perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori 1.
Tinjauan tentang Perceraian a.
Pengertian Perceraian Perceraian sering diartikan oleh masyarakat luas adalah suatu kegagalan yang terjadi di rumah tangga. Dimana kegagalan tersebut pasti memiliki alasan yang kuat sehingga bagi pasangan suami istri tersebut perceraian atau berpisah adalah jalan terbaik dalam penyelesaian masalah. Menurut Dariyo (2003: 160), perceraian merupakan titik puncak dari pengumpulan berbagai permasalahan yang menumpuk beberapa waktu sebelumnya dan jalan terakhir yang harus ditempuh ketika hubungan perkawinan itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Sesungguhnya perceraian bukanlah jalan terbaik dalam menyelesaikan suatu masalah, dimana setelah perceraian itu justru banyak dampak yang terjadi baik negatif maupun positif. Mereka para pasangan suami istri tidak memikirkan akibat yang terjadi setelah perceraian tersebut, karena sebenarnya rumah tangga itu hanya tidak sebatas status antara pasangan suami dan istri saja. Perceraian adalah berakhirnya status perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian dan atas keputusan pengadilan (Mulyadi, 2008: 67). Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku. Adapun beberapa hal yang dapat menyebabkan putusnya perkawinan berdasarkan Pasal 38 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan : commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
1) Karena kematian salah satu pihak 2) Karena perceraian 3) Atas keputusan pengadilan Putusnya perkawinan karena perceraian bukanlah suatu hal yang mutlak terjadi karena dapat diatasi agar tidak terjadi perceraian. Penjelasan umum dari Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa : “Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian,…” Salah satu hal yang sering terjadi adalah perceraian, dimana hal itu sudah tidak lagi menjadi hal yang tabu bagi masyarakat Indonesia untuk sekarang ini. Perceraian dianggap sebagai salah satu jalan menyelesaikan masalah rumah tangga. Walaupun sebenarnya perceraian bukanlah satu – satunya jalan untuk menyelesaikan masalah. Perkawinan yang putus karena cerai hanya dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perceraian oleh satu pihak baik suami maupun isteri (Basiq Djalil,
2006:
115).
Namun
Pengadilan
tetap
berusaha
untuk
mendamaikan kedua belah pihak sebelum memberikan keputusan. Jika perdamaian
tidak
berhasil
maka
Pengadilan
akan
melakukan
pemeriksaan guna mengetahui adakah cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup bersama dengan rukun sebagai suami-isteri. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian, karena perceraian akan membawa akibat buruk bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan maksud untuk mempersukar terjadinya perceraian maka ditentukan bahwa melakukan perceraian harus ada cukup alasan bagi suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri (Sudarsono, 1991: 307). commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
Pasal 63 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta Pasal 1 huruf b dan c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan Pengadilan ialah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam. Sedang yang dimaksud dengan cukup alasan ialah alasan-alasan perceraian yang telah diatur dan ditentukan oleh peraturan perundangan undangan. Perceraian yang dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam, permohonan/gugatan diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya,
kedudukan
masing-masing
adalah
sebagai
pihak
Pemohon/Termohon, atau sebagai Pihak Penggugat/Tergugat (Basiq Djalil, 2006: 143). Lebih jelasnya hal tersebut diuraikan di dalam Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam, bahwa : “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.” Berakhirnya perkawinan dalam keadaan suami dan isteri masih hidup (perceraian) dapat terjadi atas kehendak suami, dapat terjadi atas kehendak isteri dan terjadi di luar kehendak suami isteri. Menurut hukum Islam, berakhirnya perkawinan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak suami dapat terjadi melalui apa yang disebut talak, dapat terjadi melalui apa yang disebut ila' dan dapat pula terjadi melalui apa yang disebut li'an, serta dapat terjadi melalui apa yang disebut zihar (Zahry Hamid, 1978:73). Berakhirnya perkawinan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak isteri dapat terjadi melalui apa yang disebut khiyar aib, dapat terjadi melalui apa yang disebut khulu' dan dapat terjadi melalui apa yang disebut rafa' (pengaduan). Berakhirnya perkawinan di luar kehendak suami dapat terjadi atas inisiatif atau oleh sebab kehendak hakam, dapat terjadi oleh sebab kehendak hukum dan dapat pula terjadi oleh sebab user 1978:73). matinya suami atau istericommit (Zahry to Hamid,
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
Dari Pasal tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa cerai itu ada 2 (dua) macam yaitu : 1) Cerai Talak Cerai talak adalah suatu permohonan perceraian yang diajukan oleh pihak suami dengan tata cara yang ditentukan oleh Pasal 66 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 2) Cerai Gugat Cerai gugat adalah gugatan perceraian dari pihak isteri dengan alasan sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Kompilasi hukum Islam yang tata caranya diatur didalam Pasal 73 Undang-Undang nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. b. Alasan Perceraian Undang-Undang tidak membolehkan perceraian dengan dasar permufakatan atau persetujuan semata antara suami dan isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian ialah : 1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, dan lain sebagainya sehingga sukar disembuhkan 2) Salah satu pihak meninggalkan yang selama dua tahun berturut – turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena diluar kemampuannya 3) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara selama 5 tahun atau hukuman yang lebih berat selama perkawinan berlangsung 4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
5) Salah satu pihak memiliki cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suamiisteri 6) Antara
suami-isteri
terus-menerus
terjadi
perselisihan
dan
pertengkaran dan tidak ada lagi harapan untuk dapat rukun dalam rumah tangga Selain itu, ketentuan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan alasan lainnya yang dapat dijadikan dasar bagi perceraian, yakni : 1) Suami melanggar taklik talak; 2) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Adapun menurut Pasal 208 BW, perceraian hanya dapat berdasarkan empat macam alasan yaitu : 1) Berzina dengan orang ketiga; 2) Salah satu pihak telah meninggalkan pihak lain; 3) Adanya hukuman pidana dengan hukuman kurungan / penjara selama lima tahun atau lebih yang dijatuhkan selama pernikahan berlangsung; 4) Adanya perilaku tidak menyenangkan seperti penganiayaan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya yang dikhawatirkan merupakan tindakan yang berbahaya dan dianggap bisa terjadi kematian terhadap orang yang dianiaya. c.
Sebab Perceraian Menurut Zahry Hamid (1978: 73) ada beberapa hal yang dapat menyebabkan putusnya perkawinan antara lain :
1) Talak commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
Talak adalah melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan antara suami istri dalam waktu tertentu atau selamanya. Adapun beberapa macam talak yaitu : a) Talak raj‟i adalah talak di mana suami boleh merujuk isterinya pada waktu iddah. Talak raj‟i ialah talak satu atau talak dua yang tidak disertai uang „iwald dari pihak isteri. b) Talak ba‟in, ialah talak satu atau talak dua yang disertai uang „iwald dari pihak isteri, talak ba‟in seperti ini disebut talak ba‟in kecil. Pada talak ba‟in kecil suami tidak boleh merujuk kembali isterinya dala masa iddah. Kalau si suami hendak mengambil bekas isterinya kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan melaksanakan akad-nikah. Di samping talak ba‟in kecil, ada talak ba‟in besar, ialah talak yang ketiga dari talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami. Talak ba‟in besar ini mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali isterinya baik dalam masa „iddah maupun sesudah masa „iddah habis. c) Talak sunni, ialah talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Yang termasuk talak sunni ialah talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri dan talak yang dijatuhkan pada saat isteri sedang hamil. Sepakat para ahli Fiqh, hukumnya talak suami adalah halal. d) Talak bid‟i, ialah talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-Quran maupun Sunnah Rasul. Talak ini dijatuhi ketika isteri sedang dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri (disetubuhi) talak seperti ini hukumnya haram.
2) Khuluk
commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu. Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya disebut juga dengan kata “iwald”. 3) Syiqaq Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri. Syiqaq juga berarti konflik antar suami isteri yang tidak dapat didamaikan lagi. 4) Fasakh Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama. Biasanya yang menuntut fasakh di Pengadilan adalah isteri. Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di pengadilan: a) Suami sakit gila. b) Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat sembuh. c) Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin. d) Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isterinya. e) Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau commit to user kedudukan suami.
18
perpustakaan.uns.ac.id
f)
digilib.uns.ac.id 19
Suami pergi tanpa diketahui tempat-tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama (Soemiyati, 1986: 114).
5) Taklik Talak Arti daripada ta‟lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta‟lik talak ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu. 6) Ila’ Arti daripada ila‟ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila‟ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan. 7) Zhihar Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila‟. Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Karena kalimat zhihar (punggung) adalah ungkapan sebagian yang dimaksudkan untuk seluruhnya. Maka, menyamakan istri dengan tangan, rambut, betis dan anggota tubuh lain dari ibu merupakan bentuk zhihar. Suami yang telah menzhihar istrinya haram menyetubuhi istrinya sebelum dia membayar kifarat atau denda (Saif Muhammad Al-Amrin, 2010). 8) Li’an commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
Arti li‟an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya. 9) Kematian Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau isteri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan yang meninggal. Walaupun dengan kematian suami tidak dimungkinkan hubungan mereka disambung lagi, namun bagi isteri yang kematian suami tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si isteri harus menunggu masa iddahnya habis yang lamanya empat bulan sepuluh hari. d. Akibat Perceraian Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa perceraian sesungguhnya membawa dampak yang bisa dikatakan serius. Karena banyak hal yang terjadi setelah perceraian terjadi dan sesungguhnya dampak tersebut membawa pengaruh buruk dan merugikan beberapa pihak. Setidaknya ada 3 hal dampak dari perceraian yaitu : 1) Akibat perceraian terhadap suami istri Secara tidak langsung dengan adanya perceraian maka hubungan antara suami isteri juga putus. Dalam hal ini akibat perkawinan yang putus karena talak ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan itu merupakan suatu hal yang wajib bagi bekas suami, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam. Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a) memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul; commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
b) memberi nafkah, maskah dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba‟in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; c) melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; d) memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun Dalam perceraian perkawinan itu membolehkan rujuk menurut ketentuan-ketentuan hukum agama Islam usaha rujuk suami kepada istrinya dapat dilakukan (Kamal Mukhtar, 1993: 87). Akan tetapi menurut Pasal 41 ayat (3), Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. 2) Akibat Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Pasal 37 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam penjelasan Pasal 37 tersebut, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum Agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya. 3) Akibat Perceraian terhadap anak Menurut Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberikan keputusan. Dan bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak itu, bilamana bapak dalam kenyataanya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan commitibu to user dapat menentukan bahwa dapat ikut memikul biaya tersebut.
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
Disamping itu Pengadilan dapat pula memberikan keputusan tentang siapa diantara mereka yang menguasai anak yang memelihara dan mendidiknya, apabila ada perselisihan diantara keduanya. Keputusan pengadilan dalam hal ini tentu didasarkan kepentingan anak. Dalam Kompilasi Hukum Islam setidaknya ada dua Pasal yang menentukan pengasuhan anak yaitu Pasal 105 dan 156. Pasal 105 menentukan tentang pengasuhan anak pada dua keadaan. Pertama ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun) pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya. Kedua ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih diasuh oleh ayah atau ibunya. Adapun Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang pengasuhan anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan yang berhak mengasuh anak. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah: a.
Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh: 1) Ayah; 2) Wanita – wanita garis lurus keatas dari ibu; 3) Wanita – wanita garis lurus keatas dari ayah; 4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5) Wanita – wanita kerabat menurut garis ke samping dari ibu; 6) Wanita – wanita kerabat menurut garis ke samping dari ayah;
b.
Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau dari ibunya.
c.
Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat commit to user Agama dapat memindahkan hak yang bersangkutan Pengadilan
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah juga; d.
Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurusi diri sendiri (21 tahun);
e.
Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama yang memberikan putusan yaitu berdasarkan hal tersebut diatas;
f.
Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang turut padanya. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ayah dan ibu tetap
bertanggung jawab terhadap anak dari hasil perkawinan itu walaupun mereka sudah berpisah secara hukum. Keseimbangan tanggungjawab dapat dilihat dari pihak ibu yang bertanggungjawab atas pemeliharaan dan bapak pada pembiayaan yang diperlukan si anak. Tetapi bisa saja terjadi semua tanggungjawab tersebut berada dalam pihak ayah, atau bahkan sebaliknya, kedua tanggung jawab itu berada di pihak ibu dalam hal kenyataannya ayah tidak mampu dalam pemberian biaya yang di perlukan anak hingga dewasa.
2.
Tinjauan tentang Hak Asuh (Hadhanah) a.
Pengertian Hak Asuh (Hadhanah) Hadhanah berasal dari kata “hidhan” yang berarti lambang. Seperti kata hadhanah atl-thaairu baidhahu „burung itu mengapit telur di bawah sayapnya‟. Begitu pula seorang perempuan (ibu) yang mengapit anaknya. Rahman Ghazaly mengatakan hadhanah menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, commit to user seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya,
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu” (Ghazaly Rahman, 2004: 175). Para ulama‟ fiqih mendefinisikan hadhanah, yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki ataupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah memberikan aturan mengenai pemeliharaan anak tersebut yang terjadi akibat putusnya perkawinan di dalam Pasal 41. Dalam Pasal tersebut terlihat jelas perbedaan antara tanggungjawab seorang ayah dan ibu. Dimana tanggungjawab untuk seorang ayah yang bersifat material dan untuk seorang ibu bersifat pengasuhan. Dari pengertian-pengertian hadhanah tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hadhanah itu mencakup aspek-aspek : a)
Pendidikan
b) Pencukupannya kebutuhan c)
Usia (yaitu bahwa hadhanah itu diberikan kepada anak sampai usia tertentu). Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan
secara lebih rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya. Sedangkan pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Jadi dengan adanya perceraian, commit to mumayyiz user hadhanah bagi anak yang belum dilaksanakan oleh ibunya,
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap dipikulkan kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka telah berpisah secara hukum. b. Syarat – syarat Hadhanah. Masalah yang paling pokok sebenernya adalah syarat agar dapat menjadikan pengasuh anak tersebut. Karena pengasuh anak tersebut yang akan mempengaruhi tumbuh kembangnya seorang anak. Jadi seorang pengasuh anak tersebut haruslah memiliki syarat tertentu, dan jika orang tersebut tidak memiliki persyaratan tersebut maka orang itu dilarang mengasuh anak tersebut atau dapat dikatakan hak asuh tersebut hilang. Syarat tersebut antara lain : 1) Berakal sehat, Orang yang tidak sehat akalnya tidak ada hak untuk memeliharanya karena orang gila tidak sanggup memelihara dirinya sendiri, apalagi memelihara orang lain sudah tentu tidak bisa; 2) Sudah dewasa (akil baligh), Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu karena bila mereka masih anak kecil, ia sendiri membutuhkan perawatan orang lain; 3) Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh para ulama, karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan Islam atau kafir dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya; 4) Mampu mendidik dan memiliki keahlian, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu dan hal-hal lain yang dapat membahayakan atau anak disia-siakan maka tidak berhak mengasuh anak; 5) Ibunya belum kawin lagi, Perempuan yang bersuami akan disibukkan dengan urusan suami sehingga tidak dapat memelihara anak dengan baik; 6) Amanah dan berbudi luhur, orang yang curang tidak aman bagi anak yang diasuhnya, bukan tidak jarang seorang anak meniru kelakuan commit to user orang yang curang dalam kehidupannya;
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
7) Merdeka atau bukan budak, Budak tidak berhak memelihara anak, meskipun tuannya mengizinkan, sebab budak dikuasai tuannya; (Abdul Manan, 2005: 426-427).
commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
B. Kerangka Pemikiran Putusan Perceraian Nomor 0635/Pdt.G/2011/PA.Ska
Akibat Hukum Terjadinya Perceraian
Akibat Hukum
Akibat Hukum
Akibat Hukum
terhada
terhada
terhada
p
p Harta
p Anak
Suami
Benda
Gugatan
Istri Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara mengenai Hak Asuh Anak akibat Perceraian yang Terjadi Putusan Pengadilan Agama Surakarta Nomor : 0808/Pdt.G/2011/Pa.Ska
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran tersebut untuk menjelaskan alur berpikir penulis dalam menyusun penelitian hukum ini. Dimana diawali dari suatu perkawinan yang sah menurut hukum dan agama. Kemudian muncul beberapa masalah dalam rumah tangga dan salah satunya tidak dapat diselamatkan lagi sehingga memutuskan untuk melakukan perceraian. Setelah
resmi
bercerai
menurut
Putusan
Pengadilan
Nomor
0635/Pdt.G/2011/PA.Ska munculah akibat hukum dari perceraian tersebut, antara lain akibat hukum terhadap commit toanak. user Penulis mengambil perkara yang
27
perpustakaan.uns.ac.id
terdapat
digilib.uns.ac.id 28
dalam
Putusan
Pengadilan
Agama
Surakarta
Nomor
0808/Pdt.G/2011/PA.Ska yang merupakan perkara mengenai perebutan hak asuh anak akibat perceraian yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam perkaranya tersebut bahwa penggugat meminta atau menuntut agar hak asuh anaknya dikembalikan kepada dirinya sebagaimana sebelumnya dalam perceraian telah dijelaskan bahwa hak asuh anak jatuh ke tangan Penggugat. Akan tetapi seiring berjalannya waktu anak dari Penggugat tersebut justru dibawa lari ayahnya dalam hal ini disebut Tergugat seperti yang dituturkan oleh Penggugat dalam surat Gugatannya. Segala fakta yang ada yang ditemukan dalam persidangan akan menjadi pertimbangan hukum oleh hakim yang mengadili perkara tersebut. Berdasarkan pertimbangan dari para hakim, maka akan diperoleh putusan yang seadil-adilnya.
commit to user
28