BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Siahaan (2006) mendefinisikan secara umum “Pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan Undang-Undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontraprestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai
pengeluaran
negara
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan” (h.7). Mardiasmo (2006) menyebutkan batasan atau definisi pajak sangat beragam dari para ahli pajak menyajikan definisi pajak tersebut sesuai dengan kemampuan dan pemahaman pemikiran mereka. Salah satunya definisi pajak oleh para ahli yaitu : Menurut Prof. Dr. Soemitro, SH sebagai berikut : “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. “ Berdasarkan definisi pajak, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang melekat pada pengertian definisi pajak, yaitu sebagai berikut : 1. Iuran rakyat kepada negara Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang bukan barang. 2. Berdasarkan undang-undang 8
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekeuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. II.1.2. Fungsi Pajak Menurut Mardiasmo (2006) Pajak bagi Negara mempunyai fungsi yang sangat penting antara lain : a. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluarannya. b. Fungsi Mengatur (Regulernd) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras dan terhadap barang mewah.(h.1). II.1.3. Pengelompokkan Pajak Mardiasmo (2006) menyebutkan bahwa Pajak dapat dikelompokan ke dalam kelompok :
9
1. Menurut golongan a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan, sebagai contoh Pajak Penghasilan. b. Pajak Tidak Langsung,yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain, sebagai contoh Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut sifatnya Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip: a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya
yang
selanjutnya
dicari
syarat
objektifnya,
dalam
arti
memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut lembaga pemungutnya a. Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Bea Meterai.
10
b. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.(h.5). II.1.4. Syarat Pemungutan Pajak Mardiasmo (2006) menyebutkan agar pajak tidak menemui hambatan dalam pelaksanaannya, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang–undang dan pelaksanaan
pemungutan
harus
adil.
Adil
dalam
perundang–undangan
diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. 2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-undang (Syarat Yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (2). Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya. 3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomi) Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
11
4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial) Sesuai dengan fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. 5. Sistem pemungutan harus sederhana Sistem pemungutan pajak yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.(h.2). II.1.5. Stelsel Pajak Menurut Mardiasmo (2006) pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel : a. Stelsel nyata (riel stelsel) Pengenaan Pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel) Pengenanaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undangundang. c. Stelsel campuran Stelsel ini kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. (h.6).
12
II.1.6 Asas Pemungutan Pajak Mardiasmo (2006) menyebutkan bahwa asas pemungutan pajak terdiri dari : a. Asas domisili (asas tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. b. Asas sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. c. Asas kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.(h.7). II.1.7. Sistem Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2006) sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi: 1. Official Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Ciri-ciri Official Assessment System : a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus
13
b. Wajib pajak bersifat pasif c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2. Self Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. 3. With Holding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.(h.7). II.1.8. Tarif Pajak Menurut Mardiasmo (2006) Pemungutan pajak tidak terlepas dari keadilan, dengan keadilan dapat menciptakan keseimbangan sosial yang sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat. Perhitungan pajak yang terutang dikenal 4 (empat) macam tarif yaitu : 1. Tarif Pajak Proporsional atau Sebanding Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Contoh : untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan PPN sebesar 10%.
14
2. Tarif tetap Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh : besarnya tarif bea meterai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp 6.000,3. Tarif Pajak Progresif Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Contoh : Pasal 17 Undang-undang PPH a. Sampai dengan 25 Juta tarif 5% b. Di atas 25 Juta – 50 Juta tarif 10% c. Di atas 50 Juta – 100 Juta tarif 15% d. Di atas 100 Juta – 200 Juta tarif 25% e. Di atas 200 Juta tarif 35% 4. Tarif Pajak Degresif Persentase tarif pajak yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.(h.9). II.2. Pajak Daerah Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah RI No.65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah diatur bahwa Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
15
Dengan demikian pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan Peraturan daerah (Perda), yang wewenang pemungutannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. II.2.1. Dasar Hukum Pajak Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.34 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah pendukungnya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak yang dipungut oleh Propinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh Kabupaten / Kota yaitu : A. Pajak Propinsi (Daerah Tingkat I) 1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan B. Pajak Kabupaten / kotamadya (Daerah Tingkat II) 1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran 3. Pajak Hiburan 4. Pajak Reklame
16
5. Pajak Penerangan Jalan 6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 7. Pajak Parkir II.2.2. Kriteria dan Ciri-Ciri Pajak Daerah Tjip (2008) menyebutkan bahwa prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang baik pada umumnya tetap sama, yaitu harus memenuhi Kriteria umum tentang perpajakan daerah sebagai berikut : 1. Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastik, artinya dapat mudah naik turun mengikuti naik turunya tingkat pendapatan masyarakat. 2. Adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak. 3.
Administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung dan pelayanan memuaskan bagi wajib pajak.
4. Secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak. 5. Non distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Pajak Daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
17
2. Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam. 3. Tax Basenya (Dasar pengenaan pajaknya) harus merupakan perpaduan antar prinsip keuntungan dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).(h.197). II.2.3. Penerimaan Daerah dan Pajak Daerah Dengan ditetapkannya Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang didukung dengan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah Provinsi sebagai Daaerah Otonom, telah membawa pembangunan yang cukup besar dan mendasar dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat serta pembangunan daerah. Implikasi langsung dari pemberian tanggung jawab tersebut adalah daerah membutuhkan dana yang semakin besar untuk memenuhi pembiayaan uang menjadi tanggung jawabnya. Sejalan dengan pemberian fungsi tersebut juga telah dilakukan pembagian sumber-sumber keuangan yang menjamin agar semua daerah dapat membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Salah satu sumber pembiayaan tersebut diharapkan dari penerimaan daerah yang diatur dalam Pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004 tentang penerimaan daerah meliputi : 1. Pendapatan Asli Daerah a. Hasil Pajak Daerah b. Hasil Retribusi Daerah
18
c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan, d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. 2. Dana Perimbangan 3. Pinajaman Daerah dan, 4. Lain-lain Pendapatan daerah yang sah Sedangkan sumber Pendapatan Daerah yang diatur dalam Pasal 5 dan 6 Undangundang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah meliputi: 1. Sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, adalah: a. PAD b. Dana Perimbangan c. Pinjaman daerah d. Lain-lain Pendapatan 2. Sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari: a. Hasil Pajak Daerah b. Hasil Retribusi Daerah c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah meliputi : 1) Hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan; 2) Jasa giro; 3) Pendapatan bunga;
19
4) Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; 5) Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. II.2.4. Efektifitas Pajak daerah Menurut Tjip (2005) sebelum suatu kebijakan peraturan daerah diberlakukan terlebih dahulu dikaji tentang tolok ukur untuk menilai pajak daerah itu sendiri. Menurut Nick Devas (1989 : 61-62) dalam bukunya Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, bahwa untuk mengukur berbagai pajak daerah digunakan 5 (lima) kriteria sebagai berikut : 1. Yield (Hasil) Digunakan untuk mengetahui memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitannya dengan berbagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan mudah tidaknya memperkirakan besar hasil itu, dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk dan sebagainya, juga perbandingan hasil pajak dengan biaya pungutnya. 2. Equality (Keadilan) Dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak sewenang-wenang, pajak bersangkutan harus adil secara horizontal, artinya beban pajak haruslah sama besar antar berbagai kelompok yang berbeda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama, harus adil secara vertikal artinya kelompok yang mempunyai sumber daya ekonomi yang sama dan pajak itu haruslah adil dari tempat ke tempat lain dalam arti hendaknya tidak ada perbedaan-perbedaan yang
20
besar dalam pembebanan pajak dari satu daerah ke daerah lain jika perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam menyediakan layanan masyarakat. 3. Economy Efficiency (Daya Guna Ekonomi) Pajak hendaknya mendorong (atau sekitarnya tidak menghambat) penggunaan sumber daya secara ekonomi, mencegah jangan sampai pilihan konsumen dan pilihan produsen menjadi salah arah atau orang menjadi segan bekerja atau menabung dan memperkecil “beban lebih” pajak. 4. Ability to Implement (Kemampuan Melaksanakan) Suatu pajak haruslah dapat dilaksanakan, dari sudut kemampuan politik dan kemampuan tata usaha . 5. Suistainbility as A local Revenue Source (kecocokan sebagai Sumber Penerimaan Daerah) Ini berarti haruslah jelas kepada daerah mana suatu pajak harus dibayarkan dan tempat memungut pajak sedapat mungkin sama dengan tempat akhir beban pajak, pajak tidak mudah dihindari dengan cara memindahkan objek pajak dari suatu daerah ke daerah lain, pajak daerah jangan mempertajam perbedaanperbedaan dari segi potensi ekonomi masing-masing, dan pajak hendaknya tidak menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak daerah. II.3. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Menurut Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta nomor 4 Tahun 2003 tentang Pajak Kendaraan Bermotor diatur bahwa Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah
21
semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat dan digerakan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat besar yang bergerak. Pengenaan PKB tidak mutlak ada pada seluruh daerah provinsi di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah provinsi untuk mengenakan suatu jenis pajak propinsi . Untuk dapat dipungut pada suatu daerah propinsi pemerintah daerah harus terlebih dahulu menerbitkan Peraturan Daerah tentang PKB yang akan menjadi landasan operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan PKB di daerah propinsi yang bersangkutan. Pajak kendaraan bermotor mempunyai dampak ekonomi yang positif. Hal ini disebabkan Prop. DKI Jakarta semakin padat dengan bertambahnya penduduk yang memiliki kendaraan bermotor, sedangkan untuk pajak ini biayanya cukup rendah dengan tarif yang didasarkan pada ukuran mesin dan umur, sehingga dipandang adil karena pemilik mobil pribadi terbatas sebagian besar pada keluarga berpenghasilan menengah keatas. Pajak kendaraan bermotor cocok untuk sumber pendapatan daerah karena beberapa hal, antara lain : a. Adanya hubungan yang jelas antara pajak dan pengeluaran pemerintah daerah untuk jalan. b. Tempat objek pajak dari jenis pajak ini mudah ditentukan. c. Biaya pungutnya yang rendah dan mudah dilaksanakan.
22
Di DKI Jakarta pemungutan PKB didasarkan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah serta Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pajak Kendaraan Bermotor. II.3.1. Objek Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Siahaan (2005) menyebutkan bahwa Objek pajak PKB adalah kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor. Termasuk dalam objek PKB adalah kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor yang digunakan di semua jenis jalan darat, antara lain, di kawasan bandara, pelabuhan laut, perkebunan, kehutanan, pertanian, pertambangan, industri, perdagangan, dan sarana olahraga dan rekreasi. Objek pajak kendaraan bermotor dikecualikan terrhadap kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor oleh : a. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah b. Kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing, dan perwakilan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik c. Subjek pajak lainnya yang diatur dengan peraturan daerah.(h.140). II.3.2. Subjek Pajak dan Wajib Pajak Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Siahaan (2005) menyebutkan bahwa subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan atau menguasai kendaraan bermotor. Sementara itu, yang menjadi wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor. Jika wajib pajak berupa badan, kewajiban perpajakannya diwakili oleh pengurus atau kuasa badan tersebut. Dengan demikian, pada PKB subjek pajak sama
23
dengan wajib pajak, yaitu orang pribadi atau badan yang memiliki dan atau menguasai keendaraan bermotor. Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya, wajib pajak dapat diwakili oleh pihak tertentu yang diperkenankan oleh undang-undang dan peraturan daerah tentang PKB. Wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi dan atau secara tanggung renteng atas pembayaran pajak terutang. Selain itu, wajib pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuassaa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. (h.142). II.3.3. Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Siahaan (2005) menyebutkan bahwa dasar pengenaan, tarif dan cara perhitungan PKB sebagai berikut : 1. Dasar Pengenaan PKB Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dihitung sebagai perkalian dari 2 (dua) unsur pokok : a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor b. Bobot yang mencerminkan secara relatif kadar kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor Nilai Jual Kendaraan Bermotor diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor. Dalam hal harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor tidak diketahui. Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan faktorfaktor :
24
a. Isi silinder dan atau satuan daya kendaraan bermotor b. Penggunaan kendaraan bermotor c. Jenis kendaraan bermotor d. Merek kendaraan bermotor e. Tahun pembuatan kendaraan bermotor f. Berat total kendaraan bermotor dan banyaknya penumpang yang diizinkan g. Dokumen impor untuk jenis kendaraan bermotor tertentu Sedangkan bobot yang dimaksud dihitung berdasarkan faktor-faktor : a. Tekanan gandar kendaraan bermotor b. Jenis bahan bakar kendaraan bermotor c. Jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin kendaraan bermotor Bobot dinyatakan sebagai koefisien tertentu. Koefisien sama dengan satu berarti kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan oleh kendaraan bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi. Koefisien lebih besar dari satu berarti kendaraan tersebut berpengaruh buruk terhadap kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan, contohnya dibawah ini. 1. Pada tahun 2002, Menteri Dalam Negeri menetapkan bahwa NJKB mobil Mercedes Benz C.180 automatic tahun pembuatan 2000 adalah sebesar Rp290.000.000,00 dengan bobot sebesar 1,0. Dengan demikian dasar pengenaan pajak mobil tersebut adalah Rp290.000.000,00 x 1,0 = Rp29.000.000,00 Perhitungan dasar pengenaan PKB dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan. Tabel ini ditinjau
25
kembali setiap tahun. Dengan demikian, besarnya dasar pengenaan pajak dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan harga pasaran. 2. Tarif PKB Tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan sebesar : a. 1,5% (satu koma lima persen) untuk kendaraan bermotor bukan umum b. 1% (satu persen) untuk kendaraan bermotor umum c. 0,5% (nol koma lima persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar. 3. Perhitungan PKB Besarnya pokok Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum, perhitungan PKB adalah sesuai dengan rumus berikut : Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif Pajak x (NJKB x Bobot) Berdasarkan contoh perhitungan dasar pengenaan pajak yang dikemukakan pada bagian 1 di atas dapat dihitung besarnya pajak terutang, yaitu : •
Untuk mobil Mercedes Benz C.180 automatic tahun pembuatan 2000 besarnya PKB yang terutang adalah 1,5% x Rp290.000.000,00 x 1 = Rp4.350.000,00. (h.142)
II.3.4. Bagi Hasil Pajak dan Biaya Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
26
Siahaan (2005) menyebutkan bahwa bagi hasil pajak dan biaya pemungutan Pajak Kendaraan bermotor adalah : 1. Bagi Hasil Pajak Hasil penerimaan PKB merupakan pendapatan daerah yang harus disetorkan seluruhnya ke kas daerah provinsi. Hasil penerimaan PKB sebagian diperuntukan bagi daerah kabupaten/kota di wilayah propinsi tempat pemungutan PKB. Pembagian hasil penerimaan PKB ditetapkan dalam peraturan derah provinsi, dengan perimbangan adalah: a. Paling banyak 70% menjadi bagian pemerintah propinsi b. Paling sedikit 30% menjadi bagian pemerintah kabupaten/kota 2. Biaya Pemungutan Pajak Sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2002 tentang Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Daerah ditetapkan alokasi biaya pemungutan PKB terdiri dari: a. 70% untuk aparat pelaksana pemungutan b. 30% untuk aparat penunjang, yang terdiri dari : 1) 2,5% untuk tim pembina pusat 2) 7,5% untuk kepolisian 3) 20% untuk aparat penunjang lainnya. Biaya pemungutan adalah biaya yang diberikan kepada aparat pelaksana pemungutan dan aparat penunjang dalam rangka kegiatan pemungutan.(h.161)
27
II.4. Analisis Korelasi Supranto (2000) menyebutkan bahwa hubungan dua variabel ada yang positif dan negatif. Hubungan X dan Y dikatakan positif apabila kenaikan (penurunan) X pada umumnya diikuti oleh kenaikan (penurunan) Y. Sebaliknya dikatakan kalau kenaikan (penurunan) X pada umumnya diikuti oleh penurunan (kenaikan) Y.(h.150). Cara menghitung r adalah sebagai berikut: r=
n ∑ xy − (∑ x ) (∑ y )
[ n ∑ x 2 − (∑ x ) 2 ] [ n ∑ y 2 − (∑ y ) 2 ]
Rumus ini disebut koefisien korelasi Pearson (Pearson’s product moment coefficient of correlation). Sujianto (2007) menyebutkan bahwa analisis signifikansi hubungan (uji korelasi) bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel yang tidak menunjukkan hubungan fungsional (berhubungan bukan berarti disebabkan). Sedangkan sifat korelasi akan menentukan arah dari korelasi. Nilai korelasi dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. 0,00 – 0,20 korelasi keeratan sangat lemah b. 0,21 – 0,40 korelasi keeratan lemah c. 0,41 – 0,70 korelasi keeratan kuat d. 0,71 – 0,90 korelassi keeratan sangat kuat e. 0,91 – 0,99 korelasi keeratan sangat kuat sekali f. 1 berarti korelasi keeratan sempurna.(h.38).
28