BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Agensi Telah diketahui bahwa manajer memiliki tujuan pribadi yang bersaing dengan tujuan memaksimalkan kasejahteraan pemegang saham. Manajer diberi kekuasaaan oleh pemilik perusahaan, yaitu pemegang saham, untuk membuat keputusan dan hal ini menciptakan konflik potensial atas kepentingan yang disebut teori agen (agency theory) (Houston dan Brigham, 1991:22 dalam Yuliana, 2007). Hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut. (Jensen dan Meckling dalam Yuliana, 2007) menyatakan : “ hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih principal menyewa orang lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dan mendelegasikan beberapa wewenang untuk membuat keputusan agen “. Teori agensi mengasumsikan bahwa principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agent. Agent memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, perusahaan secara keseluruhan dan prospek dimasa yang akan datang dibandingkan dengan principal. Hal inilah yang menyebabkan ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent. Ketidakseimbangan inilah yang disebut sebagai asimetri informasi. Adanya asumsi bahwa tiap pihak bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri,
9
mengakibatkan agent memanfaatkan adanya asimetri informasi yang dimilikinya untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui oleh principal. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara principal dan agent mendorong agent untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada principal, terutama jika informasi berkaitan dengan pengukuran kinerja agent. Asimetri informasi ini mengakibatkan terjadinya moral hazard berupa usaha manajemen (management effort) untuk melakukan earnings management Dalam
teori agensi, principal (pemilik) dan agent (manajer) mempunyai kepentingan yang berbeda. Manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingan sendiri dan tidak berdasarkan memaksimalisasi nilai dalam pengambilan keputusan pendanaan. Hal ini terjadi karena adanya pemisahan fungsi pengolahan dengan fungsi kepemilikan . Pemisahan ini yang menimbulkan konflik agency Dalam buku financial accounting theory, game theory atau lengkapnya economic theory of game dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah non-corporative yang menjelaskan satu pihak berkuasa atas lingkungannya, seperti oligopolistic. Kategori kedua adalah corporative game yang menjelaskan kerjasama dua atau lebih yang berdasarkan pada kontrak, seperti kartel. Teori agensi adalah cabang dari game theory yang termasuk dalam kategori corporative game theory, hal ini dapat dilihat dari pernyataan Scott(2006) bahwa : Agency theory is a branch of game theory that studies the design of contracts to motivate a rational agent to act on behalf of principal when the agent’s interests would otherwise conflict with those of the principal.
10
Terdapat dua jenis kontrak dalam agency theory yaitu employment contracts (kontrak antara pemilik usaha dengan manajer) dan lending contacts (kontrak antara pemberi pinjaman dengan pihak manajemen perusahaan). Teori yang menjelaskan hubungan antara manajer dengan pemilik adalah employment contacts. Pemilik dalam penjelasan ini diibaratkan sebagai investor. Pemilik akan memperkerjakan seorang manajer dalam menjalankan perusahaan. pemilik akan mengharapkan hasil yang baik. Manajer yang diperkerjakan oleh pemilik memiliki dua kategori yang berbeda, yaitu pekerja keras dan yang malas. Untuk mengatasinya, pemilik akan menetapkan minimal penerimaannya dalam menentukan besaran gaji manajer. Asumsikan pemilik akan mengaji manajer sebesar $25 jika menghasilkan $100 dan akan dikenakan penalty sebesar $13 jika menghasilkan $40. Hal tersebut diharapka dapat memicu kinerja manajer. Pemilik melakukan hal tesebut karena pemilik tidak dapat melakukan kontrol langsung sehingga kontrol hanya bisa dilakukan dari laporan yang dihasilkan. Anggap saja manajer yang diperkerjakan adalah tipe orang yang malas dan suka menghindari resiko namun ingin mendapatkan keuntungan yang maksimal untuk dirinya. Atas kondisi tersebutlah manajemen laba dapat terjadi. Selain itu Asimetri informasi dapat memicu terjadinya manajemen laba yang dilakukan oleh manajer demi kepentingannya.
11
B. Good Corporate Governance 1. Definisi Good Corporate Governance Sampai saat ini para ahli tetap menghadapi kesulitan dalam mendefinisikan corporate governance yang dapat mengakomodasikan berbagai kepentingan. Tidak terbentuknya definisi yang akomodatif bagi semua pihak yang berkepentingan dengan corporate governance disebabkan karena cakupannya yang lintas sektoral. Pemahaman tentang praktik corporate governance terus menerus mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Untuk pertama kalinya, usaha untuk melembagakan corporate governance dilakukan oleh Bank of England dan London Stock Exchange pada tahun 1992 dengan membentuk Cadbury Committee (Komite Cadbury), yang bertugas menyusun corporate governance code yang menjadi acuan utama (Benchmark) di beberapa negara. Komite Cadbury mendefinisikan corporate governance sebagai sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan dan kewenangan yang diperlukan oleh
perusahaan
untuk
menjamin
kelangsungan
eksistensinya
dan
pertanggungjawaban kepada stakeholders. Hal ini berkaitan dengan peraturan kewenangan pemilik, direktur, manajer, pemegang saham dan sebagainya. Sedangkan
Komite
Nasional
Kebijakan
Governance
(2004)
mendefinisikan corporate governance sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang
12
saham, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku. Forum For Corporate Governance (dalam Ujiantho, 2007) Corporate governance didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang mendefinisikan hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditor, pemerintah karyawan, dan stakeholder internal maupun eksternal lain, mengenai hak dan kewajiban mereka, atau sistem di mana perusahaan diatur dan dikendalikan, tujuan corporate governance adalah menciptakan nilai tambah bagi stakeholder. Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa dalam Good Corporate Governance, terdapat beberapa hal penting yaitu : 1.
Efektivitas yang bersumber dari Budaya Perusahaan, Etika, Nilai,
Sistem, Proses bisnis, Kebijakan dan Struktur organisasi perusahaan yang bertujuan untuk mendukung dan mendorong pengembangan perusahaan, pengelolaan sumber daya dan resiko secara lebih efektif dan efisien, pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya. 2.
Seperangkat prinsip, kebijakan dan sistem manajemen perusahaan
yang diterapkan bagi terwujudnya operasional perusahaan yang efisien, efektif dan profitable dalam menjalankan organisasi dan bisnis perusahaan untuk mencapai sasaran strategis yang memenuhi prinsip-prinsip praktek bisnis yang baik dan penerapannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, peduli terhadap lingkungan serta dilandasi oleh nilai-nilai sosial budaya yang tinggi.
13
3.
Seperangkat peraturan dan ataupun sistem yang mengarahkan
kepada pengendalian perusahaan bagi penciptaan pertambahan nilai bagi pihak pemegang kepentingan (Pemerintah, Pemegang saham, Pimpinan perusahaan dan Karyawan) dan bagi perusahaan itu sendiri
2. Prinsip – prinsip dalam Good Corporate Governance Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada tahun 1999 (direvisi pada tahun 2004) telah menerbitkan dan mempublikasikan OECD Principles of Corporate governance untuk membantu mengevaluasi dan meningkatkan rerangka hukum, institusional, dan regulatori corporate governance dan memberikan pedoman dan saransaran untuk pasar modal, investor, perusahaan, dan pihak-pihak lain yang memiliki peran dalam pengembangan corporate governance. Prinsip-prinsip corporate governance yang dikemukakan oleh OECD (2004) yaitu: 1.
Memastikan dasar bagi kerangka corporate governance yang
efektif (Ensuring The Basis for an Effective Corporate governance Framework). Kerangka corporate governance harus meningkatkan pasar yang transparan dan efisien, konsisten dengan aturan hukum dan secara jelas mengartikulasikan pembagian kewajiban antara pengawas, regulator dan otoritas pelaksanan yang berbeda. 2.
Hak-hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan kunci (The
Rights of Shareholders and Key Ownership Functions)
14
Kerangka corporate governance harus melindungi dan memfasilitasi penggunaan hak-hak pemegang saham. 3.
Persamaan perlakuan bagi pemegang saham (The Equitable
Treatment of Shareholders) Kerangka coprporate governance harus memastikan persamaan perlakuan bagi seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Semua pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk memperoleh penggantian kembali secara efektif atas pelanggaran hakhak mereka. 4.
Peranan shareholder dalam corporate governance (The Role of
Stakeholders in Corporate governance) Kerangka corporate governance harus mengakui hak-hak stakeholder yang ditetapkan oleh hukum atau melalui mutul agreement dan mendorong kerjasama aktif antara korporat dan stakeholder dalam menciptakan kemakmuran, pekerjaan, dan perusahaan yang memiliki sustainable. 5.
Pengungkapan dan transparansi (Disclosure and Transparency)
Kerangka
corporate
governance
harus
memastikan
bahwa
pengungkapan yang tepat waktu dan akurat telah dibuat atas semua hal yang material
menyangkut
korporat,
termasuk
situasi
keuangan,
kinerja,
kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan.
15
6.
Kewajiban dewan (The Responsibilities of the Board)
Kerangka corporate governance harus memastikan pedoman strategis perusahaan, pengawasan yang efektif terhadap manajemen oleh dewan, dan akuntabilitas dewan kepada perusahaan dan pemegang saham. Komite Nasional Kebijakan Governance pada tahun 2006 telah mengeluarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Pedoman GCG merupakan panduan bagi perusahaan dalam membangun, melaksanakan dan mengkomunikasikan praktik GCG kepada pemangku kepentingan. Dalam pedoman tersebut KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) memaparkan azas-azas GCG sebagai berikut : 1.
Transparansi (Transparency)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh stakeholder. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan stakeholder lainnya. 2.
Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur,
dan
sesuai
dengan
kepentingan
perusahaan
dengan
tetap
memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan stakeholder lain.
16
Akuntabilitas merupakan persyaratan yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. 3.
Responsibility (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. 4.
Independensi (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. 5.
Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan stakeholder lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
3. Tujuan penerapan Good Corporate Governance Tujuan utama dari good corporate governance ini adalah untuk menciptakan sistem pengendaliaan dan keseimbangan (check and balances) untuk mencegah penyalahgunaan dari sumber daya perusahaan dan tetap mendorong terjadinya pertumbuhan perusahaan.
17
Penerapan sistim good corporate governance diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) melalui beberapa tujuan berikut: 1.
Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu
organisasi yang memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan pemegang saham, pegawai dan stakeholders lainnya dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapi tantangan organisasi kedepan 2.
Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka,
adil, dan dapat dipertanggungjawabkan 3.
Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para share holders
dan stakeholders. Dalam
menerapkan nilai-nilai corporate governance, Perseroan
menggunakan pendekatan berupa keyakinan yang kuat akan manfaat dari penerapan corporate governance yang baik. Berdasarkan keyakinan yang kuat, maka akan tumbuh semangat yang tinggi untuk menerapkannya sesuai standar internasional. Guna memastikan bahwa corporate governance diterapkan secara konsisten di seluruh lini dan unit organisasi, Perseroan menyusun berbagai acuan sebagai pedoman bagi seluruh karyawan. Selain acuan yang disusun sendiri,
Perseroan juga mengadopsi peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal penerapan prinsip good corporate governance harus disadari bahwa penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik hanya akan efektif dengan adanya asas kepatuhan dalam kegiatan bisnis sehari-hari, terlebih
18
dahulu diterapkan oleh jajaran manajemen dan kemudian diikuti oleh segenap karyawan. Melalui penerapan yang konsisten, tegas dan berkesinambungan dari seluruh pelaku bisnis.
4. Manfaat dan mekanisme penerapan Good Corporate Governance Seberapa jauh perusahaan memperhatikan prinsip-prinsip dasar GCG telah semakin menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi. Terutama sekali hubungan antara praktik corporate governance dengan karakter investasi internasional saat ini. Karakter investasi ini ditandai dengan terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana melalui ‘pool of investors’ di seluruh dunia. Suatu perusahaan dan atau negara yang ingin menuai manfaat dari pasar modal global, dan jika kita ingin menarik modal jangka panjang yang, maka penerapan GCG secara konsisten dan efektif akan mendukung ke arah itu. Bahkan jikapun perusahaan tidak bergantung pada sumber daya dan modal asing, penerapan prinsip dan praktik GCG akan dapat meningkatkan keyakinan investor domestik terhadap perusahaan. Di samping hal-hal tersebut di atas, GCG juga dapat: 1.
Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung
pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang (wrong-doing), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
19
2.
Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak
dari pengelolaan perusahaan yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan. 3.
Meningkatkan
nilai
saham
perusahaan
sekaligus
dapat
meningkatkan citra perusahaan tersebut kepada publik luas dalam jangka panjang. 4.
Menciptakan
dukungan
para stakeholder (para
pihak
yang
berkepentingan) dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Konsep Good Corporate Governance pada intinya terdiri atas internal balance dan external balance. Internal Balance adalah unsur-unsur dari dalam perusahaan dan selalu dibutuhkan perusahaan sedangkan external balance adalah pemenuhan tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat dan stakeholders. Dennis dan McConnell (dikutip dari Diyanti, 2010) membedakan mekanisme corporate governance dua kelompok yaitu 1.
internal mechanism (mekanisme internal) seperti kepemilikan
manajerial, dan kepemilikan institusiona, komisaris independen, dewan kmoisaris dan komite audit
20
a. Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional merupakan bagian dari mekanisme corporate governance pada perusahaan. Kepemilikan institusional oleh beberapa peneliti dipercaya dapat mempengaruhi jalannya perusahaan yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu maksimalisasi nilai perusahaan. Institusi dengan kepemilikan saham yang relatif besar dalam perusahaan mungkin akan mempercepat manajemen perusahaan untuk menyajikan pengungkapan secara sukarela. Hal ini terjadi karena investor institusional dapat melakukan monitoring dan dianggap sophisticated investors yang tidak mudah dibodohi oleh tindakan manajer. Institusi dengan investasi yang substansial pada saham perusahaan memperoleh insentif yang besar untuk secara aktif memonitor dan mempengaruhi tindakan manajemen seperti mengurangi fleksibilitas manajer melakukan abnormal accounting accrual. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Schleiver dan Vishny (1986), Coffe (1991) yang menyatakan bahwa kepemilikan institusional sangat berperan dalam fungsi pengawasan (Siswantaya, 2007). Siregar dan Utama (2006) menyatakan bahwa jika pengelolaan laba dilakukan dengan efisien maka kepemilikan institusional yang tinggi akan meningkatkan pengelolaan laba (berhubungan positif), tetapi jika pengelolaan laba yang dilakukan perusahaan bersifat oportunis maka kepemilikan
21
institusional
yang
tinggi
akan
mengurangi
pengelolaan
laba
(berhubungan negatif). b. Kepemilikan Manajerial Dalam Herawaty (2008), Jensen dan Meckling (1976) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berhasil menjadi mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dari manajer dengan menyelaraskan kepentingan-kepentingan manajer dengan pemegang saham. Sehingga permasalahan keagenan dapat diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer dianggap sebagai seorang pemilik. Semakin meningkat proporsi kepemilikan saham manajerial maka semakin baik kinerja perusahaan. Pemusatan kepentingan dapat dicapai dengan memberikan kepemilikan saham kepada manajer. Jika manajer memiliki saham perusahaan, mereka akan memiliki kepentingan yang sama dengan pemilik. Jika kepentingan manajer dan pemilik sejajar (aligned) dapat mengurangi konflik keagenan. Jika konflik keagenan dapat dikurangi, manajer termotivasi untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Tetapi tingkat kepemilikan manajerial yang tinggi dapat menimbulkan masalah pertahanan. Artinya jika kepemilikan manajerial tinggi, mereka mempunyai posisi yang kuat untuk mengendalikan perusahaan dan pihak eksternal akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan tindakan manajer. Hal ini disebabkan karena manajer mempunyai hak voting yang besar atas kepemilikan manajerial (Siswantaya, 2007).
22
Midiastuty dan Machfoedz (2003) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial merupakan salah satu mekanisme yang dapat membatasi perilaku oportunistik manajer dalam bentuk earnings management. c. Dewan Komisaris Dewan komisaris memegang peran penting dalam mengarahkan strategi dan mengawasi jalannya perusahaan serta memastikan bahwa para manajer benar- benar meningkatkan kinerja perusahaan sebagai bagian dari pencapaian perusahaan. Dewan komisaris merupakan inti dari
corporate
governance
yang
ditugaskan
untuk
menjamin
pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas (Zehnder, 2000). Dengan adanya pemisahan peran antara pemegang saham sebagai prinsipal dengan manajer sebagai agennya, maka manajer pada akhirnya memiliki hak pengendalian yang signifikan dalam hal pengalokasian dana investor (Jensen & Meckling, 1997). Menurut Mackfudz (2003) Dewan komisaris memiliki peran penting dalam perusahaan yaitu untuk menentukan arah dan kebijakan perusahaan baik dalam jangka pendek maupun panjang.
d. Dewan Komisaris Independen Komisaris independen memiliki peran untuk memonitor kebijakan direksi.
Peran
komisaris
ini
diharapkan
dapat
meminimalisir
23
permasalahan agensi yang muncul antara dewan direksi dan pemengang saham, sehingga kinerja yang dihasilkan oleh perusahaan sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan. Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa komisaris independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar terciptanya perusahaan yang good corporate governance. e. Komite Audit Komite audit bertanggung jawab untuk mengawasi laporan keuangan,
mengawasi
audit
eksternal,
dan mengamati
sistem
pengendalian internal (termasuk audit internal) dapat mengurangi sifat opportunistic manajemen yang melakukan manajemen laba dengan cara mengawasi laporan keuangan dan melakukan pengawasan pada audit eksternal (Sam’ani, 2008). Menurut Kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian perusahaan, selain itu komite audit dianggap sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian.
24
2.
external mechanism (mekanisme eksternal) seperti pengendalian oleh pasar dan sistem hukum yang berlaku
C. Manajemen Laba 1. Pengertian manajemen laba Manajemen laba merupakan usaha pihak manajemen yang disengaja untuk memanipulasi laporan keuangan dalam batasan yang diperbolehkan oleh prinsip akuntansi dengan tujuan untuk memberikan informasi yang menyesatkan para pengguna laporan keuangan bagi keuntungan pihak manajemen. Healy dan Wahlan dalam Midiastuty dan Machfoed (2003) menjelaskan bahwa manajemen laba terjadi apabila manajer menggunakan penilaian dalam pelaporan keuangan dan dalam struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan guna menyesatkan pemegang saham mengenai prestasi ekonomi perusahaan/ mempengaruhi akibat–akibat perjanjian yang mempunyai kaitan dengan angka–angka yang dilaporkan dalam laporan keuangan Ortega dan Grant (2003) mengemukakan bahwa earning manajemen dimungkinkan karena adanya fleksibilitas dalam pembuatan laporan keuangan dalam rangka mengubah hasil keuangan operasional suatu perusahaan. Dengan kata lain, Abdelghany (2005) menjelaskan bahwa manajemen laba merupakan manipulasi pendapatan yang dilakukan untuk
25
memenuhi target yang ditetapkan manajemen. sedangkan, Lo (2008) menghubungkan antara earning manajemen dan earning quality, dimana perusahaan yang banyak melakukan manajemen laba memiliki kualitas manajemen yang buruk. Namun, perusahaan yang tidak melakukan manajemen laba bukan berarti perusahaan tersebut kualitas labanya bagus, karena banyak faktor yang memepengarui kulitas laba. Pendapat tersebut didukung oleh Schipper dan Vincent (2003) yang menyatakan bahwa manajemen laba akan berpengaruh terhadap kualitas laba. Praktek manajemen laba yang sering kali dilakukan perusahaan meliputi (abdelghany, 2005) : 1.
Big Bath, merupakan pengakuan terhadap biaya dilakukan melalui
one time restucturing charge. dimana hal ini akan berakibat perusahaan akan mengalami pembebanan biaya secara besar-basranpada tahun ini, dan dampaknya pada tahun berikutnya perusahaan akan mengalami profit yang besar. 2.
Abuse of materiality, yakni dengan mamanipulasi laba melalui
penerapan materiality, dimana tidak terdapat rangae yang spesifik mengenai material atau tidaknya suatu transaksi. 3.
Cookie jar, kadang disebut rainy jar atau contigency reserve
dimana dalam periode kondisi keuangan yang baik maka perusahaan dapat mengurangi laba dengan melakukan pencadangan yang lebih banyak, pembebanan biaya yang lebih besar dan menggunakan satu kali write offs. bila kondisi keuangan memburuk maka akan dilakukan hal yang sebaliknya.
26
4.
Round tripping, back to back dan swap, dimana hal ini dilakukan
dengan menjual suatu aset atau unit usaha ke perusahaan lain dengan perjanjian untuk membelinya kembali pada harga tertentu, dimana hal ini akan memberikan dampak pada peningkatan pemasukan perusahaan. 5.
Voluntary accounting changes, dilakukan dengan mengubah
kebijakan akuntansi yang digunakan perusahaan. 6.
Conservative accounting, dilakukan dengan memilih metode
akuntansi yang paling konservative seoerti LIFO dan pembebenan biaya R&D daripada mengkapitalisasi. 7.
Using the derivative, dimana manajer dapat memenipulasi earning
melalui pembelian instrument hedging. Manajemen laba dapat dilakukan oleh manajemen suatu perusahaan dengan memanfaatkan pos-pos akrual yang ada dalam laporan keuangan dengan menyajikan laba yang sesuai dengan kepentingannya, meskipun hal tersebut tidak sesuai dengan kepentingan prinsipal. Hal ini dapat terjadi karena dalam akuntansi menggunakan dasar akrual yang mewajibkan perusahaan mengakui pendapatan dan biaya yang telah menjadi hak dan kewajiban dalam periode sekarang meskipun transaksi kas-nya baru terjadi dalam periode berikutnya. Dasar akrual disepakati sebagai dasar penyusunan laporan keuangan karena dapat memberikan informasi yang lebih akurat kepada pengguna laporan keuangan. Dasar akrual tidak hanya memberikan informasi atas transaksi masa lalu yang melibatkan penerimaan dan pembayaran kas, tetapi juga kewajiban pembayaran kas di masa depan serta
27
sumber daya yang merepresentasikan kas yang akan diterima di masa depan. Sebagai konsekuensi penggunaan dasar akrual ini, dalam statemen keuangan, laba dalam suatu periode dapat mengandung unsur kas dan akrual (Sutopo, 2009). Penerapan konsep akrual inilah yang memicu kesempatan manajemen untuk melakukan manajemen laba dengan menaikkan atau menurunkan angka akrual dalam laporan laba rugi. Manajemen Laba = TAC = Nit – CFOit
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Manajemen Laba. Berdasarkan penelitian sebelumnya (Watts dan Zimmerman 1986) secara empiris membuktikan bahwa hubungan principal dan agent sering ditentukan oleh angka akuntansi. Hal ini memacu agent untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya. Salah satu bentuk tindakan agent tersebut adalah manajemen laba. Faktor-faktor yang diajukan oleh Watt dan Zimmerman sebagaimana dikutip dalam Sulistyanto (2008), terdapat tiga hipotesis yang mendorong terjadinya manajemen laba yaitu : 1.
Bonus Plan Hypothesis
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Dalam bonus atau kompensasi manajerial, pemilik perusahaan berjanji bahwa manajer akan menerima sejumlah bonus jika kinerja perusahaan mencapai jumlah tertentu. Hal inilah yang merupakan
28
alasan bagi manajer untuk mengelola dan mengatur labanya pada tingkat tertentu sesuai dengan yang disyaratkan agar dapat menerima bonus.
2.
Debt Covenant Hypothesis
Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba. Dalam konteks perjanjian hutang, manajer akan mengelola dan mengatur labanya agar kewajiban hutangnya yang seharusnya diselesaikan pada tahun tertentu dapat ditunda untuk tahun berikutnya. Hal ini merupakan upaya manajer untuk mengelola dan mengatur jumlah laba yang merupakan indikator
kemampuan
perusahaan
dalam
menyelesaikan
kewajiban
hutangnya. 3.
Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula
kemungkinan
perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan besar kecilnya pajak yang akan ditarik oleh pemerintah sangat tergantung pada besar kecilnya laba yang dicapai perusahaan. Kondisi inilah yang menyebabkan manajer untuk mengelola dan mengatur labanya dalam jumlah tertentu agar pajak yang harus dibayar menjadi tidak terlalu tinggi. Meskipun manajemen laba diperbolehkan dalam batas yang tidak melanggar standar yang berlaku umum, namun bagi para pengguna laporan
29
keuangan, tindakan ini sangat merugikan. Karena membuat informasi yang disajikan bias dan menjadi tidak relevan. Leemis dan Elias (1999) menjelaskan bahwa manajemen laba menutupi posisi keuangan organisasi bisnis yang sesungguhnya dan menyembunyikan informasi relevan yang hendak diketahui investor. Manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka-angka laba hasil rekayasa tersebut. Sehingga manajemen laba, terlepas dari didalam/ luar batas merupakan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan. Laporan keuangan, sebagai media informasi bagi para investor dan digunakan sebagai pengukur kinerja perusahaan seharusnya merefleksikan kondisi perusahaan yang sebenarnya dan tidak menyembunyikan substansi ekonomi dari kinerjanya, agar informasi yang disajikan memiliki kualitas dan keandalan bagi para pemakai dimana laporan keuangan dapat diandalkan apabila yang disajikan benar dan jujur.
3.
Motivasi Manajemen Laba Scott (2000: 302) dalam Rahmawati dkk. (2006) mengemukakan
beberapa terjadinya motivasi manajemen laba, yaitu: 1.
Bonus Purposes ; Manajer yang memiliki informasi atas
laba bersih perusahaan akan bertindak secara oportunistik untuk
30
melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini (Healy, 1985 dalam Rahmawati dkk, (2006). 2.
Motivation ; Manajemen
Political
laba
digunakan
untuk
mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat. 3.
Taxation
Motivation ; Motivasi
penghematan pajak
menjadi
motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan untuk penghematan pajak pendapatan. 4.
Pergantian CEO ; CEO yang mendekati masa pensiun akan
cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan. 5.
Initial
Oublic
Offering
(IPO) ; Perusahaan
yang
akan go
public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan. 6.
Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor ; Informasi
mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.
31
Sedangkan Healy dan Wahlen (1999) dalam Firdaus (2007) membagi motivasi manajemen laba ke dalam tiga kelompok yaitu : 1.
Motivasi Pasar Modal ( capital market motivation)
Motivasi manajemen laba karena alasan pasar modal lebih banyak disebabkan oleh adanya anggapan umum bahwa angka-angka akuntansi, khususnya laba merupakan salah satu sumber informasi penting yang digunakan oleh investor dalam menilai harga saham. Sehingga tidak mengherankan kalau ada sebagian manajer yang berusaha membuat laporan keuangannya tampak baik dengan maksud untuk mempengaruhi kinerja saham dalam jangka pendek. Manajemen cenderung melaporkan laba bersih lebih rendah (understate) ketika melakukan buy out dan melaporkan laba lebih tinggi (overstate) ketika melakukan penawaran saham ke publik. 2.
Motivasi Kontrak (contracting motivation)
Motivasi kontrak atas terjadinya manajemen laba dikaitkan dengan penggunaan data akuntansi dalam memonitor dan meregulasi kontrak atas perusahaan dan pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders). Secara eksplisit maupun implisit, kontrak-kontrak yang berjenis kompensasi manajemen banyak dikaitkan dengan kinerja keuangan perusahaan. Ada alasan khusus yang menyebabkan mengapa manajemen laba terjadi dalam konteks kontrak yaitu baik kreditor maupun komite kompensasi yaitu komite yang menyiapkan berkas kontrak antara manajer perusahaan, merasa bahwa upaya mengungkapkan ada tidaknya manajemen laba adalah upaya yang
32
mahal dan membutuhkan waktu. Kondisi ini seakan menjadi pendorong bagi manajer untuk melakukan manajemen laba. 3.
Motivasi Peraturan (regulation motivation)
Bagi para penetap standar (standar settere), perhatian terhadap manajemen laba menjadi penting karena manajemen laba apapun alasannya dapat mengarah kepada penyajian pelaporan keuangan yang tidak benar (misleadin) dan akhirnya dapat mempengaruhi alokasi sumber daya yang ada. Manajer dapat memanipulasi laba dengan berbagai cara, baik yang secara langsung berpengaruh terhadap keputusan operasi , pembiayaan, investasi
maupun
dalam
bentuk pemilihan
prosedur
akuntansi yang
diperbolehkan dalam prinsip akuntansi berterima umum.
E. Penelitian Terdahulu Berbagai penelitian tentang corporate governance telah banyak dilakukan dengan hasil yang tidak konsisten. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Ujiyantho dan Pramuka (2007). Ujiyantho dan Pramuka (2007) melakukan penelitian mengenai pengaruh mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba dan konsekuensi manajemen laba terhadap kinerja keuangan. Mekanisme corporate governance yang mereka gunakan adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris, dan ukuran dewan komisaris. Dari hasil analisis menunjukkan
bahwa
mekanisme
corporate
governance
(kepemilika
manajerial) berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
33
Veronica dan Bachtiar (2004) melakukan penelitian tentang Good Corporate Governace, Information Asymmetry, and earning management. Komponen good corporate governance yang digunakan adalah dewan komisaris independen, kepemilikan institutional, kualitas auditor, nilai perusahaan, dan komite audit. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi pengaruh dari good corporate governance dan earning management terhadap nilai perusahaan. Manajemen laba diukur dengan discretionary accruals Penelitian dilakukan terhadap perusahaan non-finansial yang terdaftar di Jakarta Stock Exchange pada periode 2001-2001 dengan metode purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asimetri informasi dan komite audit yang berhubungan positif dengan manajemen laba sedangkan variabel dewan komisaris independen, kepemilikan institutional, kualitas auditor, nilai perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Kelemahan atau keterbatasan dari penelitian Veronica dan Bachtiar (2004) ini adalah masih menggunakan model Jones dalam mengukur discretionary and non-diskretionary accrual yang dianggap memiliki banyak kekurangan, data yang tersedia dari sampel tidak memberikan informasi yang detail terkait kepemilikan institutional, dan diantara komisaris independen, kepemilikan institutional, kualitas auditor, nilai perusahaan, dan komite audit terdapat 3 (tiga) komponen yang tidak mampu diukur secara baik.
Penelitian yang dilakukan Nurainun Bangun dan Vincent (2008) kali ini menganalisis hubungan komponen good corporate governance terhadap manajemen laba dan kinerja perusahaan pada perusahaan manufaktur yang 34
terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 20042006.
Perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian ini dipilih
berdasarkan kriteria-kriteria tertentu (purposive sampling), yaitu: (1) Terdaftar di BEI sebelum tahun 2001. (2) Menerbitkan laporan keuangan dari tahun 2004-2006. (3) Memiliki data mengenai kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dewan komisaris independen dan ukuran dewan komisaris. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba, kepemilikan manajemen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, proporsi dewan komisaris berpengaruh tidak signifikan terhadap manajemen laba, jumlah dewan komisaris berpengaruh tidak signifikan terhadap manajemen laba dan manajemen laba berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan. Iqbal (2007) membuktikan corporate governance sebagai alat pereda praktek manajemen laba. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa corporate governance yang meliputi kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dewan direksi dan komite audit secara serentak berpengaruh terhadap praktek manajemen laba. Namun, secara individual, tidak semua mekanisme corporate governance menunjukkan konfirmasi positif. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 60 perusahaan yang telah go public dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode tahun 2000-2006. pengambilan sampel menggunakan metoda purposive sampling.
35
Ujiyantho dan Bambang (2007) meneliti mengenai mekanisme corporate governance, manajemen laba, dan kinerja keuangan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia pada periode 2002-2004. Hasil penelitian menemukan bahwa kepemilikan manajerial dan proporsi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap manajemen laba, sedangkan kepemilikan institusional dan ukuran dewan komisaris tidak memliki pengaruh terhadap manajemen laba dan manajemen laba itu sendiri tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan. Siallagan dan Machfoedz (2006) membuktikan hubungan antara mekanisme corporate governance, kualitas laba dan nilai perusahaan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kepemilikan manajerial, komite audit mampengaruhi kualitas laba. Semakin besar kepemilikan manajerial dan adanya komite audit dalam perusahaan maka discretionary accrual semakin rendah (discretionary accrual yang rendah maka kualitas laba tinggi). Kualitas laba juga mempengaruhi nilai perusahaan, discretionary accrual memiliki hubungan yang negatif dengan nilai perusahaan. Penelitian ini juga membuktikan bahwa kepemilikan manajerial, dewan komisaris, komite audit dan auditor mempengaruhi nilai perusahaan. Semakin besar kepemilikan manajerial maka nilai perusahaan semakin rendah, dewan komisaris dan komite audit secara positif dan signifikan mempengaruhi nilai perusahaan serta KAP yang tergabung dalam BIG Two akan meningkatkan nilai perusahaan. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 74 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode tahun
36
2000-2004. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan purposive sampling. Tabel 2.1 Penelitian terdahulu Peneliti Tahun
dan
Judul Penelitian
Ujiyantho Pengaruh mekanisme dan Pramuka corporate governance (2007) terhadap manajemen laba dan konsekuensi manajemen laba terhadap kinerja keuangan Veronica dan Pengaruh Good Corporate Bachtiar Governace, Information (2004) Asymmetry, dan earning management manjemen laba
Nurainun
Pengaruh
Hasil Penelitian
Mekanisme corporate governance (kepemilikan manajerial) berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
Asimetri informasi dan komite audit berhubungan positif dengan manajemen laba sedangkan variabel dewan komisaris terhadap independen, kepemilikan institutional, kualitas auditor, nilai perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
hubungan Kepemilikan institusioanal berpengaruh
Bangun dan komponen good signifikan terhadap manajemen laba, Vincent (2008) corporate governance kepemilikan manajemen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba terhadap manajemen laba, proporsi dewan
dan kinerja perusahaan komisaris berpengaruh tidak signifikan pada perusahaan terhadap manajemen laba, jumlah dewan manufaktur yang terdaftar komisaris berpengaruh tidak signifikan di Bursa Efek Indonesia terhadap manajemen laba dan manajemen laba berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan. Iqbal (2007)
Pengaruh corporate Bahwa corporate governance yang governance teradap meliputi kepemilikan manajerial, manajemen laba kepemilikan institusional, dewan direksi dan
komite audit secara serentak berpengaruh terhadap praktek manajemen laba Ujiyantho Mekanisme corporate dan Bambang governance, manajemen (2007) laba, dan kinerja keuangan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia pada periode
Kepemilikan manajerial dan proporsi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap manajemen laba, sedangkan kepemilikan institusional dan ukuran dewan komisaris tidak memliki pengaruh terhadap manajemen laba dan manajemen laba itu sendiri tidak berpengaruh
37
2002-2004.
signifikan terhadap kinerja keuangan.
antara Siallagan dan Hubungan mekanisme corporate Machfoedz governance, kualitas laba (2006) dan nilai perusahaan
Kepemilikan manajerial, komite audit mampengaruhi kualitas laba. Semakin besar kepemilikan manajerial dan adanya komite audit dalam perusahaan maka discretionary accrual semakin rendah (discretionary accrual yang rendah maka kualitas laba tinggi).
F. Kerangka Pemikiran Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ada tidaknya serta kuat lemahnya hubungan antara variabel dependen berupa manajemen laba dengan variabel
independen
kepemilikan
institusional,
kepemilikan
manajerial,
komisaris independen, jumlah dewan komisaris, dan komite audit 1. Pengaruh kepemilikan institusional terhadap manajemen laba
Kepemilikan institusional dapat berperan sebagai salah satu mekanisme
corporate
governance
dalam
mengurangi
praktik
manajemen laba. Investor institusional diasumsikan sebagai investor yang berpengalaman dan dapat melakukan analisa yang lebih baik sehingga tidak mudah diperdaya oleh manipulasi manajemen, oleh karena itu manajer akan mengindari tindakan manajemen laba sehingga laba yang dihasilkan akan lebih berkualitas. 2. Pengaruh kepemilikan manjerial terhadap manajemen laba
Besarnya
kepemilikan
manajerial
diharapkan
dapat
meningkatkan kualitas pelaporan keuangan dan laba yang dihasilkan. Jika manajer memiliki saham di perusahaan, mereka akan memiliki kepentingan yang cenderung sama dengan pemegang saham lainnya. 38
Dengan adanya penyatuan kepentingan tersebut konflik keagenan akan.Namun jika kepentingan manajer dan pemilik dapat disejajarkan, manajer tidak akan termotivasi untuk memanipulasi informasi atau melakukan manajemen laba sehingga kualitas informasi akuntansi dan keinformatifan kepemilikan
laba
dapat
meningkat.
Dengan
memperbesar
manajerial diharapkan dapat mengurangi tindakan
manajemen laba 3. Pengaruh komisaris independen terhadap manajemen laba Dewan komisaris independen mempunyai pengaruh negatif terhadap manajemen laba. Menurut Cornett (2007), jika anggota dewan komisaris meningkatkan tindakan pengawasan, hal ini juga akan berhubungan dengan makin rendahnya discretionary accruals, sehingga diharapkan kualitas laba juga akan meningkat. 4. Pengaruh dewan komisaris terhadap manajemen laba Ukuran dewan komisaris yang kecil lebih efektif dalam melakukan tindakan pengawasan dibandingkan dewan komisaris yang berukuran besar. Hal ini disebabkan ukuran dewan komisaris yang besar dianggap kurang efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai alat monitoring kegiatan manajemen karena sulit dalam komunikasi, koordinasi serta pembuatan keputusan. 5. Pengaruh komite audit terhadap manajemen laba Dengan adanya komite audit memiliki pengaruh konsekuensi pada laporan keuangan, yaitu : (1) berkurangnya pengukuran akuntansi yang
39
tidak tepat, (2) berkurangnya pengungkapan akuntansi yang tidak tepat, dan (3) berkurangnya tindakan kecurangan manajemen dan tindakan ilegal.
Kepemilikan Institusional
Kepemilikan Manajerial
Komisaris Independen
Manajemen Laba
Jumlah Dewan komisaris
Komite Audit
Gambar 2.1 Model konseptual
G. Hipotesis Hipotesis ialah suatu kesimpulan yang untuk sementara waktu dianggap benar dan mungkin tanpa keyakinan, supaya dapat ditarik suatu konsekuensi yang logis dan dengan cara ini diadakan pengujian kebenarannya dengan menggunakan data empiris hasil penelitian. Adapun hipotesis dalam penelitian ini berdasarkan penelitian terdahulu adalah sebagai berikut: 40
H1: Kepemilikian manajerial berpengaruh terhadap manajemen laba H2: Kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba H3: Dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba H4: Jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba H5: Komite audit berpengaruh terhadap manajemen laba
41