BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Murabahah Murabahah, secara bahasa murabahah merupakan bentuk mutual (saling) dari kata ribh yang artinya keuntungan, yakni pertambahan nilai modal atau saling mendapatkan keuntungan. Sedangkan menurut terminologi ilmu fiqih, murabahah adalah menjual dengan modal asli bersama tambahan keuntungan yang jelas.1 Murabahah dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakanya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjualan dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut, dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut, keuntungan tersebut bisa berupa Lump sum atau berdasarkan presentase. Dengan kata lain bahwa prinsip murabahah ini adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa yang membedakan murabahah dengan penjualan yang biasa kita kenal adalah penjualan secara jelas memberi tahu kepada pembeli beberapa harga pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang diinginkannya. Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual beli antara bank selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan untuk 1
Muhammad Suyanto, Muhammad Bussines Strategi dan Ethnics, (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2008), hlm.247.
23
24
membeli barang. Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai terlebih dahulu. Dengan kata lain nasabah telah memperoleh pembiayaan dari bank untuk pengadaan barang tersebut.2 Karena pembiayaan murabahah ini merupakan pembiayaan yang memposisikan nasabah sebagai pembeli dan bank sebagai penjual. Maka secara operasional pembiayaan murabahah ini murni menggunakan rukun dan syarat jual beli, dimana terdapat beberapa hal yang harus ada dalam transaksi jual beli tersebut. Harus ada penjual, pembeli, objek yang diperjualbelikan, ada ijab dan qobul serta akad yang menyertai perjanjian jual beli ini. Murabahah juga salah satu produk pembiyaan perbankan syariah yang memiliki skema pembiayaan dengan metode jual beli, misalnya seperti dalam pembiayaan kendaraan. Yaitu bank akan membeli kendaraan yang diminta nasabah kemudian bank menjual kembali kendaraan tersebut kepada nasabah, lalu nasabah membayar kepada bank dengan cara cicilan atau sekaligus diakhir waktu kesepakatan pelunasan. Besarnya cicilan adalah tetap tidak berubah sampai masa pembayaran berakhir. Dengan hal tersebut maka menjadi lebih jelas bahwa murabahah bukanlah sebuah transaksi keuangan murni karena nasabah tidak menerima uang dari bank syariah, namun berupa aset nyata yaitu kendaraan. Dalam murabahah pihak bank syariah berhak mengambil keuntungan dengan margin tertentu dan dengan sepengetahuan nasabah. Besarnya keuntungan tersebut 2
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajement Bank Syariah, (Jakarta, Pustaka Alvabet, 2006), hlm.28.
25
akan menentukan berapa jumlah angsuran yang harus dibayarkan oleh nasabah. Transaksi murabahah merupakan salah satu skim pembiayaan yang banyak digunakan oleh kalangan perbankan syariah yang menempati prosentase paling besar yaitu sekitar 70 - 80% dari semua produk pembiayaan yang memang untuk memenuhi kebutuhan nasabah. Selain mudah diaplikasikan, skima ini tergolong aman bagi bank dan lebih mudah dalam melakukan analisa persetujuan pembiayaan. Untuk nasabah consumer individual dengan penghasilan tetap, bank hanya tinggal menganalisa faktor 5C (capital, character, collateral, condition of economy, competence) tanpa perlu melakukan penghitungan yang lebih dalam walaupun dengan tetap memegang teguh prinsip kehati-hatian (prudent). Disamping dari kelebihan tersebut, akad murabahah juga memiliki kekurangan, yaitu margin keuntungan harus dibayar penuh sesuai kesepakatan awal akad meskipun pembiayaan murabahah sudah dilunasi sebelum masa jatuh tempo. Namun akad murabahah ini banyak dipakai karena kelenturan dan keluesan dari akad ini yang tidak mengandung banyak resiko, dan mudah dalam perhitungannya. B. Landasan Hukum Murabahah 1. Al-Qur’an a. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 280:
َﺼﺪﱠﻗُﻮا َﺧﯿْﺮٌ ﻟَ ُﻜ ْﻢ إِنْ ُﻛ ْﻨﺘ ُ ْﻢ ﺗ َ ْﻌﻠَﻤُﻮن َ َ ﻋﺴْﺮَ ةٍ ﻓَﻨَﻈِ ﺮَ ة ٌ إِﻟَﻰ َﻣ ْﯿﺴَﺮَ ةٍ وَ أ َنْ ﺗ ُ ”وَ إِنْ ﻛَﺎنَ ذُو... “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
26
tangguhan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” b. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
ًﯾَﺎ أَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ آ َﻣﻨُﻮا ﻻ ﺗَﺄ ْ ُﻛﻠُﻮا أ َﻣْ ﻮَ اﻟَ ُﻜ ْﻢ ﺑَ ْﯿﻨَ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟﺒَﺎطِ ِﻞ إِﻻ أ َنْ ﺗَﻜُﻮنَ ﺗِﺠَﺎرَ ة “Hai
orang yang beriman!
Janganlah kalian saling memakan
(mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamue”
2. Al-Hadits a. Hadis nabi Muhammad SAW menyatakan sebagai berikut.
(" إﻧﻤﺎ اﻟﺒﯿﻊ ﻋﻦ ﺗﺮاض ")رواه اﺑﻦ ﻣﺎﺟﮫ Artinya : “Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka suka sama suka.” (HR Bukhari) b. Dari Abu Hurairah radliyallaahu‘anhu : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
Telah
bersabda
ﻣﻦ ﺑﺎع ﺑﯿﻌﺘﯿﻦ ﻓﻲ ﺑﯿﻌﺔ ﻓﻠﮫ أوﻛﺴﮭﻤﺎ أو اﻟﺮﺑﺎ “Barangsiapa yang menjual dengan dua penjualan dalam satu transaksi, maka baginya harga yang terendah atau riba [HR. Abu Dawud no. 3461, Ibnu Hibban no. 4974, Al-Haakim no. 2292, dan Al-Baihaqi 3/343; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah no. 2326] 3. Ijma’ Para ulama telah sepakat mengenai kehalalan jual beli sebagai transaksi riil yang sangat dianjurkan dan merupakan sunah Rasulullah.
27
Umat Islam telah berkonsensus tentang keabsahan jual beli, karena manusia sebagai anggota masyarakat selalu membutuhkan apa yang dihasilkan dan dimiliki orang lain. Oleh karena itu jual beli adalah salah satu jalan untuk mendapatkannya secara sah. Dengan demikian maka mudahlah bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhannya.3 C. Pembiayaan Murabahah 1. Rukun dan Syarat Pembiayaan Murabahah a. Penjual dan Pembeli Pelaku cakap hukum dan baligh (berakal dan dapat membedakan mana yang baik dan tidak baik), sehingga jual beli dengan orang gila menjadi tidak sah, sedangkan jual beli dengan anak kecil dianggap sah, apabila seijin walinya. b. Objek Jual Beli 1) Barang yang diperjualbelikan adalah barang halal. “Sesungguhnya Allah mengharamkan menjualbelikan khamar, bangkai, babi, patungpatung”. (HR.Bukhari Muslim) 2) Barang yang diperjualbelikan harus dapat diambil manfaatnya atau memiliki nilai. 3) Barang tersebut dimiliki oleh penjual “Janganlah seseorang menjual barang yang telah dijual...” (HR. Bukhari Muslim). 4) Barang tersebut dapat diserahkan tanpa tergantung dengan kejadian tertentu dimasa depan. 3
Muhammad, Sistem dan Prosedur Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta, cet ke-3 UII Press, 2003),hlm.21.
28
5) Barang
tersebut
diidentifikasikan
harus oleh
diketahui pembeli
secara
spesifik
sehingga
tidak
dan ada
dapat gharar
(ketidakpastian). 6) Barang tersebut harus diketahui kuantitasnya dengan jelas. 7) Barang tersebut harus diketahui kualitasnya dengan jelas sehingga tidak ada gharar. 8) Harga barang tersebut jelas. 9) Barang yang diakadkan secara fisik ada ditangan penjual. c. Adanya Harga yang di Sepakati Mengetahui harga pokok (harga beli), disyaratkan bahwa harga beli harus diketahui oleh pembeli kedua, karena hal itu merupakan syarat mutlak bagi keabsahan jual beli murabahah. Adanya kejelasan margin (keuntungan) yang diinginkan penjual kedua, keuntungan harus dijelaskan nominalnya kepada pembeli kedua atau dengan menyebutkan presentase dari harga beli. d. Ijab Qabul
D.
Pernyataan yang ekspresi saling ridho atau rela diantara pihakpihak pelaku akad yang diakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.4
4
Ibid, hlm.167.
29
2. Jenis dan Macam Murabahah.5 Tanpa Pesanan
Tidak Mengikat
JENIS
Murabahah
Mengikat Berdasarkan Pesanan Tidak Mengikat
Cara Pembayaran Gambar 2.1 Tunai
Tangguh
Secara singkat jenis dan macam Akad Murabahah dapat dijelaskan sebagai berikut : ada dua akad murabahah yaitu pertama, murabahah tanpa pesanan yang bersifat tidak mengikat. Kedua, murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat dan tidak mengikat. Sedangkan untuk cara pembayarannya dapat dilakukan secara tunai dan tangguh. Murabahah tanpa pesanan yaitu penjual melakukan pembelian barang tanpa memperhatikan ada pemesanan dari pembelian. Secara singkat Akad Murabahah tanpa pesanan dapat digambarkan sebagai berikut. Skema Murabahah Tanpa Pesanan.6
Barang (Mabi’) Akad Murabahah Penjual (Ba’i)
Pembeli (musytari’)
Cost + Margin
Gambar 2.2
5 6
Wiroso, Op.Cit, hlm.37. Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat 2008),hlm.163.
30
Murabahah berdasarkan pesanan yaitu, dimana bank (penjual) melakukan pembelian atas aset yang pasti setelah ada pemesanan dari nasabah (pembeli) dan berjanji membeli aset yang sama senilai biaya ditambah margin keuntungan bank.7 Secara singkat akad murabahah dengan pesanan dapat digambarkan sebagai berikut: Skema Murabahah dengan Pesanan.8 Negosiasi
Akad Jual Beli
Penjual
Bayar
Pembeli
Barang dan Dokumen Produsen Suplier
Gambar 2.3
3. Prosedur Pembiayaan Murabahah Setiap bank mempunyai cara tersendiri tentang pengajuan dan penyelesaian permintaan kredit (pembiayaan). Pada umumnya prosedur tersebut dapat dibagi dalam beberapa tahap : Skema Pembiayaan Murabahah
7
Gambar 2.4
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009),hlm.162. 8 Sri Nurhayati, Op.Cit, hlm.163.
31
Penjelasan Skema Murabahah : 1) Bank dan nasabah melakukan negosiasi dan persyaratan tentang pembiayaan murabahah yang akan dilakukan. 2) Bank dan nasabah melakukan akad pembiayaan jual beli atas suatu barang, dalam akad ini bank bertindak sebagai penjual dan nasabah berlaku sebagai pembeli. 3) Bank melakukan pembelian barang yang diinginkan nasabah dari suplier atau penjual dan dibayar secara tunai. 4) Barang yang telah dibeli bank dikirim oleh suplier kepada nasabah. 5) Nasabah menerima barang yang dibeli. 6) Atas barang yang dibelinya, nasabah membayar kewajiban kepada bank secara angsuran selama jangka waktu tertentu. 4. Ketentuan - Ketentuan dalam Pembiayaan Murabahah Murabahah bukan merupakan jasa pada perbankan syariah, namun merupakan transaksi perdagangan. Sesuai dengan standar akuntansi keuangan, dalam transaksi murabahah harus dilakukan dengan. 1) Memberitahukan harga pertama (harga pembelian) Pembeli kedua hendaknya mengetahui harga pembelian karena hal itu syarat sahnya transaksi jual beli. Syarat ini meliputi semua transaksi yang terkait dengan murabahah, seperti pelimpahan wewenang (tauliyah), kerjasama (isyarak) dan kerugian (wadhi’ah), karena semua transaksi ini berdasar pada harga pertama yang merupakan modal.
32
2) Mengetahui besarnya keuntungan Mengetahui jumlah keuntungan adalah keharusan, karena ia merupakan bagian dari harga (tsaman), sedangkan mengetahui harga adalah syarat sahnya jual beli. 3) Modal hendaklah berupa komoditas yang memiliki kesamaan dan sejenis, seperti benda-benda yang ditakar, ditimbang, dan dihitung. 4) Sistem murabahah dalam harta riba hendaknya tidak menisbatkan riba tersebut terhadap harga pertama, seperti membeli barang yang ditakar atau ditimbang dengan harga sejenis dan takaran yang sama, maka tidak boleh menjualnya dengan sistem murabahah. 5) Transaksi pertama haruslah sah secara syara’. Jika transaksi pertama tidak sah, maka tidak boleh dilakukan jual beli secara murabahah, karena murabahah adalah jual beli dengan harga pertama disertai tambahan keuntungan dan hak milik jual beli yang tidak sah ditetapkan dengan nilai barang atau dengan barang yang semisal bukan dengan harga, karena tidak benarnya penamaan.9 6) Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual kepada nasabah (pembeli). 7) Bank dapat meminta nasabah menyediakan agunan atas piutang nasabah, antara lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari bank.
9
Wiroso, Op Cit, hlm.17-18.
33
8) Pada saat perolehan aktiva yang diperoleh dengan tujuan untuk dijual kembali dalam murabahah diakui sebagai aktiva murabahah sebesar biaya perolehan. 9) Dalam murabahah pesanan mengikat, pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Jika aset murabahah yang telah dibeli oleh penjual, dalam murabahah pesanan mengikat mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai terebut menjadi beban penjual dan akan mengurangi nilai akad. 10) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. 11) Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariat Islam. 12) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. 13) Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. 14) Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepkati. 15) Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. 16) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.
34
E. Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan Definisi Hak Tanggungan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah
memberikan kedudukan
untuk yang
pelunasan diutamakan
utang pada
tertentu, kreditor
yang tertentu
terhadap kreditor- kreditor lain. Menurut Syari’ahnya Jaminan atau yang lebih dikenal sebagai agunan adalah harta benda milik debitur atau pihak ketiga yang diikat sebagai alat pembayar jika terjadi wanprestasi terhadap pihak ketiga. Jaminan dalam pengertian yang lebih luas tidak hanya harta yang ditanggungkan saja, melainkan hal-hal lain seperti kemampuan hidup usaha yang dikelola oleh debitur. Untuk jaminan jenis ini, diperlukan kemampuan analisis dari officer pembiayaan untuk menganalisacircle live usaha debitur serta penambahan keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan pembiayaan yang telah diberikan berdasarkan prinsip-prinsip syariah.10 Jaminan dalam pembiayaan memilki dua fungsi yaitu Pertama, untuk pembayaran hutang seandainya terjadi waprestasi atas pihak ketiga yaitu dengan jalan menguangkan atau menjual jaminan tersebut. Kedua, sebagai akibat dari fungsi pertama, atau sebagai indikator penentuan 10
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia,( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003) h. 281
35
jumlah pembiayaaan yang akan diberikan kepada pihak debitur. Pemberian jumlah pembiayaan tidak boleh melebihi nilai harta yang dijaminkan. Jaminan secara umum berfungsi sebagai jaminan pelunasan kredit/pembiayaan. Jaminan pembiayaan berupa watak, kemampuan, modal,
dan
prospek
jaminan immateriil yang
usaha
yang
berfungsi
dimiliki
sebagai first
debitur way
merupakan
out.
Dengan
jaminan immateriil tersebut dapat diharapkan debitur dapat mengelola perusahaannya dengan baik sehingga memperoleh pendapatan (revenue) bisnis guna melunasi pembiayaan sesuai yang diperjanjikan. Jaminan pembiayaan berupa agunan bersifat kebendaan (materiil) berfungsi sebagai second
way
out.
Sebagai second
way
out,
pelaksanaan
penjualan/eksekusi agunan baru dapat dilakukan apabila debitur gagal memenuhi kewajibannya melalui first way out.11 2. Konsep Jaminan Dalam Hukum Islam Dalam hukum islam berkaitan dengan jaminan utang dikenal dengan dua istilah yaitu kafalah dan rahn. Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful’anhu). Menurut bank Indonesia, kafalah adalah akad pemberian jaminan (makful ‘alaih) yang diberikan satu pihak kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful). 11
Prof Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,( Jakarta: Sinar Grafika), hal. 44
36
Sedangkan rahn menurut bahasa berarti al-tsubut dan al-habs, yaitu penetapan dan penahanan. Adapula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat.12 secara istilah yaitu, menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut ajaran islam sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan dapat mengambil piutang atau mengambil sebagian manfaat barang itu. Menurut Dewan Syaria Nasional, Rahn yaitu hutang.13 Sedangkan
menahan menurut
barang Bank
sebagai
jaminan
atas
Indonesia, Rahn adalah
akad
penyerahan barang/harta dari nasabah kepada bank sebagai jaminan sebagian atau seluruh utang. C.
Penilaian dan Pengikatan Jaminan 1) Penilaian / taksasi ( Appraisal ) jaminan Jaminan yang diberikan selanjutnya perlu dilakukan appraisal guna mengetahui seberapa besar nilai harta yang dijaminkan. Penilaian atau appraisal didefinisikan sebagai proses menghitung atau mengestimasi nilai harta jaminan. Proses dalam memberikan suatu estimasi didasarkan pada niali ekonomis suatu harta jaminan baik dalam bentuk properti berdasarkan hasil analisa fakta-fakta obkjektif dan relevan dengan menggunakan metode yang berlaku.Barang jaminan dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu : i.
tangible ( berwujud) seperti tanah, kendaraan, mesin, bangunan dll
ii.
Intangible ( tidak berwujud) seperti hak paten, Franchise, merk dagang, Hak cipta dll
12 13
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Rajawali Perss, 2010). hal. 105. Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002
37
iii.
Surat-surat berharga.
Adapun dasar penilaian sebuah jaminan di dasarkan atas beberapa hal yaitu : 1. Nilai pasar ( Market Value) yaitu perkiraan jumlah uang yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu properti pada tanggal penilaian antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat menjual dalam suatu transaksi bebas ikatan yang penawarannya diakukan secara layak diama kedua belah pihak masing-masing mengetahui dan bertindak hati-hati tanpa paksaan 2. Nilai baru ( reproduction) adalah nilai baru atau baya penggantian baru adalah perkiraan jumlah uang yang dikeluarkan untuk pengadaan pembangunan/penggantian properti baru yang meliputi baiaya, upah buruh dan biaya-biaya lain yang terkait. 3. Nilai Wajar (Depreciated Replacement cost) adalah perkiraan jumlah uang yang diperoleh dari perhitungan biaya reproduksi baru dikurangi biaya penyusutan yang terjadi karena kerusakan fisik, kemunduran ekonomis dan fungsional 4. Nilai Asuransi adalah nilai perkiraan jumlah uang yang diperoleh dari perhitungan biaya pengganti baru dari bagian-bagian properti yang perlu diasuransikan dikurangi penyusutan karena kekurangan fisik 5. Nilai Likuidasi adalah perkiraan jumlah uang yang diperoleh dari transaksi jual beli properti dipasar dalam waktu terbatas dimana penjual terpaksa menjual.
38
6. Nilai buku adalah niali aktiva yang dicatat dalam pembukuan yang dikurangi dengan akumulasi penyusutan atau pengembalian niali-nilai aktiva. Kedudukan jaminan atau kolateral bagi pembiayaan memiliki karakteristik khusus. Tidak semua properti atau harta dapat dijadikan jaminan pembiayaan, melainkan harus memenuhi unsur MAST yaitu: 14 1. Marketability yakni adanya pasar yang cukup luas bagi jaminan sehingga tidak sampai melakukan banting harga 2. Ascertainably of value yakni jaminan harus memiliki standar harga tertentu 3. Stability of value yakni harta yang dijadikan jaminan stabil dalam harga atau tidak menurun nilainya 4. Transferability yaitu harta yang dijaminkan mudah dipindah tangankan baik secra fisik maupun yuridis 5. Secured yakni barang yang dijaminkan dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal sesuai dengan hukkum dan perundang-undangan yang berlaku apabila terjadi wanprestasi. 2) Pengikatan Jaminan Selanjutnya Jaminan akan diikat dengan hukum pengikatan. Hal ini mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia ( SE-BI) No.4/248/UPPK/PK tanggal 16 Maret 1972 disebutkan untuk benda-benda yang tidak bergerak memakai lembaga jaminan hipotik , Hak Tanggungan dan fiducia.
14
Budi Untung, Kredit Perbankan Di Indonesia, (Yogyakarta: Andi), hal. 58
39
Hipotik adalah hak kebendaan atas benda tetap tertentu milik orang lain yang secara khusus diperikatkan untuk memberikan suatu tagihan, hak untuk didahulukakn di dalam mengambil pelunasan eksekusi atas barang tersebut. Dasar hukum pengikatan ini adalah kitab undang-Undang Hukum perdata pasal 11162. Pengikatan atu Hipotik akibat perikatan pokok berakhir apabila, pertama karena pembayaran, kedua penawaran pembayaran tunai diikuti dengan
penyimpanan dan penitipan , ketiga pembaruan hutang, keempat
penjumpaan hutang atau kompensasi, kelima pencampuran hutang, keenam pembebasan hutang, ketujuh musnahnya barang yang terhutang, kedelapan pembatalan, kesembilan berlakunya suatu surat batal, kesepuluh lewat batas waktu. Hapusnya Hipotik akibat perikatan pokok dilakukan oleh kantor pertanahan atas permintaan debitur yang biasa disebut dengan Roya. Selain itu Hipotik dapat berakhir bila penetapan hakim dan pelepasan hipotik oleh si penghutang. Sedangkan hak tanggungan adalah jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memeberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur terhadap kreditur-kreditur lain. Hak tanggungan memberikan hak preference pada pemegang terhadap krediturnya yang lain yaitu diutamakan dalam pengembalian hutangnya dari penjualan barang harta jaminan yang dilelang. Dasar hukum pengikatan ini adalah UU no 4 tahun 1996 tangal 9 april 1996 mengenai hak tanggungan.
40
Hapusnya hak tanggungan sesuai dengan pasal 18 Undang-undang hak tanggungan yaitu : 1.) hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan 2.) Dilepasnya hak tanggungan oleh pemagang hak tanggungan 3.) Pembersihan Hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua pengadilan negeri 4.) Hapusnya hak tanah yang dibebani oleh hak tanggungan.15
F. Penyelesaian
Piutang
Murabahah
Bagi
Nasabah
Tidak
Mampu
Membayar Kemungkinan resiko yang dihadapi bank dalam penyaluran pembiayaan yang tidak dapat dihindarkan yaitu berupa resiko gagal bayar dari nasabah tertentu, sehingga dalam menentukan besarnya tingkat margin/nisbah bagi hasil yang dibebankan kepada nasabah perlu diperhitungkan sebagai salah satu komponen penentu terhadap bunga pembiayaan dan resiko ini dapat terjadi baik disengaja maupun tidak di sengaja. Semakin besar jumlah pembiayaan yang tergolong pembiayaan bermasalah maka semakin tinggi pula resiko yang dihadapi bank, sehingga Bank Indonesia mewajibkan bank untuk membentuk cadangan penyisihan penghapusan pembiayaan terhadap sejumlah pembiayaan bermasalah.16 Pembiayaan bermasalah memiliki pengertian luas, mulai dari masalah kecil seperti menunggak 1 hari karena terlambat menyetor, sampai hal-hal yang
15 16
Hendi Suhendi, Op. Cit.hlm. 105 Veithzal Rivai, Op.Cit,hlm.823.
41
besar yaitu pembiayaan macet. Lebih jelasnya pembiayaan bermasalah merupakan keadaan dimana nasabah atau debitur tidak mampu memenuhi kewajiban terhadap bank sesuai dengan akad perjanjian. Suatu pembiayaan yang digolongkan kedalam pembiayaan macet apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :17 a. Terdapat tunggakan angsuran pokok yang melampau 270 hari. b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru. c. Dari segi hukum maupun kondisi pasar jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. Dengan indikator sebagai berikut : Industri
: hampir mati, struktur industri lemah.
Perusahaan
: tidak dapat berkompetisi, ketinggalan tekhnologi.
Keuangan
: Kerugian besar, penjualan aset saat rugi.
Manajemen
: sangat parah, tidak dapat dipercaya.
Viability(media) : sangat dipertanyakan, harus dilikuidasi. Menurut Peraturan Menteri Keuangan No.2/PMK.01/1997 suatu piutang dapat dikatakan pembiayaan macet yaitu : 1. Untuk pembiayaan jangka pendek, selambat-lambatnya 3 bulan setelah jatuh tempo. 2. Untuk pembiayaan jangka menengah dan panjang, meskipun pinjaman tersebut belum melampaui jangka waktu, akan tetapi terdapat tunggakan pembayaran sebanyak-banyaknya tiga kali angsuran pokok dan berdasarkan penilaian yang wajar dari pihak bank debitur tidak
17
Veithzal Rivai, Op.Cit,hlm.748-749.
42
akan dapat melunasi pinjaman pokok dan bagi hasil, maka bagi hasil tersebut digolongkan pembiayaan macet. Resiko yang terjadi dari peminjaman adalah peminjam yang tertunda atau ketidakmampuan
peminjam
untuk
membayar
kewajiban
yang
telah
dibebankan. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka bank syariah harus mampu mengetahui penyebab permasalahannya, antara lain : 1. Dari pihak perbankan Artinya dalam melakukan analisisnya, pihak analisis kurang teliti, sehingga apa yang seharusnya terjadi, tidak diprediksi sebelumnya. Dapat pula terjadi akibat kolusi dari pihak analisis pembiayaan dengan pihak debitur sehingga dalam analisisnya dilakukan secara subjektif. 2. Dari pihak nasabah Dari pihak nasabah kemacetan pembiayaan dapat dilakukan akibat 2 hal yaitu : a.
Faktor Manajerial, yaitu faktor-faktor yang ada dalam perusahaan sendiri. Faktor kenyataan yang perlu sekali digaris bawahi adalah bahwa keberhasilan usaha akan banyak sekali bergantung pada kemampuan dan keberhasilan pimpinan perusahaan. Ketidakmampuan manajemen akan banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan, terutama kesulitan keuangan ini dapat kita lihat dari beberapa hal : 1)
Kelemahan dan kebijakan pembelian dan penjualan.
2)
Tidak efektifnya kontrol atas biaya dan pengeluaran.
43
3)
Penggunaan dana yang tidak sesuai dengan perencanaan dan lainlain.
b.
Faktor Ekstern, artinya kesulitan keuangan perusahaan yang terjadi bukan karena kelemahan manajemen, tapi karena sebab-sebab lain. Faktor-faktor
ekstern
yang
menyebabkan
kesulitan
keuangan
perusahaan kita golongkan seperti berikut ini : 1)
Bencana alam
2)
Kebakaran
3)
Perubahan dalam kondisi perekonomian dan perdagangan dan lainlain.18
Nasabah yang benar-benar tidak bisa mengembalikan pinjaman, akan ada kebijakan-kebijakan yang akan diberikan kepada nasabah, sesuai peraturan dan fatwa yang diterapkan pada bank tersebut yaitu fatwa DSN MUI No. 47/DSN-MUI/II/2005. Penyelamatan pembiayaan murabahah dapat dilakukan dengan penyitaan jaminan. Hal ini dijelaskan oleh Muhammad dalam bukunya “Manajemen Bank Syariah”, bahwa jaminan yang dijaminkan nasabah kepada bank dapat dilakukan penalti atau penyitaan. Masalah penyitaan atau eksekusi jaminan sangat tergantung kebijakan manajemen, ada yang melakukan eksekusi, namun ada pula yang tidak. Apabila terpaksa harus dilakukan penyitaan, maka penyitaan dilakukan kepada nasabah yang memang nakal dan tidak mengembalikan pembiayaan.
18
Muchdarsyah Sinungan, Op Cit, hlm.279-280.
44
G. Tinjauan Umum Tentang Eksekusi 1.
Pengertian Eksekusi Eksekusi berasal dari kata “executie”, yang artinya melaksanakan putusan maksud
hakim (ten uitvoer legging eksekusi
adalah
van vonnissen).
Di mana
melaksanakan secara paksa putusan
pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam pengertian yang lain; eksekusi putusan perdata berarti menjalankan putusan dalam perkara perdata secara paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena pihak tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela.19 2.
Jenis-jenis Eksekusi Seperti telah dijelaskan, salah satu asas eksekusi adalah hanya dapat dijalankan terhadap putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap yang bersifat kondemnatoir, yakni dalam amar putusan terdapat pernyataan ”penghukuman” terhadap tergugat untuk melakukan salah satu perbuatan yaitu : 1) Menyerahkan sesuatu barang atau eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang. (Pasal 200 ayat (1) HIR dan pasal 218 ayat (2) Rbg); 2) Mengosongkan sebidang tanah atau rumah, yang disebut dengan eksekusi riil. (Pasal 1033 Rv);
19
Wildan Suyuthi, Tatanusa,2004), hal. 60
Sita
Eksekusi
Praktek
Kejurusitaan
Pengadilan,
(Jakarta:
45
3) Melakukan suatu perbuatan tertentu atau menghentikan suatu perbuatan atau keadaan (Pasal 225 HIR, pasal 259 Rbg); 4) Membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR, pasal 208 Rbg). Jika ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum berdasarkan amar putusan pengadilan yang bersifat kondemnatoir, seperti tersebut di atas, maka jenis eksekusi dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk, yaitu: 1) Melaksanakan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR dan pasal 259 Rbg.) 2) Eksekusi Riil. (Pasal 1033 RV.) 3) Eksekusi membayar sejumlah uang. (Pasal 196 HIR dan Pasal 208Rbg.) Berikut penjelasan masing-masing : 1) Eksekusi Untuk Melakukan Suatu Perbuatan. Selain dua jenis eksekusi tersebut, masih ada satu lagi jenis eksekusi, yaitu eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, yang menyatakan yang intinya Jika seseorang dihukum akan melakukan suatu perbuatan, dan ternyata ia tidak melakukannya, maka pihak yang dimenangkan, memiliki wewenang untuk meminta pertolongan pada ketua Pengadilan agar kepentingannya didapatkan.
46
2) Eksekusi Riil Eksekusi riil yaitu melakukan suatu “tindakan nyata/riil” seperti menyerahkan sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. Misalnya meyerahkan barang, pengkosongan sebidang tanah atau rumah, pembongkaran, menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lain- lain. Eksekusi riil ini dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai dengan amar putusan tanpa memerlukan lelang. Sumber hubungan hukum yang disengketakan dalam eksekusi riil,
pada
umumnya
ialah
upaya
hukum
yang
mengikuti
persengketaan hak milik atau persengketaan hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian jual beli, sewa menyewa, atau perjanjian melaksanakan suatu perbuatan. Proses beracara pada eksekusi riil, Ketua Pengadilan Negeri cukup mengeluarkan surat penetapan yang memerintahkan eksekusi atas permintaan pihak yang dimenangkan (penggugat). Dengan penetapan itu, panitera atau jurusita pergi ke lapangan melaksanakan penyerahan atau pembongkaran secara nyata. Dengan penyerahan atau pembongkaran, eksekusi sudah sempurna dan dianggap selesai.
47
3) Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang. Yaitu eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang (pasal 196 HIR,pasal 208 RBg) ini kebalikannya dari eksekusi riil dimana eksekusi tidak dapat dilakukan langsung sesuai dengan amar putusan tanpa pelelangan terlebih dahulu. Dengan kata lain, eksekusi yang hanya dijalankan dengan pelelangan terlebih dahulu, hal ini disebabkan nilai yang akan dieksekusi itu bernilai uang. Sumber hubungan hukum yang disengketakan dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang sangat terbatas sekali, yaitu semata-mata hanya didasarkan atas persengketaan perjanjian utang piutang dan ganti rugi berdasarkan cidera janji/wanprestasi, dan hanya dapat diperluas berdasarkan pasal 225 HIR, dengan membayar nilai sejumlah uang apabila tergugat tidak mau menjalankan perbuatan yang dihukumkan dalam batasan jangka waktu tertentu.20 3.
Eksekusi Hak Tanggungan dan Ketentuan Pelaksananya Hal-hal mengenaiek sekusi hak tanggungan, oleh undang- undang telah diatur dalam ketentuan Pasal 20 UUHT yang mengatur tentang eksekusi hak tanggungan, yang ditentukan bahwa: a. Apabila debitur cidera janji maka berdasarkan: 1) Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
20
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1998), hal. 181
48
2) Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya. b. Atas kesepakatan penjualan
pemberi dan pemegang hak tanggungan,
obyek hak tanggungan dapat
dilaksanakan
di bawah
tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. c. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis pada pihak yang berkepentingan dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. d. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan ayat (1), (2) dan (3) batal demi hukum. e. Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan hak tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.”
49
Jenis eksekusi yang dimaksudkan dalam Pasal 20 UUHT sesuai dengan dasar filosofis perjanjian jaminan yang tujuannya adalah bagaimana caranya supaya debitor bersedia memenuhi kewajibannya, maka kreditor menahan sesuatu yang berharga bagi debitor, sehingga apabila debitor ingin memiliki kembali dan menguasai secara penuh sesuatu yang berharga tersebut, debitor harus
terlebih
dahulu
memenuhi kewajibannya. Apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dalam waktu yang diperjanjikan, hal tersebut sebagai titik tolak bahwa debitor dikatakan melakukan perbuatan cidera janji. Adapun mengenai pilihan eksekusi obyek hak tanggungan diatur dalam Pasal 20 UUHT yang pada dasarnya memuat 3 (tiga): Jenis eksekusi, yaitu: (1) eksekusi melalui di bawah tangan; (2) eksekusi atas kekuasaan sendiri (parate executie); (3) eksekusi berdasarkan titel eksekutorial. (1)
Eksekusi melalui penjualan di bawah tangan Eksekusi obyek hak tanggungan secara di bawah tangan merupakan cara yang paling mudah dan dapat diperjanjikan bersama oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan. Tujuan utama penjualan obyek hak tanggungan secara di bawah tangan ini adalah untuk mencari harga tertinggi, sehingga tidak merugikan debitor atau pemilik barang
jaminan. Seringkali terjadi jika
penjualan obyek hak jaminan (termasuk hak tanggungan) dilakukan melaui pelelangan umum maka harga jualnya jauh
50
di bawah harga pasar. Agar debitor selaku pemilik benda tidak bergerak tidak dirugikan oleh praktek penjualan obyek jaminan dengan harga murah maka undang-undang memberikan peluang kepada debitor untuk menawarkan dan mencari pembeli sendiri sebelum benda jaminan dijual melalui lelang. Eksekusi obyek hak tanggungan secara di bawah tangan dapat dilakukan jika sebelumnya telah disepakati bersama oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan. Pelaksanaan penjualan di bawah tangan dapat dilakukan setelah lewat satu bulan sejak diberitahukan oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada
pihak-pihak
yang
berkepentingan dan diumumkan
sedikitnya dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat serta tidak ada pihak yang keberatan. Mengenai eksekusi penjualan di bawah tangan di dalam Pasal 20 UUHT tidak dijelaskan siapa yang melakukan penjualan, debitor sendiri atau kreditor. Biasanya ketentuan mengenai penjualan di bawah tangan ini ditujukan kepada kreditor, artinya yang
melakukan penjualan dalam
arti
menentukan
harganya adalah kreditor. Untuk melakukan tindakan tersebut kreditor mutlak harus membuat kesepakatan dengan debitor. Apabila dilihat ketentuan Pasal 20 ayat (3) UUHT nampak
51
bahwa kesepakatan untuk menjual di bawah tangan yang dibuat oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan adalah pada saat hutang dapat ditagih (opeisbare). Hal itu terlihat dari adanya ketentuan yang menyatakan bahwa penjualan baru dapat dilakukan dalam waktu paling sedikit satu bulan setelah diberitahukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Disamping
itu
dari
ketentuan
mengenai
keharusan
diumumkan dalam media cetak atau media lain sebelum pelaksanaan penjualan juga dapat ditafsirkan bahwa penjualan di bawah tangan yang dimulai dari pencapaian kesepakatan dan pengumuman penjualan baru dapat dilakukan jika hutang dapat ditagih. Sedangkan jika debitor tidak dapat ditemui, sengaja menghindar atau menghilang sejak terjadinya kredit macet, maka penjualan obyek hak tanggungan di bawah tangan tidak mungkin dapat dilakukan. Karena salah satu syarat dilakukan penjualan di bawah tangan tersebut harus ada persetujuan atau kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan. Apabila debitor berada
dalam
keadaan
tidak
hadir
maka
kreditor
dapat
menggunakan fasilitas parate eksekusi yang diatur dalam Pasal 6 UUHT jika dia merupakan kreditor pertama. Berdasarkan hak atas parate eksekusi tersebut kreditor berhak meminta dilakukan penjualan lelang atas obyek hak tanggungan kepada Kantor
52
Lelang di tempat wilayah letak tanah yang akan dilelang tanpa terlebih dahulu meminta fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri. (2)
Eksekusi atas kekuasaan sendiri (parate executie) Dalam Penjelasan Umum angka 9 UUHT disebutkan bahwa salah satu ciri khas hak tanggungan adalah mudah dan pasti eksekusinya jika debitor cidera janji. Lebih lanjut Penjelasan Umum tersebut menyatakan bahwa eksekusi hak tanggungan dilakukan berdasarkan lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR dan 258 Rbg. Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) juga menyatakan bahwa irah-irah yang terdapat pada sertifikat hak tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat hak tanggungan, sehingga jika debitor cidera janji maka sertifikat hak tanggungan dieksekusi seperti halnya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan
menggunakan lembaga parate executie sesuai
hukum
acara perdata yang berlaku. Pada hak tanggungan, menurut Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT juga ditegaskan bahwa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dicantumkan janji-janji, antara lain janji pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri
jika debitor cidera janji.
53
Sebagai suatu hak yang diperjanjikan, maka keberadaanya baru ada jika secara tegas disepakati bersama oleh debitor dan kreditor dalam APHT. Suatu janji baru ada dan mengikat jika telah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak yang memperjanjikan. Apabila APHT tersebut sudah didaftarkan ke Kantor Pertanahan, maka secara otomatis janji-janji yang tercantum di dalamnya
(termasuk
janji
untuk
sendiri) ikut didaftar sehingga
menjual
atas
kekuasaan
mempunyai kekuatan mengikat
bagi para pihak dan pihak ketiga. Sehingga bila debitor wanprestasi
maka penjualannya
harus
dilakukan
melalui
pelelangan umum. Ketentuan harus dijual di muka umum itu dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada debitor dari kenakalan kreditor, yakni guna menghindari terjadinya penjualan jaminan yang merugikan debitor. Dengan demikian jika debitor benar-benar wanprestasi maka pemegang hak tanggungan pertama dapat melaksanakan janji tersebut dengan menjual lelang obyek hak tanggungan atas kekuasaan
sendiri
(parate
eksekusi). Pelaksanaan
parate
eksekusi tidak mendasarkan pada Pasal 224 HIR dan 258 Rbg seperti yang disebutkan oleh Penjelasan Umum angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 dan 26 UUHT. Jadi parate eksekusi itu dilaksanakan tanpa fiat eksekusi atau penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini sesuai dengan hak yang diberikan oleh
54
undang-undang kepada kreditor pertama sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UUHT. Sedang eksekusi menurut Pasal 224 HIR dan 258 Rbg bukanlah parate eksekusi, karena eksekusi berdasarkan pasal tersebut harus meminta fiat eksekusi kepada Ketua Pengadilan. Eksekusi menurut
Pasal 224 HIR dan 258 Rbg ditujukan pada
grosse akta hipotik dan surat hutang yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Jadi eksekusi berdasarkan kedua pasal tersebut harus
meminta fiat eksekusi
kepada dan dilaksanakan atau
dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri, sedangkan parate eksekusi dilakukan sendiri oleh kreditor tanpa
meminta
fiat
eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri. (3)
Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial Eksekusi obyek hak tanggungan melalui Pengadilan Negeri sebenarnya merupakan alternatif terakhir setelah upaya penjualan di bawah tangan atau penjualan atas kekuasaan sendiri mengalami kegagalan. Kendati
sebagai
alternatif
terakhir
dan
paksa
bagi
penyelesaian piutang kreditor, namun dalam praktek dijadikan upaya utama oleh lembaga perbankan. Artinya pihak bank selaku kreditor jarang menempuh langkah penjualan di bawah tangan atau penjualan lelang atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi). Jika debitor wanprestasi bank umumnya langsung meminta kepada
55
Pengadilan Negeri agar dilaksanakan
eksekusi berdasarkan
sertifikat hak tanggungan yang mempunyai titel eksekutorial. Eksekusi demikian didasarkan pada Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg yang mengatur eksekusi terhadap dokumen selain putusan pengadilan yang mempunyai titel eksekutorial. Eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR dilakukan oleh kreditor dengan cara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar sertifikat hak tanggungan dieksekusi. Permohonan eksekusi diajukan oleh kreditor dengan menyerahkan sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar diterbitkan fiat atau surat perintah sehingga eksekusi dapat dijalankan secara paksa, bahkan dengan bantuan aparat keamanan sekalipun. Fiat eksekusi merupakan eksekusi yang dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara setelah mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, meski pengadilan tidak melakukan pemeriksaan seperti dalam perkara perdata biasa, dan terhadap permohonan fiat eksekusi ini pihak Pengadilan Negeri cukup melakukan pemeriksaan terhadap syarat-syarat formal yang telah ditentukan. Berdasarkan fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri tersebut yang biasanya disusuli dengan terbitnya surat perintah penjualan lelang, maka Kantor Lelang melakukan penjualan atas obyek hak tanggungan di muka umum. Namun sebelum Ketua
56
Pengadilan Negeri Surakarta menerbitkan fiat eksekusi biasanya didahului dengan pemberian
peringatan (aanmaning)
kepada
debitor agar dalam jangka waktu tertentu dia memenuhi kewajibannya
secara
sukarela.
Apabila
aanmaning
tidak
ditanggapi, barulah Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan surat perintah penyitaan untuk selanjutnya diterbitkan perintah penjualan lelang kepada Kantor Lelang Negara. Dalam hal ini yang bertindak selaku penjual lelang adalah Ketua Pengadilan Negeri untuk kepentingan kreditor, sehingga yang berhak menentukan syarat-syarat lelang adalah Ketua Pengadilan Negeri selaku pemohon lelang. Sebelum pelelangan dilaksanakan harus didahului pengumuman sebayak 2 (dua) kali berturut-turut dengan tenggang waktu 15 hari melalui surat kabar. Sebelum saat pengumuman lelang dikeluarkan debitor masih diberi kesempatan untuk melunasi utang, biaya dan bunga (Pasal 20 ayat (5) UUHT dan Penjelasannya). Dalam praktek yang terjadi selama ini meski pelelangan sudah
diumumkan, namun jika
debitor mambayar utang beserta semua biaya dan bunga, maka pelelangan akan dihentikan. Setelah semua persyaratan permohonan lelang dipenuhi kemudian Kantor Lelang Negara melakukan pelelangan atas obyek hak tanggungan secara umum dimana hasilnya digunakan untuk melunasi utang debitor dan sisanya (kalau ada) akan dikembalikan
57
kepada debitor. Apabila hasil penjualan lelang tidak mencukupi untuk melunasi utang debitor, hal ini tidak berarti kewajiban debitor hapus
begitu
saja,
utang
debitor tetap merupakan
kewajiban yang harus dibayar. Hanya saja pemenuhan utang tersebut tidak lagi dijamin dengan jaminan kebendaan yang bersifat khusus tetapi dengan jaminan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.21
21
Herowati Poesoko, Op Cit, hal. 308