BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian dan Fungsi Pajak 1. Pengertian Pajak Banyak pengertian dan batasan yang telah dikemukakan oleh para ahli ekonomi, yang pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan perngertian pajak sehingga mudah dipahami. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak.
Menurut R. Santoso
Brotodihardjo, memberikan pengertian sebagai berikut: “ Pajak adalah Iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran
umum
berhubung
dengan
tugas
negara
untuk
menyelenggarakan tugas pemerintahan. ” Sedangkan menurut Rochmat Soemitro memberikan pengertian sebagai berikut : “ Pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbale (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum“.
8
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, adalah : a. Adanya peralihan kekayaan dari sektor privat ke kas Negara. b. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya yang sifatnya bisa dipaksakan. c. Dalam
pembayaran
pajak
tidak
dapat
ditunjukkan
adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah. d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. e. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah
Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No.28 tahun 2007 pasal 1 ayat 1 : “Pajak adalah Kontribusi Wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk
keperluan
Negara
bagi
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.” 2. Fungsi Pajak a). Fungsi Budgetair (Penerimaan) Fungsi Budgetair atau penerimaan yaitu pajak berfungsi sebagai alat untuk memasukkan dana ke kas Negara sebanyak-
9
banyaknya guna dapat membiayai pembangunan dan pengeluaran rutin lainnya dan bila masih ada sisa akan digunakan untuk membiayai investasi pemerintah. b). Fungsi Reguler (Mengatur) Fungsi Reguler atau mengatur yaitu pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi. Sebagaimana bunyi penjelasan Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, point 3 mengenai ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak, butir a) menyebutkan, bahwa : “Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban Negara dan pembangunan nasional. ” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fungsi pajak di Indonesia yang utama adalah sebagai alat untuk memasukkan dana ke kas Negara sebanyak-banyaknya guna pembiayaan Negara dan pembangunan nasional (fungsi Budgetair).
B. Sistem Pemungutan Pajak Selama ini dikenal ada tiga sistem pemungutan pajak yaitu self assessment system, official assessment system, dan withholding tax system. Berdasarkan
10
buku yang bejudul perpajakan Indonesia yang disusun oleh waluyo pengertian dari ketiga tersebut adalah sebagai berikut: 1. Self Assessment System. Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang, kepercayaan, dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang yang harsu dibayar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak berdasarkan self assessment system adalah : 1). Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak itu
sendiri.
2). Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3). Fiskus (Pemerintah) tidak campur dan hanya mengamati Contoh : PPN, PPh WPOP, PPh WP Badan.
2. Official Assessment System Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus. Sistem ini akan berhasil dengan baik apabila fiskus berkemampuan baik dan jumlahnya cukup memadai Ciri-ciri dari Official Assessment System antara lain :
11
1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus (Pemerintah). 2. Wajib Pajak bersifat pasif. 3. Utang Pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh fiskus (Pemerintah). Contoh : PBB.
3. Witholding Tax System Witholding Tax System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus, bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut besarnya pajak terutang Wajib Pajak. Ciri-cirinya adalah wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak. Sistem perpajakan yang dianut Indonesia adalah self assessment system, bagi Pemerintah self assessment system ini lebih menguntungkan karena biaya pemungutannya relative lebih kecil apabila dibandingkan dengan official assessment system. Contoh : PPh Psl 21/26, PPh Psl 22, PPh Psl 23, PPh Psl 24.
C. Pajak Pertambahan Nilai (value Added Tax) Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung, yang dikenakan atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak maupun pemanfaatan Jasa Kena
12
Pajak. Pada dasarnya pengenaan Pajak Pertambahan nilai akan dibebankan kepada konsumen akhir. Seiring dengan program reformasi sistem perpajakan nasional tahun 1983, Undang-Undang Pajak Penjualan 1951 diganti dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 yang dinamakan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan mulai berlaku secara efektif tanggal 1 April 1985. Pada akhir tahun 1994 diundangkan Undang-Undang No.11 Tahun 1994 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1995, dan diubah lagi dengan UndangUndang Nomor 18 Tahun 2000.
1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Menurut Penjelasan atas UU No.42 Tahun 2009, Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang diukenakan secara bertingkat disetiap jalur produksi dan distribusi. Menurut Muhammad Rusjdi Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga, modal, sewa, tanah, upah kerja, dan laba perusahaan adalah merupakan
13
unsur
pertambahan
nilai
yang
menjadi
dasar
pengenaan
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN). Menurut Gunadi, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak atas konsumsi (consumption tax) yang dikenakan kepada tingkat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Pajak Pertambahan Nilai bersifat non kumulatif, walaupun dikenakan pada tiap tingkatan penyerahan, hal ini dikarenakan Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan pertambahan nilainya saja dan sistem pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang menggunakan system credit method dengan menggunakan sarana Faktur Pajak. a. Ciri – Ciri Pajak Pertambahan Nilai Ciri atau karakteristik Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan pendapat Ben Terra (Untung Sukardji) adalah : 1) PPN merupakan pajak tidak langsung, artinya pemikul beban pajak dengan penaggung jawab atas pembayaran pajak ke kas Negara berada pada pihak yang berbeda.
Pemikul beban pajak secara
nyata adalah pembeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, sedangkan penaggung jawab atas pembayaran pajak ke kas Negara adalah Pengusaha Kena Pajak yang bertindak sebagai penjual Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Dan juga dapat diartikan pengusaha yang menyerahkan barang atau memberikan jasa akan menambahkan pajak pada harga jual yang diminta dan pembeli
14
mengeluarkan uang lebih besar (harga jual ditambah dengan pajak). 2) PPN tergolong pajak objektif (in-rem tax), yaitu pajak yang dikenakan atas suatu objek (barang atau jasa). 3) Multi Stage Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. 4) Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Menggunakan Faktur Pajak, maksudnya Pajak Pertambahan Nilai terutang untuk dibayar ke Kas Negara dihitung menggunakan Indirect Subtraction Method/Credit Method/Invoiced Method. Yang dimana Pengusaha Kena Pajak yang menghitung Pajak Pertambahan Nilai diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak sebagai bukti pemungutan pajak, dan berdasarkan Faktur Pajak inilah akan dihitung jumlah pajak terhutang dalam satu masa pajak. 5) Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi umum dalam negeri. 6) Tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda. Karna Pajak Pertambah Nilai dipungut atas nilai tambah saja.
2. Objek Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
15
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1) Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak. 2) Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak yang tidak berwujud. 3) Penyerahan dilakukan didalam Daerah Pabean 4) Penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan Pengusaha yang bersangkutan. b. Impor Barang Kena Pajak. Pajak juga dipungut pada saat impor barang. Pemungutan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dikenakan dalam lingkugan perusahaan atau pekerjaan oleh Pengusaha Kena Pajak. d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. f. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Sedangkan menurut Pasal 16C dan 16D Undang-undang PPN dan PPnBM, disebutkan yang menjadi objek pajak adalah :
16
1). Kegiatan
membangun
sendiri
yang
dilakukan
tidak
dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan baik yang hasilnya akan digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain. 2). Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Petambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan.
a. Barang Kena Pajak Dalam Pasal 1 angka 3 dan angka 2 Undang-undang PPN tahun 1984, pengertian Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN. Pengertian Barang Kena Pajak masih dibatasi oleh Pasal 4A Undangundang PPN tahun 1994 yang menentukan bahwa dengan Peraturan Pemerintah akan ditetapkan jenis-jenis barang yang tidak dikenakan pajak. Jenis barang yang tidak dikenakan pajak didasarkan pada kelompokkelompok barang adalah sebagai berikut : 1).
Barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan yang dipetik langsung, diambil langsung, atau disadap langsung dari sumbernya
2).
Barang hasil perternakan, perburuan/penangkapan, atau penangkaran yang diambil langsung dari sumbernya.
17
3).
Pertambangan, penggalian dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya (minyak mentah, gas bumi, pasir dan kerikil, bijih besi, bijih timah, bijih emas, dsb).
4).
Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
5).
Makanan dan minuman yang disajikan dihotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya.
6).
Uang, emas batangan, saham, dan surat-surat berharga.
7).
Air bersih yang disalurkan melalui pipa.
8).
Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt.
9).
Barang hasil penangkaran atau budidaya perikanan yang diambil langsung dari sumbernya.
b. Jasa Kena Pajak Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang PPN Tahun 1984, pengertian Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pemesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak bedasarkan Undang-undang ini. Berdasarkan Pasal 4A UU PPN Tahun 1984 ditetapkan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN, sebagai berikut :
18
a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik b. Jasa di bidang pelayanan sosial c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi e. Jasa di bidang keagamaan f. Jasa di bidang pendidikan g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan Pajak Tontonan h. Jasa di bidang pernyiaran yang bukan bersifat iklan i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air j. Jasa di bidang tenaga kerja k. Jasa di bidang perhotelan, dan l. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
3. Subjek Pajak Pertambahan Nilai. 1). Pengusaha Kena Pajak, meliputi pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, yang mengekspor Barang Kena Pajak yang dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, yang menyerahkan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan, dan bentuk kerjasama operasi
19
yang apabila menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. 2). Bukan Pengusaha Kena Pajak, yaitu siapapun yang mengimpor Barang Kena Pajak, siapapun yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan siapapun yang membangun sendiri tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya.
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) Dalam Pasal 1 angka 14 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai tahun 1984 dirumuskan bahwa pengusaha adalah Orang atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari Luar Daerah Pabean. Pengertian pengusaha yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, yang kemudian dalam Pasal 1 angka 15 ditentukan bahwa dalam hal pengusaha tersebut melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak menurut Undang-Undang PPN 1984, maka ia diklasifikasikan sebagai Pengusaha Kena Pajak (selama
20
tidak tergolong sebagai Pengusaha Kecil kecuali Pengusaha Kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusha Kena Pajak).
b. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak. Berdasarkan Pasal 3A ayat (1) UU PPN Tahun 1984, Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak wajib : a). Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. b). Memungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah yang terutang, sesudah mendaftarkan usahanya sebagai PKP. c). Menyetor Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, serta menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah yang terutang. d). Melaporkan perhitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah yang terutang. e). Memiliki Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
4. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Berdasarkan Pasal 1 ayat 17 UU PPN 1984 dirumuskan bahwa Dasar Pengenaan Pajak adalah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
21
Ekspor dan Nilai Lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Adapun Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dapat berupa : a). Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai serta potongan harga yang tercantum dalam Faktur Pajak. b). Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. c). Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN. Perhitungan Bea Masuk melalui Harga Patokan Impor (HPI) atau Cost Insurance and Freight (CIF). Maka dalam hal impor yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah nilai impor. d). Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. Dimana Nilai Ekspor yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak dihitung menggunakan Nilai Kurs yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
22
e). Nilai lain, yaitu nilai yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak yang terutang, antara lain : 1).
Untuk pemakaian sendiri dan pembelian cuma-cuma BKP atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian, tidak termasuk laba kotor.
2).
Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah Harga Jual Rata-Rata.
3).
Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan Hasil Rata-Rata perjudul film.
4).
Untuk persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah Harga Pasar yang Wajar.
5).
Untuk Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah Harga Pasar yang Wajar.
6).
Untuk penyerahan jasa Biro Perjalanan atau Pariwisata adalah 10 % dari jumlah tagihan atau jumlah yang harus ditagih.
7).
Untuk jasa paket adalah 10 % dari jumlah tagihan.
8).
Untuk anjak piutang adalah 5 % dari service charge, provisi dan diskon.
9).
Penyerahan kendaraan bermotor bekas sebagai barang dagang adalah 10% dari Harga Jual.
23
10). Untuk penyerahan BKP atau JKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP dan atau JKP antar cabang 11). Untuk penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah Harga Lelang.
5. Tarif Pajak Pertambahan Nilai Tarif Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU PPh 1984 adalah tarif tunggal sebesar 10 %. Dan berdasarkan pasal 7 ayat (3) UU PPh dengan peraturan pemerintah tarif pajak tersebut dapat dirubah menjadi serendah-rendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15%. Sedangkan Tarif Pajak Pertambahan Nilai BKP atau JKP pada ekspor adalah 0%. PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi BKP didalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, BKP yang diekspor dan dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenakan PPN dengan tarif 0%. Tarif 0% bukan berarti merupakan pembebasan dari pengenaan PPN. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar dan barang yang diekspor tetap dapat dikreditkan. Sebagai contoh : 1). Pengusaha Kena Pajak
“A”
menjual Barang Kena Pajak dengan
Harga Jual Rp. 25.000.000,00. Pajak Pertabahan Nilai yang terutang = 10% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00. Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp. 2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “A”.
24
2). Pengusaha Kena Pajak “B” melakukan peyerahan Jasa Kena Pajak dengan
memperoleh
penggantian
Rp.
20.000.000,00.
Pajak
Pertabahan Nilai yang terutang = 10% x Rp. 20.000.000,00 = Rp. 2.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp. 2.500.000,00
tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “B”.
6. Faktur Pajak dan Nota Retur a. Faktur Pajak Pasal 1 ayat 23 UU PPN 1984 merumuskan Faktur Pajak adalah bukti yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Faktur Pajak berfungsi sebagai : a. Bukti pungutan pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. b. Bukti pembayaran pajak ditinjau dari sisi pembeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atau Orang Pribadi atau Badan yang mengimpor Barang Kena Pajak. c. Sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan.
25
Faktur Pajak dapat dibedakan menjadi : 1). Faktur Pajak Standar, yaitu Faktur Pajak yang bentuk dan isinya telah ditetapkan oleh Peraturan Perundang-Undangan. Faktur Pajak Standar dibuat apabila melakukan penyerahan yang terutang PPN kepada PKP dan wajib pungut. Dalam melakukan pemungutan PPN, PKP membuat minimal rangkap 2 (dua) Faktur Pajak dengan peruntukan : a. Lembar Ke-1 : untuk diberikan kepada pembeli BKP atau JKP, fungsinya bagi pembeli merupakan Pajak Masukan. b. Lembar Ke-2 : sebagai arsip PKP yang menerbitkan Faktur Pajak yang bersangkutan, fungsinya bagi penjual merupakan Pajak Keluaran.
Dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan tenteng penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit harus seperti : 1. Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP. 2. Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP. 3. Jenis barang, jumlah harga jual, dan potongan harga. 4. PPN yang dipungut. 5. PPn-BM yang dipungut. 6. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak. 7. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak
26
Pembuatan Faktur Pajak Standar a. Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. b. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikunya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. c. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak d. Pada
saat
PKP
rekanan
menyampaikan
tagihan
kepada
Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. 2). Faktur Pajak Gabungan, yaitu Faktur Pajak yang memuat lebih dari satu transaksi dalam satu Masa Pajak untuk pelanggan yang sama. Saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, pengisian, penyampaian, pembetulan dan penggantian Faktur Pajak Gabungan sama seperti ketentuan pada Faktur Pajak Standar. 3). Faktur Pajak Sederhana, yaitu Faktur Pajak yang dibuat sebagai bukti pungutan atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada konsumen akhir atau pembeli atau penerima jasa dengan identitas tidak lengkap. Faktur Pajak Sederhana merupakan Pajak
27
Masukan bagi pembeli namun tidak dapat dikreditkan. Faktur Pajak sederhana dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, kuitansi, nota, karcis, segi kas register, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. Faktur Pajak Sederhana paling sedikit memuat halhal sebagai berikut : a. Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP. b. Jenis dan kuantum yang diserahkan. c. Jumlah harga jual yang menyatakan bahwa harga termasuk PPN atau PPn-BM yang terutang atau dipisahkan antara harga jual dengan PPN atau PPn-BM yang terutang. d. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana. Faktur Pajak Sederhana dapat dibuat oleh PKP penjual dalam hal : 1). Penyerahan BKP atau JKP kepada konsumen akhir. 2). Pembeli BKP atau JKP tidak memiliki atau tidak diketahui dentitas lengkapnya. Misalnya tidak memiliki NPWP. Faktur Pajak Sederhana dibuat selambat-lambatnya pada saat penyerahan BKP atau JKP atau pada saat pembayaran apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP (baik transaksi tunai maupun kredit). Dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak Standar merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
28
b. Nota Retur Selain hal tersebut diatas, dalam ketentuan perpajakan juga dikenal istilah Nota Ratur. Nota Retur tersebut timbul disebabkan adanya pengembalian Barang Kena Pajak saja.
7. Pajak
Masukan,
Pajak
Keluaran
dan
Pengkreditan
Pajak
Masukan 1). Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena Perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.
2). Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak.
3). Pengkreditan Pajak Masukan Mekanisme pengkreditan Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan diatur dalam Pasal 9 UU PPN No.8 Tahun 1983 yang pada prinsipnya mengatur hal-hal sebagai berikut :
29
a. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dengan Masa Pajak yang sama. b. Apabila tidak dapat dikreditkan pada Masa Pajak yang sama, Pajak Masukan tersebut masih bisa dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya, selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang : 1) Belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan kepada harga perolehan BKP atau JKP. 2) Belum dilakukan pemeriksaan. c. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. d. Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan, maka selisih merupakan PPN yang wajib dibayar oleh PKP. e. Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Masukan lebih besar sari Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan Pajak Masukan yang dapat diminta kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. f. Pajak Masukan dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan untuk perolehan BKP atau JKP yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melaksanakan penyerahan kena pajak.
30
8. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Kelebihan pembayaran pajak dapat terjadi karena : 1). Jumlah Pajak Masukan lebih besar dari Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak. 2). Disebabkan kekeliruan pemungutan pajak yang dilaksanakan oleh PKP. Jenis Pajak Masukan yang dapat diminta kembali adalah : 1). Pajak Masukan yang berasal dari perolehan BKP dan atau JKP dari BKP yang diekspor. 2). Pajak Masukan yang berasal dari perolehan BKP dan atau JKP yang diserahkan kepada pemungut PPN tersebut. 3). Seluruh Pajak Masukan untuk perolehan BKP dan atau JKP yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha yang menghasilkan penyerahan kena pajak.
D. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Berdasarkan penjelasan Pasal 3 ayat 1 Undang-undang KUP UU no.16 Tahun 2000 bahwa Pengusaha Kena Pajak fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPnBm yang sebenarnya terutang untuk melaporkan: a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak,
31
yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku; c. Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkan. Berdasarkan Peraturan Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2010 batas waktu pelaporan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, pelaporan SPT masa PPN dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dan dalam pasal 7 ayat 1 Undang-undang No.28 tahun 2007, apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan Undang-undang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
E. Penelitian Terdahulu Dalam penelitian ini peneliti mengacu pada tiga penelitian terdahulu yang sama – sama mengangkat tema Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Penelitian
pertama berjudul “Analisis Perhitungan PPN Masukan dan PPN Keluaran Untuk Menentukan PPN Terhutang pada PT. Surya Rengo Containers” oleh Noniek Pujirahayu (2009). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai kesesuaian perhitungan PPN Masukan, PPN Keluaran, Penyetoran, dan Pelaporan PPN Terutang yang diterapkan pada PT. Suryo Rengo
32
Containers dengan Undang – Undang Perpajakan.
Tujuan penelitian ini
menganalisis kesesuaian perhitungan, penyetoran, dan pelaporan PPN pada PT. Suryo Rengo Containers. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perusahaan dalam mengevaluasi penerapan kebijakan perpajakan perusahaan dan saran – saran yang diberikan dapat menjadi bahan pertimbangan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa PT. Surya Rengo Containers masih membuat beberapa kesalahan dalam perhitungan PPN Masukan dan PPN Keluaran. Walaupun tidak pernah membuat kesalahan dalam pembayaran pajak tetapi harus lebih memberi perhatian dalam hal pelaporan pajaknya karena sudah melakukan keterlambatan dalam pelaporan pajaknya sebanyak dua kali, sehingga harus membayar denda sesuai yang sudah diatur dalam peraturan perpajakan karena keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN nya. Penelitian yang kedua berjudul “Analisis Perhitungan PPN Masukan dan PPN Keluaran Untuk Menentukan Pajak Terhutang pada PT. Citra Inti Garda Sentosa” oleh Nurrahmah (2011). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai kesesuaian perhitungan PPN Masukan, PPN Keluaran, Penyetoran, dan Pelaporan PPN Terutang yang diterapkan pada PT. Citra Inti
Garda Sentosa dengan Undang – Undang Perpajakan.
Tujuan
penelitian ini menganalisis kesesuaian perhitungan, penyetoran, dan pelaporan PPN pada PT. Citra Inti
Garda Sentosa.
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan bagi perusahaan dalam mengevaluasi penerapan kebijakan perpajakan perusahaan dan saran – saran yang diberikan dapat menjadi bahan
33
pertimbangan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa PT. Citra Inti Garda Sentosa melakukan keterlambatan dalam pembayaran dan pelaporan pajaknya yang melewati jatuh tempo serta terdapat pembetulan atau koreksi pada SPT masa PPN, sehingga harus membayar denda sesuai yang sudah diatur dalam peraturan perpajakan karena keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN nya. Penelitian yang ketiga berjudul “Analisis Perhitungan, Pembayaran dan Pelaporan Pajak Pertambahan nilai (PPN) atas Transaksi Hosting dan Domain (Studi Kasus pada PT. XYZ)” oleh Puput Utami (2013). Penelitian ini Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai konsistensi perusahaan dalam menerapkan Pajak Pertambahan Nilai dan evaluasi atas perhitungan, pembayaran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilainya. Hasil dari penelitian ini
menunjukan bahwa PT. XYZ beberapa kali tidak melaporkan
penyerahan Jasa Kena Pajaknya dalam laporan SPT Masa PPN dan terdapat kesalahan dalam pencatatannya.
Hal ini disebabkan PT. XYZ belum
mengelompokan antara pajak masukan yang dapat di kreditkan dengan yang tidak dapat dikreditkan, dan juga terdapat faktur pajak cacat yang berakibat perhitungan PPN nya menjadi kurang bayar.
Berdasarkan evaluasi sebaiknya PT. XYZ
melakukan pembetulan kembali terhadap perhitungan, pembayaran dan pelaporan PPN nya.
34