BAB II LANDASAN TEORI
A. Persepsi 1. Pengertian Persepsi Pengertian persepsi menurut Turpen dan Witner dalam penelitian (Randan, 2009), “Proses dimana individu menata dan mentafsirkan stimula menjadi suatu gambaran yang bermakna dan koheran tentang dunia”. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KUBI) dalam penelitian muindro (2006) yang dimaksud persepsi adalah proses nyata setiap orang dalam memahami setiap informasi tentang lingkungannya melalui panca indranya. Menurut ensiklopedia bebas Wikipedia, persepsi adalah proses pemahaman atau pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Stimulus didapat dari proses pengindraan terhadap objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan antara gejala yang selanjutnya diperoses oleh otak. Menurut Bimo Walgito (2009), Persepsi merupakan proses yang terjadi di dalam diri individu yang dimulai dengan diterimanya rangsang, sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh individu sehiongga individu dapat mengenali dirinya sendiri dan keadaan di sekitarnya. Sedangkan Lindzey & aronson (2009) berpendapat bahwa : Persepsi juga mencakup konteks kehidupan sosial, sehingga dikenallah persepsi sosial. Persepsi sosial merupakan suatu proses yang terjadi dalam diri seseorang yang bertujuan untuk mengetahui, menginterpretasi, dan kualitasnya, ataupun keadaan lain
yang ada dalam diri orang yang dipersepsi sehingga terbentuk gambaran mengenai orang lain sebagai objek persepsi tersebut. Dari uraian beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan siatu proses yang dimulai dari pengelihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. Persepsi timbul karena adanya dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antaranya tergantung pada proses pemahaman sesuatu termasuk didalamnya sistem nilai, tujuan, kepercayaan dan tanggapannya terhadap hasil yang dicapai. Faktor eksternal berupa pengaruh-pengaruh dari lingkungan luar antara lain: intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan, gerakan, dan hal-hal baru berikut ketidak asingan. Kedua faktor ini menimbulkan persepsi karena didahului oleh suatu proses yang dikenal dengan komunikasi. Demikian pula proses komunikasi ini terselenggara dengan baik atau tidak tergantung persepsi masing-masing orang terlibaat dalam proses komunikasi tersebut.
a. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi antara lain: 1) Intensitas 2) Ukuran 3) Keberlawanan atau kontras 4) Pengulangan 5) Gerakan b. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi proses seleksi persepsi antara lain: 1) Belajar atau pemahaman 2) Motivasi dan kepribadian
c. Menurut Stephen P. Robbins faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain. 1) Pelaku persepsi 2) Target 3) Situasi 2. Jenis-jenis persepsi Berdasarkan Ensiklopedia bebas Wikipedia (2010), proses pemahaman terhadap rangsang atau stimulus yang diperoleh oleh indera menyebabkan persepsi terbagi menjadi beberapa jenis. a.
Persepsi visual Persepsi visual didapatkan dari indera pengelihatan. Persepsi ini adalah persepsi yang paling awal berkembang pada bayi, dan mempengaruhi bayi dan balita untuk memahami dunianya D.V(2000). Persepsi visual merupakan topik utama dari bahasa persepsi secara umum, sekaligus persepsi yang biasanya paling sering dibicarakan dalam konteks sehari-hari.
b. Persepsi auditori Persepsi auditori didapatkan dari indera pendengaran yaitu telinga. c. Persepsi perabaan Persepsi pengerabaan didapatkan dari indera taktil yaitu kulit. d. Persepsi penciuman Persepsi penciuman atau olfaktori dari indera penciuman yaitu hidung. e. Persepsi pengecapan Persepsi pengecapan atau rasa didapatkan dari indera pengecap yaitu lidah.
B. Bank 1. Pengertian Bank Kata bank berasal dari kata banque dalam bahasa Prancis, dan dari kata blanco dalam bahasa Itali, yang berarti peti/lemari atau bangku. Kata peti atau lemari menyiratkan berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga seperti peti emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya (Sudarsono, 2009) Dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1989 pasal 1 pengertian bank disempurnakan menjadi: Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan tarap hidup rakyat banyak. Adapun pengertian Bank syariah secara umum adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsipprinsip syariah (Sudarsono, 2009). Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip-prinsip syariah sesuai dengan Undang-undang nomor 10 pasal 1 butir 13 adalah. Aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah),
pembiayaan
berdasarkan
prinsip
penyertaan
modal
(musyarakah), prinsip jual beli dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pemilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lainnya/ijarah wa iqtina.
Perbankan Syariah adalah bank yang berdasarkan kemitraan, keadilan, transparansi, dan universal serta melakukan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah (Wiyono, 2012). C. Sejarah Bank Syariah 1. Sejarah Dunia Awal Kelahiran Sistem Perbankan Syariah Sejak awal kelahirannya, perbankan syariah dilandasi dengan kelahiran dua gerakan renaissance islam modern: neorevivalis dan mederenis. Tujuan dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan AlQur’an dan As-Sunnah. Upaya sistem penerapan profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara nonkonvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di kairo, Mesir. Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana itu, Bank Islam tumbuh dengan sangat pesat. Sesuai dengan analisis Khursid Ahmad dan laporan Internasional Association of Islamic Bank, hingga akhir 1999 tercatat lebih dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang beroprasi di seluruh dunia, baik di negaranegar berpenduduk muslim maupun di Eropa, Australia, maupun di Amerika.
2. Sejarah Di Indonesia Berkembangnya bank-bank syariah Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mualai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian itu adalah Karnaen A. Perwatatmadja, M. Dawan Rahardjo, A.M. Saefuddin, M. Amien Azis, dan lain-
lain. Bebarapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Baitut Tamwil – Salman, Bandung yang sempat tumbuh mengesanka. Di Jakarta juga di bentuk lembaga serupa dalam bentuk Koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti. Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 1820 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga dan Perbankan di Cisaru, Bogor – Jawa Barat. Hasil Lokakarya tesebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank islam di Indonesia. Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan pendakatan dan klonsultasi dengan semua pihak terkait. Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh kerisis moneter pada akhir tahun 1990-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. Islamaic Development Bank (IBD) kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Hingga tahun 2007 terdapat 3 Institui bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank
umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah.
D. Landasan Hukum Bank Syariah Landasan hukum lahirnya perbankan syariah adalah sebagai berikut:
1. Al Quran, dan Al Hadist 2. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005. 4. Peraturan Bank Indonesia, Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Produktif Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. 5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. 6. Fatwa
Dewan
Syariah
Nasional
Majelis
Ulama
Indonesia
Nomor
07/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh). 7. Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 tahun 2004 tentang bunga (interes/fa idah). 8. Surat Edaran BI No. 25/4/BPP tanggal 29 Februari 1993 tentang penjabaran prinsip bagi hasil.
E. Prinsip Fundamental Sistem Perbankan Syariah/Islam Kerangka dasar sistem perbankan Islam adalah satu set aturan dan hukum, yang secara bersama disebut syariah. Syariah merupakan aturan yang diturunkan dari AlQur’an dan Sunah Nabi Muhammad Saw (Setiawan, 2009). Pengertian lebih lanjut mengenai aturan hukum tersebut disajikan oleh ahli jurisprudensi Islam atau ulama fikih dalam kerangka menjabarkan aturan Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun beberapa prinsip dasar sistem prinsip perbankan Islamdapat diringkas sebagai berikut: 1. Larangan riba dan bunga. Larangan ini dimulai dari adanya pelarangan yang tegas terhadap riba. Tidak diragukan lagi bahwa apa yang diharamkan oleh Al-Qur’an maupun al-hadits adalah riba. Al-Qur’an mengharamkan dalam empat ayat yang berbeda. Pertama adalah Qs. 30:39 di Mekkah, dan yang tiga lainnya (Qs. 4:161, Qs. 3:130-132 dan Qs. 2:275-281) adalah di Madinah. Ayat ini menetapkan perbedaan yang jelas antara pedagangan riba, serta memerintahkan kaum muslimin untuk meninggalkan semus riba yang masih ada, memerintahkan mereka untuk hanya mengambil jumlah pokok pinjaman saja, dan membebaskan jika peminjam mngalami kesulitan (Setiawan,2009). Rasulullah SAW juga melarang riba dengan kata-kata yang jelas, dan tidak hanya mengutuk mereka yang mengambilnya, tetapi juga mereka yang memberikannya, mereka yang mencatat transaksi, dan mereka yang bertindak sebagai saksi terhadapnya (HR Muslim). Beliau bahkan menyamakan mengambil riba secara sengaja sama saja dengan melakukan perzinahan 60 kali atau berdosa
seperti melakukan incest dengan ibu kandungnya sendiri (HR. Ahmad dan Darqutni). Riba secara harfiah berarti peningkatan, pertambahan, perluasan atau pertumbuhan. Tetapi, tidak semua peningkatan atau pertumbuhan terlarang dalam Islam. Keuntungan juga menyebabkan peningkatan atas jumlah pokok, tetapi hal ini tidaklah dilarang. Rasulullah SAW melarang mengambil hadiah, jasa atau pertolongan sekecil apapun sebagai syarat atas suatu pinjaman. Hal ini menunjukkan kesamaan riba dengan apa yang lazim dipahami sebagai bunga. Jadi, istilah riba yang dipahami sejak masa awal berarti ‘premium’ yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersama jumlah pokok pinjaman sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman atau perpanjangan waktu jatuh temponya (Setiawan, 2009). Ini juga merupakan keputusan bulat dari sejumlah konperensi internasional para fuqaha yang diselenggarakan di zaman modern untuk membahas permasalahan riba, termasuk muktamar al fiqh al-islami yang diselenggarakan di paris pada tahun 1951 dan di Kairo pada tahun 1965, dan pertemuan Komite Fiqih OKI dan Rabithah ‘Alam Islam yang diselenggarakan pada tahun 1985 dan 1986 masing-masing di Kairo dan Mekah. Dengan konsensus mutlak tersebut tidak ada ruang untuk berargumentasi bahwa bunga bank tidak diharamkan dalam islam. Karena itu beberapa pendapat minoritas yang menyatakan pendangan berbeda tidak melemahkan sedikitpun konsensus tersebut.
2. Larangan tersebut didasarkan pada argumentasi keadilan sosial, persamaan, dan hak milik. Islam membolehkan pendapatan dari laba tetapi melarang pembebanan bunga. Laha menandakan kesuksesan wirausaha dan menciptakan penambahan kekayaan. Sedangkan bunga, adalah suatu biaya yang dibebankan pada peminjamnya tanpa mempedulikan bagaimana dengan hasil aktivitas bisnis apakah untung atau rugi. Keadilan sosial dalam pandangan Islam menuntut pemilik dana dan pengguna dana untuk berbagi atas keuntungan, demikian juga bila terjadi kerugian. Tersedianya jaminan dan kelayakan arus kas memang menjadi persyaratan untuk menjamin adanya pelunasan ats hutang, namun memberikan penekanan yang terbesar atasnya akan menyebabkan kita untuk tidak peduli lagi pada tujuan dan pemanfaatan pinjaman tersebut. Karenanya, sumber daya keuangan akan mengalir terutama kepada kaum kaya saja yang memiliki jaminan maupun kelayakan arus kas, juga kepada pemerintah, yang dalam hal ini diasumsikan tidak akan pernah bangkrut (Setiawan, 2009). Pada akhirnya, kaum kaya melakukan pinjaman tidak saja untuk transaksi investasi yang produktif tetapi juga untuk kebutuhan konsumsi yang melewati batas dan transaksi spekulatif, demikian juga pemerintah melakukan pinjaman tidak saja untuk kebutuhan pembangunan dan kepentingan publik namun juga untuk kebutuhan militer yang otoriter dan proyek-proyek mercusuar. 1. Berbagi Resiko. Ketika bunga dilarang, islam mendorong para pemilik dana menjadi investor. Sehingga konsep investor ini merupakan pengganti konsep kreditur dalam kerangka perbankan konvensional.
Penyedia modal dan usahawan berbagi atas resiko bisnis, demikian pula mereka akan berbagi keuntungan ketika mendapatkan laba. Bentuk-bentuk pembiayaan islam yang paling menguntungkan adalah cara bagi hasil mudharabah dan musyarakah. Pada kedua bentuk ini, pemilik modal menyediakan dana, bukan sebagai pemberi pinjaman, tetapi lebih sebagai investor. Ia berbagi untung dan rugi dan tidak memperoleh jaminan dimuka atas keuntungan yang positif, apapun hasil akhir usaha ini. Kerugian harus ikut ditanggung olehnya sesuai dengan proporsinya dalam total pembiayaan, sedangkan keuntungan dapat dibagi berdasarkan rasio apapun yang disepakati. Tetapi, kewajibannya tetap terbatas pada pendanaan yang ia sediakan dan tidak lebih. 2. Uang sebagai modal potensial Dalam pandangan islam uang merupakan modal “potensial”. Ia akan menjadi modal nyata ketika uang tersebut bekerjasama dan bergabung dengan sumber daya lain untuk melakukan suatu aktivitas produktif. Islam mengakui nilai kontribusi uang, ketika ia bertindak sebagai modal yang digunakan untuk aktivitas usaha. 3. Larangan prilaku spekulatif Sisitem keuangan islam tidak menghendaki penimbunan (hoarding) dan melarang transaksi yang mengandung ketidak pastian, perjudian, dan beresiko ekstrim. 4. Kesucian akad (Kontrak) Islam menegakkan kewajiban sesuai dengan akad (kontrak) dan keterbukaan informasi sebagai tugas suci, lafal akad berasal dari lafal Arab al –‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian atau permufakatan al-ittifaq. Secara terminilogi fiqih, akad didefinisikan sebagai pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul
(pernyataan menerima ikatan (qabul) sesuai dengan syariah islamiah yang mempengaruhi objek yang diperikatkan oleh oleh pelaku perikatan (Wiyono 2012).
5. Aktivitas yang disetujui syariah Hanya aktivitas bisnis yang tidak melanggar ketentuan-ketentuan syariah yang memenuhi persyaratan untuk investasi. Sebagai contoh, investasi bisnis yang berkaitan dengan minuman keras, perjudian, dan barang haram yang dilarang oleh Islam. Secara sederhana dapat disimpulkan bank syariah ialah bank yang berasaskan antara lain, pada asas kemitraan, keadilan, transparansi dan universal serta melakukan kegiatan perbankan
F. Karakteristik Perbankan Syariah Kegiatan bank syariah merupakan implementasi dari prinsip ekonomi Islam, dengan karakteristik sebagai berikut (Setiawan, 2009): 1. Pelarangan riba dalam berbagai bentuknya 2. Tidak mengenal konsep nilai waktu uang (time value of money) 3. Konsep uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas 4. Tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang bersifat spekulatif 5. Tidak diperkenankan menggunakan dua harga pada satu barang 6. Tidak diperkenankan dua transaksi pada satu akad Suatu transaksi perbankan dikatakan sesuai dengan prinsip syariah apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Wiyono, 2012): 1. Transaksi tidak mengandung unsur kedzaliman 2. Bukan riba
3. Tidak membayarkan pihak sendiri atau pihak lain 4. Tidak ada penipuan (qharar) 5. Tidak mengandung materi-materi yang diharamkan 6. Tidak mengandung unsur judi (maissyir)
G. Fungsi Bank Syariah Dalam praktiknya bank syariah memiliki beberapa fungsi, yaitu: 1. Manajer Investasi Salah satu fungsi bank syariah yang sangat penting adalah sebagai manajer investasi, maksudnya adalah bahwa bank syariah tersebut merupakan manajer investasi dari pemilik dana yang dihimpun, karena besar kecilnya pendapatan (bagi hasil) yang diterima oleh pemilik dana yang dihimpun sangat bergantung pada keahlian, kehati-hatian dan profesionalisme dari bank syariah (Harahap, 2009). 2. Investor Bank-bank Islam menginvestasikan dana yang disimpan dengan jenis dan pola investasi yang sesuai dengan syariah. Investasi yang sesuai dengan syariah tersebut
adalah
akad
murabahah,
sewa-menyewa,
musyarakah,
akad
mudharabah, akad salam atau istisna, pembentukan perusahaan atau akuisisi pengendalian atau kepentingan lain dalam rangka mendirikan perusahaan, memperdagangkan produk, dan investasi atau memperdagangkan saham yang dapat diperjual belikan. Keuntungan yang diperoleh diberikan kepada pihak yang memberikan dana setelah bank menerima keuntungan mudharibnya yang sudah disepakati sebelum pelaksanaan akad antara pemilik rekening investasi dan bank sebelum pelaksanaan akad.
3. Jasa Keuangan Dalam menjalankan fungsi ini, bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank non syariah (Harahap, 2009). Jasa keuangan tersebut diabtaranya adalah memberikan layanan kliring, transfer, inkaso, dan pembayaran gaji, hanya saja yang sangat diperhatikan adalah prinsip-prinsip yang tidak boleh dilanggar. Bank-bank islam juga menawarkan berbagai jasa-jasa keuangan lainnya untuk memperoleh imbalan atas dasar agency contract atau sewa. Misalnya seperti latter of guarantee, wire transfer, letter of credit, dan lain-lain. 4. Fungsi Sosial Konsep perbankan Islam memberikan pelayanan sosial apakah melalui dana qard (pinjaman kebajikan) atau zakat dan dana sumbangan sesuai dengan prinsipprinsip Islam. Disamping itu, konsep perbankan Islam juga mengharuskan bankbank Islam untuk memainkan peran penting di dalam pengembangan sumber daya manusianya dan memberikan konstribusi bagi kesejahteraan sosial. Fungsi inilah
yang membedakan fungsi bank syariah dengan bank
konvensional. Dalam bank syariah fungsi sosial merupakan salah satu fungsi yang tidak bisa dipisahkan dengan fungsi-fungsi yang lain (Harahap, 2009).
H. Produk Perbankan Syariah Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Produk Penyaluran Dana a. Prinsip Jual Beli Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya kepemindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property) (Zuhdi, 2010). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang, yaitu: 1). Pembiayaan Murabahah Murabahah bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) adalah transaksi jual beli dimana bank menyebutkan jumlah keuntungannya (Zuhdi, 2010). Murabahah juga dapat didefinisikan sebagai suatu akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli (Muhammad, 2009). Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan maupun tanpa pesanan. Murabahah berdeasarkan pesanan dapat bersifat mengikat dan tidak mengikat nasabah untuk mem,beli barang yang dipesannya. Dalam murabahah pesanan mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Apabila aktiva murabahah yang telah dibeli bank (sebagai penjual) dalam murabahah mengikat mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli, maka penurunan nilai tersebut menjadi beban penjual (bank) dan penjual akan mengurangi nilai akad. Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai maupun cicilan, dan didalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda (Muhammad, 2009). Mekanisme murabahah ini adalah bank syariah melakukan akad dengan nasabah, kemudian bank syariah membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah kepada supplier secara tunai, setelah itu bank syariah menjual kembali kepada nasabah dengan pembayaran angsuran (Wiyono, 2012).
Bank dapat memberikan potongan apabila nasabah dapat mempercepat pembayaran cicilan atau dapat melunasi piutang murabahah sebelum jatuh tempo. Dalam bai’al murabahah syariah memperolehkan bank untuk mengambil keuntungan/laba atas transaksi tersebut. Dalam menentukan keuntungan ada beberapa cara, yakni sebagai berikut (Wiyono, 2012): a). Bank menentukan keuntungan dari jumlah dana yang dipinjamnkan oleh nasabah untuk membeli barang ke bank tersebut sebesar yang disepakati oleh kedua belah pihak. b). Atas dasar dana yang dipinjamkan nasabah, bank syariah menerapkan keuntungan transaksi, missal 20%, kemudian kalau dibayar satu atau dua tahun maka untuk menstabilkan daya beli uang tersebut bank syariah dapat menambahkan sejumlah 2 kali inflasi dua tahun yang akan datang. Misalnya, diperkirakan inflasi 5% per tahun maka factor stabilizer daya beli untuk dua tahun = 2 x 5%=10%. Jadi selama dua tahun nasabah mengangsur pokok pinjaman ditambah keuntungan inflansi, yaitu 10%+20%=30%. Dari sudut pandang bank syariah sebagai penjual, pengakuan dan pengukuran murabahah telah telah diatur dalam PSAK nomor 59, sebagai berikut: a). Pada saat perolehan, aktiva yang diperoleh dengan tujuan untuk dijual kembali dalam murabahah diakui sebagai aktiva murabahah sebesar harga perolehan.
b). Pengukuran aktiva murabahah setelah perolehan adalah sebagai berikut: (1). Untuk murabahah pesanan meningkat (a). Dinilai sebesar biaya perolehan (b). Jika terjadi penurunan nilai aktiva karena using, rusak, atau kondisi lainnya penurunan nilai tersebut diakuai sebagai beban dan mengurangi nilai aktiva. (2). Apabila dalam murabahah tanpa pesanan atau murabahah pesanan tidak mengikat terdapat indikasi kuat pembeli batal melakukan transaksi maka aktiva murabahah: (a). Dinilai dari biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasikan, mana yang lebih rendah (b). Jika nilai berseih yang direalisasikan lebih rendah dari biaya perolehan maka selisihnya diakui sebagai kerugian. c). Potongan pembelian dari pemasok diakui sebagai pengurangan biaya perolehan aktiva murabahah. d). Pada saat akad piutang murabahah diakui sebesar biaya perolehan aktiva murabahah ditambah keuntungan yang disepakati. Pada akhir periode, laporan keuangan piutang murabahah ditambah keuntungan yang diseoakati. Pada akhir periode, laporan piutang murabahah dinilai senilai bersih yang dapat direalisasikan, yaotu saldo piutang dikurangi penyisihan kerugian piutang. Pada neraca, piutang murabahah disajikan sebagai berikut: Piutang murabahah
XXX
Penyisihan kerugian piutang murabahah
XXX (-)
Nilai bersih yang dapat direalisasikanXXX
e). Keuntungan murabahah diakui adalah: (1). Pada periode terjadinya, apabila akad berakhir pada periode yang sama (2). Selama periode akad secara proporsional, apabila akd melampaui periode laporan keuangan. f). Potongan pelunasan dini diakui dengan menggunakan salah satu metode, yaitu sebagai berikut: (1). Jika potongan pelunasan diberikan pada saat penyelesaian bank akan mengurangi piutang murbahah dan keuntungan murabahah (2). Jika potongan pelunasan diberikan setelah penyelesaian, bank terlebih dahulu menerima pelunasan piutang murabahah kemudian bank membayar potongan pelunasan kepada nasabah dengan mengurangi keuntungan murabahah. (3). Denda dikenakan apabila nasabah lalai dalam melakukan kewajibannya sesuai dengan akad. Pada saat diakui denda diakui sebagai dana sosial dan pada saat menerima denda bank syariah akan mengakui adanya penambahan sumber.
(4). Urbun (uang muka) Pengakuan dan pengukuran urbun adalah sebagai berikut: (a). Urbun diakui sebagai uang muka pembelian sebesar jumlah yang diterima bank pada saat diterima. (b). Pada saat barang jadi dibeli oleh nasabah maka urbun diakui sebagai pembayaran piutang.
(c). Jika barang batal dibeli nasabah maka urbun dikembalikan kepada nasabah setelah diperhitungkan dengan biaya-biaya yang telah diperhitungkan oleh bank. Urbun Murabah diakui sebagai bagian dari kewajiban/utang di neraca, apabila sudah terjadi akad murabahah maka utang tersebut akan menjadi nol dan piutang murabahah akan dikurangi sebesar urbun tersebut. 2). Salam Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara tanggung sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, tapi dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penterahan barang harus ditentukan secara pasti (Zuhdi, 2010).
Sedangkan menurut selamet wiyono (2005 : 98) pengertian salam adalah: Akad jual beli barang pesanan (muslam fiih), dengan penangguhan pengiriman oleh penjual (muslam ilaihi), dan pelunasannya segera dilakukan oleh pembeli sebelum barang tersebut diterima sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Dalam praktik perbankan, bank syariah dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi salam. Dalam hal jual beli dalam bentuk salam, ada beberapa ketentuan umum yang harus dipatuhi, yaitu: a). Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas, seperti jenis, macam, ukuran, serta jumlahnya. b). Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka produsen (pabrik/toko) harus bertanggung jawab dengan cara
mengembalikan uang yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan. c). Dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk dan rekanan. Pengakuan dan pengukuran salam ketika bank sebagai pembeli sesuai dengan PSAK nomor 59 (2002) adalah sebagai berikut: a). Piutang salam diakui pada saat modal usaha salam dibayarkan atau dialihkan kepada penjual. b). Modal usaha salam dapat berupa kas dan non kas. Modal usaha salam dalm bentuk kas diukur sebesar jumlah yang dibayarkan, sedangkan modal usaha salam dalam bentuk aktiva non kas diukur sebesar nilai wajar (nilai yang disepakati antar bank dan nasabah) c). Penerimaan barang pesanan diakhiri dan diukur sebagai berikut: (1). Jika barang pesanan sesuai dengan akad, dinilai sesuai dengan yang disepakati. (2). Jika barang pesanan berbeda kualitasnya, maka: (a). Barang pesanan yang diterima diukur sesuai dengan nilai akad, jika nilai pasar dari barang yang diterima nilainya sama atau lebih tinggi dari nilai barang pesanan yang tercantum dalam akad. (b). Barang pesanan yang diterima diukur sesuai nilai pasar pada saat diterima dan selisihnya diakui sebagai kerugian, jika nilai pasar lebih rendah dari barang pesanan yang tercantum dalam akad. (3). Jika bank tidak menerima sebagian atau seluruh barang pesanan pada tanggal jatuh tempo pengiriman, maka:
(a). Jika tanggal pengiriman diperpanjang, nilai tercatat piutang salam sebesar bagian yang belum dipenuhi tetap sesuai dengan nilai yang tercaantum dalam akad. (b). Jika akad salam dibatalkan sebagian atau seluruhnya maka piutang salam berubah menjadi piutang yang harus dilunasi oleh nasabah sebesar bagian yang tidak dapat dipenuhi. (c). Jika akad salam dibatalkan sebagian atau seluruhnya dan mempunyai jaminan atas barang pesanan serta hasil penjualan jaminan tersebut lebih kecil dari nilai piutang salam, maka selisih antar nilai tercatat piutang salam, dan hasil penjualan jaminan tersebut diakui sebagai piutang kepada nasabah yang telah jatuh tempo, sebaliknya jika hasil penjualan jaminan tersebut lebih besar dari nilai tercatat piutang salam maka selisihnya menjadi hak nasabah. (d). Bank dapat mengenakan denda kepada nasabah yang mampu menunaikan kewajibannya, tetapi tidak memenuhinya dengan sengaja. (4). Barang pesanan yang telah diterima diakui sebagai persediaan. Pada akhir periode pelaporan keuangan persediaan yang diperoleh melalui transaksi salam diukur sebesar niali terendah biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi. Apabial nilai bersih yang dapat direalisasikan lebih rendah dari biaya perolehan maka selisihnya diakui sebagai kerugian. Sedangkan jika bank
bertindak sebagai penjual, pengakuan dan
pengukurannya adalah sebagai berikut: a). Utang salam diakui pada saat bank menerima modal usaha salam sebesar modal usaha salam yang diterima.
b). Modal usaha salam dapat berupa kas dan non kas. Modal usaha salam dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang diterima, sedangkan modal usaha salam dalam bentuk aktiva non kas diukur sebesar nilai wajar (nilai yang disepakati antara bank dan nasabah). c). Apabila bank melakukan transaksi salam paralel, selisih antara jumlah yang dibayar oleh nasabah dan biaya perolehan barang pesanan diakui sebagai keuntungan atau kerugian pada saat pengiriman pesanan oleh bank ke nasabah. 3). Istishna Istishna adalah akad jual beli antara pembeli (al-mustashni) dan as shani (produsen yang juga sebagai pembeli). Berdasarkan akad ini, pembeli menugasi produsen untuk menyediakan barang pesanan (al-mashnu) sesuai spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan penjualnya dengan harga yang disepakati (Wiyono, 2012). Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Biasanya jenis ini digunakan di bidang manufaktur (Sudarsono, 2009).
Ketentuan umum dalam pelaksanaan akad istishna adalah: a). Spesifikasi barang pesanan harus jelas, seperti jenis, macam, ukuran, dan jumlah. b). Harga jual telah disepakati tercantum dalam akad istishna dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad.
c). Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditanda tangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah. Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi istishna. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain (sub kontraktor) untuk menyediakan barang dengan cara istishna, maka hal ini disebut istihna pararel. Istishna pararel dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: a). Akad kedua antara bank dan sub kontrak terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir. b). Akad kedua dilakukan setelah akad kedua sah. Pembeli
mempunyai
hak
untuk
memperoleh
jaminan
dari
produsen/penjual atas jumlah yang telah dibayarkan dan atas penyerahan barang pesanan sesuai spesifikasi dan tepat waktu. Produsen/penjual juga mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan bahwa harga yang telah disepakati akan dibayar tepat waktu. Perpindahan kepemilikan barang dari produsen /penjual ke pembeli dilakukan pada saat penyerahan sebesar jumlah yang disepakati. Pengakuan dan pengukuran istishna sesuai dengan PSAK nomor 59 (2002) ketika bank bertindak sebagai produsen/penjual adalah sebagai berikut: a). Biaya istishna terdiri dari biaya langsung dan biaya tidak langsung b). Beban umum dan administrasi, beban penjualan, serta biaya riset dan pengembangan tidak termasuk kedalam biaya istishna.
c). Biaya pra akad diakui sebagai biaya ditangguhkan dan diperhitungkan sebagai biaya istishna, jika akad ditanda tangani, tetapi jika akad tidak ditanda tangani maka biaya tersebut dibebankan pada periode berjalan. d). Biaya istishna yang terjadi selama periode laporan keuangan diakui sebagai aktiva istishna dalam penyelesaian pada saat terjadinya. Sedangkan pengakuan dan pengukuran istishna sesuai dengan PSAK no 59 (2002) ketika bank bertindak sebagai pembeli adalah: a). Bank mengakui aktiva istishna dalam penyelesaian sebesar jumlah termin yang ditagih penjual dan sekaligus mengakhiri utang istishna kepada penjual. b). Apabila barang pesanan terlambat diserahkan karena kesalahan atau kelalaian penjual dan mengakibatkan kerugian bank, maka kerugian tersebut dikurangkan dari garansi penyelesaian proyek yang telah diserahkan penjual. Apabila kerugian tersebut melebihi garansi penyelesaian proyek maka selisihnya akan diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada sub kontraktor. c). Jika bank menolak barang pesanan karena tidak sesuai dengan spesifikasi dan tidak dapat memperoleh kembali seluruh jumlah uang yang telah dibayarkan kepada subkontraktor, maka jumlah yang belum diperoleh kembali diakui sebagai piutnag jatuh tempo kepada subkontraktor. d). Jika bank menerima barang tidak sesuai dengan spesifikasi maka barang pesanan tersebut diukur dengan nilai yang lebih rendah antara nilai wajar dan biaya perolehan, selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian pada periode berjalan.
e). Dalam istishna pararel, jika pembeli akhir menolak menerima barang pesanan karena tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati, maka barang pesanan diukur dengan nilai yang lebih rendah antara nilai wajar dan harga pokok istishna. Selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian pada periode berjalan.
b. Prinsip Sewa (Ijarah) Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership) atas barang itu sendiri (Sudarsono, 2009). Dalam konteks perbankan syariah ijarah adalah lease contract dimana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan peralatan kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya (Sudarsono, 2009). Transaksi ijarah pada dasarnya sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada obyek transaksinya. Bila pada jual beli obyek transaksinya adalah barang sedangkan pada ijarah obyek transaksinya adalah jasa. Sedangkan Ijarah muntahiyah bittamlik bisa diartikan sebagai suatu akad sewa menyewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan dan harga jual disepakati pada awal perjanjian (Zuhdi, 2010). Perpindahan hak milik obyek sewa kepada penyewa adalah ijarah muntahiyah bittamlik dapat dilakukan dengan cara: 1). Hadiah
2). Penjual sebelum akad berakhir sebesar harga yang sebanding dengan sisa cicilan sewa. 3). Penjualan pada akhir masa sewa dengan pembayaran tertentu yang telah disepakati pada awal akad. 4). Penjualan secara bertahap sebesar harga tertentu yang disepakati dalam akad. Pengakuan dan pengukuran ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik sesuai PSAK nomor 59 (2002) ketika bank sebagai pemilik objek sewa yaitu, objek sewa diakui sebagai penyewa yaitu, objek sewa diakui sebesar biaya perolehannya. Pengakuan dan pengukuran ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik sesuai PSAK nomor 59 (2002) ketika bank sebagai penyewa yaitu, biaya dan beban ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik diakui selama masa akad pada saat jatuh tempo. Pengakuan dan pengukuran ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik sesuai PSAK nomor 59 (2002) ketika sewa dan penyewa kembali yaitu, beban pemeliharaan akan disajikan di laporan laba rugi tahun berjalan.
c. Prinsip bagi Hasil (Syirkah) Sistem bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana. Pembagian hasil usaha dapat terjadi antara bank dan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Dalam praktik perbankan syariah, ketentuan bagi hasil usaha harus ditentukan dimuka atau pada awal akad/kontrak usaha disepakati oleh pihakpihak yang terlibat dalam akad (Wiyono, 2012).
Porsi bagi hasil biasanya ditentukan dengan suatu perbandingan, misalnya 40 : 60, yang berarti bahwa hasil usaha yang dijalankan oleh mitra usaha akan didistribusikan sebesar 40% kepada pemilik dana/investor/shahibul maal, dan sebesar 60% didistribusikan kepada pengelola dana/muharib. Mekanisme perhitungan bagi hasil dalam perbankan syariah (IBI, 2003:265-266) adalah sebagai berikut: 1). Hitung saldo rata-rata harian (SRRH) sumber dana sesuai klasifikasi dana yang dimiliki, misalnya tabungan mudharabah dan investasi musyarakah. Rumus perhitungannya adalah
= Keterangan: TD = Total dana dalam periode berjalan JH = Jumlah hari dalam periode berjalan 2). Hitung saldo rata-rata tertimbang sumber dana yang telah tersalurkan ke dalam investasi dan produk-produk lainnya. 3). Hitung total pendapatan yang diterima dalam periode berjalan. 4). Bandingkan antara sumber dana dengan total dana yang disalurkan. 5). Alokasikan pendapatan kepada masing-masing klasifikasi dana yang dimiliki sesuai dengan data saldo rata-rata yang tertimbang 6). Perhatikan nisbah dengan kesepakatan yang yercantum dalam akad 7). Distribusikan bagi hasil sesuai dengan nisbah kepada pemilik dana sesuai klasifikasi dana yang dimiliki. Rumus untuk menentukan distribusi pendapatan adalah sebagai berikut:
=
X TR
Keterangan: DP = Distribusi Pendapatan SR = Saldo rata-rata tertimbang per klasifikasi dana TR = Total rata-rata tertimbang per klasifikasi dana TP = Total pendapatan yang diterima periode berjalan oleh bank
Dalam praktiknya, mekanisme perhitungan bagi hasil dapat didasarkan pada dua cara (Wiyono, 2012), yaitu: 1). Profit Sharing (Bagi Laba) Perhitungan bagi hasil berdasarkan profit sharing adalah perhitungan bagi hasil yang mendasarkan pada laba dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha dikurangi dengan beban usaha untuk mendapatkan pendapatan tersebut. 2). Revenue Sharing (Bagi Pendapatan) Perhitungan bagi hasil berdasarkan revenue sharing adalah perhitungan bagi hasil yang berdasarkan pada revenue (pendapatan) dari pengelolaan dana, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi beban usaha untuk mendapatkan pendapatan tersebut. Produk pembiayaan syariah yang berdasarkan prinsip bagi hasil ada dua (Zuhdi, 2010), yaitu : 1). Pembiayaan Musyarakah Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi). Transaksi musyarakah dilandasi adanya
keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Secara spesifik, bentuk kontribusi dari pihak yang bekerja sama dapat berupa
dana,
barang
(entrepreneurship),
perdagangan
kepandaian
(skill),
(trading
asset),
kepemilikan
kewiraswataan
(property),
atau
intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness), dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Ketentuan umum dari musyarakah adalah bahwa semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dijdikan proyek bersamasama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pengusaha proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek, tetapi tidak diperbolehkan melakukan hal-hal berikut: a). Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi. b). Menjalankan proyek musyarakah dengan pihal lain tanpa izin dari pemilik modal lainnya c). Memberikan pinjaman kepada pihak lain, sedangkan ketentuan lainnya adalah: a) Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain. b) Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila: (1). Menarik diri dari perserikatan (2). Meninggal dunia (3). Menjadi tidak cakap hokum
c) Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. d) Proyek yang dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
2). Pembiayaan Mudharabah Secara spesifik bentuk musyarakah yang populer dalam produk perbankan syariah adalah mudharabah. Mudharabah adalah bentu kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian keuntungan (Zuhdi, 2010). Bentuk kerja sama ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100 % modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib. Ketentuan umum yang berlaku dalam akad mudharabah adalah: a). Jumlah modal yang diserakan kepada nasabah selaku pengelola modal, harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyataka nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama. b). Hasil dan pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara, yaitu: (1). Perhitunga dari pendapatan proyek (reveneu sharing) (2). Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
c). Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalah gunaan dana. Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu.Dalam mudharabah, modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dua belah pihak atau lebih. Bentuk lain dari mudharabah yaitu mudharabah muqayyadah. Mudharabah muqayyadah ini pada dasarnya sama dengan ketentuan mudharabah sebeliumnya. Perbedaannya adalah terletak pada adanya pembatasan penggunaan modal sesuai dengan permintaan pemilik modal. 3). Akad Pelengkap Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pembiayaan (Zuhdi, 2010). Meskipun ditujukan untuk tidak mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini diperbolehkan untuk mengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini hanya sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul. a). Hiwalah (Alih Utang Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Untuk mengantisipasi kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang, dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berhutang. b). Rahn (Gadai) Menurut bahasanya rahn adalah tetap dan lestari. Tekhnisnya rahn adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya (Sudarsono, 2004). Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan (Zuhdi, 2010). Barang yang digadaikan harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (1). Milik nasabah sendiri (2). Jelas, ukuran, sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai rill pasar (3). Dapat dikuasai namun tidak dapat dimanfaatkan oleh bank
c). Al-Qardh Al-Qard adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan (Sudarsono, 2009).
Aplikasi qard dalam perbankan biasanya dalam empat hal (Zuhdi, 2010), yaitu : (1). Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran, biaya perjalanan haji. (2). Sebagai pinjaman tunai dari kredit produk syariah, dimana nasabah diberikan keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan. (3). Sebagai pinjaman pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha apabila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil. (4). Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank.
d). Al-Wakalah Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seorang sebagai pihak pertama kepada pihak lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (Sudarsono, 2009). Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila pihak nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan jasa tertentu seperti pembukaan L/C, inkaso, dan transfer uang. Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali kegagalan karena force majeure menjadi tanggung jawab nasabah.
Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dan bank. e). Al-Kafalah (Garansi Bank) Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegng tanggung jawab orang lain sebagai jaminan (Sudarsono, 2009). Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. 2. Produk Perhimpunan Dana a. Penghimpunan Dana Prinsip Wadiah Wadiah dapat diartikan sebagai titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus di jaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan menghendakinya (Harahap, 2009). Tujuan dari perjanjian tersebut adalah untuk mejaga keselamatan barang itu dari kehilangan, kemusnahan, kecurian, dan sebagainya. Bank sebagai penerima titipantidak ada kewajiban untuk memberikan imbalan dan bank syariah pun dapat mengenakan biaya penitipan barang tersebut. Berdasarkan kebijaksanaan bank syariahdapat memberikan “bonus” kepada penitip dengan syarat : 1). Bonus merupakan kenijakan dari bank sebagai penerima titipan 2). Bonus tidak diisyaratkan sebelumnya dan jumlah yang diberikan, baiki dalam prosentase maupun nominal, tidak ditetapkan dimuka.
Adapun rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi dengan prinsip wadiah (Harahap, 2009) adalah : 1). Barang yang ditipkan 2). Orang yang menitipkan/penitip 3). Orang yang menerima titipan/penerima titipan. 4). Ijab qabul Wadiah, terdiri dari dua jenis, yaitu : 1). Wadiah Yad Al-Amanah Wadiah Yad Al-Amanah merupakan titipan murni, barang yang dititipkan tidak boleh digunakan (diambil manfaatnya) oleh penitip, sewaktu sewaktu titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh baik nilai maupun fisik barannya, jika selama dal;am penitipan terjadi kerusakan maka pihak yang menerima titipan tidak dibebani tanggung jawab, sebagai konpensasi atas tanggung jawab pemeliharaan dapat dikenakan biaya titipan. 2). Wadiah Yad Ad Dhamanah Wadiah Yad Ad Dhamanah merupakan pengembalian dari Wadi’ah Yad Al Amanah yang disesuaikan dengan aktifitas perekonopmian. Penerima titipan diberi izin untuk menggunakan dan mengambil manfaat dari titipan tersebut. Sebagai imbalan kepada pemilik barang/dana dapat diberikan semacam insentif berupa bonus, yang tidak diisyaratkan sebelumnya. Aplikasi prinsif wadiah dalam perbankan adalah untuk produk tabungan wadiah dan giro wadiah. 1). Giro Wad’iah Dalam Undang-undang no 10 tahun 1998 pasal 1 ayat 6 disebutkan yang dimaksud dengan giro adalah simpanan yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan. Dalam Fakta Dewan Syariah Nasional ditetapkan ketentuan tentang Giro Wadiah ( Himpunan Fatwa, Edisi kedua, hal 6-7 ) sebagai berikut : (a). Bersifat titipan (b). Titipan biasa diambil kapan saja (on call) (c). Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank. 2). Tabunga Wad’iah Simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dapat dipersamakan dengan itu. Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional ditetapkan ketentuan tentang Tabungan Wadiah ( Himpunan Fatwa, Edisi kedua, hal 14 ) sebagai berikut : (a). Bersifat simpanan. (b). Simpanan bis diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan. (c). Tidak ada imbalan yanf disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
b. Penghimpunan Dan Prinsip Mudharabah Istilah “mudharabah” merupakan istilah yang paling banyak digunakan oleh bank-bank Islam. Mudharabah adalah perjanjian atau suatu jenis perkongsian, dimana pihak pertama (shahih al’mal) menyediakan dana, dan
pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolan usaha (Harahap, 2009). Hasil usaha dibagikan sesuai dengan nisbah (porsi bagi hasil) yang telah disepakati bersama secara awal. Dalam transaksi dengan prinsip mudharabah harus dipenuhi rukun mudharabah yaitu : 1).Shahibul maal/Rabulmal (pemilik dana/nasabah) 2). Mudharib (pengelola dana/pengusaha/bank) 3). Amal (Usaha/pekerja) 4). Ijab Qabul Dilihat dari segi kuasa yang diberikan kepada pengusaha, mudharabah terbagi menjadi dua jenis (Harahap, 2009), yaitu : 1). Mudharabah Muthlaqah (Investasi tidak terikat) 2). Mudharabah Muqaidah/muqayyadah (Investasi terikat) Syarat-syarat yang ditentukan dalam akad mudharabah (karakteristik transaksi mudharabah) yaitu : 1). Dana Mudharabah Dana mudharabah yang dihimpun harus dalam bentuk uang tunai dan bukan piutang serta dinyatakan dengan jelas, jumlahnya dan harus diserahkan kepada mudharib, untuk memungkinkan melakukan usaha. 2). Keuntungan Pembagian keuntungan harus didasarkan sesuai dengan nisbah yang disepakati pada awal dan dituangkan dalam akad. 3). Peranan bank Islam dalam hal pencampuran harta dan bermudharah dengan pihak ketiga, merupakan hal penting dalam bidang operasinya.
Prinsip-prinsip mudharabah mutalaqah dapat diaplikasikan dalam kegiatan usaha
perbankan
untuk
produk tabungan
mudharabah
dan
deposito
mudharabah. 1). Tabungan Mudharabah Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dipersamakan denga itu. 2). Deposito Mudharabah Deposito adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank yang bersangkutan.
I. Pelayanan Bank Syariah Kepada Nasabah Pelayanan adalah bagian darisebuah marketing. Sebuah bank dapat memasarkan sebuah produknya dengan memberikan pelayanan yang baik. Dengan begitu, bank tidak perlu memasang iklan. Pemasaran yang begitu efektif adalah pemasaran dari mulut ke mulut. Jika persepsi seorang nasabah terhadap suatu bank itu dapat dinyatakan baik atau puas, maka nasabah tersebut akan memberitahukan kerabat atau rekan, atau teman bisnis, bahwa pelayanan bank x sangat bagus, dan dapat dipastikan jumlah nasabah akan bertambah dikarenakan pengaruh dari kepuasan pelayanan yang didapat nasabah. Manfaat lain bagi nasabah yang telah lama bergabung di bank tersebut menjadi loyal dan merasa memiliki bank tersebut. Indikator kepuasan konsumen itu bermacam-macam, diantaranya proses pelayanan sikap, pelayanan pegawai, kecepatan pelayanan, sosok pelayanan.
Disamping itu, nasabah pun memiliki pendapat berbeda-beda mengenai dimensi terpenting dalam kepuasan. Dahulu orang mengatakan puas jika gedungnya megah. Tapi belum tentu, karena tidak selalu menjadi faktor terpenting bagi nasabah (Purwanto, 2010). Senyum adalah contoh terpenting dalam aspek sebuah pelayanan. Tapi pelayanan menyangkut produk yang ditawarkan, kemudian produk yang ditawarkan suatu bank, sistem tekhnologi yang dimiliki suatu bank, keramahan dan empati petugas, proses pelayanan return atau bagi hasil, juga termasuk kategori umum tercapainya kepuasan nasabah. Beberapa pelayanan terhadap nasabah yang dilakukan bank syariah (Purwanto, 2010) yaitu : 1. Untuk memberikan service plus kepada para nasabah, dapat dimulai dari kondisi bangunan. Akses ke kantor bank yang mudah dijangkau oleh masyarakat, kenyamanan dan keamanan tempat parkir kendaraan yang disediakan. Penataan letak (Lay Out) yang diatur secara rapi sehingga memiliki fungsi yang teratur antara bangunan kantor, lapangan parkir, peletakan mesin ATM, musholla, keadaan toilet yang bersih, dan lain-lain. Di dalam ruangan terdapat mesin antrian nasabah, peletakan brosur, slip setoran dan penarikan yang tertata baik dan kenyamanan bangku untuk menunggu antrian nasabah, ruangan yang dilengkapi dengan pendingin ruangan yang membuat nyaman berada di bank. 2. Produk yang ditawarkan kepada nasabah merupakan pengembangan dari produkproduk yang diinginkan nasabah pada saat ini. Tidak selamanya bank syariah melakukan pemasaran produk melalui pendekatan “haram-halal” kepada nasabah. Namun pada saat ini, nasabah yang
dibutuhkan adalah produk yang halal dan memberikan keuntungan lebih dari bank yang lain serta kemudahan yang diperoleh dari pemakaian produk bank syariah. Biasanya kebutuhan nasabah terhadap produk-produk bank, yaitu nasabah mnginginkan suatu produk baik tabungan, deposito, dan produk lainnya yang memiliki tingkat bagi hasil yang tinggi atau kompetitif dengan produk-produk perbankan yang lainnya. Tekhnologi yang mendukung dari produk itu seperti tabungan yang dilengkapi ATM yang dapat ditarik diseluruh ATM yang on-line diseluruh indonesia atau ketika nasabah berada di luar negeri dapat menarik uang di ATM. Melalui ATM bank, nasabah dapat melakukan pembayaran berbagai macam tagihan sehingga memberikan kemudahan kepada nasabah. Tekhnologi yang dikembangkan pada sebuah bank pada saat ini yaitu nasabah tidak perlu lagi ke ATM untuk transfer uang dan membayar berbagai macam tagihan, hingga dapat mengisi pulsa dengan Handphone dan fasilitas lain dari sebuah kartu selular. Produk tersebut merupakan bentuk kerjasama dari sebuah bank dengan suatu operator selular, penggunaan fasilitas ini memberikan kemudahan kepada nasabah. Pengembangan produk ini memberikan nilai tambah bagi sebuah bank. Bank dapat berinovasi dengan produk-produk baru yang berbeda dengan produk-produk perbankan yang ada bahkan lebih baik dengan tidak mengurangi rasa aman dan manfaat yang lebih kepada nasabah yang menyimpan dananya di bank. Pemberian hadiah dapat dilakukan kepada nasabah yang mau membuka rekening tabungan, deposito maupun giro, serta bagi nasabah lama pun dapat
diberikan hadiah yang menarik dengan tidak terlalu membebani biaya operasional bank dan nilai-nilai syariah. 3. Dari pelayanan front liner a). Dari pintu masuk, sikap satpam yang membuka pintu menyapa dan memberikan senyum kepada nasabah yang masuk maupun nasabah yang keluar dari bank. b). Costemer service, yang memiliki pemahaman produk 9Produk Knowledge) yang akan dijual ke nasabah sehimgga ketika nasabah bertanya mengenai produk bank tersebut, maka customer service dapat memaparkan produk dengan jelas dan komplit baik itu kemudahan, keunggulan serta tingkat keuntungan atau bagi hasil yang didapat. Dengan pemahaman produk yang baik Customer Service juga dapat melakukan Cross Selling terhadap produk lainnya yang dimiliki bank. Kemampuan lain yang dimiliki Customer service yaitu, mampu menerima complian dari nasabah dan cara menyelesaikannya, kemampuan berkomunikasi baik dari telepon maupun bertemu langsung dengan nasabah serta keahlian lainnya. c). Teller, sikap seorang teller ketika melayani nasabah yaitu dengan cepat, akurat tanpa ada kesalahan dalam meng-entry data transaksi nasabah ke komputer dan tanpa ada kesalahan lain, tanpa mengurangi rasa keramahan teller kepada nasabah.
Poin-poin di atas merupakan poin terpenting karena dalam kegiatan operasional bank, bagian frontline karyawan berhadapan langsung dengan nasabah. Bagian ini merupakan ujung tombak suatu pelayanan nasabah bank. Ketika teller memberikan pelayanan yang baik kepada nasabah maka kesan baik
itu tersebut akan terasa hingga ke manajemen bank hingga pemilik saham. Namun sebaliknya, jika pelayanan frontline kurang baik maka kesan buruk yang didapat bukan hanya pada manajemen bank dan dapat sampai pada masyarakat luas. Agar dapat menjaga kualitas peayanan, bank syariah membuat divisi khusus yang bertugas mengembangkan SDM. Setiap frontliner diberikan berbagai macam training yang dapat membuat karyawan memiliki Inner Voice atau talenta dalam melayani nasabah. Pelatihan yang dapat diberikan seperti Training Service Exelence. Adapun pelatihan ini agar dapat meningkatkan pelayanan kepada nasabah. Bisa juga bank membuat suatu buku yang membuat standar pelayanan kepada nasabah, sehingga menjadi standar pelayanan baik di kantor pusat maupun dikantor-kantor cabang. Buku tersebut dapat menjelaskan bagaimana berbusana muslim kantor yang baik (office look) dan bagaimana sikap karyawan kepada nasabah, serta standar pelayanan lainnya. Untuk pengawasan mengenai pelayanan dapat dilakukan Service Quality Control oleh divisi yang ditunjuk sehingga service qualityterjaga. Sistem pengontrolan dievaluasi setiap triwulan sekali atau persemester. Bagi karyawan yang memberikan pelayanan baik atau memuaskan nasabah mendapat reward dari manajemen bank. Melalui penilaian indeks pelayanan karyawan dengan berbagai poin-poin penilaian seperti kecepatan, keramahan, dan poin lainnya yang berkenaan dengan penilaian pelayanan.
J. Penelitian Terdahulu Adapun penelitian ini terinspirasi kepada penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh: 1. Winardi (2009) Winardi membuat penelitian ini dengan judul “Persepsi Mahasiswa Muslim Dan Mahasiswa Non Muslim Terhadap Perbankan Syariah” penelitian tersebut merupakan penelitian kuantitatif dengan regresi berganda pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 174 yang terdiri dari 97 mahasiswa muslim dan 77 mahasiswa non muslim yang diambil dari Universitas Mercu Buana, Universitas Indonusa Esa Unggul, dan Univesritas Katolik Atma Jaya. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan metode convenience sampling. Uji statistic yang digunakan adalah uji statistik deskriptif dan uji beda independent sample t-test. Hasil penelitian dengan menggunakan uji statistik deskriptif menunjukkan bahwa persepsi/pandangan mahasiswa muslim memiliki pemahaman yang lebih baik daripada mahasiswa non muslim, tetapi walau demikian mahasiswa muslim dan non muslim secara umum memiliki pemahaman yang baik terhadap perbankan syariah. Selain itu, hasil penelitian dengan menggunakan uji beda independent sample t-test pada tingkat kepercayaan 95% (α= 5%)menunjukkan bahwa mahasiswa muslim dan non muslim mempunyai perbedaan persepsi/pandangan yang signifikan terhadap perbankan syariah. 2. Resha Komala Dewi (2011) Resha Komala Dewi membuat penelitian ini dengan judul “Perbandingan Persepsi Mahasiswa Akuntansi Dengan Non Akuntansi Terhadap Sistem Perbankan Syariah” penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan persepsi atau pandangan mahasiswa akuntansi dengan mahasiswa non akuntansi terhadap sistem perbankan
syariah. Sampel penelitian ini sebanyak 150 yang terdiri dari 75 Mahasiswa akuntansi dan 75 Mahasiswa non akuntansi yang diambil dari Universitas Mercu Buana. Pemilihan sample dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Uji statistic yang digunakan adalah uji statistic deskriptif dan uji beda independent sample t-test. Hasil penelitian ini menggunakan uji statistic deskriptif menunjukkan bahwa persepsi atau pandangan mahasiswa akuntansi memiliki pemahaman lebih baik dari pada mahasiswa non akuntansi, tetapi walaupun demikian mahasiswa akuntansi dan non akuntansi secara umum memiliki pemahaman yang baik terhadap sistem perbankan syariah. Selain itu, hasil penelitian engan menggunakan uji beda independent sample t-test pada tingkat kepercayaan 95% (α = 5%) menunjukkan bahwa mahasiswa akuntansi dengan non akuntansi tidak terdapat persepsi atau pandangan yang signifikan terhadap sistem perbankan syariah. 3. Delis Nur Fadilah (2011) Delis Nur Fadilah membuat penelitian ini dengan judul “Persepsi Mahasiswa Mercu Buana Terhadap Perbankan Syariah” penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi mahasiswa Mercu Buana terhadap perbankan syariah. Sampel penelitian ini sebanyak 125 yang diambil dari Universitas Mercu Buana. Pemilihan sample dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif komparatif. Uji statistic yang digunakan adalah pengujian adalah Validitas dan Realibilitas. hasil penelitian dengan menggunakan uji beda independent sample t-test pada tingkat kepercayaan 95% (α = 5%) menunjukkan bahwa mahasiswa akuntansi dengan non akuntansi tidak terdapat persepsi atau pandangan yang signifikan terhadap sistem perbankan syariah.
Tabel 2.1 Penelitian terdahulu NO 1
NAMA PENELITI Winardi ( 2009 )
JUDUL PENELITIAN Persepsi Mahasiswa Muslim Dan Mahasiswa Non Muslim Terhadap Perbankan Syariah
VARIABEL Independen: Mahasiswa Muslim danNon Muslim Dependen : PerbankanSy ariah
2
3
Resha Komala Perbandingan Independen: Dewi Persepsi Mahasiswa MahasiswaA (2011) Akuntansi Dengan kuntansidan Non Akuntansi Non Terhadap Sistem akuntansi Perbankan Syariah
Delis NurFadilah ( 2011 )
Persepsi Mahasiswa Mercu Buana Terhadap Perbankan Syariah
HASIL PENELITIAN uji statistik deskriptif menunjukkan bahwa persepsi/pandangan mahasiswa muslim memiliki pemahaman yang lebih baik dibandingkan mahasiswa non muslim.
uji statistic deskriptif menunjukkan bahwa persepsi atau pandangan mahasiswa akuntansi memiliki pemahaman lebih baik dari pada Dependen : mahasiswa non SistemPerban akuntansi kanSyariah Independen uji beda independent MahasiswaM sample t-test pada ercuBuana tingkat kepercayaan 95% (α = 5%) Dependen : menunjukkan bahwa PerbankanSy mahasiswa akuntansi ariah dengan non akuntansi tidak terdapat persepsi atau pandangan yang signifikan terhadap sistem perbankan syariah.