BAB II LANDASAN TEORI II.1.
Pajak Pajak adalah kewajiban setiap Wajib Pajak dalam bentuk pembayaran pajak yang
dipungut oleh negara dan dipaksakan berdasarkan undang-undang. Dengan berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan tahun 1984 yang menganut sistem pemungutan Self Assessment dimana Wajib Pajak diwajibkan menghitung, memotong/memungut, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Berbeda dengan sistem Self Official Assessment Wajib Pajak mempunyai tanggung jawab yang lebih besar.
Untuk
memenuhi tanggung jawab tersebut, Wajib Pajak sudah seharusnya mengetahui dan mengerti permasalahan yang berhubungan dengan pajak, baik itu mengenai definisi pajak, jenis–jenis pajak ataupun tata cara pelaksanaan pajak itu sendiri. II.1.1. Pengertian dan Jenis Pajak Berbagai macam batasan atau definisi tentang pajak dikemukakan oleh banyak ahli dari waktu ke waktu, walaupun definisi yang diberikan berbeda-beda tapi pada dasarnya dari semua itu memiliki kesamaan. Ada berbagai pengertian pajak yang telah dikemukakan oleh para ahli perpajakan antara lain : Feldmann yang diterjemahkan oleh Resmi (2003) mendefinisikan, “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut normanorma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.” (h.1).
6
Andriani yang diterjemahkan oleh Brotodiharjo (2003) mendefinisikan, “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi–kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” (h.2). Soemitro seperti dikutip oleh Waluyo dan Ilyas (2002) mendefinisikan, “ Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” (h.2). Waluyo dan Ilyas (2002) menyatakan, dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, yaitu: 1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investmen atau pembangunan. 5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur termasuk semua aspek kenegaraan dan kehidupan tertentu (h.2).
7
Menurut Waluyo dan Ilyas (2002), ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, terdapat dua fungsi pajak yaitu : 1. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi (h.3). Pajak dapat dibedakan jenisnya berdasarkan atas sifat-sifat tertentunya maupun ciri-ciri tertentu untuk memudahkan pekerjaan dalam prakteknya. Menurut Mardiasmo (2003), pajak terbagi kedalam golongan-golongan berdasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dijabarkan sebagai berikut : 1. Menurut Golongan a. Pajak Langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Tidak Langsung , adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2. Menurut Sifatnya a. Pajak Subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya
yang
selanjutnya
dicari
syarat
objektifnya,
dalam
arti
memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan
8
b. Pajak Objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). 3. Menurut Pemungutnya a. Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : PPh, PPN, PPnBM, PBB dan Bea Meterai. b. Pajak Derah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak Hotel, Pajak Hiburan, Pajak Kendaraan Bermotor, dan lain-lain (h.5). II.1.2. Pajak Penghasilan Gunadi (2003) mendefinisikan, “Pajak Penghasilan yaitu pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak.”(h.3). Sejak tahun 1994 Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undangundang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Dalam sejarah perkembangannya Undang-undang PPh ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 yang mulai diberlakukan per 1 Januari 2001. Ditinjau dari pengelompokannya, pajak penghasilan dikategorikan sebagai Pajak Pusat, tetapi ditinjau dari sifatnya dikategorikan sebagai Pajak Subjektif. Dengan pengertian bahwa pajak penghasilan ini berpangkal atau mendasarkan pada subjeknya dalam arti memperhatikan subjek pajaknya.
9
II.1.2.1. Subjek dan Ojek Pajak serta Tarif Pajak Mardiasmo (2003) mendefinisikan, “Subjek Pajak adalah siapa yang dikenakan pajak” (h.33). Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Yang menjadi Subjek Pajak, yaitu : 1. a. Orang Pribadi b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. 2.
Badan
3.
Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Dalam UU PPh Pasal 2 , Subjek Pajak terdiri dari 2 yaitu : 1. Subjek Pajak Dalam Negeri Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Dalam Negeri adalah : a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. 2. Subjek Pajak Luar Negeri Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Luar Negeri adalah : a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 10
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Objek pajak adalah apa yang dikenakan pajak. Dalam UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan dalam pasal 4 menyebutkan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bantuk apapun. Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU PPh, penghasilan yang termasuk sebagai Objek Pajak, antara lain adalah : 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya. 2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. 3. Laba usaha. 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota. 11
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha. d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. 6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. 7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 8. Royalti. 9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. 11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 14. Premi asuransi.
12
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas . 16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Berdasarkan UU PPh No.17 Tahun 2000 pasal 17, besarnya tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, sebagai berikut : a. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri adalah Tabel 2.1
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
sampai dengan Rp 25.000.000,00
5%
di atas Rp 25.000.000,00
10%
s.d Rp 50.000.000,00 di atas Rp 50.000.000,00
15%
s.d Rp 100.000.000,00 di atas Rp 100.000.000,00
25%
s.d Rp 200.000.000,00 di atas Rp 200.000.000,00
35%
13
b. Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah : Tabel 2.2
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00
10%
di atas Rp 50.000.000,00
15%
s.d Rp 100.000.000,00 di atas Rp 100.000.000,00
30%
II.1.2.2. Biaya Fiskal dan Biaya Non Fiskal Menurut ketentuan UU Pajak Penghasilan, biaya-biaya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (biaya fiskal / deductable expense) dan biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (biaya non fiscal / non-deductable expense). Sesuai dalam UU PPh Pasal 6, biaya-biaya yang menjadi pengurang penghasilan bruto adalah : 1. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi dan pajak kecuali Pajak Penghasilan. 2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat labih dari 1 (satu) tahun.
14
3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 4. Kerugian karena penjualan atas pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. 5. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing. 6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia. 7. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan. 8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat : a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial. b. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan. c. Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus. d. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak. Sedangkan dalam UU PPh Pasal 9 disebutkan biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, antara lain : 1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden, termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota. 15
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. 4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa, yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan. 5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. 6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempuyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. 7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan, kecuali zakat atau penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribai pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak abadan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. 8. Pajak Penghasilan. 9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya. 16
10. Gaji yag dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. 11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan. II.1.2.3. Kredit Pajak Djuanda dan Lubis (2001) mendefinisikan, “Kredit Pajak adalah pajak yang telah dilunasi setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak maupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, yang merupakan angsuran pajak yang boleh dikurangkan dari pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan, kecuali yang bersifat pembayaran pajak penghasilan (PPh) yang final” (h.72). Kredit pajak tersebut dapat diklasifisikan dan dijelaskan sebagai berikut :
Pajak Penghasilan Pasal 21 Djuanda dan Lubis (2001) mendefinisikan, “PPh Pasal 21 adalah pajak yang
dipotong oleh pihak lain atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri” (h137). PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pihak lain tersebut sepanjang tidak bersifat final dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri terhadap Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan. PPh Pasal 21 dipotong, disetor dan dilaporkan oleh Pemotong Pajak yaitu, pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara
17
kegiatan. Mengenai petunjuk pelaksanaan, pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 terdapat dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep. 15/PJ/2006. Menurut UU PPh No. 17 Tahun 2000, penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut : 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pension bulanan, upah , bonorarium, premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan teratur, beasiswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apa pun. 2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gartifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, premi tahunan dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan yang biasanya dibayarkan sekali dalam setahun. 3. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan. 4. Uang tebusan pension, uang tabungan hari tua atau JHT, uang pesangon, dan pembayaran lain sejenis. 5. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri. 6. Gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pension dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pension.
18
7. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak. Sedangkan Penghasilan yang tidak termasuk objek pemotongan PPh Pasal 21, menurut UU PPh No. 17 Tahun 2000 yaitu antara lain: 1. Pembayaran
asuransi
dari
perusahaan
asuransi
kesehatan,
asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. 2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apa pun kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak. 3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan penyelenggara Taspen dan Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja. 4. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh Pemerintah. 5. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja 6. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Pajak Penghasilan Pasal 22 Gunadi (2003) mendefinisikan, “PPh Pasal 22 adalah pajak yang dipungut oleh
bendaharawan pemerintah baik Pusat maupun Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga Negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain”(h.53). PPh Pasal 22 tersebut dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak dalam negeri atau Bnetuk Usaha Tetap (BUT) terhadap PPh yang terutang pada akhir tahun pajak sepanjang tidak bersifat final. Tata cara penyetoran, pelaporan dan pemungut PPh Pasal 19
22 terdapat dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.04/2001 tanggal 30 April 2001.
Pajak Penghasilan Pasal 23 Waluyo dan Ilyas (2002) mendefinisikan, ”PPh Pasal 23 adalah pajak yang
dikenakan atas penghasilan yang berasal dari
modal, penyerahan jasa maupun
penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21”(h.187). PPh Pasal 23 tersebut dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak dalam Negeri atau BUT sepanjang tidak bersifat final. Tata cara pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada saat penghasilan dibayarkan oleh pemberi penghasilan. PPh Pasal 23 yang dipotong disetorkan ke bank persepsi atau kantor pos dan giro dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. Pelaporan PPh Pasal 23 dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya. Dasar hukum pengenaan PPh Pasal 23 terdapat dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak
No. Kep. 96/DJP/2001 Tanggal 7 Februari 2001 dan aturan
pelaksana lainnya. Untuk jasa-jasa tertentu yang dipotong PPh Pasal 23 diatur berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep. 170/PJ/2002. Pemotong PPh Pasal 23 adalah pihak – pihak yang membayarkan penghasilan, yaitu : 1. Badan Pemerintah 2. Subjek pajak badan dalam negeri 3. Penyelenggara kegiatan 4. Bentuk usaha tetap 5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya 6. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk Dirjen Pajak 20
Waluyo dan Ilyas (2002) menyatakan, tarif dan objek Pajak Penghasilan Pasal 23 dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : 1. 15% dari jumlah bruto atas penghasilan berupa : a. Dividen b. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang c. Royalti d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. 2. Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi. 3. 15% dari perkiraan penghasilan neto atas penghasilan berupa : a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum, jasa konsultan pajak, dan jasa lain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 (h.177).
Pajak Penghasilan Pasal 24 Resmi (2003) mendefinisikan, “PPh Pasal 24 adalah pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri”(h.53) Untuk menghitung PPh yang terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, maka
atas
seluruh
penghasilan
wajib
pajak
tersebut
digabungkan.
Aturan
21
pelaksanaannya
yaitui
berdasarkan
Keputusan
Menteri
Keuangan
No.KEP-164/KMK/03/2002 Tanggal 19 April 2002 tentang kredit pajak luar negeri.
Pajak Penghasilan Pasal 25 Waluyo dan Ilyas (2002) mendefinisikan, “PPh Pasal 25 adalah angsuran Pajak
Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam tahun berjalan. Angsuran PPh Pasal 25 ini dapat dijadikan kredit pajak terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan”(h.196). Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut serta yang terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, sebagaimana dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 untuk kemudian dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Aturan mengenai pelaksanaan PPh Pasal 25 terdapat dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.Kep. 171/PJ/2002 Tanggal 28 Maret 2002. Menurut Waluyo dan Ilyas (2002), aturan mengenai penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 25 adalah sebagai berikut : 1. Pajak Penghasilan Pasal 25 harus dibayar atau disetorkan selambat-lambatnya tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. 2. Wajib Pajak diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir dalam bentuk Surat Setoran Pajak (SSP) Lembar ketiga (h.199).
22
Pajak Penghasilan Pasal 29 Resmi (2003) mendefinisikan, “PPh Pasal 29 adalah jenis PPh yang dibayar di
belakang,
yaitu
setelah
seluruh
PPh
dalam
suatu
tahun
pajak
selesai
diperhitungkan”(h.111). PPh Pasal 29 ini akan muncul apabila pada akhir tahun pajak ternyata masih ada Pajak Penghasilan yang kurang atau masih harus dibayar, dimana PPh yang terutang lebih besar daripada PPh yang telah dibayar pada suatu tahun pajak, maka Wajib Pajak harus melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang sebelum SPT Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan. Apabila tahun buku sama dengan tahun takwim, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak, yang sebagian besar dilakukan pada tanggal 25 Maret sebagaimana tahun kalender. Pelaporan SPT PPh Tahunan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak atau tanggal 31 Maret.
II.1.3. PajakPenghasilanFinal PPh Final Pasal 4 ayat (2) menurut UU PPh No. 17 Tahun 2000, adalah pajak penghasilan yang antara lain dikenakan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, yang pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Objek-objek yang terutang PPh Final tersebut tetap dilaporkan dalam SPT, tetapi tidak digabung dalam perhitungan PPh.
23
Penghasilan yang pengenaan pajaknya didasarkan pada Pasal 4 Ayat (2), adalah antara lain termasuk : 1. Penghasilan bunga deposito dan tabungan lain. Dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah No. 131 Thaun 2000. 2. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek. Dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahaun 1997, Keputusan Menteri Keuangan No. 282/KMK.04/1997 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak SE-06/PJ.4/1997. 3. Penghasilan dari pengalihan tanah dan atau bangunan. Dasar hukumnya adalah peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Th 1994, PP No. 27 Th 1996, PP No. 79 Th 1999. 4. Penghasilan tertentu lainnya, antara lain pajak atas sewa tanah dan atau bangunan, revaluasi aktiva, penghasilan jasa konstruksi dengan penyerahan di bawah satu milyar. Dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2002 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 227/PJ/2002. II.1.4. Kompensasi Kerugian Apabila penghasilan bruto dari Wajib Pajak dalam negeri dan BUT setelah dilakukan pengurangan-pengurangan sesuai dengan pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan (deductible expense), lalu masih terdapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut mulai tahun pajak berikutnya sesudah tahun pajak didapat kerugian tersebut. Kompensasi tidak berlaku untuk kerugian usaha atau kegiatan di luar
24
Indonesia, namun hanya dapat dikompensasikan di negara tempat usaha dijalankan atau kegiatan dilakukan. II.I.5. Fiskal Luar Negeri (FLN) Djuanda dan Lubis (2001) mendefinisikan, bahwa Fiskal Luar Negeri merupakan pajak yang dibayar oleh orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri, FLN tersebut merupakan angsuran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25) yang dapat dikreditkan dengan jumlah PPh terutang pada akhir tahun dalam SPT Tahunan Orang Pribadi untuk tahun pajak yang bersangkutan (h.200). Apabila pembayaran FLN bagi karyawan yang akan bertolak ke luar negeri dalam rangka dinas ditanggung pemberi kerja, maka FLN tersebut dapat dikreditkan oleh pemberi kerja terhadap PPh terutang dalam SPT Tahunan pemberi kerja untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan syarat pada Surat Setoran Pajak (SSP) atau Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBFLN) dicantumkan nama karyawan, nama pemberi kerja dan NPWP yang dicantumkan adalah NPWP pemberi kerja, hal ini diatur dalam PPh Pasal 25 ayat (8). II.1.6. Rekonsiliasi Laporan Komersial dengan Laporan Fiskal Laporan keuangan dimaksudkan untuk menyediakan informasi keuangan mengenai suatu badan usaha yang akan dipergunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan sebagai bahan pertimbangan di dalam pengambilan keputusan ekonomi. Laporan keuangan komersial pada umunya berbeda dengan laporan keuangan fiskal, karena laporan keuangan fiskal disusun berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, sedangkan laporan keuangan komersial disusun berdasarkan SAK (Standar Akuntansi Keuangan).
25
Adapun perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan dalam pengakuan pendapatan penghasilan dan beban antara akuntansi komersial dan fiskal sehingga menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Mengacu pada pendapat Suandy (2003), bahwa perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu : a. Perbedaan Waktu (timing difference) adalah perbedaan pengakuan pendapatan dan beban antara laporan keuangan yang dihasilkan menurut SAK dengan laporan menurut pajak yang disebabkan karena adanya perbedaan waktu pengakuan penghasilan dan biaya serta beban yang bersifat sementara yang mengakibatkan adanya penundaan dan dipercepatnya pengakuan penghasilan ataupun beban. b. Perbedaan Tetap (permanent difference) adalah perbedaan yang terjadi karena peraturan perpajakan menghitung laba fiskal berbeda dengan perhitungan laba menurut standar akuntansi keuangan tanpa ada koreksi dikemudian hari (h.89).
II.2.
Manajemen Pajak Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara ilegal dapat dilakukan
melalui manajemen pajak. Lumbantoruan seperti dikutip oleh Suandy (2003) mendefinisikan, “Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan.” (h.6). Tujuan manajemen pajak yaitu menerapkan peraturan perpajakan dengan benar sebagai usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang diharapkan.Tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsinya yaitu perencanaan pajak (tax
26
planning), pelaksanaan kewajiban pajak (tax implementation) dan pengendalian pajak (tax control). II.2.1. Perencanaan Pajak (Tax Planning) Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan, dengan maksud dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang dilakukan. Tujuan
dari perencanaan pajak pada dasarnya adalah untuk meminimalkan
beban pajak yang terutang oleh Wajib Pajak tanpa melanggar ketentuan dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Suatu perencanaan pajak yang tepat akan menghasilkan beban pajak yang minimal melalui penghematan pajak (tax saving) dan atau penghindaran pajak (tax avoidance) yang dapat diterima oleh aparat perpajakan, dalam arti hal-hal tersebut di atas dapat dilakukan untuk meminimalkan beban pajak secara legal, karena dilakukan sepanjang sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Mengacu pada Suandy (2003), terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam melakukan perencanaan pajak, yaitu : 1. Perencanaan pajak yang dilakukan untuk menghemat pajak tidak melanggar peraturan perundang-undangan perpajakan agar tidak mengancam keberhasilan perencanaan pajak tersebut. 2. Perencanaan pajak yang dilakukan secara bisnis harus masuk akal agar tidak memperlemah perencanaan pajak tersebut. 3. Perencanaan pajak yang dilakukan harus mempunyai bukti-bukti pendukung yang memadai, seperti dukungan perjanjian (agreement), faktur (invoice), dan juga perlakuan akuntansinya (accounting treatment) (h.7). 27
II.2.2. Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (Tax Implementation) Apabila pada tahap perencanaan pajak telah diketahui faktor-faktor yang akan dimanfaatkan untuk melakukan penghematan pajak, maka langkah selanjutnya adalah melaksanakan hasil perencanaan pajak sebaik mungkin dan harus dipastikan bahwa pelaksanaan kewajiban perpajakan telah memenuhi ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku sejalan dengan tujuan manajemen pajak. Mengacu pada Suandy (2003), untuk dapat mencapai tujuan manajeman pajak, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu : a. Memahami ketentuan perpajakan. Dengan mempelajari peraturan perpajakan seperti undang-undang pajak, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan dan peraturan – peraturan pendukung lainnya, Wajib Pajak dapat mengetahui peluang-peluang dan celahcelah yang dapat dimanfaatkan untuk menghemat beban pajak. b. Menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat yang telah ditentukan. Pembukuan merupakan sarana yang penting dalam penyajian informasi keuangan perusahaan yang disajikan dalam bentuk laporan keuangan dan menjadi dasar dalam menghitung besarnya jumlah pajak terutang (h.10). II.2.3. Pengendalian Pajak (Tax Control) Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi persyaratan secara formal dan material. Dalam pengendalian pajak yang penting adalah pengecekan pembayaran pajak. Akhir dari prosedur perpajakan adalah pemeriksaan pembayaran dan pelaporan pajak. Oleh karena itu, pengendalian dan pengaturan arus kas sangat penting dalam strategi penghematan pajak, misalnya dalam melakukan pembayaran pajak pada saat28
saat terakhir tentu akan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan membayar lebih awal. Tetapi jika lewat dari tanggal jatuh tempo, maka akan terkena resiko dikenakannya sanksi sebesar 2% dari keterlambatan. Dalam hal pemeriksaan pajak jika perusahaan telah membayar pajak lebih besar dari jumlah pajak terutang, maka perusahaan dapat segera mengajukan permohonan restitusi sebagai pengembalian kelebihan pembayaran pajaknya.
II.3.
Motivasi Dilakukannya Perencanaan Pajak (Tax Planning) Mengacu pada Suandy (2003), banyak motivasi yang mendasari dilakukannya
suatu perencanaan pajak (tax planning), namun semua itu bersumber dari adanya tiga unsur perpajakan, yaitu : 1. Kebijakan Perpajakan (Tax Policy) Kebijakan perpajakan (tax policy) merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. Faktor-faktor yang mendorong dilakukannya perencanaan pajak antara lain : a. Pajak yang akan dipungut Agar tidak mengganggu arus kas, perencanaan pajak yang baik harus dapat menganalisis suatu transaksi akan terkena pajak apa dan berapa dana yang diperlukan, sehingga dapat diketahui penghasilan bersihnya. b. Subjek Pajak Indonesia menganut prinsip kesatuan usaha yaitu pemisahan antara badan usaha dengan pribadi miliknya, sehingga menimbulkan pajak ganda. Hal ini yang menyebabkan timbulnya usaha perencanaan pajak dengan adanya pertimbangan
29
penundaan pembayaran deviden dengan cara meningkatkan jumlah laba yang ditahan bagi perusahaan yang akan menimbulkan penundaan pembayaran pajak. c. Objek Pajak Adanya perlakuan pajak yang berbeda atas objek pajak yang secara ekonomis sama, akan menimbulkan perencanaan pajak untuk meminimalkan beban pajak. Objek pajak merupakan basis perhitungan besarnya pajak, maka manajemen akan merencanakan pajak yang tidak lebih yang bisa mengurangi optimalisasi alokasi sumber daya dan tidak kurang agar tidak terjadi pemborosan dana untuk membayar sanksi. d. Tarif Pajak Adanya penerapan tarif berlapis di Indonesia mengakibatkan seorang perencana pajak akan berusaha sedapat mungkin dikenakan tarif yang paling rendah (low bracket). e. Prosedur yang dilakukan Adanya self assessment dan payment system mengharuskan suatu perencanaan pajak dilakukan dengan baik. Sistem pemungutan withholding yang ditingkatkan di Indonesia akan mengganggu arus kas perusahaan dan juga bisa mengakibatkan kelebihan pembayaran atas pemungutan terdahulu, hal ini akan memerlukan waktu dan biaya dalam memperoleh restitusi pajak. 2. Undang-undang Perpajakan (Tax Law) Kita menyadari bahwa kenyataannya dimanapun tidak ada Undang-undang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna, maka dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan lain (Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya), maka tidak jarang terjadi pertentangan antara 30
undang-undang dengan ketentuan peraturan lainnya. Akibatnya terbuka celah (loopholes) bagi Wajib Pajak untuk memanfaatkannya dalam perencanaan pajak yang baik. 3. Administrasi Perpajakan (Tax Implementation) Indonesia sebagai negara yang sedang membangun masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan administrasi perpajakannya secara memadai. Hal ini mendorong perusahaan untuk melakukan perencanaan pajak
dengan baik agar
terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya perbedaan penafsiran antara fiskus dengan Wajib Pajak akibat luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang belum efektif (h.13).
II.4.
Tahap Perencanaan Pajak Dalam era globalisasi dan tingkat persaingan yang ketat saat ini, seorang
perencana pajak harus memperhatikan adanya kegiatan yang bersifat lokal maupun internasional. Mengacu pada Suandy (2003), agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai tujuannya, harus melalui tahap-tahap berikut ini: 1. Menganalisa informasi yang ada Menganalisa komponen yang berbeda atas pajak yang terkait dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang harus ditanggung Wajib Pajak secara keseluruhan. Oleh karena itu, seorang perencana pajak harus memperhatikan faktor-faktor internal maupun eksternal yaitu : a. Fakta yang relevan Seorang perencana pajak harus benar-benar menguasai situasi yang dihadapi, baik dari segi internal maupun eksternal serta perubahan yang terjadi agar 31
perencanaan pajak dapat dilakukan dengan tepat atas transaksi - transaksi perusahaan yang berdampak dalam perpajakan. b. Faktor pajak Dalam menganalisis setiap permasalahan yang dihadapi seorang perencana pajak harus mengetahui betul kewajiban perpajakan yang dihadapi baik di dalam maupun di luar negeri. b. Faktor Non-Pajak Ada beberapa faktor non-pajak yang perlu diperhatikan dalam penyusunan perencanaan pajak yaitu masalah badan hukum, mata uang asing dan nilai tukar, masalah pengendalian devisa, masalah program insentif investasi yang diberikan oleh suatu negara dan masalah faktor non-pajak lainnya seperti hukum, ekonomi, politik dan lain sebagainya. 2. Membuat satu model atau lebih rencana besarnya pajak 3. Evaluasi atas perencaaan pajak Perencanaan pajak merupakan sebagian kecil dari seluruh perencanaan strategik perusahaan. Oleh karena itu, sangat diperlukan evaluasi untuk melihat keberhasilan suatu perencanaan pajak dalam meminimalkan beban pajak. 4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak Hasil suatu perencanaan pajak dikatakan baik atau tidak harus melalui evaluasi atas rencana yang dibuat. Terkadang suatu perencanaan pajak harus diubah karena adanya perubahan peraturan perundang-undangan perpajakan. Meskipun diperlukan penambahan biaya dan kemungkinan keberhasilannya sangat kecil, rencana tersebut tetap dijalankan sepanjang penghematan pajak masih besar dan
32
akan sangat membantu jika rencana tersebut disertai gambaran keuntungan dan kerugian atas suatu perencaan pajak. 5. Memutakhirkan rencana pajak. Memutakhirkan rencana pajak adalah konsekuensi yang perlu dilakukan atas perkembangan yang akan datang dan saat ini dengan mengikuti setiap perubahan peraturan perundang-undangan perpajakan, dimana seorang perencana pajak akan mampu mengurangi resiko yang merugikan atas perubahan dan mampu memperoleh manfaat yang maksimal (h.14).
II. 5. Perencanaan Pajak untuk Meminimalkan Beban Pajak Menurut Suandy (2003), terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meminimalkan beban pajak penghasilan badan, yaitu : 1. Pemilihan metode pembukuan yang digunakan. Metode pembukuan yang diperbolehkan dalam peraturan perpajakan tidak berbeda dengan akuntansi, yaitu basis akrual dan basis kas. Basis akrual (accrual basis) adalah metode dimana pendapatan dan biaya diakui dan dilaporkan pada saat timbulnya hak dan kewajiban walaupun uangnya belum diterima atau dibayar. Sedangkan basis kas (cash basis) adalah metode dimana pendapatan dan biaya dilaporkan pada saat terjadinya penerimaan dan pengeluaran uang. Dari sisi efisiensi pajak, basis akrual lebih menguntungkan karena dalam modifikasi perpajakan biaya administrasi dan umum dibebankan pada saat timbulnya kewajiban.
33
2. Pengelolaan transaksi yang berkaitan dengan pemberian kesejahteraan kepada karyawan. Banyak peluang efisiensi Pajak Penghasilan yang dapat dilakukan pada biayabiaya yang terkait dengan kesejahteraan karyawan. Kesejahteraan karyawan yang dapat diberikan antara lain, tunjangan transportasi, tunjangan pengobatan dan rumah sakit, makanan dan natura lainnya, seragam kerja karyawan dan lain sebagainya. 3. Pemilihan sumber dana dalam pengadaan aktiva tetap. Untuk meminimalkan beban pajak, sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) sebaiknya dipilih karena jangka waktu sewa guna usaha umumnya lebih pendek dari umur aktiva dan pembayaran sewa guna usaha dapat dibiayakan seluruhnya. 4. Pemilihan metode penyusutan yang diperbolehkan peraturan perpajakan Metode dan penyusutan atau amortisasi yang diperkenankan dalam peraturan perpajakan adalah metode garis lurus (straight line method) dan metode saldo menurun (double declining balance method). Metode mana yang akan dipakai tergantung pada Wajib Pajak, sepanjang dilaksanakan dengan taat asas. Metode yang dipilih harus diterapkan terhadap seluruh kelompok harta, agar tidak timbul perbedaan persentase dalam penyusutan fiskal (h.19).
34