6 BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Long Term Evolution (LTE) Long Term Evolution (LTE) adalah suatu set perangkat tambahan Universal Mobile Telecommunications System (UMTS) yang diperkenalkan oleh 3rd Generation Partnership Project (3GPP) merupakan teknologi radio yang dirancang untuk meningkatkan kapasitas dan kecepatan jaringan sistem komunikasi bergerak dari pendahulunya. Teknologi ini mampu memberikan kecepatan akses data hingga mencapai 100 Mbps pada sisi downlink dan 50 Mbps pada sisi uplink. Selain itu, LTE mampu mendukung aplikasi yang secara umum terdiri dari layanan voice, data, video, termasuk juga IPTV dengan efesisensi cell-edge spectral di kisaran 2 sampai 4 kali yang disediakan release 6 HSPA. Kemampuan dan keunggulan LTE dari teknologi sebelumnya yaitu memberikan coverage dan kapasitas layanan yang lebih besar, mendukung penggunanaan antena multiple input-multiple output (MIMO), mengurangi jumlah biaya dalam operasional, pentingnya delay yang rendah dan penambahan kecepatan dalam transfer data. Selain itu, fleksibilitas spectrum dan kesamaan maksimum antara FDD dan TDD solusi yang jelas 2.1.1 Arsitektur Jaringan LTE Jaringan LTE dibagi menjadi dua jaringan besar, yaitu E-UTRAN (Evolved Universal Teresterial Radio Access Network) dan EPC (Evolved Packet Core) yang merupakan komponen jaringan baru pada arsitekturnya. Dalam arsitektur jaringan LTE, terdapat empat level utama yakni User Equipment (UE), Evolved UTRAN (EUTRAN), Evolved Packet Core Network (EPC), dan service domain.
User Equipment User Equipment adalah perangkat dalam LTE yang terletak paling ujung dan berdekatan dengan user. Peruntukan User Equipment pada LTE tidak berbeda dengan UE pada UMTS atau teknologi sebelumnya. Pada bagian User Equipment terdapat 2 bagian penyusun yakni USIM (Universal Subscriber Identity Module) dan TE (Terminal Equipment). Pada UE LTE
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7 sudah harus mendukung penggunaan antena MIMO downlink maupun uplink yang jumlahnya tergantung di tiap kategori. E-UTRAN (Evolved UMTS Terrestrial Radio Access Network)
Evolved UMTS Terrestrial Radio Access Network (E-UTRAN) adalah sistem arsitektur LTE yang memiliki fungsi menangani sisi radio akses dari UE ke jaringan core. Teknologi ini berbeda dengan teknologi sebelumnya yang memisahkan NodeB dan RNC menjadi elemen sendiri, pada sistem LTE E-UTRAN hanya terdapat satu komponen yakni Evolved Node B (eNodeB) yang telah menggabungkan fungsi keduanya. eNodeB secara fisik adalah suatu base station yang terletak di permukaan bumi. eNodeB pada LTE dapat meminimalisirkan delay time karena eNodeB langsung dapat terhubung dengan eNodeBlainnya. eNodeB memiliki 2 interface yaitu interface S1 untuk hubungan dengan EPC dan interface X2 untuk hubungan langsung dengan eNodeB. Fungsi dari X2 untuk mendukung akses komunikasi dan penerusan paket trafik pada saat UE melakukan handover. EnodeB memiliki 2 tugas penting yaitu pertama sebagai radio transmitter dan receiver, lalu yang kedua adalah mengontrol low-level operation semua mobile user dengan cara mengirim suatu sinyal tertentu berupa seperti pada saat handover MME ( Mobility Management Entity) Merupakan elemen control utama yang terdapat pada EPC. Fungsi utama pada MME pada arsitektur jaringan LTE yaitu yang pertama authentication and security, ketika UE pertama kali melakukan registrasi ke jaringan, MME memulai autentikasi. Lalu yang kedua Mobility Management menjaga jalur lokasi semua UE yang berada Ppada service area. Fungsi yang ketiga Mananging subscription profile dan service connectivity pada saat UE melakukan registrasi ke jaringan, MME akan bertanggung jawab untuk mendapatkan kembali profil pelanggan dari home network, MME akan mengirimkan informasi ini selama melayani UE. S-GW (Serving Gateway) Arsitektur jaringan LTE, level fungsi tertinggi S-GW adalah jembatan antara manajemen dan switching user plane. Peranaan S-GW bertanggung jawab pada sumbernya sendiri dan mengalokasikan berdasarkan permintaan MME, P-GW atau PCR, yang memerlukan set up pada UE. PDN-GW (Packet Data Network Gateway)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
PDN-GW adalah komponen penting pada LTE untuk melakukan terminasi dengan Packet Data Network (PDN).Sistem ini bertindak sebagai pelengkap IP point pada UE. PCRF (Policy and Charging Rules Function) PCRF merupakan bagian dari arsitektur jaringan yang mengumpulkan informasi, sistem pendukung operasional dan sumber lainnya (seperti portal) secara real time, yang mendukung pembentukan aturan dan kemudian secara otomatis membuat keputusan kebijakan untuk setiap pelanggan aktif di jaringan. HSS (Home Subscription Service) HSS merupakan tempat penyimpanan data pelanggan untuk semua data permanen user dan melakukan autentikasi data yang seperti halnya AuC (Authentication Center).
Gambar 2.1 Arsitektur Jaringn LTE
2.2 MIMO-Multiple Input Multiple Output Salah satu teknologi mendasar yang diperkenalkan bersamaan saat rilis LTE adalah Multiple Input Multiple Output (MIMO), sistem ini termasuk bagian dari spatial multiplexing serta sebagai pra-coding dan transmit diversity. Prinsip dasar spatial multiplexing adalah mengirim sinyal dari dua atau lebih antena yang berbeda dengan aliran data yang berbeda dan dengan pemrosesan sinyal, yang berarti di penerima terjadi proses memisahkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9 aliran data, sehingga mampu meningkatkan data dengan faktor 2 (konfigurasi 2-by-2 antena) atau faktor 4 (konfigurasi 4-by-4 antena). Dalam pra-coding sinyal ditransmisikan dari antena yang berbeda yang dititikberatkan untuk memaksimalkan sinyal yang diterima dibanding noise atau Signal to Noise Ratio (SNR). Transmit diversity mengandalkan mengirimkan sinyal yang sama dari
multiple
antenna
dengan
beberapa
coding
untuk
mengeksploitasi
peningkatan
dari independent fading antara antena. 2.2.1 Spatial Multiplexing Teknik Spatial multiplexing mengirimkan data yang berbeda secara paralel dan dikodekan secara paralel untuk setiap antena transmisinya. Tujuan dari teknik untuk meningkatkan kapasitas kanal yang besar dengan cara mengirimkan beberapa aliran data secara paralel pada waktu bersamaan. Teknik ini berlangsung pada dimensi spasial karena setiap kombinasi data parallel ditujukan ke salah satu antenna transmitter. Spatial Multipelxing dapat menambah efisiensi spektrum sehingga menambah kecepatan transmisi data.
Gambar 2.2 Spatial Multiplexing
2.2.2 Spatial Diversity Pada Teknik spatial diversity, setiap antena pengirim pada sistem MIMO mengirimkan data yang sama secara paralel dengan menggunakan coding yang berbeda. Diversity secara konvensional diaplikasikan dengan pemasangan antena array pada sisi receiver, dengan tujuan kualitas sinyal yang diterima dapat ditingkatkan dari sistem antena dalam kondisi kanal fading dengan adanya multipath.Tujuan teknik ini yaitu untuk meningkatkan SNR dengan cara
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10 mengurangi fading, meningkatkan kualitas link antara pengirim dengan penerima. Penggunaan STC (Space Time Coding) pada sistem MIMO dengan antena transmitter dan antena receiver memberikan kenaikan tingkat diversity menjadi Transmitter x Receiver.
Gambar 2.3 Spatial Diversity 2.3 Spektrum Frekuensi di Indonesia Spectrum frekuensi merupakan elemen penting dalam industri telekomunikasi sebagai media lalulintas dan merupakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu pemerintah memiliki peraturan- peraturan melalui Dirjen Postel yang mengatur alokasi penggunaan frekuensi tersebut. Di Indonesia alokasi frekuensi yang digunakan sama dengan yang digunakan di Eropa yaitu pada pita 900 MHz, 1800 MHz, dan 2100 MHz. untuk frekuensi 900 MHz atau yang dikenal dengan sebutan GSM900 frekwensi 890 – 915 MHz digunakan untuk uplink sedangkan untuk downlink menggunakan pita 935 -960 MHz. Pita frekuensi ini digunakan untuk layanan GSM 2G. Operator yang terdapat pada frekuensi ini ada 3 operator. Masing - masing operator memiliki lebar pita yang berbeda. Indosat memiliki 10 MHz, Tsel dan XL memiliki 7,5 MHz.
Gambar 2.4 Peta alokasi frekuensi 900 MHz
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11 Untuk GSM1800 atau DCS alokasi frekuensi uplink nya dari 1710 MHz s/d 1785 MHz sedangkan downlink dari 1805 MHz s/d 1880 MHz dimana alokasi frekuensi antara uplink dan downlink terpisah selebar 95 MHz. Frekunsi ini memiliki lebar 75 MHz yang digunakan untuk layanan GSM 2G oleh 4 operator, diamana setiap operator memiliki lebar pita yang berbeda-beda seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.5 Alokasi frekuensi 1800 MHz. Pada pita frekuensi radio 1800 MHz, Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, telah menandatangani Surat Edaran Nomor 1 tahun 2015 tentang Kebijakan Penataan Pita Frekuensi Radio 1800 MHz. Penataan ini didasarkan pada hasil kesepakatan para penyelenggara telekomunikasi sebagai berikut
Gambar 2.6 Alokasi frekuensi 1800 MHz. Untuk UMTS2100 alokasi frekuensi uplinknya dari 1920 MHz s/d 1980 MHz dan downlink dari 2110 MHz s/d 2170 MHz dimana alokasi frekuensi antara uplink dan downlink terpisah 190 MHz. Pita frekuensi ini digunakan untuk layanan UMTS dan terdapat 4 operator yang menggunakan frekuensi ini dengan 2 diantaranya memiliki lebar pita 15 MHz atau 3 blok
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12 alokasi dan sisanya memiliki lebar pita 10 MHz atau 3 blok alokasi. Total lebar pita frekuensi ini adalah 60 MHz. Pita frekuensi ini memiliki 12 blok frekuensi. Adapun alokasi frekuensi di pita 2100 MHz saat ini adalah H3I (Blok 1 dan 2), Telkomsel (Blok 3,4,5), Indosat (Blok 6 dan 7), XL (Blok 8,9,10). Dari 12 blok frekuensi ini terdapat 2 blok frekuensi AXIS yang dikembalikan kepada pemerintah setelah merger dengan XL.
Gambar 2.7 Alokasi frekuensi 2100 MHz Berdasarkan Peraturan Menkominfo nomor 08/PER/M.KOMINFO/01/2009 tanggal 19 Januari 2009 tentang Penetapan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan Layanan Pita Lebar Nirkabel Pada Pita Frekuensi Radio 2.3 GHz ditetapkan bahwa pita ini menggunakan moda TDD (Time Division Duplex)yang terdiri dari 15 nomor blok dimana nomor blok 1 sampai dengan nomor blok 12 masing-masing lebar frekuensinya 5 MHz sedangkan nomor blok 13 dan nomor blok 14 masing-masing lebar frekuensinya 15 MHz dan nomor blok 15 lebar frekuensinya 10MHz. Pada blok 13 dan 14 ini telah digunakan untuk layanan WiMAX yang telah dilakukan tender untuk beberapa wilayah regional. Dalam perencnaan jaringan LTE diperlukan frekuensi kerja dengan menggunakan teknik Frequency Division Duplexing (FDD), dan Time Division Duplexing (TDD). Jenis dulex tersebut banyak digunakan di Negara-negara di dunia tergantung ketentuan dari regulator. Teknologi FDD berjalan di dua frekuensi yakni di 800 MHz dan 1800 MHz. Teknik ini memiliki kelebihan keseimbangan antara sisi uplink dan downlink, karena masing-masing berjalan di fekuensi sendiri-sendiri secara full duplek. Teknik ini banyak digunakan oleh operator-operator GSM di Indonesia seperti Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat. Sedangkan TDD menggunakan teknik setengah duplex dimana sangat memprioritaskan sisi downlink sedangkan disisi uplink sangat lambat. Teknik cocok diterapkan untuklayanan internet browsing, video surveilence atau broadcasting
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13 Berikut tabel band frequency LTE yang di standarisasi oleh 3GPP. Tabel 2.1 Frequency band LTE FDD
2.4 Teori-Teori Dalam Perencanaan Jaringan Seluler Perencanaan jaringan seluler merupakn suatu proses yang komplit dan terdiri dari beberapa tahapan. Tujuan akhir dari perencanaan tersebut adalah untuk menentukan model jaringan yang akan dibangun menjadi jaringan seluler baik untuk tujuan perluasan jaringan yang sudah ada atau untuk membangun jaringan baru. Perancngan jaringan seluler terdiri dari beberapa tahapan antara lain :
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14 Inisialisasi, merupakan tahapan pengumpulan data pra perancangan seperti perhitungan Link Budget, coverage dan capacity. Nominal dan planning lebih detail, contoh dari tahapan ini adalah pemilihn planning tool,model propagasi yang digunakan, penentuan threshold berdasarkan link budget, pengecekan kapasitas jaringan yang lebih detail, pra validasi dan validasi site, dan penentuan parameter eNodeB. Menentukan KPI dan parameter perencanaan menggunakan sistem parameter dan perhitungan pada eNodeB, menentukan nilai KPIs yang telah disepakati oleh vendor yang digunakan, dan melakukan verifikasi nilai-nilai KPI menggunakan tools simulasi. 2.4.1 Coverage Planning 2.4.1.1 Perhitungan Uplink Untuk arah uplink persamaan receiver power atau Receiver Sensitivity (RS) dari perangkat user adalah : 𝑬𝑰𝑹𝑷𝒔𝒖𝒃𝒄𝒂𝒓𝒓𝒊𝒆𝒓 = 𝑷𝒔𝒖𝒃𝒄𝒂𝒓𝒓𝒊𝒆𝒓 + 𝑮𝑻 – 𝑳𝒕𝒄𝒂𝒃𝒍𝒆 [2-1] Keterangan : 𝑃subcarrier GT LTcable
: subcarrier power transmit (dBm) : gain antena transmitter (dBi) : loss cable transmitter (dB)
𝑹𝑺𝒆𝑵𝒐𝒅𝒆𝑩 = 𝑺𝑰𝑵𝑹 + 𝑻𝑵𝒆𝑵𝒐𝒅𝒆𝑩 + 𝑵𝑭𝒆𝑵𝒐𝒅𝒆𝑩 Keterangan : RSeNodeB : Receiver Sensitivity (dBm) 𝑁𝐹𝑒𝑁𝑜𝑑𝑒𝐵 : Noise Figure eNodeB (dB) : Thermal Noise per sub-carrier (dBm) 𝑇𝑁𝑒𝑁𝑜𝑑𝑒𝐵 𝑆𝐼𝑁𝑅 : Required Signal Interference Noise Ratio (dB)
[2-2]
Maka didapatkan persamaan Minimum signal Reception Strength (MSRS) uplink adalah sebagai berikut: 𝑴𝑺𝑹𝑺 = 𝑹𝑺𝒆𝑵𝒐𝒅𝒆𝑩 + 𝑳𝒄𝒂𝒃𝒍𝒆 + 𝑰𝑴 + 𝑮𝑹
[2- 3]
Keterangan : MSRS RSeNodeB Lcable IM GR
: Minimum Signal Reception Strenght (dBm) : Receiver Sensitivity eNodeB (dBm) : Loss cable receiver (dB) : Interference Margin (dB) : Gain antenna receiver (dB)
Sedangkan persamaan untuk Maximum Allowable Path Loss (MAPL) untuk arah uplink adalah sebagai berikut :
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15 𝑴𝑨𝑷𝑳𝒖𝒑𝒍𝒊𝒏𝒌 = 𝑬𝑰𝑹𝑷𝒔𝒖𝒃𝒄𝒂𝒓𝒓𝒊𝒆𝒓 – 𝑴𝑺𝑹𝑺 – 𝑷𝑳 – 𝑺𝑭
[2- 4]
Keterangan : MAPLuplink EIRP subcarrier MSRS PL SF
: Maximum Allowable Path Loss uplink (dB) : Equivalent Isotropic Radiated Power subcarrier (dBm) : Minimum signal reception strenght (dBm) : Penetration loss (dB) : Shadow fading margin (dB)
2.4.1.2 Perhitungan Downlink
adalah:
Persamaan untuk menghitung Equivalent Isotropic Radiated Power (EIRP) subcarrier 𝑬𝑰𝑹𝑷𝒔𝒖𝒃𝒄𝒂𝒓𝒓𝒊𝒆𝒓 = 𝑷𝒔𝒖𝒃𝒄𝒂𝒓𝒓𝒊𝒆𝒓 + 𝑮𝑻 – 𝑳𝒕𝒄𝒂𝒃𝒍𝒆
[2- 5]
Keterangan : 𝑃subcarrier
: subcarrier power transmit (dBm)
GT
: gain antena transmitter (dBi)
LTcable
: loss cable transmitter (dB)
Sedangkan untuk persamaan Receiver Sensitivity (SR) arah downlink adalah sebagai berikut 𝑹𝑺𝒖𝒆 = 𝑻𝑵 + 𝑵𝑭𝒖𝒆 + 𝑺𝑰𝑵𝑹
[2- 6]
Keteranga : RSue : Receiver Sensitivity (dBm) TN : Thermal Noise per subcarrier (dBm) NFue : Noise Figure UE (dB) SINR : Required Signal Interference Noise Ratio (dB) Sehingga akan didapatkan persamaan Minimum Signal Reception Strenght (MSRS) downlink adalah sebagai berikut : 𝑴𝑺𝑹𝑺 = 𝑹𝑺𝒖𝒆 + 𝑳𝑹𝒃𝒐𝒅𝒚 + 𝑰𝑴 [2- 7] Keterangan : MSRS RSue LRbody IM
: Minimum Signal Reception Strenght (dBm) : Receiver Sensitivity UE (dBm) : Loss body receiver (dB) : Interference Margin (dB)
Sedangkan persamaan Maximum Allowable Path Loss (MAPL) untuk arah downlink adalah : 𝑴𝑨𝑷𝑳𝒅𝒐𝒘𝒏𝒍𝒊𝒏𝒌 = 𝑬𝑰𝑹𝑷𝒔𝒖𝒃𝒄𝒂𝒓𝒓𝒊𝒆𝒓 – 𝑴𝑺𝑹𝑺 – 𝑷𝑳 – 𝑺𝑭
http://digilib.mercubuana.ac.id/
[2- 8]
16 Keterangan : MAPLdownlink EIRPsubcarrier MSRS PL SF
: Maximum Allowable Path Loss downlink (dB) : Equivalent Isotropic Radiated Power subcarrier (dBm) : Minimum signal reception strenght (dBm) : Penetration loss (dB) : Shadow fading margin (dB)
2.4.1.3 Persamaan Cost 231 Perancangan jaringan LTE di frekuensi 1800 MHz menggunakan metode cost 231 untuk melakukan perhitungan propagasinya. Persamaan ini merupakan pengembangan dari metode Hatta. Persamaan model propahasi cost 231 adalah sebagai berikut : 𝑃𝐿 = 46,3 + 33,9 (log 𝑓) + 13,82 log 𝐵 − 𝑎(ℎ𝑅) + (44,9 − 6,55𝑙𝑜𝑔ℎ𝑇)𝑙𝑜𝑔𝑑 + 𝐶𝑚 [2.9] Keterangan : CM = 0 db ;untuk ukuran medium kota dan daerah suburban CM = 3 db ; untuk daerah pusat kota a(hr) = (1,1 log (f) – 0,7) hr – (1,56 log (f) – 0,8) ; untuk small/medium area a(hr) = 3,2 (log 11,75 hr)² – 1,1 dB ; untuk large area : path loss (dB) f = frekuensi (MHz) PL hT : tinggi eNodeB (m) D = jari-jari sel (km) hR : tinggi UE (m) perencanan d : jari-jari sel (km)
2.4.1.4 Perhitungan Luas Sel Pengoptimalan Jaringan LTE dapat dilakukan dengan menghitung luas sel yang dilalui lintasan menggunakan metode 3-sectoral yang memiliki persamaan sebagai berikut : 𝑳𝑪𝒆𝒍𝒍 = 𝟏, 𝟗𝟓 𝒙 𝟐. 𝟔𝒙𝒅² Keterangan : 𝐿𝐶𝑒𝑙𝑙 𝑑
[2.10]
: Luas Sel (km²) : jari-jari sel (km)
2.4.1.5 Perhitungan Jumlah Site Untuk menentuka jumlah site dapat dihitung mengguakan persamaan berikut: 𝑳𝒂𝒓𝒆𝒂
Σ 𝑳𝑻𝑬𝑪𝒆𝒍𝒍 = 𝑳𝒄𝒆𝒍𝒍 Keterangan : Σ𝐿𝑇𝐸𝐶𝑒𝑙𝑙 : Jumlah Sel LTE
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17 : Luas Area : Luas Sel
𝐿𝐴𝑟𝑒𝑎 𝐿𝐶𝑒𝑙𝑙
2.4.2 Capacity Planning 2.4.2.1 Forecasting Untuk melakukan perhitungan jumlah pelanggan seluler di suatu daerah ditahun yang dingingkan menggunakan suatu metode yang disebut forecasting. Berikut persamaan metode forecasting. 𝑼𝒏 =Uo (𝟏 + 𝒇𝒑)N [2.11]
Keterangan : 𝑈𝑛 = Jumlah Penduduk/ penumpang pada tahun yang direncanakan 𝑈0 = Jumlah penduduk/ penumpang pada tahun awal perhitungan = Jumlah tahun forecasting N fp = Laju pertumbuhan
2.4.2.2 Perhitungan Network Throughput Perhitungan network throughput bertujuan untuk mengetahui total throughput yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan seluruh pelanggan. Dalam melakukan perhitungan network throughput melalui beberapa langkah yaitu : menghitung throughput per session, kemudian menghitung single user throughput, dan selanjutnya menghitung UL dan DL throughput. Dalam perhitungan network throughput digunakan parameter services model dan traffic model vendor Huawei Perhitungan Throughput per session berdasarkan pada parameter service model yang digunakan. Tabel (2.2) menunjukan parameter trafik services model yang digunakan. Tabel 2.2 Services Model Traffic Parameters
UL Bearer Rate (Kbps)
VoIP
26.90
PPP Session Time (s) 80
Video Phone
62.53
70
DL PPP Session Duty Ratio 0.4
BLER
Bearer Rate (Kbps)
1%
1
1%
UL
DL
PPP Session Duty Ratio 0.4
BLER
Throughput/ Session (Kbit)
Throughput/ Session (Kbit)
26.9
PPP Session Time (s) 80
1%
869.4949
869.4949
62.53
70
1
1%
4421.313
4421.313
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18 Video Conference Real Time Gaming Streaming Media IMS Signalling Web Browsing File Transfer Email P2P File Sharing
62.53
1800
1
1%
62.53
1800
1
1%
113690.9
113690.9
31.26
1800
0.2
1%
125.06
1800
0.4
1%
11367.27
90952.73
31.26
3600
0.05
1%
250.11
3600
0.95
1%
5683.636
864016.4
15.63
7
0.2
1%
15.63
7
0.2
1%
22.10303
22.10303
62.53
1800
0.05
1%
250.11
1800
0.05
1%
5684.545
22737.27
140.69
600
1
1%
750.34
600
1
1%
85266.67
454751.5
140.69
50
1
1%
750.34
15
1
1%
7105.556
11368.79
250.11
1200
1
1%
750.34
1200
1
1%
303163.6
909503
Throughput per session dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : 𝑻𝒉𝒓𝒐𝒖𝒈𝒉𝒑𝒖𝒕 𝑺𝒆𝒔𝒔𝒊𝒐𝒏
𝟏
= 𝑩𝒆𝒂𝒓𝒆𝒓 𝑹𝒂𝒕𝒆 𝒙 𝐏𝐏𝐏 𝑺𝒆𝒔𝒔𝒊𝒐𝒏 𝑻𝒊𝒎𝒆 𝒙 𝐏𝐏𝐏 𝑺𝒆𝒔𝒔𝒊𝒐𝒏 𝑫𝒖𝒕𝒚 𝑹𝒂𝒕𝒊𝒐 𝒙 [𝟏−𝑩𝑳𝑬𝑹] [2-12]
Dimana: Throughput per Session : Throughput minimal yang harus disediakan jaringan agar kualitas layanan terjaga (Kbit). : Data rate yang harus disediakan oleh service application layer
Bearer Rate
(IP) (Kbps). PPP Session Tim
: Rata-rata durasi setiap layanan (s).
PPP Session Duty Ratio : Rasio data yang dikirimkan setiap sesi. BLER
: Block error rate yang diizinkan dalam satu sesi. Setelah didapatkan throughput per session, selanjutnya menghitung jumlah single user
throughput berdasarkan parameter traffic model tiap daerah. Tabel (2.3) menunjukkan traffic model tiap tipe daerah. Tabel 2.3 Traffic Model tiap daerah User Behaviour
VoIP Video Phone
Dense Urban
Urban
Suburban
Rural
Traffic Penetration Ratio 100%
BHSA
Penetration Ratio
BHSA
Penetration Ratio
BHSA
Penetration Ratio
BHSA
1.4
100%
1.3
50%
1
50%
0.9
20%
0.2
20%
0.16
10%
0.1
5%
0.05
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19 Video Conference Real Time Gaming Streaming Media IMS Signalling Web Browsing File Transfer Email
20%
0.2
15%
0.15
10%
0.1
5%
0.05
30%
0.2
20%
0.2
10%
0.1
5%
0.1
15%
0.2
15%
0.15
5%
0.1
5%
0.1
40%
5
30%
4
25%
3
20%
3
100%
0.6
100%
0.4
40%
0.3
30%
0.2
20%
0.3
20%
0.2
20%
0.2
10%
0.2
10%
0.4
10%
0.3
10%
0.2
5%
0.1
P2P File Sharing
20%
0.2
20%
0.3
20%
0.2
5%
0.1
Selain parameter traffic model tiap daerah, dalam perhitungan single user throughput
digunakan parameter lain yaitu Peak to Average Ratio berdasarkan tipe daerah. Peak to Average Ratio merupakan asumsi persentase tertinggi kelebihan beban pada suatu jaringan atau nilai lebih yang ditambahkan pada perhitungan untuk mengantisipasi apabila terjadi lonjakan trafik pada daerah tersebut Tabel (2.4) menunjukkan parameter Peak to Average Ratio tiap daerah. Tabel 2.4 Tabel Peak to Average Ratio tiap daerah Morphology Peak to Average Ratio
Dense Urban 40%
Urban 20%
Suburban 10%
Rural 0%
Single user throughput dapat dihitung dengan persamaan : 𝑺𝒊𝒏𝒈𝒍𝒆 𝒖𝒔𝒆𝒓 𝒕𝒉𝒓𝒐𝒖𝒈𝒉𝒑𝒖𝒕 (𝑰𝑷) =
∑[(
𝑻𝒉𝒓𝒐𝒖𝒈𝒉𝒑𝒖𝒕 )𝒙 𝑩𝑯𝑺𝑨 𝒙 𝑷𝒆𝒏𝒆𝒕𝒓𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏 𝒓𝒂𝒕𝒆 𝒙 (𝟏+𝑷𝒆𝒂𝒌 𝑨𝒗𝒆𝒓𝒂𝒈𝒆 𝑹𝒂𝒕𝒊𝒐)] 𝑺𝒆𝒔𝒔𝒊𝒐𝒏
𝟑𝟔𝟎𝟎
(2.13) Dimana: BHSA
: Service attempt in busy hour.
Penetration rate
: Penetrasi suatu layanan digunakan berdasarkan daerah.
Peak to Average Ratio
: Persentase kelebihan beban berdasarkan daerah.
Setelah didapatkan single user throughput, maka total throughput pada sisi UL dan DL dapat dihitung dengan persamaan:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20 𝑼𝑳 𝑵𝒆𝒕𝒘𝒐𝒓𝒌 𝑻𝒉𝒓𝒐𝒖𝒈𝒉𝒑𝒖𝒕 (𝑰𝑷) = 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒖𝒔𝒆𝒓 𝒏𝒖𝒎𝒃𝒆𝒓 × 𝑼𝑳 𝑺𝒊𝒏𝒈𝒍𝒆 𝒖𝒔𝒆𝒓 𝒕𝒉𝒓𝒐𝒖𝒈𝒉𝒑𝒖𝒕
( 2.14 )
𝑫𝑳 𝑵𝒆𝒕𝒘𝒐𝒓𝒌 𝑻𝒉𝒓𝒐𝒖𝒈𝒉𝒑𝒖𝒕 (𝑰𝑷) = 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒖𝒔𝒆𝒓 𝒏𝒖𝒎𝒃𝒆𝒓 𝒙 𝑫𝑳 𝑺𝒊𝒏𝒈𝒍𝒆 𝒖𝒔𝒆𝒓 𝒕𝒉𝒓𝒐𝒖𝒈𝒉𝒑𝒖𝒕 (2.15)
Dimana: Total user number
: Total pelanggan berdasarkan forecasting.
UL Single User Throughput
: Total uplink throughput yang harus dipenuh oleh single user pada tipe daerah tertentu. : Total downlink throughput yang harus dipenuhi
DL Single User Throughput
oleh single user pada tipe daerah tertentu.
2.4.2.3 Perhitungan Throughput Per Cell Perhitungan throughput per cell bertujuan untuk mengetahui kapasitas UL dan DL pada suatu sel. Dalam menghitung throughput per cell melalui beberapa langkah yaitu: menghitung UL dan DL MAC layer throughput, kemudian menghitung cell average throughput, dan selanjutnya menghitung throughput per cell. Perhitungan UL dan DL MAC layer throughput dapat dilakukan dengan persamaan: UL MAC layer throughput + CRC = (168-24) x Code bits x Code rate x Nrb x C x 1000 (2.16) DL MAC layer throughput + CRC = (168-36-12) x Code bits x Code rate x Nrb x C x 1000 (2.17) Dimana: CRC
: 24
168
: Jumlah resource element (RE) dalam 1 ms
36
: Jumlah control channel RE dalam 1 ms
12
: Jumlah reference signal RE dalam 1 ms
24
: Jumlah reference signal RE dalam 1 ms pada uplink
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21 Code bits : Modulation efficiency Code rate : Channel coding rate Nrb
: Jumlah Resource Block yang digunakan
C
: Mode antena MIMO Setelah didapatkan DL dan UL MAC layer throughput, selanjutnya adalah menghitung
cell average throughput berdasarkan average SINR distribution. Cell average throughput dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : (2.18)
𝑪𝒆𝒍𝒍 𝒂𝒗𝒆𝒓𝒂𝒈𝒆 𝒕𝒉𝒓𝒐𝒖𝒈𝒉𝒑𝒖𝒕(𝐌𝐀𝐂) = ∑𝑛=8 𝑛=1 𝑃𝑛 𝑥 𝑅𝑛
Dimana: n
: Jumlah DL Cell Throughput
Pn
: SINR Probability
Rn
: DL Cell Throughput Tabel 2.5 Radio Overhead Protocol Layer
Average Packet Size (Byte) 300 302 304 306
IP PDCP RLC MAC PHY
Relative Efficiency
Symbol
99,34% 99,34% 99,35%
A B C -
Sehingga throughput per cell dapat dihitung menggunakan persamaan: Throughput per cell(IP) = Cell average throughput (MAC) x A x B x C
(2.19)
Dengan mendapatkan nilai network throughput serta throughput per cell maka jumlah sel yang dibutuhkan dapat dihitung dengan persamaan:
Jumlah sel uplink: 𝑵𝒖𝒎𝒃𝒆𝒓 𝒐𝒇 𝒄𝒆𝒍𝒍 =
𝑼𝑳 𝑵𝒆𝒕𝒘𝒐𝒓𝒌 𝒕𝒉𝒓𝒐𝒖𝒈𝒉𝒑𝒖𝒕 𝑻𝒉𝒓𝒐𝒖𝒈𝒉𝒑𝒖𝒕 𝒑𝒆𝒓 𝒄𝒆𝒍𝒍
Jumlah sel downlink
http://digilib.mercubuana.ac.id/
(2.20)
22 𝑵𝒖𝒎𝒃𝒆𝒓 𝒐𝒇 𝒄𝒆𝒍𝒍 =
𝑫𝑳 𝑵𝒆𝒕𝒘𝒐𝒓𝒌 𝒕𝒉𝒓𝒐𝒖𝒈𝒉𝒑𝒖𝒕 𝑻𝒉𝒓𝒐𝒖𝒈𝒉𝒑𝒖𝒕 𝒑𝒆𝒓 𝒄𝒆𝒍𝒍
(2.21)
Setelah didapat jumlah sel pada sisi uplink dan downlink, jumlah site yang dibutuhkan dapat dihitung menggunakan persamaan: 𝑵𝒖𝒎𝒃𝒆𝒓 𝒐𝒇 𝒔𝒊𝒕𝒆 =
𝑵𝒖𝒎𝒃𝒆𝒓 𝒐𝒇 𝒄𝒆𝒍𝒍 𝟑
http://digilib.mercubuana.ac.id/
(2.22)