BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1.
Pembelajaran
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1 butir 20 merumuskan pengertian pembelajaran yaitu “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Berdasarkan definisi tersebut pembelajaran mengandung lima konsep utama yaitu, interaksi, peserta didik, pendidik, sumber belajar dan lingkungan belajar. Pada pengajaran guru mengajar, peserta didik belajar, sementara pada pembelajaran guru mengajar diartikan sebagai upaya guru mengorganisir lingkungan
terjadinya
pembelajaran.
Guru
mengajar
dalam
prespektif
pembelajaaran adalah guru menyediakan fasilitas belajar bagi siswa untuk mempelajarinya. Jadi, subyek pembelajaran adalah peserta didik. Pembelajaran berpusat pada peserta didik. Pembelajaran adalah dialog interaktif. Pembelajaran merupakan proses organik dan konstruktif, bukan mekanis seperti halnya pengajaran (Suprijono, 2009: 13). Pembelajaran berupaya mengubah masukan berupa siswa yang belum terdidik, menjadi siswa yang terdidik, siswa yang belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu, menjadi siswa yang memiliki pengetahuan. Demikian pula siswa yang memiliki sikap, kebiasaan atau tingkah laku yang belum mencerminkan eksistensi dirinya sebagai pribadi baik atau positif, menjadi siswa yang memiliki sikap, kebiasaan dan tingkah laku yang baik. Sebenarnya belajar dapat saja terjadi tanpa pembelajaran, namun hasil belajar akan tampak jelas suatu aktivitas pembelajaran (Aunurrahman, 2009 : 34). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu usaha sadar dari guru untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa
yang dirancang, disusun untuk
mendukung dan
mempengaruhi terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal sehingga 10
11 mampu menimbulkan perubahan tingkah laku pada siswa yang berlangsung relatif lama.
2. Teori Belajar Ada banyak teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli. Beberapa teori belajar yang dijadikan sumber acuan dalam penelitian ini: 1) Teori Belajar Piaget Piaget berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu, sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan. Adanya interaksi individu dengan lingkungan mengakibatkan fungsi intelek semakin berkembang.
Setiap
individu
membangun
sendiri
pengetahuannya.
Pengetahuan yang dibangun terdiri dari tiga bentuk, yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematik, dan pengetahuan sosial. Perkembangan kognitif yang digambarkan oleh Piaget meliputi tahapan-tahapan berikut: a) Tahap sensori motor (0 - 2 tahun). Pada tahap ini anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik dan motorik. Anak mengenal lingkungan dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan dan menggerak-gerakkannya. b) Pra-operasional (2 – 7 tahun). Pada tahap ini, anak mengandalkan diri pada persepsi tentang realitas. Ia telah
mampu
menggunakan
simbol,
bahasa,
konsep
sederhana,
berpartisipasi, membuat gambar, dan menggolong-golongkan. c) Operasional konkret (7 - 11 tahun). Pada tahap ini anak dapat mengembangkan pikiran logis. Ia dapat mengikuti penalaran logis, walau kadang-kadang memecahkan masalah secara “trial and error”. d) Operasi formal (11 tahun - ke atas). Pada tahap ini anak dapat berpikir abstrak seperti pada orang dewasa (Dimyati & Mudjiono, 2009). Perkembangan kognitif yang digambarkan Piaget merupakan proses adaptasi intelektual. Adaptasi ini merupakan proses yang melibatkan skemata,
12 asimilasi, akomodasi, dan equilibration. Skemata adalah struktur kognitif berupa ide, konsep, gagasan. Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru. Equilibration adalah pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi (Suprijono, 2009: 23). Sumbangan teori belajar Jean Piaget pada penelitian ini adalah pada penelitian ini siswa dituntut aktif membangun pengetahuan melalui interaksi terus-menerus dengan lingkungan agar fungsi inteleknya berkembang. Siswa diharapkan mampu mengorganisasi atau menghubungkan informasi baru yang mereka peroleh dengan pengetahuan yang telah siswa miliki sebelumnya melalui adaptasi intelektual. 2) Teori Vygotsky Teori Vygotsky ini, lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka disebut dengan zone of proximal development, yakni daerah tingkat perkembangan sedikit di atas daerah perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi tiu terserap ke dalam individu tersebut. Zona ini juga dapat diartikan sebagai seorang anak yang tidak dapat melakukan sesuatu sendiri tetapi memerlukan bantuan kelompok atau orang dewasa. Dalam belajar, zone proximal ini dapat dipahami pula sebagai selisih antara apa yang bisa dikerjakan seseorang dengan kelompoknya atau dengan bantun orang dewasa. Maksimalnya, perkembangan zone proximal ini tergantung pada intensifnya interaksi antara sesoerang dengan lingkungan sosial (Trianto, 2009). Vygotsky mengemukakan bahwa interaksi-interaksi seseorang dengan lingkungan dapat membantu pembelajaran. Pengalaman-pengalaman yang dibawa seseorang ke situasi pembelajaran dapat sangat mempengaruhi hasil
13 belajar (Schunk, 2012: 343). Menurut Vygotsky, belajar adalah sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama, belajar merupakan proses secara biologis sebagai proses dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan lingkungan sosial budaya. Pengetahuan yang telah ada sebagai hasil dari proses elemen dasar ini akan lebih berkembang ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan sosial budaya mereka. Sumbangan teori belajar Vygotsky pada penelitian ini adalah pada penelitian ini digunakan model Contextual Teaching and Learning (CTL). Interaksi sosial antar siswa yang tergabung dalam kelompok-kelompok kecil dalam memecahkan masalah atau menyelesaikan tugas berperan dalam proses pembelajaran. Melalui interaksi sosial dengan teman sekelompoknya, siswa diharapkan dapat mengkontruksi pengetahuannya. Selain belajar dalam kelompok-kelompok kecil, proses pembelajaran siswa juga disertai dengan asisten atau tutor. Keterlibatan orang lain melalui interaksi sosial dalam kelompok ini akan membuka kesempatan bagi peserta didik untuk membangun,
mengevaluasi
dan
memperbaiki
pemahaman
terhadap
pengetahuan yang mereka miliki setelah mereka bertemu dengan pemikiran orang lain. 3) Teori Belajar Ausubel Tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang diajarkan. Inti dari teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna, yaitu suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsepkonsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Faktor penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang telah diketahui oleh siswa (Trianto, 2009). Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Dahar, 2011: 95).
14 Agar terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif siswa. Berhasil tidaknya belajar bermakna tergantung pada struktur kognitif yang ada serta niatan dan kesiapan siswa untuk belajar. Inti dari teori Ausubel adalah belajar merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan sengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dalam bentuk struktur kognitif. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk mengorganisasi isi atau materi pelajaran serta penataan kondisi pembelajaran agar dapat memudahkan proses asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif orang yang belajar. Hal penting yang mendukung penelitian ini adalah bahwa pada teori Ausubel materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan uyang telah dimiliki siswa dalam bentuk struktur kognitif. Penelitian ini membahas tentang sistem koloid, larutan, dan suspensi, dimana sebelumnya siswa telah mengetahui dan mempelajari larutan asam basa dan larutan penyangga. Penerapan media yang dipilih dikarenakan media yang digunakan menggunakan konsep-konsep sehingga siswa akan lebih mudah mengkaitkan konsep yang baru dengan yang sudah ada. 4) Teori Pemrosesan Informasi Proses informasi pada manusia merupakan teori bagaimana manusia menerima, menyimpan, mengintegrasikan, mengambil, dan menggunakan informasi.
Sejak
penemuan
pertama
komputer,
psikolog
telah
menggambarkan secara paralel hubungan antara komputer dengan pikiran manusia, berbasis pemodelan memori (ingatan). Pemodelan yang didominasi pada era 1970an dan 1980an adalah tiga komponen sistem pemerosesan informasi oleh Atkinson dan Shiffrin tahun 1968 yang terinspirasi oleh arsitektur perangkat keras komputer. Pada saat kita memperoleh informasi, informasi tersebut akan ditangkap oleh indra lalu masuk kedalam memori sensoris dan dipertahankan dalam waktu yang relatif singkat. Setelah itu, informasi tersebut akan ditrasfer ke memori jangka pendek. Pada memori jangka pendek informasi
15 dipertahankan 30 detik atau kurang Akinson dan Shiffrin menyatakan bahwa semakin lama informasi diperahankan dalam memori jangka pendek dengan bantuan pengulangan, semakin besar kemungkinananya untuk masuk ke memori jangka panjang. Kapasitas memori jangka pendek yang terbatas sehingga membutuhkan pengulangan supaya informasi yang ditrasfer ke memori jangka pendek tidak hilang begitu saja. Memori atau sering kita kenal sebagai ingatan adalah penahanan atau penyimpanan informasi yang berlangsung dari waktu ke waktu.
Gambar 2.1. Model Pemrosesan Informasi Menurut Atkinson dan Shiffrin Berdasarkan gambar 2.1. ada tiga konsep memori dengan tiga bentuk simpananya yaitu memori serapan indra, memori jangka pendek, dan memori jangka panjang (Santrock, 2009: 283). Pemprosesan informasi dalam memori melibatkan kegiatan penyandian atau pengkodean (encoding), penyimpanan (storage), dan pengambilan kembali (retrieval) (Santrock, 2009: 277). Encoding atau sering disebut dengan pengkodean adalah proses menempatkan informasi yang baru (yang masuk) ke dalam sistem pengolahan informasi dan mempersiapkannya untuk disimpan dalam Long Term Memory. Pengkodean biasanya dilaksanakan dengan membuat informasi-informasi yang baru memiliki makna dan menggabungkannya dengan informasiinformasi yang telah diketahui dalam Long Term Memory (Schunk, 2012: 258). Penyimpanan (storage) mencakup bagaimana informasi dipertahankan seiring dengan waktu dan bagaimana informasi direpresentasikan dalam ingatan. Memori dijadikan tempat penyimpanan untuk segudang informasi yang telah dialami sehingga memori berfungsi untuk menghubungkan
16 kejadian yang lalu dengan kejadian sekarang dan kejadian yang akan datang. Aspek yang menonjol dari penyimpanan ini adalah tiga penyimpanan dari komponen memori yaitu memori sensoris, memori jangka pendek, dan memori jangka panjang. Setelah menarik informasi lalu mengodekannya kemudian menyimpannya dalam memori maka bagian terakhir dari pemrosesan informasi adalah pengambilan informasi tersebut. berpendapat bahwa pengambilan kembali (retrieval) ingatan terjadi ketika informasi yang disimpan pada ingatan dikeluarkan dari penyimpanan. Pengambilan kembali ingatan dapat dilakukan secara otomatis dan membutuhkan beberapa usaha sementara beberapa pengambilan bisa menjadi gagal karena lupa.
3.
Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang
pembelajaran
dan
para
pengajar
dalam
merencanakan
dan
melaksanakan aktivitas pembelajaran (Sugiyanto, 2009: 3). Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. CTL Contextual Teaching and Learning menurut Johnson (2002: 25) digambarkan sebagai berikut: “…an educational process that aims to help student see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the contex of their daily lives, that is with context of their personal, social and cultural circumstance. To achieve this aim, the sistem encompasses the following eight components: making meaningful connections, doing significant work, self regulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching high standarts, using authentic assessment.”.
17 Tabel 2.1. Sintaks Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
1
Tahapan kegiatan Pendahuluan
2
Inti
3
Penutup
No
Kegiatan Guru Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut. Menyampaikan prasyarat. Menyampaikan motivasi. Menyampaikan materi dan memberikan contoh. Menjelaskan dan mendemonstrasikan percobaan. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar yang heterogen. Membimbing siswa menjawab pertanyaan yang ada di LKS. Meminta perwakilan dari setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas. Membimbing siswa merangkum atau menyimpulkan semua materi yang telah dipelajari. Memberikan tes.
Kegiatan Siswa
CTL
Mendengarjan Relating tujuan yang disampaikan guru. Menjawab prasyarat dari guru
Menjawab Cooperating motivasi dari guru. Mendengarkan dan mencatat penjelasan guru. Memperhatikan demonstrasi guru. Membentuk kelompok. Melakukan Experimenting percobaan yang ada di LKS. Menjawab pertanyaan yang ada di LKS. Mempresentasikan Appllying hasil percobaan kelompok yang diperoleh.
Merangkum atau Transfering menyimpulkan materi yang telah dipelajari. Mengerjakan soalsoal tes. (Hosnan, 2014: 278)
CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
18 dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dala bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Menurut Crawford (2001), pembelajaran kontekstual merupakan gambaran dimana guru mengembangkan pemahaman mendalam tentang konsep penting dalam kurikulum pada siswa. Jadi diharapkan siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pembelajaran CTL melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran, antara lain: 1) Konstruktivisme Konstruktivisme adalah proses membangun dan menyusun pengetahuan baru dalah struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan memang berasal dari luar tetapi dikonstruksi oleh dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting yaitu: obyek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk mengintrepetasi objek tersebut. Asumsi ini melandasi CTL. Pembelajaran melalui CTL pada dasarnya mendorong agar
siswa
bisa
mengkonstruksi
pengetahuannya
melalui
proses
pengamatan dan pengalaman nyata yang dibangun oleh individu si pembelajar. 2) Inkuiri Inkuiri artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berfikir secara sistematis. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu: 1) merumuskan masala, 2) mengajukan hipotesa, 3) mengumpulkan data, 4) menguji hipotesis, 5) membuat kesimpulan. 3) Bertanya Bertanya adalah bagian inti belajar dan menemukan pengetahuan. Dengan adanya keingintahuanlah pengetahuan selalu dapat berkembang. Dalam pembelajaran model CTL guru tidak menyampaikan informasi begitu saja tetapi memancing siswa dengan bertanya adag siswa dapat menemukan
19 jawabannya sendiri. Dengan demikian keterampilan guru bertanya sangat diperlukan. 4) Masyarakat Belajar Masyarakat
belajar
didasarkan
pada
pendapat
Vygotsky,
bahwa
pengetahuan dan pengalaman anak banyak dibentuk oleh komunikasi dengan orang lain. Permasalahan tidak mungkin dipecahkan sendirian, tetapi membutuhkan bantuan orang lain untuk saling membutuhkan. Dalam model CTL hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, teman, antar kelompok, sumber lain dan bukan hanya guru. Dengan demikian asas masyarakat belajar dapat diterapkan melalui belajar kelompok, dan sumber-sumber lain dari luar yang dianggap tahu tentang sesuatu yang menjadi focus pembelajaran. 5) Pemodelan Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan suatu contoh yang dapat ditiru oleh siswa. Sebagai contoh, membaca berita, membaca lafal bahasa, mengoperasikan instrument memerlukan contoh agar siswa dapat mengerjakan dengan benar. Dengan demikian pemodelan merupakan asas penting dalam pembelajaran melalui CTL, karena melalui CTL siswa dapat terhindar dari verbalisme atau pengetahuan yang bersifat teoritis-abstrak. 6) Refleksi Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajarinya dengan cara mengurutkan dan mengevaluasi kembli kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya untuk mendapatkan pemahaman yang dicapai baik yang bernilai positif atau tidak bernilai. Melalui refleksi siswa akan dapat memperbahauri pengetahuan yang telah dibentuknya serta menambah khazanah pengetahuannya. 7) Penilaian nyata Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperluan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau
20 tidak. Penilaian ini berguna untuk mengetahui apakah pengalaman belajar mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan siswa baik intelektual, mental, maupun psikomotor. Pembelajaran CTL lebih menekankan pada proses belajar daripada hasil belajar. Oleh karena itu penilaian ini dilakukan terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung, dan dilakukan secara terintegrasi. Dalam CTL keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. (Sugiyanto, 2009: 17-20)
4. Teka Teki Silang (TTS) Teka-teki silang berasal dari kata teka-teki dan silang. Teka – teki dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti soal yang berupa kalimat (cerita, gambar, dsb) sebagai permainan untuk mengasah pikiran atau tebakan. Selain itu bisa pula diartikan sesuatu hal yang sulit untuk memecahkannya karena kurang terang/rahasia. Sedangkan kata silang berarti bertumpuk (palang-memalang) atau berpapasan (berselisih jalan). Jadi bisa disimpulkan bahwa teka-teki silang adalah soal yang berupa kalimat yang merupakan tebakan dan berbentuk petak-petak akibat saling bertumpuknya garis-garis yang saling bersilangan, dengan pengisian huruf ke dalam petak yang telah ditentukan yang mana digunakan sebagai permainan untuk mengasah pikiran (Poerwodarminto, 2003). TTS bisa diisi secara perseorangan atau kelompok. Sugiharti (2013) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa teka-teki silang (TTS) adalah susunan kotak-kotak yang diberi nomor yang diisi dengan kata-kata, setiap kotak diisi satu hutruf sehingga membentuk suatu kata yang ditempatkan secara horizontal maupun vertical. Penggunaan teka-teki silang dalam pembelajaran ini akan mengurangi rasa jenuh yang dialami siswa ketika terlibat dalam proses belajar mengajar karena siswa akan merasakan suasana yang berbeda ketika belajar. Pada umumnya media permainan ini disenangi siswa, karena media permainan memperlihatkan unsur kesenangan, memberikan tantangan dan rangsangan dalam kelas. TTS sebagai teknik pembelajaran kosakata
21 tentu lebih mearik karena mengandung unsur permainan, hiburan dan dapat dilakukan secara santai dengan berbagai variasi. Dengan demikian, siswa termotivasi dan bergairah mempelajari kosakata yang dapat merangsang daya nalarnya untuk memahami materi, sehingga dapat mudah diingat dan menjadi pengetahuan yang sangat berkesan dan tidak mudah dilupakan sebagai sebuah pengalaman belajar. Akibatnya dapat memberi pemahaman terhadap materi secara mudah dan mendalam. TTS merupakan salah satu sarana untuk dapat mengetahui dan mengingat pengetahuan yang kita miliki untuk dituangkan dalam jawaban pertanyaan yang ada baik dalam baris maupun kolom. Menyusun tes peninjauan kembali dalam bentuk teka-teki silang akan mengundang minat dan partisipasi siswa (Silberman, 2010). TTS merupakan salah satu permainan yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran. Permainan berguna untuk memusatkan perhatian siswa dan meningkatkan keaktifan siswa. Selain itu, TTS dapat memberikan nilai positif bagi para siswa, karena dengan menjawab dan mengerjakan bersama, para siswa akan berlimba dan saling berdiskusi untuk dapat menemukan jawabannya dengan benar sehingga muncul kerjasama yang sehat. Menurut Wijayanti (2010), penggunaan media TTS memberikan kelebihan antara lain: 1) dapat mengingkatkan motivasi siswa dalam menjawab soal karena terdapat unsur permainan, 2) meningkatkan kerjasama yang sehat antar siswa, 3) merangsang siswa untuk berpikir kritis dan kreatif, 4) memacu siswa untuk lebih teliti dalam mengerjakan soal. Selain itu berdasarkan Coticone (2013), teka-teki silang dapat digunakan untuk mengetahui sejauhmana pemahaman siswa terhadap mata pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Melihat keuntungan tersebut, tentu akan bermanfaat lagi jika TTS didesain untuk pembelajaran di sekolah karena telah diminati. TTS yang digunakan dalam pembelajaran ini dimaksudkan selain ada unsur permainannya juga ada unsur pendidikannya, sehingga dengan mengisi TTS diharapkan proses belajar mengajar akan lebih menyenangkan dan siswa lebih memahami materi pelajaran, khusunya pada pokok bahasan Koloid dan ilmu kimia pada umunya.
22 Selain memiliki kelebihan, penggunaan media TTS juga memiliki kelemahan yaitu pembuatan soal lebih sulit karena baik jawaban maupun jumlah kotak yang tersedia harus tepat. Faktor
ketelitian dan ketepatan sangat
menentukan dalam pengisian TTS karena huruf-huruf dalam jawaban saling berkaitan satu sama lainnya, sehingga dapat mempengaruhi jawaban yang lain baik dalam kolom maupun baris. Jika siswa dapat menjawab salah satu soal dengan benar, maka dapat dijadikan acuan untuk menjawab soal yang lainnya karena sudah ditemukan satu atau beberapa huruf kunci. TTS yang digunakan dalam penelitian ini adalah TTS yang dibuat sendiri yang mengacu pada pokok bahasan koloid. Teka-teki silang sebenarnya merupakan permainan bahasa dengan cara menuliskan jawaban dari soal yang ada ke dalam kotak-kotak yang dibentuk oleh garis-garis yang saling bersilangan tadi dengan huruf sehingga membentuk kalimat yang bisa dibaca secara vertical maupun horizontal. Pada umumnya permainan
bahasa
disenangi
siswa,
karena
dalam
permainan
tersebut
memperlihatkan unsur kesenangan, ada tantangan dan merangsang untuk menemukan jawaban atau hasil akhir. Demikian pula dengan permainan teka-teki silang. Dengan melihat peluang ini tentunya tidak salah ketika media ini kemudian dimanfaatkan untuk pelajaran yang lain misalnya kimia, terutama materi yang menuntut banyak hafalan.
5. Peta Konsep Mendefinisikan istilah konsep merupakan masalah yang tidak mudah, menurut Dahar (1989: 122) “peta konsep digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna antara konsep-konsep dalam bentuk proposisi-proposisi”. Propisisi-proposisi merupakan dua atau lebih konsep-konsep yang dihubungkan oleh kata penghubung untuk membentuk suatu proposisi, dengan mengemukakan beberapa proposisi yang menyangkut konsep mka meningkatlah arti dan ketelitian arti bagi konsep. Oleh karena belajar bermakna lebih mudah berlangsung bila konsep-konsep baru dikaitkan pada konsep yang lebih inklusif ada di puncak peta. Makin ke bawah konsep diurutkan makin menjadi lebih khusus.
23 Menurut Trianto (2009), konsep atau pengertian merupakan kondisi utama yang diperlukan untuk menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamental sebelumnya berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan objek-objeknya. Konsep merupakan abstraksi dari serangkaian pengalaman yang didefinisikan sebagai suatu kelompok objek atau kejadian. Abstraksi, berarti suatu proses pemusatan perhatian seseorang pada situasi tertentu dan mengambil elemen-elemen tertentu, serta mengabaikan elemen lain. Peta Konsep adalah suatu gambar (visual) yang tersusun atas konsepkonsep yang saling berkaitan sebagai hasil dari pemetaan konsep. Hal ini selaras dengan pendapat Novak dan Gowin yang menyatakan “Concept maps are intended to represent meaningful relationships between concepts in the form of propositions. Propositions are two or more concept labels linked by words in semantic unit” (1984: 15). Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa peta konsep digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna antara konsep-konsep dalam bentuk proposisi-proposisi. Proposisi merupakan dua atau lebih konsep yang dihubungkan oleh kata-kata dalam suatu unit semantik. Novak and Gowin (1985) menyatakan bahwa peta konsep adalah alat atau cara yang dapat digunakan guru untuk mengetahui apa yang telah diketahui oleh siswa. Gagasan Novak ini didasarkan pada teori belajar Ausubel. Ausubel sangat menekankan agar guru mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki oleh siswa supaya
belajar
bermakna
dapat
berlangsung.
Dalam
belajar
bermakna pengetahuan baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif (otak) siswa. Bila dalam struktur kognitif tidak terdapat konsep-konsep relevan, pengetahuan baru yang telah dipelajari hanyalah hafalan semata. Dahar (1989: 19) mengidentifikasi ciri-ciri peta konsep adalah sebagai berikut: (a) Peta konsep atau pemetaan konsep ialah suatu cara untuk memperlihatkan konsep-konsep dan proposisi-proposisi suatu bidang studi; (b) Peta konsep merupakan suatu gambar dua dimensi dari suatu bagian dari bidang studi. Ciri inilah yang dapat memperlihatkan hubungan-hubungan preposisi antar konsep-konsep; (c) Peta konsep menyatakan hubungan antara konsep-konsep.
24 Tidak semua konsep memiliki bobot yang sama. Ini berarti, bahwa ada beberapa konsep yang lebih inklusif daripada konsep-konsep lain. Msalnya, konsep makhluk hidup lebih inklusif daripada konsep tumbuhan atau hewan. Jadi dapat dilihat pada peta konsep, bahwa konsep yang paling inklusif terdapat pada puncak, lalu menurun hingga sampai pada konsep-konsep yang lebih khusus atau contoh-contoh; (d) Adanya hierarki, jika peta konsep menggambarkan dua atau lebih konsep dibawah konsep yang lebih inklusif maka terbentuklah suatu hierarki pada konsep tersebut. Peta konsep dilhami oleh teori belajar asimilasi kognitif (subsumption) dari ausubel yang menyatakan bahwa “ belajar bermakna (meaningful learning) terjadi dengan mudah apabila konsep-konsep baru dimasukkan ke dalam konsepkonsep inklusif”. Dengan kata lain , proses belajar terjadi bila siswa mampu mengasimilasi pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan baru. Guru hendaknya menyadari bahwa belajar kimia yang efektif dan bermakna dapat dibangun antara konsep-konsep baru dengan konsep-konsep yang telah dibangun dalam struktur kognitif siswa. Dengan demikian, penggunaan teknik pemetaan konsep dalam proses belajar mengajar kimia di kelas dapat mengurangi kepasifan siswa dan memacu peningkatan minat dan partisipasi mereka dalam proses belajar mengajar yang bermakna. Menurut Dahar (2006: 110-112) “Dalam proses belajar mengajar kegunaan peta konsep dapat diterapkan untuk berbagai tujuan antara lain: (a) untuk menyelidiki apa yang telah diketahui oleh siswa; (b) digunakan untuk mempelajari bagaimana cara belajar siswa sudah benar atau belum (siswa sudah menguasai konsep atau belum); (c) mengungkapkan konsepsi salah; (d) sebagai alat evaluasi
6. Kemampuan Memori a. Pengertian Kemampuan Memori Memori atau ingatan memberikan bermacam-macam arti bagi para ahli. Pada umumnya para ahli memandang ingatan sebagai hubungan pengalaman dengan masa lampau, sehingga dapat simpulkan bahwa apa yang diingat
25 merupakan sesuatu yang pernah dialami. Ingatan ini melibatkan kemampuan untuk menerima, menyimpan, dan menimbulkan kembali informasi yang pernah diperoleh sebelumnya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Walgito (2004: 146) bahwa “Ingatan merupakan kemampuan untuk memasukkan (learning), menyimpan (retention) dan menimbulkan kembali (remembering) halhal yang telah lampau”. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan memori atau ingatan adalah kemampuan yang ada dalam diri seseorang untuk memasukkan, menyimpan dan mengeluarkan kembali informasi yang pernah diperoleh sebelumnya. Menurut Warseno dan Kumorojati (2011: 60), membedakan memori menjadi tiga : (a) short term memory; (b) long term memory; (c) sensory memory. Perbedaan ketiga macam memori itu terletak pada waktu masuknya stimulus dan penimbulan kembali sebagai output. Apabila jarak waktu antara pemasukan stimulus dan penimbulan kembali sebagai memory output berkisar 30 detik, ini merupakan short term memory, sedanga selebihnya disebut long term memory. b. Proses Memori Menurut Melton dalam Lie, A (2004: 47) dalam memori sedikitnya ada tiga tahapan
yang diperhatikan
yaitu
pengambilan,
penyimpanan, dan
pengingatan. Pengambilan merupakan proses pengambilan informasi untuk kemudian mentransformasikannya ke dalam kode-kode atau representasi yang diterima oleh memori. Penyimpanan merupakan proses berkenaan dengan mempertahankan informasi yang telah dikodekan selama jangka waktu tertentu. Tahap terakhir adalah pemanggilan, adalah proses memanggil kembali informasi yang telah disimpan sebelumnya di memori. Sedangkan menurut De Block dalam Winkel (2004: 66) ada tiga fase dalam mengingat kembali pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti pelajaran yaitu pada saat mempelajari materi pertama kali siswa mengolah bahan pelajaran (fase fiksasi), yang kemudian disimpan dalam ingata (fase retensi), akhirnya materi yang telah dipelajari dan telah disimpan itu direproduksikan kembali (fase evokasi). c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Memori
26 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi memori, diantaranya sebagai berikut: (1) Sesuatu yang mempunyai makna akan lebih mudah diingat daripada yang tidak bermakna; (2) Lama interval, yaitu jarak waktu antara memasukkan informasi sampai ditimbulkannya kembali informasi itu. Semakin lama interval akan semakin berkurang kemampuan memori seseorang; (3) Isi interval, yaitu aktivitas-aktivitas yang mengisi interval. Jika mempelajari suatu materi kemudian mempelajari materi lain, maka materi-materi itu akan saling mengganggu dalam proses memori; (4) Situasi seseorang, istirahat akan memperkuat daya retensi; (5) Perulangan, makin sering informasi diulang akan makin baik diingat; (6) Emosi dapat memberikan blocking dalam mengeluarkan kembali informasi yang telah dimasukkan dalam memori. d. Metode Pengukuran Kemampuan Memori Pengukuran kemampuan memori dapat dilakukan dengan menggunkan beberapa macam metode, antara lain maetode dengan melihat waktu atau usaha belajar, metode belajar kembali, metode rekonstruksi, metode mengenal kembali, dan metode asosiasi berpasangan (Walgito, 2004: 165). Instrumen kemampuan memori pada penelitian ini menggunakan metode asosiasi berpasangan. Metode asosiasi berpasangan adalah suatu metode dimana subyek
disuruh
mempelajari
materi
secara
berpasang-pasangan.
Untuk
mengetahui sejauh mana kemampuan mengingat, dalam evaluasi salah satu pasangan digunakan sebagai stimulus, dan subyek disuruh menyebutkan atau menimbulkan kembali pasangannya. Instrumen kemampuan memori pada penelitian ini bersumber dari Departemen Psikometri Fakultas Psikologi Universitas Gadjah mada yang mengacu instrumen pada penelitian Burtt dan Dobell (Walgito, 2004: 153). Variabel kemampuan memori berskala pengukuan interval yang dibedakan menjadi kategori tinggi dan rendah. Perbedaan kategori ini berdasarkan pada skor rata-rata kedua kelas. Siswa dengan perolehan skor di atas atau sama dengan skor rata-rata kedua kelas dimasukkan pada kategori tinggi, sedangkan siswa dengan perolehan skor dibawah rata-rata skor kedua kelas dimasukkan dalam kategori rendah.
27 Penelitian tentang hubungan kemampuan memori dengan prestasi belajar pernah dilakukan oleh Qonitah (2013) pada pokok bahasan sistem Periodik Unsur di SMA Batik 2 Surakarta, dimana memberikan simpulan bahwa kemampuan memori berrpengaruh pada prestasi belajar kognitif siswa. Dengan kemampuan memori yang tinggi, seseorang dapat memunculkan kembali informasi yang pernah diperolehnya dengan baik sehingga memiliki prestasi belajar yang baik.
7. Prestasi Belajar a. Prestasi Belajar Sikap, Pengetahuan, dan Keterampilan Prestasi belajar adalah mutu unjuk kerja individu, pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang. Untuk mengetahui prestasi belajar dari siswa perlu diadakan evaluasi atau penilaian yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Berdasarkan
Permendikbud
Nomor
66
tahun
2013,
karakteristik
pembelajaran pada setiap satuan pendidikan terkait pada Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Standar Kompetensi Lulusan memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang diturunkan dari tingkat kompetensi dari ruang dan lingkup materi. Secara umum pendekatan belajar yang dipilih berbasis pada teori tentang taksonomi tujuan pendidikan yang dalam lima dasawarsa terakhir yang secara umum sudah dikenal secara luas. Berdasarkan teori taksonomi tersebut, capaian pembelajaran dapat dikelompokkan dalam tiga ranah yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional telah mengadopsi taksonomi dalam bentuk rumusan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dijelaskan sebagai berikut: a. Pengetahuan Penilaian pencapaian kompetensi pengetahuan merupakan bagian dari penilaian pendidikan. Dalam lampiran Peraturan Menteri pendidikan kebudayaan (Permendikbud) Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian pendidikan dijelaskan bahwa penilaian pendidikan merupakan
28 proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaianpencapaian peserta didik. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas-aktivitas mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Menurut Bloom dalam Sudijono (2008) ranah berpikir merupakan segala kegiatan yang mencakup kegiatan otak. Di dalam ranah kognitif terdapat 6 jenjang berpikir, diantaranya pertama pengetahuan, hafalan, ingatan (knowledge) merupakan kemampuan sesorang ntuk mengingat kembali (recall) atau mengingat kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus dan sebagainya tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya. Pengetahuan atau ingatan merupakan jenjang paling rendah. Kedua, pemahaman (comprehension) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diingat atau diketahui. Pemahaman sedikit lebih tinggi di atas pengetahuan. Ketiga, penerapan (application) adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara maupun metode, rumus, teori dan sebagainya dalam situasi baru dan konkrit.
Keempat, analisis (analysis)
kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu untuk memahami hubungan antar bagian satu dengan yang lainnya. Kelima, sintesis (synthesis) adalah kemampuan berpikir yang merupakan suatu proses pemahaman yang menggabungkan bagian-bagian yang dipelajari sehingga terbentuk suatu struktur teori baru. Keenam, penilaian (evaluation) adalah jenjang berpikir paling tinggi yang terdapat dalam taksonomi Bloom. Penilaian adalah kemampuan seseorang untuk memutuskan sesuatu untuk membuat keputusan ketika dihadapkan dalam beberapa pilihan yang harus dipilih sesuai dengan apa yang dipelajarinya. b. Sikap Kemendikbud (2013) menyebutkan bahwa sikap bermula dari perasaan yang terkait dengan kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu/objek. Sikap juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan
29 hidup yang dimiliki seseorang. Kompetensi sikap yang dimaksud adalah ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki seseorang dan diwujudkan dalam perilaku. Kurikulum 2013 membagi kompetensi sikap menjadi dua yaitu sikap spiritual yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan sikap spiritual yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Sikap spiritual sebagai perwujudan dari menguatnya interaksi vertical dengan Tuhan yang Maha Esa, sedangkan sikap sosial sebagai perwujudan eksistensi kesadaran dalam upaya mewujudkan harmoni kehidupan. c. Keterampilan Ranah psikomotor berkenaan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang mempunyai pelajaran baru. Menurut Sudjana (2005) ranah psikomotor berkenaan dengan keterampilan atau kemampuan bertindak setelah ia menerima pengalaman belajar tertentu. Pengukuran keberhasilan pada aspek keterampilan ditunjukkan pada keterampilan kerja dan ketelitian mendapat hasil. Kemendikbud (2013) menyebutkan bahwa ranah keterampilan meliputi mencoba, mengolah, menyajikan, dan menalar. Cakupan penilaian dimensi keterampilan meliputi keterampilan peserta didik yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori. Keterampilan ini meliputi: keterampilan mencoba, mengolah, menyaji, dan menalar. Dalam ranah konkret keterampilan ini mencakup aktivitas menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat. Sedangkan dalam ranah abstrak, keterampilan ini mencakup aktivitas menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang. b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Meski melalui proses belaajr yang sama, hasil belajar yan dicapai seseorang tidak bisa sama. Sebab proses belajar dipengaruhi berbagai faktor yang bisa menyebabkan pencapaian hasil belajar menjadi beragam karena berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal.
30 Syah (2013: 129) membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa menjadi tiga macam, yakni: a) Faktor Internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa yang meliputi: aspek fisiologis seperti keadaan mata dan telinga, dan aspek psikologisss seperti intelegensi dan kemampuan memori. b) Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa yang meliputi: lingkungan sosial, lingkungan nonsosial (rumah, gedung sekolah, dan sebagainya): dan c) Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
8. Koloid a. Sistem Koloid Koloid merupakan sistem dispersi (pemencaran) yaitu suatu sistem yang terjadi apabila zat terlarut (dispersikan) ke dalam zat lain. Sistem koloid adalah suatu bentuk campuran yang keadaanya terletak antara larutan dan suspensi (campuran kasar). Sistem koloid terdiri atas fase terdispersi dengan ukuran tertentu dalam medium pendispersi. Zat yang didispersikan disebut fase terdispersi, sedangkan medium yang digunakan untuk mendispersikan disebut medium pendispersi. Gambar 2.2 merupakan campuran tepung terigu dengan air lambat laun akan memisah. Campuran seperti ini disebut suspensi, sedangkan Gambar 2.3 adalah susu merupakan satu contoh campuran yang digolongkan sebagai koloid. Contoh dari suspensi dan koloid disajikan pada Gambar 2.2 dan 2.3 di bawah ini:
Gambar 2.2 Suspensi
Gambar 2.3 Koloid
31 Untuk memberikan gambaran tentang perbedaan dari larutan, koloid dan suspensi akan disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Perbedaan Larutan, Koloid, dan Suspensi. Perbedaan Suspensi Koloid Lebih dari 100 nm 1-100 nm Ukuran partikel Penampilan Keruh Keruh-jernih fisis Partikel terdispersi Partikel dapat diamati terdispersi hanya langsung dengan dapat diamati mata telanjang dengan mikroskop ultra terpisah Sukar terpisah Kestabilan Mudah (mudah mengendap) (relatif stabil) (bila didiamkan) Filtrasi (disaring) Tidak dapat Cara disaring pemisahan
Larutan Kurang dari 100 nm Jernih Partikel terdispersi hanya dapat diamati dengan mikroskop ultra Tidak terpisah (sangat stabil) Tidak disaring
dapat
Contoh beberapa produk kosmetik dalam bentuk koloid yang disajikan dalam Gambar 2.4 dan 2.5 di bawah ini:
Gambar 2.4 Aerosol
Gambar 2.5 kosmetik dalam bentuk gel
Jenis-jenis koloid berdasarkan zat pendispersi dan medium pendispersinya dapat dilihat pada Tabel 2.3. di bawah ini: Tabel 2.3. Jenis-Jenis Koloid No 1 2 3 4 5 6 7 8
Fase Terdispersi Padat Padat Padat Cair Cair Cair Gas Gas
Fase Pendispersi Gas Cair Padat Gas Cair Padat Cair Padat
Nama
Contoh
Aerosol Padat Sol Sol Padat Aerosol Emulsi Emulsi padat Buih Buih Padat
Asap (smoke), debu di udara Sol emas, sol belerang, tinta,cat Gelas berwarna, intan hitam Kabut (fog) dan awan Susu, santan, minyak ikan Jelly, mutiara Buih sabun, krimkocok Karet busa, batu apung
32 b. Sifat-sifat Koloid 1. Efek Tyndall Suatu sifat khas yang membedakan sistem koloid dengan larutan adalah dengan percobaan Tyndall. Pada Gambar 2.6 bila suatu larutan sejati disinari dengan seberkas sinar tampak, maka larutan sejati tadi akan meneruskan berkas sinar (transparan), sedangkan pada Gambar 2.7 bila seberkas sinar dilewatkan pada sistem koloid, maka sinar tersebut akan dihamburkan oleh partikel koloid, sehingga sinar yang melalui sistem koloid akan tampak dalam pengamatan.
Gambar 2.6 Larutan Sejati
Gambar 2.7 Sistem Koloid
Efek Tyndall dalam kehidupan sehari-hari: a) Sorot lampu mobil pada malam yang berkabut b) Sorot lampu proyektor dalam gedung bioskop yang berasap/berdebu c) Berkas sinar matahari melalui celah daun pohon-pohon pada pagi hari yang berkabut d) Berkas sinar matahari tampak jelas disela-sela dinding dapur yang banyak asapnya. 2. Gerak Brown Jika diamati dengan mikroskop ultra, akan terlihat partikel koloid senantiasa bergerak terus-menerus dengan gerak patah-patah (gerak zig-zag). Gerak Brown adalah gerak zig-zag dari partikel koloid yang hanya bisa diamati dengan mikroskop ultra. Gambar gerak Brown disajikan pada Gambar 2.8 Gerak brown terjadi sebagai akibat tumbukan yang tidak seimbang dari molekul-molekul medium terhadap partikel koloid. Gerak Brown merupakan salah satu faktor yang menstabilkan
33 koloid. Oleh karena bergerak terus menerus maka partikel koloid dapat mengimbangi gaya gravitasi sehingga tidak mengalami sedimentasi. Gambar arah tumbukan molekul medium dengan partikel zat terdispersi disajikan pada Gambar 2.9
Gambar 2.8 Gerak Brown
Gambar 2.9 Arah Tumbukan Molekul Medium dengan Partikel Zat Terdispersi: (a) Larutan (b) Koloid (c) Suspensi. 3. Adsorpsi Partikel koloid memiliki kemampuan menyerap ion atau muatan listrik pada permukaannya. Oleh karena itu partikel koloid menjadi bermuatan listrik. Penyerapan pada permukaan ini disebut adsorpsi. Contohnya partikel koloid dari Fe(OH)3 bermuatan positif dalam air, karena mengadsorpsi ion H+. Sedangkan partikel koloid As2S3 dalam air bermutan negatif karena mengadsorpsi ion negatif. Gambar adsorpsi ionion disajikan pada Gambar 2.10
Fe(O H)3
As2S 3
Gambar 2.10 Adsorpsi Ion-Ion Partikel koloid memiliki kemampuan menyerap ion atau muatan listrik pada permukaannya. Oleh karena itu partikel koloid menjadi bermuatan listrik. Penyerapan pada permukaan ini disebut adsorpsi.
34 Contohnya partikel koloid dari Fe(OH)3 bermuatan positif dalam air, karena mengadsorpsi ion H+. Sedangkan partikel koloid As2S3 dalam air bermutan negatif karena mengadsorpsi ion negatif. Gambar adsorpsi ionion disajikan pada Gambar 2.10. Sifat adsorpsi partikel ini sangat penting karena banyak manfaat dapat dilakukan berdasarkan sifat-sifat tersebut. Contoh: (1)Pemutihan gula tebu, gula yang masih berwarna dilarutkan dalam air kemudian dialirkan melalui tanah diatome dan arang tulang. Zat-zat warna dalam gula akan diadsorpsi sehingga diperoleh gula yang putih bersih. (2)Norit, norit adalah tablet yang terbuat dari karbon aktif norit. Didalam usus norit membentuk sistem koloid yang dapat mengadsorbsi gas atau zat racun. (3)Penjernihan air, untuk menjernihkan air dapat dilakukan dengan menambahkan tawas atau alumunium sulfat. Di dalam air, alumunium sulfat terhidrolisis membentuk Al(OH)3 yang berupa koloid. Koloid Al(OH)3 ini dapat mengadsorbsi zat-zat warna atau zat pencemar dalam air. 4. Elektroforesis
Gambar 2.11 Sel Elektrolisis Sederhana Pergerakan partikel koloid dalam medan listrik disebut elektroforesis. Apabila ke dalam sistem koloid dimasukkan dua batang elektrode kemudian dihubungkan dengan sumber arus searah, maka partikel koloid akan bergerak ke salah satu elektrode bergantung pada
35 jenis muatannya. Koloid bermuatan negatif akan bergerak ke anode (elektrode positif) sedangkan koloid yang bermuatan positif bergerak ke katode (elektrode negatif). Dalam percobaan dicampurkan koloid dari Fe(OH)3 berwarna merah dan As2S3 berwarna kuning, campuran dari sistem koloid tadi dimasukkan dalam alat elektroforesis. Sel elektrolisis sederhana disajikan pada Gambar 2.11 Dari percobaan Gambar 2.11, setelah beberapa saat kedua kutub tersebut dihubungkan dengan sumber arus listrik, ternyata daerah kutub (+) berwarna kuning dan daerah kutub (-) berwarna merah. Dari hasil pengamatan tersebut dapat dinyatakan bahwa koloid As2S3 bermuatan negatif karena ditarik oleh elektode positif dan koloid Fe(OH)3 bermuatan positif karena ditarik oleh elektrode negatif, dengan demikian elektroferesis dapat digunakan untuk menentukan jenis muatan koloid. 5. Koagulasi Koagulasi (penggumpalan) adalah proses pengendapan koloid. Koagulasi partikel koloid dapat terjadi dengan dua macam cara yakni : a) Cara Mekanik : Koloid dapat digumpalkan dengan cara pengadukan, pamanasan atau pendinginan. b) Cara Kimia
: yakni dengan penambahan zat-zat kimia.
Koagulasi koloid karena penambahan elektrolit terjadi sebagai berikut. Koloid yang bermuatan negatif akan menarik ion positif (kation), sedangkan koloid yang bermuatan positif akan menarik ion negatif (anion). Ion-ion tersebut akan membentuk selubung lapisan ke dua. Apabila selubung lapisan kedua itu terlalu dekat maka selubung itu akan menetralkan muatan koloid sehingga terjadi koagulasi. Makin besar muatan ion makin kuat daya tarik menariknya dengan partikel koloid, sehingga makin cepat terjadi koagulasi. Koagulasi koloid karena penambahan elektrolit disajikan pada Gambar 2.12. Pada Gambar 2.12 memperlihatkan bahwa ion yang bermuatan lebih efektif dalam mengumpalkan koloid.
36
Gambar 2.12 Koagulasi Koloid karena Penambahan Elektrolit. Beberapa contoh koagulasi dalam kehidupan sehari-hari dan industri: a) Pembentukan delta di muara sungai terjadi karena koloid tanah liat (lempung) dalam air sungai mengalami koagulasi ketika bercampur dengan elektrolit dalam air laut. b) Karet dalam lateks digumpalkan dengan menambahkan asam format. c) Lumpur koloidal dalam air sungai dapat digumpalkan dengan menambahkan tawas. Sol tanah liat dalam air sungai biasanya bermuatan negatif sehingga akan digumpalkan dengan oleh ion Al3+ dari tawas (alumunium sulfat). 6. Koloid Pelindung Suatu koloid dapat distabilkan dengan menambahkan koloid lain yang disebut koloid pelindung. Koloid pelindung ini akan membungkus partikel zat terdispersi sehingga tidak dapat lagi mengelompok. Contoh: a) Pada pembentukan es krim digunakan gelatin untuk mencegah pembentukan kristal besar es atau gula. b) Cat dan tinta dapat bertahan lama karena menggunakan suatu koloid pelindung. 7. Dialisis Pada pembuatan suatu koloid, seringkali terdapat ion-ion yang dapat mengganggu kestabilan koloid tersebut. Ion-ion penggganggu ini dapat dihilangkan dengan suatu proses yang disebut dialisis. Dalam proses ini, sistem koloid dimasukkan ke dalam suatu kantong koloid, lalu kantong koloid itu dimasukkan ke dalam bejana yang berisi air mengalir. Kantong koloid tadi terbuat dari selaput semipermeable, yaitu selaput
37 yang dapat melewatkan partikel-partikel kecil, seperti ion-ion atau molekul sederhana, tetapi menahan koloid. Dengan demikian, ion-ion keluar dari kantong dan hanyut bersama air. Gambar Proses dialisis disajikan pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13. Proses Dialisis Proses pemisahan hasil-hasil metabolisme dari darah oleh ginjal juga merupakan proses dialisis. Jaringan ginjal bersifat sebagai selaput semipermeable yang dapat dilewati air dan molekul-molekul sederhana seperti urea, tetapi menahan butir-butir darah yang merupakan koloid. Orang yang menderita ginjal dapat menjalani “cuci darah”, dimana fungsi ginjal diganti oleh suatu mesin dialisator. Gambar diagram dialisis darah disajikan pada Gambar 2.14.
Gambar 2.14 Diagram suatu Dialisis Darah c. Koloid Liofil dan Koloid Liofob Koloid yang memiliki medium dispersi cair dibedakan atas: a) Koloid Liofil, suatu koloid liofil apabila terdapat gaya tarik-menarik yang cukup besar antara zat terdispersi dengan mediumnya. Liofil berarti suka cairan (yunani: lio = cairan, philia = suka).
38 b) Koloid Liofob, sebaliknya, suatu koloid disebut koloid liofob jika gaya tarikmenarik tersebut tidak ada atau sangat lemah. Liofob berati takut cairan (yunani= phobia= takut/benci). Tabel 2.4. Perbedaan sol hidrofil dengan sol hidrofob. Sol hidrofil
Sol hidrofob
1. Mengadsorbsi mediumnya 2. Dapat dibuat dengan konsentrasi yang relatif besar 3. Tidak mudah digumpalkan dengan penambahan elektrolit 4. Viskositas lebih besar daripada mediumnya 5. Bersifat reversible 6. Efek Tyndall lemah
1. Tidak mengadsobsi mediumnya 2. Hanya stabil pada konsentrasi kecil 3. Mudah menggumpal pada penambahan elektrolit 4. Viskositas hampir sama dengan mediumnya 5. Tidak reversible 6. Efek Tyndall lebih jelas.
Jika medium dispersi yang dipakai adalah air, maka kedua jenis koloid diatas masing-masing disebut koloid hidrofil dan koloid hidrofob. a) Koloid hidrofil mempunyai gugus ionik atau gugus polar di permukaannya, sehingga mempunyai interaksi yang baik dengan air. Butir-butir koloid liofil/hidrofil membentuk
dapat suatu
mengadsorpsi selubung
atau
molekul jaket,
mediumnya hal
tersebut
sehingga disebut
solvatasi/hidratasi. Dengan cara itu butir-butir koloid tersebut terhindar dari agregasi (pengelompokan). Sol hidrofil tidak akan menggumpal pada penambahan sedikit elektrolit. Zat terdispersi dari sol hidrofil dapat dipisahkan dengan pengendapan atau penguapan. Apabila zat padat tersebut dicampurkan kembali sol hidrofil. Dengan kata lain, sol hidrofil bersifat reversible. Contoh dari koloid hidrofil adalah agar-agar. b) Koloid hidrofob tidak akan stabil dalam medium polar (seperti air) tanpa kehadiran zat pengemulsi atau koloid pelindung. Zat pengemulsi membungkus partikel koloid hidrofob sehingga terhindar dari koagulasi. Susu (emulsi lemak dalam air) distabilkan oleh sejenis protein susu, yaitu kasein, sedangkan mayonaise (emulsi miyak nabati dalam air) distabilkan oleh kuning telur. Contoh koloid hidrofob: susu, mayonaise, sol belerang,
39 sol Fe(OH)3, sol-sol sulfida, dan sol-sol logam. Contoh dari koloid hidrofob adalah mayonise, mayonise dapat mengalami koagulasi pada penambahan sedikit elektrolit. Sekali zat terdispersi telah dipisahkan, tidak akan membentuk sol lagi jika dicampur kembali dengan air. Perbandingan antara sol hidrofil dan hidrofob dapat dilihat pada Tabel 2.4. d. Pembuatan Sistem Koloid Karena ukuran partikel koloid terletak antara partikel larutan sejati dan partikel suspensi, maka koloid dapat dibuat dengan dua cara yaitu: 1) Cara Kondensasi Sistem koloid dibuat dengan pengelompokan (agregasi) partikel larutan sejati, cara ini disebut cara kondensasi, dengan cara kondensasi pertikel larutan sejati (molekul atau ion) bergabung menjadi partikel koloid. Cara ini dapat dilakukan melalui reaksi-reaksi kimia, seperti reaksi redoks, hidrolisis, dan dekomposisi rangkap, atau dengan pergantian pelarut. a) Reaksi Redoks Reaksi redoks adalah reaksi yang disertai perubahan bilangan oksidasi. Contoh: (1) Pembuatan sol belerang dari reaksi antara hidrogen sulfida (H2S) dengan belerang dioksida (SO2), yaitu dengan mengalirkan gas H2S ke dalam larutan SO2. 2H2S(g) + SO2(aq) 2H2O(l) + 3S(koloid) (2) Pembuatan sol emas dari reaksi larutan HAuCl4 dengan larutan K2CO3 dan HCHO (formaldehida). 2HAuCl4(aq) + 6 K2CO3(aq) + 3 HCHO(aq) 2Au(koloid) + 5CO2(g) +8KCl(aq)+3HCOOK(q) + KHCO3(aq) + 2H2O(l) b) Hidrolisis Hidrolisis adalah reaksi suatu zat dengan air. Contoh: Pembuatan sol Fe(OH)3 dari hidrolisis FeCl3, apabila ke dalam air mendidih ditambahkan larutan FeCl3 akan terbentuk sol Fe(OH)3. FeCl3(aq) + 3H2O(l) Fe(OH)3(koloid) + 3HCl(aq)
40 c) Dekomposisi Rangkap Contoh: (1) Sol As2S3 dapat dibuat dari reaksi antara larutan H3AsO3 dengan larutan H2S. H3AsO3(aq) + 3 H2S(aq) As2S3(koloid) + 6H2O(l) (2) Sol AgCl dapat dibuat dengan mencampurkan larutan perak nitrat encer dengan larutan HCl encer. AgNO3(aq) + HCl(aq) AgCl(koloid) + HNO3(aq) d) Pergantian Pelarut Apabila larutan jenuh kalsium asetat dicampur dengan alkohol akan terbentuk suatu koloid berupa gel. 2) Cara Dispersi Sistem koloid dapat dibuat dengan menghaluskan bahan dalam bentuk kasar kemudian didispersikan ke dalam medium pendispersi. Cara ini disebut cara dispersi. Dengan cara dispersi, partikel kasar dipecah menjadi partikel koloid. Cara dispersi dapat dilakukan secara mekanik, peptisasi atau dengan loncatan bunga listrik (cara busur Bredig). a) Cara Mekanik Menurut cara ini butir-butir kasar digerus dengan lumpang atau penggiling koloid sampai diperoleh tingkat kehalusan tertentu kemudian diaduk dengan medium dispersi. Contoh: Sol belerang dapat dibuat dengan menggerus serbuk belerang bersamasama
dengan
suatu
zat
inert
(seperti
gula
pasir),
kemudian
mencampurkan serbuk halus itu dengan air. b) Cara Peptisasi Cara peptisasi adalah pembuatan koloid dari butir-butir kasar atau dari suatu endapan dengan bantuan suatu zat pemeptisasi (pemecah). Zat pemeptisasi memecahkan butir-butir kasar menjadi butir-butir koloid.
Contoh:
41 Agar-agar dipeptisasi oleh air, nitroselulosa oleh aseton, karet oleh bensin, dan lain-lain. Endapan NiS dipeptisasi oleh H2S dan endapan Al(OH)3 oleh AlCl3. c) Cara Busur Bredig Cara busur Bredig digunakan untuk membuat sol-sol logam. Logam yang akan dijadikan koloid digunakan sebagai elektroda yang dicelupkan dalam medium dispersi, kemudian diberi loncatan listrik di antara kedua ujungnya. Mula-mula atom-atom logam akan terlempar ke dalam air, lalu atom-atom tersebut mengalami kondensasi sehingga membentuk partikel koloid. Jadi, cara busur ini merupakan gabungan cara dispersi dan cara kondensasi. e. Peranan Koloid dalam Industri dan dalam Kehidupan Sehari-hari dan Industri 1. Peranan Koloid dalam Kehidupan Sehari-hari Beberapa aplikasi/fenomena sistem koloid lainnya dapat disimak berikut ini : a) Pemutihan Gula Gula tebu yang dijual di toko atau di pasar ada yang berwarna cokelat kotor dan ada yang berwarna putih bersih. Gula tebu yang berwarna putih bersih berasal dari gula berwarna cokelat kotor yang sudah diputihkan melalui sistem koloid. Caranya adalah larutan gula yang berwarna cokelat dilewatkan dalam sistem koloid, yaitu mineral yang berpori. Setelah itu dilewatkan dalam arang tulang yang menyerap warna gula, sehingga larutan gula menjadi jernih tidak berwarna. b) Pengambilan partikel koloid asap dan debu dari gas buangan pabrik Contoh alat yang menggunakan prinsip elektriforesis adalah pengendap cottrell. Alat ini digunakan untuk memisahkan partikelpartikel koloid seperti asap dan debu yang terkandung dalam gas buangan pabrik. Hal ini bertujuan untuk mengurangi zat-zat polusi
42 udara, di samping dapat digunakan untuk memperoleh kembali debu berharga seperti debu arsenik oksida. c) Pengambilan endapan pengotor Gas atau udara yang dialirkan ke dalam suatu proses industri sering mengandung zat-zat pengotor berupa partikel-partikel koloid. Untuk memisahkan pengotor ini, digunakan alat pengendap elektrostatik. Pada alat ini digunakan pelat logam bermuatan untuk menarik partikel-partikel koloid. d) Pembentukan delta di muara sungai Air sungai mengandung partikel-partikel koloid pasir dan tanah liat yang bermuatan negatif. Sedangkan air laut mengandung ion-ion Na+, Mg2+, dan Ca2+yang bermuatan positif. Ketika air sungai bertemu air laut, maka ion-ion positif dari air laut akan menetralkan muatan pasir dan tanah liat. Akibatnay, terjadi koagulasi yang membentuk suatu delta. e) Penggumpalan darah Darah mengandung sejumlah koloid protein yang bermuatan negatif. Jika terdapat luka kecil, maka luka tersebut dapat diobati dengan pensil stiptik atau tawas yang mengandung ion-ion Al3+ dan Fe3+. Ion-ion ini akan menetralkan muatan-muatan partikel koloid protein dan membantu penggumpalan darah. f) Proses penjernihan air Air mengandung partikel-partikel koloid tanah liat yang bermuatan negatif. Untuk keperluan air minum, partikel-partikel koloid ini harus dipisahkan, seperti dengan penambahan tawas Al2(SO4)3.
Tawas
mengandung
ion
Al3+ akan
terhidrolisis
membentuk partikel koloid Al(OH)3 yang bermuatan positif. Al3+ + 3H2O → Al(OH)3 + 3H+ Al(OH)3 Akan partikel-partikel
koloid
menghilangkan lumpur
muatan
sehingga
negatif
terjadi
dari
koagulasi.
43 Al(OH)3 Akan mengendap bersama-sama lumpur. Hal ini digunakan dalam proses pengolahan air bersih. g) Penyembuhan sakit perut yang disebabkan oleh bakteri Apabila kita sakit perut yang disebabkan oleh bakteri maka dianjurkan minum oralit atau norit. Oralit atau norit dapat menyembuhkan sakit perut karena dalam usus dapat membentuk sistem koloid yang mampu mengadsorpsi bakteri, sehingga bakteri tersebut mati. 2. Peranan Koloid dalam Industri Dalam kenyataannya, banyak produk industri yang diperlukan dalam kehidupan sekarang ini berupa koloid, baik sebagai bahan makanan, bahan bangunan, maupun produk-produk lain. Mengapa sistem koloid digunakan dalam produk industri ? Salah satu ciri khas koloid, yaitu partikel padat dari suatu zat dapat tersuspensi dalam zat lain, terutama dalam bentuk cairan. Hal ini merupakan dasar dari berbagai hasil industri yang dibutuhkan manusia. Tabel 2.5. Aplikasi Kimia Koloid dalam Industri No. 1
Jenis Industri Industri makanan
2
Industri kosmetika dan perawatan tubuh Industri cat Industri kebutuhan rumah tangga Industri pertanian Industri farmasi
3 4 5 6
Contoh aplikasi Keju, mentega, susu, saus salad Krim, pasta gigi dan sabun Barbagai macam cat Sabun, detergen Pestisida dan insektisida Minyak ikan, penisilin untuk suntikan
Penggunaan koloid juga dapat menghasilkan campuran hasil industri tanpa saling melarutkan secara homogen. Di samping itu juga bersifat stabil, sehingga dapat digunakan dalam waktu yang relatif lama. Koloid yang dapat menstabilkan hasilindustri ini dinamakan koloid pelindung.
44 Misalnya, es krim yang ditambah gelatin. Adanya gelatin dalam es krim menyebabkan es krim tidak dapat meleleh.
9. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Rani (2013) dengan judul “ Studi Komparasi Penggunaan Media Teka-Teki Silang (TTS) Dengan kartu Pada Pembelajaran Kimia Melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Materi Zat Adiktif Dan Psikotropika Kelas VIII SMP N 2 Ngadirojo, Wonogiri Tahun pelajaran 2011/2012”. Hasil penelitian: (1) prestasi belajar kognitif siswa pada penggunaan media TTS (16,81) lebih tinggi disbanding media kartu (12,97) pada pembelajaran kimia melalui pendekatan CTL pada materi zat adiktif dan psikotropika; (3) prestasi belajar afektif siswa pada penggunaan media TTS (72,38) lebih tinggi disbanding media kartu (69,26) pada pembelajaran kimia melalui pendekatan CTL pada materi zat adiktif dan psikotropika. Simpulan penelitian ini adalah penggunaan media TTS lebih efektif untuk meningkatkan prestasi belajar siswa disbanding media kartu pada pembelajaran kimia melalui pendekatan CTL pada materi Zat Adiktif dan Psikotropika kelas VIII semester 2 SMP N 2 Ngadirejo Wonogiri tahun pelajaran 2011/2012. Penelitian yang dilakukan oleh Rajagukguk (2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan media peta konsep lebih baik daripada hasil belajar siswa yang diajar tanpa media peta konsep. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan juni 2007 di SMA Negeri 1 Bandar Perdagangan Simalungun, dengan jumlah sampel 40 orang kelas eksperimen dan 40 orang kelas control. Metode penelitian ini adalah eksperimen dengan penggunaan media peta konsep sebagai perlakuan dengan rancangan randomized control group pretest posttest. untuk menguji ada tidaknya perbedaan hasil belajar siswa dari kedua kelompok digunakan statistic t. Dari hasil penelitian pada taraf signifikansi 5% diperoleh ada perbedaan hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan media peta konsep dan tanpa menggunakan media peta konsep, yakni pembelajaran dengan media peta konsep adalah lebih
45 baik. Hal ini juga didukung oleh penelitian dari Gaikwad dan Tankhiwale (2012) yang berjudul Crossword puzzle: self-learning tool in pharmacology yang menyatakan bahwa teka-teki silang dapat membantu peserta didik belajar mandiri untuk mengingat kata-kata penting. Sementara pada penelitian Joseph D. Novak (2010) yang berjudul Learning, Creating, and Using Knowledge: Concept maps as facilitative tolls in schools and corporations yang menyatakan bahwa peta konsep dapat membantu peserta didik mengatasi kesalahpahaman konsep. Dari keempat penelitian terlihat TTS dan Peta konsep diketahui kelebihan masing masing media tetapi belum diketahui mana yang akan menang apabila dibandingkan. Dari hal tersebut peneliti akan membandingkan kedua media tersebut untuk lebih diketahui mana yang akan mempengaruhi prestasi belajar siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Fadilah (2013) dengan judul “Pengaruh Penggunaan Pembelajaran Kooperatif Tgt (Teams Games Tournament) Dengan Permainan Word Square Dan Crossword Terhadap Prestasi Belajar Ditinjau Dari Kemampuan Memori Siswa Pada Pokok bahasan Sistem Periodik Unsur Kelas X Sma Batik 2 Surakarta Tahun Pelajaran 2012/2013”. Hasil penelitian: (1) Terdapat perbedaan pengaruh penggunaan pembelajaran kooperatif TGT dengan permainan word square dan crossword terhadap prestasi belajar kognitif, akan tetapi tidak terdapat perbedaan pengaruhnya terhadap prestasi belajar afektif pada pokok bahasan Sistem Periodik Unsur; (2) Terdapat pengaruh kemampuan memori siswa terhadap prestasi belajar kognitif, akan tetapi tidak terdapat pengaruhnya terhadap prestasi belajar afektif pada pokok bahasan Sistem Periodik Unsur; (3) Tidak ada interaksi antara penggunaan pembelajaran kooperatif TGT disertai permainan word square dan crossword dengan kemampuan memori siswa terhadap prestasi belajar kognitif maupun afektif pada pokok bahasan Sistem Periodik Unsur. Dari penelitian di atas dapat diketahui bahwa pemvariasian media akan mempengaruhi prestasi belajar siswa dan terdapat pengaruh kemampuan memori siswa terhadap prestasi belajar siswa.
46 B. Kerangka Berpikir Salah satu indikator keberhasilan proses belajar mengajar dapat dilihat dari prestasi belajar yang dicapai siswa. Prestasi belajar digunakan sebagai alat ukur atau indikator suatu keberasilan suatu pembelajaran. Keberasilan proses belajar mengajar dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal yang perlu diperhatikan adalah pemilihan media pembelajaran yang tepat dan variatif karena dalam pemilihan media pembelajaran yang tepat dan sesuai drngan materi serta kondisi siswa diharapkan tujuan pembelajaran dapat tercapai sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar sisawa. Sedangkan salah satu faktor internal yang berpengaruh adalah faktor internal sisawa dalam mempelajari ilmu kimia, kemampuan memori dapat menjadi kemampuan internal yang berpengaruh terhadap prestasi siswa 1. Perbedaan prestasi belajar siswa pada penggunaan media TTS dan Peta Konsep melalui model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) pada pokok bahasan koloid Media pembelajaran dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif dimana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif. Sehingga dalam menggunakan media pembelajaran perlu disesuaikan dengan materi yang akan diajarkan agar siswa lebih mudah memahami konsep-konsepnya, terutama pada pembelajaran kimia yang sebagian besar bersifat abstrak. Media pembelajaran yang digunakan dalam penilitian ini adalah TTS dan media Peta Konsep. Dalam pengelompokan berdasarkan indera yang terlibat, kedua media pembelajaran termasuk dalam media visual yaitu media yang dapat digunakan dengan menggunakan indera visual yaitu penglihatan. Koloid menrupakan salah satu pokok bahasan dalam pelajaran kimia bagi kelas XI. Materi koloid ini memiliki karakteristik bersifat hafalan. Dengan bervariatif dan menariknya media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar diharapkan akan menanamkan pemahaman konsep yang lebih kuat jika dibandingkan dengan siswa yang hanya mendengarkan penjelasan dari guru saja.
47 Dengan adanya media pembelajaran yang inovatif dalam proses pembelajaran menyebabkan pembelajaran lebih bermakna dan materi lebih mudah dipahami oleh siswa. TTS adalah jenis permainan kata yang sudah popular di seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya TTS yang tersebar di seluruh pelososk tanah air, seperti di surat kabar, majalah, tabloid, dan buku TTS khusus. Kenyataan menunjukkan bahwa dimanapun dijumpai orang mengisi TTS, termasuk kalangan pelajar, mahasiswa hingga kalangan pekerja. Pada umumnya media permainan ini disenangi siswa, karena media permainan memperlihatkan unsur kesenangan, memberikan tantangan dan rangsangan dalam kelas. Menurut Rabiah dan Nurjannah (2008), TTS sebagai teknik pembelajaran kosakata tentu lebih mearik karena mengandung unsur permainan, hiburan dan dapat dilakukan secara santai dengan berbagai variasi. Dengan demikian, siswa termotivasi dan bergairah mempelajari kosakata yang dapat merangsang daya nalarnya untuk memahami materi, sehingga dapat mudah diingat dan menjadi pengetahuan yang sangat berkesan dan tidak mudah dilupakan sebagai sebuah pengalaman belajar. Akibatnya dapat memberi pemahaman terhadap materi secara mudah dan mendalam. Peta konsep berupa ide-ide pemikiran yang dituangkan dalam bentuk gambar/grafis. Peta konsep dikembangkan untuk menggali ke dalam struktur kognitif pelajar dan untuk mengetahui, baik bagi pelajar maupun guru, melihat apa yang telah diketahui pelajar. Walaupun suatu peta konsep tida diharapkan menjadi suatu representasi kosep dan komposisi relevan yang komplit dari yang diketahui oleh pelajar, tetapi bahwa diharapkan bahwa peta konsep merupakan suatu pendekatan yang dilaksanakan yang dapat dikembangkan baik oleh pelajar atau guru secara sadar dan bebas. Dari pemikiran di atas, diduga ada perbedaan pada penggunaan media pembelajaran TTS dan Peta Konsep terhadap prestasi belajar siswa pada pokok bahasan koloid.
48 2. Perbedaan kemampuan memori terhadap prestasi belajar siswa pada pokok bahasan koloid Dalam proses belajar mengajar menjadi transfer informasi baik dari guru ke siswa ataupun dasis siwa yang satu kesiswa yang lain. Kemampuan memori diperlukann oleh siswa dalam proses belajar mengajar, terutama pada materi koloid yang memelukan daya hafalan cukup misalnya pada jenis-jenis koloid. Semakin tinggi kemampuan iswa terhadap suatu informasi, akan semakin mudah dalam belajarnya. Siswa dengan kemampuan memori yang tinggi mampu mendalami dan mengkaitkan pengetahuan yang diperoleh dalam belajar sehingga prestasi yang diperoleh bagus. Diduga dengan kemampuan memori tinggi maka prestasi belajarnya lebih tinggi. Dari pemikiran tersebut, dapat dimungkinkan bahwa ada pengaruh kemampuan memori terhadap prestasi belajar pengetahuan siswa. Namun asumsi ini akan berbeda jika ditinjau dari prestasi belajar sikap siswa. Hal ini disebabkan karena pada penilaian prestasi belajar sikap hanya untuk mengetahui penerimaan, respons, penilaian, pengorganisasian, dan karakterisasi siswa, baik penerimaan maupun respon materi pelajaran maupun media pembelajaran serta proses pembelajaran sesuai melalui angket yang diberikan pada masing-masing siswa. Sehingga siswa tidak membutuhkan ingatan atau kemampuan memori dalam mengisi angket, melainkan hanya memilih jawaban yang sesuai dengan sikapnya selama proses pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian. Dengan demikian jelas bahwa perbedaan kemampuan memori tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar sikap. Dari pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan memori berpengaruh pada prestasi belajar pengetahuan siswa, dimana siswa yang memiliki kemampuan memori tinggi memiliki prestasi belajar pengetahuan yang lebih baik daripada siswa yang memiliki kemampuan memori rendah. Namun kemampuan memori tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar afektif siswa. 3. Interaksi antara penggunaan media TTS dan Peta Konsep melalui model pembelajaran
Contextual
Teaching
and
Learning
(CTL)
dengan
49 kemampuan memori terhadap prestasi belajar siswa pada pokok bahasan Koloid Pada penggunaan media TTS dan Peta Konsep ditinjau dari kemampuan memori siswa, kemungkinan akan terjadi fenomena dimana siswa yang memiliki kemampuan memori yang tinggi akan memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang memiliki kemampuan memori rendah. Untuk siswa dengan kemampuan memori yang tinggi, baik diajar dengan media TTS dan Peta Konsep akan menghasilkan prestasi yang sama-sama baik. Adapun siswa yang memiliki kemampuan memori rendah, dengan media TTS dan Peta Konsep juga akan memiliki prestasi belajar yang sama baiknya. Dari pemikiran tersebut diduga ada interaksi antara media pembelajaran TTS dan Peta Konsep dengan kemampuan memori terhadap kemampuan belajar siswa pada pokok bahasan koloid. Bagan kerangka berfikir dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.15. berikut: Faktor
Media
Eksternal
Pembelajaran
TTS
Peta Konsep
Faktor-faktor yang
Prestasi
mempengaruhi
Belajar
prestasi belajar
Koloid
Tinggi Faktor
Kemampuan
Internal
Memori
Rendah
Gambar 2.15. Kerangka Berfikir
50 C. Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan kerangka pemikiran yang dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut : 1 Terdapat perbedaan prestasi belajar siswa pada penggunaan media TTS dan Peta Konsep melalui model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) pada pokok bahasan koloid. 2 Terdapat perbedaan kemampuan memori terhadap prestasi belajar siswa pada pokok bahasan koloid. 3 Terdapat interaksi antara penggunaan media TTS dan Peta Konsep melalui model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan kemampuan memori terhadap prestasi belajar siswa pada pokok bahasan koloid.