BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian Mutu ( Quality ) Mutu adalah sesuatu yang diputuskan oleh pelanggan dan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh pelanggan. Mutu didasarkan pada pengalaman aktual dari pelanggan terhadap produk atau jasa, diukur berdasarkan persyaratan pelanggan tersebut dan selalu mewakili sasaran yang bergerak dalam pasar yang penuh persaingan. ( Feigenbaum,1992 ) Menurut Feigenbaum (1992) mutu produk atau jasa diartikan sebagai keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembuatan dan pemeliharaan yang membuat produk atau jasa digunakan memenuhi harapan-harapan pelanggan. 2.2. Pengertian QCC ( Quality Control Circle ) QCC adalah pengendalian dan peningkatan kualitas yang dilakukan secara berkelompok dalam unit yang sama dengan menerapkan siklus PDCA ( Plan Do Check Action ) dan berkesinambungan ( terus menerus ). Pengertian QCC menurut Sritomo Wignjosoebroto ( 2003) Quality Control Circle adalah kelompok kecil karyawan pelaksanan, kadang-kadang dipimpin oleh mandor yang secara sukarela akan mencari jalan dan cara untuk memperbaiki kualitas dan mengurangi
7
8
biaya-biaya produksi di tempat-tempat manapun kelompok ini berada dalam sistem produksi. Menurut Olga C. Crocker (2004) definisi Quality Control Circle adalah : •
Sekelompok kecil pekerja
•
Kelompok tersebut mempunyai seorang pemimpin
•
Dibentuk menurut bidang pekerjaan
•
Memecahkan persoalan yang terdapat dalam bidang pekerjaan tersebut. Menurut Feigenbaum (1992) Quality Control Circle adalah kelompok
karyawan yang biasanya jumlahnya kecil dan bertemu secara berkala untuk maksud-maksud seperti : •
Untuk menandai, memeriksa dan menganalisis serta menyelesaikan masalah seringkali tentang mutu tetapi juga tentang produktivitas, keamanan, hubungan kerja, biaya, pengurusan pabrik dan lain-lainnya.
•
Untuk meningkatkan komunikasi antar karyawan dan manajemen. Menurut Kauro Ishikawa (1983) Quality Control Circle adalah suatu
kelompok kerja kecil yang secara sukarela bekerja mengadakan kegiatan pengendalian mutu di dalam tempat kerja mereka sendiri. Landasan teori mengenai Quality Control Circle juga merupakan landasan teori Quality Control Project karena Quality Control Project merupakan Quality Control Circle yang bersifat sebagai suatu project dan anggotanya juga bersifat lintas departemen. 2.2.1.
Pengertian QCP ( Quality Control Project ) Quality Control Project ( Jurnal Agrovaria,2005) adalah Quality Control Circle yang melakukan suatu pemecahan masalah
9
sebagai suatu project dimana anggotanya berkumpul secara sukarela dan berasal dari bidang kerja yang berbeda yang berkumpul dengan tujuan memecahkan masalah yang terjadi pada lintas departemen yang saling berhubungan. 2.2.2. Anggota QCC Idealnya anggota QCC sebaiknya terdiri dari pekerja yang sama agar masalah yang mereka pilih telah dikenal. Anggota QCC berkisar antara tiga hingga sepuluh orang yang penting setiap anggota mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi untuk menyumbangkan saran dalam setiap pertemuan. 2.2.3. Anggota QCP Anggota QCP terdiri dari pekerja yang berasal dari lintas bidang pekerjaan yang berkisar dari 3 sampai 10 orang yang bertujuan memecahkan suatu masalah dalam suatu project,biasanya lintas bidang project, biasanya lintas bidang pekerjaannya juga masih berhubungan. 2.2.4. Tujuan QCC Tujuan dari QCC antara lain: •
Mengurangi kesalahan-kesalahan dan meningkatkan kualitas.
•
Menggalang kerjasama tim yang lebih efektif.
•
Meningkatkan motivasi karyawan.
•
Meningkatkan keterlibatan dalam pekerjaan.
•
Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah.
•
Menanamkan kesadaran akan pencegahan masalah.
10
•
Meningkatkan komunikasi dalam kelompok organisasi.
•
Menciptakan hubungan atasan – bawahan lebih harmonis.
•
Meningkatkan anggota dan mengembangkan kepemimpinan.
•
Menciptakan kesadaran akan keselamatan kerja.
•
Meningkatkan cost reduction (efisiensi biaya).
2.2.5 Sasaran QCC QCC membutuhkan partisipasi aktif karyawan untuk menjalankan kegiatan secara sistematis,efektif dan efisien. Hal tersebut perlu didukung dengan pendataan progress / achievement report KPI ( Key Performance Indicator ) secara rutin dan terdokumentasi, lengkap, serta terkendali. Sasaran akhir dari QCC yaitu : 1. Perubahan skill karyawan ( Sumber Daya Manusia ) 2. Penambahan / perubahan standarisasi ( Work Instruction, Standart Operation Procedure, dll ) 3. Produktifitas meningkat 4. Penghematan biaya Dalam pelaksanaannya QCC dilakukan dengan 8 langkah kerja yaitu : 1. Menentukan Tema 2. Menetapkan Target 3. Analisa Kondisi yang Ada 4. Analisa Sebab Akibat 5. Rencana Penanggulangan 6. Melaksanakan Penanggulangan 7. Evaluasi Hasil
11
8. Standarisasi dan Tindak Lanjut 2.3. Pengertian Seven Tools Untuk menganalisis masalah yang ada dalam kegiatan QCC atau GKM dapat digunakan alat bantu 7 tools. Manfaat tujuh alat pengendalian kualitas adalah untuk mengetahui akar dari suatu permasalahan dan meningkatkan kemampuan perbaikan proses, sehingga diperoleh : a. Penurunan cost of quality dan peningkatan fleksibilitas harga. b. Meningkatkan produktivitas sumber daya. Kegunaan dari ketujuh dalam seven tools adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui permasalahannya. 2. Mempersempit ruang lingkup permasalahannya. 3. Mencari faktor yang menjadi penyebabnya. 4. Mencegah kesalahan akibat kurang hati-hati. 5. Melihat akibat perbaikan. 6. Mengetahui hasil yang menyimpang atau terpisah dari hasil lainnya. Di bawah ini akan diuraikan tentang ketujuh alat dalam seven tools. Ketujuh alat tersebut adalah : 1.
Check Sheet Check sheet adalah alat yang sering digunakan untuk menghitung seberapa
sering sesuatu itu terjadi dan sering digunakan dalam pengumpulan dan pencatatan data. Data yang sudah terkumpul tersebut kemudian dimasukkan ke dalam grafik seperti Pareto Chart ataupun Histrogram untuk kemudian dilakukan analisa terhadapnya. Check sheet ini dapat digunakan sebagai alat bantu dalam tahap pelaksanaan (do) dalam Plan-Do-Check-Action cycle.
12
No.
Jam Kedatangan
Jumlah Data
Frekwensi
1
D < 06.30
IIII
4
2
06.30 ≤ 06.35
IIII III
8
3
06.35 ≤ 06.40
III
3
Gambar 2.1 Contoh Check Sheet 2.
Stratifikasi Stratifikasi adalah mengurai atau mengklasifikasikan persoalan menjadi
kelompok atau golongan sejenis yang lebih kecil atau menjadi unsur – unsur tunggal dari persoalan. Misalnya mengurai menurut : a. Jenis kesalahan atau kerusakan. b. Penyebab dari kesalahan atau kerusakan. c. Lokasi kerusakan atau kesalahan. d. Material, hari pembuatan, unit kerja, orang yang mengerjakan, waktu, lot dan lain – lain. 3.
Grafik dan Bagan Pengendalian
3.1. Grafik Grafik merupakan data yang dinyatakan dalam bentuk gambar. Dengan memakai grafik maka akan mendapat keuntungan yaitu : - Data lebih cepat, mudah dibaca, jelas dan enak untuk dilihat. - Hubungan dengan data yang lalu dapat dipaparkan sekaligus sebagai perbandingan. Jenis grafik pada dasarnya terdapat 3 macam, yaitu :
13
a. Grafik kolom/balok (bar graph)
Gambar.2.2. Contoh grafik kolom b. Grafik garis (line graph)
Gambar.2.3. Contoh Grafik Garis c. Grafik lingkaran (pie/circle graph)
14
Gambar.2.4. Contoh Grafik Lingkaran 3.2. Bagan pengendalian Bagan pengendalian atau control chart merupakan grafik garis dengan mencantumkan batas maksimum dan minimum yang merupakan batas daerah pengendalian. Bagian ini menunjukkan perubahan data dari waktu ke waktu tetapi tidak menunjukkan penyebab penyimpangan, meskipun adanya penyimpangan itu akan terlihat pada bagan pengendalian tersebut.
JENIS DATA
BAGAN PENGENDALIAN Bagan X - R
Data diukur
Contoh : panjang , lebar, isi , volume , berat
Bagan pn & p
Data dihitung
Contoh : jumlah kerusakan, jenis kerusakan
Bagan u
Data dihitung
Contoh : jumlah cacat lubang pada lembaran logam dari ukuran yang berbeda (bila besaran tempat terjadinya kerusakan seperti : panjang, berat,volume dan lain-lain tidak tetap/bisa berubah )
Bagan c
Data dihitung
Contoh : jumlah cacat lubang pada lembaran logam dari ukuran yang tertentu (bila besaran tempat terjadinya kerusakan seperti : panjang, lebar,volume dan lain-lain selalu tetap/bisa berubah )
Gambar.2.5. Contoh Bagan Pengendalian 4.
Diagram Pareto Diagram pareto dimaksudkan untuk menemukan / mengetahui penyebab
utama yang merupakan kunci dalam penyelesaian persoalan dan perbandingannya terhadap keseluruhan. Dengan mengetahui penyebab utama, maka bila kita menanggulanginya terlebih dahulu biarpun hanya berhasil 50% saja, akan membawa pengaruh yang lebih besar terhadap keseluruhan persoalan dibanding bila kita menanggulangi penyebab kecil, apa lagi bila tidak secara tuntas.
15
Dengan memakai diagram pareto ini, dapat mengkonsentrasikan arah penyelesaian persoalan, karena itu diagram pareto merupakan langkah pertama untuk pelaksanaan perbaikan atau penyelesaian persoalan. Kegunaan diagram pareto : a. Menunjukkan persoalan utama b. Menyatakan perbandingan masing – masing persoalan terhadap keseluruhan. c. Menunjukkan tingkat perbaikan setelah tindakan perbaikan pada daerah yang terbatas. d. Menunjukkan perbandingan masing – masing persoalan sebelum dan sesudah perbaikan. Pecentage Accumulasi 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
29%
A
22%
B
17%
C
10%
9%
9%
D
E
F
5%
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
G
Gambar.2.6 Contoh Diagram Pareto
5.
Cause and Effect Diagram / Fish Bone Diagram Cause and effect diagram digunakan untuk menganalisis persoalan dan
faktor-faktor yang menimbulkan persoalan tersebut. Dengan demikian diagram tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan sebab-sebab suatu persoalan. Cause and Effect Diagram juga disebut Ishikawa Diagram dan dikembangkan oleh Dr.
16
Kaoru Ishikawa. Diagram tersebut juga disebut Fish bone diagram karena berbentuk seperti kerangka ikan. Cause and Effect Diagram dapat dipergunakan untuk hal-hal sebagai berikut : 1. Untuk menyimpulkan sebab-sebab variasi dalam proses 2. Untuk mengidentifikasi kategori dan subkategori sebab-sebab yang mempengaruhi suatu karakteristik kualitas tertentu. 3. Untuk memberikan petunjuk mengenai macam-macam data yang perlu dikumpulkan Cause and Effect Diagram terutama berguna dalam tahap perencanaan (plan) dari Plan-Do-Check-Action cycle karena dapat membantu mengidentifikasi sebab-sebab proses yang mempunyai peranan bagi timbulnya efek yang tidak dikehendaki oleh pelanggan.
Gambar 2.7. Contoh Fish Bone Diagram 6.
Diagram Pencar Diagram pencar dipakai untuk melihat korelasi (hubungan) dari suatu
penyebab / faktor yang kontinu terhadap karakteristik kualitas atau faktor kelompok. Dengan diagram ini kita dapat menentukan korelasi antara suatu sebab
17
dengan akibatnya, antara satu sebab dengan sebab lainnya, antara satu akibat dengan akibat lainnya. Perhitungan korelasi dapat dilakukan dengan mudah dengan menggunakan regresi atau dengan metode nilai tengah. untuk menggambarkannya, pada sumbu vertikal adalah akibatnya, dan pada sumbu horizontal penyebabnya, maka kita mendapatkan sebuah peta yang disebut dengan diagram pencar. Ada beberapa jenis korelasi yang dapat terlihat dari diagram tebar ini, yaitu: a) Korelasi positif kuat, jika nilai faktor penyebab bertambah besar, nilai faktor akibat juga bertambah besar (nilai koefisien korelasi mendekati positif 1) b) Korelasi positif lemah, jika terdapat kecenderungan korelasi positif tetapi memiliki sebaran data yang besar (nilai koefisien korelasi kecil tetapi masih positif) c) Korelasi negatif kuat, jika nilai faktor penyebab bertambah besar, nilai faktor akibat mengecil (nilai koefisien korelasi mendekati negatif 1) d) Korelasi negatif lemah, jika terdapat kecenderungan korelasi negatif tetapi memiliki e) Sebaran data yang besar (nilai koefisien korelasi kecil negatif) f) Tanpa korelasi, jika sebaran data sangat besar (nilai koefisien korelasi mendekati 0)
18
Gambar 2.8. Contoh Diagram Pencar 7. Histogram Kegunaan dari histogram adalah untuk mengetahui distribusi / penyebaran data yang ada. Sehingga dengan demikian di dapatkan informasi yang lebih banyak dari data tersebut dan akan mempermudah meneliti dan mendapatkan kesimpulan informasi data.
Gambar 2.9. Contoh Histogram
19
2.4. Pengertian OEE ( Overall Equipment Effectiveness ) OEE adalah total pengukuran terhadap performance yang berhubungan dengan availability dari proses produktivitas dan kualitas. Pengukuran OEE menunjukkan seberapa baik perusahaan menggunakan sumber daya yang dimiliki termasuk peralatan,pekerja dan kemampuan untuk memuaskan konsumen dalam hal pengiriman yang sesuai dengan spesifikasi kualitas menurut konsumen. Menurut Nakajima (1989) dalam Ljungberg (1998), Total Productive Maintenance ( TPM ) tergantung kepada 3 konsep yaitu : 1. Memaksimalkan penggunaan peralatan secara efektif. 2. Perawatan secara otomatis oleh operator. 3. Kelompok aktivitas kecil. Dari 3 hal tersebut OEE dapat digunakan untuk menggabungkan operasi, perawatan, dan manajemen dari peralatan manufaktur dan sumber daya (Dal,1999:1489). Nakajima (1988) menyatakan bahwa OEE adalah sebuah alat untuk mengukur keberadaan dari biaya yang tersembunyi. Biaya tersembunyi juga merupakan salah satu faktor kegagalan produksi disamping biaya tak langsung dan faktor yang lain. Nakajima(1988) juga memperkirakan bahwa penggunaan OEE yang paling efektif adalah selama proses berlangsung dengan penggunaan dri peralatan dasar kendali kualitas,seperti diagram pareto.Penggunaan dapat menjadi penting untuk keberadaan dari sistem pengukuran performance perusahaan.
20
2.4.1 Tujuan OEE OEE dapat digunakan dalam beberapa jenis tingkatan pada sebuah lingkungan perusahaan yaitu : 1. OEE dapat digunakan sebagai “Benchmark” untuk mengukur rencana perusahaan dalam performansi. 2. Nilai OEE, perkiraan dari suatu aliran produksi, dapat digunakan untuk membandingkan garis performansi melintang dari perusahaan, maka akan terlihat aliran yang tidak penting. 3. Jika
proses
permesinan
dilakukan
secara
individual,
OEE
dapat
mengidentifikasikan mesin mana yang mempunyai performansi buruk, dan bahkan mengindikasikan fokus dari sumber daya TPM ( Dal,1999:1490). 2.4.2 Perhitungan OEE Hal-hal yang diperlukan dalam aplikasi Overall Equipment Effectiveness diperusahaan adalah dengan menghitung komponen OEE, yaitu: 1.
Availability Ratio Menurut Pomorski (1997),
maintenance
peralatan
produksi
availability ratio mengukur efektivitas dalam
kondisi
produksi
sedang
berlangsung, performance ratio mengukur seberapa efektif peralatan produksi yang digunakan, dan quality ratio mengukur efektivitas proses manufaktur untuk mengeliminasi scrap, rework, dan yield loss (Tangen, 2004, p. 63). Elemen Availability Ratio yang digunakan untuk mengukur nilai OEE adalah dengan memperhatikan total waktu kerusakan yang dihasilkan dari unplanned downtime, proses set-up dan kerusakan yang tidak direncanakan lainnya.
21
Faktor penting Availability adalah loading time dan operating time. Loading time adalah total waktu produksi dalam sehari, yang dapat dipisahkan dalam beberapa aktivitas yaitu : a. Menunggu untuk penyelesaian pesanan. b. Tenaga kerja yang tidak tersedia untuk menggantikan operator yang istirahat. c. Aktivitas rencana pemeliharan. d. Proses perbaikan. e. Perawatan mesin oleh operator. f. Pelatihan operator. Dengan demikian formula yang digunakan untuk menghitung availability ratio adalah:
Operating time = Loading time – Down time 2.
Performance Ratio Performance merupakan ukuran perbandingan actual speed dari peralatan
untuk kecepatan yang ideal. Performance merupakan bagian dari OEE yang mungkin dikalkulasikan dalam beberapa cara yang berbeda. Nakajima (1988) menjelaskan bahwa kesulitan jumlah ukuran output dan definisi performance merupakan petunjuk dari actual deviation dalam produksi dari ideal cycle time (Dal, 1999). Performance merupakan hasil net operating time dan operating time. Operating time merupakan peralatan yang menunjuk pada ketidakcocokan antara
22
ideal speed dengan actual operating. Net operating time merupakan ukuran yang diperoleh dari kecepatan proses yang stabil dari waktu tertentu dan merupakan perkalian antara jumlah produksi dengan actual cycle time dibagi dengan operating time. Dengan demikian formulasinya adalah:
3.
Quality Ratio Quality dapat digunakan untuk menunjukkan proporsi produksi yang tidak
sempurna dengan volume produksi total. Quality meliputi kegagalan pada tahap produksi biasanya pada mesin khusus atau garis produksi. Process amount adalah hasil dari proses produksi yang berlangsung. Kalkulasi Quality diidentifikasikan dari kegagalan kualitas, jumlah produk cacat untuk kegagalan kualitas selama proses produksi. Departemen membuat sebuah target untuk Quality adalah 99,5 %. Hal ini merupakan catatan penting bahwa sebuah target dianggap dari kegagalan produk yang diidentifikasikan selama proses pembuatan produk. Pengumpulan data secara efektif dianggap sebagai kunci untuk memperbaiki pengukuran kualitas. Dengan demikian formulasinya adalah sebagai berikut :
Dari ketiga faktor diatas maka untuk perhitungan Overall Equipment Effectiveness adalah : OEE = Availability Ratio (%) x Performance Ratio (%) x Quality Ratio(%)
23
OEE memfokuskan 6 kerugian utama (the six big losses) sebagai penyebab peralatan produksi tidak beroperasi dengan normal (Denso, 2006, p. 6), yaitu: 1.
Startup Loss ,dikategorikan sebagai quality loss karena adanya scrap/ reject saat startup produksi yang disebabkan oleh kekeliruan setup mesin, proses warm-up yang kurang, dan sebagainya.
2.
Setup/Adjustment Loss, dikategorikan sebagai downtime loss karena adanya waktu yang “tercuri” akibat waktu setup yang lama yang disebabkan oleh changeover produk, tidak adanya material (material shortages), tidak adanya operator (operator shortages), adjustment mesin, warm-up time, dan sebagainya.
3.
Cycle Time Loss, dikategorikan sebagai speed loss karena adanya penurunan kecepatan proses yang disebabkan oleh beberapa hal, misal : mesin sudah aus, di bawah kapasitas yang tertulis pada nameplate-nya, di bawah kapasitas yang diharapkan, ketidakefisienan operator, dan sebagainya.
4.
Chokotei Loss, dikategorikan sebagai speed loss karena adanya minor stoppage yaitu mesin berhenti cukup sering dengan durasi tidak lama biasanya
tidak
lebih
dari
lima
menit
dan
tidak
membutuhkan
personel maintenance. Ini dikarenakan mesin hang sehingga harus reset, adanya
pembersihan/pengecekan,
terhalangnya sensor,
terhalangnya
pengiriman, dan sebagainya. 5.
Breakdown Loss, dikategorikan sebagai downtime loss karena adanya kerusakan mesin dan peralatan, perawatan tidak terjadwal, dan sebagainya.
6.
Defect Loss, dikategorikan sebagai quality loss karena adanya reject selama produksi berjalan.
24
Dari keenam kerugian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga jenis kerugian terkait dengan proses produksi yang harus diantisipasi, yaitu: 1.
Downtime loss yang mempengaruhi Availability Ratio,
2.
Speed loss yang mempengaruhi Performance Ratio, dan
3.
Quality loss yang mempengaruhi Quality Ratio atau disebut juga FTT (first time through).
Menurut Pomorski (1997), availability ratio mengukur efektivitas maintenance peralatan produksi dalam kondisi produksi sedang berlangsung, performance ratio mengukur seberapa efektif peralatan produksi yang digunakan, dan quality ratio mengukur efektivitas proses manufaktur untuk mengeliminasi scrap, rework, dan yield loss (Tangen, 2004, p. 63). Ketiga unsur tersebut merupakan rasio OEE yang didefinisikan sebagaimana terlihat dalam Tabel 1 di bawah ini Tabel 1.1 Perhitungan Overall Equipment Effectiveness (OEE) Peralatan Produksi
Downtime Losses
Loading Time
Valuable Operating Time
Quality Loss
Net Operating Time
Speed Losses
Operating Time
Six Big Loss
Perhitungan OEE
1 Breakdown Loss 2 Setup & Adjustment Loss 3 Chokotei Loss 4 Cycle Time Loss
Availability Ratio =
Operating Time Loading Time
Performance Ratio =
Process Amount x Cycle Time Operating Time
Quality Ratio
Process Amount - Defect Amount Process Amount
5 Defect Loss 6
=
Startup Loss OEE = Availability Ratio (%) x Performance Ratio (%) x Quality Ratio(%)
Pada kesempatan kali ini penulis mengambil tema analisis problem pasang material karena pasang material merupakan salah satu jenis Downtime Losses. Di dalam Downtime Losses pasang material termasuk dalam Loss Delay Production
25
sehingga
menjadi salah satu
mempengaruhi availability ratio.
faktor
penghambat
produksi yang
akan