BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Kecemasan a. Pengertian kecemasan Kata anxietas berasal dari bahasa latin angere, yang berarti tercekik atau tercekat. Respon anxietas sering kali tidak berkaitan dengan ancaman yang nyata, namun tetap dapat membuat seseorang tidak mampu bertindak atau bahkan menarik diri (Maramis, 2009).
Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang ditandai oleh perasaan ketakutan disertai tanda somatik pertanda sistem saraf otonom yang hiperaktif (Kaplan dan Saddock, 2010). b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan Stuart & Sundeen (dalam Pamungkas, 2011) menyatakan ada beberapa teori yang telah dikembangkan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan, yaitu : 1) Faktor predisposisi a) Teori Psikoanalitik Kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian id dan superego. Id mewakili dorongan
insting dan impuls primitif (nafsu) seseorang, sedangkan
\
6
superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh normanorma budaya seseorang. b) Teori Interpersonal Cemas timbul dari perasaan takut terhadap tidak ada penerimaan dan penolakan interpersonal. Cemas, juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan spesifik. Orang dengan harga diri yang rendah terutama mudah mengalami perkembangan ansietas yang berat. c)
Teori Perilaku Cemas merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang menganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan.
2) Faktor Presipitasi Kecemasan adalah keadaan yang tidak dapat dielakkan pada kehidupan manusia dalam memelihara keseimbangan. Pengalaman kecemasan seseorang tidak sama pada beberapa situasi dan hubungan interpersonal. c.
Tingkat kecemasan Menurut Bucklew (1980), para ahli membagi bentuk kecemasan itu dalam dua tingkat, yaitu:
7
1) Tingkat psikologis. Kecemasan yang berwujud sebagai gejala gejala kejiwaan, seperti tegang, bingung, khawatir, sukar berkonsentrasi, perasaan tidak menentu dan sebagainya.
2) Tingkat fisiologis. Kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejalagejala fisik, terutama pada fungsi sistem saraf, misalnya tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, gemetar, perut mual, dan sebagainya. Menurut Stuart & Sundeen (1998), ada empat tingkat kecemasan yang dialami oleh individu yaitu, ringan, sedang, berat dan panik.
1) Kecemasan ringan Berhubungan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari. Individu masih waspada serta lapang persepsinya luas, menajamkan indra. 2) Kecemasan sedang Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya, terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang lain. 3) Kecemasan berat Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya pada detail yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berpikir tentang
hal-hal lain.
8
4) Panik Individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian hilang. d. Gejala kecemasan Menurut Freud (dalam Ibrahim, 2003), kecemasan memiliki 4 gejala yang terdiri dari : 1)
Gangguan Somatik Tremor, panas – dingin, kejang, berkeringat, palpitasi, nausea, diare, mulut kering, libido yang menurun, sesak nafas dan kesukaran untuk menelan.
2)
Gangguan Kognitif Kesukaran untuk berkonsentrasi, kebingungan, kekuatan akan lepas kendali atau akan menjadi gila dan kewaspadaan yang berlebihan serta pikiran akan malapetaka yang besar.
3)
Gangguan Perilaku Ekspresi ketakutan, iritabilitas, imobilisasi, hipertensi dan penarikan diri dari masyarakat.
4)
Gangguan Persepsi Depersonalisasi dan derealisasi.
Gejala-gejala somatis yang dapat menunjukkan ciri-ciri kecemasan menurut Mcloone (dalam Atmaja, 2012) adalah keluar keringat dingin, sulit bernafas, gangguan lambung, takikardi, dan terjadinya peningkatan
tekanan darah.
9
e. Respon kecemasan Kartono (1981) menyebutkan bahwa kecemasan ditandai dengan emosi yang tidak stabil, sangat mudah tersinggung dan marah, sering dalam keadaan excited atau gempar gelisah. 1) Respon fisiologis a) Kardio vaskuler
:
Peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar, denyut nadi meningkat, tekanan nadi menurun, syok, dan lain-lain. b) Respirasi
:
Napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik. c) Kulit
:
Perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat, gatal-gatal. d) Gastro intestinal : Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa terbakar di epigastrium, nausea, diare.
10
e) Neuromuskuler : Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, kejang, wajah tegang, gerakan lambat.
2) Respon Psikologis a) Perilaku : Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada koordinasi, menarik diri, menghindar. b) Kognitif : Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, bloking, bingung, lapangan persepsi menurun, kesadaran diri yang berlebihan, kawatir yang berlebihan, obyektifitas menurun, takut kecelakaan, takut mati dan lain-lain.
c) Afektif : Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar biasa, sangat gelisah dan lain-lain. Berdasarkan konsep psikoneuroimunologi, kecemasan merupakan stresor yang bisa menurunkan imun tubuh, hal ini terjadi melalui serangkaian aksi yang diperantarai oleh HipotalamusPituatry- Adrenal
(HPA-Axis), kecemasan juga akan merangsang hipotalamus untuk
meningkatkan produksi Corticotropin Releasing Factor (CRF)
11
sehingga merangsang hormon pituitary anterior untuk meningkatkan produksi Adrenocorticotrofic hormone (ACTH). Hormon ini akan merangsang korteks adrenal untuk meningkatkan sekresi kortisol, kortisol selanjutnya akan menekan sistem imun tubuh (Guyton & Hall, 2008)
2. Religiusitas a. Pengertian Religiusitas Religiusitas berasal dari kata religion (bahasa Inggris) dan religie
(bahasa belanda) adalah berasal dari bahasa induk kedua bahasa tersebut, yaitu bahasa latin religio yang akar katanya adalah religure yang berarti mengikat (Kahmad, 2002). Ini mengandung makna bahwa dalam religi atau agama pada umumnya memiliki aturanaturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya dan semua itu berfungsi untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya (Driyarkara, 1978). Mangunwijaya (1982) membedakan antara istilah religi dengan religiusitas. Jika religi menunjuk pada aspek-aspek formal yang berkaitan dengan aturan dan kewajiban, maka religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati seseorang dalam hati. Religiusitas adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
agama. Dalam perspektif Islam, religiusitas dapat diketahui melalui
12
beberapa aspek penting, yaitu : aspek keyakinan terhadap ajaran agama (akidah), aspek ketaatan terhadap ajaran agama (syari’ah atau ibadah), aspek penghayatan terhadap ajaran agama (ihsan), aspek pengetahuan terhadap ajaran agama (ilmu) dan aspek pelaksanaan ajaran agama (amal atau akhlak) (Rosyidah, 2006). b. Tujuan Religiusitas Tujuan dari religiusitas adalah kesalehan, dan dampak temporal dari kesalehan adalah peningkatan dari diri seseorang maupun kelompok dalam mencapai nilai-nilai dan etika-etika universal (Khan, 2006). Kesalehan itu sendiri berarti perilaku seseorang yang berperilaku islami dan menyeimbangkan kepentingan hablum minallah dan hablun minan naas (Bisri, 2006). Menurut Syamsulhadi (dalam Pasiak, 2012), religiusitas dan spiritualitas adalah suatu konsep yang saling tumpang tindih. Religiusitas dan spiritualitas adalah faktor kultural yang sangat penting yang memberi struktur dan arti pada nilai manusia, perilaku dan pengalaman-pengalamannya. Perhatian dokter meningkat pada religiusitas dan spiritualitas pasien, oleh karena banyak studi yang menunjukkan suatu hubungan di antara peningkatan keterlibatan religiusitas dengan outcome kesehatan yang lebih baik.
1 3
c.
Dimensi Religiusitas Glock dan Stark (dalam Rakhmaditya, 2002) mengatakan bahwa terdapat lima dimensi dalam religiusitas, yaitu: 1) Religious Belief (the ideological dimension) Religious belief (the idiological dimension) atau disebut juga
dimensi
keyakinan
adalah
tingkatan
sejauh
mana
seseorang menerima hal-hal yang fundamental dan dogmatik dalam agamanya, misalnya kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, surga dan neraka, dan lain-lain yang bersifat dogmatik.
Dimensi keyakinan dalam agama Islam diwujudkan dalam pengakuan (syahadat) yang diwujudkan dengan membaca dua kalimat syahadat, Bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan nabi Muhammad itu utusan Allah. Dengan sendirinya dimensi keyakinan ini menuntut dilakukannya praktek-praktek peribadatan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Keyakinan atau akidah yang merupakan berbagai masalah
yang
harus
disampaikan
secara
rasional
dan
berdasarkan pondasi logika yang kuat sehingga tidak lemah di saat berhadapan dengan
Positivisme dan Post Modernisme (Rahimpour, 2011). 2) Religious Practice (the ritual dimension)
Religious practice (the ritual dimension) yaitu tingkatan
sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual
14
dalam agamanya. Unsur yang ada dalam dimensi ini mencakup pemujaan, kultur serta hal-hal yang lebih menunjukkan komitmen seseorang dalam agama yang dianutnya. Dimensi praktek dalam agama Islam dapat dilakukan dengan menjalankan ibadah shalat, puasa, zakat, haji ataupun praktek muamalah lainnya.
Scobie (dalam Mesra, 2007) mengatakan bahwa kadar ketaatan seseorang dapat diukur dengan frekuensinya dalam melakukan ritual keagamaan. Komitmen tinggi seseorang dapat terlihat bila orang tersebut memiliki frekuensi yang tinggi dalam melakukan ibadah yng merupakan ritual agamanya. Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki frekuensi yang jarang
dalam
melakukan
ibadah
sesuai
dengan
ajaran
agamanya, maka orang tersebut dapat digolongkan sebagai seseorang yang berkomitmen rendah. 3) Religious Feeling (the experiental dimension) Religious feeling (the experiental dimension) atau bisa disebut dimensi pengalaman, adalah perasaan-perasaan atau pengalaman yang pernah dialami dan dirasakan. Misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan, diselamatkan oleh Tuhan, dan sebagainya. Ancok (2001) mengatakan kalau dalam Islam dimensi ini dapat terwujud dalam perasaan dekat
atau akrab dengan Allah, perasaan bertawakal (pasrah
diri dalam hal yang positif) kepada Allah. Perasaan khusyuk ketika commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar ketika mendengar
adzan
atau
ayat-ayat
Al
Qur’an,
perasaan
bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah. 4) Religious Knowledge (the intellectual dimension) Religious knowledge (the intellectual dimension) atau dimensi pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab sucinya atau dimensi pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab suci manapun yang lainnya. paling tidak seseorang yang beragama harus mengetahui hal-hal pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi. Dimensi ini dalam Islam menunjuk kepada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya terutama mengenai ajaran pokok agamanya, sebagaimana yang termuat di dalam kitab sucinya.
Menurut Robertson (dalam Kurniati, 2010) dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
5) Religious Effect (the consequential dimension) Religious effect (the consequential dimension) yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana prilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, misalnya apakah orang tersebut mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan hartanya, dan sebagainya.
d. Faktor Religiusitas Thouless (2000), membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan menjadi empat macam, yaitu : 1) Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam
perkembangan keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu. 2) Faktor pengalaman Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik moral dan pengalaman emosional keagamaan. Faktor ini umumnya berupa pengalaman spiritual yang secara cepat dapat mempengaruhi perilaku individu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
3) Faktor kehidupan Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat, yaitu : (a). kebutuhan akan keamanan atau keselamatan, (b). kebutuhan akan cinta kasih, (c). kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan (d). kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian. 4) Faktor intelektual Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap individu berbeda-beda tingkat religiusitasnya dan dipengaruhi oleh dua macam faktor secara garis besarnya yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi religiusitas seperti mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang. Sedangkan pengaruh ekstrinsiknya seperti menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis, yang memunculkan sikap kemunafikan
Najib (dalam Pasiak, 2012)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.
digilib.uns.ac.id
18
B. Kerangka Pemikiran
Mahasiswa Muslim Angkatan 2011 Universitas Sebelas Maret
Religiusitas
tinggi
cemas
rendah
Tidak cemas
cemas
Tidak cemas
C. Hipotesis Ada hubungan antara tingkat religiusitas terhadap kecemasan pada Mahasiswa Muslim Angkatan 2011 Universitas Sebelas Maret Surakarta.