X2 ; R = 37,82% Hipotesis = t hitung (10,763) > t tabel Hipotesis = F-hitung = 9,052 >F-tabel = (1,970) (Sig, 0,05/ α =5%) 2,831 R Æ KEPUASAN r = 0,643; Y = 29,036 + 0,069X3 ; Hipotesis = t hitung (8,311) > t tabel (1,970) (Sig, 0,05/ α =5%) R Æ KEPUASAN r = 0,710; Y = 39,093 + 1,401X4 ; Hipotesis = t hitung (9,981) > t tabel (1,970) (Sig, 0,05/ α =5%) A Æ KEPUASAN r = 0,019; Y = 13,024 – 11,011X5 ; Hipotesis = t hitung (0,188) < t tabel (1,970) (Sig, 0,05/ α =5%) T Æ KEPUASAN KPÆ KEPUASAN r = 0,019; Y = 32,809 - 2,824X1; Y = 19,928 + 0,645X1 – Hipotesis = t hitung (0,184) < t tabel (1,986) 0,254X2 – 0,886X3 + 1,107X4 + 1,226X5 (Sig, 0,05/ α =5%) R = 0,596 E Æ KEPUASAN 2 r = 0,03; Y = 33,447 – 4,751 X2 ; R = 35,60% Hipotesis = t hitung (0,026) < t tabel (1,986) Hipotesis = F-hitung = 9,709>F-tabel = 2,845 (Sig, 0,05/ α =5%)
Kesimpulan Terdapat pengaruh antara kualitas pelayanan terhadap kepuasan wajib pajak pribadi pada Kantor Pelayanan Pajak Cilegon
Bahwa kepuasan konsumen tidak akan berpegaruh jika tidak didukung dengan adanya variabel-variabel tangibel (X1), reliability (X2), responsiveness
43
Kancatel Serang
Rosmiati (2007)
Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap Kepuasan Nasabah pada Bank Rakyat Indonesia, Tbk. Cabang Pandeglang
1) 2) 3) 4) 5)
Tangible Emphaty Reliability Responsiveness Assurance
Sumber: Data Sekunder (2009)
Menggunakan metode deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 100 orang responden
R Æ KEPUASAN r = 0,013; Y = 33,006 - 1,986X3 ; Hipotesis = t hitung (0,123) < t tabel (1,986) (Sig, 0,05/ α =5%) R Æ KEPUASAN r = 0,510; Y = 16,760 + 0,811X4 ; Hipotesis = t hitung (5,684) > t tabel (1,986) (Sig, 0,05/ α =5%) A Æ KEPUASAN r = 0,004; Y = 33,477 – 6,744X5 ; Hipotesis = t hitung (0,043) < t tabel (1,986) (Sig, 0,05/ α =5%) T Æ KEPUASAN r = 0,635; Y = 42,363 + 1,968X1; Hipotesis = t hitung (8,137) > t tabel (1,985) (Sig, 0,05/ α =5%) E Æ KEPUASAN r = 0,435; Y = 10,335 + 5,369 X2 ; Hipotesis = t hitung (4,782) > t tabel (1,985) (Sig, 0,05/ α =5%) R Æ KEPUASAN r = 0,639; Y = 15,859 + 2,095X3 ; Hipotesis = t hitung (8,224) > t tabel (1,985) (Sig, 0,05/ α =5%) R Æ KEPUASAN r = 0,552; Y = 21,167 + 0,005X4 ; Hipotesis = t hitung (6,553) > t tabel (1,985) (Sig, 0,05/ α =5%) A Æ KEPUASAN r = 0,014; Y = 19,852 – 4,445X5; Hipotesis = t hitung (0,138) < t tabel (1,985) (Sig, 0,05/ α =5%)
(X3), emphaty (X4), dan assurance (X5) atau dalam hal ini unsur-unsur kualitas pelayanan
KPÆ KEPUASAN Y = 12,021 + 2,223X1 – 0,528X2 + 0,153X3 + 1,711X4 + 0,879X5 R = 0,645 R2 = 41,60% Hipotesis = F-hitung = 10,325 >F-tabel = 2,844
Kualitas pelayanan berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan nasabah pada PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk Cabang Pandeglang
44
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan akan memberikan pengaruh terhadap kepuasan pelanggan. Sehubungan dengan hal ini maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: “Unsur-unsur kualitas pelayanan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama mempunyai pengaruh yang berarti terhadap kepuasan pembayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) pada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Provinsi Banten UPTD Kota Tangerang.”