BAB II LANDASAN TEORI A. SIKAP 1. Definisi Sikap Kata attitude berasal dari bahasa Latin yaitu aptus. Kata ini memiliki arti fit dan siap untuk aksi. Jika mengacu pada definisi ini, maka sikap merupakan sesuatu yang dapat langsung diobservasi. Namun saat ini, para ahli melihat sikap sebagai sebuah konstruk yang mengawali perilaku dan sebagai panduan individu dalam membuat pilihan dan keputusan untuk melakukan tindakan (Hogg & Vaughan, 2002). Alport (dalam Hogg & Vaughan, 2002) mendefinisikan sikap sebagai suatu kesiapan mental yang terorganisir melalui pengalaman, menggunakan arahan atau pengaruh yang dinamis terhadap respon individu pada semua objek maupun situasi yang berhubungan. Sikap merujuk pada evaluasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap berbagai aspek yang ada di dunia sosial dan bagaimana evaluasi tersebut dapat memunculkan rasa suka atau tidak suka seseorang terhadap sebuah isu, ide, seseorang, kelompok sosial dan objek yang dievaluasi (Baron & Byrne, 2004). Three component model menyebutkan bahwa sikap mengekspresikan kepercayaan, perasaan dan tindakan terhadap suatu objek sikap. Seseorang
Universitas Sumatera Utara
mempunyai sikap yang positif terhadap suatu objek ketika kepercayaan, perasaan dan prilaku mereka menunjukkan bahwa mereka memihak atau favorability terhadap objek, sebaliknya seseorang mempunyai sikap negatif terhadap objek ketika kepercayaan, perasaan dan perilaku mereka menunjukkan mereka tidak berpihak atau unfavorability terhadap objek (Zanna & Rample dalam Weiner, 2003). Menurut three-component attitude model, sikap terdiri dari 3 hal yaitu kognitif, afektif dan konatif. Perlu ditekankan bahwa definisi ini tidak hanya meliputi 3 komponen tetapi juga menekankan bahwa (Hogg & Vaughan, 2002): a. Sikap merupakan sesuatu yang relatif permanen, sikap bertahan dari waktu ke waktu dan situasi. b. Sikap terbatas pada kejadian atau benda yang penting secara sosial. c. Sikap dapat digeneralisasikan dan terlibat dalam abstraksi. Azwar
(2010)
dalam
bukunya
yang
berjudul
Sikap
Manusia
menggolongkan definisi sikap kedalam tiga kerangka pemikiran. Pertama, sikap merupakan suatu bentuk evaluasi atau reaksi dari perasaan. Sikap dapat berupa perasaan memihak (favorable) ataupun perasaan tidak memihak (unfavorable) terhadap suatu objek. Kedua, sikap adalah suatu kesiapan untuk memberikan reaksi kepada sebuah objek dengan cara-cara tertentu. Ketiga, sikap mengacu pada skema tiadik (triadic scheme), yaitu konstelasi dari komponen kognitif, afektif dan konatif yang berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah bentuk evaluasi perasaan dan kecenderungan untuk bereaksi secara positif atau negatif yang relatif permanen yang merupakan hasil interaksi dari komponen kognitif, afektif dan konatif. 2. Komponen Sikap Menurut skema triadik, sikap terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen kognitif (cognitive), afektif (affective), dan konatif (conative) (Taylor, Peplau, & Sears, 2009) . a. Komponen Kognitif Komponen kognitif terdiri dari pemikiran seseorang tentang sebuah objek tertentu. Komponen kogtitif juga meliputi fakta, pengetahuan dan kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap apa yang benar dan apa yang berlaku pada objek sikap. Ketika kepercayaan ini telah terbentuk, maka kepercayaan ini akan menjadi dasar pengetahuan yang diyakini oleh seseorang tentang apa yang dapat diharapkan dari sebuah objek tertentu. Kepercayaan inilah yang menyederhanakan dan mengatur apa yang kita lihat dan temui dalam hidup kita. b. Komponen Afektif Komponen afektif terdiri dari emosi dan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap suatu stimulus, khususnya evaluasi positif dan negatif. Komponen afektif meliputi masalah sosial subjektif yang dirasakan oleh seseorang kepada suatu objek sikap. Menurut Azwar (2010), secara umum, komponen afektif ini sering
Universitas Sumatera Utara
disamakan dengan perasaan pribadi yang dimiliki oleh seseorang pada sesuatu. Namun, perasaan pribadi yang dimiliki oleh seseorang itu terkadang jauh berbeda jika dihubungkan dengan sikap. Secara umum, reaksi emosional yang merupakan komponen afektif banyak dipengaruhi oleh sebuah kepercayaan mengenai sesuatu yang benar dan berlaku terhadap objek yang dimaksud. c. Komponen Konatif atau Perilaku Komponen konatif atau perilaku merupakan tendensi atau kecenderungan untuk melakukan tindakan tertentu yang berhubungan dengan objek sikap. Komponen ini menunjukkan bagaimana kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap sebuah objek sikap yang dihadapinya. Azwar (2010) dalam bukunya menyatakan bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap objek sikap cenderung konsisten dan juga sesuai dengan kepercayaan dan perasaan yang akan membentuk sikap individu. Oleh karenanya, sangat masuk akal apabila kita mengharapkan bahwa sikap seseorang akan dicerminkan atau dimunculkannya dalam bentuk tendensi perilaku terhadap objek sikap tersebut. 3. Faktor yang Mempengaruhi Sikap Azwar
(2010)
dalam
bukunya
yang
berjudul
Sikap
Manusia
menyimpulkan bahwa ada enam hal yang dapat mempengaruhi sikap seseorang, yaitu: a. Pengalaman pribadi Apa saja yang telah dan sedang dialami oleh seorang individu akan memiliki kontribusi dalam membentuk dan mempengaruhi penghayatannya terhadap
Universitas Sumatera Utara
stimulus sosial. Middlebrook (dalam Azwar, 2010) mengatakan bahwa ketika seorang individu tidak memiliki pengalaman sama sekali terhadap objek sikap maka orang tersebut akan cenderung memiliki sikap yang negatif terhadap objek sikap tersebut. Agar pengalaman dapat dijadikan dasar dalam pembantukan sikap, pengalaman tersebut harus sangat kuat dan meninggalkan kesan yang cukup kuat. Sikap lebih mudah terbentuk jika pengalaman pribadi yang terjadi ikut melibatkan faktor emosional dari individu itu sendiri. Namun, pembentukan sikap dari pengalaman pribadi ini tidaklah sederhana, dimana satu pengalaman tunggal belum tentu dijadikan dasar dalam pembentukan sikap. Namun beberapa pengalaman yang dialami oleh individu yang bersifat relevan dan bisa saja terjadi di masa lalu yang mungkin dapat membentuk sikap. b. Pengaruh orang yang dianggap penting Sikap juga dapat dipengaruhi oleh significant others, yaitu orang-orang yang dianggap penting dan memiliki arti khusus pada seorang individu. Secara umum, individu akan lebih cenderung untuk memilih sikap yang sesuai atau searah dengan significant others yang dianggapnya penting. Hal ini dapat dikarenakan adanya motivasi untuk berafiliasi dengan orang tersebut ataupun dilakukan dikarenakan individu tersebut berusaha menghindari konflik yang mungkin terjadi antara dia dan orang yang dianggapnya penting. c. Pengaruh kebudayaan
Universitas Sumatera Utara
Disadari ataupun tidak, sikap seorang individu dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan kebudayaan ditempat ia tinggal. Kebudayaan menanamkan bagaimana arah sikap seorang individu terhadap barbagai macam masalah.
d. Media massa Media massa, seperti televisi, surat kabar, radio, dan sejenisnya, juga berpengaruh besar terhadap sikap. Dalam penyampaian informasi sebagai tujuan utamanya, media masa juga membawa pesan yang bersifat sugesti yang mungkin mengarahkan opini seseorang. e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama Lembaga pendidikan dan lembaga agama merupakan pendidikan dasar yang meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Konsep moral dan ajaran agama sangat berperan penting dalam membentuk kepercayaan yang dirasakan oleh individu tersebut. Hal ini juga dapat membentuk dan menentukan arah sikap pada seorang individu terhadap objek sikap. f. Pengaruh faktor emosional Sikap tidak hanya ditentukan oleh faktor lingkungan saja, namun sikap dapat juga dipengaruhi oleh faktor emosional dari diri individu itu sendiri. Terkadang sikap didasari oleh emosi yang dimiliki oleh individu itu sendiri. Dimana emosi itu dapat juga membentuk arah sikap pada seseorang. 4. Hubungan Sikap dan Perilaku
Universitas Sumatera Utara
Terkadang sebuah perilaku muncul dikarenakan sikap tertentu dan terkadang tidak berhubungan dengan sikap tersebut. Sikap akan mempengaruhi perilaku yang ditampilkan seseorang ketika sikap memiliki konsistensi yang tinggi dengan perilaku tersebut. Konsistensi antara perilaku dan sikap akan menjadi tinggi ketika sikap yang dimiliki seseorang sangat kuat, stabil, menonjol, dapat diakses, memiliki relevansi dengan perilaku, berasal dari pengalaman langsung dan hanya sedikit saja tekanan situasi yang bertentangan terlibat dalam perilaku yang mendukung sikap tersebut (Baron & Byrne, 2004; Taylor, Peplau & Sears; 2009). Ajzen dan Fishben mengemukakan sebuah model tindakan beralasan (Theory of Reasoned Action) yang mengatakan bahwa sebuah perilaku yang muncul akan ditentukan oleh sikap terhadap perilaku dan oleh norma-norma subjektif terhadap perilaku tersebut. Menurut teori ini perilaku merupakan hasil dari proses pertimbangan konsekuensi yang dialami dan mengevaluasi hasil dari setiap tingkah laku, yang kemudian dibuatlah sebuah keputusan untuk bertindak atau tidak. (Ajzen & Fishbein, 1975; Baron & Byrne, 2004; Taylor, Peplau, & Sears, 2009; Azwar, 2010). Hasil Meta Analisis yang dilakukan Wismanto (2011) pada 31 penelitian mengenai sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 95% dari hasil meta analisis tersebut menunjukkan hubungan yang signifikan antara sikap dan perilaku. Dikarenakan sikap dapat mempengaruhi perilaku seseorang, maka sikap penting untuk dipelajari dan dipahami untuk membantu kita dalam memprediksi perilaku orang tersebut dalam konteks luas (Baron & Byrne, 2004).
Universitas Sumatera Utara
5. Pengukuran Sikap Salah satu aspek yang penting untuk kita dalam berusaha memahami sikap dan perilaku manusia adalah dengan cara mengungkapkan (assessment) dan juga pengukuran (measurement) terhadap sikap itu sendiri. Ada berbagai macam metode dan teknik yang telah dikembangkan selama ini oleh para ahli yang bertujuan untuk mengungkapkan sikap manusia dan memberikan intervensi yang valid. Metode ini terus berkembang dari metode-metode langsung yang sederhana hingga metode-metode yang lebih kompleks sejalan dengan perkembangan konsep mengenai sikap dan juga perkembangan ilmu psikometri sebagai dasar metode pengukuran dalam ilmu psikologi. Salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap manusia adalah masalah pengukuran sikap. Metode pengungkapan sikap dalam bentuk self-report hingga kini dianggap sebagai metode yang paling dapat diandalkan. Metode ini menggunakan daftar pernyataan-pernyataan yang harus dijawab oleh individu yang disebut sebagai skala sikap. Skala sikap merupakan kumpulan pernyataan-pernyataan mengenai suatu objek sikap. Dari respon subjek pada setiap pernyataan itu kemudian dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas sikap seseorang. Salah satu sifat skala sikap adalah isi pernyataannya yang dapat berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan ukurnya, akan tetapi dapat pula berupa pernyataan langsung yang kurang jelas tujuan ukurnya bagi responden. Respon individu terhadap stimulus (pernyataan-pernyataan) sikap yang berupa jawaban setuju atau tidak setuju itulah yang menjadi indikator sikap seseorang (Azwar, 2010).
Universitas Sumatera Utara
B. WILAYATUL HISBAH 1. Definisi Wilayatul Hisbah Wilayatul Hisbah (WH) didefinisikan dalam Qanun No 11 Tahun 2004 tentang kepolisian, dalam pasal 1 angka 8, yaitu: “Wilayatul Hisbah adalah Lembaga Pembantu tugas Kepolisian yang bertugas membina, melakukan advodkasi, dan mengawasi pelaksanaan amar makruf nahi mungkar dan dapat berfungsi sebagai Polsus dan PPNS” (dalam Abubakar, 2005).
2. Tugas Wilayatul Hisbah Adapun mengenai tugas yang diemban oleh Wilayatul Hisbah (WH) tertulis dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2004, dalam pasal 4, menyebutkan: 1. Wilayatul Hisbah mempunyai tugas: a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam; b. Melakukan pembinaan dan advokasi spritual terhadap setiap orang yang berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam; c. Pada saat tugas pembinaan mulai dilakukan, muhtasib perlu memberitahu hal itu kepada Penyelidik atau kepada Keuchik/Kepala Gampong dan keluarga pelaku; d. Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam kepada penyelidik.
Universitas Sumatera Utara
2. Pelaksanaan tugas pengawasan yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 huruf a meliputi: a. Memberitahu kepada masyarakat tentang adanya peraturan perundangundangan di bidang Syari’at Islam; b. Menentukan adanya perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan Syariat Islam; 3. Pelaksanaan tugas pembinaan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1 huruf b meliputi: a. Menegur, memperingatkan dan menasehati seseorang yang patut diduga telah melakukan pelanggaran ketentuan Syari’at Islam; b. Berupaya untuk menghentikan kegiatan/peraturan yang patut diduga telah melanggar peratuan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam; c. Menyelesaikan perkara pelanggaran tersebut melalui Rapat Adat Gampong; d. Memberitahukan pihak terkait tentang adanya dugaan telah terjadi penyalahgunaan izin penggunaan suatu tempat atau sarana. 3. Kewenangan Wilayatul Hisbah Menurut Abubakar (2005), Wilayatul Hisbah sebagai lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan meyakinkan advodkasi terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam memiliki beberapa wewenang, yaitu sebagai berikut: a. Masuk ke tempat tertentu yang diduga menjadi tempat terjadinya maksiat atau pelanggaran Syari’at Islam.
Universitas Sumatera Utara
b. Mencegah orang-orang tertentu untuk melakukan perbuatan tertentu, melarang mereka masuk ke tempat tertentu, atau melarang mereka keluar dari tempat tertentu. c. Meminta dan mencatat identitas dari orang-orang tertentu. d. Menghubungi polisi atau geuchik (tuha peut) gampong tertentu guna menyampaikan laporan atau memohon bantuan dalam upaya melakukan pembinaan dan penghentian kegiatan (perbuatan) yang diduga merupakan pelanggaran atas qanun di bidang Syari’at Islam. e. Menjadi petugas pelaksanaan hukuman cambuk sekiranya diminta oleh Jaksa Penuntut Umum.
4. Kedudukan Wilayatul Hisbah dalam Penegakan Syari’at Islam di NAD Sebagai sebuah lembaga baru yang diperkenalkan kembali di NAD, Wilayatuh Hisbah (WH) mempunyai tugas dan wewenang yang hampir sama dengan Polisi Khusus (POLSUS), Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP), atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Dalam PERDA (Peraturan Daerah) Nomor 5 Tahun 2000 Pasal 20 Bab VI mengenai pengawasan dan penyidikan, menyatakan bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban membentuk badan yang berwenang dalam mengontrol atau mengawasi (Wilayatul Hisbah) pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini sehingga dapat berjalan dengan sebaik-baiknya (Abubakar, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Qanun Nomor 11 Tahun 2002, dalam pasal 14, Bab VI mengenai pengawasan dan penyidikan menyebutkan bahwa Pemerintah Provinsi, Kabupaten atau Kota membentuk WH yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Syari’at Islam dibidang aqidah, ibadah, dan syi’ar Islam. WH dapat dibentuk pada tingkat gampong (desa), pemukiman, kecamatan atau wilayah, ataupun lingkungan lainnya. Susunan organisasi, kewenangan dan tata kerja WH diatur dengan keputusan Gubernur setelah mendengar pertimbangan MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) (Abubakar, 2005). Istilah yang digunakan dalam Qanun adalah pejabat WH, sedangkan dalam keputusan Gubernur Nomor 1 Tahun 2004, istilah yang digunakan adalah mustasib, keduanya mengacu pada tenaga WH yang bertugas mengawasi pelanggar Qanun Syari’at Islam (Abubakar, 2005). Tingkatan Organisasi WH terdiri dari tingkat Provinsi, Kecamatan dan tingkat kemukiman, dan tingkat gampong (desa). Pada tingkat Provinsi dan Kecamatan, WH terdiri atas Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, dan mustahib yang diangkat oleh Gubernur. Pada tingkat kemukiman, WH terdiri dari seorang koordinator dan beberapa orang mustahib yang bertugas di desa-desa yang diangkat oleh Bupati atau Walikota. Sedangkan pada tingkat gampong (desa), tuha peut gampong (dewan empat, yang terdiri dari ulama, tokoh adat, dan pemuka masyarakat) menjabat sebagai mustahib (Abubakar, 2005). WH berkedudukan sebagai Lembaga Pembantu tugas kepolisian dan dapat berfingsi sebagai Polisi Khusus dan PPNS. WH diharapkan dapat membantu
Universitas Sumatera Utara
menjaga kesejalanan dalam pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (Abubakar, 2005).
C. MAHASISWA UNIVERSITAS SAMUDRA LANGSA Mahasiswa adalah individu-individu yang berada pada usia remaja akhir atau pada usia dewasa awal yang dikarakteristikkan dengan menempuh pendidikan di suatu perguruan tinggi (Papalia & Olds, 2007). Salah satu perguruan tinggi yang ada di Kota Langsa adalah Universitas Samudra Langsa dengan jumlah mahasiswa tercatat sebanyak ±8.669 orang. Disimpulkan bahwa mahasiswa Universitas Samudra Langsa adalah individu yang berada pada usia remaja akhir atau usia dewasa yang dikarakteristikkan dengan menempuh pendidikan di Universitas Samudra Langsa.
D. SIKAP
MAHASISWA
UNIVERSITAS
SAMUDRA
LANGSA
TERHADAP TUGAS DAN WEWENANG WILAYATUL HISBAH DI KOTA LANGSA Sikap mahasiswa Universitas Samudra Langsa terhadap tugas dan wewenang Wilayatul Hisbah di Kota Langsa merupakan bentuk evaluasi mahasiswa Universitas Samudra Langsa terhadap Wilayatul Hisbah di Kota
Universitas Sumatera Utara
Langsa yang didasarkan pada persepsi, perasaan dan kecenderungan untuk berperilaku. Zanna dan Rample (dalam Weiner, 2003) menyatakan bahwa seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap suatu objek ketika kepercayaan, perasaan dan prilaku mereka menunjukkan bahwa mereka memihak atau favorability terhadap objek, sebaliknya seseorang mempunyai sikap negatif terhadap objek ketika kepercayaan, perasaan dan perilaku mereka menunjukkan mereka tidak berpihak atau unfavorability terhadap objek. Ada tiga komponen yang terkait dengan sikap, yaitu: 1. Komponen kognitif Komponen ini merupakan bagian sikap mahasiswa Universitas Samudra Langsa yang muncul berdasarkan kognisi dan persepsi atau kepercayaan mereka terhadap Wilayatul Hisbah di Kota Langsa. Misalnya sikap mahasiswa dalam mempersepsikan peran Wilayatul Hisbah di Kota Langsa. Secara umum, komponen kognitif menjawab pertanyaan mengenai apa yang diyakini dan dipikirkan mahasiswa Universitas Samudra Langsa terhadap Wilayatul Hisbah di Kota Langsa. 2. Komponen afektif Komponen ini merupakan bagian dari sikap mahasiswa Universitas Samudra yang muncul berdasarkan apa yang mereka rasakan terhadap Wilayatul Hisbah di Kota Langsa. Secara umum komponen ini menimbulkan evaluasi emosional seseorang terhadap objek sikapnya. 3. Komponen konatif atau perilaku
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan komponen kognitif dan afektif, nampaknya ada kecenderungan berperilaku sebagai reaksi terhadap objek sikap. Komponen ini menjawab pertanyaan bagaimana mahasiswa Universitas Samudra Langsa bertindak dan berperilaku terhadap Wilayatul Hisbah di Kota Langsa. Misalnya ketika ketika WH melakukan sesuatu maka mereka akan mengambil tindakan yang sesuai dengan sikapnya. Sikap mahasiswa Universitas Samudra Langsa terhadap tugas dan wewenang Wilayatul Hisbah di Kota Langsa masih beragam, yaitu sikap positif, sikap negatif, dan sikap netral. Sikap positif terhadap WH dapat terbentuk berdasarkan budaya yang ada dalam masyarakat yang mengutamakan ajaran Islam sehingga mungkin saja mahasiswa Universitas Samudra Langsa menganggap bahwa WH memiliki peranan penting dalam penegakan Syari’at Islam. Selain itu pengaruh orang lain yang dianggap penting (significant other) juga dapat mempengaruhi sikap positif seseorang. Ketika orang tua atau orang-orang terdekat memiliki sikap yang positif maka orang tersebut juga memiliki kecenderungan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Dapat disimpulkan bahwa sikap positif yang diperlihatkan akan menggambarkan kesesuaian persepsi, perasaan dan perilaku terhadap WH. Sikap negatif terhadap WH menggambarkan ketidaksesuaian antara persepsi, perasaan dan perilaku mahasiswa terhadap WH. Mahasiswa Universitas Samudra Langsa yang memiliki sikap yang negatif menganggap WH terlalu terlibat dalam kehidupan pribadi mereka hingga mengatur bagaimana mereka
Universitas Sumatera Utara
berpakaian. Mereka yang bersikap negatif akan melihat segala sesuatu yang dilakukan oleh WH menjadi salah dan tidak sesuai. Mahasiswa
Universitas
Samudra
Langsa
yang
bersikap
netral
menunjukkan ketidakkonsistenan dalam bersikap terhadap WH. Mereka cenderung menilai WH secara positif dan negatif berdasarkan kelebihan dan kekurangan WH. Sikap netral dapat berubah menjadi sikap yang positif maupun negatif tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi sikap tersebut. E. PARADIGMA TEORITIS
Faktor yang mempengaruhi:
Suku Jenis kelamin Pengalaman subjek yang berhubungan dengan WH Keanggotaan dalam organisasi keagamaan
Sikap Mahasiswa Universitas Samudra Langsa Terhadap WH
Tugas
Kognitif
Wewenang
Afektif
Konatif
Universitas Sumatera Utara