BAB II LANDASAN TEORI A. Investasi 1. Pengertian Investasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), investasi adalah penanaman uang atau modal di suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Investasi menurut Abdul (2005:4) adalah “Investasi pada hakikatnya merupakan penempatan sejumlah dana dengan harapan memperoleh keuntungan di masa akan datang” Investor adalah orang perorangan atau lembaga, baik domestik atau non domestik yang melakukan suatu investasi (bentuk penanaman modal sesuai dengan jenis investasi yang dipilihnya) baik dalam jangka pendek atau panjang. Menurut Suwandi (2011:13), dalam praktik investasi keuangan dikenal beberapa jenis investor, yaitu : a. Hedger, melakukan investasi biasanya untuk tujuan menjaga riil yang dimilikinya b. Speculator, melakukan investasi untuk tujuan spekulasi atas pergerakan harga yang terjadi, biasanya untuk jangka pendek atau bahkan one day trading c. Arbitrage, melakukan investasi berdasarkan selisih perhitungan yang terjadi atau dapat timbul karena adanya perbedaan tempat, waktu dan kebijakan. Umumnya pada saham atau surat berharga lainnya yang
8
dicatatkan lebih dari satu pasar modal, umumnya dikenal dengan istilah dual listing. Menurut Suwandi (2011:14), berdasarkan sifatnya investor juga dapat dikategorikan dalam tiga tingkatan, yaitu : 1) Risk averse, takut akan risiko, investor dengan sifat demikian akan memilih investasi berdasarkan tingkat risiko yang rendah walaupun terkadang dengan konsekuensi keuntungan yang kecil 2) Risk medium, proporsional melihat risiko, model sifat demikian akan melakukan investasi dengan risiko sedang dan harapan mendapatkan keuntungan tertentu. 3) Risk taker, berani mengambil risiko, model ini lebih memilih investasi dengan estimasi
keuntungan
yang tinggi
dengan tidak terlalu
memperdulikan konsekuensi risiko yang tinggi juga. 2. Jenis-Jenis Investasi Investasi digolongkan menjadi dua, Sharpe (2005:1) menyebutkan bahwa: “Investasi pada umumnya dapat digolongkan menjadi dua bentuk yaitu, real asset dan financial asset. Real asset secara umum melibatkan asset berwujud seperti tanah, bangunan, dan mesin. Sedangkan financial asset adalah investasi berupa valas, deposito berjangka, saham dan obligasi yang diperdagangkan di pasar uang maupun pasar modal”.
9
Dari pengertian tersebut dapat diambil arti bahwa investasi dibagi menjadi: a. Real asset Yaitu asset yang objeknya memiliki wujud, jangka waktunya biasanya lebih dari 1 tahun, seperti: tanah, bangunan, mesin, emas, dan lain-lain. b. Financial asset Yaitu asset yang objeknya tidak memiliki wujud secara langsung tatapi diwakili dalam bentuk sertifikat baik berupa kertas maupun elektronik. Jangka waktunya biasanya kurang dari 1 tahun, seperti: saham, obligasi, valas, deposito berjangka, dan lain-lain. Dalam financial asset, keuntungan yang diperoleh cenderung tidak stabil bahkan jika kurang mengetahui kondisi pasar akan menyebabkan kerugian bagi investor. Tetapi kondisi inilah yang menjadi daya pikat bagi investor. Risiko yang besar dengan dibarengi kemungkinan keuntungan yang besar menarik banyak minat. 3. Risiko Investasi Para investor di pasar modal harus dapat menyadari dengan sungguhsungguh bahwa secara teoritis setiap investasi yang dilakukan disamping mengharapkan keuntungan, investor juga harus sadar terdapat kemungkinan risiko atau kerugian. Apabila risiko dinyatakan sebagai seberapa jauh hasil yang diperoleh dapat menyimpang dari hasil yang diharapkan maka digunakan ukuran penyebaran. Alat statistik yang digunakan sebagai ukuran penyebaran 10
tersebut adalah varians atau standar deviasi. Semakin besar nilainya, berarti semakin besar penyimpangannya (berarti risikonya semakin tinggi). Berikut beberapa jenis risiko investasi yang mungkin timbul dan perlu dipertimbangkan dalam membuat keputusan investasi (Lukas, 2008:43) : a. Risiko bisnis (business risk), merupakan risiko yang timbul akibat menurunnya profitabilitas perusahaan emiten. b. Risiko likuiditas (liquidity risk), risiko ini berkaitan dengan kemampuan saham yang bersangkutan untuk dapat segera diperjualbelikan tanpa mengalami kerugian yang berarti. c. Risiko tingkat bunga (interest rate risk), merupakan risiko yang timbul akibat perubahan tingkat bunga yang berlaku di pasar. Biasanya risiko ini berlawanan dengan harga-harga instrumen pasar modal. d. Risiko pasar (market risk), merupakan risiko yang timbul akibat kondisi perekonomian negara yang berubah-ubah dipengaruhi oleh resesi dan kondisi perekonomian lain. Ketika indeks pasar saham meningkat secara terus menerus selama jangka waktu tertentu, tren yang meningkat ini disebut bull market. Sebaliknya, ketika indeks pasar saham turun selama terus menerus selama jangka waktu tertentu, tren yang menurun ini disebut bear market. Kekuatan bull market dan bear market ini cenderung mempengaruhi semua saham secara sistematis sehingga tingkat pengembalian pasar menjadi fluktuasi. e. Risiko daya beli (purchasing power-risk), merupakan risiko yang timbul akibat pengaruh perubahan tingkat inflasi. Perubahan ini akan 11
menyebabkan berkurangnya daya beli uang yang diinvestasikan maupun bunga yang diperoleh dari investasi sehingga nilai rill pendapatan menjadi lebih kecil. f. Risiko mata uang (currency risk), merupakan risiko yang timbul akibat pengaruh perubahan nilai tukar mata uang domestik (misalnya rupiah) terhadap mata uang negara lain (misalnya dolar Amerika Serikat). Ada dua risiko yang dihadapi oleh perusahaan yaitu risiko sistematis (systematic risk) dan risiko tidak sistematis (unsystematic risk). Risiko tidak sistematis merupakan risiko yang dapat didiversifikasi, sebaliknya risiko sistematis merupakan risiko yang tidak dapat didiversifikasi. 4. Analisis Investasi Saham Dalam konteks teori untuk melakukan analisis dan memilih saham terdapat dua pendekatan dasar yakni : a. Analisis Teknikal Analisis ini merupakan upaya untuk memperkirakan harga saham (kondisi pasar) dengan mengamati perubahan harga saham tersebut (kondisi pasar) di waktu yang lalu (Suad, 2009). Menurut Eduardus (2010:392), analisis teknikal merupakan teknik untuk memprediksi arah pergerakan harga saham dan indikator pasar saham lainnya berdasarkan pada data pasar historis seperti informasi harga dan volume. Model analisis teknikal lebih menekankan pada tingkah laku pemodal di masa yang akan datang berdasarkan kebiasaan di masa lalu. Didalam analisis teknikal, informasi tentang harga dan 12
volume perdagangan merupakan alat utama untuk analisis. Analisis teknikal pada dasarnya merupakan upaya untuk menentukan kapan akan membeli atau menjual saham dengan memanfaatkan indikator-indikator teknis ataupun menggunakan analisis grafis. b. Analisis Fundamental Analisis ini merupakan upaya untuk memperkirakan harga saham dimasa yang akan datang dengan mengestimasi nilai faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi harga saham di masa yang akan datang dan menerapkan hubungan variabel-variabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga saham (Suad, 2009). Analisis fundamental lebih menekankan pada penentuan nilai intrinsik dari suatu saham. Untuk melakukan analisis yang bersifat fundamental,
maka
perlu
memahami
variabel-variabel
yang
mempengaruhi nilai intrinsik saham. Nilai inilah yang diestimasi oleh investor dan hasil dari estimasi ini dibandingkan dengan nilai pasar sekarang (current market price) sehingga dapat diketahui saham-saham yang overprice maupun yang underprice. Beberapa tahapan analisis untuk melakukan analisis fundamental yaitu : 1) Analisis Ekonomi Analisis ini menyangkut penilaian umum perekonomian dan pengaruh potensialnya terhadap hasil sekuritas. Foster (1986) dalam bukunya Suad (2009) menunjukkan bahwa faktor ekonomi mampu menjelaskan sekitar 17 persen perubahan laba perusahaan. 13
2) Analisis Industri Analisis industri akan memberikan pemahaman tentang sifat dan operasi
dari
suatu
industri
yang
dapat
digunakan
untuk
memperkirakan prospek pertumbuhan industri perusahaan-perusahaan didalamnya serta prestasi saham-sahamnya. 3) Analisis Kondisi Spesifik Perusahaan Analisis
ini
menyangkut
penilaian
keadaan
keuangan
perusahaan. Alat yang digunakan dalam analisis ini yaitu analisis laporan keuangan. B. Saham 1. Pengertian Saham Saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan terhadap suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Wujud saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat tersebut. Porsi kepemilikan ditentukan oleh seberapa besar penyertaan yang ditanamkan di perusahaan (Tjiptono dan Hendy, 2011). Menurut (Kieso et al, 2008), saham (stock) merupakan salah satu instrumen pasar keuangan yang paling popular dan banyak menjadi pilihan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya karena melihat adanya tingkat keuntungan yang cukup menarik. Saham juga dapat diartikan sebagai tanda bukti kepemilikan seseorang atau badan pada suatu perseroan terbatas. Jika suatu saham tercatat di Bursa Efek Indonesia, berarti ada nama 14
pemilik saham yang akan tercantum dalam daftar pemegang saham perseroan. Menurut Fakhruddin dan Sopian (2006:6), saham adalah tanda penyerahan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan. Tujuan berinvestasi tentunya untuk mendapatkan keuntungan, baik capital gain maupun dividen. Namun dalam memprediksi keuntungan perlu diperhitungkan pergerakan saham perusahaan itu sendiri di pasar. Harga saham tidak dapat diprediksi bisa naik dan turun sewaktu-waktu. Saham berwujud selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga tersebut. Dalam praktiknya, terdapat beberapa saham yang diperdagangkan yang dibedakan menurut cara peralihan dan manfaat yang diperoleh bagi pemegang saham. Menurut Sawidji (2009:13), nilai saham terbagi atas tiga jenis, antara lain : 1) Nilai nominal (Par Value) Merupakan nilai yang tercantum dalam sertifikat saham yang bersangkutan, di Indonesia saham yang diterbitkan harus memiliki nilai nominal untuk satu jenis saham yang sama pada suatu perusahaan. 2) Nilai dasar (Base Price) Harga dasar saham ditentukan dari harga perdana (IPO) saat saham tersebut diterbitkan. Harga dasar ini akan berubah sejalan dengan dilakukannya berbagai tindakan emiten yang berhubungan dengan saham antara lain : right issue, stock split, warant dan lain-lain 15
3) Nilai pasar (Market Price) Merupakan harga suatu saham pada pasar yang sedang berlangsung, Jika bursa sudah tutup maka harga pasar saham tersebut adalah harga penutupannya. Jadi harga pasar ini menyatakan naik turunnya suatu saham. Jika harga pasar dikalikan jumlah saham yang diterbitkan, maka didapat market value (nilai pasar). 2. Jenis-Jenis Saham Menurut Tjiptono dan Hendy (2011:6) ada beberapa sudut pandang yang membedakan saham, yaitu : a. Ditinjau dari segi kemampuan dan hak tagih atau klaim, maka saham terbagi atas : 1) Saham Biasa (common stock) Merupakan saham yang memiliki hak klaim berdasarkan laba atau rugi yang diperoleh perusahaan. Bila terjadi likuidasi, pemegang saham biasalah yang mendapatkan prioritas paling akhir dalam pembagian dividen dan penjualan asset perusahaan. Menurut Tjiptono dan Hendy (2011:7), saham biasa memiliki beberapa karakteristik, antara lain : 1. Dividen dibayarkan sepanjang perusahaan memperoleh laba. 2. Memiliki hak suara dalam rapat umum pemegang saham. 3. Memiliki hak terakhir (junior) dalam hal pembagian kekayaan perusahaan jika perusahaan tersebut dilikuidasi (dibubarkan) setelah semua kewajiban perusahaan dilunasi. 16
4. Memiliki tanggung jawab terbatas terhadap klaim pihak lain sebesar proporsi sahamnya. 5. Hak
untuk
memiliki
saham
baru
terlebih
dahulu
(pre
emptive rights). 2) Saham Preferen (preference stock) Menurut Tjiptono dan Hendy (2011:8), saham preferen merupakan saham yang memiliki karakteristik gabungan antara obligasi dan saham biasa, karena bisa menghasilkan pendapatan tetap (seperti bunga obligasi 0 tetapi juga bisa tidak mendatangkan hasil seperti yang dikehendaki investor) karena pemegang saham preferen memiliki hak prioritas diatas pemegang saham biasa terhadap laba dan sisa asset apabila perusahaan tersebut dilikuidasi, maka pemegang saham preferen biasanya tidak diberikan suara dalam manejemen kecuali bila perusahaan tidak dapat membayar dividen saham preferen selama periode tertentu. Menurut Tjiptono dan Hendy (2011:10), ada beberapa karakteristik saham preferen, antara lain adalah sebagai berikut : 1. Memiliki hak lebih dahulu memperoleh dividen 2. Dapat mempengaruhi manajemen perusahaan terutama dalam pencalonan pengurus perusahaan. 3. Memiliki hak pembayaran maksimum sebesar nilai nominal saham lebih dahulu setelah kreditor apabila perusahaan tersebut dilikuidasi 17
4. Kemungkinan dapat memperoleh tambahan dari pembagian laba perusahaan disamping penghasilan yang diterima secara tetap. 5. Dalam hal perusahaan dilikuidasi, memiliki hak memperoleh pembagian kakayaan perusahaan diatas pemegang saham biasa setelah semua kewajiban perusahaan dilunasi. b. Dilihat dari cara peralihannya, menurut Tjiptono dan Hendy (2011:10) saham dapat dibedakan menjadi: 1) Saham atas unjuk (bearer stock) Merupakan
pada
saham
tersebut
tidak
tertulis
nama
pemiliknya, agar mudah dipindahtangankan dari satu investor ke investor lain. 2) Saham atas nama (registered stock) Merupakan saham dengan nama pemilik yang ditulis secara jelas dan cara peralihannya harus melalui prosedur tertentu. c. Ditinjau dari kinerja perdagangan, menurut Tjiptono dan Hendy (2011:11) saham dapat dikategorikan atas : 1) Saham unggulan (blue-chip stock) Yaitu saham biasa dari suatu perusahaan yang memiliki reputasi tinggi, sebagai pemimpin (leader) di industri sejenis, memiliki pendapatan yang stabil dan konsisten dalam membayar dividen.
18
2) Saham pendapatan (income stock) Yaitu saham dari suatu emiten yang memiliki kemampuan membayar dividen lebih tinggi dari rata-rata dividen yang dibayarkan pada tahun sebelumnya. 3) Saham pertumbuhan (growth stock – well – known) Yaitu saham-saham dari emiten yang memiliki pertumbuhan pendapatan yang tinggi, sebagai pemimpin di industri sejenis yang mempunyai reputasi tinggi. 4) Saham spekulatif (speculative stock) Yaitu saham suatu perusahaan yang tidak bias secara konsisten memperoleh penghasilan dari tahun ke tahun akan tetapi memiliki kemungkinan penghasilan yang tinggi di masa mendatang meskipun belum pasti. 5) Saham siklikal (cyclical stock) Yaitu saham yang tidak terpengaruh oleh kondisi ekonomi makro maupun situasi bisnis secara umum. 3. Harga Saham Harga saham yang terjadi dipasar bursa pada saat tertentu yang ditentukan oleh pelaku pasar dan ditentukan oleh permintaan dan penawaran saham yang bersangkutan dipasar modal (Jogiyanto, 2011:8). Menurut Abdul (2005:16), “Harga pasar saham adalah harga jual dari investor yang satu dengan investor lain”. Harga ini terjadi setelah saham tersebut tercatat di bursa. 19
Harga saham sering mengalami fluktuasi, tergantung naik atau turunnya dari satu waktu ke waktu yang lain. Fluktuasi harga tergantung dari kekuatan penawaran dan permintaan. Apabila suatu saham mengalami kelebihan permintaan maka harga saham tersebut akan cenderung naik, demikian pula sebaliknya apabila terjadi kelebihan penawaran maka harga saham cenderung turun (Paramitha, 2009). Menurut Sawidji (2009:46) harga saham dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) : 1. Harga Nominal Harga yang tercantum dalam sertifikat saham yang ditetapkan oleh emiten untuk menilai setiap lembar saham yang dikeluarkan. Besarnya harga nominal memberikan arti penting saham karena deviden minimal biasanya ditetapkan berdasarkan nilai nominal. 2. Harga Perdana Harga ini merupakan pada waktu harga saham tersebut dicatat di bursa efek. Harga saham pada pasar perdana biasanya ditetapkan oleh penjamin emisi (underwriter) dan emiten. Dengan demikian akan diketahui berapa harga saham emiten itu akan dijual kepada masyarakat biasanya untuk menentukan harga perdana. 3. Harga pasar Kalau harga perdana merupakan harga jual dari perjanjian emisi kepada investor, maka harga pasar adalah harga jual dari investor yang satu dengan investor yang lain. Harga ini terjadi setelah saham tersebut 20
dicatatkan di bursa. Transaksi disini tidak lagi melibatkan emiten dari penjamin emisi harga ini yang disebut sebagai harga di pasar sekunder dan harga inilah yang benar-benar mewakili harga perusahaan penerbitnya, karena pada transaksi di pasar sekunder, kecil sekali terjadi negosiasi harga investor dengan perusahaan penerbit. Harga yang setiap hari diumumkan di surat kabar atau media lain adalah harga pasar. Harga saham di pasar modal tidak selalu dalam keadaan tetap melainkan selalu berfluktuatif sesuai dengan sifatnya yang selalu dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran pasar. Naik turunnya harga pasar akan sangat menarik bagi para investor baik individu maupun institusi karena naik turunnya harga saham akan memberikan keuntugan bagi para investor. Pada dasarnya tinggi rendahnya harga saham lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan pembeli dan penjual tentang kondisi internal dan ekternal perusahaan. Hal ini berkaitan dengan analisis sekuritas yang umumnya dilakukan investor sebelum membeli atau menjual saham. Pedoman yang digunakan untuk menentukan harga saham adalah sebagai berikut : a. Apabila nilai intrinsik > harga pasar saat ini maka saham tersebut dinilai harganya terlalu rendah (undervalued) sehingga saham tersebut harus dibeli atau dipertahankan jika sudah dimiliki. b. Apabila nilai intrinsik < harga pasar saat ini, maka saham tersebut dinyatakan harganya terlalu mahal (overvalued). Saham yang dalam kondisi seperti ini harus segera dijual. 21
c. Apabila nilai intrinsik = harga pasar saat ini, maka saham tersebut dinilai wajar harganya dan dinyatakan dalam kondisi keseimbangan. C. Pasar Modal Efisien Fama (1970) telah mengembangkan teori pasar modal efisien. Konsep hipotesis pasar efisien (Effiecient Market Hypothesis) yang dikemukakan Fama menunjukkan adanya perilaku investor di pasar modal berkaitan dengan informasi relevan yang diterima pasar. Fama (1970) mendefinisikan pasar modal yang efisien sebagai pasar yang harga-harga sahamnya telah merefleksikan seluruh informasi yang relevan sehingga harga saham yang terjadi merupakan harga yang benar dan adil (Agus, 2012:2). Menurut (Copeland et al., 2005) dalam Agus (2010:4), efisiensi pasar modal ini memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Tidak ada biaya transaksi baik transaksi pembelian maupun penjualan 2. Tidak ada pajak 3. Pasar bersifat persaingan sempurna, artinya banya pembeli dan penjual 4. Pembeli mapun penjual bertindak sebagai price marker (penentu harga) 5. Baik individu maupun perusahaan memiliki akses yang sama ke pasar modal 6. Informasi yang berhubungan dengan pasar modal tersedia untuk semua pelaku pasar dan mereka memiliki harapan yang sama 7. Tidak ada biaya yang berkaitan dengan financial distress
22
Menurut (Agus, 2012:5), efisiensi pasar modal dapat dibagi menjadi 3 bentuk efisiensi, yaitu : a) Efisiensi bentuk lemah (weak form efficiency). Efisiensi bentuk lemah menujukkan bahwa harga saham di masa yang akan datang tidak dapat diprediksi hanya menggunakan data harga saham yang lalu. Pergerakan harga saham bersifat random (acak) sehingga tidak dapat diprediksi hanya menggunakan data harga historis. Apabila harga saham yang akan datang diprediksi hanya menggunakan data harga saham masa lalu maka pasar modal tersebut belum efisien dalam bentuk lemah b) Efisiensi bentuk setengah kuat (semi strong form efficiency) Efisiensi bentuk setengah kuat menunjukkan bahwa harga saham yang terjadi merefleksikan atas informasi yang dipublikasikan. c) Efisiensi bentuk kuat (strong form efficiency) Efisiensi bentuk kuat menunjukkan bahwa harga saham yang terjadi merefleksikan informasi yang dipublikasikan maupun informasi yang tidak dipublikasikan D. Risiko Sistematis Saham Risiko pasar disebut juga risiko sistematis. Risiko pasar berhubungan erat dengan perubahan harga saham jenis tertentu atau kelompok tertentu yang disebabkan oleh antisipasi investor terhadap perubahan tingkat kembalian yang diharapkan. Untuk mengukur risiko ini dapat digunakan beta (β) yang menjelaskan return saham yang diharapkan. Beta merupakan pengukur yang tepat dari indeks pasar karena risiko suatu sekuritas yang diversifikasikan 23
dengan baik, tergantung pada kepekaan masing-masing saham terhadap perubahan pasar yaitu pada beta saham-saham tersebut (Nirohito, 2009). Besarnya risiko sistematis dapat diukur dengan indeks risiko sistematis yang sering disebut beta saham. Beta saham mengukur sensitivitas pengembalian saham dengan perubahan pengembalian dalam portofolio pasar. Beta portofolio adalah rata-rata tertimbang dari setiap beta saham dalam portofolio tersebut, Francis (1988) dalam Zulkifli (2007). Menurut Jogiyanto (2011), beta merupakan pengukur volatilitas return sekuritas atau return portofolio terhadap pasar. Volatilitas adalah fluktuasi dari return suatu sekuritas atau portofolio dalam suatu periode waktu tertentu. Dengan demikian, beta merupakan pengukur risiko sistematis dari sekuritas atau portofolio relatif terhadap pasar. Beta sebagai ukuran risiko sistematis banyak digunakan sebagai ukuran risiko karena mempunyai dua alasan (Warsono, 2000) dalam Sisca (2010), yakni : 1) Memperbaiki ukuran risiko total yang menggunakan varians dan standar deviasi. Dengan ukuran ini, masalah yang timbul adalah jumlah perhitungan koefisien korelasi yang banyak. 2) Beta relatif cukup stabil sehingga memungkinkan penggunaan data historis sebagai prediktor ukuran beta di masa yang akan datang. 3) Peniilaian Beta saham dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu: a) β lebih kecil dari 1 (β < 1) disebut sebagai saham defensif (defensive stock), karena perubahan tingkat pengembalian saham (return of 24
stock) lebih kecil daripada
yang terjadi di pasar, artinya saham
memiliki return yang kurang berfluktuatif dengan perubahan return pasar. b) β lebih besar dari 1 (β > 1) disebut sebagai saham agresif (agresif stock), karena perubahan tingkat pengembalian stock) lebih besar daripada yang terjadi di
saham (return of
pasar, artinya saham
memiliki return yang berfluktuatif dengan perubahan return pasar. c) β sama dengan 1 (β = 1) disebut sebagai saham netral (neutral stock), karena perubahan tingkat pengembalian saham (return of stock) sama dengan yang terjadi di pasar, artinya saham memiliki return yang bervariasi secara proporsional dengan excess return pasar. Semakin tinggi tingkat beta, semakin tinggi resiko sistematis yang tidak dapat dihilangkan karena diversifikasi. Untuk menghitung Beta digunakan teknik regresi, yaitu mengestimasi beta suatu sekuritas dengan menggunakan return-return sekuritas sebagai. Rumus yang digunakan untuk mencari risiko sistematik (Beta) adalah sebagai berikut :
Dimana: Rm = Return Market IHSG t = Indeks Harga Saham gabungan tahun t IHSG t-1 = Indeks Harga Saham 25
Gabungan tahun t-1 Pi t = Harga saham i tahun t Pi t-1 = Harga saham i tahun t-1
E. Pendekatan Risiko Sistematis Saham Untuk mengukur risiko sistematis dapat digunakan ukuran beta. Beta ini sendiri menunjukkan seberapa besar kepekaan perubahan pendapatan saham terhadap perubahan pasar. Hubungan beta saham dengan tingkat keuntungan yang
diharapkan
dapat
dilihat
dalam
beberapa
pendekatan
dengan
menggunakan teknik regresi yaitu: 1) Single Index Models Single Index Models adalah sebuah teknik untuk mengukur return dan risiko sebuah saham atau portofolio. Model tersebut mengasumsikan bahwa pergerakan return saham hanya berhubungan dengan pergerakan pasar. Jika pasar bergerak naik, dalam arti permintaan saham meningkat maka harga saham di pasar akan naik pula. Sebaliknya, jika pasar bergerak turun maka harga saham akan turun pula. Jadi return saham berkorelasi dengan return pasar. Setiap perusahaan tidak sama dalam merespon perubahan pasar. Ada perusahaan yang sensitif terhadap perubahan pasar, ada pula yang kurang sensitif. (Zubir, 2011:97) Dengan menggunakan data time series regresi linier antara rate of return saham sebagai variabel dependent dan rate of return portofolio 26
pasar sebagai variabel independent dapat menunjukkan beta yang dicari. Hubungan fungsional tersebut dikenal sebagai single index model atau market model. Tandelilin (2010:201) memformulasikan hubungan ini menjadi sebagai berikut : Ri = αi + βi Rm + ei Dimana :
Ri = return sekuritas ke-i, αi = koefisien intercept untuk masing – masing perusahaan ke – i, βi = beta (slope) masing – masing perusahaan ke – I, Rmt = return indeks pasar pada bulan ke – t, ei = random residual eror. Teknik dengan menggunakan single index model ini dilakukan dengan meregres secara sederhana return pasar terhadap return saham. Beta menunjukkan kemiringan garis regresi dan α menunjukkan intercept dengan sumbu Ri. Semakin besar beta maka semakin curam kemiringan garis tersebut yang mana menunjukkan semakin besar risiko yang ditanggung investor. Dalam penelitian ini digunakan perhitungan beta dengan single index model. Hal ini dikarenakan single index model lebih sederhana dan lebih mudah pengaplikasiannya serta lebih mewakili kenyataan sesungguhnya (Jogiyanto : 2011) 2) Capital Asset Pricing Model (CAPM) Beta adalah return yang diharapkan atas asset berhubungan dengan ukuran risiko asset. Hubungan return yang diharapkan dan beta dijelaskan dengan Model Penentuan Harga Aset Kapital (Capital Asset Pricing Model). Salah satu ciri penting CAPM lainnya pada titik keseimbangan 27
(equilibrium) tiap-tiap sekuritas harus memiliki proporsi bukan nol atas komposisi portofolio titik singgung artinya tidak ada sekuritas pada keseimbangan yang memiliki proporsi T yang bernilai nol. Beta pada CAPM memiliki konsep yang sama dengan beta dari model pasar. Namun model pasar bukanlah suatu model keseimbangan dari harga keseimbangan dari harga keseimbangan dari harga sekuritas seperti di CAPM. Selain itu, model pasar menggunakan indeks pasar yang adalah bagian dari portofolio pasar CAPM (Sharpe et al, 2005). CAPM merupakan bagian penting dalam bidang keuangan yang digunakan untuk memprediksi hubungan antara expected return dan risiko suatu asset (Zubir, 2011:98). Model tersebut mempunyai dua fungsi utama, yaitu : a. Sebagai
tolok
ukur
(benchmark)
dalam
mengevaluasi
tingkat
pengembalian (rate of return) suatu investasi. Misalnya, bila kita menganalisis return suatu saham, kita ingin tahu apakah return saham tersebut lebih tinggi, lebih rendah, atau wajar dikaitkan dengan risikonya. b. Membantu dalam menduga atau memprediksi expected return suatu asset yang tidak atau belum diperdagangkan di pasar. Misalnya, berapakah harga saham yang wajar pada waktu dikeluarkan pertama kali (initial public offering) atau bagaimana kita memperkirakan expected return dari equity yang diinvestasikan dalam suatu real asset.
28
Capital Asset Pricing Model merupakan model yang memungkinkan untuk menentukan pengukur risiko, relevan dan bagaimana hubungan untuk risiko setiap asset apabila pasar modal dalam keadaan seimbang. Menurut Suad (2009:170) rumus untuk security market line ini dapat dituliskan sebagai berikut : Ri – Rf = (Rm – Rf) βi atau Ri = Rf + ( Rm – Rf ) βi E(Ri) = expected return sekuritas i Rf
= return aset bebas risiko
Rm
= return portofolio pasar
Βi
= beta sekuritas i Rumus ini dapat menjelaskan bahwa tingkat return dari suatu
saham sama dengan tingkat bunga bebas risiko ditambahkan dengan premi risiko. Security Market Line ini menunjukkan hubungan linear positif bahwa semakin besar beta saham maka semakin besar risiko sistematisnya dan semakin besar return yang diinginkan oleh investor (Elton dan Gruber, 1995) dalam Mir’atul (2013). Model CAPM tidak digunakan dalam penelitian ini dikarenakan terdapat beberapa asumsi dalam penggunaan CAPM yang tidak sesuai dengan kenyataan misalkan seperti diijinkannya short sales, semua investor memiliki pengharapan yang seragam terhadap faktor-faktor input yang digunakan untuk keputusan portofolio, serta tidak adanya inflasi atau pasar modal dalam kondisi ekulibrium (Jogiyanto, 2011).
29
F. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Sistematis Saham 1. Pengaruh Degree of Operating Leverage Terhadap Risiko Sistematis Saham Menurut Weston (2005) operating leverage adalah penggunaan aktiva yang dapat mengakibatkan perusahaan membayar biaya tetap. Penggunaan aktiva tetap ini menimbulkan biaya operasional tetap yang harus dibayar perusahaan yang besarnya tidak berubah, meskipun terjadi perubahan aktivitas operasi perusahaan. Operating leverage menunjukkan prosentase biaya perusahaan yang merupakan biaya tetap. Biaya tetap menjelaskan fluktuasi dari earning before interest tax (EBIT) yang dihasilkan dari perubahan penjualan. DOL merupakan suatu ukuran struktur biaya perusahaan dan pada umumnya ditentukan oleh hubungan antara biaya tetap dan biaya total. Perusahaan dengan biaya tetap yang relatif tinggi dari biaya totalnya memiliki tingkat operating leverage yang tinggi. Pada tingkat DOL yang tinggi, EBIT atau operating income akan lebih sensitif terhadap perubahan penjualan. Tingginya sensitifitas operating income terhadap penjualan akan mengarah pada beta yang lebih tinggi. Jadi perusahaan dengan DOL yang tinggi cenderung memiliki beta yang tinggi (Bram dan Lauw, 2009). Menurut Lukas (2008) untuk menghitung degree of operating leverage (DOL) biasa digunakan rumus : DOL
=
persentase perubahan dalam EBIT persentase perubahan dalam penjualan 30
2. Pengaruh Degree of Financial Leverage Terhadap Risiko Sistematis Saham Perusahaan yang menggunakan sumber dana dengan beban tetap dikatakan bahwa perusahaan mempunyai leverage keuangan (financial leverage). Dimana diharapkan agar terjadi perubahan laba per saham (earnings per share) yang lebih besar daripada perubahan laba sebelum bunga dan pajak (earnings before interest dan taxes). Multiplier effect yang dihasilkan karena penggunaan dana dengan biaya tetap ini disebut dengan tingkat leverage keuangan (degree of financial leverage) (Dermawan, 2007:151). Financial leverage terjadi akibat perusahaan menggunakan sumber dana dari hutang yang menyebabkan perusahaan harus menanggung beban tetap atas penggunaann dana hutang perusahaan setiap tahunnya di bebani biaya bunga. Financial leverage mengukur pengaruh perubahan keuntungan operasi (EBIT) terhadap perubahan pendapatan bagi pemegang saham (EAT) yang mempengaruhi pendapatan pemilik adalah besarnya EBIT yang di terima dan struktur modal yang dipunyai (Lukas, 2003). Semakin tinggi DFL suatu perusahaan cenderung akan semakin tinggi beta perusahaan tersebut (Bram dan Lauw, 2009). Ukuran tingkat leverage keuangan adalah Degree of Financial Leverage (DFL) biasanya digunakan rumus : DFL
= Persentase perubahan EPS Persentase perubahan EBIT
31
3. Pengaruh Ukuran Perusahaan (Firm Size) Terhadap Risiko Sistematis Saham Size sebagai ukuran perusahaan yang membedakan perusahaan kecil dengan perusahaan besar. Size suatu perusahaan dapat dilihat dari nilai penjualan, modal, ataupun total asset. Semakin besar asset, modal yang ditanam, serta nilai penjualan suatu perusahaan, maka semakin banyak pula aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan, hal ini turut membuat nama perusahaan dikenal dalam masyarakat. Perusahaan yang melakukan aktivitas lebih banyak, akan menimbulkan dampak yang lebih besar terhadap lingkungan. Ukuran perusahaan merupakan karakteristik suatu perusahaan dalam hubungannya dengan struktur perusahaan (Brigham dan Housten, 2001). Dalam penelitian ini digunakan total aset untuk memproksikan ukuran perusahaan karena aset memiliki nilai distribusi yang besar agar ukuran perusahaan menjadi normal maka perlu dinormalisasi menggunakan logaritma, sehingga penentuan size (ukuran perusahaan) dapat dituliskan sebagai berikut :
Ukuran perusahaan = log (total asset) Ukuran perusahaan dianggap mampu mempengaruhi nilai perusahaan. Karena semakin besar ukuran atau skala perusahaan maka akan semakin mudah pula perusahaan memperoleh sumber pendanaan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Sehingga makin baik kondisi perusahaan akan makin besar peluang untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. 32
Makin besar keuntungan, berarti makin kecil risiko kegagalan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya, oleh karena itumaka risiko yang akan ditanggung oleh pemegang saham makin rendah. Dalam penelitian yang dilakukan Lisa (2007), firm size ini diprediksi mempunyai pengaruh yang negatif terhadap risiko sistematis. 4. Pengaruh Earning Per Share (EPS) Terhadap Risiko Sistematis Saham Laba per lembar saham (EPS) adalah laba bersih untuk satu tahun dibagi dengan jumlah rata-rata lembar saham yang beredar selama setahun. EPS biasanya dilaporkan dalam laporan laba rugi dalam laporan tahunan perusahaan. Laba per saham dasar dihitung dengan membagi laba bersih dengan jumlah saham yang beredar. Jika saham biasa dan saham preferen beredar, laba bersih yang pertama dikurangi dengan jumlah keperluan dividen saham preferen (Reeve et al, 2008). Biasanya rasio ini digunakan untuk mengukur seberapa besar tiap lembar pemiliknya. Earnings per share dirumuskan dengan perbandingan antara laba siap bagi dengan total lembar saham. Jika rasio yang didapat rendah berarti perusahaan tidak menghasilkan kinerja yang baik dengan memperhatikan laba. Laba yang rendah karena penjualan yang tidak lancar atau berbiaya tinggi. Jika rasio yang di dapat tinggi berarti perusahaan dapat dikatakan sudah mapan (Sofyan, 2007). Perusahaan yang memiliki nilai EPS besar diharapkan akan memberi keuntungan yang besar pula bagi para investor. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 33
Laba bersih EPS
= Saham biasa yang beredar Jika pada perusahaan tersebut terdapat saham preferen yang beredar,
maka rumusnya akan berbeda sebagai berikut : Laba bersih – Dividen saham preferen EPS
= Saham biasa yang beredar
G. Penelitian Terdahulu Penelitian Beaver, Kettler, Scholes (1970) yang berjudul
The
Relationship Between Market and Accounting Determined Risk Measure. Hasil pengujiannya menunjukkan bahwa leverage, accounting beta, earning variability, asset growth dan asset size mempunyai hubungan positif dengan beta, sedangkan dua variabel lainnya yakni dividend payout dan liquidity mempunyai hubungan negatif dengan beta saham Gahlon dan Gentry (1982) menguji hubungan antara risiko sistematis dengan degrees of operating dan financial leverage. Dalam penelitiannya sumber-sumber risiko sistematis yaitu variabilitas pendapatan, leverage operasional, leverage keuangan dan tingkat sensitifitas arus kas perusahaan untuk perkembangan lingkungan ekonomi dan keuangan. Chiou dan Su (2007) yang menguji hubungan antara risiko sistematis Chiou dan Su (2007) dengan variabel akuntansi. Pengujian dengan analisis skenario membuktikan bahwa jika dampak dari penggabungan antara book value saat ini, dividen dan laba terhadap harga saham positif (negatif) maka 34
degree total leverage yang diukur sebagai produk degrees of operating dan financial leverage memiliki dampak positif dan negatif terhadap risiko sistematis. Kheder (2011), variabel yang digunakan dalam penelitiannya yaitu financial leverage, capital structure, systematic risk, operating leverage, EPS dan EBIT. Pengukuran beta saham menggunakan CAPM. Hasil penelitiannya yaitu hanya financial leverage yang berpengaruh terhadap risiko sistematis. Selanjutnya penelitian tentang risiko sistematis, Lisa (2007) melakukan penelitian mengenai pengaruh variabel fundamental terhadap risiko sistematis. Pengujian dilakukan dengan analisis regresi berganda yang menghasilkan bahwa operating leverage, firm size dan profitabilitas berpengaruh terhadap risiko sistematis (beta). Zubaidi (2006) meneliti faktor-faktor fundamental keuangan yang mempengaruhi risiko saham. Hasil dari penelitiannya bahwa DER, ROE, EPS, PER dan OPM berpengaruh terhadap risiko sistematis. Hal ini terjadi karena banyak perusahaan yang memiliki tingkat DER tinggi sementara tingkat ROEnya rendah. Pada masa krisis diduga banyak perusahaan yang memiliki tingkat EPS yang rendah karena kemampuan menghasilkan laba yang rendah. Menurut penelitian Bram dan Law (2009) mengenai pengaruh leverage operasi, leverage keuangan dan karakteristik perusahaan terhadap risiko sistematis saham sektor pertambangan. Hasilnya menyatakan bahwa leverage operasi dan leverage keuangan tidak berdampak pada risiko yang sistematis. Karakteristik perusahaan memiliki pengaruh pada risiko yang sistematis. 35
Penelitian Enni dan Andra (2012) mengenai pengaruh ratio leverage terhadap risiko pasar pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa Degree of Operating Leverage (DOL) dan Degree of Financial Leverage (DFL) tidak berpengaruh terhadap risiko sistematis. Ria dkk (2013) meneliti tentang operating leverage, firm size dan dividen payout ratio terhadap risiko sistematis saham. Pengujian menggunakan model structural equation modeling (SEM). Hasil penelitiannya bahwa hanya firm size yang berpengaruh terhadap risiko sistematis saham. Heryanto dkk (2013) meneliti pengaruh pertumbuhan penjualan, ukuran perusahaan dan Earnings Per Share terhadap beta saham perusahaan konsumsi yang terdaftar di BEI tahun 2008-2010. Pengujiannya menggunakan analisis linear berganda dan menghasilkan bahwa penjualan dan Earnings Per Share memiliki pengaruh yang signifikan terhadap beta saham. Berdasarkan uraian penelitian terdahulu maka ringkasannya terdapat dalam lampiran 1.
36