BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Daging Sapi Daging merupakan sekumpulan jaringan otot yang melekat pada rangka. Kebutuhan daging sebagai sumber protein hewani terus mengalami peningkatan, seiring dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan bergizi. Salah satu hal yang menjadi acuan konsumen dalam pemilihan daging adalah sifat fisik, antara lain warna, keempukan, tekstur, kekenyalan dan kebasahan. Sifat fisik memegang peranan penting dalam proses pengolahan dikarenakan sifat fisik menentukan kualitas serta jenis olahan yang akan dibuat (Komariah dkk., 2009). Pemenuhan kebutuhan masyarakat terkait sumber pangan hewani yang bergizi sangat perlu dilakukan. Peningkatan produksi dan
kualitas
produk
hasil
ternak
khususnya
daging
perlu
dikembangkan secara optimal dan harus dilakukan pengawasan jaminan mutu hasil ternak hingga sampai ke konsumen. Rerata konsumsi daging per kapita di Indonesia tergolong masih rendah, dengan kisaran dari 0-50 kg/kapita per tahun. Hal ini tidak terlepas dari tingkat daya beli masyarakat yang masih rendah dan produktivitas ternak yang belum optimal. Selain dengan peningkatan produktivitas, sarana dan prasarana penunjang untuk proses penanganan dan penyembelihan ternak juga harus ditingkatkan, sehingga dihasilkan karkas dan daging yang berkualitas (Kuntoro dkk., 2013). Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Pada umumnya, karkas sapi atau kambing dipotong menjadi empat potongan depan (fore quarters) dan dua potongan belakang (hind quarters). Potongan depan dibagi menjadi 5
6
empat bagian yaitu bagian atas disebut sampil dan daging iga, sedangkan bagian bawah sandung lemur dan short plat. Bagian belakang dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian pinggang disebut daging has (loin). Bagian perut disebut flank dan bagian paha disebut round.
Daging has merupakan daging yang berasal dari bagian
pinggang, otot yang berada pada lokasi ini jarang digunakan untuk beraktivitas. Susunan asam lemak daging sapi segar pada bagian has dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Ragam Asam Lemak Daging Sapi Segar pada Bagian Has Jenis Asam Lemak Asam lemak jenuh - Laurat - Miristat - Palmitat - Stearat Total Asam lemak tidak jenuh - Oleat - Linoleat - Linolenat Total
Jumlah (%) 0,37 5,05 21,70 1,17 28,29 33,61 2,61 1,51 33,73
(Susilawati dkk., 2015). Setelah dipotong, daging harus segera ditangani dengan cara yang tepat supaya daging tidak rusak dan kandungan gizi di dalamnya tidak menurun. Kandungan gizi pada daging terdiri dari air (65-80%), protein (16-22%), lemak (1,5-13%), substansi non-protein nitrogen sekitar 1,5%, karbohidrat dan mineral 1,0%. Kandungan gizi yang cukup tinggi tersebut merupakan media yang ideal bagi pertumbuhan mikroorganisme dan adanya aktivitas enzim, sehingga daging cepat mengalami kerusakan (Jaelani, 2014). Secara umum, daging sapi merupakan sumber mineral seperti kalsium, fosfor dan zat besi serta vitamin B kompleks. Berdasarkan keadaan fisik, daging dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis antara lain daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin), daging
7
segar yang dilayukan; didinginkan kemudian dibekukan (daging beku), daging masak, daging asap, dan daging olahan. Daging sapi segar mudah mengalami kerusakan karena perubahan kimiawi dan adanya kontaminasi mikroba. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan pengawetan berupa pengolahan terhadap daging (Zurriyati, 2011). Zat gizi dalam daging baik lemak maupun protein merupakan komponen utama yang menyebabkan bahan pangan ini sulit untuk disimpan dalam waktu lama, apalagi dibiarkan dalam keadaan udara terbuka. Kerusakan daging dapat disebabkan oleh aktivitas mikroba, maupun oksidasi komponen lemak dalam daging. Daging cincang merupakan jenis bahan yang cukup banyak dibutuhkan dalam berbagai pengolahan, seperti untuk pembuatan dendeng, nugget, dsb. Kondisi daging cincang yang memiliki luas permukaan lebih besar inilah yang menyebabkan bahan pangan ini lebih mudah mengalami kerusakan dibandingkan daging biasa atau tanpa penggilingan. Hal ini dikarenakan semakin luas permukaan daging, maka daging lebih rentan mengalami oksidasi lemak dan terkontaminasi mikroba (Rina dkk., 2012). Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan yang mengandung lemak cukup tinggi. Adanya lemak ini memberikan kesan juicy pada daging. Namun begitu, lemak pada daging mudah mengalami kerusakan. Kerusakan lemak ditandai dengan timbulnya bau dan rasa tengik. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh pada lemak. Otooksidasi ini dimulai dari pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan katalis, seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat (Cu, Fe, Co, dan Mn), logam porfirin (hematin, hemoglobin, mioglobin, dan klorofil), dan enzim-enzim lipoksidase (Winarno, 2008).
8
Daging dari ternak ruminansia umumnya lebih tahan dari ransiditas oksidatif, karena sebagian besar lemaknya terdiri dari asam lemak jenuh. Otoksidasi lemak tergantung pada ada tidaknya oksigen dan kontak tidaknya daging dengan oksigen. Otoksidasi ini dapat menyebabkan perubahan flavor dan menurunkan nilai nutrisi daging. Trigliserida mengandung asam-asam lemak tidak jenuh poli, dan lebih mudah mengalami otoksidasi. Awal perubahan atau reaksi trigliserida didahului
oleh
oksidasi
pigmen
heme
mioglobin
menjadi
metmioglobin. Pigmen ferik metmioglobin akan mengakselerasi otoksidasi
trigliserida.
Oksidasi
trigliserida
menghasilkan
hidroperoksida dan aldehid. Aldehid inilah yang bertanggung jawab atas bau dan flavor tengik (Soeparno, 2009). Perubahan kimia utama yang bisa menyebabkan off-flavour pada daging adalah terjadinya oksidasi lemak dalam daging. Lemak daging yang terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh tunggal (mono) maupun banyak (poli), seperti asam palmitat (C16:0), asam stearat (C18:0), asam oleat (C18;1), asam linoleat (C18:2) dan asam-asam lemak lainnya. Dalam daging banyak asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap yang disebut dengan polyunsaturated fatty acid (PUFA), seperti asam linoleat, asam linolenat, asam arakhidonat, dan asam eikosapentanoat, dimana merupakan asam lemak essensial yang harus ada dalam makanan. Akan tetapi jenis asam ini sangat mudah mengalami oksidasi dengan adanya oksigen. Proses autoksidasi tersebut menyebabkan bau dan flavor yang tidak enak, yang biasa disebut tengik (Apriyantono dan Lingganingrum, 2001). Daging dan produk daging dikategorikan sebagai makanan tak tahan lama, dan karena itu diperlukan perlindungan yang tepat terhadap kerusakan biokimia dan mikroba yang mungkin terjadi selama persiapan, penyimpanan, dan distribusi. Namun, oksidasi lipid dapat
dipercepat
oleh
adanya
pemotongan/penggilingan,
9
pemasakan/pemanasan, pengasinan, pendinginan dan penyimpanan beku. Hal ini disebabkan oleh interaksi antara asam lemak tak jenuh dan zat pro-oksidan seperti besi non-heme yang semakin dipercepat (Jayasena and Jo, 2014). 2. Minyak Atsiri Daun Kayu Manis Cinnamomum burmanii merupakan tanaman asli Indonesia, yang dikenal dengan nama cassia vera, kaneel cassia atau Padang kaneel. Minyak atsiri adalah senyawa yang umumnya berwujud cairan, yang diperoleh dari bagian tanaman, akar, kulit, batang, daun, buah, biji maupun bunga dengan cara penyulingan dengan uap. Kandungan utama minyak atsiri kayu manis umumnya adalah senyawa sinamaldehida dan eugenol. Kandungan tersebut memiliki potensi sebagai antibakteri dan antibiofilm sehingga dapat digunakan dalam mengawetkan makanan tertentu (Inna dkk., 2010). Untuk mencegah kerusakan daging dilakukan pengawetan, salah satunya dengan menambahkan bahan pengawet. Bahan pengawet alami yang cukup ampuh dalam mempertahankan kualitas daging yakni dari rempah-rempah. Rempah-rempah mempunyai kemampuan mengawetkan karena mengandung senyawa antimikroba. Beberapa peneliti telah menguji aktivitas antibakteri dari beberapa jenis rempah dan minyak atsiri yang sering digunakan pada industri daging yaitu kayu manis, cengkeh, cumin, kemiri, lada dan anis; terhadap lima jenis bakteri yaitu S. aureus, E. faecalis, M. smegmalis, dan C. albicans, dimana kayu manis merupakan bahan yang paling kuat daya antibakterinya (Widaningrum dan Winarti, 2007). Tanaman kayu manis (C.burmanii) telah lama dikenal masyarakat sebagai tumbuhan obat dan penyedap makanan, minuman maupun sebagai bahan wewangian. Salah satu bentuk komersil dari kayu manis adalah minyak atsiri. Pada tanaman kayu manis, bagianbagian (selain batang kayu manis) yang mengandung minyak atsiri adalah kulit batang dan daun kayu manis. Pada bagian kulit batang
10
mengandung sekitar 1-2% minyak atsiri dengan kandungan utama sinamaldehida (70-80%), sedangkan pada bagian daun kayu manis mengandung sekitar 0,5-0,7% dengan kandungan utamanya adalah eugenol sekitar 70-95% dan sinamilasetat 3-4% (Khasanah dkk., 2014). Linalool merupakan salah satu komponen aktif pada daun kayu manis yang dapat bersifat antimikroba. Linalool merupakan golongan alkohol tersier. Mekanisme golongan alkohol dalam menghambat pertumbuhan mikroba adalah dengan cara denaturasi protein.
Bobot
molekul
alkohol
berhubungan
dengan
kerja
antimikroba, yaitu apabila bobot molekul alkohol meningkat maka kerja antimikroba itu meningkat pula (Kusumawardani, 2008). Linalool merupakan salah satu senyawa aktif yang mampu menghambat aktivitas lokomotor hewan atau manusia dalam mekanisme kerja aromaterapi. Linalool termasuk pada golongan terpen alkohol dan banyak terkadung pada kulit kayu manis, lavender, dan ketumbar. Manfaat senyawa linalool yaitu sebagai antimikroba, antibakteri, vitamin E sintesis serta bahan tambahan pada makanan olahan dan minuman (Nugraheni, 2012). Kulit kayu manis banyak digunakan dalam pengolahan makanan dan minuman atau sebagai bumbu masakan tradisional, sedangkan daunnya hanya merupakan limbah. Daun kayu manis memiliki komponen yang dapat bersifat sebagai antioksidan. Minyak atsiri daun kayu manis mengandung senyawa sinamaldehid, sinamil alkohol, dan beberapa senyawa lain. Senyawa sinamaldehid dan sinamil alkohol ini memiliki aktivitas antioksidan (Rohmah, 2011). Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak atsiri terkemuka di dunia, salah satunya adalah minyak kayu manis. Sinamaldehid adalah turunan sinamat yang merupakan komponen utama minyak kayu manis (42-75%). Struktur kimia sinamaldehid terdiri dari inti benzena yang tersubstitusi oleh sistem karbonil
11
terkonjugasi. Komponen lain pada minyak kayu manis, antara lain eugenol, α-pinen, linalool, dan benzaldehid.
Gambar 2.1 Struktur Molekul Sinamaldehid, Eugenol, dan Linalool. (Ngadiwiyana dkk., 2011). Senyawa eugenol yang mempunyai rumus molekul C10H12O2 mengandung beberapa gugus fungsional yaitu alil (-CH2-CH=CH2), fenol (-OH) dan metoksi (-OCH3). Senyawa eugenol sendiri mempunyai aktivitas farmakologi sebagai analgesik, antiinflamasi, antimikroba,
antiviral,
antifungal,
antiseptik,
antispamosdik,
antiemetik, stimulan, anastetik lokal sehingga senyawa ini banyak dimanfaatkan dalam industri farmasi. Manfaat lain dari senyawa eugenol dan turunannya adalah sebagai senyawa antioksidan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa aktivitas antioksidan eugenol lebih kuat dibandingkan BHT dan α-tokoferol (Towaha, 2012). Senyawa komplek fenol atau biasa disebut polifenol bisa dibagi atas 4 golongan yaitu asam fenolat, flavonoid, stilben dan lignin. Secara umum kekuatan senyawa fenol sebagai antioksidan tergantung pada ikatan gugus hidroksil pada cincin aromatik, posisi ikatan, posisi hidroksil bolak-balik pada cincin aromatik dan kemampuannya dalam memberi donor hidrogen atau elektron serta kemampuannya dalam "merantas" radikal bebas (free radical
12
scavenger). Mekanisme kerja senyawa ini sebagai antibakteri adalah dengan penghancuran dinding sel dan presipitasi (pengendapan) protein sel dari mikroorganisme sehingga terjadi koagulasi dan kegagalan fungsi pada mikroorganisme tersebut. Flavonoid ini merupakan bagian dari golongan polifenol. Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun non enzim. Senyawa flavonoid secara in vitro telah terbukti merupakan inhibitor yang kuat pada lipid peroksidasi, menangkap senyawa oksigen atau nitrogen (ROS atau RNS), menghambat kerusakan hem protein dan pengikatan ion logam. Adanya hidroksilasi dan posisi relatif dari gugus OH merupakan faktor penting yang menentukan kemampuan flavonoid sebagai antioksidan. Flavonoid dapat mengikat superoksida, radikal hidroksil dan peroksil, yang berpengaruh terhadap berbagai langkah dalam aliran arakidonat melalui cyclooxygenase-2 atau lipoxygenase. Kekuatan aktivitas antioksidan dari flavonoid bergantung pada jumlah dan posisi dari gugus OH yang terdapat pada molekul. Semakin banyak substitusi gugus hidroksi pada flavonoid, maka aktivitas antiradikalnya semakin besar (Puspitasari dkk., 2016). 3. Mikroenkapsulasi Minyak atsiri merupakan komponen aroma yang bersifat volatil dan berbentuk cair-lengket yang biasanya didapatkan dari tanaman. Meskipun banyak digunakan dalam berbagai bidang, minyak atsiri rentan terhadap suhu tinggi, oksidasi, sinar UV, dan kelembaban. Kerusakan oksidatif pada produk ini menyebabkan terbentuknya flavor tidak enak, umur simpan turun dan penurunan sifat sensoris. Oleh karena itu, diperlukan solusi untuk mengatasi hal tersebut.
Mikrokapsulasi
dapat
memberikan
solusi
tersebut.
Mikrokapsulasi dapat melindungi bahan inti yang semula berbentuk cair menjadi padatan sehingga mudah dalam penanganan dan mempertahankan flavor (Supriyadi, 2013).
13
Mikroenkapsulasi didefinisikan sebagai proses penyalutan atau pembungkusan suatu substansi ke dalam zat lain pada skala yang sangat kecil, menghasilkan kapsul dengan ukuran mulai kurang dari satu hingga ratusan mikron. Mikrokapsul dapat berbentuk bola dengan dinding yang terus-menerus mengelilingi inti, berbentuk asimetris dan bentuk lain yang lebih bervariasi. Tujuan mikroenakpsulasi ada beberapa macam, antara lain melindungi bahan-bahan aktif, memudahkan dalam penanganan, dan menghambat penguapan pada bahan-bahan yang mudah menguap (Yadav et al., 2015). Metode mikrokapsulasi yang sering dilakukan adalah dengan semprot kering (spray dryer). Kelebihan metode semprot kering (spray dryer) adalah ketersedian peralatan, biaya proses lebih rendah, jenis zat penyalut lebih beragam, retensi bahan mudah menguap yang baik, dan stabilitas produk akhir yang baik. Semprot kering dapat digunakan untuk bahan yang tidak tahan panas (titik lebur rendah) oleh karena terbentuknya lapisan film yang mengelilingi droplet dan pemanasan droplet hanya terjadi dalam beberapa detik saja sehingga suhu pemanasan di luar droplet tidak merusak material inti (Sugindro dkk., 2008). Dalam proses mikroenkapsulasi, perlu diperhatikan jenis bahan penyalut yang digunakan. Salah satu bahan penyalut yang paling sering digunakan adalah maltodekstrin. Hal ini dikarenakan memiliki ketahanan oksidasi yang baik dan dapat menurunkan viskositas emulsi. Selain itu, maltodekstrin memiliki sifat daya larut yang tinggi, memiliki sifat membentuk film, membentuk sifat hidroskopis yang rendah, memiliki sifat browning yang rendah, dapat menghambat kristalisasi dan memiliki daya ikat kuat (Fitriana dkk., 2014). Mikroenkapsulasi bertujuan untuk melindungi komponen bahan yang sensitif dan mengurangi degradasi senyawa aktif dalam bahan. Dalam proses mikroenkapsulasi digunakan bahan penyalut
14
sebagai pelindung/pelapis bahan inti. Penyalut yang sering digunakan dalam mikroenkapsulasi adalah maltodekstrin dan gum arab. Namun begitu, gum arab dinilai mahal dan ketersediaanya terbatas. Salah satu bahan penyalut alternatif lainnya adalah whey. Maltodekstrin yang dikombinasikan dengan WPC / whey protein consentrat memiliki stabilitas emulsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan maltodekstrin yang dikombinasikan dengan pati Hi-Cap/modified (Purnomo dkk., 2014). Mekanisme utama pelepasan obat dari mikrokapsul adalah difusi melalui pori yang terisi air. Bahan penyalut yang digunakan memiliki berat molekul, dimana jumal berat molekul ini akan mempengaruhi kemampuan difusi. Selain itu, dengan adanya degradasi polimer akan menghasilkan monomer dan oligomer yang larut sehingga dapat berdifusi keluar dari partikel (Hidayati, 2015). Aktivitas air merupakan parameter penting yang menentukan kestabilan produk selama penyimpanan, khususnya karakteristik pelepasan bahan aktif dari dalam mikrokapsul. Nilai aw berhubungan dengan tingkat hidrasi dalam bahan yang mempengaruhi molecular mobility komponen-komponen penyusun bahan pengkapsul. Nilai aw yang tinggi menjadi indikator adanya pelepasan bahan aktif yang jumlahnya lebih besar daripada nilai aw yang relatif lebih rendah. Pada rentang aw rendah, diduga bahan pengkapsul berada pada status glassy dimana pelepasan bahan volatil dari dalam mikrokapsul mengikuti mekanisme difusi Ficks dengan laju yang rendah (Yuliani dkk., 2007). Selain aktivitas air, sifat kelarutan dari mikrokapsul juga perlu diketahui untuk aplikasi mikrokapsul dalam industry pangan. Kelarutan
mikrokapsul
dalam
air
menjadi
parameter
yang
berhubungan dengan pelepasan bahan aktif. Penggunaan mikrokapsul untuk beberapa aplikasi membutuhkan suatu kemampuan yang baik untuk melepaskan bahan aktif yang dikandungnya. Mikrokapsul dengan kelarutan tinggi mempunyai kemampuan untuk melepaskan
15
bahan aktif yang tinggi pula. Dengan keluarnya bahan aktif dari penyalut mikrokapsul ke dalam produk pangan, diharapkan dapat memberikan efek yang diinginkan pada produk tersebut, seperti dapat memberikan efek antimikroba, antiinflamasi, dan antioksidan (Pambudi, 2016). Proses mikroenkapsulasi minyak atsiri salah satu metode yang digunakan yakni dengan cara presipitasi. Bahan yang digunakan adalah minyak atsiri kayu manis (Cinnamomum verum) dan βsiklodekstrin sebagai penyalut. Rasio minyak atsiri dengan bahan penyalut yang akan diteliti efisiensinya ada 4, antara lain 5:95, 10:90, 15:85 dan 20:80 (w/w). Efisiensi paling baik yakni pada rasio minyak atsiri dengan bahan penyalut sebesar 15:85, dimana mikrokapsul yang dihasilkan mengandung 117,2 mg minyak/g β-siklodekstrin. Sebanyak 31 senyawa aktif muncul pada minyak atsiri dan 21 senyawa yang dianggap dengan konten yang lebih tinggi dari 0,10% muncul dalam proses enkapsulasi. Komposisi kualitatif dan kuantitatif yang hampir sama dari senyawa volatile hasil enkapsulasi dengan minyak atsiri sebelumnya. Senyawa mayor pada mikrokapsul kayu manis dengan penyalut β-siklodekstrin adalah (E)-sinamaldehida. Secara umum, tidak ada perbedaan signifikan antara kandungan senyawa yang terdapat pada mikrokapsul dengan minyak atsiri awal. Oleh karena itu, proses mikroenkapsulasi ini dengan bahan penyalut βsiklodekstrin dapat melindungi senyawa aktif yang terkandung di dalam minyak atsiri dari kemungkinan degradasi selama penyimpanan (Petrović et al, 2010). Ikan dan produk olahannya memiliki asam amino esensial yang cukup tinggi. Tingginya kandungan protein ini dapat menyebabkan ikan mudah mengalami kerusakan oleh perlakuan fisik (suhu dan cahaya), adanya reaksi oksidasi lemak tak jenuh, reaksi Maillard maupun oleh aktivitas bakteri, serta perubahan pH. Untuk mengatasi hal tersebut, dibutuhkan bahan pengawet, terutama bahan
16
pengawet alami yang aman bagi kesehatan. Daun sirih merupakan bahan alami dimana mengandung komponen aktif yang berperan sebagai antioksidan dan antimikroba. Ekstrak dari daun sirih dapat dipergunakan untuk pengawet, namun memiliki kendala berupa bentuknya sangat pekat sehingga sulit ditangani dan pemakaian dalam jumlah sedikit sulit dalam penimbangan. Untuk mengatasi kendala tersebut dapat dilakukan dengan membuat mikrokapsul oleoresin daun sirih. Berdasarkan hasil penelitian, mikrokapsul oleoresin daun sirih dapat mempertahankan kadar asam amino lysine, menghambat pertumbuhan mikroorganisme, serta meningkatkan tekstur bandeng. Konsentrasi mikrokapsul oleoresin sirih 9%, asap cair 4% dan waktu perendaman 10 menit, memberikan tekstur agak keras dan rasa yang disukai. Pada masa simpan 8 minggu, nilai kadar lisin 26,56 mgr/100gr, nilai TVB 8,99 mgrN/100gr, total mikroba sebesar 9,0 x 102 CFU/g, serta mempunyai kontribusi dengan tekstur agak keras dan citarasa yang disukai (Susanti, 2008). 4. Pengawetan Daging Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas daging salah satunya dapat dilakukan dengan proses pengawetan. Pengawetan daging akan memperpanjang masa simpan dan memperbaiki persediaan daging, dengan mengurangi kerusakan dan pembusukan oleh
mikroorganisme.
Pengawetan
pada
prinsipnya
yakni
penghambatan kerusakan oleh bakteri dan bisa dilakukan dengan penggunaan senyawa antimikroba. Tujuan pengawetan tersebut ditentukan oleh waktu penyimpanan komoditi (Komariah dkk., 2004). Daging dalam keadaan segar mudah mengalami kerusakan karena adanya reaksi-reaksi kimiawi, enzimatik, dan aktivitas mikrobia. Cara yang paling sering digunakan dalam mempertahankan kesegaran produk daging yakni dengan metode pendinginan dan pembekuan. Selain itu, beberapa teknik pengawetan lainnya dilakukan
17
bersamaan atau tanpa pendinginan. Diharapkan masa simpan daging menjadi lebih lama (Hadiwiyoto dkk., 2005). Kontaminasi daging dengan mikroba patogen hingga saat ini tetap
menjadi
masalah
kesehatan
masyarakat,
karena
dapat
menyebabkan penyakit jika terjadi kesalahan dalam penanganan (alatalat yang tidak steril, petugas yang tidak menjaga kebersihan sekitar, penggunan air yang tidak bersih pada saat pencucian daging, dll), pemasakan atau penyimpanan produk. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengendalikan terjadinya kerusakan dan perkembangan mikroba pada daging adalah melakukan penyimpanan daging pada suhu dingin 5° C serta usaha pengawetan dengan bahan-bahan kimia maupun bahan alami yang memiliki sifat antimikroba. Beberapa jenis rempah-rempah diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang cukup kuat (Destriyana dkk., 2013). Daging sering mengalami kerusakan oleh adanya aktivitas bakteri, seperti bakteri golongan Salmonela, Staphylococcus dsb. Hal ini dikarenakan oleh komposisi senyawa yang terkandung di dalam daging merupakan sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroba, sehingga daging tidak akan bertahan lama pada penyimpanan lebih dari 10 jam. Oleh karena itu diperlukan pengawetan daging untuk menghambat aktivitas mikroba pada daging, salah satunya dengan penambahan ekstrak kayu secang. Perlakuan ekstrak kasar secang dari mulai 0,05 ml sampai 0,20 ml dalam 250 gram daging, belum menunjukkan penghambatan yang kuat. Selain itu, aplikasi ekstrak kasar kayu secang pada daging memengaruhi warna dan tekstur daging cincang, karena ekstrak kasar berupa cairan pekat. Warna daging menjadi kecoklatan dan berair. Hal ini tentu tidak diinginkan dalam proses pengawetan daging cincang (Rina dkk., 2012). Pengemasan produk daging memakai bahan yang kedap oksigen dapat menghambat laju oksidasi. Teknik pengemasan seperti pengemasan vacuum, pengisian dengan gas nitrogen, dan kemasan
18
fleksibel yang melekat pada bahan bisa memperkecil adanya oksigen dan melindungi produk dari dehidrasi selama penyimpanan. Bahan pengemas yang dilapisi dengan antioksidan juga dapat menghambat oksidasi lemak pada produk daging di dalamnya (Suhartatik dan Karyantina, 2010). Pertumbuhan mikroba, oksidasi lipid dan warna merupakan faktor penting dalam penentuan umur simpan dan mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap daging segar. Literatur ilmiah hingga saat ini masih sedikit informasi mengenai efek penambahan bahanbahan fungsional seperti lutein, sesamol, asam ellagic dan ekstrak daun zaitun untuk produk daging. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh bahan-bahan tersebut pada kualitas daging. Efek dari lutein (100 dan 200 μg/g daging), sesamol (250 dan 500 μg/g g otot), asam ellagic (300 dan 600 μg/g otot) dan zaitun ekstrak daun (100 dan 200 μg/g otot) pada TVC, oksidasi lipid (TBARS), warna, oksidasi oksimioglobin, pH, dan water holding capacity (WHC), dan sifat sensoris dari patty daging sapi mentah (M. Longissimus thoracis et lumborum) yang disimpan dengan modifikasi kemasan (80% O2: 20% CO2) (MAP) secara aerob pada suhu 4° C selama 8 dan 12 hari, dilakukan pegujian pada masing-masing parameter tersebut. Penambahan sesamol, asam ellagic dan ekstrak daun zaitun mengurangi nilai TVC dan TBARS daging. Penambahan sesamol untuk daging sapi mengakibatkan nilai kemerahan (a*) menurun dan terjadi peningkatan oksidasi oksimioglobin. Sebaliknya, adanya lutein dan ekstrak daun zaitun mengakibatkan nilai oksidasi oksimioglobin relatif lebih rendah terhadap kontrol. Selain itu pengaruh asam ellagic dan ekstrak daun zaitun terjadi peningkatan WHC. Aplikasi lutein, asam ellagic, sesamol dan ekstrak zaitun daun menunjukkan potensi dalam meningkatkan warna, menjaga stabilitas lipid dan status mikroba cincang roti daging sapi (Hayes et al., 2010).
19
Pengujian kualitas dan umur simpan daging sapi dilakukan dengan penambahan ekstrak air daun jelatang lyophilized (lyophilized Urtica dioica L. water extract / LUWE) dan modifikasi atmosfer kemasan (MAP). Perlakuan pada daging sapi yakni sebagai daging kontrol aerobik, daging dikemas MAP (80% O2 + 20% CO2), daging dikemas MAP dan penambahan 250 ppm LUWE, serta aging dikemas MAP dan penambahan 500 ppm LUWE; dimana keseluruh sampel disimpan pada suhu 2±0,5° C selama 14 hari. MAP dan LUWE memiliki efek signifikan pada bakteri asam laktat, mesofilik, psikrotrofik dan sejumlah Pseudomonas. Seiring peningkatan konsentrasi LUWE, Pseudomonas dan bakteri psikotropik menurun. Perlakuan dengan 500 ppm LUWE + MAP menunjukkan nilai TBARS
terendah
dibandingkan
dengan
sampel
lain
selama
penyimpanan. Perlakuan 80% O2-MAP meningkatkan nilai TBARS. Seluruh sampel tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai L* dan b* bagian luar daging sapi, tetapi memiliki efek yang signifikan pada warna bagian dalam. Penghambatan Pseudomonas dan bakteri psikrotropik dalam daging sapi yang disimpan pada suhu 2 ± 0,5 ° C selama 14 hari ini dicapai dengan menggunakan kombinasi 500 ppm LUWE + MAP. Kualitas daging sapi terbaik menggunakan kombinasi 500 ppm Luwe dan MAP dengan 80% O2 + 20% CO2 (Alp and Aksu, 2010). Rempah-rempah
mengandung
minyak
essensial
dan
oleoresin, dimana didalamnya terkandung senyawa antioksidan yang dapat digunakan dalam pengawetan daging. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Mohamed, yakni meneliti pengaruh penambahan minyak esensial rosemary dan oregano (200 mg/kg) untuk patty daging sapi yang dikombinasikan dengan daging unggas. Penelitian ini menunjukkan bahwa kedua minyak atsiri ini mengurangi oksidasi lipid dan meningkatkan atribut sensori patty daging sapi pada penyimpanan beku selama 3 bulan. Nilai TBARS patty daging sapi
20
dengan penambahan minyak esensial rosemary dan oregano secara signifikan lebih rendah (kisaran sekitar 0,4-0,5 mg MDA kg-1) dibandingkan dengan kontrol patty daging sapi tanpa penambahan minyak esensial menambahkan, yaitu berkisar antara 0,6 dan 0,8 mg MDA kg-1 selama 3 bulan dengan penyimpanan beku. Mengenai atribut sensori, penambahan minyak esensial untuk patty daging sapi secara signifikan meningkatkan nilai rasa dan penerimaan keseluruhan formula patty pada penyimpanan beku selama 3 bulan (Jayasena and Jo, 2014).
21
B. Kerangka Berpikir Daging sapi segar
Daun kayu manis
Tingkat konsumsi meningkat karena nilai gizi tinggi
Minyak atsiri
Mikroenkapsulasi
Senyawa volatil yang bersifat antimikroba dan antioksidan
Mudah mengalami kerusakan sehingga menurunkan kualitas
Melindungi bahan inti dari kehilangan flavor dan senyawa aktif; memudahkan dalam penanganan
Pengemas dan bahan pengawet Mikrokapsul minyak atsiri daun kayu manis
Pengaplikasian mikrokapsul minyak atsiri daun kayu manis dengan konsentrasi 0%; 0,5%; dan 1% pada daging sapi giling segar Pengemasan secara vakum dan penyimpanan pada suhu ± 5°C selama 0, 4, 8, 12, dan 16 hari Pengujian kualitas daging sapi giling segar pada hari ke-0, 4, 8, 12, dan 16 Gambar 2.2 Kerangka Berpikir C. Hipotesis Hipotesis
dari
penelitian
ini
adalah
variasi
konsentrasi
mikrokapsul minyak atsiri daun kayu manis dapat mempengaruhi daya tahan daging sapi giling segar selama penyimpanan pada suhu rendah.