BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Pengantar Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Ada berbagai definisi tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli antara lain: Adriani seperti yang dikutip Zain, M (2005) mendefinisikan “Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan umum (undang – undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan” (h. 10). Soemitro seperti yang dikutip Mardiasmo ( 2006 ) mendefinisikan “Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (h. 1). Sommerfeld, Anderson, dan Brock yang diterjemahkan oleh Zain, M (2005) mendefinisikan “Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas – tugasnya untuk menjalankan pemerintahan” (h. 11).
9
Feldmann yang diterjemahkan oleh Waluyo (2005) mendefinisikan “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaranpengeluaran umum”(h.2). Dari berbagai definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri – ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut : 1.
Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2.
Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta (Wajib Pajak membayar pajak) ke sektor negara (pemungut pajak/administrator pajak).
3.
Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4.
Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para Wajib Pajak.
5.
Selain
fungsi
budgeter
(anggaran)
yaitu
fungsi
mengisi
Kas
Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur/regulatif). 10
II.1.2 Pengelompokkan dan Tarif Pajak Mengacu pada Waluyo (2005), pajak dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok menurut golongan, sifat dan lembaga pemungutnya. klasifikasinya adalah sebagai berikut: 1.
Menurut golongannya a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : PPh. b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: PPN.
2.
Menurut sifatnya a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: PPh. b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: PPN dan PPn BM.
3.
Menurut lembaga pemungutnya a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: PPN dan PPn BM, PBB dan Bea Materai. b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas pajak propinsi dan pajak kabupaten. Contoh pajak
11
propinsi: PKB dan PBBKB, dan pajak kabupaten: pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan. Mengacu pada Waluyo (2005), pajak memiliki 4 macam tarif yaitu : 1.
Tarif sebanding/proporsional Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapa pun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
2.
Tarif tetap Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapa pun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
3.
Tarif progresif Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
4.
Tarif degresif Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
II.1.3 Tata Cara Pemungutan Pajak Mengacu pada Mardiasmo (2006), tata cara pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan stelsel, asas, dan sistem pemungutan pajak. 1.
Stelsel Pajak Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel: a. Stelsel nyata (riil stelsel)
12
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata) sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. b. Stelsel anggapan (fictive stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. c. Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan sutau anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. 2.
Asas Pemungutan Pajak a. Asas domisili (asas tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri. b. Asas sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. c. Asas kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. 3.
Sistem Pemungutan Pajak 1. Official Assessment System 13
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh Wajib Pajak Dalam sistem ini, Wajib Pajak bersifat pasif dan utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Dalam sistem ini, Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dan fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 3. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
II.2
Pajak Penghasilan Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku
sejak 1 januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000. Undang-undang PPh mengatur pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi maupun badan yang menganut asas materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan pajak.
14
II.2.1 Subjek Pajak dan Bukan Subjek Pajak Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Mengacu pada Undangundang nomor 7 tahun 1984 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2000 pasal 2 ayat (1), yang menjadi Subjek Pajak adalah: 1.
a. Orang pribadi b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2.
Badan, terdiri dari PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya.
3.
Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Dalam pasal 2 ayat (3) Undang-undang PPh disebutkan yang dimaksud Subjek Pajak dalam negeri adalah: a.
Subjek Pajak orang pribadi, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
b.
Subjek Pajak badan, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
15
c.
Subjek Pajak warisan, yaitu warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Dalam pasal 2 ayat (4) Undang-undang PPh, disebutkan yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah: a.
Subjek Pajak orang pribadi, yaitu orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dan yang memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
b.
Subjek Pajak badan, yaitu badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. dan yang memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan. Sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan kata lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Dalam pasal 3 Undang-undang PPh disebutkan yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah : 1.
Badan perwakilan negara asing. 16
2.
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3.
Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat: Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut, tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran pada anggota.
4.
Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
II.2.2 Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak Mengacu pada Mardiasmo (2006), yang menjadi objek pajak adalah penghasilan. Menurut Undang-undang pajak penghasilan (PPh) No. 17 Tahun 2000, pengertian penghasilan yaitu adalah tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan bentuk apapun.
17
Dalam Undang-undang PPh pasal 4 ayat (1), penghasilan tersebut dapat dikelompokkan menjadi : 1.
Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya.
2.
Penghasilan dari usaha atau kegiatan.
3.
Penghasilan dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga, dividen, royalti, keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan, dan sebagainya.
4.
Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga kelompok penghasilan di atas, seperti : a. Keuntungan karena pembebasan utang, b. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing, c. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva, d. Hadiah undian.
Dalam Undang-undang PPh pasal 4 ayat (3), disebutkan yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: 1.
a. Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak. b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil, termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada 18
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 2.
Warisan.
3.
Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
4.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah.
5.
Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
6.
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan bagi perseroan terbatas, BUMN, dan BUMD yang menerima dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.
7.
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
8.
Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 19
9.
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.
10.
Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama lima tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan
Keputusan
Menteri
Keuangan,
dan
sahamnya
tidak
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
II.2.3 Tarif Pajak Penghasilan Sesuai dengan pasal 17 Undang-undang PPh No. 17 tahun 2000, besarnya tarif pajak penghasilan adalah sebagai berikut: Tabel II.1
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000,-
5%
Di atas Rp 25.000.000,- s.d. Rp 50.000.000,-
10%
Di atas Rp 50.000.000,- s.d. Rp 100.000.000,-
15%
Di atas Rp 100.000.000,- s.d. Rp 200.000.000,-
25%
20
Di atas Rp 200.000.000,-
Tabel II.2
35%
Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
II.3
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,-
10%
Di atas Rp 50.000.000,- s.d. Rp 100.000.000,-
15%
Di atas Rp 100.000.000,-
30%
Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) II.3.1 Pengertian PPh Pasal 21 PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.
II.3.2 Pemotong PPh Pasal 21 Mengacu pada Rusjdi, M (2006) dan Peraturan Dirjen Pajak No.15/PJ/2006, Pemotong PPh Pasal 21 yang selanjutnya disingkat Pemotong Pajak adalah : a.
Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit, bentuk usaha tetap, yang
21
membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai. b.
Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembagalembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
c.
Dana pensiun, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan badan – badan lain yang membayar uang pensiun dan Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
d.
Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan, jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
e.
Yayasan (termasuk yayasan di bidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan, kesenian, olahraga, kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, organisasi massa, organisasi sosial politik, dan organisasi lainnya dalam bentuk apa pun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama apa pun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. 22
f.
Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan.
g.
Penyelenggara kegiatan (termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan) yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
II.3.3 Subjek dan Non Subjek Pemotongan PPh Pasal 21 Menurut Peraturan Dirjen Pajak No.15/PJ/2006, penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai, Pegawai Tetap, Tenaga Lepas, Penerima Pensiun, Penerima Honorarium, Penerima Upah, serta orang pribadi lainnya yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan dari Pemotong Pajak. Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan menurut Peraturan Dirjen Pajak No. 15/PJ/2006, adalah: a.
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 23
b.
Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Menteri
Keuangan
No.
574/KMK.04/2000
tentang
Organisasi-organisasi Internasional dan pejabat perwakilan Organisasi Internasional yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 601/KMK.03/2005, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
II.3.4 Objek dan Non Objek Pemotongan PPh Pasal 21 Berdasarkan Pasal 5 Ketentuan Dirjen Pajak No. 15/PJ/2006, penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : a.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transportasi, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, bea siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apa pun.
b.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan, cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, 24
bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap. c.
Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang merupakan calon pegawai.
d.
Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang pesangon dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja.
e.
Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, terdiri dari : 1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris. 2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya. 3. Olahragawan. 4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh dan moderator. 5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
25
6. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial. 7. Agen Iklan. 8. Pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa, kepada suatu kepanitiaan, dan peserta sidang atau rapat. 9. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan. 10. Peserta perlombaan. 11. Petugas penjaja barang dagangan. 12. Petugas dinas luar asuransi. 13. Peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai calon pegawai. 14. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya. f.
Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji dan honorarium atau imbalan lain yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anakanaknya.
Berdasarkan ketentuan pasal 7 Keputusan Dirjen Pajak No. 15/PJ/2006, yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
26
a.
Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
b.
Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apa pun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apa pun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak selain pemerintah, atau Wajib Pajak yang dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan pajak penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus.
c.
Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.
d.
Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
II.3.5 Pengurangan Yang Diperbolehkan Mengacu pada Rusjdi, M (2006), Pengurang yang diperbolehkan mengurangi penghasilan bruto untuk menentukan penghasilan neto pegawai tetap baik dihitung secara bulanan ataupun tahunan adalah : 1.
Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun Biaya Jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebesar 5 % (lima persen) dari penghasilan bruto, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 1.296.000,- (satu juta dua ratus sembilan puluh enam ribu rupiah) setahun atau Rp 27
108.000,- (seratus delapan ribu rupiah) sebulan. Biaya pensiun yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun sebesar 5 % dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah 432.000,- (empat ratus tiga puluh dua ribu rupiah) setahun atau Rp 36.000,- (tiga puluh enam ribu rupiah) sebulan. 2.
Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
3.
Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP ) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan kedaaan pada awal tahun takwim. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut dihitung berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.
Tabel II.3
PTKP
2000-2004
2005
2006
(Rupiah)
(Rupiah)
(Rupiah)
a.
untuk diri pegawai
2.880.000
12.000.000
13.200.000
b.
tambahan untuk pegawai
1.440.000
1.200.000
1.200.000
28
yang kawin c.
tambahan
untuk
setiap
1.440.000
1.200.000
1.200.000
anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan
lurus,
serta
anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
Mengacu pada Rusjdi, M (2006), dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri, dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang. Tetapi bagi karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, diberikan tambahan PTKP sejumlah Rp 1.200.000,- setahun atau Rp 100.000,- sebulan dan ditambah PTKP untuk anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang (PER 15/06).
29
II.3.6 Tata Cara Perhitungan PPh Pasal 21 Perhitungan PPh pasal 21 berbeda-beda tergantung pada penerima penghasilan, maupun jenis penghasilannya. 1.
Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 terhadap penghasilan pegawai tetap.
Tata cara perhitungan pemotongan PPh pasal 21 bagi pegawai tetap yang menerima gaji bulanan adalah sebagai berikut : a. Menghitung penghasilan bruto sebulan, terdiri dari gaji tetap sebulan ditambah dengan tunjangan-tunjangan lain termasuk premi jaminan kecelakaan kerja, premi jaminan kematian yang dibayarkan oleh pemberi kerja. b. Menghitung penghasilan neto sebulan, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan pengurangan yang diperkenankan, terdiri dari: •
Biaya Jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebesar 5 % (lima persen) dari penghasilan bruto, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 1.296.000,- (satu juta dua ratus sembilan puluh enam ribu rupiah) setahun atau Rp 108.000,(seratus delapan ribu rupiah) sebulan. Biaya pensiun yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun sebesar 5 % dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah 432.000,- (empat ratus tiga puluh dua ribu rupiah) setahun atau Rp 36.000,- (tiga puluh enam ribu rupiah) sebulan.
•
Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara Tabungan Hari Tua atau jaminan Hari Tua yang
30
dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. c. Menghitung besarnya penghasilan neto setahun, yaitu penghasilan neto sebulan dikalikan dengan 12. d. Menghitung besarnya penghasilan kena pajak (PKP), yaitu penghasilan neto setahun dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). e. Menghitung besarnya pajak penghasilan pasal 21 setahun, yaitu PKP dikalikan dengan tarif pasal 17 Undang-undang PPh No. 17 tahun 2000. f. Menghitung pemotongan PPh pasal 21, yaitu PPh pasal 21 setahun dibagi 12. 2. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 atas uang rapel. a. Menghitung PPh pasal 21 sebulan atas penghasilan sebelum ditambah kenaikan gaji. b. Menghitung PPh pasal 21 sebulan atas penghasilan setelah ditambah kenaikan gaji: •
Rapel dibagi dengan banyaknya bulan perolehan rapel tersebut,
•
Hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum adanya kenaikan gaji,
•
PPh pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, dihitung kembali atas dasar gaji baru setelah ada kenaikan,
c. Menghitung selisih a dan b. d. Menghitung PPh pasal 21 terutang atas rapel yaitu hasil c dikalikan jumlah bulan rapel tersebut.
31
3. Perhitungan PPh pasal 21 atas uang pensiun yang dibayarkan secara berkala (bulanan). Penerimaan pensiun dikelompokkan menjadi dua yaitu perhitungan PPh pasal 21 pada tahun pertama pensiun dan perhitungan PPh pasal 21 pada tahun kedua. a. Perhitungan PPh pasal 21 pada tahun pertama pensiun, dengan cara: 1.
Menghitung penghasilan neto sebulan, yaitu penghasilan bruto (uang pensiun) dikurangi biaya pensiun ( besarnya biaya pensiun sama dengan 5% dari uang pensiun, maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 432.000,- setahun atau Rp 36.000,- sebulan).
2.
Menghitung penghasilan neto selama masa pensiun dalam tahun pertama pensiun, yaitu penghasilan neto sebulan dikalikan dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan desember.
3.
Penghasilan neto yang disetahunkan tersebut ditambah dengan penghasilan neto yang bersangkutan yang diterima dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh pasal 21 sebelum pensiun.
4.
Menghitung PKP, yaitu hasil perhitungan no.3 dikurangi dengan PTKP.
5.
Menghitung PPh pasal 21 atas PKP, yaitu PKP dikalikan tarif PPh pasal 17 Undang-undang No. 17 tahun 2000.
6.
Menghitung PPh pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara mengurangi pajak penghasilan no.5 dengan PPh pasal 21 yang terhutang dari pemberi kerja sebelum pegawai
32
yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh pasal 21 sebelum pensiun. b. Perhitungan PPh pasal 21 pada tahun kedua pensiun dan seterusnya, dengan cara: 1.
Menghitung penghasilan neto sebulan, yaitu penghasilan bruto (uang pensiun) dikurangi biaya pensiun ( besarnya biaya pensiun sama dengan 5% dari uang pensiun, maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 432.000,- setahun atau Rp 36.000,- sebulan).
2.
Menghitung PKP, yaitu hasil penghasilan neto dikurangi dengan PTKP.
3.
Menghitung PPh pasal 21, yaitu PKP dikalikan dengan tarif PPh pasal 17.
4.
Menghitung PPh pasal 21 sebulan, yaitu PPh pasal 21 setahun dalam perhitungan no.3, kemudian dibagi dengan 12.
4. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh distributor perusahaan multilevel marketing atau kegiatan sejenisnya. Dilakukan dengan cara: a. Menghitung PKP yaitu penghasilan bruto dalam bulan yang bersangkutan dikurangi dengan PTKP yang sebenarnya sebulan. b. Menghitung PPh pasal 21 yaitu PKP sebulan dikalikan tarif PPh pasal 17. 5. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 atas honorarium yang jumlahnya tidak dihitung atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa yang diberikan. Perhitungannya dilakukan dengan cara penghasilan bruto dikalikan dengan tarif PPh pasal 17. 6. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh tenaga ahli (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan lain-lain). 33
a. Menghitung perkiraan penghasilan neto, yaitu 50% dikalikan dengan penghasilan bruto berupa honorarium atas imbalan lain dengan nama dan bentuk apapun yang diterima oleh tenaga ahli tersebut. b. Menghitung PPh pasal 21 yaitu tarif 15% dikalikan perkiraan penghasilan neto. 7. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan calon pegawai, dan pegawai tidak tetap seperti tenaga harian lepas, penerima upah satuan, dan penerima upah borongan. a. Jika jumlahnya tidak lebih dari Rp 100.000,- sehari, tidak dipotong PPh pasal 21 sepanjang jumlah penghasilan bruto tersebut dalam satu bulan takwim tidak melebihi Rp 1.000.000,- dan tidak dibayarkan secara bulanan. b. Jika jumlah penghasilannya melebihi Rp 100.000,- sehari dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak melebihi Rp 1.000.000,-, maka PPh pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif 5% dari penghasilan bruto setelah dikurangi Rp 100.000,- tersebut. c. dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp 1.000.000,- maka besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP yang sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi dengan 360. d. Apabila
penerima
penghasilan
tersebut
pegawai
tetap,
maka
dalam
perhitungannya, penghasilan tersebut ditambahkan pada gaji bulanan pegawai. 8. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 terhadap penghasilan berupa: jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan hari raya atau tahun baru, bonus, premi, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap pada umumnya diberikan sekali saja atau sekali setahun. 34
a. Menghitung PPh pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya. b. Menghitung PPh pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya. c. Menghitung PPh pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya yaitu selisih perhitungan a dan b. 9. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 terhadap penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun, dan THT/JHT yang diterima sekaligus, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Atas jumlah penghasilan bruto sebesar Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) atau kurang tidak dikenakan pajak penghasilan b. Atas jumlah di atas Rp 25.000.000,- dengan ketentuan sebagai berikut: Tabel II.4
Tarif atas Pesangon dan Uang Tebusan Pensiun
Lapisan Penghasilan Bruto
Tarif Pajak
Di atas Rp 25.000.000,- s.d. Rp 50.000.000,-
5%
Di atas Rp 50.000.000,- s.d. Rp 100.000.000,-
10%
Di atas Rp 100.000.000,- s.d. Rp 200.000.000,-
15%
Di atas Rp 200.000.000,-
25%
10. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan bruto berupa honorarium yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, dan Anggota TNI/ POLRI yang sumber dananya berasal dari keuangan negara atau keuangan daerah, kecuali yang
35
dibayarkan kepada PNS golongan IId ke bawah dan anggota TNI/POLRI berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah. Perhitungannya dilakukan dengan cara : 15% x penghasilan bruto. 11. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan yang sebagian atau seluruhnya diperoleh dalam mata uang asing, maka perhitungan PPh pasal 21 harus dikurskan terlebih dahulu ke dalam mata uang rupiah. 12. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan pegawai yang PPh pasal 21nya sebagian atau seluruhnya ditanggung oleh pemberi kerja. Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja tersebut termasuk pengertian imbalan atau penghasilan berupa kenikmatan yang tidak dipotong PPh pasal 21, sehingga dalam perhitungan PPh pasal 21 atas gaji pegawai yang bersangkutan, jumlah pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja tersebut ditambahkan pada penghasilan pegawai yang bersangkutan. 13. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 terhadap pegawai tetap yang menerima tunjangan pajak. Apabila pegawai memperoleh tunjangan pajak, maka tunjangan pajak tersebut merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan dan ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya. Dan perhitungan PPh pasal 21nya sama dengan perhitungan PPh pasal 21 atas penghasilan pegawai tetap seperti no.1. 14. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 atas penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak atau bukan pemerintah atau Wajib Pajak yang dikenakan pajak penghasilan bersifat final atau yang dikenakan pajak penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus. 36
Penghasilan atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan oleh oleh bukan Wajib Pajak tersebut, termasuk dalam penghasilan kena pajak bagi penerimanya. Jumlah imbalan tersebut dirupiahkan dan ditambahkan pada penghasilan bruto yang lain. Tata cara perhitungan PPh pasal 21 selanjutnya sama dengan perhitungan pada no.1. 15. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 tahunan terhadap penghasilan pegawai yang dipindah tugaskan dalam tahun berjalan. Perhitungannya sama dengan perhitungan pemotongan PPh pasal 21 pegawai tetap.
II.4
Manajemen Pajak II.4.1 Pengertian Manajemen Pajak Sophar Lumbantoruan seperti yang dikutip Suandy, E (2006) mendefinisikan “Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan” (h.7). Manajemen pajak secara garis besarnya suatu proses pengorganisasian dari usaha Wajib Pajak atau kelompok pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan atau pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal sepanjang hal tersebut dimungkinkan oleh Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Mengacu pada Suandy, E (2006), tujuan manajemen pajak yaitu menerapkan peraturan perpajakan secara benar dan melakukan usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya. Tujuan dari manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsi manajemen pajak yang terdiri dari : 37
1.
Perencanaan Pajak (Tax Planning) Mengacu pada Zain, M (2005), perencanaan pajak merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konskuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada konskuensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (tax evasion) yang merupakan tindak pidana fiskal yang tidak akan ditoleransi.
2.
Pelaksanaan Kewajiban perpajakan (Tax Implementation) Apabila pada tahap perencanaan pajak telah diketahui faktor-faktor yang akan dimanfaatkan untuk melakukan penghematan pajak, maka langkah selanjutnya adalah mengimplementasikannya baik secara formal maupun material. Harus dipastikan bahwa pelaksanaan kewajiban perpajakan telah memenuhi peraturan perpajakan yang berlaku. Manajemen pajak tidak dimaksudkan untuk melanggar peraturan dan jika dalam pelaksanannya menyimpang dari peraturan yang berlaku, maka praktik tersebut telah menyimpang dari tujuan manajemen pajak. Untuk dapat mencapai tujuan manajemen pajak ada dua hal yang perlu dikuasai dan dilaksanakan, yaitu memahami ketentuan peraturan perpajakan dan menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat.
3.
Pengendalian Pajak (Tax Control) Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah 38
memenuhi persyaratan formal maupun material. Dalam pengendalian pajak yang penting adalah pengecekan pembayaran pajak. Oleh sebab itu, pengendalian dan pengaturan arus kas sangat penting dalam strategi penghematan pajak, misalnya dalam melakukan pembayaran pajak pada saat terakhir tentu lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan membayar lebih awal.
II.4.2 Tujuan Manajemen pajak Tujuan dari manajemen PPh pasal 21 adalah mengelola PPh pasal 21 sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh laba yang diharapkan. Namun sebenarnya tujuan utama dari manajemen pajak adalah agar perusahaan dalam memenuhi kewajibannya tidak menyimpang dari ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku. Dengan manajemen pajak yang baik maka perusahaan telah membantu fiskus dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu juga untuk mengelakkan pajak sehingga menjadi lebih kecil dengan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada enam cara pengelakan pajak yang biasa dipraktekkan, yaitu : 1.
Pergeseran
Ada dua jenis pergeseran pajak yang sering dilakukan dalam pengelakan pajak: a.
Pergeseran pajak kedepan Pergeseran itu terjadi karena pabrikan mentransfer beban pajaknya kepada penyalur utama, pedagang besar, dan pada akhirnya konsumen. Pergeseran itu mengakibatkan kenaikan harga sebanyak pajak yang dikenakan. 39
b.
Pergeseran pajak kebelakang. Pergeseran ini terjadi bila pajak ditransfer dari konsumen atau pembeli melalui faktor distribusi kepada pabrikan. Jadi, pajak pertama kali dikenakan kepada konsumen atau pembeli, kemudian dia menggeser pajak tersebut kepada penyalur dengan cara pembelian setelah harga dipotong sebesar pajak yang dikenakan kepadanya. Demikian akhirnya penyalur menggeser beban pajak tersebut kepada pabrikan. Pajak yang digeser ke belakang mengakibatkan pemotongan harga jual.
2.
Kapitalisasi. Kapitalisasi pajak adalah pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli. Kapitalisasi ini sering terjadi jika pembeli harga tetap seperti tanah atau gedung dibebani pajak balik nama. Agar beban ini tidak menjadi tanggungan pembeli maka beban pajak dialihkan kepada penjual. Dengan demikian harga beli harta semakin berkurang. Kapitalisasi pajak ini dapat dikatakan salah satu bentuk pengalihan pajak kebelakang.
3.
Transformasi Transformasi adalah salah satu cara pengelakan pajak yang dilakukan oleh pabrikan dengan cara menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya. Cara ini biasa dilakukan oleh produsen sehingga kenaikan harga jual tidak menurunkan pangsa pasarnya. Supaya keuntungan perusahaan tidak berkurang, beban pajak yang seharusnya dapat ditransfer kepada produsen dapat dikompensasikan dengan meningkatkan efisiensi perusahaan. 40
4.
Penghindaran Pajak (tax avoidance) Barr, James dan Prest seperti yang dikutip Zain, M (2005) mendefinisikan penghindaran pajak sebagai manipulasi penghasilannya secara legal yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang” (h.50). Pengelakan ini memanfaatkan celah-celah yang terdapat dalam Undang-undang yang berlaku.
5.
Penggelapan Pajak (tax evasion) Ernest seperti yang dikutip Zain, M (2005) mendefinisikan “Penggelapan pajak adalah usaha yang tidak dapat dibenarkan berkenaan dengan kegiatan wajib pajak untuk lari atau menghindarkan diri dari pengenaan pajak” (h.49). Penggelapan pajak tidak sejalan dengan prinsip manajemen pajak. Agar terhindar dari tuduhan melakukan penggelapan pajak, maka perusahaan perlu mempelajari ketentuan perpajakan yang berlaku.
6.
Pengecualian pajak (tax exemption) Pengecualian pajak adalah pengecualian pengenaan pajak yang diberikan kepada perorangan atau badan. Pengecualian pajak di Indonesia diberikan berdasarkan Undang-undang. Hak pemberian pengecualian pajak terletak ditangan rakyat yaitu melalui wakil-wakil rakyat di DPR. Namun ada beberapa pengecualian pengenaan pajak yang diberikan oleh pemerintah sendiri. Hanya namanya saja yang berbeda seperti pajak yang ditanggung pengenaannya dan pajak yang ditanggung pemerintah.
41
II.4.3 Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak Mengacu pada Suandy, E (2006), agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka perencanaan itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut: 1.
Analisis informasi yang ada (analysis of the existing data base) Tahap pertama ini menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang harus ditanggung. Ini hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan masing-masing elemen dari pajak baik secara sendiri-sendiri maupun secara total pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai tax planning yang paling efisien.
2.
Buat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak (design of one or more possible tax plans)
3.
Evaluasi pelaksanaan rencana pajak (evaluating a tax plan) Perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak, perbedaan laba kotor dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencanaan. Variabelvariabel tersebut akan dihitung seakurat mungkin dengan hipotesis sebagai berikut: bagaimana jika rencana tersebut tidak dilaksanakan, bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan dan berhasil dengan baik dan bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan tetapi gagal.
4.
Mencari kelemahan dan kemudahan memperbaiki kembali rencana pajak (debugging the tax plan)
42
Hasil suatu perencanaan pajak bisa dikatakan baik atau tidak tentunya harus dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat. Dengan demikian keputusan yang terbaik atas suatu perencanaan pajak harus sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan operasi. Kadang suatu rencana harus diubah mengingat adanya perubahan peraturan/perundang-undangan. Tindakan perubahan harus tetap dijalankan, walaupun diperlukan penambahan biaya atau kemungkinan keberhasilan sangat kecil. Jadi tetap akan sangat membantu jika pembuatan suatu rencana disertai dengan pemberian gambaran beberapa persentase kesuksesan dan dilain pihak beberapa potensial laba yang akan diperoleh jika berhasil disertai potensial kerugian jika terjadi kegagalan. 5.
Mutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan) Pemutakhiran dari suatu rencana adalah konsekuensi yang perlu dilakukan oleh masyarakat yang dinamis. Dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan datang maupun situasi yang terjadi saat ini, seorang manajer akan mampu mengurangi akibat yang merugikan dari adanya perubahan, dan pada saat yang bersamaan mampu mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial.
II.4.4 Pengelolaan Transaksi Yang Berhubungan Dengan Kesejahteraan Karyawan Peluang efisiensi PPh Badan banyak dilakukan pada biaya-biaya yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan, strategi yang berkaitan dengan karyawan ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan seperti : 43
1.
Pada perusahaan yang mempunyai penghasilan kena pajak yang dikenakan tarif pajak tertinggi dan pengenaan PPh Badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
2.
Untuk perusahaan yang PPh Badannya dikenakan pajak secara final, sebaiknya memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan, karena hal tersebut tidak termasuk dalam objek PPh pasal 21, sedangkan pengeluaran untuk pemberian natura dan kenikmatan tidak mempengaruhi besarnya PPh Badan, karena PPh Badan final dihitung dari persentase atas penghasilan bruto sebelum dikurangi dengan biayabiaya perusahaan.
3.
Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan akan menurunkan PPh pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil.
II.4.5 Pengaruh Manajemen Pajak Terhadap Perusahaan Manajemen pajak sangat berpengaruh pada laba perusahaan karena dengan manajemen pajak
perusahaan dapat mengatur laba perusahaannya
apakah ingin lebih besar atau ingin lebih kecil. Perusahaan dapat meminimalkan beban pajaknya, dengan tidak melanggar peraturan perpajakan yang berlaku. Karena beban pajak yang kecil itulah maka laba bersih setelah pajak perusahaan menjadi lebih besar. Perusahaan
dapat
melakukan
manajemen
pajak
terhadap
pajak
penghasilannya agar laba yang dapat dihasilkan menjadi lebih besar. Misalnya 44
perusahaan dapat menentukan apakah beban PPh pasal 21 dipotong dari penghasilan karyawannya, apakah beban PPh pasal 21 ditanggung sebagian atau seluruhnya oleh perusahaan, atau memberikan tunjangan pajak kepada karyawannya. Ketiga alternatif pilihan tersebut memberikan penghematan yang berbeda-beda bagi perusahaan dan pilihan tersebut harus disesuaikan dengan kondisi perusahaan apakah perusahaan dalam keadaan rugi, untung atau dalam keadaan Break Event Point (BEP). Hal ini dimaksudkan agar perusahaan dapat mengatur beban pajak penghasilannya sehingga laba yang diperoleh menjadi lebih besar dan perencanaan pajak tersebut dapat berhasil dengan baik.
45