BAB II LANDASAN TEORI
II. 1 Dasar-dasar Perpajakan Indonesia II.1.1 Definisi Pajak Para ahli pajak baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri telah memberikan definisi pajak menurut versinya masing-masing. Walaupun banyak pendapat mengenai pengertian pajak, tetapi pada dasarnya mempunyai banyak persamaan secara substansinya. Prof. Dr. Rochmat Soemitro yang telah dikutip oleh Prof. Dr. Mardiasmo (2002) mendefinisikan ” Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan UndangUndang (yang dapat disahkan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membayar pengeluaran”(h. 5). Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 (2008), “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (h. 4). Dari definisi tersebut diatas terlihat adanya kontribusi seseorang yang ditunjukkan kepada negara tanpa adanya manfaat yang ditujukan secara khusus kepada seseorang. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
9
1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya yang bersifat dapat dipaksakan, 2. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun daerah, 3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi atau imbalan kepada individual oleh pemerintah, 4. Pajak berfungsi sebagai sumber pembiayaan negara (budgeter) dan untuk tujuan mengatur dan melaksanakan, kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi (regulered). Berkaitan dengan pajak sebagai fungsi budgeter maka diperlukan syarat-syarat pemungutan pajak, sebagai berikut : 1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan). Sesuai dengan tujuan hukum yaitu mencapai keadilan, Undang-Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam Undang-Undang diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yaitu dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak, 2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (syarat yuridis). Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 di pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya, 3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis). Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangannya, sehingga tidak menimbulkan kelesuhan perekonomian masyarakat,
10
4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial). Sesuai dengan fungsi budgeter, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya, 5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh Undang-Undang Perpajakan yang baru.
II.1.2 Klasifikasi Pajak Pajak di Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan : 1. Golongan a. Pajak Langsung; pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan (PPN) b. Pajak Tak Langsung; yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2. Sifat a. Pajak Subjektif; yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak
Objektif;
yaitu
pajak
yang
berpangkal
pada
objeknya,
tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : PPN dan PPnBM 11
3. Lembaga Pemungut a. Pajak Pusat; yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : PPh, PPN dan PPn BM serta Bea Materai b. Pajak Daerah; yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas : 1) Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Bermotor 2) Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame dan Pajak Penerangan Jalan.
II.1.3 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2002), ”Sistem pemungutan pajak dapat dibedakan atas tiga macam, antara lain : 1. Official Assessment Sytem Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak, ciri-cirinya: •
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Fiskus.
•
Wajib Pajak bersifat pasif.
•
Utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh Fiskus
12
2. Self Assessment System Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang, ciri-cirinya : •
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak itu sendiri.
•
Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang.
•
Fiskus tidak ikut campur, melainkan hanya mengawasi.
3. With Holding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga, untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Pihak ketiga ini selain Fiskus dan Wajib Pajak, yaitu pemotong pajak atau pemungut pajak”(h. 7).
II.1.4 Fungsi Pajak Setiap negara yang memungut pajak dari rakyatnya pasti mempunyai tujuan, yaitu untuk membiayai pemerintahan yang dijalankan dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat itu sendiri. Pelaksanaan pemungutan pajak diharapkan dapat mencerminkan keadilan dengan besarnya pajak yang dibebankan sesuai dengan Objek Pajak yang dimiliki rakyat. Sedangkan besarnya Objek Pajak dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu pelaksanaan pemungutan pajak juga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, termasuk di dalamnya ekonomi rakyat secara individu.
13
Ada dua jenis fungsi pajak, diantaranya : 1. Fungsi Budgeter (penerimaan) Pajak mempunyai peranan yang sangat besar dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Pemerintah berupaya untuk menghimpun dana dari masyarakat sebesar-besarnya untuk mengisi kas negara yang akan digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah. Pada fungsi budgeter ini dapat dianalisis dengan cara melihat APBN atau APBD untuk pajak daerah. Penerimaan negara dari pemungutan pajak dalam APBN merupakan bagian dari penerimaan atau pendapatan dalam negeri, dimana jumlah penerimaan dalam negeri ini bila melebihi pengeluaran rutin maka sisanya merupakan tabungan pemerintah. 2. Fungsi Regulered (mengatur) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi dan sosial, sebagai contoh : Pengenaan pajak yang tinggi terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. Pajak juga berfungsi sebagai salah satu alat dekorasi, yaitu alat perekonomian rakyat. Pajak diambil dari orang pribadi atau badan usaha yang memiliki pendapatan lebih untuk digunakan dalam pembangunan dan pemeliharaan prasarana
dan
sarana
untuk
kepentingan
umum
dan
untuk
membiayai
penyelenggaraan pemerintah.
14
II.1.5 Sistem Perpajakan Sistem perpajakan terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu: 1. Kebijakan Perpajakan (Tax Policy) Kebijakan perpajakan yang diambil akan memberikan pengaruh pada UndangUndang pajak yang disusun dan selanjutnya akan menentukan administrasi pajak yang bagaimana yang akan digunakan, dan akan berlanjut lagi menjadi kebijakan perpajakan yang akan diambil di masa yang akan datang. Menurut Mansyuri yang telah dikutip oleh Munawir (2003), ”Kebijakan perpajakan setidaknya mengatur lima hal pokok yaitu : a. Pajak apa yang akan dipungut, b. Siapa yang akan menjadi subjek pajak, c. Apa saja yang merupakan objek pajak, d. Berapa besarnya tarif pajak, e. Bagaimana prosedurnya”(h. 48). 2. Undang-Undang perpajakan (Tax Laws) Undang-Undang Perpajakan adalah seperangkat peraturan perpajakan yang terdiri dari Undang-Undang beserta Peraturan Pelaksanaannya. Hal yang perlu diingat adalah bahwa Undang-Undang Perpajakan harus menjamin adanya kepastian hukum baik bagi Fiskus maupun Wajib Pajak sehingga tidak muncul penafsiran berbeda-beda. Untuk menjamin kepastian hukum tersebut, maka kelima hal yang dipilih dalam tax policy harus diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Perpajakan.
15
3. Administrasi Perpajakan (Tax Administration) Menurut Mansury yang telah dikutip oleh Munawir (2003), “Sistem administrasi perpajakan yang baik setidaknya harus memiliki tiga pilar, yaitu : a. Kegiatan penyelenggaraan pungutan pajak oleh suatu instansi atau badan yang ditatalaksanakan sedemikian rupa dalam rangka mencapai sasaran yang telah digariskan dalam kebijaksanaan perpajakan berdasarkan sarana hukum yang ditentukan oleh Undang-Undang Perpajakan dengan efisien. b. Suatu instansi atau lembaga yang memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pungutan pajak, dan c. Orang-orang yang terdiri dari pejabat dan pegawai yang bekerja pada instansi perpajakan yang secara nyata melaksanakan pemungutan pajak”(h. 23). Dari pendapat tersebut maka jelas bahwa perpajakan adalah sebuah sistem yang keberhasilan dalam mencapai sasaran yang ditujunya tergantung pada tiga unsur pokoknya. Dalam penelitian ini dibahas salah satu bagian dari tiga unsur pokok tersebut, yaitu administrasi perpajakan khususnya pelaksanaan ekstensifikasi dengan tujuan untuk menambah jumlah Wajib Pajak terdaftar dan hasil akhirnya adalah peningkatan penerimaan negara.
II.1.6 Subjek Pajak Menurut Harnanto (2003), “Subjek Pajak meliputi perseorangan, Badan dan lembaga lain menggantikan yang berhak, sebagai pihak atau unit dimana Objek Pajak yang timbul dapat diasosiasikan atau dianggap melekat”(h. 6).
16
Berdasarkan letak geografis, Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri. Dalam pasal 2 ayat (3) UU No.17 Tahun 2000, yang dimaksud Subjek Pajak Dalam Negeri adalah : 1. Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau Orang Pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau Orang Pribadi yang dalam satu Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. 2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, 3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. Dalam pasal 2 ayat (3) UU No.17 Tahun 2000, yang dimaksud Subjek Pajak Luar Negeri adalah Subjek Pajak yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia. Subjek Pajak Luar Negeri sebagai Orang Pribadi atau Badan yang mempunyai pendapatan di Indonesia.
II.1.7 Pajak Penghasilan 1. Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut oleh Objek Pajak atas penghasilannya. Pajak Penghasilan akan selalu dikenakan terhadap orang
atau
Badan Usaha yang memperoleh penghasilan di Indonesia. Undang-Undang yang dipakai untuk mengatur besarnya tarif pajak, tata cara pembayaran, dan pelaporan pajak adalah Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan bagi Undang-Undang terdahulunya yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 1994.
17
Undang-Undang Pajak Penghasilan telah menetapkan sistem pemungutan Pajak Penghasilan secara self assestment, dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab penuh dari pemerintah untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang.
2. Subjek Pajak Penghasilan Subjek Pajak Penghasilan adalah mereka yang secara subjektif berkewajiban untuk membayar atau dikenakan Pajak Penghasilan, apabila telah memenuhi syarat objektif yaitu memiliki Objek Pajak (penghasilan yang melebihi PTKP) maka Subjek Pajak tersebut menjadi Wajib Pajak. Berdasarka UU PPh Nomor 17 Tahun 2000 Pasal 2, Subjek Pajak tersebut meliputi : 1. Orang Pribadi Merupakan Wajib Pajak yang bertempat tinggal baik yang berada di Indonesia maupun di luar Indonesia. Bagi mereka yang bertempat tinggal di Indonesia disebut sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri, mulai menjadi Subjek Pajak (a) saat dilahirkan di Indonesia, (b) berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau (c) suatu saat berada di Indonesia dan mempunyai niat tinggal di Indonesia untuk selamanya. Subjek Pajak Orang Pribadi akan berakhir saat meninggal dunia atau saat meninggalkan Indonesia selama-lamanya. 2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak hanya akan menjadi Wajib Pajak apabila warisan tersebut memberikan penghasilan. Warisan mulai menjadi Subjek Pajak saat meninggalnya pewaris,
18
dan berakhir pada saat warisan tersebut telah selesai dibagi kepada mereka yang berhak (ahli waris). 3. Badan Merupakan sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama atau bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi sejenis, lembaga, Bentuk Usaha Tetap, dan badan lainnya. 4. Bentuk Usaha Tetap Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka 12 bulan, atau Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Di dalam UU PPh Nomor 17 Tahun 2000 Pasal 2 Ayat (4) dinyatakan bahwa Subjek Pajak Luar Negeri adalah: 1. Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan Badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 2. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua 19
belas) bulan, dan Badan yang tidak didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
3. Objek Pajak Penghasilan Mengacu kepada pendapat Djoko Muljono pengertian Objek Pajak dapat dikemukakan sebagai sesuatu yang dijadikan sebagai sasaran kena pajak dan dasar untuk menghitung pajak terutang. Dengan demikian yang menjadi Objek Pajak Penghasilan yaitu penghasilan atau setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan bentuk apa pun. Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 yang termasuk penghasilan sebagai Objek Pajak, antara lain : a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, uang pensiun, premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lain, b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan, c. Laba usaha, d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya, f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, 20
g. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, h. Royalty, i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala, k. Keuntungan karena pembebasan utang, l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing, m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva tetap, n. Premi asuransi, o. Iuran yang diterima atau diperoleh dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari panghasilan yang belum dikenakan pajak. Penghasilan yang diperoleh Orang Pribadi dibedakan atas penghasilan dari usaha (independent personal services), dari pekerjaan (dependent personal services), imbalan direktur (directors’ fee), artis dan atlit (artistes and athletes), pensiun (pensions), pekerjaan di pemerintahan (government services), guru dan peneliti (teachers and researches), siswa dan pemagang (students and trainers). Pengertian atas penghasilan yang diperoleh Orang Pribadi di atas akan dijelaskan sebagai berikut: a. Penghasilan dari usaha Penghasilan yang diperoleh sehubungan dengan jasa-jasa profesional atau pekerjaan bebas lainnya. jasa profesional dimaksud meliputi kegiatan-kegiatan di bidang ilmu pengetahuan, kesastraan, kesenian, pendidikan atau pengajaran yang
21
dilakukan secara independent dan pekerjaan bebas yang dilakukan oleh dokter, ahli teknik, ahli hukum, dokter gigi, arsitek, dan akuntan. b. Penghasilan dari hubungan kerja Penghasilan yang diperoleh dari Orang Pribadi dalam hubungannya dengan pekerjaan meliputi pula karyawan atau pegawai (crew/awak) yang bekerja pada perusahaan penerbangan atau pelayaran yang beroperasi di jalur internasional. c. Imbalan direktur yang diperoleh atau diterima direktur yang tidak melakukan “day to day management” pada perusahaan tempat ia memperoleh penghasilan. d. Penghasilan para artis dan atlit e. Penghasilan berupa pensiun yang diperoleh dalam hubungannya dengan pekerjaan atau jasa-jasa di masa lampau. f. Penghasilan dari pekerjaan di pemerintahan, meliputi imbalan dan uang pensiun. g. Penghasilan yang diperoleh guru dan peneliti h. Penghasilan yang diperoleh dari siswa dan pemagang yang berada di Indonesia maupun di negara lain untuk tujuan mengikuti pendidikan atau pelatihan di negara itu. Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). PTKP adalah faktor pengurangan yang dilihat dari jumlah keluarga atau tanggungan yang ditentukan berdasarkan keadaan pada awal Tahun Takwim. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian Tahun Takwim besarnya PTKP tersebut dihitung berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian Tahun Takwim yang bersangkutan.
22
4. Jenis-Jenis Pajak Penghasilan a. Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri. b. Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan Badan-badan impor atau kegiatan usaha di bidang lain. c. Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. d. Pajak Penghasilan Pasal 24 merupakan pajak yang terutang atau dibayarkan di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak Dalam Negeri. e. Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam Tahun Pajak berjalan. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada 23
akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahun Pajak Penghasilan. f. Pajak Penghasilan Pasal 26 merupakan Pajak Penghasilan yang dikenakan atau dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
II.1.8 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak 1. Kewajiban Wajib Pajak Sebagai Wajib Pajak tentunya memiliki kewajiban yang harus mereka penuhi sebagai wujud kepatuhan kepada Undang-Undang Perpajakan dan peran serta dalam pembangunan, kewajiban Wajib Pajak yaitu sebagai berikut: a. Mendaftarkan diri dan meminta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) (Pasal 2 KUP), b. Kewajiban menyampaikan Surat Pemberithuan (SPT) (Pasal 3 ayat (1) KUP). Setiap Wajib Pajak, wajib mengisi SPT, menandatangani dan menyampaikan pengembalian SPT pada KPP dimana WP berdomisili atau terdaftar. Batas penyampaian kembali SPT adalah: 1) Untuk SPT Massa, selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak, 2) Untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi, selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak, 3) Untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan, selambat-lambatnya 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
24
c. Kewajiban membayar dan menyetor pajak-pajak terutang. Sarana yang diperlukan untuk menyetor pajak adalah mengisi Formulir Surat Setoran Pajak (SSP). Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. d. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan 1) Orang atau Badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia diwajibkan melakukan pembukuan. Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan adalah Wajib Pajak yang dari hasil kegiatan usaha atau pekerjaan bebasnya memperoleh omzet paling sedikit Rp.1,8 Milyar. 2) Bagi Wajib Pajak yang dibebaskan dari kewajiban pembukuan, karena kemampuan belum memadai, harus melakukan pencatatan sebagai dasar pengenaan
pajak
yang
terutang
(pembukuan
sederhana),
dengan
menggunakan norma perhitungan netto pembukuan dan pencatatan harus dilakukan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan yang sebenarnya dan harus memenuhi syarat-syarat minimal pembukuan. 3) Syarat minimal pembukuan adalah memuat catatan mengenai harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya dan penjualan dan pembelian. e. Kewajiban mengambil sendiri Blanko Surat Pemberitahuan dan blanko perpajakan lainnya di tempat-tempat yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak (Pasal 3 ayat (2) KUP).
25
f. Kewajiban menghitung sendiri, menetapkan besarnya jumlah, dan membayar pajak terutang dalam tahun berjalan, sesuai dengan pajak dari tahun terakhir atau sesuai dengan SKP yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak (Pasal 25 UU PPh). g. Menghitung dan menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang menurut cara yang ditentukan (Pasal 12 KUP). h. Kewajiban memperlihatkan pembukuan dan data-data lain yang diperlukan oleh petugas pajak, dan memberi kesempatan kepada para petugas pemeriksaan untuk memasuki tempat yang dipandang perlu serta memberikan keterangan lain yang diperlukan dalam kegiatan pemeriksaan (Pasal 29 ayat (3) KUP) 2. Hak Wajib Pajak Beriringan dengan kewajibannya, Wajib Pajak juga mempunyai hak yang wajib diindahkan oleh pihak administrasi pajak termasuk memperoleh informasi dan fasilitas-fasilitas perpajakan yang dapat digunakan untuk mempermudah pemenuhan kewajiban perpajakan. Hak-hak WP adalah sebagai berikut: a. Hak untuk menerima Tanda Bukti Pemasukkan SPT (Pasal 6 Ayat (1) KUP) b. Hak mengajukan permohonan dan penundaan penyampaian SPT (Pasal 3 Ayat (4) KUP). c. Hak melakukan pembetulan sendiri SPT yang telah dimasukkan (Pasal 8 ayat (1) KUP), dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. d. Hak untuk mengajukan permohonan penundaan dan pengangsuran pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya paling lama 12 (dua belas) bulan dan 26
terbatas bagi WP yang benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas (Pasal 9 Ayat (4) KUP). e. Hak mengajukan permohonan perhitungan atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak serta berhak memperoleh kepastian terbitnya surat keputusan kelebihan pembayaran pajak (SKPLB), surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (Pasal 11 Ayat (1) jo. Pasal 17 Ayat (2)). f. Hak mendapatkan kepastian batas ketetapan pajak yang terutang dan penerbitan Surat Pemberitahuan (Pasal 13 KUP). g. Hak mengajukan permohonan pembetulan salah tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam SKP dalam penerapan Peraturan PerundangUndangan Perpajakan (Pasal 16 KUP) h. Hak mengajukan Surat Keberatan dan memohon kepastian terbitnya Surat Keputusan atas Surat Keberatannya secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan WP dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat Ketetapan Pajak (Pasal 25 dan 26 Ayat (5) KUP). i. Hak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut (Pasal 27 KUP). j. Hak mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan pengenaan sanksi perpajakan serta pembetulan ketetapan pajak yang salah (Pasal 24 dan 36 Ayat (1) KUP). 27
k. Hak memberi kuasa khusus kepada seseorang yang dipercaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya (Pasal 32 Ayat (3) KUP).
II.1.9 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Kewajiban Mendaftarkan Diri Sebagai Wajib Pajak Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak, sebagai suatu sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Fungsi NPWP ini sebagai berikut: 1. Sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. 2. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam pencantuman NPWP ini harus dituliskan dalam setiap dokumen perpajakan, antara lain pada : 1. Formulir Pajak yang dipergunakan Wajib Pajak. 2. Surat menyurat yang berhubungan dengan perpajakan. 3. Dalam hubungan dengan instansi tertentu yang mewajibkan untuk mengisi NPWP. Sedangkan dalam pendaftaran NPWP maka semua Wajib Pajak berdasarkan sistem self assessment wajib mendaftarkan diri pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus mendapatkan NPWP. Kewajiban mendaftarkan ini berlaku untuk wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan dan harta. 28
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dibatasi jangka waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Jangka waktu pendaftaran NPWP adalah : 1. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan, wajib mendaftarkan diri paling lambat 1 (satu) bulan setelah usaha mulai dijalankan. 2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan suatu usaha atau pekerjaan bebas apabila sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi PTKP setahun, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya. Apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak Orang Pribadi atau Badan telah memenuhi syarat untuk memperoleh NPWP, dan Orang Pribadi atau Badan tersebut tidak mendaftarkan diri, dapat diterbitkan NPWP secara jabatan. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP akan dikenakan sanksi perpajakan yaitu sanksi pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang tidak atau kurang bayar. Selanjutnya NPWP dapat dihapuskan. Penghapusan NPWP adalah tindakan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Tata Usaha Kantor Pelayanan Pajak. Penghapusan NPWP dapat dilakukan, antara lain karena : 1. Wajib Pajak Orang Pribadi meninggal dan tidak meninggalkan warisan 2. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan 3. Warisan yang telah selesai dibagi 29
4. Wajib Pajak Badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku 5. Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang telah kehilangan statusnya sebagai Bentuk Usaha Tetap 6. Wajib Pajak Orang Pribadi lainnya selain yang dimaksud dalam angka 1 dan 2 yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai Wajib Pajak. Penghapusan NPWP ini dapat dilakukan apabila utang pajak telah dilunasi, kecuali dari hasil pemeriksaan pajak diketahui adanya utang pajak yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi karena : 1. Wajib Pajak Orang Pribadi telah meninggal dunia tanpa meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak ditemukan. 2. Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi, atau 3. Sebab lain sesuai dengan hasil pemeriksaan.
II.1.10 Pengukuhan Sebagai PKP Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang dimaksud Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984. Bagi pengusaha yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif yaitu pengusaha yang melakukan kegiatan usaha, dikenai PPN dan wajib melaporkan usahanya dan mendaftarkan dirinya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Bagi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP akan memperoleh Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP). Selain berfungsi sebagai identitas PKP, NPPKP juga 30
berfungsi untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang perpajakan sebagai pengawasan administrasi perpajakan. Bagi pengusaha yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif untuk dikukuhkan sebagai PKP namun tidak melaporkan usaha dan mendaftarkan diri sebagai PKP maka Direktur Jenderal Pajak akan mengukuhkannya sebagai PKP secara jabatan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah berkaitan dengan kewajiban Wajib Pajak. Bagi pengusaha yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri sebagai PKP akan dikenai sanksi pidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang tidak atau kurang dibayar.
II.1.11 Surat Pemberitahuan (SPT) Berdasarkan pasal 1, angka 11 dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menyebutkan bahwa pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak Orang Pribadi dan atau bukan Orang Pribadi dan atau harta kewajiban, menurut Ketentuan Peraturan PerundangUndangan Perpajakan. Adapun fungsi SPT dapat dilihat dari Wajib Pajak, Pengusaha Kena Pajak atau Pemotong/Pemungut Pajak, adalah sebagai berikut : a. Fungsi SPT bagi WP Pajak Penghasilan : 1) Sarana melapor dan mempertanggungjawabkan perhitungan pajak yang sebenarnya terutang. 31
2) Melapor pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melunasi pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu Tahun Pajak. 3) Melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak Orang Pribadi atau Badan lain dari satu Masa Pajak, sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan yang berlaku. b. Fungsi SPT bagi Pengusaha Kena Pajak 1) Sarana melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang. 2) Melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran. 3) Melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan dan atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan yang berlaku. c. Fungsi SPT bagi Pemotong atau Pemungut Pajak Fungsi SPT ini adalah sebagai sarana melapor dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetor. Bila diperhatikan saat pelaporannya, SPT ini dibedakan menjadi dua macam, antara lain : 1) SPT-Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk memperoleh perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak atau pada suatu saat. 2) SPT-Tahunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak.
32
Sesuai dengan Pasal 3, Ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, batas waktu penyampaian SPT diatur sebagai berikut : 1) Untuk SPT-Masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak; 2) Untuk SPT-Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau 3) Untuk SPT-Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
II.2 Ketentuan Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak Dalam rangka meningkatkan jumlah penerimaan pajak negara, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE_06/PJ.9/2001 tanggal 11 Juli 2001 tentang Pelaksanaan
Ekstensifikasi
Wajib
Pajak
dan
Intensifikasi
Pajak.
Menurut
SE_06/PJ.9/2001 pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak bertujuan untuk meningkatkan jumlah Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan mengoptimalkan penggalian penerimaan pajak yang berasal dari semua jenis pajak. Ekstensifikasi menekankan pada perluasan Subjek Pajak yang memiliki kewajiban pajak. 1. Pengertian Ekstensifikasi Wajib Pajak Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan Objek Pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Secara sederhana, ekstensifikasi dapat diartikan sebagai kegiatan mencari sesuatu yang tersembunyi yaitu Subjek Pajak yang telah
33
memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak tetapi belum terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP). 2. Ruang Lingkup Ekstensifikasi Wajib Pajak Ruang lingkup ekstensifikasi Wajib Pajak berdasarkan Surat Edaran DJP No.SE06/PJ.09/2001 meliputi : a. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan atau pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), termasuk pemberian NPWP secara jabatan terhadap WP PPh Orang Pribadi yang berstatus sebagai karyawan perusahaan, Orang Pribadi yang bertempat tinggal di wilayah atau lokasi perwakilan atau perumahan dan Orang Pribadi lainnya (termasuk orang asing yang bertempat tinggal di Indinesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan), yang menerima atau memperoleh penghasilan melebihi PTKP. b. Pemberian NPWP di lokasi usaha, termasuk pengukuhan sebagai PKP, terhadap Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai lokasi usaha di sentra perdagangan atau pertokoan atau perkantoran atau mall atau plaza atau kawasan industri atau sentra ekonomi lainnya. c. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP terhadap WP Badan yang berdasarkan data yang dimiliki atau diperoleh ternyata belum terdaftar sebagai WP dan atau PKP baik domisili atau lokasi. Dalam pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak dapat melalui Pemeriksaan Sederhana. Menurut SE_07/PJ.7/2005 tanggal 27 Juni 2005 kebijakan pemeriksaan untuk tujuan lain. Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan diantaranya adalah untuk pemberian NPWP dan atau pengukuhan PKP secara jabatan, dilakukan apabila setelah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengiriman Surat Pemberitahuan untuk 34
mendaftarkan diri. Pemeriksaan untuk tujuan lain adalah pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, dan pada prinsipnya ketentuan tersebut tidak dimaksudkan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat Tagihan Pajak. 3. Sasaran Ekstensifikasi Wajib Pajak Yang menjadi sasaran utama pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak adalah Subjek dan Objek Pajak yang meliputi data intern yang dimiliki oleh KPP dan data ekstern yang diperoleh dari instansi lain, diantaranya adalah: a. Pelangganan listrik untuk rumah tangga dengan daya 6.600 KVA atau lebih. b. Pelanggan Telkom dengan pembayaran pulsa rata-rata Rp.300.000,00 atau lebih . c. Pemilik mobil dengan nilai Rp.200.000.000,00 atau lebih atau pemilik motor dengan nilai Rp.100.000.000,00 atau lebih. d. Pemegang Paspor Indonesia kecuali pemegang paspor TKI (tidak termasuk awak pesawat terbang atau kapal laut). e. Pemilik tanah atau bangunan dengan NJOP Rp 1.000.000.000,00 atau lebih berdasarkan data kartu jalan atau peta blok atau DHR atau data SPOP. f. Data Orang Pribadi atau Badan selaku penjual atau pembeli tanah dan atau bangunan dari laporan PPAT atau informasi dari notaris dengan nilai Rp.60.000.000,00 keatas. g. Pemilik telepon selular pasca bayar. h. Pemegang kartu kredit. i. Pemegang polis atau premi asuransi. j. Pemegang kartu keanggotaan golf. k. Artis. 35
l. Pemilik atau penyewa ruang apartemen atau kondominium. m. Pemilik kapal pesiar atau “yacht”, “speedboat” dan pesawat terbang. n. Pemilik saham yang diperdagangkan di bursa. o. Pemilik rumah sewa atau kost. p. Pemegang saham, komisaris, direktur dan penerima dividen. q. Pemilik atau penyewa atau pengguna atau pengelola pada sentra perdagangan. r. Subjek Pajak yang berdasarkan data pada lampiran SPT telah memenuhi syarat sebagai WP tetapi belum mempunyai NPWP. s. Data yang ditemukan pada pelaksanaan kegiatan PSL 4. Unit Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak Unit organisasi yang melaksanakannya adalah Seksi Ekstensifikasi Wajib Pajak. Kepala KPP dapat meminta petugas pada seksi lainnya di KPP untuk diperbantukan pada Seksi Ekstensifikasi. Sedangkan khusus untuk pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi WP dilakukan oleh tim satuan tugas yang dikoordinir oleh Kepala KPP dengan pengarahan dan pengawasan Kepala Kantor Wilayah. Prosedur pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak terdiri dari tiga kegiatan yaitu persiapan, pelaksanaan dan pengawasan. a. Persiapan Agar pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi dapat dilakukan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak pada KPP Pratama direncanakan dengan sebaik-baiknya dengan intensifikasi terhadap data yang diperoleh, membuat Daftar Normatif, mempersiapkan sarana dan prasarana administratif dan koordinasi dengan instansi terkait. Dengan ketentuan sebagai berikut : 36
1) KPP melakukan ekstensifikasi terhadap data yang diperoleh dari berbagai sumber, kemudian mencocokkannya dengan data pada Master File Lokal (MFL) melalui program Sistem Informasi Perpajakan. 2) KPP membuat Daftar Normatif Wajib Pajak yang belum memiliki NPWP dan atau Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan data yang dimiliki. 3) KPP mempersiapkan sarana dan prasarana administasi yang diperlukan. 4) KPP melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak. 5) KPP membuat dan mengirimkan pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang terdapat dalam Daftar Normatif. 6) Kepala kantor wilayah DJP dapat menentukan prioritas pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak. b. Pelaksanaan Prioritas utama kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak ditujukan untuk menambah jumlah Wajib Pajak dan atau Penghasilan Kena Pajak (PKP) pada KPP. Selain mengacu pada dasar hukum ekstensifikasi Wajib Pajak terutama SE_06/PJ.9/2001, juga harus selalu mengacu pada jadwal kerja yang digariskan, serta selalu mempertimbangkan kendala-kendala yang mungkin terjadi. Sesuai dengan SE_06/PJ.9/2001 maka perlakuan terhadap Wajib Pajak di lapangan diatur sebagai berikut : 1) Terhadap Wajib Pajak yang menanggapi surat pemberitahuan, dan bersedia untuk mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan
37
ketentuan yang berlaku, dengan cara mengirimkan Formulir Pendaftaran Wajib Pajak dan atau Pengusaha Kena Pajak. 2) Terhadap Wajib Pajak yang tidak menanggapi surat pemberitahuan, walaupun telah diterima maka oleh Seksi (PDI) data Wajib Pajak tersebut diteruskan ke Seksi Tata Usaha Perpajakan (TUP) untuk dilakukan proses pemberian NPWP dan atau Nomor Pengusaha Kena Pajak (NPKP) secara jabatan sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan. 3) Terhadap Wajib Pajak yang menanggapi surat pemberitahuan dengan menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak wajib memiliki NPWP dan atau belum perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka dilakukan Pemeriksaan Sederhana Lapangan. 4) Terhadap Wajib Pajak yang menanggapi surat pemberitahuan dengan menyatakan bahwa yang bersangkutan sudah memiliki NPWP dan atau telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka KPP melakukan pencocokkan data MFL. Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu : a) Dalam hal Wajib Pajak telah terdaftar dengan nama dan alamat domisili Wajib Pajak sesuai dengan MFL, dilakukan pemutakhiran data dalam Daftar Normatif, dengan membubuhkan catatan bahwa Wajib Pajak sudah terdaftar, sekaligus mencantumkan NPWP pada kolom keterangan. b) Dalam hal Wajib Pajak telah terdaftar namun dengan nama dan alamat berbeda dengan MFL, maka dilakukan Pemeriksaan Sederhana Lapangan. c) Dalam hal Wajib Pajak ternyata belum terdaftar, maka dilakukan Pemeriksaan Sederhana Lapangan. 38
Sementara itu, terhadap semua Wajib Pajak yang berusaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau plaza, seluruhnya dilakukan Pemeriksaan Sederhana Lapangan. c. Pengawasan Dalam rangka pengawasan ekstensifikasi Wajib Pajak agar berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pelaksanaan kegiatan diwajibkan memonitor pelaksanaan kegiatan tersebut. Mekanismenya adalah melalui Laporan Hasil Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dari pelaksanaan bawah ke unit organisasi di atasnya. Tim pelaksanaan membuat laporan ke Kepala Seksi Ekstensifikasi, Kepala Seksi Ekstensifikasi ke Kepala KPP, Kepala KPP ke Kepala Kanwil, dan Kepala Kanwil ke Dirjen Pajak
II.3
Definisi Operasional Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Wajib Pajak adalah Orang Pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang memiliki kemampuan ekonomis (Objek Pajak) untuk dikenakan kewajiban perpajakan sesuai Undang-Undang kecuali Subjek dan Objek Pajak yang ditentukan lain. Wajib Pajak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan apabila Wajib Pajak tidak melaksanakan secara sukarela maka DJP akan menerbitkan NPWP dan atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Ekstensifikasi Wajib Pajak merupakan kegiatan untuk menambah jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan Objek Pajak dalam administrasi DJP. Agar ekstensifikasi Wajib Pajak dapat berhasil tetap harus memperhatikan prinsip keadilan, yuridis, 39
ekonomis, finansial dan kemudahan pemungutan pajak. Ekstensifikasi Wajib Pajak diharapkan dapat meningkatkan pertambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan atau Pengusaha Kena Pajak, meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan pada akhirnya meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.
40