BAB II LANDASAN TEORI II.1
Konsep Dasar Perpajakan
II.1.1 Pengertian Pajak Pajak awalnya adalah suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma), tetapi bersifat wajib dan dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh masyarakat. Pada waktu itu rakyat memberikan upetinya kepada penguasa dalam bentuk natura yang imbalan atau prestasinya dikembalikan kepada rakyat tidak ada karena pada dasarnya memang hanya bersifat sepihak atau untuk kepentingan penguasa. Pada perkembangannya, sifat upeti tidak lagi hanya mengacu pada kepentingan penguasa, namun sudah mengarah kepada kepentingan masyarakat. Menurut UU KUP No.28 Tahun 2007 Pasal 1, Pajak adalah Kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dr. Soeparman Soemahamidjaja (2010, 6) mengungkapkan "pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum." Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH (2010, 6) pajak adalah "iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada 9
mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum." Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran wajib masyarakat kepada negara yang dapat dipaksakan dan imbalan yang diterima tidak secara langsung. Berdasarkan pengertian pajak tersebut, ada lima unsur yang melekat pada pengertian pajak (wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2010): 1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang 2. Sifatnya dapat dipaksakan 3. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak 4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara, baik pemerintah pusat maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta) 5. Pajak digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum. II.1.2 Fungsi Pajak Terdapat dua fungsi pajak, yaitu: 1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah yang tertuang dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan.
10
2. Fungsi Regulerend (Mengatur) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, misalnya pajak tarif tinggi dikenakan tehadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras atau dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. II.1.3 Pengelompokan Pajak Pajak dapat dikelompokan berdasarkan golongannya, sifatnya dan lembaga pemungutannya: 1. Berdasarkan golongannya: Pajak Langsung Pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya : Pajak Penghasilan. Pajak Tidak Langsung Pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya : Pajak Pertambahan Nilai. 2. Berdasarkan sifatnya : Pajak Subjektif Pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya : Pajak Penghasilan.
11
Pajak Objektif Pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan Wajib Pajaknya. Misalnya : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut lembaga pemungutnya : Pajak Pusat Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Misalnya: PPh, PBB, PPN dan PPnBM. Pajak Daerah Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Misalnya: Pajak Provinsi dan Kabupaten / Kota. II.1.4 Sistem Pemungutan Pajak Terdapat tiga macam sistem pemungutan pajak, yaitu: 1. Official Assesment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. 2. Self Assesment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
12
3. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. II.1.5 Macam-macam tarif Pajak Ada 4 macam tarif pajak : 1. Tarif sebanding / proposional Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Contoh : Untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai 10%. 2. Tarif Tetap Tarif berupa jumlah tetap (sama) terhadap berapa pun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh : Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp. 3.000,00. 3. Tarif Progresif Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Contoh : pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan baik Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri maupun Wajb Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
13
4. Tarif Degresif Persentase tarif yang digunakan semakin kecil jika jumlah yang dikenai pajak semakin besar. II.2
Penagihan Pajak
II.2.1 Pengertian Penagihan Pajak Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa (SP), mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggungjawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban WP menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, jasa penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, Penyitaan dan Penyanderaan. Tugas Jurusita Pajak yaitu: 1. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus 2. Memberitahukan Surat Paksa 14
3. Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. 4. Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan. Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan juru sita pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, pengumuman lelang, Surat Penentuan Harga Limit, pembatalan lelang, Surat Perintah Penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut UU dan Peraturan Daerah. II.2.2 Utang Pajak dan Penagihannya Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak, apabila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Peraturan perundang-undangan perpajakan menetapkan bahwa STP, SKPKB, serta SKPKBT dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan, kecuali untuk WP usaha kecil dan WP di daerah tertentu sesuai 15
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jangka waktu pelunasan dapat diperpanjang menjadi paling lambat 2 (dua) bulan. Surat Tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (STPPBB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), serta Surat Tagihan Perolehan Bea Hak Atas Tanah dan Bangunan (STB), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh WP. Dalam hal WP keberatan atas SKPKB atau SKPKBT, jangka waktu pelunasan pajak untuk jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan sebesar pajak yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Dalam hal WP mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan sehubungan dengan SKPKB dan SKPKBT, jangka waktu pelunasan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. II.2.3 Penagihan Seketika dan Sekaligus Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa pajak, dan Tahun Pajak. Penagihan ini dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus. 16
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan apabila: 1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu. 2. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia. 3. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya. 4. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara. 5. Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat: 1. Nama Wajib pajak, atau Nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak. 2. Besarnya Utang Pajak. 3. Perintah untuk membayar. 4. Saat pelunasan pajak. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.
17
II.2.4 Tindakan Penagihan Pajak
1. Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (pasal 1 angka 15 UU KUP), sedangkan Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda (pasal 1 angka 20 UU KUP). Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat ketetapan Pajak. Surat ini diterbitkan berdasarkan pemeriksaan atau penelitian pajak dan yang berwenang mengeluarkan SKP adalah KPP berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar.
2. Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung.
3. Wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga.
4. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu.
18
5. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:
1. Identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b UU Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
2. Identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g UU Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
6. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak; atau
7. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) UU Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Penyampaian SKP kepada WP, dapat dilakukan:
1. Secara langsung
2. Melalui pos dengan bukti pengiriman surat
3. Melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat. 19
2. Surat Teguran Penerbitan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lainnya yang sejenis merupakan tindakan awal dari pelaksanaan penagihan pajak dan pelaksanaannya harus dilakukan sebelum dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa. Apabila terhadap WP tidak pernah diberikan Surat Teguran atau Surat Perigatan atau Surat lainnya yang sejenis namun langsung diterbitkan dan diberikan Surat Paksa, maka secara yuridis Surat Paksa tersebut dianggap tidak ada karena tidak didahului dengan pengeluaran Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat yang sejenis lainnya. Pengertian surat lain yang sejenis meliputi surat atau bentuk lain yang fungsinya sama dengan Surat Teguran atau Surat Peringatan dalam upaya penagihan pajak sebelum Surat Paksa diterbitkan. Dalam praktiknya, biasanya kantor pajak sudah membakukan bentuk Surat Teguran guna memudahkan dalam penerbitannya. Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan WP tidak mengajukan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah lewat 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan. Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan WP mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah lewat 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding. Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan WP mengajukan 20
permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah lewat 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan keputusan banding. Dalam hal WP menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7 hari sejak saat jatuh tempo pelunasan. Dalam hal WP mencabut pengajuan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir oleh WP, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7 hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut. Dalam rangka penagihan pajak bumi dan bangunan dan/atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang tercantum dalam STPPBB, SKBKB, SKBKBT, STB, atau Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau putusan banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kepada WP disampaikan Surat Teguran setelah 7 hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan. 3. Surat Paksa Surat paksa (SP) adalah surat perintah untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Ada 3 hal yang menyebabkan diterbitkannya Surat Paksa, yaitu: 1. Apabila Penanggung Pajak (PP) tidak melunasi utang pajak sampai dengan jatuh tempo dan telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lainnya yang sejenis. 2. Bahwa terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan penagihan seketika dan sekaligus. 21
3. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Dalam UU penagihan telah ditegaskan bahwa Surat Paksa yang diterbitkan oleh pejabat (pejabat adalah kepala kantor pelayanan pajak/kepala kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan (KPP/KPPPB)) mempunyai kekuatan esksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Utang pajak setelah lewat 21 hari dari tanggal Surat Teguran tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp. 50,000,00 (lima puluh ribu rupiah). Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2x24 jam setelah Surat Paksa diberitahuakan oleh Jurusita Pajak. Surat Paksa sekurang-kurang meliputi: 1. Nama wajib pajak/nama wajib pajak dan Penanggung Pajak. 2. Dasar penagihan. 3. Besarnya utang pajak. 4. Perintah untuk membayar. 4. Penyitaan Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada prinsipnya tujuan penyitaaan adalah untuk memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari Penanggung Pajak. Oleh karena itu, penyitaan dapat dilaksanakan 22
terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijamin sebagai pelunasan utang tertentu. Utang pajak dalam jangka waktu 2x24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak tidak dilunasi, Jurusita Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah). Barang yang disita dapat berupa: barang: 1. Barang bergerak termasuk, mobil, perhiasaan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening Koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, dan surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain. 2. Barang tidak bergerak termasuk, tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu. 5. Lelang Lelang merupakan setiap penjualan barang di muka umum yang dipimpin oleh pejabat lelang dengan cara penawaran harga secara terbuka atau lisan dan/atau tertutup/tertulis yang didahului dengan pengumuman lelang. Pelelangan merupakan tindakan hukum penagihan berikutnya untuk melunasi utang pajak WP/Penanggung Pajak. Dalam jangka waktu paling singkat 14 hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media masa. Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan satu kali dan untuk barang 23
tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali. Penjualan secara lelang melalui kantor lelang Negara terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah pengumuman lelang. Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang belum dibayar, dan sisanya untuk membayar utang pajak. Apabila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan oleh pejabat walaupun barang yang akan dilelang masih ada. Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh pejabat kepada Penanggung Pajak segera setelah pelaksanaan lelang. II.2.5 Hak Wajib Pajak/Penanggung Pajak Wajib Pajak atau Penanggung Pajak berhak: 1. Meminta Jurusita Pajak memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak. 2. Menerima salinan Surat Paksa dan salinan berita acara penyitaan. 3. Menentukan urutan barang yang akan dilelang. 4. Sebelum pelaksanaan lelang, Wajib Pajak/Penanggung Pajak diberi kesempatan terakhir untuk melunasi utang pajak termasuk biaya penyitaan, iklan dan biaya pembatalan lelang dan melaporkan pelunasan tersebut kepada KPP yang bersangkutan. 5. Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak sebelum pelaksanaan lelang. II.2.6 Kewajiban Wajib Pajak/Penanggung Pajak 24
Wajib pajak/Penanggung Pajak wajib: 1. Membantu Jurusita dalam melaksaakan tugasnya: 1. Memperbolehkan Jurusita Pajak memasuki ruangan, tempat usaha/ tempat tinggal WP/Penanggung Pajak. 2. Memberikan keterangan lisan atau tertulis yang diperlukan. 2. Barang yang disita dilarang dipindahtangankan, dihipotikan atau disewakan. II.2.7 Daluwarsa Penagihan Pajak Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, putusan banding, serta putusan peninjauan kembali. Daluwarsa penagihan pajak tersebut tertangguh apabila: 1. Diterbitkannya Surat Paksa. 2. Adanya pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung. 3. Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan karena Wajib Pajak setelah jangka waktu 5 tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
25
Negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 4. Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
26