8
BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1
Manajemen Menurut Stephen P. Robbins dan Mary Coulter (2007 :8), Manajemen adalah proses
pengoordinasian kegiatan-kegiatan pekerjaan sehingga pekerjaan tersebut terselesaikan secara efisien dan efektif dengan dan melalui orang lain. Menurut Richard L.Daft (2002:8) ,Manajemen adalah pencapaian sasaran-sasaran organisasi dengan cara yang efektif dan efisien melalui perencanaan pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian sumberdaya organisasi. Manajemen sangat diperlukan dalam Sumber Daya Manusia untuk dapat mengatur SDM agar menjadi efektif . SDM yang dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat yang baik bagi perusahaan. 2.1.2
Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Nawawi dalam Didit Darmawan (2013: 2), Sumber Daya Manusia memiliki tiga
pengertian sebagai berikut: 1. SDM adalah personil, tenaga kerja, karyawan yang bekerja di lingkungan organisasi 2. SDM adalah potensi manusia sebagai penggerak organisasi untuk mewujudkan eksistensinya. 3. SDM adalah potensi yang merupakan asset dan berfungsi sebagai modal di organisasi bisnis yang dapat diwujudkan menjadi potensi nyata secara fisik untuk mewujudkan eksistensi organisasi. Menurut Didit Darmawan (2013 : 1), Sumber Daya Manusia adalah asset tidak nyata yang menghasilkan produk karya jasa intelektual.
9
Sumber daya manusia merupakan asset perusahan yang sangat penting bagi berlangsungnya aktivitas perusahan, maka dari itu SDM perlu dikelola dan diperhatikan. Operasional suatu organisasi tidak dapat berjalan lancar bila tidak memperhatikan kebutuhankebutuhan karyawan secara tepat , (Didit Darmawan , 2013: 57). Manajemen Sumber Daya Manusia menurut Mathis& Jackson(2006:3) adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan organisasional. Menurut Robbin, ( 2007;342) mencapai keberhasilan bersaing melalui orang-orang memerlukan perubahan fundamental dalam cara berpikir manajer tentang karyawannya dan cara manajer memandang hubungan kerja, dengan begitu salah satu manfaatnya
adalah akan
meningkatkan kemampuan mempertahakan karyawan yang bermutu. Manajemen Sumber Daya yang baik harus dapat memperhatikan aspek keadilan terhadap SDMnya. Persepsi karyawan terhadap keadilan yang dirasakannya di tempat bekerja dapat menjadi suatu persepsi yang adil atau tidak adil. 2.1.3 Keadilan Organisasi Bagian ini akan membahas tentang definisi keadilan organisasi dan dimensi dari keadilan organisasi. 2.1.3.1 Definisi Keadilan Organisasi Menurut John, Robert, dan Michael ( 2005: 159), Teori keadilan menjelaskan bagaimana persepsi seseorang mengenai seberapa adil mereka diperlakukan dalam transaksi social di tempat kerja (misalkan jumlah kenaikan gaji tahun ini, seberapa baik supervisor memperlakukan mereka,dll) dapat memperngaruhi motivasi mereka. Inti keadilan adalah bahwa karyawn membandingkan usaha dan penghargaan yang mereka terima dengan orang lain dalam situasi kerja yang serupa. Empat istilah penting dalam teori ini adalah: 1. Orang (person) .individu kepada siapa keadilan dan ketidakadilan dipersepsikan.
10
2. Perbandingan dengan orang lain ( comparision other). Setiap kelompok atau orang yang digunakan oleh seseorang sebagai referensi berkenaan dengan rasio input dan hasil. 3. Input. Karakteristik individu yang dibawa oleh seseorang ke tempat kerja. Hal ini mungkin dicapai (misalkan keterampilan, pengalaman, pembelajaran) atau diturunka ( misalkan, jenis kelamis, ras). 4. Hasil. Apa yang diterima seseorang dari pekerjaan (misalkan pengakuan, tunjangan, gaji) Keadilan muncul ketika karyawan mempersepsikan bahwa rasio dari input mereka(usaha) terhadap hasil mereka (penghargaan) sama dengan rasio pada karyawan yang lain. Ketidakadilan muncul ketika rasio tersebut tidak sama ; rasio input dan hasil seorang individu dapat lebih besar atau kurang dari milik orang lain. Menurut Muchinsky dalam Crow& Lee (2008), “ Organizational Justice is the theoretical concept regarding how people treated within an organization and is usually divided into two dimensions: distributive and procedural justice “. Menurut Robbin dan Judge(2008 : 185), keadilan organisasi didefinisikan sebagai keseluruhan persepsi tentang apa yang adil ditempat kerja, yang terdiri dari keadilan distributif, prosedural, dan interaksional. karyawan memandang organisasi mereka hanya ketika mereka percaya hasil yang mereka terima, cara di mana hasil yang diterima adil. Kunci utama dari elemen keadilan organisasi adalah persepsi individu tentang keadilan. Persepsi merupakan suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan sensori mereka untuk memberi arti bagi lingkungan mereka. Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan keadilan organisasi merupakan suatu persepsi seorang karyawan mengenai apa yang dirasa adil atau tidak adil di tempat bekerja.
2.1.3.2 Dimensi Keadilan Organisasi 2.1.3.2 Dimensi Keadilan Organisasi
11
Keadilan organisasi memiliki berbagai macam dimensi yang dikemukaan oleh para ahli, dalam bagian ini akan dibahas dimensi keadilan organisasi yang diambil dari 3 sumber yaitu ,dalam Arabian Journal of Business and Management Review (2013), Robbin & Judge (2008) & dalam jurnal yang berjudul “ perceived organizational justice and work –related attitude” , (2012). Dalam Arabian Journal of Business and Management Review (2013: 100), Keadilan organisasi memiliki 4 dimensi , yaitu distributif, prosedural, interaksional, dan informasional. Dimensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Keadilan Distributif Keadilan distributif mencerminkan keadilan yang dirasakan dari hasil pengambilan keputusan. Karyawan mengukur keadilan distributif dengan melihat apakah hasil keputusan seperti gaji, penghargaan, evaluasi, promosi, dan tugas kerja dialokasikan dengan menggunakan norma-norma yang tepat. Dalam kebanyakan situasi bisnis, norma yang tepat adalah ekuitas, dengan hasil yang lebih dialokasikan kepada mereka yang berkontribusi input lebih banyak. Norma ekuitas biasanya dinilai menjadi pilihan paling adil dalam situasi di mana tujuannya adalah untuk memaksimalkan produktivitas karyawan .
2. Keadilan Prosedural Selain menilai kewajaran hasil keputusan , karyawan juga mempertimbangkan proses yang menyebabkan hasil tersebut. Keadilan Prosedural mencerminkan keadilan yang dirasakan dari proses pengambilan keputusan .Keadilan prosedural dipupuk ketika otoritas mematuhi aturan proses yang adil . Keadilan prosedural dipupuk ketika otoritas mematuhi empat aturan yang berfungsi untuk menciptakan kesempatan kerja yang sama . Konsistensi , penekanan bias, Representatif , dan akurasi membantu memastikan bahwa prosedur netral dan obyektif , seperti menentang bias dan diskriminatif .Penelitian menunjukkan bahwa suara meningkatkan reaksi karyawan untuk keputusan , terutama karena memberikan karyawan rasa kepemilikan atas keputusan yang terjadi di tempat kerja . Bahkan ,jika nilai suara karyawan tidak menghasilkan hasil apa yang mereka inginkan (Korsgaard & Roberson dalam Missepasi,Memarzadeh,Alipour,Ghaderi,2013 ) ,Karena karyawan ingin pendapatnya didengar dan benar-benar dipertimbangkan.
12
Dalam Majalah Ekonomi(2010 : 105), Konsistensi, penekanan bias, representative dan akurasi dijelaskan sebagai berikut: 1. Konsistensi. Pengambilan keputusan memiliki prosedur formal yang diberlakukan konsisten untuk semua orang dari waktu ke waktu. 2. Penekanan bias. Pengambilan keputusan terbebas dari kepentingan yang menguntungkan kelompok atau individu tertentu. 3. Representative Upaya melibatkan pihak-pihak berkepentingan dalam proses pengambilan keputusan . 4. Akurasi Pengambilan keputusan didasarkan pada informasi yang aurat dan lengkap.
3. Keadilan Interpersonal Selain menilai kewajaran hasil keputusan dan proses, karyawan mempertimbangkan bagaimana atasan memperlakukan mereka sebagai prosedur yang diterapkan. Keadilan Interpersonal dipupuk ketika atasan mematuhi dua aturan tertentu. Rasa hormat aturan berkaitan dengan apakah atasan memperlakukan karyawan dengan cara yang bermartabat dan tulus, dan aturan kesopanan mencerminkan apakah atasan menahan diri dari membuat komentar yang tidak tepat. Dari perspektif ini, ketidakadilan antarpribadi terjadi ketika atasan menjelekkan karyawan, mengkritik, mencaci-maki, atau mempermalukan mereka di depan umum, atau merujuk kepada mereka dengan rasis.(Bies dalam Missepasi, Memarzadeh, Alipour, Ghaderi, 2013). Penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran Keadilan Interpersonal dapat mengurangi kepuasan kerja karyawan, kepuasan hidup, dan komitmen organisasi sementara perasaan peningkatan depresi, kecemasan, dan kelelahan (Tepper dalam Missepasi, Memarzadeh, Alipour, Ghaderi, 2013).
4. Keadilan Informasional Keadilan informasi mencerminkan keadilan yang dirasakan dari komunikasi yang diberikan kepada karyawan dari pihak berwenang. Keadilan informasi dipupuk ketika otoritas mematuhi dua aturan tertentu. Aturan pembenaran mengamanatkan bahwa atasan
13
menjelaskan prosedur pengambilan keputusan dan hasil secara komprehensif dan masuk akal, dan aturan kebenaran mensyaratkan bahwa mereka berkomunikasi jujur dan apa adanya.
Dalam Robbin & Judge (2008) dan dalam Jurnal yang berjudul “ perceived organizational justice and work –related attitude” , (2012). Keadilan organisasi dibedakan anatara 3 tipe : distributif, prosedural, dan interaksional.
1) Keadilan Distributif Menurut Robbin & Judge ((2008 :186) ,Keadilan distributif adalah dimana persepsi keadilan karyawan dari jumlah dan alokasi penghargaan antara individu-individu. Dalam Jurnal “ perceived organizational justice and work –related attitude” , (2012), Keadilan distibutif merujuk pada persepsi yang diungkapkan karyawan sehubungan dengan distribusi sumber daya dan hasil. Studi tentang keadilan distributive terutama berkaitan dengan hasil-hasil yang adil. Keadilan distributive didasarkan pada teori ekuitas, oleh karena itu, dalam menilai keadilan , individu mengevaluasi nilai input kerja mereka dibandingkan dengan hasil yang diterima dari organisasi. Input berhubungan dengan sesuatu seperti bekerja keras, semangat , tingkat keterampilan, komitmen, dan dedikasi. Sedangkan hasil adalah penghargaan yang dicapai seperti gaji, tunjangan, dan pengakuan. Ada beberapa cara memberi pengakuan pada karyawan:Pujian,Penilaian Prestasi, Promosi, Menambah Wewenang, Memberikan Uang. Individu menentukan keadilan dari input/ outcome dengan membandingkan rasio mereka dengan rekan kerja yang lain. Jika seseorang merasa tidak adil melalui perbandingan ini, ia akan cenderung untuk mengurangi input nya kepada perusahaan. Sebaliknya apabila seseorang merasa adil , tingkat kepuasan dan komitmen akan meningkat.
2) Keadilan Prosedural Menurut Robbins& Judge (2012: 186) Keadilan prosedural adalah keadilan yang dirasakan dari proses yang digunakan untuk menentukan hasil. dua elemen kunci dari keadilan prosedural adalah pengendalian proses dan penjelasan. Pengendalian proses adalah kesempatan untuk mempresentasikan satu titik pandang tentang hasil yang diinginkan untuk pengambil keputusan. Penjelasan alasan yang jelas diberikan kepada seseorang oleh
14
manajemen untuk hasil. Dengan demikian, agar karyawan melihat proses sebagai adil, mereka perlu merasa bahwa mereka memiliki kontrol atas hasilnya dan merasa bahwa mereka diberi penjelasan yang cukup tentang hasil yang diberikan. Dalam Jurnal “ perceived organizational justice and work –related attitude” , (2012), keadilan prosedural berkaitan dengan kewajaran prosedur yang digunakan untuk mendistribusikan hasil-hasil .Sarana untuk mencapai suatu hasil mungkin sama pentingnya dengan hasil dalam hal mempengaruhi karyawan (Alexander dalam jurnal perceived organizational 2012). Karyawan menilai ekuitas prosedur dengan jumlah bias, akurasi pengumpulan informasi, jumlah pihak-pihak terkait yang diberikan suara dalam pengambilan keputusan, standar etika terapan, dan konsistensi implementasi keputusan. Ketika sebuah proses yang mengarah ke hasil tertentu yang dianggap tidak adil, reaksi orang tersebut diperkirakan akan diarahkan pada seluruh organisasi, bukan pada tugas nya atau hasil tertentu yang bersangkutan. Konsekuensi keadilan prosedural termasuk variabel seperti komitmen organisasional, kepuasan kepercayaan, kepatuhan dengan keputusan dan kinerja.
3) Keadilan Interaksional Menurut Robbins& Judge(2012: 186) Keadilan interaksional merupakan persepsi individual
dari
sejauh
mana
ia
diperlakukan
dengan
martabat,
perhatian, dan rasa hormat. ketika orang diperlakukan secara tidak adil, mereka merespon dengan membalas). karena keadilan interaksional atau ketidakadilan erat terkait dengan penyampai informasi, sedangkan ketidakadilan prosedural berhubungan lebih erat dengan supervisior . Dalam Jurnal “ perceived organizational justice and work –related attitude” , (2012), Keadi lan interaksional mengacu pada persepsi mengenai cara atasan memperlakukan bawahan mereka, dan bagaimana bawahan ini menanggapi persepsi. Hal ini juga berkaitan dengan bagaimana informasi dikomunikasikan dan apakah individu dipengaruhi oleh keputusan diperlakukan dengan cara yang sopan yaitu diperlakukan dengan hormat dan bermartabat .Secara keseluruhan, persepsi interaksional merupakan hasil keadilan dari atasan yang
15
membangun kepercayaan perilaku seperti "ketersediaan , kebijaksanaan, keadilan, ,keterbukaan, pemenuhan janji, penerimaan, dan kepercayaan secara keseluruhan” Model dari keadilan organisasi menurut Robbin & Judge (2008) dapat dilihat pada Gambar 2.1 Gambar 2.1 Model Of Organizational
Justice Sumber: Stephen Robbin and Timothy A. Judge , Organizational Behavior(2008: 186) Penelitian telah mengidentifikasi dua subkategori keadilan interaksional : keadilan informasi dan keadilan interpersonal ( Folger dan Cropanzano , dalam jurnal A Study of Relationship between Organizational Justice and Job Satisfaction, 2010). Kedua subkategori informasi dan interpersonal saling tumpang tindih, namun penelitian menunjukkan bahwa mereka harus dipertimbangkan secara terpisah, karena masing-masing memiliki efek yang berbeda pada persepsi keadilan. Pada penelitian ini dimensi dari keadilan organisasi yang digunakan adalah keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan informasional.
16
2.1.4
Kepuasan Kerja Pada bagian ini akan dibahas tentang definisi kepuasan kerja, teori tentang kepuasan
kerja ,dimensi kepuasan kerja,dan dampak dari ketidakpuasan kerja. 2.1.4.1 Definisi Kepuasan Kerja Kepuasan kerja menurut Griffin dalam jurnal yang berjudul Organizational justice and organizational commitment among South Korean police officers , adalah, “a subjective feeling about how much an individual’s needs are met by a job and can be expressed as “ the extent to which people like their jobs”.” Kepuasan kerja menurut Robbin dan Judge ( 2008 : 301), merujuk pada sikap umum seseorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan yang tinggi akan menunjukan sikap yang positif terhadap pekerjaannya,sedangkan seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya akan menunjukan sikap yang negative terhadap pekerjaan. Menutur Colquitt, Lepine, Wesson (2011: 105), kepuasan kerja adalah tingkat perasaan menyenangkan yang diperoleh dari penilaian pekerjaan seseorang atau pengalaman kerja. Dengan kata lain, kepuasan kerja mencerminkan bagaimana kita merasakan tentang pekerjaan kita dan apa yang kita pikirkan tentang pekerjaan kita. Menurut Didit Darmawan, ( 2013:58), kepuasan kerja adalah suatu tanggapan secara kognisi dan afeksi dari seorang karyawan terhadap segala hasil pekerjaan atau kondisi-kondisi lain yang berhubungan dengan pekerjaann, seperti gaji , lingkungan kerja, rekan kerja , dan atasan. Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan definisi kepuasan kerja adalah perasaan seseorang yang dirasakan mengenai yang berhubungan dengan pekerjaannya di tempat kerjanya, puas atau tidak puas. Kepuasan kerja memiliki dimensi yang berada di dalamnnya. 2.1.4.2 Dimensi Kepuasan Kerja Menurut Robbin dan Judge (2008: 81) kepuasan kerja disebabkan oleh 5 faktor , yaitu sebagai berikut :
17
1. Pekerjaan itu sendiri ( work itself) Faktor ini mengarah kepada pekerjaan yang dijalani karyawan, apakah memiliki elemen yang dapat memberikannya kepuasan kerja.pekerjaan yang menarik yang memberikan pelatihan, variasi, kemandirian, dan kontrol akan memuaskan karyawan. Karyawan yang menikmati pekerjaannya akan selalu berhubungan dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi. 2. Gaji ( pay) Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak layak. 3. Kesempatan untuk maju (advancement opportunities) Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknyakesempatan untuk memperoleh peningkatan karir selama bekerja. 4. Pengawasan (Supervision) Merupakan faktor yang berhubungan dengan bagaimana pengawasan yang ada di dalam organisasi. 5. Rekan Kerja (Coworker) Merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya. Pada penelitian ini kepuasan kerja karyawan diukur dari perasaan puas karyawaan terhadap faktor-faktor yang telah disebutkan di atas. Setiap Organisasi atau perusahaan harus dapat memperhatikan karyawannya dengan baik agar kepuasan kerja yang dirasakan karyawan dapat meningkat.Namun apabila kepuasan yang dirasakan karyawan rendah dapat memberikan dampak negatif pada perusahaan. 2.1.4.3 Dampak Ketidakpuasan Kerja Menurut Robbin dan Judge ( 2008 : 83), dampak dari ketidakpuasan karyawan di tempat kerjanya dituangkan dalam suatu kerangka teoritis pada gambar 2.2 yang dinamakan “the exit,voice,loyalty,neglect framework”. Kerangka kerja tersebut dibedakan dalam dua dimensi : konstruktif/ destruktif dan aktif dan pasif. Dampak dari ketidakpuasan tersebut didefinisikan sebagai berikut:
18
1. Keluar (Exit) Perilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru serta mengundurkan diri. 2. Voice secara aktif dan konstruktif berusaha untuk memperbaiki kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan beberapa bentuk kegiatan serikat pekerja 3. Kesetiaan (Loyality) Secara pasif tetapi optimis menunggu kondisi untuk membaik, termasuk membela organisasi dalam menghadapi kritik eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk “melakukan hal yang tepat”. 4. Pengabaian (Neglect) Secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk absensi dan keterlambatan yang tinggi, berkurangnya usaha, dan tingkat kesalahan semakin meningkat.
Gambar: 2.2 The Exit, Voice, Loyalty, Neglect Framework
Sumber : Stephen Robbin and Timothy, A Judge, (2008)
19
2.1.5 Komitmen Organisasi Pada bagian ini, akan dibahas tentang definisi komitmen organisasi dan dimensi dari komitmen organisasi. 2.1.5.1 Definisi Komitmen Organisasi Menurut Robbins dan Judge(2008: 74), komitmen organisasi didefiniskan sebagai suatu keadaan di mana seorang karyawan mengidentifikasi organisasi tertentu dan tujuan dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Menurut Luthans dalam Edy (2011: 292), komitmen organisasi merupakan: 1). Keinginan yang kuat untuk menjadi anggota dalam suatu kelompok, 2). Kemauan usaha yang tinggi untuk organisasi 3). Suatu keyakinan tertentu dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi.
2.1.5.2 Dimensi Komitmen Organisasi Menurut Allen dan Mayer , komitmen organisasi adalah sebuah konsep yang memiliki tiga dimensi ,yaitu affective,normative , dan continuance commitmen. ( Didit Darmawan, 2013: 168) •
Affective Commitment Tingkat seberapa jauh seorang karyawan secara emosi terikat, mengenal dan terlibat dalam organisasi. Karyawan dengan affective commitment yang tinggi tetap tinggal dengan organisasi karena mereka memang menginginkannya. Orang-orang ini mengenal organisasi dan terikat untuk tetap menjadi anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Komitmen ini berasal dari kondisi kerja individu dan harapan individu yang terpenuhi di organisasi.
•
Normative Commitment Merujuk kepada tingkat seberapa jauh seseorang secara psychological terikat untuk menjadi karyawan dari sebuah organisasi yang didasarkan kepada perasaan seperti kesetiaan, ,kepemilikan, kebanggaan, kesenangan, dan lain-lain.
20
•
Continuance Commitment Suatu penilaian terhadap biaya yang terkait dengan meninggalkan organisasi. Karyawan yang memiliki continuance commitment yang tinggi tetap tinggal dalam organisasi karena mereka butuh berbuat demikian. Mereka tetap tinggal karena mereka akan mendapat uang pension, dan fasilitas atau mereka harus membayar biaya karena pindah kerja,bukan karena adanya hubungan affective yang menyenangkan dengan organisasi.
2.1.5.3 Meningkatkan Komitmen Organisasi Banyak model dan cara yang dapat digunakan sebagai dasar untuk membangun komitmen organisasional, diantaranya yang dikemukakan oleh
Desller dalam Amin
Wahyudi (2012: 6). Dalam teorinya ,Dessler mengidentifikasi bagaimana cara membangun komitmen melalui pendekatan “ Roda Komitmen “ ( The Commitment Wheel ) 1. Lingkaran Inti Lingkaran Inti Merupakan lingkaran paling dalam dari teori “ roda komitmen “ Dessler. Fokus pada lingkaran ini adalah membangun komitmen dengan cara mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan ( People First Value ). Artinya jika suatu organisasi ingin membangun komitmen, yang pertama yang harus dilakukan adalah organisasi harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan kepada seluruh individu / karyawan yang ada di dalamnya, yaitu individu/ karyawan harus dipandang sebagai manusia secara utuh bukan sekedar sebagai salah satu dari sekian banyak faktor produksi. Disamping organisasi harus berkeyakinan bahwa sumber daya manusia merupakan asset penting yang akan menentukan sukses atau tidaknya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya serta harus dijaga dan dipelihara dengan baik nilai-nilai kemanusiaannya.
Agar organisasi dapat mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan,
maka organisasi harus melakukan langkah-langkah sebagi berikut : a. Memahami apa yang diinginkan . Maksudnya hendaknya organisasi memahami apa yang menjadi orientasi dan tujuan individu / karyawan masuk dalam organisasi tersebut, tetapi secara timbal balik, individu / karyawan juga harus memahami apa orientasi dan tujuan yang
21
hendak dicapai oleh organisasi. Dengan demikian akan terjadi kesatuan langkah antara individu / karyawan dengan organisasi. b. Menyatakan secara tertulis Maksudnya langkah ini adalah untuk menyatakan bahwa baik organisasi maupun individu / karyawan menuliskan hak-hak dan kewajibannya yang berkenaan dengan nilai-nilai kemanusiaan untuk disepakati bersama, misalnya semboyansemboyan, pedoman / peraturan, kesepakatan-kesepakatan yang mampu mendorong komitmen keduabelah pihak . c. Mempekerjakan / mengaktifkan dan mengindoktrinasi. Maksudnya, organisasi mempekerjakan orang-orang yang mengutamakan nilainilai kemanusiaan dan organisasi menanamkan nilai-nilai tersebut dalam diri individu orang-orang yang ada di dalamnya. d.
Melaksanakan apa yang telah tertulis Maksudnya, organisasi menjabarkan dan menterjemahkan apa yang telah ditulis dan disepakati kedalam realitas kegiatan organisasi. Dalam hal ini organisasi memberikan hak-hak individu/ karyawan yang berkenaan dengan kebutuhan kemanusiaannya. Sedangkan Individu / karyawan melaksanakan kewajibannya kepada organisasi.
2. Lingkaran Lapis Kedua Untuk lingkaran lapis kedua, menunjukkan prioritas yang akan dilakukan organisasi untuk mewujudkan komitmen organisasional setelah organisasi mewujudkan nilainilai kemanusiaan, yaitu : a. Komunikasi dua arah ( Double – Talk ) Yang dimaksud dalam hal ini komunikasi dari atasan kepada bawahan ( Top – down ) maupun dari bawahan kepada atasan ( Bottom – Up. Untuk terjadinya kominikasi dua arah dibutuhkan suatu saluran dan mekanisme yang berfungsi sebagai sarana terjadinya kemunikasi tersebut yang berupa rapat-rapat resmi, pertemuan-pertemuan informal, surat edaran, laporan tertulis, maupun dengan menggunakan alat-alat audio visual. Dalam suatu organisasi, komunikasi ini menjadi sangat penting agar kedua belah pihak saling percaya dan mengatuhi
22
keinginan masing-masing sehingga mampu meningkatkan kinerja organisasi dalam mencapai tujuan. b.
Kesatuan ( Communion ) Yang dimaksud dengan kesatuan ini adalah adanya kesatuan atau keserasian dan keselarasan antara interest individu dengan interest organisasi. Pimpinan organisasi perlu memperkuat rasa persatuan, rasa keterikatan, dan rasa memiliki serta rasa partisipasi seluruh individu terhadap organisasi, sehingga seluruh individu akan merasa menjadi bagian yang utuh dari organisasi.
c. Mediasi Transendental ( Trancendental Mediation ) Yang dimaksud dengan mediasi transendental ini adalah agar individu / karyawan memiliki komitmen terhadap organisasi, maka organisasi harus menetapkan visi, misi dan nilai-nilai spesifik yang dikembangkan organisasi secara jelas dan konsisten sehingga dapat dijadikan pegangan dan pedoman bagi seluruh individu dalam mencapai tujuan bersama.
3. Lingkaran Lapis Ketiga Lingkaran lapis ketiga ini menggambarkan prioritas ketiga bagi organisasi dalam membangun komitmen organisasional para individu yang ada di dalamnya yaitu dengan cara : a. Mempekerjakan individu berdasarkan nilai ( Value – Based Hiring ). Dalam hal ini organisasi dalam mempekerjakan seorang individu / karyawan bukan semata-mata mendasarkan pada ketrampilan dan kemampuan teknis tetapi juga mempertimbangkan aspek nilai-nilai, sikap dan mental serta komitmen seseorang terhadap pekerjaan dan organisasinya b. Jaminan keamanan ( Securitizing ). Dalam hal ini Organisasi harus dapat memberikan jaminan rasa aman dalam berkerja serta harapan-harap kedepan yang dapat menjadikan individu terus ingin bergabung berada di dalam organisasi seperti jaminan keselamtan dan kesehatan kerja, prospek karier yang jelas, jaminan hari tua dan sebagainya. c. Bentuk imbalan yang ketat ( Hard – size reward )
23
Dalam hal ini organisasi / perusahaan memberlakukan system imbalan yang ketat, tetapi sekaligus menjamin kesejahteraan individu / karyawan. Sistem reward yang ketat memberikan gambaran tentang besarnya reward yang diberikan kepada individu / karyawan akan mencerminkan seberapa besar kontribusi individu tersebut dalam upaya pencapaian tujuan organisasi. 4. Lingkaran Lapis Keempat Lingkaran ini merupakan lapis yang terakhir, yaitu Aktualisasi ( Actualizing ), yang berarti bahwa hal ini merupakan urutan prioritas terakhir dalam membangun komitmen organisasional, yaitu organisasi harus mampu meyakinkan bahwa semua individu dalam organisasi memiliki kesempatan yang sama untuk mengaktualisasikan kemampuannya dan ketrampilannya. Dalam hal ini organisasi perlu membuat program-program pelatihan dan pendidikan dalam upaya meningkatkan kualitas individu dalam organisasi seperti job enlargement dan job enrichment, dan selanjutnya memberikan pekerjaan dan tugas yang menantang dirinya.
2.1.6
Hubungan Keadilan Organisasi , Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasi Pada Bagian ini akan dijelaskan hubungan Hubungan Persepsi Keadilan Organisasi ,
Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasi. 2.1.6.1 Hubungan Keadilan Organisasi terhadap Komitmen Organisasi. Keadilan organisasi mempunyai hubungan positif terhadap komitmen organisasi. Semakin tinggi keadilan organisasi semakin tinggi komitmen pegawai terhadap organisasi (Samad dalam Jelpa:2008)
24
2.1.6.2 Hubungan Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasi Menurut Didit Darmawan (2013: 64), bidang kepuasan kerja memiliki implikasi manajerial yang signifikan karena ribuan penelitian telah menguji antara kepuasan dengan variable
organisasi
lain,
salah
satunya
komitmen
organisasi.
Komitmen
organisasi
mencerminkan bagaimana seorang individu mengidentifikasi dirinya dalam organisasi dan terikat dengan tujuan-tujuannya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tett dan Meyer(1993) mengungkapkan hubungan yang signifikan dan kuat antara komitmen organisasi dengan kepuasan. Para manajer disarankan meningkatkan kepuasan kerja dengan tujuan untuk mendapatkan tingkat komitmen yang lebih tinggi. 2.1.6.3 Hubungan Keadilan Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Dalam Jurnal yang berjudul “perceived organizational justice and workrelated attitude”(2012) , dikemukakan bahwa keadilan dalam organisasi memainkan peran yang penting dalam pengaruhnya dengan perilaku pekerja, seperti kepuasan kerja. 2.2
Kerangka Pemikiran Variabel independent dari penelitian ini yang pertama adalah keadilan organisasi (X),yang
terdiri dari keadilan distributive, keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan informasional. Variabel Dependen pada penelitian ini adalah Komitmen Karyawan (Z), yang terdiri dari Affective Commitment ,Normative Commitment , dan Continuance Commitment. Dan Variabel mediasi/ mediator dari penelitian ini adalah Kepuasan kerja(Y) , yang dinilai dari perasaan puas karyawan dari faktor-faktor yang terdiri dari pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan untuk maju, pengawasan, rekan kerja. Kerangka penelitian dapat dilihat pada gambar 2.3, sebagai berikut:
25
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Variabel Independent
Variabel Dependent Variabel mediasi
Keadilan Organisasi (X) • • • •
2.3
Keadilan distributif Keadilan Prosedural Keadilan interpersonal Keadilan Informasional
Kepuasan Kerja (Y) • • • • •
Pekerjaan itu sendiri Gaji Kesempatan untuk maju Pengawasan Rekan kerja
Komitmen Organisasi (Z) •
Affective Commitment
•
Normative Commitment
•
Continuance Commitment
Hipotesis Menurut Uma Sekaran (2006 : p135), hipotesis dapat didefinisikan sebagai hubungan
yang secara logis diantara dua atau lebih variable yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan dapat diuji. Hubungan tersebut dapat diperkirakan berdasarkan jaringan asosiasi yang dapat ditetapkan dalam rangka kerangka teoritis yang dirumuskan untuk studi penelitian. Hipotesis pada penelitian ini sebagai berikut: a) Untuk T-1 H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara keadilan organisasi terhadap kepuasan kerja. H1 = Ada pengaruh yang signifikan antara keadilan organisasi terhadap kepuasan kerja.
b) Untuk T-2
26
H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikasn antara keadilan organisasi terhadap komitmen organisasi. H1=
Ada pengaruh yang signifikan antara keadilan organisasi terhadap komitmen
organisasi
c) Untuk T-3 H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi. H1 = Ada pengaruhyang signifikan antara kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi.
d) Untuk T-4 H0 = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara keadilan organisasi terhadap komitmen organisasi dan kepuasan kerja sebagai variabel mediasi H1 = Ada pengaruh yang signifikan antara keadilan organisasi terhadap komitmen organisasi dan kepuasan kerja sebagai variabel mediasi.