BAB II LANDASAN TEORI
A.
Manajemen Kinerja
1.
Pengertian Manajemen Kinerja Manajemen Kinerja adalah manajemen tentang menciptakan hubungan
dan memastikan komunikasi yang efektif. Manajemen kinerja memfokuskan pada apa yang diperlukan oleh organisasi, manajer, dan pekerja untuk berhasil. Manajemen kinerja adalah tentang bagaimana kinerja dikelola untuk memperoleh sukses. Kinerja berasal dari pengertian Performace. Ada pula yang memberikan pengertian performance sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Namun, sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja, tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan berlangsung. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan yang kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi (Armstrong dan Baron, 1998). Dengan demikian, kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya (Wibowo, 2007).
7
8
Terdapat beberapa pandangan para pakar tentang manajemen kinerja. Costello (1994:3) menyatakan bahwa manajemen kinerja merupakan dasar dan kekuatan pendorong yang berada dibelakang semua keputusan organisasi, usaha kerja, dan alokasi sumber daya. Armstrong dan Baron (1998:7) berpandangan bahwa manajemen kinerja adalah
pendekatan
strategis
dan
terpadu
untuk
menyampaikan
sukses
berkelanjutan pada organisasi dengan memperbaiki kinerja karyawan yang bekerja didalamnya dan dengan mengembangkan kapabilitas tim dan kontributor individu. Bacal (1999:4) memandang manajemen kinerja sebagai proses komunikasi yang dilakukan secara terus menerus dalam kemitraan antara karyawan dengan atasan langsungnya. Proses komunikasi ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Proses komunikasi merupakan suatu sistem, memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikutsertakan, apabila manajemen kinerja ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer, dan karyawan. Sementara itu, Schwartz (1999:vii) memandang manajemen kinerja sebagai gaya manajemen yang dasarnya adalah komunikasi terbuka antara manajer dan karyawan yang menyangkut penetapan tujuan, memberikan umpan balik baik dari manajer kepada karyawan maupun sebaliknya dari karyawan kepada manajer, demikian pula penilaian kinerja. Disini tampak bahwa Schwartz
9
melihat manajemen kinerja hanya sebagai salah satu gaya manajemen, namun dari sisi substansinya mirip dengan pandangan Bacal sebagai suatu proses komunikasi. Berbeda dengan Bacal yang menekankan pada proses komunikasi, Armstrong (2004:29) lebih melihat manajemen kinerja sebagai sarana untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari organisasi, tim, dan individu dengan cara memahami dan mengelola kinerja dalam suatu kerangka tujuan, standar, dan persyaratan-persyaratan atribut yang disepakati. Menurut Wibowo (2007:9) dengan memerhatikan pandangan para pakar di atas merumuskan bahwa pada dasarnya manajemen kinerja merupakan gaya manajemen dalam mengelola sumber daya yang berorientasi pada kinerja yang melakukan proses komunikasi secara terbuka dan berkelanjutan dengan menciptakan visi bersama dan pendekatan strategis serta terpadu sebagai kekuatan pendorong untuk mencapai tujuan organisasi. 2.
Pengukuran Kinerja Pengukuran terhadap kinerja perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
selama pelaksanaan kinerja terdapat deviasi dari rencana yang telah ditentukan, atau apakah kinerja dapat dilakukan sesuai jadwal waktu yang ditentukan, atau apakah hasil kinerja telah tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Untuk melakukan
pengukuran tersebut, diperlukan kemampuan untuk
mengukur kinerja sehingga diperlukan adanya ukuran kinerja. Pengukuran kinerja hanya dapat dilakukan terhadap kinerja yang nyata dan terukur. Apabila kinerja tidak dapat diukur, tidak dapat dikelola.Untuk dapat memperbaiki kinerja, perlu
10
diketahui seperti apa kinerja saat ini. Apabila deviasi kinerja dapat diukur, dapat diperbaiki. Pengukuran hanya berkepentingan untuk mengukur apa yang penting dan relevan. Untuk itu, perlu jelas tentang apa yang dikatakan penting dan relevan sebelum menentukan ukuran apa yang harus digunakan. Hal-hal yang diukur tergantung pada apa yang dianggap penting oleh stakeholders dan pelanggan. Pengukuran mengatur keterkaitan antara strategi berorientasi pelanggan dan tujuan dengan tindakan. Menurut Wibowo (2007:320) pengukuran kinerja yang tepat dapat dilakukan dengan cara : a.
Memastikan bahwa persyaratan yang diinginkan pelanggan telah terpenuhi.
b.
Mengusahakan standar kinerja untuk menciptakan perbandingan.
c.
Mengusahakan jarak bagi orang untuk memonitor tingkat kinerja.
d.
Menetapkan arti penting masalah kualitas dan menentukan apa yang perlu prioritas perhatian.
e.
Menghindari konsekuensi dari rendahnya kualitas.
f.
Mempertimbangkan penggunaan sumber daya.
g.
Mengusahakan umpan balik untuk mendorong usaha perbaikan
11
Oleh karena itu, orang yang melakukan pengukuran kinerja perlu memenuhi persyaratan di antaranya (Kreitner dan Kinichi, 2001:302) : a.
Dalam posisi mengamati perilaku dan kinerja yang menjadi kepentingan
individu. b.
Mampu memahami tentang dimensi atau gambaran kinerja.
c.
Mempunyai pemahaman tentang format skala dan instrumennya.
d.
Harus termotivasi untuk melakukan pekerjaan rating secara sadar.
3.
Tujuan Ukuran Ukuran kinerja ditentukan oleh tujuannya. Harbour (1997:9) memberikan
tipe ukuran lebih mendasarkan pada tujuan dari penggunaan ukuran kinerja, yaitu sebagai : baseline performance measures, trending performance measures, control performance measures, diagnostic performance measures, dan planning performance measures. a.
Baseline Performance Measures Merupakan alat ukur yang paling penting karena menjadi dasar dan awal
bagi ukuran lainnya. Menciptakan
baseline untuk kinerja sekarang berarti
membentuk dasar untuk ukuran kinerja berikutnya.
12
Misalkan waktu rata-rata yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu proses produksi tertentu adalah delapan hari. Maka sebagai baseline adalah delapan hari. Grafik pengukuran baseline dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1 : Pengukuran Baseline (Wibowo, 2007:342)
Menentukan ukuran sebagai dasar biasanya memerlukan kerja keras, terutama untuk proses yang belum pernah diukur sebelumnya. Usaha awal seperti ini merupakan masalah kritis dalam pengembangan dan keberhasilan setiap sistem pengukuran kinerja atau usaha perbaikan kinerja. Apabila tidak terdapat ukuran baseline, mengandung arti tidak ada sistem pengukuran kinerja, dan karena tidak ada tonggak ukuran, tidak dapat memperbaiki kinerja. Oleh karena itu, pengukuran kinerja harus selalu diawali
13
dengan mengumpulkan baseline measures, menciptakan titik awal untuk membandingkan dengan perubahan sebelumnya. b.
Trending Permance Measures Menunjukan bagaimana kecenderungan kinerja sepanjang waktu, dengan
membandingkan aktivitas, hasil, atau prestasi, dengan ukuran baseline yang telah ditentukan terlebih dahulu. Ukuran kinerja ini menunjukan kecenderungan selama periode waktu tertentu terhadap baseline, bisa bersifat menaik maupun menurun secara variasi.
Gambar 2.2 : Pengukuran Kecenderungan Kinerja (Wibowo, 2007:343)
Gambar tersebut di atas menunjukan kecenderungan proses produksi ratarata selama 12 bulan, diawali dengan ukuran baseline delapan hari. Perubahan baseline selama 12 bulan telah menunjukan kecenderungan menurun. Pengukuran
14
berdasarkan kecenderungan dapat secara cepat menunjukan tingkat kinerja tertentu selama periode waktu tertentu. Membandingkan kecenderungan dengan ukuran baseline secara cepat dapat menjawab terjadinya penurunan waktu dalam proses produksi selama 12 bulan terakhir. c.
Control Performance Measures Mengukur kondisi kinerja dibandingkan dengan batasan atau toleransi
yang telah ditentukan sebelumnya. Biasanya dipergunakan sebagai ukuran umpan balik secara cepat. Control measures memberikan peringatan dini bahwa segala sesuatu dimulai dari tingkat kinerja yang ditentukan sebelumnya atau dibutuhkan. Dengan demikian, control performance measures merupakan standar kinerja. Suatu organisasi mungkin menentukan bahwa jumlah produk cacat maksimum yang dapat ditoleransi adalah enam unit per proses produksi. Angka tersebut menunjukan tanda siaga bagi manajer tentang kemungkinan masalah jumlah produksi cacat.
15
Gambar 2.3 : Grafik Pengendalian (Wibowo, 2007:344)
Apabila penting untuk menjaga proses tetap pada tingkat yang ditentukan sebelumnya, perlu untuk mengawasi ukuran kinerja. Control performance measures harus sering dikumpulkan pada hampir sepanjang waktu. Pada gilirannya, informasi harus diberikan segera kepada orang yang langsung mengerjakan tugas spesifik. Control measures biasanya dipergunakan untuk mengendalikan terjadinya deviasi terhadap rencana atau standar. d.
Diagnostic Performance Measures Sering kali, masalah kinerja harus diidentifikasi melalui pengukuran
kinerja, meskipun sebenarnya kadang-kadang bahkan tidak dapat mengidentifikasi apa yang salah dengan kinerja sampai dilakukan pengukuran terhadap proses kinerja.
16
Gambar
dibawah
ini
menunjukan
bahwa
kecenderungan
data
mengindikasikan rata-rata waktu proses produksi pada awalnya menunjukan kecenderungan menurun. Namun, kemudian meningkat kembali, tidak terus menurun seperti yang diharapkan. Persoalannya adalah mendiagnosis mengapa waktu proses produksi tibatiba menaik. Ukuran diagnostik dapat memberikan jawaban karena dapat menunjukan letak masalahnya.
Gambar 2.4 : Grafik Kinerja (Wibowo, 2007:345)
Grafik kinerja diatas menggambarkan penurunan waktu proses produksi yang tajam dan mulai meningkat kembali setelah produksi ke 5. Dalam banyak hal, ukuran kinerja trending atau control dapat juga dipergunakan sebagai ukuran diagnostik. e.
Planning Performance Measures
17
Semua organisasi harus melakukan perencanaan, baik pada tingkat mikro maupun makro. Merencanakan pengukuran kinerja merupakan ukuran prediktif. Ukuran tersebut menjawab pertanyaan, dengan informasi tertentu dan tingkat kinerja yang lalu, bagaimana rencana untuk masa yang akan datang. Gambar dibawah ini menunjukan hubungan antara produktivitas dan waktu proses produksi, dimana penurunan waktu proses produksi dapat berakibat pada peningkatan produktivitas.
Gambar 2.5 : Grafik Hubungan antara Produktivitas dan Waktu Proses (Wibowo, 2007:346)
Pengukuran semacam ini mencoba mencari hubungan yang paling menguntungkan antara jumlah produksi dengan cycle time masing-masing. Grafik tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi produksi bulanan, semakin rendah cycle time. Dalam contoh diatas, perusahaan tidak ingin memproduksi 36 unit per bulan. Mereka mungkin memutuskan hanya 16 unit. Mereka dapat menggunakan
18
informasi terkait dengan kinerja untuk menentukan jumlah pekerja yang diperlukan untuk memproduksi lebih sedikit output. Ukuran kinerja banyak menggunakan perkiraan dalam fungsi perencanaan karena indikator terbaik bagi tingkat kinerja masa depan sering merupakan catatan terukur dari tingkat kinerja yang lalu dan kecenderungan yang berhubungan.
B.
Sistem Pengukuran Kinerja Tradisional Dalam lingkungan usaha yang masih berskala kecil, dapat dipastikan
bahwa transaksi hanya dilakukan dengan pihak eksternal (tidak ada transaksi internal). Dalam konteks persaingan “one man show” ini, peran tolok ukur dari informasi keuangan masih representatif karena hampir seluruh aktivitas operasional masih controllable. Pengukuran kinerja, secara obyektif dapat dilakukan dengan membandingkan harga output (exit value) dengan harga input (entry value). Namun, ketika perusahaan mulai membesar dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan (stakeholders) ikut bertambah, timbul permasalahan dengan pengukuran kinerja, antara lain (Sony dkk, 2002:23) : 1.
Peningkatan skala perusahaan berupa integrasi fungsi-fungsi dan semakin kompleksnya struktur organisasi memperbesar jumlah transaksi internal yang membuat mekanisme harga terbengkalai.
19
2.
Pembesaran perusahaan berakibat pula pada semakin panjangnya siklus perusahaan.
3.
Pengukuran kinerja bahkan semakin sulit dilakukan pada perusahaan padat modal berskala besar yang menghasilkan lebih dari satu jenis produk, terutama kesulitan dalam pengalokasian biaya overhead.
4.
Bertambahnya stakeholders semakin mempersulit proses deliberasi untuk menyepakati besarnya nilai akun dalam neraca dan laporan rugi laba yang bukan berasal dari arm’s length transactions, seperti, exit value, replacement cost, dan sebagainya. Dengan berbagai kendala diatas, dapat dipastikan bahwa pengukuran
kinerja berbasis informasi keuangan sudah tidak bisa lagi memuaskan semua pihak. Akhirnya, yang menjadi “kambing hitam” adalah (sistem) akuntansi. Posisinya semakin tersudut manakala ia diharapkan sebagai penghasil laporan keuangan yang mampu menengahi berbagai kepentingan. Sehingga, pada akhirnya akuntansi, (melalui mekanisme harga) yang sangat menggantungkan diri pada bukti-bukti otentik (objective and verifiable evidences) dari transaksi inputoutput, pada akhirnya, akan membawa konsekuensi serius terhadap kecermatan dan manfaat yang dapat diperoleh dari ukuran kinerja keuangan yang dihasilkan. Asumsi yang mendasari pengukuran kinerja dalam manajemen tradisional di atas sangat berbeda dengan asumsi yang digunakan dalam manajemen kontemporer. Dalam manajemen tradisional, pengukuran kinerja dilakukan dengan menetapkan secara tegas tindakan tertentu yang diharapkan akan
20
dilakukan oleh personel dan melakukan pengukuran kinerja untuk memastikan bahwa personel melaksanakan tindakan sebagaimana diharapkan. Sebaliknya, pengukuran kinerja dalam zaman teknologi informasi, sebagaimana digunakan dalam Balanced Scorecard, bergeser menuju pemotivasian personel untuk mewujudkan visi dan strategi organisasi (Mulyadi & Setyawan, 1999:212). Pengukuran kinerja sendiri merupakan bagian dari sistem pengendalian manajemen yang mencakup, baik tindakan yang mengimplikasikan keputusan perencanaan maupun penilaian kinerja pegawai serta operasinya. Penilaian kinerja merupakan sarana bagi manajemen untuk mengetahui sejauh mana tujuan perusahaan telah tercapai, menilai prestasi bisnis, manajer. Divisi, dan individu dalam perusahaan, serta untuk memprediksi harapan-harapan perusahaan di masa mendatang. Tolok ukur yang selama ini kerap digunakan, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari financial result control dalam responsibility center, adalah Return on Investment (ROI), Return on Capital Employed (ROCE), Economic Value Added (EVA)/Residual Income (RI) dan Return on Equity (ROE). ROI termasuk yang paling banyak digunakan oleh organisasi karena keunggulan-keunggulannya (Sony dkk, 2002:26) : 1.
ROI merupakan tolok ukur tunggal yang komprehensif yang bisa menjelaskan trade-off antara pendapatan, biaya, dan investasi.
2.
ROI dapat digunakan untuk membandingkan kinerja dari berbagai sektor bisnis, baik pesaing, divisi, maupun dalam industri.
21
3.
Bentuk presentasi hasil perhitungan ROI dapat dibandingkan dengan tolok ukur keuangan lainnya.
4.
ROI digunakan secara luas, sehingga semua manajer mengetahui apa yang diwakili oleh ROI dan apa pengaruhnya bagi perusahaan. Dengan kata lain, penafsiran ROI yang popular dengan analisis Dupont adalah untuk mengetahui apa penyebab naik atau turunnya keuntungan perusahaan dalam suatu periode. Dalam
perkembangannya,
ROI
juga
mendapatkan
kritik
karena
kelemahan-kelemahannya ; 1.
Numerator yang digunakan dalam perhitungan ROI adalah laba akuntansi yang
bersifat
“earning
management”,
dimana
manajer
dapat
mempengaruhi ROI untuk kepentingan jangka pendek dan merugikan perusahaan dalam jangka panjang. 2.
Keputusan investasi oleh ROI berkecenderungan terhadap suboptimalisasi keputusan, yaitu manajer lebih mempertimbangkan keuntungan divisinya dengan mengorbankan kepentingan perusahaan secara keseluruhan.
3.
Sinyal yang disampaikan oleh ROI bersifat bias karena faktor kesulitan dalam menghitung nilai investasi sebagai denominator ROI. Untuk memperbaiki keterbatasan ROI maka Matshusita Company
mengenalkan Residual Income (RI) yang membandingkan laba bersih sebelum pajak dengan jumlah beban bunga investasi, dimana selisihnya merupakan
22
residual income. Suatu residual income akan meningkatkan sejalan dengan kelebihan investasi di atas biaya modal sehingga tercipta goal congruence antardivisi dan divisi dengan perusahaan sehingga permasalahan suboptimalisasi dapat dihindari. Sama dengan ROI, RI masih dapat dipengaruhi oleh earning management dan besarnya investasi dan prosentase biaya modal. Perbaikan pengukuran kinerja terhadap ROI juga dilakukan oleh Stern Management Services dengan Economic Value Added (EVA). EVA mencoba mengoreksi laba operasi setelah pajak dengan menambahkan cadangan-cadangan ekuitas ekuivalen, seperti cadangan piutang tak tertagih, amortisasi kumulatif goodwill, dan aktiva tak berwujud yang dikapitalisir, ke modal serta menambahkan beban periodik dari cadangan-cadangan tersebut ke laba operasi setelah pajak. Total biaya modal menunjukan kompensasi atau pengembalian yang dituntut investor atau modal yang diinvestasikan di perusahaan. Besarnya kompensasi tergantung pada tingkat risiko perusahaan yang bersangkutan dengan asumsi bahwa investor lebih memilih untuk menghindari risiko. Dengan demikian, EVA diperoleh dengan mengurangi laba operasi setelah pajak dengan total biaya modal. Namun, EVA juga masih memiliki beberapa kelemahan. Pertama, EVA hanya menggambarkan penciptaan nilai untuk suatu tahun tertentu. Sementara, nilai perusahaan adalah akumulasi EVA selama umur perusahaan, sehingga bisa jadi pada suatu tahun EVA perusahaan menunjukan angka positif tapi nilai perusahaan rendah karena EVA bernilai negatif di masa-masa berikutnya. Kedua, EVA kurang realistis karena proses penghitungannya memerlukan estimasi biaya modal, sesuatu yang sulit diukur akurasinya (Sony dkk, 2002:28).
23
Terlepas dari itu semua, penggunaan tolok ukur keuangan sebagai satusatunya pengukur kinerja perusahaan memiliki banyak kelemahan, antara lain (Sony dkk, 2002:28) : 1.
Pemakaian kinerja keuangan sebagai satu-satunya penentu kinerja perusahaan bisa mendorong manajer untuk mengambil tindakan jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang. Misal, untuk menaikan profit atau ROI, seorang manajer bisa saja mengurangi komitmennya terhadap pengembangan atau pelatihan bagi karyawannya, termasuk
investasi-investasi
dalam
sistem
dan
teknologi
untuk
kepentingan perusahaan masa depan. Dalam jangka pendek kinerja keuangan meningkat, namun dalam jangka panjang akan menurun. 2.
Diabaikannya aspek pengukuran non-financial dan intangable assets pada umumnya, baik dari sumber internal maupun eksternal akan memberikan suatu pandangan yang keliru bagi manajer mengenai perusahaan di masa sekarang terlebih lagi di masa datang.
3.
Kinerja keuangan hanya bertumpu pada kinerja masa lalu dan kurang mampu sepenuhnya untuk menuntun perusahaan ke arah tujuan perusahaan.
C.
Balanced Scorecard
1.
Kelahiran Konsep Balanced Scorecard
24
Dewasa ini, berbagai kemajuan pesat di bidang industri mau tak mau mensyaratkan perusahaan untuk berkembang sejalan dengan kemajuan tersebut, yang berarti operasional organisasi menjadi kompleks. Perusahaan-perusahaan berlomba melakukan “penciptaan nilai” (value creation) melalui berbagai diversifikasi produk yang tak terhitung variannya. Pada dasarnya, mereka sedang melakukan pengelolaan “aktiva berwujud” perusahaan (tangible assets) dengan mengolah bahan baku menjadi barang jadi melalui teknologi yang mereka miliki. Berbagai paradigma dan sarana manajemen kemudian muncul, termasuk teknologi produksi dan informasi serta komunikasi, untuk mengelola proses internal seefisien dan seefektif mungkin. Dengan berjalannya waktu, ditambah dengan makin pekanya konsumen terhadap layanan dan mutu produk, proses “penciptaan nilai” pada pengelolaan aktiva berwujud mengalami pergeseran. Kemungkinan bagi perusahaan untuk menciptakan nilai di masa-masa mendatang telah bergeser dari pengelolaan “aktiva berwujud” ke pengelolaan berbagai strategi berbasis-pengetahuan (knowledge-based strategy) dengan menggali aktiva tak berwujud perusahaan (intangible assets), seperti : a.
Menciptakan hubungan yang harmonis dan langgeng dengan pelanggan.
b.
Mengarahkan produk dan jasa yang inovatif dan kompetitif.
c.
Meniti teknologi informasi dan komunikasi yang canggih.
d.
Menstimulasi keterampilan dan motivasi karyawan.
25
Meskipun bukan sesuatu yang baru pada awal kemunculannya, ide Balanced
Scorecard
untuk
memfasilitasi
organisasi
agar
mencurahkan
perhatiannya atas kapabilitas aktiva tak berwujud, banyak mendapat sambutan dari pemerhati dan praktisi organisasi dan manajemen. Ide tentang Balanced Scorecard pertama kali dipublikasikan dalam artikel Robert S. Kaplan dan David P. Norton di Harvard Business Review tahun 1992 dalam sebuah artikel berjudul “Balanced Scorecard-Measures that Drive Performance”. Artikel tersebut merupakan laporan dari serangkaian riset dan eksperimen terhadap beberapa perusahaan di Amerika serta diskusi rutin dua bulanan dengan wakil dari berbagai bidang perusahaan sepanjang tahun itu untuk mengembangkan suatu model pengukuran kinerja baru. Balanced Scorecard dkembangkan sebagai sistem pengukuran kinerja yang memungkinkan para eksekutif memandang perusahaan dari berbagai perspektif secara simultan. Scorecard terdiri atas tolok ukur keuangan yang menunjukan hasil dari tindakan yang diambil sebagaimana ditunjukan pada tiga perspektif tolok ukur operasional lainnya : kepuasan pelanggan, proses internal, dan kemampuan berorganisasi untuk belajar dan melakukan perbaikan. Membuat suatu Balanced Scorecard harus dimulai dari penerjemahan strategi dan misi perusahaan ke dalam sasaran dan tolok ukur yang spesifik. Para manajer kemudian terus merunuti tolok ukur tersebut untuk mencapai sasaran mereka.
26
Dalam perkembangannya, Balanced Scorecard kemudian dikembangkan untuk menghubungkan tolok ukur bisnis dengan strategi perusahaan. Norton dan Kaplan menjelaskan pentingnya memilih tolok ukur berdasarkan keberhasilan strategis dalam artikel kedua Harvard Business Review, “Putting the Balanced Scorecard to Work” (September-Oktober 1993). Dalam artikel ini, Kaplan dan Norton menunjukan bagaimana beberapa perusahaan menggunakan Balanced Scorecard. Pengukuran yang efektif harus merupakan bagian yang integral dari proses manajemen. Balanced Scorecard merupakan sistem manajemen yang dapat memotivasi berbagai temuan perbaikan pada area-area seperti : produk, proses pelanggan dan pengembangan produk. Mulai pertengahan tahun 1993, perusahaan konsultan yang dipimpin oleh David P. Norton, Renaissance Solution, inc., menerapkan Balanced Scorecard sebagai sarana untuk menerjemahkan dan mengimplementasikan strategi di berbagai perusahaan kliennya. Sejak saat itu, Balanced Scorecard tidak saja digunakan sebagai sistem pengukuran kinerja namun berkembang lebih lanjut sebagai sistem manajemen strategis. Keberhasilan pemanfaatan Balanced Scorecard tersebut dilaporkan dalam sebuah artikel di Harvard Business Review (Januari-Februari 1996) dengan judul : “Using Balanced Scorecard as a Strategic Management System”. Artikel ini menjelaskan bagaimana suatu perusahaan harus berkompetisi dalam era informasi sekarang ini dengan meningkatkan kemampuannya dalam
27
mengeksploitasi intangible assets, lebih baik dari sekadar mengelola tangible assets. Balanced Scorecard mendidik manajemen dan organisasi pada umumnya untuk memandang perusahaan dari kurang lebih empat perspektif : keuangan, pelanggan, pembelajaran dan pertumbuhan, serta bisnis internal, yang menghubungkan pengendalian operasional jangka pendek ke dalam visi dan strategi bisnis jangka panjang sebagaimana gambar dibawah.
“Agar sukses secara financial bagaiman seharusnya penampilan kita di hadapan pemegang saham ? “
Keuangan Objektif
Ukuran
Target
Inisiatif
Konsumen “Untuk mencapai visi kita, bagaimana seharusnya kita tampil di hadapan konsumen ?”
Objektif
Ukuran
Target
Proses Bisnis Internal “Untuk memuaskan pemegang saham dan konsumen, proses bisnis apa yang harus kita kuasai ?”
Inisiatif
Visi dan Strategi
“Untuk mencapai visi kita, bagaimana kita mempertahank an kemampuan kita untuk berubah dan semakin baik ?”
Objektif
Ukuran
Target
Inisiatif
Pembelajaran dan Pertumbuhan Objektif
Ukuran
Target
Inisiatif
Gambar 2.6 : Balanced Scorecard menerjemahkan visi dan strategi perusahaan ke dalam empat perspektif yang saling terhubung (Sony dkk, 2007:5)
Selanjutnya manajemen didorong untuk memfokuskan diri pada rasiorasio kunci yang kritis dan strategis melalui stretch target yang ditetapkan
28
bersama. Dalam pandangan Balanced Scorecard, suatu operasi harian dengan pengaruh yang signifikan bagi kelangsungan hidup masa depan, dianggap strategis sehingga perlu mendapat perhatian dan pengamatan yang serius sepanjang waktu. Rasio-rasio kunci itulah yang kemudian menjadi unik ketika Balanced Scorecard membuat “menu” berupa scorecard untuk menggabungkan antara tolok ukur rasio kunci keuangan dan non keuangan membentuk jalinan strategis yang koheren. 2.
Pengertian Balanced Scorecard Kata benda “score” (Olve, dkk., 1999) merujuk pada makna :
“penghargaan atas poin-poin yang dihasilkan (seperti dalam permainan)”. Dalam konteks sebagai kata kerja, “score” berarti “memberi angka”. Dengan makna yang lebih bebas, scorecard (juga) berarti suatu kesadaran (bersama) di mana segala sesuatu perlu diukur. Pengukuran menjadi suatu hal yang vital sebelum kita melakukan evaluasi atau pengendalian terhadap suatu obyek. Obyek di sini bisa berarti suatu entitas bisnis, organisasi, korporat, divisi, unit, tim, atau bahkan individu. Sesuatu yang ingin kita kendalikan atau kita evaluasi perlu diukur. Jika suatu entitas bisnis perlu dikendalikan, maka diperlukan tolok ukurnya. Dengan demikian, yang dimaksud sistem pengendalian meliputi pengendalian segi entitas bisnis dari tingkatan tertinggi hingga level terendah, individu dalam organisasi. Jadi, ketika kita bicara tentang Balanced Scorecard, di mana terdapat tambahan kata “balanced” di depan kata “score”, maksudnya adalah bahwa angka (grade) atau “score” tersebut harus mencerminkan keseimbangan antara sekian banyak elemen penting dalam kinerja (Olve, dkk., 1999:16).
29
Menurut Kaplan dan Norton sendiri (1996:71), Balanced Scorecard merupakan : ...a set of measures that gives top managers a fast but comprehensive view of the business..includes financial measures that tell the results of actions already taken...complements the financial measures with operational measures on customer satisfaction, internal processes, and the organization’s
innovation
and
improvement
activities-operational
measures that are the drivers of the future financial performance. Sementara, Atkinson et al (1997:27) mendefinisikan Balanced Scorecard sebagai : “a measurements and management system that views a business unit’s performance from four perspectives : financial, customer, internal business process, and learning and growth” Dengan demikian menurut Sony dkk (2002:8), Balanced Scorecard merupakan suatu sistem manajemen, pengukuran, dan pengendalian yang secara cepat, tepat, dan komprehensif dapat memberikan pemahaman kepada manager tentang performance bisnis. Pengukuran kinerja tersebut memandang unit bisnis dari empat perspektif, yaitu : perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis dalam perusahaan, serta proses pembelajaran dan pertumbuhan. Melalui mekanisme sebab akibat (cause and effect), perspektif keuangan menjadi tolok ukur utama yang dijelaskan oleh tolok ukur operasional pada tiga perspektif lainnya sebagai driver (lead indicator).
30
Balanced
Scorecard
juga
kerap
dianalogikan
sebagai
semacam
“dashboard mobil” atau “cockpit pesawat terbang”, untuk menggambarkan bagaimana seorang “pengemudi atau pilot organisasi” perlu diberi data yang “real time”, akurat, dan relevan dengan tujuan “kendaraan atau pesawat organisasi”. Di masa lalu, perhatian organisasi yang tertumpu pada kepentingan pemilik modal mengakibatkan perspektif keuangan, sebagai cara pandang yang biasa digunakan pemodal, kerap digunakan untuk mengukur keberhasilan kinerja manajemen dan mengabaikan kinerja aspek non keuangan lainnya. Dengan berbasis tolok ukur keuangan
dalam
pengukuran
kinerjanya,
manajemen
secara
otomatis
menginstalasi sistemnya dengan basis tolok ukur, sehingga pengambilan keputusan organisasi selaras dengan sistem pengukuran tersebut. Dalam berbagai riset dan penelitian yang mendalam, pengambilan keputusan yang berbasis keuangan, yang nota bene diambil dari sistem informasi akuntansi, ternyata banyak menggiring manajemen untuk berorientasi pada kepentingan jangka pendek dan tak jarang memaksa mereka untuk melakukan moral hazard dengan melakukan rekayasa ulang (reengineering) kinerja atau laporan akuntansi. Balanced
Scorecard
juga
memberikan
kerangka
berfikir
untuk
menjabarkan strategi perusahaan ke dalam segi operasional. Sebelum Balanced Scorecard diimplementasikan, pada saat penyusunan (building) Balanced Scorecard, terlebih dahulu dijabarkan dengan jelas visi, misi, dan strategi perusahaan dari top management perusahaan, karena hal ini menentukan proses berikutnya berupa transaksi strategis kegiatan operasional.
31
Dengan Balanced Scorecard, tujuan suatu unit usaha tidak hanya dinyatakan dalam suatu ukuran keuangan saja, melainkan dijabarkan lebih lanjut ke dalam pengukuran bagaimana unit usaha tersebut menciptakan nilai terhadap pelanggan yang ada sekarang dan masa datang dan bagaimana unit usaha tersebut harus meningkatkan kemampuan internalnya termasuk investasi pada manusia, sistem, dan prosedur yang dibutuhkan untuk memperoleh kinerja yang lebih baik di masa datang. 3.
Aspek-Aspek yang Diukur dalam Balanced Scorecard
a.
Perspektif Keuangan Pengukuran kinerja keuangan akan menunjukan apakah perencanaan dan
pelaksanaan strategi memberikan perbaikan yang mendasar bagi keuntungan perusahaan. Perbaikan-perbaikan ini tercermin dalam sasaran-sasaran yang secara khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur, pertumbuhan usaha, dan nilai pemegang saham. Pengukuran kinerja keuangan mempertimbangkan adanya tahapan dari siklus kehidupan bisnis, yaitu (Kaplan & Norton, 1996:48) : growth, sustain, dan harvest. Tiap tahapan memiliki sasaran yang berbeda, sehingga penekanan pengukurannya pun berbeda pula. 1)
Growth (tahap pertumbuhan) adalah tahapan awal siklus kehidupan
perusahaan di mana perusahaan memiliki produk atau jasa yang secara signifikan memiliki potensi pertumbuhan terbaik. Di sini, manajemen terikat dengan komitmen untuk mengembangkan suatu produk atau jasa
32
baru, membangun dan mengembangkan suatu produk/jasa dan fasilitas produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan sistem, infrastruktur, dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta membina dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan. Dalam tahap pertumbuhan, perusahaan biasanya beroperasi dengan arus kas yang negatif dengan tingkat pengembalian modal yang rendah. Dengan demikian, tolok ukur kinerja yang cocok dalam tahap ini adalah, misalnya, tingkat pertumbuhan pendapatan atau penjualan dalam segmen pasar yang telah ditargetkan. 2)
Sustain (tahap bertahan) adalah tahapan kedua di mana perusahaan
masih melakukan investasi dan reinvestasi dengan mengisyaratkan tingkat pengembalian
terbaik.
Dalam
tahap
ini,
perusahaan
mencoba
mempertahankan pangsa pasar yang ada, bahkan mengembangkannya, jika mungkin.
Investasi
yang
dilakukan
umumnya
diarahkan
untuk
menghilangkan bottleneck, mengembangkan kapasitas, dan meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Sasaran keuangan pada tahap ini diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan. Tolok ukur yang kerap digunakan pada tahap ini, misal, ROI, ROCE, dan EVA. 3)
Harvest (tahap menuai) adalah tahapan ketiga di mana perusahaan
benar-benar memanen/menuai hasil investasi di tahap-tahap sebelumnya. Tidak ada lagi investasi besar, baik ekspansi maupun pembangunan kemampuan baru, kecuali pengeluaran untuk pemeliharaan dan perbaikan
33
fasilitas. Sasaran keuangan utama dalam tahap ini, sehingga diambil sebagai tolok ukur, adalah memaksimumkan arus kas masuk dan pengurangan modal kerja. Dengan demikian tampak jelas tujuan finansial di setiap tahap sangat berbeda. Tujuan finansial di tahap pertumbuhan akan menekankan pada pertumbuhan penjualan, mempertahankan tingkat pengeluaran yang memadai untuk mengembangkan tingkat produk dan proses, sistem, kapabilitas pekerja, dan penetapan saluran pemasaran dan distribusi baru. Tujuan finansial di tahap bertahan akan bertumpu pada ukuran finansial tradisional, seperti ROCE, laba operasi, dan margin kotor. Dan tujuan finansial perusahaan dalam tahap menuai akan menekankan pada arus kas. Setiap investasi harus menghasilkan pengembalian yang segera dan pasti. Faktor
pendorong
tujuan
finansial
untuk
ketiga
strategi
bisnis
(pertumbuhan, bertahan, dan menuai) dan ketiga tema finansial ini dapat dilihat dalam tabel 2.1.
34
Tabel 2.1 : Pengukuran Tema Keuangan Strategis (Peter, 2000:45)
Pertumbuhan Bertahan Menuai
Strategi Unit Bisnis (Tahap-tahap)
Tema Strategis
Bauran dan
Penghematan
Pertumbuhan
Biaya/Peningkatan
Pendapatan
produktivitas
Tingkat pertumbuhan penjualan segmen, Persentase pendapatan dari produk, jasa, dan pelanggan baru
Pendapatan/tingkat penjualan per pekerja atau karyawan
Persentase investasi terhadap penjualan, Persentase R&D terhadap penjualan
Pangsa pasar dari target pelanggan, Profitabilitas dari lini produk dan pelanggan, Persentase penerimaan dari pelanggan baru
Biaya produksi dibandingkan dengan pasaing,Tingkat reduksi biaya, Pengeluaran/biaya tidak langsung dibandingkan dengan penjualan
Rasio-rasio modal kerja, tingkat kerja, tingkat pengembalian investasi-ROI, dan tingkat utilisasi aset
Profitabilitas lini produk dan pelanggan, Persentase pelanggan yang tidak menguntungkan
Biaya per unit produk, Biaya per unit transaksi
Pengembalian investasi (Payback Period)
Pemanfaatan Aktiva/Strategi Investasi
Pemahaman tentang perspektif finansial dalam Balanced Scorecard sangatlah penting karena keberlangsungan suatu unit bisnis strategis sangat tergantung pada posisi dan kekuatan finansial. Berkaitan dengan hal tersebut,
35
berbagai rasio finansial dapat diterapkan dalam pengukuran strategis perspektif finansial. b.
Perspektif Pelanggan Filosofi manajemen terkini telah menunjukan peningkatan pengakuan atas
pentingnya customer focus dan customer satisfaction. Perspektif ini merupakan leading indicator. Jadi, jika pelanggan tidak puas mereka akan mencari produsen lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kinerja yang buruk dari perspektif ini akan menurunkan jumlah pelanggan di masa depan meskipun saat ini kinerja keuangan terlihat baik. Perspektif pelanggan memiliki dua kelompok pengukuran, yaitu customer core measurement dan customer value propositions (Kaplan & Norton, 1996:63). 1) Customer Core Measurement Customer core management memiliki beberapa komponen pengukuran yaitu (Kaplan & Norton, 1996:67) : market share, customer retention, customer acquisition, customer satisfaction, dan customer profitability (lihat gambar 2.1). Market Share (Pangsa Pasar) : Pengukuran ini mencerminkan bagian yang dikuasai perusahaan atas keseluruhan pasar yang ada, yang meliputi antara lain : jumlah pelanggan, jumlah penjualan, dan volume unit penjualan.
36
Customer Retention (Retensi Pelanggan) : Mengukur tingkat di mana perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan konsumen. Customer Acquisition (Akuisisi Pelanggan) : Mengukur tingkat di mana suatu unit bisnis mampu menarik pelanggan baru atau memenangkan bisnis baru. Customer Satisfaction (Kepuasan Pelanggan) : Menaksir tingkat kepuasan pelanggan terkait dengan kriteria kinerja spesifik dalam value proposition. Customer Profitability (Profitabilitas Pelanggan) : Mengukur laba bersih dari seorang pelanggan atau segmen setelah dikurangi biaya yang khusus diperlukan untuk mendukung pelanggan tersebut.
Pangsa Pasar
Akuisisi Pelanggan
Profitabilitas Pelanggan
Retensi Pelanggan
Kepuasan Pelanggan
37
Pangsa Pasar
Menggambarkan proporsi bisnis yang diual oleh sebuah unit bisnis di pasar (dalam bentuk jumlah pelanggan, uang yang dibelanjakan, atau volume satuan yang terjual).
Akuisisi Pelanggan
Mengukur bentuk relatif atau absolut, keberhasilan unit bisnis dalam menarik atau memenangkan pelanggan atau bisnis baru.
Kepuasan Pelanggan
Menilai tingkat kepuasan atas kriteria kinerja dalam proporsi nilai.
Profitabilitas Pelanggan
Mengukur keuntungan bersih yang diperoleh pelanggan atau segmen tertentu setelah menghitung berbagai pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Gambar 2.1 : Perspektif Pelanggan – Tolok Ukur Utama (Peter, 2000:60)
1) Customer value proposition Customer value proposition merupakan pemicu kinerja yang terdapat pada core value proposition yang didasarkan pada atribut sebagai berikut (Kaplan & Norton, 1996:73) : product/service attributes, customer relationship, dan image and relationship (lihat gambar 2.2). a) Product/service attributes (Atribut produk/jasa) Meliputi fungsi dari produk atau jasa, harga, dan kualitas. Pelanggan memiliki preferensi yang berbeda-beda atas produk yang ditawarkan. Ada yang mengutamakan fungsi dari produk, kualitas, atau harga yang murah. Perusahaan harus mengidentifikasikan apa yang diinginkan pelanggan atas produk yang ditawarkan. Selanjutnya, pengukuran kinerja ditetapkan berdasarkan hal tersebut.
38
b) Customer relationship (Hubungan pelanggan) Menyangkut perasaan pelanggan terhadap proses pembelian produk yang
ditawarkan
perusahaan.
Perasaan
konsumen
ini
sangat
dipengaruhi oleh responsivitas dan komitmen perusahaan terhadap pelanggan berkaitan dengan masalah waktu penyampaian. Waktu merupakan komponen yang penting dalam persaingan perusahaan. Konsumen biasanya menganggap penyelesaian order yang cepat dan tepat waktu sebagai faktor yang penting bagi kepuasan mereka. c) Image and reputation (Citra dan reputasi) Menggambarkan faktor-faktor intangible yang menarik seorang konsumen untuk berhubungan dengan perusahaan. Membangun image dan reputasi dapat dilakukan melalui iklan dan menjaga kualitas seperti yang dijanjikan.
Nilai
=
Fungsionalitas
Atribut Produk/Jasa
Mutu
+
Harga
Citra
+
Hubungan Pelanggan
Waktu
Gambar 2.2 : Model Generik – Proposisi Nilai Pelanggan (Sony dkk, 2007:38)
39
c.
Perspektif Proses Bisnis Internal Analisis proses bisnis internal perusahaan dilakukan dengan menggunakan
analisis value-chain. Di sini, manajemen mengidentifikasi proses internal bisnis yang kritis yang harus diunggulkan perusahaan. Scorecard dalam perspektif ini memungkinkan manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan dan apakah produk dan atau jasa mereka sesuai dengan spesifikasi pelanggan. Perspektif ini harus didesain dengan hati-hati oleh mereka yang paling mengetahui misi perusahaan yang mungkin tidak dapat dilakukan oleh konsultan luar. Kaplan dan Norton (1996:96) membagi proses bisnis internal ke dalam : inovasi, operasi, dan layanan purna jual. Selanjutnya, pengukuran kinerja dalam perspektif ini berpedoman pada proses-proses di atas (lihat gambar 2.3) : 1) Proses Inovasi Dalam proses ini, unit bisnis menggali pemahaman tentang kebutuhan laten dari pelanggan dan menciptakan produk dan jasa yang mereka butuhkan. Proses inovasi dalam perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian Research & Development (R & D) sehingga setiap keputusan pengeluaran suatu produk ke pasar telah memenuhi syarat-syarat pemasaran dan dapat dikomersialkan (didasarkan pada kebutuhan pasar). Aktivitas R & D ini merupakan aktivitas penting dalam menentukan kesuksesan perusahaan, terutama untuk jangka panjang.
40
2) Proses Operasi Proses operasi adalah proses untuk membuat dan menyampaikan produk/jasa. Aktivitas di dalam proses operasi terbagi ke dalam dua bagian : proses pembuatan produk dan proses penyampaian produk kepada pelanggan. Pengukuran kinerja yang terkait dalam proses operasi dikelompokan pada : waktu, kualitas, dan biaya. 3) Proses Pelayanan Purna Jual Proses ini merupakan jasa pelayanan pada pelanggan setelah penjualan produk/jasa tersebut dilakukan. Aktivitas yang terjadi dalam tahapan ini. Misalkan, penanganan garansi dan perbaikan penanganan atas barang rusak dan yang dikembalikan serta pemrosesan pembayaran pelanggan. Perusahaan dapat mengukur apakah upayanya dalam pelayanan purna jual ini telah memenuhi harapan pelanggan, dengan menggunakan tolok ukur yang bersifat kualitas, biaya, dan waktu seperti yang dilakukan dalam proses operasi. Untuk siklus waktu, perusahaan dapat menggunakan pengukuran waktu dari saat keluhan pelanggan diterima hingga keluhan tersebut diselesaikan. d.
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Proses pembelajaran dan pertumbuhan ini bersumber dari faktor sumber
daya manusia, sistem, dan prosedur organisasi (lihat gambar 2.3). Termasuk dalam perspektif ini adalah pelatihan pegawai dan budaya perusahaan yang
41
berhubungan dengan perbaikan individu dan organisasi. Dalam organisasi knowledge-worker, manusia adalah sumber daya utama.
Ukuran inti HASIL
Retensi Pekerja
Produktivitas Pekerja
Kepuasan Pekerja
Kompetensi Staf
Infrastruktur Teknologi
Iklim untuk bertindak
Gambar 2.3 : Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan : Kerangka Kerja (Sony dkk, 2007 : 40)
Dalam berbagai kasus, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan merupakan pondasi keberhasilan bagi knowledge-worker organization dengan tetap memperhatikan faktor sistem dan organisasi. Hasil dari pengukuran ketiga perspektif sebelumnya biasanya akan menunjukan kesenjangan yang besar antara kemampuan orang, sistem, dan prosedur yang ada saat ini dengan yang dibutuhkan untuk mencapai kinerja yang diinginkan. Itulah mengapa, perusahaan harus melakukan investigasi di ketiga faktor tersebut untuk mendorong perusahaan menjadi sebuah organisasi pembelajar (learning organization).
42
Menurut Kaplan dan Norton “Learning” lebih sekedar “training” karena pembelajaran meliputi pula proses “men-toring dan tutoring”, seperti kemudahan dalam komunikasi di segenap pegawai yang memungkinkan mereka untuk siap membantu jika dibutuhkan. Menurut Kaplan dan Norton (1996:127) dalam perspektif ini, perusahaan melihat tolok ukur : employee capabilities, information system capabilities, dan motivation, empowerment, and alignment. 1) Employee capabilities Salah satu perubahan yang dramatis dalam pemikiran manajemen selama lima belas tahun terakhir ini adalah peran para pegawai di organisasi. Faktanya, tidak ada yang lebih baik bagi transformasi revolusioner dari pemikiran era industrial ke era informasi ketimbang filosofi manajemen baru, yaitu bagaimana para pegawai menyumbangkan segenap kemampuannya untuk organisasi. Untuk itu, perencanaan dan upaya implementasi reskilling pegawai yang menjamin kecerdasan dan kreativitasnya dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan organisasi. 2) Information system capabilities Bagaimanapun juga, meski motivasi dan keahlian pegawai telah mendukung pencapaian tujuan-tujuan perusahaan, masih diperlukan informasi-informasi yang terbaik. Dengan kemampuan sistem informasi yang memadai, kebutuhan seluruh tingkatan manajemen dan pegawai atas
43
informasi yang akurat dan tepat waktu dapat dipenuhi dengan sebaikbaiknya 3) Motivation, empowerment, and alignment Perspektif
ini
penting
untuk
menjamin
adanya
proses
yang
berkesinambungan terhadap upaya pemberian motivasi dan inisiatif yang sebesar-besarnya
bagi
pegawai.
Paradigma
manajemen
terbaru
menjelaskan bahwa proses pembelajaran sangat penting bagi pegawai untuk melakukan trial and error sehingga turbulensi lingkungan samasama dicoba-kenali tidak saja oleh jenjang manajemen strategis tetapi juga oleh segenap pegawai di dalam organisasi sesuai kompetensinya masingmasing. Sudah barang tentu upaya itu perlu dukungan motivasi yang besar dan pemberdayaan pegawai berupa delegasi wewenang yang memadai untuk mengambil keputusan. Tentu, itu semua tetap dibarengi dengan upaya penyesuaian yang terus menerus sejalan dengan tujuan organisasi. 4.
Merumuskan Perspektif Setelah visi komprehensif dan konsep bisnis dirumuskan, kemudian perlu
dipilih perspektif untuk membangun scorecard financial, pelanggan, proses internal bisnis, pembelajaran dan pertumbuhan. Jika perspektif ini dirasa belum memadai, dimungkinkan pula untuk menambah perspektif lain, seperti perspektif karyawan atau manusia. Pilihan perspektif harus diatur terutama oleh logika bisnis, dengan hubungan timbal balik yang jelas antarperspektif yang berbedabeda (lihat gambar 2.4 dan 2.5). Perspektif yang berkembang harus menunjukan
44
cara yang diinginkan manajemen untuk mengembangkan organisasi produk dan jasa yang ditawarkan untuk tujuan proses singkat dan/atau tujuan penambahan nilai bagi pelanggan. Pengaruh-pengaruh ini harus bisa diamati dari perspektif finansial. Semua perubahan perspektif harus berdasarkan pada alasan-alasan strategis daripada sekadar beberapa jenis model stake-holders. Ini akibat dari jarangnya kebutuhan perspektif karyawan yang terpisah, karena karyawan dianggap sumber daya, khususnya di dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
Visi Apa visi kami mendatang? Keuangan
Perspektif
Pelanggan
Proses Bisnis Internal
Pembelajaran & Pertumbuhan
Tujuan Strategis Jika visi kami sukses, bagaimana kami akan berbeda ? Faktor‐Faktor Sukses Kritis Faktor‐faktor sukses kritis apakah untuk mencapai tujuan strategis kami ? Tolok Ukur Strategis Pengukuran kritis apakah yang dapat memberi kami petunjuk strategis ?
Gambar 2.4 : Pandangan Komprehensif tentang Proses (Sony dkk, 2007:107)
45
Visi/Misi & Tujuan
Analisis External
SWOT Strategic Choice
Analisis Internal
Tema-tema Strategis ................................................... ................................................... ...................................................
Tema Strategis Perspektif Keuangan
Tema Strategis Perspektif Pelanggan
Tema Strategis Perspektif Bisnis Internal
Tema Strategis Perspektif Pembelajaran
...................... ...................... ......................
...................... ...................... ......................
...................... ...................... ......................
...................... ...................... ......................
Gambar 2.5 : Merinci Visi ke dalam tema strategis di empat perspektif BSC (Sony dkk, 2007:108)
46
5.
Merinci Visi Berdasarkan Masing-Masing Perspektif Dan Merumuskan Seluruh Tujuan Strategis Model Balanced Scorecard utamanya merupakan suatu alat untuk
merumuskan dan mengimplementasikan strategi perusahaan. Model tersebut harus dilihat sebagai suatu instrumen untuk menerjemahkan visi dan strategi yang abstrak ke dalam tolok ukur dan sasaran yang spesifik. Dengan kata lain, Balanced Scorecard yang dirumuskan dengan baik merupakan presentasi strategi perusahaan. Jadi, tujuan langkah ini adalah untuk menerjemahkan visi ke dalam istilah nyata dari perspektif yang telah disusun dan dengan demikian, akan mencapai keseimbangan keseluruhan yang merupakan ciri unik dari model dan metode ini. Proses ini merupakan bagian yang sangat penting dalam kerja pengembangan bisnis. Selain itu, adalah merumuskan strategi keseluruhan dalam istilah-istilah yang lebih umum. Strategi bisa didefinisikan sebagai hubungan antara visi perusahaan dan rencana operasional yang akan diikuti sehari-hari. Dengan kata lain, suatu strategi menjelaskan aturan-aturan, kejadian-kejadian, dan keputusan-keputusan yang diperlukan perusahaan untuk beralih dari situasi saat ini kepada apa yang diinginkan perusahaan di masa mendatang, visi (Sony dkk, 2007:109). Perumusan strategi biasanya sangat kompleks dan membutuhkan input substansial sumber daya. Alasannya adalah biasanya ada banyak aspek dan variabel yang harus dipertimbangkan. Seperti halnya di berbagai area lain, tidak ada persetujuan mengenai prosedur yang sesuai untuk rumusan strategi di suatu
47
perusahaan. Meskipun begitu, selalu ada pertanyaan fundamental tentang bagaimana perusahaan mendapatkan dan memperpanjang manfaat kompetitif yang telah ada di antara saingan-saingannya. Pertanyaan ini berada pada jantung proses pengembangan dan perumusan strategi. Manfaat terpenting model Balanced Scorecard berada persis dalam area ini. Model ini memudahkan kita untuk menguraikan visi menjadi spesifik, strategi yang di dasarkan realita di mana orang-orang di perusahaan merasa bahwa mereka dapat mengerti dan bekerja sama. Satu cara melalui tahap ini adalah dengan meminta peserta menjelaskan aturan-aturan umum yang paling mudah dan efektif untuk mengarahkan perusahaan kepada visi yang diinginkan. Penjelasan itu harus berdasarkan pada perspektif yang beragam atau andil dari masing-masing unsur. Poin permulaan yagn sesuai adalah penjelasan terdahulu mengenai pandangan perusahaan di masa mendatang. Dari sana, aturan dan strategi yang cocok akan teridentifikasi dalam bermacam-macam pandangan : profitabilitas jangka panjang, persaingan perusahaan seperti harga dan waktu pengiriman, organisasi perusahaan dan lalu tipe kompetensi yang akan diolah dan tersedia. Strategi-strategi lain yang akan disusun berkaitan dengan tempat di mana produk dan jasa akan dikembangkan oleh perusahaan, dan dengan siapa akan bertanggung jawab terhadap perkembangan. Untuk melengkapi fase ini, kelompok tersebut akan memilih pernyataan untuk masing-masing perspektif yang menunjukan strategi-strategi prinsipil, untuk tujuan prioritas, untuk memperoleh visi yang diinginkan.
48
Dampak langsungnya, strategi akan didasarkan pada visi. Organisasi akan menjadi sangat apresiatif, karena visi akan dispesifikasikan lebih jauh dan lebih mudah untuk dimengerti dalam praktik dan bagaimana ia mempengaruhi tindakan sehari-hari. Pengembangan strategi dari masing-masing perspektif akan dibahas dibawah ini. a.
Perspektif Keuangan Perspektif ini harus menggambarkan hasil-hasil pilihan strategis yang
dibuat di dalam perspektif lainnya, dan secara bersamaan menyusun beberapa sasaran jangka panjang dan aturan-aturan umum secara luas serta premis-premis untuk perspektif lainnya. Di sini kita menemukan gambaran mengenai apa yang diharapkan pemilik perusahaan dalam hal pertumbuhan dan keuntungan. Tepat pula untuk menjelaskan resiko-resiko keuangan yang mana, seperti arus uang tunai yang negatif, yang dapat diterima. Isu-isu lain yang mungkin dicakup berhubungan dengan strategi pengeluaran dan investasi, jumlah rekening maksimum yang diinginkan, dan sebagainya. Dengan kata lain, di sini ditemukan banyak instrumen pengendalian manajemen tradisional dalam bentuk tolok ukur keuangan dan rasio kunci. Kaplan dan Norton mengacu pada tiga tema strategis yang terutama berhubungan dengan angka pertumbuhan dan bauran produk; penurunan pengeluaran dan peningkatan produktivitas dan aturan-aturan dasar pemanfaatan kapasitas dan strategi investasi. b.
Perspektif Pelanggan
49
Perspektif ini menjelaskan cara-cara dimana nilai akan diciptakan untuk pelanggan, bagaimana ia menuntut nilai ini harus dipenuhi danm mengapa pelanggan mau membayarnya. Maka, berbagai proses internal dan upaya pengembangan perusahaan harus diarahkan berdasarkan perspektif ini. Kebanyakan
upaya
tersebut
diarahkan
untuk
menentukan
cara
meningkatkan dan menyakinkan loyalitas pelanggan. Untuk mengerti apa yang harus dilakukan, kita harus mengenal secara keseluruhan setiap aspek dalam proses pembelian pelanggan. Kita harus mengembangkan gambaran pasti tentang apa arti produk/jasa bagi mereka. Jika mereka adalah pelanggan industri, misal, kita harus bertanya apakah produk kita merupakan elemen penting dalam proses penambahan nilai bagi pelanggan mereka, ini tidak terlalu masalah. Seberapa pentingkah harga bagi pembeli dibandingkan nilai-nilai lain seperti kualitas, fungsi, waktu pengiriman, gambaran, hubungan, dan sebagainya. Setelah terbiasa dengan hal-hal rinci ini barulah kita bisa memutuskan dengan strategi-strategi dasar kita dalam hubungannya dengan pembeli dan pasar untuk kemudian berlanjut ke perspektif lainnya. Penting pula bahwa analisis-analisis ini bergantung sebanyak mungkin pada apa yang dihargai pembeli dan yang tidak, seperti pada banyak kasus, bergantung pada kebijakan konvensional perusahaan kita. Strategi-strategi yang dipilih harus didasarkan pada analisis di atas dan di sekitar istilah konvensional yang menjelaskan segmen-segmen pembeli yang akan diprioritaskan, mengidentifikasi cara-cara bersaing, dan dalam hal ini juga menspesifikasi kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang bisa digunakan. Tolok
50
ukur yang merupakan akibat alamiah dari pilihan strategi ini harus memberi pandangan komprehensif dari perspektif pembeli. Lebih baik lagi, tersedia informasi mutakhir yang menyediakan : 1) Pangsa pasar. 2) Loyalitas pelanggan, dihitung misal, untuk frekuensi pembelian baru. 3) Masuknya pelanggan baru. 4) Kepuasan pelanggan terhadap produk/jasa. 5) Profitabilitas pelanggan. Penting pula untuk mempelajari tentang berbagai kecenderungan perubahan dan sikap pelanggan di tahap awal. Salah satu metode dan wawancara teratur untuk mengetahui perubahan-perubahan yang mungkin dalam nilai-nilai pelanggan yang disarankan adalah melalui indeks kepuasan pelanggan. Selanjutnya, perusahaan harus memperhatikan seluruh perubahan dalam kualitas, waktu pengiriman, kemampuan pengiriman, frekuensi pengembalian, dan sebagainya. Sebaiknya, hal itu diperoleh sebelum terjadi kehilangan loyalitas pelanggan dan yang kemudian dapat membahayakan keuangan utama, dengan kata lain, harus bersiaga terhadap perubahan dan tendensi minor dan kemampuan merespons secara tepat. Dan juga, perusahaan tidak boleh terlalu terpaku pada pelanggan dan produk yang ada. Perusahaan mungkin berpotensi, termasuk kompetensi karyawan, untuk menarik pelanggan baru dan menawarkan produkproduk baru.
51
c.
Perspektif Proses Bisnis Internal Proses apa saja yang menghasilkan bentuk nilai yang benar bagi pelanggan
dan sekaligus memenuhi harapan-harapan pemegan saham ? Jawabannya harus muncul dari perspektif ini. Pertama, kita harus mengidentifikasi proses-proses perusahaan pada seluruh tingkatan. Model Porter yang dinamakan model “mata rantai nilai” sangat berguna untuk tujuan ini (gambar 2.5). Model tersebut menjelaskan seluruh proses perusahaan dari analisis kebutuhan pelanggan melalui pengiriman produk/jasa. Proses-proses ini kemudian dibahas secara rinci. Tujuan latihan ini adalah untuk memangkas proses-proses yang tidak bermanfaat bagi pelanggan baik langsung maupun tak langsung. Proses yang tetap harus dijelaskan dalam bentuk pengeluaran, waktu proses, jaminan kualitas, dan sebagainya. Hasilnya kemudian akan memberi dasar dalam memilih cara untuk mengukur proses-proses ini. Beberapa proses penting yang perlu diterangkan dan dibahas adalah kecenderungan memperluas basis pelanggan dan yang langsung mempengaruhi loyalitas pelanggan. Contoh proses yang langsung mempengaruhi loyalitas pelanggan adalah proses produksi dan pengiriman dan proses yang berhubungan dengan jasa. Yang tak kalah pula pentingnya adalah proses pengembangan produk dan hubungannya dengan kebutuhan pelanggan. Perspektif proses bisnis merupakan analisis utama proses internal perusahaan. Analisis ini sering mencakup identifikasi sumber daya dn kapabilitas yang dibutuhkan perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya. Namun, semakin
52
sering hubungan antara proses-proses internal perusahaan dan yang lainnya, menyebabkan perusahaan-perusahaan bekerja sama begitu dekat dengan maksud untuk mendapatkan bahan bagi pertimbangan. Di sini, kita memiliki pilihan tentang apa yang tercakup dalam perspektif pelanggan dan proses bisnis : 1) Kita bisa tetap mempertimbangkan perspektif pelanggan untuk betulbetul difokuskan pada penerimaan barang dan jasa perusahaan, di mana kita harus memperluas perspektif proses bisnis untuk mencakup semua partner yang bekerja sama dengan kita. Pemasok yang memiliki hubungan jangka panjang dengan kita dan bahkan mungkin sistem komputerisasi bersama, partner-partner sumber daya dari luar dan yang lainnya. 2) Atau kita bisa
memberi suatu “fokus eksternal” kepada perspektif
pelanggan dan menjelaskan strategi kita mengenai semua hubungan eksternal ini, sementara perspektif proses bisnis tetap memperjuangkan “fokus internal”-nya. d.
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Perspektif ini memungkinkan perusahaan untuk menjamin adanya
pembaruan kapasitas dalam jangka panjang, suatu prasyarat bagi kelangsungan organisasi di masa datang. Dalam perspektif ini, perusahaan harus mendasarkan diri tidak hanya pada menjamin dan mengembangkan keperluan know-how untuk memahami dan memuaskan kebutuhan pelanggan, tetapi juga bagaimana hal
53
tersebut dapat menjamin efisiensi yang penting dan produktivitas dari proses sekarang sedang menciptakan nilai kepada pelanggan. Untuk sampai pada strategi kompetensi yang sesuai, yang menspesifikasi wilayah-wilayah di mana perusahaan akan menanamkan investasi guna mengembangkan kompetensinya dari dalam dan wilayah di mana perusahaan mengambil langkah kolaborasi dan kontrak dengan pihak luar, maka pertanyaanpertanyaan berikut mungkin akan membantu : 1) Terdiri dari apa saja kompetensi itu ? 2) Untuk apa seharusnya ia digunakan ? 3) Bagaimana ia mempengaruhi nilai bagi pelanggan ? 4) Bagaimana menspesifikasikannya ? 5) Bagaimana ia berubah dari waktu ke waktu ? 6) Seberapa sering ia digunakan ? 7) Bagaimana ia dipengaruhi TI ? Model lain yang telah terbukti manfaatnya dalam strategi pengembangan kompetensi adalah matriks kompetensi sebagaimana dikenalkan oleh Hamel dan Prahalad (1994), dibawah ini :
54
Pasar Yang ada sekarang
Yang baru
Yang baru
Kompetensi pusat baru yang bagaimana yang kita butuhkan untuk menjaga dan memperluas monopoli kita dalam pasar kita saat ini ?
Kompetensi pusat baru yang bagaimana yang kita butuhkan untuk berpartisipasi dalam pasar-pasar yang paling menarik di masa datang ?
Yang ada
Apa peluang meningkatkan posisi kita dalam pasar yang ada dengan mempengaruhi kompetensi kita yang ada dengan cara yang lebih baik ?
Produk dan jasa baru apa yang dapat kita ciptakan dengan kembali menyebarkan dan mengkombinasikan kompetensi yang kita miliki dewasa ini ?
Gambar 2.6 : Matriks Kompetensi dari Hamel dan Prahalad (Sony dkk, 2007:116) Sebagai tambahan terhadap pengembangan strategis seperti yang telah dibahas di atas, kita juga harus menjelaskan infrastruktur internal bagi penyampaian informasi dan proses pembuatan keputusan dalam bentuk umum, dengan kata lain, struktur dan kondisi yang eksis bagi pengembangan organisasi pembelajar yang perlu untuk mempertahankan posisi pasar, struktur yang kondusif bagi pengembangan dan pertahanan derajat motivasi yang tinggi dan penitikberatan yang tepat pada misi bersama.