BAB II LANDASAN TEORI
II.1 Pengertian Laporan Keuangan Munawir (2004:5) mendefinisikan sebagai berikut pengertian dari laporan keuangan sebagai berikut: ”Laporan keuangan adalah dua daftar yang disusun oleh akuntan pada akhir periode untuk suatu perusahaan. Kedua daftar itu adalah daftar neraca atau daftar posisi keuangan dan daftar pendapatan atau daftar laba rugi. Pada waktu akhir–akhir ini sudah menjadi kebiasaan bagi perseroan-perseroan untuk menambahkan daftar ketiga yaitu daftar surplus atau daftar laba yang tidak dibagikan (laba yang ditahan).” Menurut Sugiyarso (2006:1), laporan keuangan merupakan daftar ringkasan akhir transaksi keuangan organisasi yang menunjukkan kegiatan operasional organisasi dan akibatnya selama tahun buku yang bersangkutan. Sedangkan menurut Lontoh dan Lindrawati (2004:1), laporan keuangan merupakan media komunikasi yang digunakan untuk menghubungkan pihak–pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Dengan kata lain, laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai sarana pertanggung jawaban apa yang telah dilakukan manajer atas sumber daya pemilik.
II.2 Tujuan Laporan Keuangan Tujuan laporan keuangan adalah sebagai penyedia informasi bagi semua pihak yang memiliki kepentingan dalam perusahaan tersebut (stakeholders) dan sebagai alat pertanggungjawaban manajemen kepada pihak yang menanamkan dananya di perusahaan (investor). Tujuan laporan keuangan yang tertuang di dalam PSAK No.1 8
adalah untuk memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja, dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan keuangan dalam
rangka
membuat
keputusan-keputusan
ekonomi
serta
menunjukkan
pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.
II.3 Bentuk-bentuk Laporan Keuangan Pada umumnya bentuk-bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan terdiri dari laporan atas posisi keuangan, laporan laba rugi, laporan aliran kas, laporan perubahan ekuitas, dan catatan atas laporan keuangan. II.3.1 Laporan atas Posisi Keuangan Laporan atas posisi keuangan menampilkan sumber daya ekonomis (harta), kewajiban ekonomis (hutang), modal saham, dan hubungan antar item tersebut. Laporan atas posisi keuangan tidak memberikan informasi nilai perusahaan secara langsung, tetapi informasi tersebut bisa dilihat dengan data yang tertulis pada laporan atas posisi keuangan dengan bentuk laporan keuangan yang lain. Laporan atas posisi keuangan dimaksudkan membantu pihak eksternal untuk menganilisis likuiditas perusahaan, fleksibilitas keuangan, kemampuan operasional dan kemampuan menghasilkan pendapatan selama periode tertentu. II.3.2 Laporan Laba Rugi Laporan laba rugi meringkaskan hasil dari kegiatan perusahaan selama periode akuntansi tertentu. Laporan keuangan diharapkan bisa memberikan informasi yang
9
berkaitan dengan tingkat keuntungan (Return on Investment), risiko, fleksibilitas keuangan, dan kemampuan operasional perusahaan. Elemen pokok dari laporan laba rugi terdiri dari pendapatan operasional, beban operasional, dan untung atau rugi. II.3.3 Laporan Aliran Kas Laporan aliran kas memberikan informasi mengenai penerimaan dan pembayaran kas perusahaan selama periode tertentu, disamping itu laporan alian kas memberikan informasi mengenai efek kas dari kegiatan investasi (investing activities), pendanaan (financing activities), dan operasi perusahaan (operating activities) selama periode tertentu. II.3.4 Laporan Perubahan Ekuitas Mengacu pada penjelasan IAI (2004) tentang laporan perubahan ekuitas, maka laporan perubahan ekuitas menggambarkan peningkatan atau penurunan aktiva bersih atau kekayaan selama periode bersangkutan berdasarkan prinsip pengukuran tertentu yang dianut dan harus diungkapkan dalam laporan keuangan II.3.5 Catatan atas Laporan Keuangan Mengacu pada penjelasan IAI (2004) tentang catatan atas laporan keuangan, maka isi dari catatan atas laporan keuangan adalah penjelasan umum tentang perusahaan, kebijakan akuntansi yang dianut dan penjelasan tiap-tiap akun laporan atas posisi keuangan dan laba rugi. Catatan atas laporan keuangan harus disajikan secara sistematis dimana setiap pos dalam laporan atas posisi keuangan, laporan laba rugi dan laporan arus kas harus berkaitan dengan informasi yang terdapat dalam catatan atas laporan keuangan
10
II.4 Pengertian Analisis Laporan Keuangan Analisis Laporan Keuangan terdiri dari dua kata yaitu analisis dan laporan keuangan. Untuk menjelaskan pengertian kata ini, kita dapat menjelaskan dari arti masing-masing kata. Kata analisis adalah memecahkan atau menguraikan sesuatu unit menjadi berbagai unit terkecil. Sedangkan laporan keuangan adalah laporan yang dibuat oleh perusahaan pada tiap akhir periode dimana laporan tersebut digunakan oleh pihakpihak yang berkepentingan pada perusahaan tersebut (stakeholders). Kalau dua pengertian ini digabungkan, maka analisis laporan keuangan berarti menguraikan pospos laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil dan melihat hubungannya yang bersifat signifikan atau yang mempunyai makna antara satu dengan yang lain antara data kuantitatif maupun non kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui kondisi keuangan lebih dalam yang sangat penting dalam proses menghasilkan keputusan yang tepat. (Syafri H, 2002) memberikan definisi analisis laporan keuangan sebagai berikut : ”Analisis laporan keuangan adalah suatu proses penguraian pos-pos laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil sehingga dapat dipahami dengan tujuan mengetahui kondisi keuangan dalam proses pengambilan keputusan.” Analisis laporan keuangan sangat membantu manajemen dalam menilai kinerja perusahaannya sehingga dapat mengambil keputusan lebih lanjut baik itu dalam hal investasi, ekspansi, ataupun pendanaan perusahaan. Di lain pihak analisis laporan keuangan juga membantu investor yang ingin menanamkan dananya ke dalam perusahaan. Analisis laporan keuangan yang dilakukan dimaksudkan untuk menambah
11
informasi yang ada dalam suatu laporan keuangan. Secara lengkap kegunaan analisis laporan keuangan ini dapat dikemukakan sebagai berikut: 1.Dapat memberikan informasi yang diinginkan oleh para pengambil keputusan. Dengan perkataan lain apa yang dimaksudkan dari suatu laporan keuangan merupakan tujuan analisis laporan keuangan juga antara lain: a.Dapat menilai prestasi perusahaan b.Dapat meproyeksi keuangan perusahaan c.Dapat menilai kondisi keuangan masa lalu dan masa sekarang dari aspek waktu tertentu: -Posisi keuangan (asset, laporan atas posisi keuangan dan modal) -Hasil usaha perusahaan (hasil dan biaya) -Likuiditas -Solvabilitas -Aktivitas -Rentabilitas dan profitabilitas -Indikator pasar modal d.Menilai perkembangan dari waktu ke waktu e.Menilai komposisi struktur keuangan, arus dana 2.Dapat menentukan peringkat (rating) perusahaan menurut criteria tertentu yang sudah dikenal dalam dunia bisnis 3.Dapat membandingkan situasi perusahaan dengan perusahaan lain dengan periode sebelumnya atau dengan standar industri normal atau standar ideal.
12
4.Dapat memahami situasi dan kondisi keuangan yang dialami perusahaan, baik posisi keuangan, hasil usaha, struktur keuangan dan sebagainya. Dapat juga memprediksi potensi apa yang mungkin dialami perusahaan di masa yang akan datang.
II.5 Jenis-jenis Analisis Rasio Analisis rasio merupakan suatu teknik analisa yang dalam banyak hal mampu memberikan petunjuk atau indikator dan gejala-gejala yang timbul di sekitar kondisi yang melingkupinya. Penelitian dapat menggunakan rasio-rasio keuangan yaitu penelitian-penelitian yang berkaitan dengan manfaat laporan keuangan untuk tujuan memprediksikan kinerja perusahaan seperti kebangkrutan dan financial distress. Empat (4) hal yang mendorong analisis laporan keuangan dilakukan dengan model rasio keuangan (Foster, 1986) yaitu: 1.Untuk mengendalikan pengaruh perbedaan besaran antar perusahaan atau antar waktu. 2.Untuk membuat data menjadi lebih memenuhi asumsi alat statistik yang digunakan 3.Untuk menginvestigasi teori yang terkait dengan dengan rasio keuangan 4.Untuk mengkaji hubungan empirik antara rasio keuangan dan estimasi atau prediksi variabel tertentu (seperti kebangkrutan atau financial distress). Terdapat beberapa indikator atau sumber informasi mengenai kemungkinan dari kesulitan keuangan (Foster, 1986), indikator atau sumber informasi tersebut adalah: ”(1) Analisis arus kas untuk periode sekarang dan yang akan datang; (2) Analisis strategi perusahaan yang mempertimbangkan pesaing potensial, struktur biaya relatif, perluasan rencana dalam industri, kemampuan perusahaan untuk meneruskan kenaikan biaya, kualitas manajemen dan lain sebagainya; (3) Analisis laporan keuangan dari perusahaan serta perbandingannya dengan perusahaan lain. Analisis ini dapat berfokus pada suatu variabel keuangan tunggal atau suatu kombinasi dari variabel keuangan; (4)
13
Variabel eksternal seperti return sekuritas dan penilaian obligasi.” Ada empat kondisi dalam mengkategorikan sebuah perusahaan (Foster, 1986). Kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
Non Bankruptcy Bankruptcy
Non Financialy Distressed I III
Financialy Distressed II IV
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa kondisi I adalah dimana perusahaan tidak bangkrut dan tidak mengalami financial distress. Kondisi II adalah dimana perusahaan tidak bangkrut tapi mengalami financial distress. Kondisi III adalah dimana perusahaan bangkrut tapi tidak mengalami financial distress, dan kondisi IV adalah dimana perusahaan bangkrut dan mengalami financial distress. II.5.1 Rasio Likuiditas Rasio yang mengukur kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya atau dengan kata lain mengukur kemampuan likuiditas jangka pendek perusahaan dengan melihat aktiva lancar perusahaan relative terhadap hutang lancar (kewajiban perusahaan). Rasio likuiditas yang jelek dalam jangka panjang akan mempengaruhi solvabilitas perusahaan. Berikut yang termasuk dalam rasio likuiditas, antara lain: II.5.1.1 Rasio Lancar Rasio lancar sangat berguna untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya, dimana dapat diketahui sampai seberapa jauh sebenarnya jumlah aktiva lancar perusahaan dapat menjamin hutang
14
lancarnya. Semakin tinggi rasio berarti semakin terjamin hutang-hutang perusahaan kepada kreditor. Current ratio 2.0 kadang-kadang sudah memuaskan bagi suatu perusahaan, tetapi jumlah modal kerja dan besarnya rasio tergantung pada beberapa faktor, suatu standard atau rasio yang umum tidak dapat ditentukan untuk seluruh perusahaan. Current ratio 2.0 hanya merupakan kebiasaan dan akan digunakan sebagai titik tolak untuk mengadakan penelitian atau analisa lebih lanjut. Bagi perusahaan yang mempunyai hubungan baik dengan kreditor atau posisinya kuat terhadap pemasok, mungkin perusahaan tidak perlu memiliki rasio yang tinggi. Sebagai contoh pasar swalayan. Posisi pasar swalayan terhadap pemasok biasanya adalah cukup kuat. Dengan kondisi demikian maka pasar swalayan dapat membayar hutangnya setelah 3 atau 4 bulan, sedangkan penjualan dilakukan secara tunai. Dalam kondisi demikian rasio lancar tidak terlalu diperlukan. Rasio lancar mempunyai sifat tingginya berubah-ubah dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, pada toko pakaian ketika menjelang hari-hari raya permintaan akan pakaian mulai meningkat, kemudian menurun mencapai titik terbawah lagi pada hari raya tersebut. Untuk menghadapi kenaikan permintaan tersebut toko pakaian harus menaikkan besarnya persediaan. Bila peningkatan persediaan barang dagangan tersebut dibiayai dengan cara mengurangi uang tunai perusahaan, maka rasio lancar perusahaan tidak mengalami perubahan. Pada transaksi seperti itu, bukan hanya struktur aktiva lancarnya saja yang mengalami perubahan tetapi nilai total aktiva lancar dan nilai total passiva lancarnya juga mengalami perubahan. Hal ini menyababkan rasio lancar turut mengalami perubahan. Akan tetapi jika penumpukan persediaan dilaksanakan dengan
15
cara dibiayai dari pinjaman jangka pendek, maka ketika volume penjualan tinggi, rasio lancar perusahaan akan menurun. Oleh karena itu untuk mengukur tingginya likuiditas perusahaan lebih baik untuk mempergunakan angka perputaran modal kerja daripada mempergunakan rasio lancar. Adapun pertimbangannya ialah karena angka perputaran modal kerja tidak banyak dipengaruhi oleh sifat musiman, relatif dibandingkan dengan rasio lancar. Rumus untuk menghitung rasio lancar adalah: Aktiva Lancar Kewajiban Lancar II.5.1.2 Rasio Uji Cair Rasio ini sering juga disebut sebagai quick ratio, dimana rasio ini merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan tidak memperhitungkan persediaan, karena persediaan memerlukan waktu yang relatif lama untuk direalisir menjadi uang kas, walaupun kenyataannya mungkin persediaan lebih likuid daripada piutang. Jika current ratio tinggi tapi quick ratio rendah menunjukkan adanya investasi yang sangat besar dalam persediaan. Sebagai pegangan kasar biasanya angka 1.0 untuk rasio uji cair merupakan angka minimum yang perlu dipertahankan oleh perusahaan agar perusahaan tidak mengalami ketidakmampuan dalam membayar hutang-hutang jangka pendeknya. Rumus untuk menghitung rasio uji cair adalah: (Aktiva Lancar – Persediaan) Kewajiban Lancar
16
II.5.2 Rasio Aktivitas Rasio yang mengukur sejauh mana efektivitas penggunaan asset dengan melihat tingkat aktivitas asset. Berikut yang termasuk dalam rasio aktivitas, antara lain : II.5.2.1 Aktivitas Piutang Penjualan Kredit Bersih Tahunan Piutang II.5.2.2 Umur Piutang II.5.2.3 Aktivitas Hutang (Hutang x Banyaknya Hari Dalam Tahun) Pembelian Kredit Tahunan II.5.2.4 Aktivitas Persediaan Harga Pokok Penjualan Persediaan II.5.3 Rasio Solvabilitas Rasio yang mengukur kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka panjangnya. Rasio yang digunakan untuk rasio solvabilitas antara lain: II.5.3.1 Rasio Modal Sendiri terhadap Total Aktiva (Ratio of Owner’s Equity to Total Assets) Rasio ini menunjukan pentingnya sumber modal pinjaman dan tingkat keamanan yang dimiliki oleh kreditor. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin kecil jumlah modal pinjaman yang digunakan untuk membiayai aktiva perusahaan. Rasio ini disebut juga proprietory ratio yang menunjukan tingkat solvabilitas perusahaan dengan anggapan bahwa semua aktiva dapat direalisir sesuai dengan yang dilaporkan dalam neraca.
17
Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut: Modal Sendiri Total Aktiva II.5.3.2 Rasio Modal Sendiri dengan Aktiva Tetap (Ratio of Owner’s Equity to Fixed Assets) Jika rasio ini lebih dari 100 % berarti modal sendiri melebihi total aktiva tetap dan menunjukan aktiva tetap seluruhnya dibiayai oleh pemilik perusahaan dan sebagian dari aktiva lancar juga dibiayai oleh pemilik perusahaan. Sebaliknya jika rasio dibawah 100%, berarti sebagian aktiva tetapnya dibiayai dengan modal pinjaman jangka pendek/jangka panjang sedang aktiva lancarnya seluruhnya dibiayai dengan modal pinjaman. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut: Modal Sendiri Aktiva Tetap II.5.3.3 Rasio Aktiva Tetap dengan Hutang Jangka Panjang Rasio ini mengukur tingkat keamanan yang dimiliki oleh kreditor jangka panjang. Disamping itu juga menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memperoleh pinjaman baru dengan jaminan aktiva tetap. Semakin tinggi rasio ini semakin besar jaminan dan kreditor jangka panjang semakin aman atau terjamin dan semakin besar kemampuan perusahaan untuk mencari pinjaman. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut: Total Aktiva Tetap Total Hutang Jangka Panjang
18
II.5.3.4 Nilai Buku Saham Nilai buku per lembar saham menunjukkan jumlah rupiah yang akan dibayarkan kepada setiap lembar saham apabila perusahaan pada saat itu dibubarkan dengan anggapan bahwa semua aktiva dapat direalisir atau dijual dengan harga yang sama dengan nilai bukunya. Dalam penghitungannya nilai buku saham jika ada saham yang sudah dipesan (subscribed) walaupun saham tersebut belum diserahkan kepada pemesan, maka jumlah tersebut harus ditambahkan pada jumlah modal yang sudah beredar. Sebaliknya bila ada saham yang dibeli kembali oleh perusahaan (treasury stock) maka harus dikurangkan terhadap jumlah modal saham yang beredar. Rumus rasio ini adalah sebagai berikut: Modal Saham Jumlah lembar saham II.5.3.5 Rasio Total Hutang terhadap Total Aktiva (Total Debt to Total Assets Ratio) Semakin tinggi rasio ini semakin tinggi resiko keuangan perusahaan. Dalam batas tertentu bank akan sulit untuk mengabulkan permohonan kredit. Hanya saja setiap batas minimum dari setiap bank berbeda=beda. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut: Total Hutang = ……. % Total Aktiva II.5.4 Rasio Profitabilitas Rasio yang melihat kemampuan perusahaan menghasilkan laba (profitabilitas). Berikut yang termasuk dalam rasio aktivitas, antara lain:
19
II.5.4.1 Rasio Laba Usaha dengan Aktiva Usaha (Ratio Operating Income dengan Operating Assets) Profitability suatu perusahaan dapat diukur dengan menghubungkan antara keuntungan atau laba yang diperoleh dari kegiatan pokok perusahaan dengan kekayaan atau assets yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan tersebut (operating assets). Pengertian dari operating assets adalah semua aktiva kecuali investasi jangka panjang dan aktiva-aktiva lain yang tidak digunakan dalam kegiatan atau usaha memperoleh penghasilan yang rutin atau usaha pokok perusahaan. Rasio ini akan mencerminkan keuntungan yang diperoleh tanpa mengingat dari mana sumber modal dan menunjukkan tingkat efisiensi perusahaan dalam melaksanakan operasi sehari-hari. Rumus perhitungannya adalah: Laba Usaha Aktiva Usaha II.5.4.2 Perputaran Aktiva Usaha ( Operating Assets Turnover) Rasio ini menunjukkan seberapa jauh aktiva telah dipergunakan di dalam kegiatan perusahaan atau menunjukkan berapa kali operating assets berputar dalam suatu periode tertentu, biasanya satu (1) tahun. Turnover yang tinggi menunjukkan management yang efektif tetapi dapat juga turnover yang tinggi disebabkan aktiva perusahaan yang sudah tua dan sudah habis disusut, sehingga turnover yang tinggi ini dapat diakibatkan karena keadaan perusahaan. Rumus perhitungannya adalah: Penjualan Aktiva Usaha
20
II.5.4.3 Rasio Laba Kotor atas Penjualan (Gross Profit Margin on Sales) Rasio ini mengukur tingkat profitabilitas produk sebelum dibebani oleh biayabiaya yang lain. Perubahan rasio laba kotor bisa saja terjadi karena perubahan dalam kebijaksanaan penjualan, misalnya tingkat potongan atau adanya produk baru. Rumus perhitungannya adalah: Laba Kotor = ……… % Penjualan II.5.4.4 Rasio Laba Usaha atas Penjualan (Operating Margin Ratio) Laba usaha (laba operasi) adalah laba dari kegiatan utama perusahaan. Oleh karena itu sudah seharusnya laba ini memberikan hasil lebih besar dibanding dari laba yang bukan utama. Rumus perhitungannya adalah: Laba Usaha = ……… % Penjualan II.5.4.5 Rasio Laba Bersih atas Penjualan (Net Margin Ratio) Rasio ini mengukur hasil akhir dari kegiatan operasi perusahaan. Selisih laba bersih dengan rasio laba usaha dapat mencerminkan berapa beban yang ditanggung perusahaan untuk biaya-biaya non operasional. Rumus perhitungannya adalah: Laba Bersih = ……… % Penjualan II.5.4.6. Operating Ratio Operating ratio mencerminkan tingkat efisiensi perusahaan, sehingga rasio yang tinggi menunjukkan keadaan yang kurang baik karena berarti bahwa setiap rupiah
21
penjualan yang terserap dalam biaya juga tinggi, dan yang tersedia untuk laba kecil. Tetapi rasio yang tinggi mungkin tidak hanya disebabkan oleh faktor intern yang dapat dikendalikan oleh manajemen, tetapi juga faktor ekstern misalnya faktor harga yang sulit dikendalikan oleh manajemen. Rumus perhitungannya adalah: Harga Pokok + Biaya Operasi = ……… % Penjualan II.5.4.7 Rasio Tingkat Pengembalian Investasi (Return on Investment, ROI) Tujuan perhitungan rasio ini adalah untuk mengetahui sampai seberapa jauh asset yang digunakan dapat menghasilkan laba. Laba usaha berarti laba dari kegiatan utama perusahaan. Aktiva operasi adalah aktiva yang dipakai untuk menghasilkan laba usaha tersebut. Dengan kata lain, asset yang dihitung disini hanya asset yang memberikan konstribusi terhadap pencapaian laba usaha. Penyertaan yang biasanya menghasilkan pendapatan lain (diluar laba usaha) tidak dihitung. Demikian halnya dengan aktiva lain-lain. Aktiva lain-lain ada yang berupa aktiva belum selesai atau aktiva tidak operasional. Oleh karena itu juga tidak diikutsertakan dalam pengertian aktiva operasi. Rumus perhitungannya adalah: Laba Usaha = ……… % Aktiva Operasi atau Laba Usaha x Penjualan Penjualan Aktiva Operasi II.5.4.8 Rasio Tingkat Pengembalian Aset (Return on Assets, ROA) Dengan rasio ini akan tampak seberapa besar tingkat produktifitas seluruh aset. Perbedaan hasil perhitungan antara ROI (Return on Investments) dengan ROA (Return
22
on Assets) akan diketahui sampai seberapa jauh tingkat asset penunjang atau tidak produktif dan hasil sampingan perusahaan. Rumus perhitungannya adalah: Laba Bersih = ……… % Total Aktiva II.5.4.9 Rasio Laba Bersih atas Modal (Return on Equity) Rasio ini berguna untuk mengetahui seberapa jauh hasil yang diperoleh dari penanam modal/investor. Pengertian modal disini adalah semua modal yang tertanam di perusahaan, termasuk di dalamnya saldo laba (laba ditahan). Rumus perhitungannya:
Laba Bersih = ……… % Modal Sendiri II.5.4.10 Laba per Lembar Saham (Earning Per Share, EPS) Rasio ini untuk mengukur laba bersih per lembar saham (maksimum) yang mungkin diperoleh pemegang saham. Dikatakan maksimum, karena yang dibagi biasanya adalah kurang dari EPS. Rasio ini adalah satu-satunya rasio yang muncul di laporan keuangan, bisanya dicantumkan di bawah laba bersih. Rumus perhitungannya adalah: = ……… % Laba Bersih Jumlah Lembar Saham II.5.5 Rasio Pasar Rasio ini melihat perkembangan nilai perusahaan relatif terhadap nilai buku perusahaan. Kelima rasio tersebut ingin melihat prospek dan risiko perusahaan pada masa yang mendatang. Faktor prospek dalam risiko tersebut akan mempengaruhi
23
harapan investor terhadap perusahaan pada masa-masa mendatang. Pada penelitian Almilia (2003) dalam analisis rasio, rasio yang digunakan dikelompokkan sebagai berikut: Rasio keuangan dari neraca dan laporan laba rugi, antara lain: a. Profit Margin = Laba bersih : Penjualan. Profit margin yang tinggi menandakan kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang tinggi pada tingkat penjualan tertentu. Profit margin rendah menandakan penjualan yang terlalu rendah untuk tingkat biaya tertentu, atau biaya yang terlalu tinggi untuk tingkat penjualan yang tertentu, atau kombinasi dari kedua hal tersebut. Secara umum rasio yang rendah bisa menunjukkan ketidakefisienan manajemen. b. Likuiditas, meliputi: - Aktiva lancar : Kewajiban lancar - Modal kerja (aktiva lancar - kewajiban lancar) : total aktiva - Aktiva lancar : total aktiva - Aktiva tetap bersih : total aktiva c. Efisiensi, meliputi: - Penjualan : total aktiva - Penjualan : aktiva lancar - Penjualan : modal kerja Rasio di atas mengukur sejauh mana perusahaan mampu menghasilkan penjualan berdasarkan aktiva dan modal yang dimilikinya.
24
d. Profitabilitas, meliputi: - Laba bersih : total aktiva - Laba bersih : ekuitas saham Tidak jauh berbeda dengan rasio profit margin, rasio-rasio tersebut menggambarkan kemampuan aktiva dan ekuitas perusahaan dalam menghasilkan laba bersih. Rasio yang tinggi menunjukkan efisiensi manajemen asset, yang berarti efisiensi manajemen. e. Financial Leverage, meliputi: - Total hutang : total aktiva - Notes payable : total aktiva - Notes payable : total hutang - Ekuitas saham : total aktiva Rasio-rasio ini mengukur kemampuan perusahaan memenuhi kewajibankewajiban jangka panjang perusahaan. Rasio yang tinggi berarti perusahaan menggunakan leverage keuangan yang tinggi sehingga risiko perusahaan menjadi meningkat. f. Posisi Kas, meliputi: - Kas : hutang lancar - Kas : total aktiva g. Pertumbuhan, meliputi: - Persentase pertumbuhan penjualan - Persentase pertumbuhan laba bersih dibagi dengan total aktiva
25
h. Rasio keuangan berasal dari aktivitas operasi pada laporan arus kas: - Arus kas bersih dari aktivitas operasi : hutang lancar - Arus kas bersih dari aktivitas operasi : total hutang - Arus kas bersih dari aktivitas operasi : total sumber dana - Arus kas bersih dari aktivitas operasi : total aktiva - Arus kas bersih dari aktivitas operasi : ekuitas pemilik - Arus kas bersih dari aktivitas operasi : penjualan - Arus kas bersih dari aktivitas operasi : bunga i. Rasio keuangan berasal dari aktivitas investasi pada laporan arus kas : - Investasi aktiva tetap : aktiva tetap - Investasi aktiva tetap : total penggunaan - Perubahan modal kerja : total penggunaan - Penghapusan aktiva tetap : total sumber dana j. Rasio keuangan berasal dari aktivitas pendanaan pada laporan arus kas: - Perolehan hutang : total sumber dana (Perolehan hutang – pembayaran hutang) : total sumber dana
II.6 Metode Analisis Laporan Keuangan Tiga (3) metode yang lazim digunakan dalam menganalisis laporan keuangan perusahaan yaitu : a. Analisis Horizontal (Horisontal analysis) Analisis horizontal (Horisontal analysis) atau yang disebut juga analisis tren
26
(Trend analysis) merupakan suatu teknik untuk mengevaluasi serangkaian data laporan keuangan selama periode tertentu. Analisis horizontal melakukan penelitian dalam laporan keuangan komparatif. Dibutuhkan dua langkah dalam analisis horizontal, yaitu: 1. Menghitung jumlah rupiah perubahan dari periode dasar ke periode akhir. 2. Membagi jumlah rupiah perubahan dengan jumlah periode dasar. Dalam analisis horizontal, perubahan hasil kegiatan perusahaan dan posisi keuangan dalam jangka waktu tertentu dinyatakan dalam persentase atau jumlah (rupiah). Metode ini sering digunakan dalam laporan laba rugi. b. Analisis Vertikal (Vertical Analysis) Adalah teknik yang digunakan untuk mengevaluasi data laporan keuangan yang menggambarkan setiap pos dalam laporan keuangan dari segi persentase dan jumlah rupiah. Analisis ini dipakai untuk perbandingan laporan keuangan dari berbagai periode, trend atau perubahan hubungan diantara pos-pos lebih mudah untuk diidentifikasi. Laporan keuangan hanya dinyatakan dalam persentase aja disebut laporan ukuran bersama (Common Size Statement). Dalam analisis vertikal terhadap laporan atas posisi keuangan, setiap pos dinyatakan sebagai suatu persentase dari neraca atau suatu persentase dari jumlah kewajiban dan ekuitas pemegang saham. Dalam analisis vertikal terhadap laporan laba rugi adalah lazim untuk menyatakan pospos pada laporan laba rugi sebagai suatu persentase dari angka penjualan bersih. c. Analisis Rasio (Ratio analysis) Rasio menggambarkan suatu hubungan atau perimbangan (mathematical
27
relationship) antara suatu jumlah tertentu terhadap jumlah yang lain, dan dengan menggunakan alat analisa berupa rasio ini akan dapat menjelaskan atau memberikan gambaran kepada penganalisa tentang baik atau buruknya keadaaan atau posisi keuangan suatu perusahaan terutama apabila angka rasio tersebut dibandingkan dengan rasio pembanding yang digunakan sebagai standart. Mengacu pada pendapat Harahap (2006:297), maka analisis rasio diartikan sebagai angka yang diperoleh dari hasil perbandingan dari suatu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan (berarti). Sedangkan mengacu pada pendapat Kuswandi (2004:187), analisis rasio diartikan sebagai cara analisa dengan menggunakan perhitungan-perhitungan perbandingan atas data kuantitatif yang ditunjukkan dalam laporan atas posisi keuangan maupun laporan laba rugi.
II.7 Keterbatasan Analisis Rasio Keuangan Meskipun analisis rasio keuangan sangat bermanfaat, tetapi ada beberapa keterbatasan-keterbatasan dalam analisis rasio keuangan. Keterbatasan-keterbatasan dalam analisis rasio keuangan adalah: 1.Rasio keuangan dapat dimanipulasi/yang lebih terkenal dengan istilah ”window dressing”. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar laporan keuangan telihat bagus di mata pihak-pihak yang berkepentingan atas laporan keuangan perusahaan tersebut. 2.Rasio keuangan tidak selalu menggambarkan kondisi perusahaan yang sesungguhnya, khususnya cash inflow dan cash outflow.
28
3.Rasio keuangan memberikan analisis terbatas laporan keuangan perusahaan. Rasio ini menghitung indikator numerik atau nilai-nilai persentase berdasarkan informasi keuangan yang terdapat dalam laporan.
II.8 Analisis Potensi Kebangkrutan (Hartanto, 1986) menjelaskan definisi dari kata bangkrut dengan pengertian sebagai berikut: ”Bangkrut adalah keadaan atau situasi dimana perusahaan mengalami kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjukan usahanya”. Kebangkrutan akan cepat terjadi pada perusahaan yang berada di negara yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, karena kesulitan ekonomi akan memicu semakin cepatnya kebangkrutan perusahaan yang mungkin kondisi keuangannya sudah termasuk dalam kategori perusahaan yang memiliki kondisi keuangan yang kurang sehat. Pada umumnya, sebelum suatu perusahaan mengalami kebangkrutan, muncul tanda-tanda awal yang menunjukkan, namun sering kali pihak manajemen sering berasumsi/beranggapan bahwa tanda-tanda tersebut hanyalah gejala biasa dan akan hilang sendirinya tanpa perlu ditindak lanjuti lebih lanjut. Asumsi ini mengakibatkan pihak manajemen terlambat melakukan tindakan pencegahan dan proses perbaikan terhadap kinerja perusahaan. Kebangkrutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain (Hartanto, 1986): 1. Sistem perekonomian Di dalam sistem perekonomian dimana roda perekonomian lebih banyak dikendalikan oleh persaingan bebas, sehingga untuk perusahaan yang tidak mempunyai kemampuan menghadapi persaingan akan lebih cepat
29
menghadapi kebangkrutan. 2. Faktor-faktor eksternal perusahaan Kecelakaan dan bencana alam yang sewaktu-waktu menimpa perusahaan misalnya, pmerupakan contoh yang barangkali pernah atau bahkan sering memaksa perusahaan untuk menutup atau menghentikan usahanya secara permanen. 3. Faktor-faktor internal perusahaan. Faktor intern biasanya merupakan hasil dari keputusan dan kebijaksanaan yang tidak tepat di masa yang lalu dan kegagalan manajemen untuk berbuat sesuatu pada saat yang diperlukan. Berbagai faktor internal tersebut adalah terlalu besarnya pinjaman/kredit yang diberikan kepada debitur, manajemen yang tidak efisien, kekurangan modal, penyalahgunaan wewenang dan kecurangan-kecurangan. Kebangkrutan tidaklah terjadi secara tiba-tiba dan dapat diramalkan sebelumnya. Sebelum perusahaan dinyatakan bangkrut/pailit, biasanya ditandai oleh berbagai situasi atau keadaan. Keadaan tersebut khususnya berhubungan dengan efektivitas dan efisiensi operasinya, seperti volume penjualan yang relative rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya (trend penjualan yang menurun), cash flow yang menunjukkan nilai negative. Tahap permulaan perusahaan yang akan mengalami kebangkrutan ditandai oleh adanya satu atau lebih keadaan operasi dan financial perusahaan yang tidak menggembirakan, misalnya (Hartanto, 1986): 1. Penurunan volume penjualan. 2. Kenaikan biaya-biaya komersial dan financial 3. Ketidakefisienan produksi 4. Tingkat persaingan yang semakin ketat 5. Kegagalan dalam melaksanakan ekspansi Keadaan-keadaan di atas diikuti dengan kesulitan likuiditas, dimana perusahaan tidak mampu untuk membayar hutang-hutang jangka pendek dan biaya operasinya. Jika
30
kesulitan likuiditas tidak segera diatasi, maka hal tersebut akan mengancam solvabilitas yang berdampak pada kebangkrutan perusahaan.
II.9 Prediksi Kebangkrutan dengan Metode Altman Edward.L.Altman merumuskan formula Z-score yang secara umum dapat untuk mengukur kesehatan keuangan suatu perusahaan pada tahun 1968. Pengukuran rasio Altman yaitu untuk mengetahui potensi kebangkrutan menggunakan perhitungan Zscore. Rasio-rasio yang digunakan dalam perhitungan Z-score Altman adalah sebagai berikut : Net Working Capital to Total Assets (X1), Retained Earnings to Total Assets (X2), Earning Before Interest and Taxes to Total Assets (X3), Market Value of Equity to Book Value of Debt (X4), dan Sales to Total Assets (X5).
II.10 Model Penelitian Kerangka pemikiran yang digunakan dalam model penelitian ini yaitu bagaimana rasio-rasio yang terdapat dalam Altman Z-Score dapat digunakan untuk memprediksi kondisi financial distress suatu perusahaan. Gambaran dari kerangka pemikiran penelitian ini akan digambarkan dalam gambar 1 berikut ini.
31
. Net Working Capital to Total Assets (X1)
Retained Earnings to Total Assets (X2)
Earning Before Interest and Taxes to Total Assets (X3)
Financial Distress
Market Value of Equity to Book Value of Debt (X4)
Sales to Total Assets (X5)
Gambar 1. Model Penelitian
II.11 Penelitian Terdahulu dan Perumusan Hipotesa Penelitian mengenai financial distress telah banyak dilakukan. Wilopo (2001) melakukan penelitian tentang prediksi kebangkrutan bank di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio keuangan model CAMEL (13 rasio), besaran (size) bank yang diukur dengan log. assets, dan variabel dummy (kredit lancar dan manajemen). Hasil penelitian menunjukkan kekuatan prediksi untuk bank yang dilikuidasi sebesar 0% karena dari tidak ada satu (1) bank pun yang diprediksikan akan dilikuidasi. Dengan demikian, maka hasil penelitian tiidak mendukung hipotesis yang diajukan bahwa “rasio keuangan model CAMEL, besaran (size) bank serta kepatuhan terhadap Bank
32
Indonesia dapat digunakan untuk memprediksikan kegagalan bank di Indonesia”. Luciana (2004) melakukan penelitian tentang financial distress menggunakan rasio keuangan yang berasal dari laporan atas posisi keuangan, laporan laba rugi dan laporan arus kas. Hasil penelitian membuktikan bahwa rasio keuangan dapat digunakan untuk memprediksi finacsial distress dimana rasio yang paling dominan dapat memprediksi financial distress suatu perusahaan antara lain: 1. Rasio profit margin yaitu laba bersih dibagi dengan penjualan. 2. Rasio financial leverage yaitu hutang lancar dibagi dengan total aktiva. 3. Rasio likuiditas yaitu aktiva lancar dibagi dengan hutang lancar. 4. Rasio pertumbuhan yaitu rasio pertumbuhan laba bersih dibagi dengan total aktiva. Aryati dan Manao (2000) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah laporan keuangan yang dipublikasikan oleh bank-bank di Indonesia dapat digunakan sebagai prediktor tingkat kesehatan dan kemungkinan kebangkrutannya atau tidak, serta identifikasi rasio-rasio keuangan yang dapat digunakan untuk memprediksi kesehatan perbankan di Indonesia. Variabel yang digunakan adalah rasio CAMEL dan rasio keuangan lainnya. Model analisis yang digunakan adalah univariate analysis dan multivariate diskriminant analysis. Model univariate atau pendekatan berdasarkan variabel tunggal untuk meramalkan kebangkrutan perusahaan, menggunakan asumsi sebagai berikut : 1.Distribusi dari variabel pada perusahaan yang mengalami kebangkrutan berbeda dengan distribusi variablel tersebut pada perusahaan yang tidak bangkrut. 2.Perbedaan variabel tersebut dapat dikapitalisasi/dikuantifikasikan untuk maksud-maksud membuat ramalan tersebut.
33
Salah satu keterbatasan dari pendekatan variabel tunggal sebagai dasar memprediksi financial distress suatu perusahaan, ialah penggunaan rasio yang berbeda sebagai dasar peramalan dapat menghasilkan ramalan berbeda pada suatu perusahaan. Untuk mengatasi masalah kemungkinan terjadinya konflik antara variabel-variabel yang dijadikan prediksi pada model univariate, maka dikembangkan model multivariate. Variabel bebas dalam model ini adalah rasio-rasio keuangan yang diperkirakan mempengaruhi kebangkrutan, sedangkan variabel tidak bebas adalah prediksi kebangkrutan, yang merupakan dummy variable; dimana kategori nol (0) untuk perusahaan kondisi sehat dan kategori satu (1) untuk perusahaan yang mengalami financial distress (Hanafi & Halim, 2007). Sebagai variabel bebas, idealnya memiliki teori ekonomi yang dapat mendasari masalah kebangkrutan. Tetapi karena ketidaktersediaan teori yang cukup mendukung prediksi kebangkrutan, maka biasanya digunakan penelitian-penelitian terdahulu atau datadata yang relevan dalam pemilihan variabel-variabel bebas. Teknik statistik yang sering digunakan adalah analisis logit atau probit. Analisis ini sering digunakan untuk melihat probabilitas suatu kejadian berdasarkan variabel-variabel tertentu. Selain analisis logit, analisis non-parametrik juga dapat digunakan (Hanafi & Halim, 2007). Penelitian Yang, Platt dan Platt (1999) menggunakan model neural network untuk membedakan perusahaan yang mengalami financial distress dan yang sehat (tidak mengalami financial distress). Rasio keuangan yang digunakan dalam penelitian ini merujuk penelitian yang dilakukan oleh Luciana dan Kristijadi (2003), yang memberikan bukti bahwa rasio keuangan profit margin, likuiditas, efisiensi, profitabilitas, financial leverage, posisi kas dan pertumbuhan dapat digunakan untuk menilai kinerja perusahaan yang mengalami financial distress dan perusahaan yang tidak mengalami financial distress.
34
Berdasarkan temuan penelitian terdahulu, maka hipotesis penelitian dinyatakan sebagai berikut: H1: Rasio keuangan perusahaan berbeda secara signifikan antara perusahaan yang mengalami kondisi financial distress dan perusahaan yang tidak mengalami kondisi financial distress H2: Rasio keuangan perusahaan berbeda secara signifikan antara perusahaan yang mengalami kondisi financial distress dan perusahaan yang berada pada grey area (kesulitan keuangan tinggi tetapi tidak mengalami financial distress) H3: Rasio keuangan perusahaan berbeda secara signifikan antara perusahaan yang tidak mengalami kondisi financial distress dan perusahaan yang berada pada grey area (kesulitan keuangan tinggi tetapi tidak mengalami financial distress) Dalam penelitian yang terdahulu mengacu pada penelitian Luciana (2004), untuk melakukan pengujian apakah suatu perusahaan mengalami financial distress dapat ditentukan dengan berbagai cara, seperti: 1.
Lau (1987) dan Hill et al. (1996) menggunakan adanya pemberhentian tenaga kerja atau menghilangkan pembayaran deviden.
2. Asquith, Gertner dan Scharfstein (1994) menggunakan interest coverage ratio untuk mendefinisikan financial distress. 3. Whitaker (1999) mengukur financial distress dengan cara adanya arus kas yang lebih kecil dari utang jangka panjang saat ini. 4. John, Lang dan Netter (1992) mendefinisikan financial distress sebagai perubahan harga ekuitas. Kardina (2007) membuat lima kelompok rasio keuangan dan membuat univariate
35
analysis yaitu menghubungkan tiap-tiap rasio untuk menentukan rasio mana yang paling baik digunakan sebagai prediktor. Kelima kelompok rasio tersebut terdiri dari cash flows to total debt ratio, net income to total assets ratio, current assets to current liabilities ratio, total debt to total assets ratio, dan working capital to total assets ratio. Kelima rasio keuangan tersebut kemudian diuji tingkat kesalahannya yang menunjukkan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pengklasifikasian suatu perusahaan. Penelitian ini terlihat bahwa rasio-rasio keuangan memiliki kemampuan dalam memprediksi terjadinya kebangkrutan pada suatu perusahaan yang identik dengan tingkat kesehatan perusahaan yang buruk. Selain peneliti-peneliti di atas, Altman (1968) menggunakan multiple discriminant analysis untuk menguji manfaat lima rasio keuangan dalam memprediksi kebangkrutan. Kelima rasio keuangan tersebut adalah : working capital to total assets, retained earnings to total assets, earnings before interests taxes to total assets, market value of equity, book value of total debt, dan sales to total assets. Disamping itu, Altman juga menemukan bahwa rasio likuiditas dan leverage memberikan sumbangan terbesar dalam mengukur tingkat kesehatan perusahaan yang berdampak pada kondisi financial distress perusahaan. Berdasarkan temuan peneliti terdahulu, maka hipotesis penelitian dinyatakan sebagai berikut: H4: Rasio keuangan dapat digunakan untuk memprediksi kondisi financial distress suatu perusahaan.
36