BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Strategi IS/IT Setiap perusahaan tentunya memiliki objektif-objektif bisnisnya masingmasing. Organisasi IT yang ada di dalam perusahaan tersebut tentunya harus memiliki tekad untuk mendukung pencapaian tujuan bisnis perusahaan. Broadbent et al (2005, pp 130) mengatakan:
“...Anda dan organisasi IS Anda membutuhkan strategi IT yang tepat yang mampu memberitahukan Anda dimana upaya dan sumber daya harus difokuskan.”
Proses formulasi strategi untuk pemanfaatan IS/IT secara efektif memiliki sifat yang kompleks. Ada beberapa dimensi permasalahan yang harus ditenggarai, dan oleh sebab itu dibutuhkan kombinasi dari pendekatan- pendekatan dan perangkat/alat dalam penyusunannya. Strategi IS/IT itu sendiri bertujuan untuk mencapai tuntutan efisiensi, efektivitas, tujuan-tujuan kompetitif, atau objektifobjektif yang menghasilkan nilai/value (Ward et al, 2002).
2.1.1. Komponen Perencanaan Dan Formulasi Strategi Sebuah model yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. mengilustrasikan blokblok pembentuk dari perencanaan dan formulasi strategi. Blok-blok pembentuk
16
17
tersebut antara lain input, output, serta aktivitas-aktivitas penting yang berhubungan dengan kedua hal tersebut.
Gambar 2.1 Model Strategi IS/IT (Ward et al, 2002, pp 154)
Penjelasan mengenai komponen-komponen input dan output di atas dapat disimak berikut pada tabel-tabel berikut ini.
18
Tabel 2.1 Komponen Input Dari Perencanaan dan Formulasi Strategi (Ward et al, 2002, pp 153) Input Lingkungan Bisnis Internal
Strategi bisnis yang berlaku saat ini, tujuan-tujuan, sumber daya, proses-proses, budaya dan nilai-nilai perusahaan.
Lingkungan Bisnis Eksternal
Situasi ekonomi, iklim kompetisi pada industri di mana organisasi kita beroperasi.
Lingkungan IS/IT Internal
ara pandang IS/IT terhadap bisnis saat ini, tingkat kematangan dari IS/IT, cakupan bisnis dan kontribusinya, keahlian, sumber daya dan infrastruktur teknologi. Termasuk ke dalam lingkungan ini di antaranya portfolio aplikasi, sistem yang ada saat ini, yang sedang dikembangkan, dan yang belum dikerjakan.
Lingkungan IS/IT Eksternal
Tren teknologi dan kesempatan-kesempatan yang hadir karena penggunaan IT oleh pihak lain, khususnya oleh pelanggan, kompetitor, dan supplier.
Tabel 2.2 Komponen Output Dari Perencanaan dan Formulasi Strategi (Ward et al, 2002, pp 154) Output Strategi Manajemen IS/IT
Elemen-elemen umum dari strategi yang diaplikasikan di keseluruhan organisasi. Jika diperlukan juga mendukung konsistensi kebijakan.
Strategi IS Pada Bisnis
agaimana setiap unit atau fungsi akan menghadirkan IS/IT dalam mencapai tujuan-tujuan bisnis. Termasuk di dalamnya ialah portfolio aplikasi yang akan dikembangkan untuk unit bisnis atau model bisnis, yang menjelaskan arsitektur informasi dari setiap unit.
Strategi IT
Kebijakan dan strategi untuk pengelolaan sumber daya teknologi dan sumber daya spesialis IT.
19
2.1.2. Dualitas IS/IT Ward et al (2002) menggambarkan dinamika IT dan konsekuensinya terhadap bisnis dan strategi IS/IT seperti pada Gambar 2.2 berikut ini:
Gambar 2.2 Pengaruh dan Dampak (Ward et al, 2002, pp 51)
Pertama-tama gambar tersebut menggambarkan dua sisi dari teknologi, yang mana teknologi tidak hanya mendukung strategi dari organisasi (panah a), tetapi teknologi juga bisa mendefinisikan bisnis itu sendiri, karena strategi mungkin saja tidak bisa berjalan tanpa kehadiran teknologi (panah b). Dalam lingkungannya, suatu organisasi pastilah tidak seorang diri saja. Ia pasti memiliki kompetitor, dan merupakan anggota dari dari sistem industri dan lingkungan bisnis yang lebih luas. Pergerakan-pergerakan para kompetitor,
20
termasuk pendatang baru, akan mempengaruhi dinamika industri. Konsekuensinya tentunya mempengaruhi organisasi itu sendiri dan juga strategi dari organisasi tersebut (panah c); Pada saat yang bersamaan penerapan strategi yang dijalankan oleh suatu organisasi akan mempengaruhi langkah-langkah dari kompetitor (panah d). Inovasi di bidang teknologi bisa memiliki efek yang disruptif terhadap industri (panah e), merombak ulang aturan berkompetisi dan bahkan membuat orang menanyakan ulang konsep dari struktur industri yang ada di saat tersebut.
2.1.3. Dua Jenis Hubungan IT Dengan Bisnis Informasi dengan bisnis memiliki keterkaitan yang erat, dan manajemen informasi bisnis bersifat vital dalam mendukung operasi dari proses-proses di dalam organisasi dan meningkatkan kinerja organisasi (Chaffey et al, 2005). Tetapi tentunya bentuk hubungan IT dengan bisnis harus bisa dirumuskan dengan baik agar IT bisa memberikan kontribusi nilai seperti yang diharapkan. Tetapi dalam kenyataannya sistem informasi yang telah dikembangkan dan diimplementasikan mungkin saja tidak memenuhi tuntutan dari bisnis. Salah satu alasannya bisa berupa koordinasi yang kurang baik antara manajemen IS demand dan manajemen IT supply (Ward et al, 2002). Benson et al (2004a) mengutarakan dua jenis hubungan perencanaan antara strategic intentions dari bisnis dengan IT: (1) Strategi, perencanaan dan aksi-aksi IT menjalankan strategic intentions dari bisnis dan menghasilkan hal-hal yang memang dibutuhkan, dan (2) IT dapat berinovasi dan menyumbangkan strategic intentions dari bisnis yang baru sama sekali. Jenis-jenis hubungan ini dapat disimak pada gambar berikut ini:
21
Gambar 2.3 Praktek-praktek Perencanaan Demand/Supply dan Inovasi (Benson et al, 2004a, pp 168)
Jenis hubungan yang pertama adalah dasar dari strategic demand/supply planning. Demand melambangkan apa yang dibutuhkan bisnis dari IT, supply mendefinisikan bagimana IT akan memenuhi demand tersebut. Jenis hubungan yang kedua melambangkan inovasi IT terhadap bisnis. Adapun elemen-elemen dari strategic demand/supply planning dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2.4 Elemen Dari Perencanaan Strategis Demand/Supply (Benson et al, 2004a, pp 175)
22
Jenis hubungan yang kedua ialah IT sebagai penggerak inovasi. Komponen-komponen penting dan perihal-perihal yang perlu dihadirkan pada penyusunan strategi IS/IT dalam perannya sebagai penggerak inovasi dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2.5 Sekumpulan Pertanyaan dan Komponen dari Innovation Planning (Benson et al, 2004a, pp 190)
2.2. Praktek-praktek New Information Economics (NIE) Penggunaan IT (use of IT) pastilah memiliki memiliki suatu nilai bagi kelangsungan bisnis perusahaan. Hal ini terlihat dari investasi-investasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan saat ini di bidang IT, entah itu berupa aplikasi, komputer baru, atau layanan-layanan IT. Perusahaan-perusahaan tersebut tentunya menyadari bahwa ada hubungan antara biaya-biaya yang dikeluarkan untuk IT terhadap kinerja ekonomi mereka. Pengukuran kontribusi IT dengan metode perhitungan Return On Investment (ROI) ternyata tidak dapat menggambarkan bagaimana sebenarnya IT
23
memberikan nilai/value terhadap bisnis perusahaan. Stenzel et al (2007, pp 321) mengutarakan pendapat berikut ini:
“…kalkulasi ROI konvensional tidak dirancang untuk menangkap kompleksitas yang meningkat dari kehadiran teknologi informasi saat ini dan evolusi yang cepat dari sumber daya-sumber daya teknologi informasi yang dijalankan secara strategis.”
Marylin
Parker,
Robert
Benson,
dibantu
oleh
H.E.
Trainor
memperkenalkan istilah yang disebut sebagai information economics. Mereka mendefinisikan nilai/value dari IT bagi organisasi berdasarkan kinerja bisnis yang mengalami peningkatan, dan mendefinisikan biaya berupa biaya keseluruhan organisasi, dimana kesemuanya itu mendefinisikan dampak ekonomis yang sebenarnya berasal dari teknologi informasi (Parker et al, 1988). Benson et al (2004a) lalu mengembangkan praktek-praktek yang merupakan pengembangan dari information economics. Praktek-praktek ini disebut dengan praktek-praktek New Information Economics (NIE). Berikut ini adalah kelima praktek NIE: •
Praktek NIE 1: Strategic Demand/Supply Planning
•
Praktek NIE 2: Inovasi
•
Praktek NIE 3: Prioritasisasi
•
Praktek NIE 4: Penyelarasan/Alignment
•
Praktek NIE 5: Pengukuran Kinerja
24
2.3. Business Value Maturity Model™ Ketidaksinambungan antara IT dan bisnis dapat menjadi batu sandungan bagi perusahaan dalam upaya mereka mencapai nilai/value yang sebenarnya bisa dihasilkan oleh IT. Menilik pernyataan yang diutarakan oleh Ward et al (2002, pp 44) berikut ini:
“…ketidakmampuan organisasi-organisasi dalam menyadari nilai/value dari investasi IS/IT sebagian dikarenakan adanya kekurang selarasan antara bisnis dengan strategi IS/IT.”
Lutchen (2004, pp 43-44) juga menyatakan pentingnya hubungan antara IT dengan bisnis. Menurutnya dengan menyandingkan IT dengan strategi bisnis akan mendorong unit-unit bisnis dan pimpinan-pimpinan di dalam perusahaan untuk menegosiasikan investasi-investasi IT dengan tujuan mendukung lini-lini bisnis, produk-produk, atau bisnis regional dengan cara yang sama mereka menegosiasikan perihal anggaran-anggaran lainnya. Salah satu cara untuk mengetahui bagaimana posisi IT terhadap bisnis ialah dengan melakukan assessment dengan suatu model yang dinamakan dengan Business Value Maturity Model™. Salah satu tujuan dari penggunaan Business Value Maturity Model™ yaitu untuk membantu organisasi memahami jurang pemisah antara kontribusi IT terhadap tujuan organisasi (Benson et al, 2004a). Karakteristik jenjang dari Business Value Maturity Model™ dapat dilihat pada tabel berikut ini:
25
Tabel 2.3 Business Value Maturity Model™ (Benson et al, 2004a, pp 236)
0
Nonexistent
No management processes apply the practice to produce the desired outcomes.
1
Initial/Ad Hoc
No formal management processes, but a few managers attempt to apply the practice informally to produce the outcomes.
2
Repeatable But Intuitive
No formal management processes, but the idea is understood and informally applied to produce the desired outcomes.
3
Defined Process
Management processes exist to apply the practice, but no companywide standards or enforcement
4
Managed and Measurable
Management proceses are standard practices; executions monitored; outcomes affect the business.
5
Optimized
Management processes that apply the practices are central to the company and continuously improved.
Benson et al (2004a) juga mengusulkan suatu bentuk assessment yang menggunakan Business Value Maturity Model™ yang mengandung elemenelemen praktek-praktek NIE, dan menyebutnya dengan istilah Business Value Assessment. Bentuk dari assessment tersebut dapat dilihat berikut ini:
26
Tabel 2.4 Business Value Assessment (Benson et al, 2004a, pp 243) Business Value Maturity Model™ High-Level Assessment Form
Managed and Measurable
Optimized Processes
0
1
2
3
4
5
Translating IT opportunities into new business strategic intentions and finding new ways for IT to support existing strategic intentions.
0
1
2
3
4
5
Prioritization
Assessing the business impact of new IT initiatives and prioritizing them according to strategic intentions.
0
1
2
3
4
5
Alignment
Assessing the business impact and support of business strategic intentions of the existing IT infrastructure, applications, and services
0
1
2
3
4
5
0
1
2
3
4
5
Establishing the business strategic demand for IT, and then IT’s strategies and plans for the supply of the necessary IT capabilities.
Innovation
Assessing the quality and service levels for existing IT resources, as input to demand/supply planning
Performance Measurement
Measuring IT performance in ways related to the business and its strategic intentions.
Rank 1 s/d 9
Defined Process
Explicitly connecting IT strategies and plans to business strategic intentions.
Repeatable/Intuitive
Demand/ Supply Planning
Instruksi: Pilihlah jenjang yang paling mendekati kenyataan saat ini.
Initial/AdHoc
Keterangan Praktek NIE
Nonexistent
Praktek NIE
27
StrategyTo-BottomLine Value Chain
Connecting the processes doing planning, innovation, prioritization, alignment, and performance measurement with themselves and with the other appropriate company processes.
IT Impact Management
Establishing and achieving IT’s business value proposition.
Portfolio Management Culture Management
0
1
2
3
4
5
0
1
2
3
4
5
Establishing baseline, business value, and performance information for the entire IT investment.
0
1
2
3
4
5
Establishing baseline, business value, and performance information for the entire IT investment.
0
1
2
3
4
5
Managing IT based on business value outcomes.
2.4. IT Portfolio Seiring dengan tuntutan bisnis dari suatu perusahaan, proyek-proyek dan aset-aset IT yang digunakan oleh perusahaan juga akan semakin bertambah banyak dan kompleks. Proyek-proyek maupun aset-aset ini bisa saja berkaitan dengan infrastruktur IT (misalkan pengadaan komputer baru), berkaitan dengan aplikasi (misalkan implementasi sistem informasi CRM), maupun berkaitan dengan layanan-layanan IT (misalkan jasa pemeliharaan infrastruktur IT). Penerapan IT portfolio dan manajemen IT portfolio terhadap proyekproyek dan aset-aset IT dapat membantu terciptanya perencanaan strategis IT yang baik. Salah satu contoh dari tujuan penggunaan IT portfolio dalam perencanaan strategis IT menurut Stenzel (2007) yaitu untuk menghilangkan asetaset yang redundan, dan memberikan pandangan yang jelas mengenai lebih/kurangnya jumlah lisensi aplikasi software, di mana hal ini dapat mengurangi biaya-biaya secara langsung maupun menghindari resiko hukum.
28
Dengan penggunaan IT portfolio, investasi yang tumpang tindih dapat terlihat dengan jelas, sehingga investasi yang redundan dapat dikurangi. Praktek-praktek NIE pun tidak bisa lepas dari peran IT portfolio karena portfolio-portfolio adalah fondasi dari praktek-praktek NIE. IT Portfolio pada praktek NIE akan digunakan sebagai acuan untuk melakukan prioritasisasi, alignment, perencanaan demand/supply, perencanaan inovasi, dan pengukuran kinerja (Benson et al, 2004a). Dengan penggunaan IT portfolio, sumber daya yang ada bisa dioptimalkan untuk proyek-proyek yang memiliki prioritas yang lebih tinggi, dan oleh sebab itu meminimalisasi resiko berupa penggunaan sumber daya untuk aktivitas-aktivitas yang benefitnya yang kecil (Hackos, 2007). Manajemen IT portfolio adalah sebuah perangkat yang dapat membantu perusahaan selama masa perkembangannya yang pesat maupun saat iklim ekonomi sedang tidak bersahabat. Manajemen IT portfolio mendukung perbaikan yang teratur dan mendukung terciptanya konsistensi, keterulangan, dan akuntabilitas (Maizlish et al, 2005).
2.4.1. Siklus Hidup IT Maizlish et al (2005) membagi siklus hidup aset IT ke dalam 3 fase, yaitu fase IT discovery, fase IT project, dan fase IT asset.
Fase IT Discovery Seringkali disebut sebagai bagian awal yang samar-samar, IT discovery phase mengambil tempat saat pengkonsepan dan ide-ide muncul dari riset-riset
29
sederhana. Insiatif-insiatif IT yang ada di fase ini bersifat jangka panjang, lebih beresiko, dan yang lebih memiliki ketidakpastian bila dibandingkan dengan 2 fase lainnya. Fase ini bisa digunakan perusahaan sebagai lokomotif perubahan dan pengembangan bisnis. Inisiatif-inisiatif di fase ini dimasukkan ke dalam IT discovery portfolio.
Fase IT Project Seringkali disebut sebagai pengembangan produk baru, fase ini ditata dengan serangkaian tahap-tahap dalam mengelola siklus hidup proyek-proyek. Investasi di fase ini bisa saja merupakan investasi yang dilakukan untuk memenuhi syarat kewajiban (tuntutan regulasi, keamanan, standar industri). Investasi di fase ini dimasukkan ke dalam IT project portfolio.
Fase IT Asset Fase ini menjelaskan bagian dari siklus hidup IT yang sekarang berada dalam cakupan operasional dan perawatan. Investasi di fase ini digunakan untuk menjalankan bisnis. Investasi di fase ini dimasukkan ke dalam IT asset portfolio.
2.4.2. IT SubPortfolio Maizlish et al (2005) membagi IT portfolio ke dalam beberapa subportfolio. Pembagian IT portfolio menjadi subportfolio-subportfolio dilakukan berdasarkan fase-fase siklus hidup IT. Berikut ini adalah subportfolio-subportfolio tersebut:
30
1. IT discovery portfolio: terdiri atas ide-ide, konsep-konsep, maupun kesempatan-kesempatan yang berhubungan dengan IT. 2. IT project portfolio: terdiri atas proyek-proyek IT yang ada. 3. IT asset portfolio: terdiri atas investasi IT yang sudah menjadi aset dan operasional.
2.5. Prioritasisasi Proyek-Proyek IT Seiring dengan tuntutan bisnis dan perkembangan iklim kompetisi, sekarang ini perusahaan-perusahaan banyak yang beroperasi di dalam lingkungan yang kompleks, dalam pengertian ada beberapa program-program maupun proyek-proyek yang berjalan secara bersamaan. Namun ada kendala umum yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan ini berkaitan dengan situasi di atas. Banyak bisnis tidak memiliki pendekatan yang sistematis saat hendak mengadopsi/menjalankan proyek meskipun sumber daya yang mereka miliki ada batasannya. Akibatnya timbul masalah seleksi proyek, masalah prioritasisasi, dan masalah kriteria batas penerimaan (Syrris, 2009). Salah satu pendekatan sistematis untuk proyek-proyek yang hendak diadopsi ialah dengan praktek prioritasisasi. Benson et al (2004a, pp 141) berpendapat:
“Prioritasisasi yang berlandaskan bisnis ialah suatu perangkat guna mengetahui dampak bottom-line dari proyek-proyek, dan juga untuk menempatkan sumber daya ke proyek-proyek yang paling bernilai tinggi.”
31
Ward et al (2002) menambahkan bahwa pendekatan prioritasisasi yang praktis
dan
konsisten
sangat
penting
artinya
jika
prioritasisasi
ingin
diimplementasikan secara sukses. Salah satu cara untuk melakukan praktek prioritasisasi ialah dengan mencari tahu hubungan sebab-akibat dari inisiatif IT dengan strategic intention dari organisasi (Benson et al, 2004a). Dengan melakukan assessment ini tehadap semua proyek IT, maka kita bisa mendapatkan perbandingan antara satu insiatif/proyek dengan insiatif/proyek lainnya, dan bisa diurutkan sesuai dengan nilai/valuenya bagi tujuan strategis bisnis. Pentingnya suatu proyek untuk bisa memenuhi strategic intention dari organisasi diutarakan oleh Syrris (2009) yang berpendapat jika suatu proyek yang sukses tetapi tidak berkontribusi terhadap pencapaian tujuan, sederhananya proyek tersebut sebenarnya hanya menghabiskan sumber daya saja.
2.6. IT Alignment Melakukan alignment antara IT dengan terhadap bisnis adalah salah satu upaya yang bertujuan agar IT dapat menghasilkan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh bisnis.Ward et al (2002) berpendapat bahwa ada perbedaan antara memiliki hanya memiliki sebuah strategi IS/IT dengan memiliki strategi IS/IT yang memberikan kontribusi terhadap penciptaan nilai/value dari bisnis. Farrell (2003) dalam risetnya menyimpulkan bahwa hasil riset pada beberapa tahun terakhir menemukan bahwa organisasi-organisasi yang melakukan alignment antara IT mereka dengan tujuan korporat, memiliki kinerja keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak melakukannya. Oleh sebab itu ia
32
berpendapat bahwa kesuksesan melakukan IT alignment terhadap tujuan-tujuan korporat menjadi isu yang penting. Konteks mengenai IT alignment ternyata tidak memiliki definisi yang spesifik. Hasil riset yang dilakukan oleh DeLisi et al (2007) mengkonfirmasikan bahwa: 1) Tidak ada definisi mengenai IT alignment yang disepakati secara umum; 2) IT alignment yang optimal sebenarnya merupakan target yang samarsamar dan tidak ada satu bentuk pasti dalam studi tersebut; dan 3) Dalam ketidakhadiran IT alignment yang optimal, beberapa CIO mengadopsi pendekatan-pendekatan yang kreatif yang tampaknya bisa menghasilkan nilai/value bagi perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja. Ward et al (2004) sendiri membagi praktek alignment menjadi 3 bagian, yaitu: 1. Strategic Alignment 2. Internal Alignment 3. Functional Alignment
2.6.1. Strategic Alignment Menitikberatkan pada penyelarasan kumpulan aset-aset IT (aplikasi, infrastruktur, layanan, dan manajemen) terhadap strategic intentions dari bisnis. Pertanyaan mendasar yang diajukan untuk penyelarasan jenis ini ialah seberapa baik portfolio aplikasi, infrastruktur, dan layanan dalam mendukung strategic intentions bisnis dan kebutuhan dari operasional bisnis. Pada gambar 2.6. terdapat ilustrasi yang menampilkan portfolio aplikasi yang diselaraskan/aligned dengan (1) strategic intentions perusahaan, dan (2) proses bisnis perusahaan. Sebagai
33
akibatnya, maka muncullah 6 jenis pengujian di mana masing-masing pengujian memiliki templatenya masing-masing.
Gambar 2.6 Strategic Alignment: 6 Pengujian (Benson et al, 2004a, pp 153)
2.6.2. Internal Alignment Menitikberatkan pada seberapa konsistennya kumpulan aset-aset IT yang satu dengan yang lain (dari kumpulan aset-aset IT berupa aplikasi, infrastruktur, layanan, dan manajemen). Akibatnya timbul pertanyaan mengenai seberapa baiknya infrastruktur IT dan layanan IT dalam mendukung aplikasi. Gambar berikut ini mengilustrasikan praktek Internal Alignment.
34
Gambar 2.7 IT Internal Alignment: 6 Pengujian (Benson et al, 2004a, pp 154)
2.6.3. Functional Alignment Pada prioritasisasi, manajemen menyediakan sumber daya untuk inisiatifinisiatif IT yang diusulkan berdasarkan pertimbangan dampak bottom linenya dan hubungannya ke strategic intentions dari bisnis. Pada banyak perusahaan, sumber daya IT yang didedikasikan untuk aktivitas yang ada biasanya besarnya jauh melebihi inisiatif baru yang hendak dikerjakan. Alokasi sumber-sumber daya ini jarang ditelaah kembali untuk melihat kesinambungan kontribusi terhadap bisnis (Benson et al, 2004a). Functional alignment melanjutkan pengujian ini dengan memperhatikan perihal kualitas, service level, intensitas penggunaan, dan teknologi.
35
2.7. Key Performance Indicator (KPI) Kapabilitas organisasi IT tentunya memiliki korelasi dengan kinerja perusahaan di mana organisasi IT tersebut bernaung. Terdapat sebuah korelasi yang tinggi antara kapabilitas IT dan pertumbuhan profit bisnis. Perusahaanperusahaan yang membangun sistem IT dengan kapabilitas tinggi ternyata bertumbuh lebih cepat daripada perusahaan yang tidak melakukannya, dan dilakukan sembari meningkatkan pendapatan dan profit mereka (Robb, 2005). Kapabilitas IT tentunya harus bisa diukur. Ternyata pengukuran memiliki hubungan erat dengan indikator-indikator. Fiorenzo et al, (2007) menyatakan bahwa semua perusahaan, semua aktivitas, semua pekerja membutuhkan indikator-indikator. Indikator mengejawantahkan aktivitas pengukuran secara mendasar (mengevaluasi seberapa baiknya kita
melakukan suatu hal),
mengedukasi (karena apa yang kita ukur pastilah sesuatu yang dianggap penting; apa yang kita ukur mengindikasikan bagaimana cara kita memberikan nilai/value kepada pelanggan), dan mengarahkan (masalah-masalah potensial dikenali dengan adanya beda nilai antara indikator dengan tujuan/target). Berkaitan dengan pengukuran kinerja yang menggunakan indikator, Parmenter (2007) berpendapat bahwa terdapat 3 macam pengukuran kinerja, di antaranya: 1. Key Result Indicator (KRI), yang memberitahu Anda bagaimana pencapaian kerja Anda berdasarkan suatu perspektif tertentu. 2. Performance Indicator (PI) yang memberitahu Anda apa yang harus Anda lakukan.
36
3. Key Performance Indicator (KPI) yang memberitahu Anda apa yang harus Anda lakukan untuk meningkatkan kinerja secara dramatis.
Hubungan antara ketiga model ini bisa diibaratkan seperti penampang irisan bawang, seperti yang digambarkan pada gambar berikut ini.
Gambar 2.8 Tiga Jenis Pengukuran Kinerja (Parmenter, 2007, pp 2)
2.7.1. Key Result Indicators (KRI) Parmenter (2007) mengutarakan bahwa seringkali KRI disalah artikan sebagai KPI. Beberapa contoh KRI di antaranya: •
Kepuasan pelanggan
•
Keuntungan sebelum pajak
•
Profitabilitas pelanggan
•
Kepuasan karyawan
37
Terdapat karakteristik yang umum dari KRI. Kesemuanya merupakan hasil dari banyak aksi, dan dapat memberikan gambaran yang jelas apakah arah yang ditempuh sudah tepat. KRI tidak menginformasikan perihal-perihal yang harus dilakukan untuk memperbaiki/meningkatkan hasil-hasil tadi. Oleh karena itu informasi dari KRI tepat untuk para dewan direksi yang tidak terlibat dalam manajemen keseharian (Parmenter, 2007).
2.7.2. Key Performance Indicators (KPI) KPI merepresentasikan sekumpulan ukuran yang berfokus pada aspekaspek dari kinerja organisasi yang sangat kritis untuk tercapainya sukses masa kini dan masa mendatang suatu organisasi. Terdapat 7 karakteristik KPI (Parmenter, 2007), yaitu: 1. Pengukurannya non-finansial (tidak diekspresikan dalam bentuk Rupiah, Dollar, Yen, dan lainnya) 2. Diukur secara berkala (misalkan harian atau bulanan) 3. Ditindaklanjuti oleh CEO dan tim manajemen senior 4. Pemahaman akan pengukuran dan tindakan korektif harus dimengerti oleh semua staf 5. Mengikatkan setiap tanggung jawab ke individual atau tim tertentu 6. Ada dampak signifikannya (misalkan mempengaruhi sebagian besar dari CSF (Critical Success Factor) inti dan lebih dari satu perspektif Balanced Scorecard 7. Ada dampak positifnya (misalkan mempengaruhi semua pengukuran kinerja lainnya secara positif)
38
2.8. Anggaran IT dan Tata Kelola Biaya IT Anggaran
diciptakan
untuk
mendukung
manajemen
fiskal
dan
menciptakan kejelasan terhadap pembelanjaan yang akan dilakukan sehingga target-target finansial bisa dikomunikasikan dengan para shareholder dan stakeholder. Anggaran perusahaan sendiri adalah bagian dari siklus tahunan perencanaan bisnis. Anggaran IT adalah subset/bagian dari anggaran korporat secara keseluruhan. Hal-hal yang terkandung di dalam anggaran IT antara lain estimasi dari pengeluaran operasional IT dan pengeluaran kapital/capital expenditure IT (Baschab et al, 2007). Salah satu fungsi anggaran yaitu untuk menghadirkan kontrol terhadap pengeluaran selama berjalannya tahun. Manajemen akan membandingkan hasil aktual(realisasi anggaran) dengan perkiraan anggaran, lalu memberikan perhatian terhadap selisih anggaran yang mencolok. Selisih anggaran yang besar bisa saja mengindikasikan adanya permasalahan di dalam operasional atau manajemen, atau asumsi-asumsi yang digunakan di dalam anggaran ternyata sudah berubah. Pada kasus apapun, selisih anggaran akan memicu investigasi (Baschab et al, 2007).
2.8.1. Perbedaan Antara Belanja IT Perusahaan Dengan Anggaran Departemen IT Menurut Baschab et al (2007), pembelanjaan perusahaan di IT meliputi elemen-elemen berikut ini: •
Pengeluaran operasional/operational expenses. Ialah jumlah yang dikeluarkan untuk operasional IT hari per hari di dalam anggaran korporat.
39
•
Belanja modal/capital expenses. Biaya akuisisi untuk aset tetap baru dan proyek jangka panjang
•
Layanan IT dan outsourcing. Pengeluaran untuk layanan teknologi eksternal (konsultasi IT, layanan riset, hosting, dan lainnya)
•
LitBang/R&D. Fungsi-fungsi yang berkaitan dengan penciptaan teknologi (inkubasi produk baru, ekesperimen).
•
Produk baru dan teknologi. Biaya pasca litbang untuk implementasi produk baru dan teknologi baru.
•
Gaji dan benefit untuk staf IT
•
Aplikasi.
Termasuk
di
dalamnya
biaya-biaya
implementasi
dan
penyempurnaan sistem aplikasi yang menunjang sistem bisnis yang ada sekarang. •
Perawatan dan administrasi. Biaya untuk fungsi-fungsi yang dijalankan oleh staf IT dan biaya dasar/baseline cost untuk menjalankan dan merawat sistem.
Di sisi lain, anggaran operasional bagi departemen IT meliputi: •
Pengeluaran untuk operasional IT. Hal ini tidak termasuk pembelanjaan IT yang didanai oleh unit bisnis lain.
•
Biaya implementasi untuk aplikasi dan teknologi baru (selama mereka diimplementasikan di departemen IT).
•
Pengeluaran departemen IT (misalkan gaji personil dan benefit, pembelian software, layanan eksternal).
40
•
Dukungan terhadap aplikasi seperti biaya penyempurnaan sistem aplikasi dan biaya untuk dukungan untuk hal tersebut.
•
Perawatan dan administrasi: Biaya untuk fungsi-fungsi yang dijalankan staf IT dan baseline cost untuk menjalankan dan merawat infrastruktur sistem.
2.8.2. Komponen Utama Dari Anggaran IT Baschab et al (2007) mengelompokkan komponen-komponen utama dari anggaran IT pada tabel berikut ini.
Tabel 2.5 Komponen-Komponen Kunci Dari Anggaran IT (Baschab et al, 2007, pp 498) KOMPONEN ANGGARAN Hardware
Software
Biaya pekerja (personil internal)
Penyedia layanan eksternal
Data dan komunikasi
Lain-lain
KETERANGAN • Termasuk di dalamnya semua pembelanjaan hardware non kapital • Termasuk depresiasi dari aset hardware kapital
• Termasuk di dalamnya semua pembelanjaan software non kapital • Termasuk depresiasi dari aset software kapita
• Termasuk di dalamnya gaji dan benefit dari semua personil IT yang tidak termasuk di dalam anggaran kapital
• Termasuk di dalamnya semua biaya untuk penyedia layanan eksternal, seperti biaya konsultasi, biaya audit security, kontraktor IT
• Termasuk di dalamnya biaya untuk layanan infrastruktur jaringan, koneksi WAN, manajemen LAN, telpon seluler untuk staf, dan lainlainnya. • Bisa juga termasuk biaya dari komunikasi suara
Semua pengeluaran lainnya dimasukan ke dalam kategori ini, seperti pelatihan, biaya perekrutan, biaya legal, dan lain-lain.
41
2.8.3. Pemicu Utama Biaya Adapun pemicu-pemicu utama menurut Baschab et al (2007) antara lain:
Tabel 2.6 Pemicu Utama Biaya (Baschab et al, 2007, pp 511) DRIVER
KETERANGAN
Kompleksitas dari lingkungan infrastruktur
• Kompleksitas infrastruktur meningkatkan biaya support secara dramatis; hal ini juga memicu biaya tak terduga karena sulitnya mengatur lingkungan yang kompleks. • Karakteristiknya termasuk hadirnya beberapa platform yang berbeda. • Menciptakan faktor resiko di dalam anggaran dan biaya untuk merasionalisasi lingkungan tersebut.
Pertumbuhan pendapatan
• Pertumbuhan pendapatan akan menyebabkan peningkatan biaya untuk mendukung bisnis termasuk penambahan kapasitas server, penambahan biaya untuk dukungan enduser, aplikasi baru untuk dukungan pelanggan, dan lainnya. • Semakin meningkatnya pendapatan maka semakin tinggi pula tuntutan tyerhadap IT.
Penambahan/pengurangan jumlah karyawan
• Penambahan/pengurangan jumlah end-user akan memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran IT • Penambahan karyawan akan memicu kebutuhan belanja PC dan juga file server dan print server, juga termasuk lisensi software. • Pengurangan karyawan tentunya akan mengurangi tuntutan akan hal-hal di atas.
Iklim bisnis yang sedang tidak kondusif
• Bergantung pada sektor di mana perusahaan berkompetisi, organisasi akan merasakan akibat dari resesi dalam hal pertumbuhan sales yang semakin kecil, atau bahkan penurunan sales. • Dalam masa resesi, CIO seharusnya menyiapkan pemotongan anggaran dan pemotongan belanja. Mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari dengan memprioritaskan belanja dan proaktif dalam membuat penyesuaian sangat dianjurkan.
Akuisisi
• Akuisisi memicu integrasi IT yang besar jika akuisisi tersebut hendak digabungkan ke dalam bisnis utama • Akuisisi akan memicu biaya integrasi sistem IT, lisensilisensi end-user, dan standarisasi platform operasional. • Bisa juga termasuk biaya dari komunikasi suara
Lain-lain
• Semua pengeluaran lainnya dimasukan ke dalam kategori ini, seperti pelatihan, biaya perekrutan, biaya legal, dan lainlain.
42
2.9. Change Management Organisasi bisa dijabarkan sebagai sebuah sistem yang kompleks yang terdiri
dari
orang-orang,
proses-proses,
teknologi,
bahan-bahan
baku,
prosedur/cara kerja, dan struktur. Suatu perubahan yang terjadi di suatu area dalam organisasi akan menimbulkan riak perubahan pula di sisi sisi lainnya dari organisasi tersebut. Harrington et al (2000) berpendapat bahwa ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tata kelola perubahan, yaitu: 1. Area resiko dari perubahan strategis/strategic change risk areas 2. Area resiko dari perubahan taktis/tactical change risk areas
2.9.1. Strategic Risk Areas Dalam kondisi perubahan strategis, hal-hal yang harus diperhatikan, di antaranya (Harrington et al, 2000): 1. Resilience, yaitu kemampuan dari inidividu dan tim untuk menyerap perubahan. Hal yang tercakup di dalamnya antara lain kemampuan untuk menyerap perubahan yang dampaknya signifikan sembari menampilkan perilaku yang minimum terhadap perubahan kualitas dan produktivitas. 2. Change
knowledge,
yaitu
pengetahuan
mengenai
konsep-konsep
perubahan itu sendiri. Tercakup di dalamnya ialah pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana perubahan akan terjadi di organisasi dan terhadap inidividu di dalamnya. 3. Mengelola sumber daya adaptasi, yaitu perihal di mana keputusankeputusan akan perubahan juga memperhatikan/ mempertimbangkan
43
penggunaan yang efisien akan sumber daya adaptasi yang ada. Hal ini mencakup penyelarasan dari perubahan-perubahan yang ada, baik yang sedang direncanakan dan yang sedang berjalan, dengan sumber daya yang tersedia untuk menjalankan perubahan tersebut. 4. Membangun
arsitektur
implementasi,
tencakup
di
dalamnya
penggunaan kerangka kerja yang terstruktur namun fleksibel yang menggunakan konsep, teknik, dan perangkat-perangkat yang berkaitan dengan implementasi perubahan.
2.9.2. Tactical Risk Areas Dalam kondisi perubahan taktis, hal-hal yang harus diperhatikan di antaranya (Harrington et al, 2000): •
Komitmen dari sponsor
•
Resistansi dari target perubahan
•
Penyelarasan secara kultural
•
Kemampuan dari agen-agen perubahan yang ada Komunikasi
mutlak
dilakukan
untuk
meningkatkan
kemungkinan
suksesnya perubahan-perubahan yang dilakukan. Broadbent (2005) mengusulkan tiga area di mana komunikasi terhadap perubahan dilakukan secara top-down: •
Mengartikulasikan nilai IT kepada dan direksi dan shareholder organisasi.
•
Mengidentifikasi dan melaporkan indikator-indikator nilai/value dari IT yang berkaitan dengan nilai/value dari bisnis
•
Menciptakan pengukuran kinerja IT yang efektif, dan dalam bahasa yang relevan dengan bisnis.
44
2.10. IT Infrastructure Library (ITIL) Saat ini penggunaan teknologi informasi sudah menjadi tuntutan umum bagi hampir semua organisasi. Tidak jarang pula teknologi informasi bisa menjadi faktor penentu kekompetitifan dari suatu organisasi, asalkan dalam penerapannya bisa menghindari resiko yang mungkin muncul, ada visinya, dieksekusi dengan baik, dan bisa direspon dengan cepat (Applegate et al, 2007). Sistem informasi diharapkan mampu merespon dengan gesit terhadap kehadiran
dari
mendemonstrasikan
kesempatan-kesempatan
bisnis
yang
baru,
untuk
manajemen finansial yang bertanggung jawab, dan
memuaskan pelanggan internal seperti staf dan manajemen maupun pelanggan eksternal melalui sistem-sistem online. Tingkat pelayanan ini hanya bisa dicapai melalui komunikasi yang efektif antara IT dengan lini-lini bisnis yang ada (Pollard et al, 2009). Kemudian muncul suatu strategi manajemen layanan IT yang dinamakan sebagai IT Service Management (ITSM), yang mana sistem informasi ditawarkan kepada pelanggan dalam suatu ikatan kontrak dan kinerjanya dikelola sebagai sebuah layanan. Pollard et al (2009) juga menyatakan bahwa ITSM memberikan benefit nyata bagi organisasi IT dengan menjadikannya lebih bersifat adaptif, fleksibel, efektif secara biaya, dan berorientasi terhadap layanan. ITSM mendorong perubahan yang fundamental di dalam organsiasi IT termasuk di antaranya proses-proses di dalamnya, aset-set teknologi, vendor-vendor, pengerahan personil, dan bagaimana staf IT bisa memahami peran mereka secara organisasi. Addy (2007) menambahkan bahwa definisi dari IT Service Management ialah:
45
“IT Service Management adalah penggunaan yang terrencana dan terkendali dari aset-aset IT (termasuk di dalamnya sistem, infrastruktur, dan peralatan/tool), orang-orang, dan proses-proses untuk mendukung kebutuhan operasional dari bisnis secara efisien sembari memastikan bahwa organisasi tetap memiliki kemampuan untuk bereaksi secara cepat dan efektif terhadap hal-hal yang di luar perencanaan, situasi yang berubah, dan kebutuhan bisnis baru, dan di sisi lain juga secara terus menerus mengevaluasi proses-proses tersebut dan kinerjanya guna mengidentifikasi
dan
mengimplementasi
kesempatan-kesempatan
untuk
perbaikan/peningkatan.”
Salah satu kerangka kerja yang cukup umum digunakan dalam manajemen layanan IT adalah Information Technology Infrastructure Library (ITIL). Menurut Addy (2007) standar dapat menciptakan pemahaman bersama akan sesuatu hal yang memungkinkan pihak-pihak yang berbeda untuk menyampaikan sesuatu dalam sebuah keseragaman. Hal ini memungkinkan sebuah benda menjadi komoditas sehingga prinsip ekonomi pasar bebas bisa diterapkan dan pengurangan biaya bisa dicapai untuk barang-barang yang memiliki standar tersebut. ITIL adalah suatu standar yang pada awalnya dikembangkan untuk digunakan oleh Pemerintah Inggris. Seiring perkembangannya ITIL bisa menjadi panduan untuk perbaikan proses bagi para profesional-profesional di bidang IT dalam membangun fondasi yang kokoh dalam mencapai kesempurnaan layanan/service excellence sembari memenuhi persyaratan/batasan dari anggaran dan regulasi. ITIL terdiri dari kumpulan pendekatan-pendekatan yang masuk akal
46
secara umum terhadap manajemen layanan, yaitu mengadaptasi kerangka kerja bersama atas praktek-praktek yang menyatukan semua area dari semua layanan IT terhadap satu tujuan yaitu memberikan value/nilai kepada bisnis. Daftar berikut ini mendefinisikan karakteristik utama dari ITIL (Office of Government Commerce, 2007): •
Tidak terikat/Non proprietary Praktek-parktek manajemen layanan ITIL dapat diaplikasikan ke dalam organisasi IT apapun karena tidak berlandaskan teknologi/platform apapun atau tipe industri tertentu. ITIL dimiliki oleh Pemerintah Inggris dan tidak terikat dengan praktek-praktek komersial atau solusi tertentu.
•
Tidak bersyarat/Non-prescriptive ITIL menawarkan praktek-praktek yang matang, kuat, dan teruji oleh waktu dan memiliki aplikabilitas terhadap semua jenis organsiasi berbasis layanan. ITIL tetap berlanjut menjadi sesuatu yang memiliki kegunaan dan tetap relevan baik di sektor publik maupun privat, untuk penyedia layanan internal dan eksternal, perusahaan besar, menengah, dan kecil, dan di dalam lingkungan teknis apapun.
•
Praktek terbaik/Best practice Manajemen layanan ITIL merupakan pengejawantahan dari pengalaman belajar dan pemikiran-pemikiran terkemuka dari penyedia layanan terbaik di muka bumi ini.
•
Praktek yang baik/Good practice Tidak semua praktek pada ITIL dapat dikategorikan sebagai 'best practice'. Untuk banyak kasus, perpaduan dari praktek-praktek yang terbaik, praktek
47
yang baik, dan praktek yang umum adalah sesuatu yang memberikan pengertian dalam perihal ketercapaian/achievability terhadap ITSM. Semua best practice pada ujung-ujungnya akan menjadi praktek yang umum, digantikan oleh praktek terbaik yang lebih baru.
Siklus hidup layanan ITIL memiliki 5 elemen yang dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2.9 ITIL Service Lifecycle (Office of Government Commerce, 2007, pp 19)
2.11. IT Governance Perusahaan-perusahaan mengelola banyak aset seperti orang-orang di dalamnya, uang, gedung/fasilitas, dan hubungan dengan pelanggan mereka.
48
Selain hal-hal tadi, informasi dan teknologi yang mengumpulkan, menyimpan, dan menyampaikan informasi juga termasuk aset yang dikelola oleh perusahaanperusahaan – dan bisa jadi merupakan aset-aset yang paling membingungkan. Kebutuhan bisnis terus menerus berubah, sementara sistem, setelah ditempatkan, biasanya relatif stabil/tidak berubah. Menurut penelitian Weill et al (2004), perusahaan-perusahaan yang berkinerja sangat baik mendapatkan hasil balik dari investasi IT mereka lebih besar 40 persen dibandingkan dengan kompetitor mereka karena perusahaanperusahaan ini meraih sukses karena mereka mengimplementasikan IT governance yang efektif dalam mendukung strategi mereka. Weill et al (2004) mendefinisikan IT governance sebagai berikut:
“Menentukan kerangka kerja untuk hal-hak pengambilan keputusan dan akuntabilitas demi mendukung perilaku yang diharapkan dalam perihal penggunaan IT/use of IT.”
IT Governance Institute (ITGI) di situsnya menyatakan bahwa proses IT governance bermulai dari menentukan tujuan dari IT perusahaan dan menyediakan arahan awal. Berikutnya sebuah siklus yang berkelanjutan akan dijalankan, yaitu: kinerja yang diukur dan dibandingkan dengan tujuan. Dari sini akan didapatkan hasil berupa perubahan arah dari aktivitas-aktivitas dimana diperlukan, dan perubahan tujuan jika memang harus dilakukan. Proses IT governance ini dapat dilihat pada gambar berikut ini:
49
Gambar 2.10 Proses IT Governance menurut ITGI (IT Governance Institute/ITGI, 2010)
2.12. IT Profit Model Dalam banyak organisasi, jurang pemisah antara manajemen bisnis dan manajemen IT bisa menghambat komunikasi dan kerjasama yang efektif. Para manajer IT cenderung berfokus pada hal-hal yang bersifat detil teknis, dan tidak bisa dipahami oleh kebanyakan manajer-manajer senior lainnya. Pada kasus tersebut manajer-manajer IT tidak berbicara dalam bahasa bisnis. Sebagai akibatnya CEO dan para manajer yang lain berpaling kepada ukuran finansial dalam melakukan hubungan dengan hal-hal seputar IT (Benson et al, 2004a). Hal-hal ini sebenarnya bisa dihindari jika para manajer bisnis mengerti akan peran IT terhadap profitabilitas, dan manajer IT mampu berbicara dengan bahasa bisnis kepada para manajer-manajer lain tersebut. Di sinilah fungsi IT Profit Model yang bisa menggambarkan hubungan antara IT dengan profitabilitas
50
perusaahaan. Benson et al (2004b) mengusulkan empat hal yang harus dipenuhi dalam menyusun IT Profit Model, yaitu: 1. Mengaplikasikan IT Profit Model yang cukup sederhana yang bisa diterima/dipahami oleh para manajer-manajer bisnis 2. Menyadari bahwa IT terdiri atas beberapa hal yang berlainan, dan tidak mungkin satu IT Profit Model bisa menjelaskan kesemuanya 3. Bergantunglah kepada manajer-manajer bisnis dalam pengembangan dan aplikasi IT Profit Model 4. Mengembangkan proyek-proyek yang tepat
Salah satu bentuk hubungan antara IT dengan profitabilitas dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2.11 IT Profit Model (Benson et al, 2004b, pp 22)
51
Benson et al (2004b) juga menyatakan bahwa IT Profit Model dapat dibangun dengan memecah-mecah IT ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil (misalkan portfolio aplikasi, portfolio proyek, portfolio infrastruktur) dan mengaplikasikan profit model ke setiap komponen-komponen tersebut.
Pembahasan mengenai IT Profit Model menutup bab II dari tesis ini. Bab III dari tesis ini akan menjabarkan metodologi penyusunan IS Strategic Planning untuk CNI Indonesia dan landasan-landasan pemikiran dari metodologi yang digunakan.